6P enginderaan Jauh
6.1 Pendahuluan
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) berkembang dengan pesat sejak eksplorasi
antariksa berlangsung sekitar tahun 1960-an dengan mengorbitnya satelit-satelit Gemini, Apollo,
Sputnik, Solyus. Kamera yang mengambil gambar permukaan bumi dari satelit memberikan
informasi berbagai gejala dipermukaan bumi seperti geologi, kehutanan, kelautan dan sebagainya.
Teknologi pemotretan udara yang berkembang bersamaan dengan era eksplorasi antariksa seperti
sistim kamera majemuk, multispectral scanner, vidicon, radiometer, spectrometer diikut sertakan
dalam misi antariksa tersebut pada tahap berikutnya.
Pada tahun 1972 satelit ERTS-1 (sekarang dikenal dengan Landsat) untuk pertama kali
diorbitkan Amerika Serikat. Satelit ini dikenal dengan satelit sumber alam karena fungsinya adalah
untuk memetakan potensi sumber alam dan memantau kondisi lingkungan. Para praktisi dari
berbagai bidang ilmu mencoba memanfaatkan data Landsat untuk menunjang program pemetaan,
dalam waktu singkat disimpulkan bahwa data satelit tersebut potensial untuk menunjang program
pemetaan dalam lingkup sangat luas. Sejak itu berbagai satelit sejenis diorbitkan oleh negara-
negara maju lain, seperti SPOT oleh Perancis, IRS oleh India, MOSS dan Adeos oleh Jepang, ERS-1
oleh MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) dan Radarsat oleh Kanada.
Pada sekitar tahun 2000 sensor berketelitian tinggi yang semula merupakan jenis sensor
untuk mata-mata/intellegence telah pula dipakai untuk keperluan sipil dan diorbitkan melalui
satelit-satelit Quickbird, Ikonos, Orbimage-3, sehingga obyek kecil di permukaan bumi dapat pula
direkam. Penggunaan data satelit penginderaan jauh di bidang kebumian telah banyak dilakukan di
negara maju untuk keperluan pemetaan geologi, eksplorasi mineral dan energi, bencana alam dan
sebagainya. Di Indonesia penggunaan dalam bidang kebumian belum sebanyak di luar negeri
karena berbagai kendala, diantaranya data satelit cukup mahal, memerlukan software khusus dan
paling utama adalah ketersediaan sumberdaya manusia yang terampil sangat terbatas. Dalam
pembahasan ini akan lebih ditekankan pada pengenalan informasi geologi dan kondisi lingkungan
geologi yang dalam beberapa hal berkaitan dengan penggunaan data satelit penginderaan jauh.
mengenai gelombang elektromaknit, pembagian dalam selang panjang gelombang (spectral range),
mengapa dipakai dalam sistim perekaman citra dan bagaimana responnya terhadap benda di
permukaan bumi.
Empat komponen dasar dari sistem Penginderaan Jauh adalah target, sumber energi, alur
transmisi, dan sensor (gambar 6-1). Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur
dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang
menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi
berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari
target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi
elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi
format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk
menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara
visual dan automatic dengan bantuan computer dan perangkat lunak pengolah citra.
Sebuah platform Penginderaan Jauh dirancang sesuai dengan beberapa tujuan khusus. Tipe
sensor dan kemampuannya, platform, penerima data, pengiriman dan pemrosesan harus dipilih
dan dirancang sesuai dengan tujuan tersebut dan beberapa faktor lain seperti biaya, waktu dan
sebagainya.
1. Resolusi sensor
Rancangan dan penempatan sebuah sensor terutama ditentukan oleh karakteristik khusus
dari obyek yang ingin dipelajari dan informasi yang diinginkan dari obyek tersebut. Setiap aplikasi
Penginderaan Jauh mempunyai kebutuhan khusus mengenai luas cakupan area, frekuensi
pengukuran dam tipe energi yang akan dideteksi. Oleh karena itu, sebuah sensor harus mampu
memberikan resolusi spasial, spectral dan temporal yang sesuai dengan kebutuhan aplikasi.
Resolusi spasial menunjukkan tingkat kerincian/ketelitian suatu obyek yang ditangkap oleh
sensor. Semakin rinci suatu obyek maka akan semakin tinggi pula resolusi spasial yang
diperlukan. Sebagai contoh, pemetaan penggunaan lahan memerlukan resolusi spasial
lebih tinggi daripada sistem pengamatan cuaca berskala besar.
Resolusi spektral menunjukkan lebar kisaran dari masing-masing band spektral yang
diukur oleh sensor. Untuk mendeteksi kerusakan tanaman dibutuhkan sensor dengan
kisaran band yang sempit pada bagian merah.
Resolusi temporal menunjukkan interval waktu antar dua pengukuran yang berurutan.
Untuk memonitor perkembangan kebakaran hutan maka diperlukan pengukuran setiap
jam, sedangkan untuk memonitor produksi tanaman membutuhkan pengukuran setiap
musim, sedangkan pemetaan geologi hanya membutuhkan sekali pengukuran.
2. Platform
Ground-Based Platforms: sensor diletakkan di atas permukaan bumi dan tidak berpindah-
pindah. Sensornya biasanya sudah baku seperti pengukur suhu, angin, pH air, intensitas
gempa dll. Biasanya sensor ini diletakkan di atas bangunan tinggi seperti menara.
Aerial platforms: biasanya diletakkan pada pesawat terbang, meskipun platform airborne
lain seperti balon udara, helikopter dan roket juga bisa digunakan. Digunakan untuk
mengumpulkan citra yang sangat detail dari permukaan bumi dan hanya ditargetkan ke
lokasi tertentu. Dimulai sejak awal 1900-an.
Satellite Platforms: sejak awal 1960 an sensor mulai diletakkan pada satelit yang
diposisikan pada orbit bumi dan teknologinya berkembang pesat sampai sekarang. Banyak
studi yang dulunya tidak mungkin menjadi mungkin.
Pengiriman data yang dikumpulkan dari sebuah sistem Penginderaan Jauh kepada pemakai
kadang-kadang harus dilakukan dengan sangat cepat. Oleh karena itu, pengiriman, penerimaan,
pemrosesan dan penyebaran data dari sebuah sensor satelit harus dirancang dengan teliti untuk
memenuhi kebutuhan pemakai. Pada ground-based platforms, pengiriman menggunakan sistem
komunikasi ground-based seperti radio, transmisi microwave atau computer network. Bisa juga
data disimpan pada platform untuk kemudian diambil secara manual.
Pada aerial Platforms, data biasanya disimpan on board dan diambil setelah pesawat
mendarat. Dalam hal satellite Platforms, data dikirim ke bumi yaitu kepada sebuah stasiun
penerima. Berbagai cara transmisi yang dilakukan: (1). langsung kepada stasiun penerima yang ada
dalam jangkauan; (2). disimpan on board dan dikirimkan pada saat stasiun penerima ada dalam
jangkauan, terus menerus, yaitu pengiriman ke stasiun penerima melalui komunikasi satelit
berantai pada orbit bumi, atau (3). kombinasi dari cara-cara tersebut.
Data diterima oleh stasiun penerima dalam bentuk format digital mentah. Kemudian data
tersebut akan diproses untuk pengkoreksian sistematik, geometrik dan atmosferik dan dikonversi
menjadi format standard. Data kemudian disimpan dalam tape, disk atau CD. Data biasanya
disimpan di stasiun penerima dan pemproses, sedangkan perpustakaan lengkap dari data biasanya
dikelola oleh pemerintah ataupun perusahaan komersial yang berkepentingan.
4. Radiasi Elektromagnetik
Berangkat dari bahasan kita di atas mengenai komponen sistem Penginderaan Jauh, energi
elektromagnetik adalah sebuah komponen utama dari kebanyakan sistem Penginderaan Jauh
untuk lingkungan hidup, yaitu sebagai medium untuk pengiriman informasi dari target kepada
sensor. Energi elektromagnetik merambat dalam gelombang dengan beberapa karakter yang bisa
diukur, yaitu: panjang gelombang/wavelength, frekuensi, amplitudo, kecepatan. Amplitudo adalah
tinggi gelombang, sedangkan panjang gelombang adalah jarak antara dua puncak. Frekuensi adalah
jumlah gelombang yang melalui suatu titik dalam satu satuan waktu. Frekuensi tergantung dari
kecepatan merambatnya gelombang.
5. Gelombang Elektromagnetik
Gelombang elektromaknit adalah gelombang yang merambat secara kontinyu dalam gerak yang
harmonis. Sumber dari gelombang ini secara alami adalah sinar matahari, selain dapat pula dibuat
secara artifisial seperti pada penginderaan dengan gelombang radar (gelombang mikro). Selang
panjang gelombang elektromaknit mulai dari sekitar 0.3 nm sampai orde meter yang meliputi
gelombang ultra ungu sampai radio (gambar 6-2).
Gambar 6-2. Selang panjang gelombang elektromaknit, Jendela Atmosfir dan Sistem
Penginderaan Jauh (Film berwarna, Film Infra Merah, Landsat MSS, Landsat TM, SPOT,
NOAA AVHRR, ERS SAR)
Tidak semua gelombang elektromaknit dapat dipakai dalam sistim perekaman data karena
sebagian dari selang panjang gelombang tersebut tidak dapat diteruskan (ditrasmit) ke permukaan
bumi. Penghalang yang membendung jalannya gelombang tersebut di antaranya adalah massa gas
yang terdapat di atmosfir seperti O2, H2O, CO2. Oleh karena itu ada celah-celah dimana transmisi
gelombang berjalan penuh. Celah tersebut dikenal sebagai jendela atmosfir (atmospheric window)
seperti dapat dilihat pada gambar 6-2. dan gambar 6-3.
Berdasarkan distribusi jendela atmosfir tersebut sistim penginderaan jauh dipilih dan
ditentukan secara operasional. Susunan semua bentuk gelombang elektromagnetik berdasarkan
panjang gelombang dan frekuensinya disebut spektrum elektromagnetik. Gambar spektrum
elektromagnetik di bawah disusun berdasarkan panjang gelombang (diukur dalam satuan ųm)
mencakup kisaran energi yang sangat rendah, dengan panjang gelombang tinggi dan frekuensi
rendah, seperti gelombang radio sampai ke energi yang sangat tinggi, dengan panjang gelombang
rendah dan frekuensi tinggi seperti radiasi X-ray dan Gamma Ray.
Radio : Radio energi adalah bentuk level energi elektromagnetik terendah, dengan kisaran
panjang gelombang dari ribuan kilometer sampai kurang dari satu meter. Penggunaan
paling banyak adalah komunikasi, untuk meneliti luar angkasa dan sistem radar. Radar
berguna untuk mempelajari pola cuaca, badai, membuat peta 3D permukaan bumi,
mengukur curah hujan, pergerakan es di daerah kutub dan memonitor lingkungan. Panjang
gelombang radar berkisar antara 0.8 – 100 cm.
Microwave : Panjang gelombang radiasi microwave berkisar antara 0.3 – 300 cm.
Penggunaannya terutama dalam bidang komunikasi dan pengiriman informasi melalui
ruang terbuka, memasak, dan sistem Penginderaan Jauh aktif. Pada sistem Penginderaan
Jauh aktif, pulsa microwave ditembakkan kepada sebuah target dan refleksinya diukur
untuk mempelajari karakteristik target. Sebagai contoh aplikasi adalah Tropical Rainfall
Measuring Mission’s (TRMM) Microwave Imager (TMI), yang mengukur radiasi microwave
yang dipancarkan dari atmosfer bumi untuk mengukur penguapan, kandungan air di awan
dan intensitas hujan.
Infrared : Radiasi infrared (IR) bisa dipancarkan dari sebuah obyek ataupun dipantulkan
dari sebuah permukaan. Pancaran infrared dideteksi sebagai energi panas dan disebut
thermal infrared. Energi yang dipantulkan hampir sama dengan energi sinar nampak dan
disebut dengan reflected IR atau near IR karena posisinya pada spektrum elektromagnetik
berada di dekat sinar nampak. Panjang gelombang radiasi infrared berkisar antara 0.7 –
300 ųm, dengan spesifikasi: near IR atau reflected IR: 0.7 – 3 ųm, dan thermal IR: 3 – 15 ųm
Untuk aplikasi Penginderaan Jauh untuk lingkungan hidup menggunakan citra Landsat,
Reflected IR pada band 4 (near IR), band 5, 7 (Mid IR) dan thermal IR pada band 6,
merupakan karakteristik utama untuk interpretasi citra.
Visible : Posisi sinar nampak pada spektrum elektromagnetik adalah di tengah. Tipe energi
ini bisa dideteksi oleh mata manusia, film dan detektor elektronik. Panjang gelombang
berkisar antara 0.4 to 0.7 ųm. Perbedaan panjang gelombang dalam kisaran ini dideteksi
oleh mata manusia dan oleh otak diterjemahkan menjadi warna.
Ultraviolet, X-Ray, Gamma Ray: Radiasi ultraviolet, X-Ray dan Gamma Ray berada dalam
urutan paling kiri pada spektrum elektromagnetik. Tipe radiasinya berasosiasi dengan
energi tinggi, seperti pembentukan bintang, reaksi nuklir, ledakan bintang. Radiasi UV bisa
dideteksi oleh film dan detektor elektronik, sedangkan X-ray dan Gamma-ray diserap
sepenuhnya oleh atmosfer, sehingga tidak bisa diukur dengan Penginderaan Jauh.
Sistim penginderaan jauh mencakup beberapa komponen utama yaitu: (1). Sumber energi;
(2). Sensor sebagai alat perekam data; (3). Stasiun bumi sebagai pengendali dan penyimpan data;
(4). Fasilitas pemrosesan data; (5). Pengguna data. Secara diagramatik diperlihatkan pada gambar
6-5. Sumber energi yang umum dipergunakan dalam sistim penginderaan jauh yang operasional
saat ini adalah dari matahari yang dikenal sebagai “passive sensing” sebaliknya sistim “active
sensing” dipakai dalam sistim “imaging radar”.
Sensor yang dapat digunakan untuk perekam data dapat berupa multispectral scanner,
vidicon atau multispectral camera. Rekaman data pada umumnya disimpan sementara di dalam
alat perekam yang ditempatkan di satelit kemudian dikirimkan secara telemetri ke stasiun
penerima bumi sebagai data mentah (raw data). Di stasiun bumi data mengalami pemrosesan awal
(pre-processing) seperti proses kalibrasi radiometri, koreksi geometri sebelum dikemas dalam
bentuk format baku yang siap untuk dipakai pengguna (users). Pengguna data pada umumnya
adalah masyarakat umum dengan tidak ada pengecualian apakah militer, sipil, instansi pemerintah
atau swasta. Pemesanan dapat dilakukan langsung kepada stasiun penerima (user services) atau
melalui agen/distributor lain.
Data penginderaan jauh pada umumnya berbentuk data digital yang merekam unit terkecil
di dalam sistim perekam data. Unit terkecil ini dikenal dangan nama pixel (picture element) yang
berupa koordinat 3 dimensi (x,y,z). Koordinat x,y menunjukkan lokasi unit tersebut dalam
koordinat geografi dan y menunjukkan nilai intensitas pantul dari unit dalam tiap selang panjang
gelombang yang dipakai. Nilai intensitas pantul berkisar antara 0 – 255 dimana 0 merupakan
intensitas terrendah (hitam) dan 255 intensitas tertinggi (putih). Ukuran pixel berbeda tergantung
pada sistim yang dipakai, menunjukkan ketajaman/ketelitian dari data penginderaan jauh, atau
yang dikenal dengan resolusi spasial. Makin besar nilai resolusi spasial suatu data makin kurang
detail data tersebut dihasilkan, sebaliknya makin kecil nilai resolusi spasial makin detail data
tersebut dihasilkan seperti dapat dilihat pada gambar 6-5.
Gambar 6-5. Gambaran perbedaan nilai resolusi spasial data penginderaan jauh.
Selain resolusi spasial data penginderaan jauh mengenal suatu istilah lain yaitu resolusi spektral.
Data penginderaan jauh yang menggunakan satu “band” pada sensornya hanya akan memberikan
satu data intensitas pantul pada tiap pixel. Apabila sensor menggunakan 5 band maka data pada
tiap pixel akan menghasilkan 5 nilai intensitas yang berbeda. Dengan menggunakan banyak band
(multiband) maka pemisahan suatu obyek dapat dilakukan lebih akurat berdasarkan nilai intensitas
yang khas dari masing-masing band yang dipakai. Sebagai ilustrasi resolusi spektral diperlihatkan
pada gambar 6-6.
Karena data penginderaan jauh berupa data digital maka penggunaan data memerlukan
suatu perangkat keras dan lunak khusus untuk pemrosesannya. Komputer PC dan berbagai
software seperti ERMapper, ILWIS, IDRISI, ERDAS, PCI, ENVI dsb dapat dipergunakan sebagai
pilihan. Untuk keperluan analisis dan interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara: (1).
Pemrosesan dan analisis digital dan (2). Analisis dan interpretasi visual. Kedua metoda ini
mempunyai keunggulan dan kekurangan, seyogyanya kedua metoda dipergunakan bersama-sama
untuk saling melengkapi.
Pemrosesan digital berfungsi untuk membaca data, menampilkan data, memodifikasi dan
memproses, ekstraksi data secara otomatik, menyimpan, mendesain format peta dan mencetak.
Sedangkan analisis dan interpretasi visual dipergunakan apabila pemrosesan data secara digital
tidak dapat dilakukan dan kurang berfungsi baik. Pemrosesan secara digital lain sangat bervariasi
seperti misalnya deteksi tepi (edge enhancements), filtering, histogram transformations, band
ratioing, Principle Component Analysis (PCA), Classifications, penggunaan formula dan sebagainya.
Disamping pemrosesan digital suatu metoda lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah
pemrosesan, interpretasi dan analisis secara visual. Cara seperti ini dilakukan seperti halnya
diterapkan dalam interpretasi potret udara konvensional yang telah lama dilakukan sebelum era
citra satelit diperkenalkan.
Parameter interpretasi seperti pengenalan obyek berdasarkan bentuk, ukuran, pola dan
tekstur topografi, struktur, rona warna dan sebagainya dipergunakan dalam mengenal dan
membedakan obyek / benda antara satu dengan yang lain. Dalam bidang geologi interpretasi visual
memegang peran sangat penting karena obyek-oyek geologi sukar sekali dipisahkan melalui
pemrosesan secara digital.
Penginderaan Jauh multispectral menggunakan sebuah radiometer yang berupa deretan dari
banyak sensor, yang masing masing peka terhadap sebuah channel atau band dari panjang
gelombang tertentu. Data spektral yang dihasilkan dari suatu target berada dalam kisaran level
energi yang ditentukan. Radiometer yang dibawa oleh pesawat terbang atau satelit mengamati
bumi dan mengukur level radiasi yang dipantulkan atau dipancarkan dari benda-benda yang ada di
permukaan bumi atau pada atmosfer. Karena masing masing jenis permukaan bumi dan tipe
partikel pada atmosfer mempunyai karakteristik spectral yang khusus (atau spectral signature)
maka data ini bisa dipakai untuk menyediakan informasi mengenai sifat target.
Pada permukaan yang rata, hampir semua energi dipantulkan dari permukaan pada suatu
arah, sedangkan pada permukaan kasar, energi dipantulkan hampir merata ke semua arah. Pada
umumnya permukaan bumi berkisar diantara ke dua ekstrim tersebut, tergantung pada kekasaran
permukaan. Contoh yang lebih spesifik adalah pemantulan radiasi EM dari daun dan air. Sifat
klorofil adalah menyerap sebagian besar radiasi dengan panjang gelombang merah dan biru dan
memantulkan panjang gelombang hijau dan near IR. Sedangkan air menyerap radiasi dengan
panjang gelombang nampak tinggi dan near IR lebih banyak daripada radiasi nampak dengan
panjang gelombang pendek (biru). Pengetahuan mengenai perbedaan spectral signature dari
berbagai bentuk di permukaan bumi memungkinkan kita untuk menginterpretasi citra.
Ada dua tipe deteksi yang dilakukan oleh sensor: deteksi pasif dan aktif. Banyak bentuk
Penginderaan Jauh yang menggunakan deteksi pasif, dimana sensor mengukur level energi yang
secara alami dipancarkan, dipantulkan, atau dikirimkan oleh target. Sensor ini hanya bisa bekerja
apabila terdapat sumber energi yang alami, pada umumnya sumber radiasi adalah matahari,
sedangkan pada malam hari atau apabila permukaan bumi tertutup awan, debu, asap dan partikel
atmosfer lain, pengambilan data dengan cara deteksi pasif tidak bisa dilakukan dengan baik.
Contoh sensor pasif yang paling dikenal adalah sensor utama pada satelit Landsat, Thematic
Mapper, yang mempunyai 7 band atau 7 channel. Sedangkan pada deteksi aktif, Penginderaan
Jauh menyediakan sendiri sumber energi untuk menyinari target dan menggunakan sensor untuk
mengukur refleksi energi oleh target dengan menghitung sudut refleksi atau waktu yang
diperlukan untuk mengembalikan energi. Keuntungan menggunakan deteksi pasif adalah
pengukuran bisa dilakukan kapan saja. Akan tetapi sistem aktif ini memerlukan energi yang cukup
besar untuk menyinari target. Sebagai contoh adalah radar Dopler, sebuah sistem ground-based,
radar presipitasi pada satellite Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), yang merupakan
spaceborne pertama yang menghasilkan peta 3-D dari struktur badai.
Penafsiran geologi melalui citra satelit merupakan suatu pekerjaan analisa yang didasarkan
kepada gambar permukaan bumi yang terekam oleh citra satelit, sedangkan informasi geologi
dapat diketahui berdasarkan hubungan antara geologi dengan obyek gambar yang tidak lain adalah
hasil radiasi dan emisi energi elektromagnetik. Penafsiran citra adalah suatu teknik membaca
sejumlah informasi serta melakukan analisa geologi diatas selembar citra. Hal yang terpenting
dalam mengenal obyek-obyek geologi sebagai kunci adalah menentukan mana informasi yang
bersifat pasti dan mana yang diperkirakan. Hal ini diperlukan karena setiap permasalahan yang
timbul dari hasil analisa, maka prosedur yang harus ditempuh adalah kembali lagi ke sumber data
aslinya sehingga dapat dilakukan analisa ulang. Unsur unsur dasar penafsiran citra secara visual
dapat dilihat pada Tabel 6-1.
Proses identifikasi, pemetaan, korelasi dan penafsiran geologi dari citra adalah suatu
pekerjaan yang sangat rumit dan komplek. Dan pekerjaan ini membutuhkan kesabaran dalam
membuat keputusan, dan kemampuan melakukan evaluasi yang bermakna dari berbagai jenis
informasi yang berbeda beda. Dengan demikian, penafsiran geologi dari citra harus didekati secara
integral dimana penafsiran geologi hanya dapat dicapai jika seluruh perhatian dicurahkan pada
kenampakan dan penyebaran singkapan, struktur geologi detail, bentangalam, drainase, vegetasi,
soil, dan kadangkala mempertimbangkan juga kenampakan areal pemukiman, tataguna lahan
maupun sebaran dari populasi penduduk. Dan seorang ahli geologi bidang penginderaan jauh
minimal harus mempunyai pengetahuan mengenai ilmu pedologi, botani maupun geografi.
Pada umumnya dalam sebuah foto/citra terdapat beberapa inter-relasi yang sangat erat
antara sejumlah faktor dan unsur-unsurnya. Hal ini mengharuskan seorang ahli geologi bidang
penginderaan jauh dapat memilah-milah unsur-unsur yang cukup banyak, meng-identifikasi
masing-masing unsur, dan mengetahui hubungan diantara unsur tersebut, mengkompilasi seluruh
data yang terkumpul untuk membuat peta, dan penafsirkannya kedalam geologi. Selama proses
mengenal dan menafsir unsur-unsur kenampakan geologi sudah tentu akan melibatkan kelompok
subyek yang berbeda. Sedapat mungkin pertimbangan harus dilakukan sebelum pemisahan
ditentukan dan setiap waktu akan menjadi satu catatan tersendiri bahwa akan terjadi beberapa
unsur yang berasosiasi sangat erat dan saling tumpang tindih (overlap). Hal ini juga menjadi jalan
keluar bahwa kehadiran dari kenampakan unsur-unsur geologi secara relatif tidak mengindikasikan
sesuatu yang penting pada setiap unsur geologi yang teramati pada citra.
Dalam beberapa kasus, struktur geologi direfleksikan oleh penyesuaian topografi terhadap
jenis batuan dan struktur. Beberapa contoh yang sering dijumpai adalah antara lain: punggungan
bukit dari jurus perlapisan batuan, perbukitan antiklin dan kubah, sinklin dan cekungan depresi
(low lands) atau lembah, gawir sesar, dataran pantai, bukit intrusi dike, cinder cone (kerucut
gunungapi), plateau lava. Secara umum untuk mengenali dan menafsirkan kenampakan tersebut
pada citra tidak begitu sulit. Analisa dan identifikasi detail dan satuan pemetaan geomorfologi,
berdasarkan pada bentuk alam darat, litologi, struktur dan proses.
Perbedaan citra dari peta topografi tentu terletak pada kualitas dan kejelasan “feature” alam
yang diamati. Kelurusan akan tampak lebih jelas dan lebih detail bahkan pada daerah yang
kelihatan mulus pada peta topografi. Begitu pula sungai-sungai lebih tampak jelas, mana yang
berair mana yang berupa lembah kering. Selain itu pola kontur pada peta topografi akan tampak
lebih bervariasi dan lebih detail pada citra, yang selain akan berupa variasi litologi juga berupa
tutupan vegetasi, lingkungan binaan manusia, dan lainnya. Dalam interpretasi citra (dalam bentuk
cetakan/paper print), hal yang paling penting adalah mengamati karakter-karakter citra yang
muncul pada hasil cetakan (fotomorfik), yaitu rona warna, pola, tekstur, bentuk, ukuran, bayangan,
dan situasi geografi.
a. Rona Warna (Tone) adalah suatu ukuran dari jumlah relatif sinar yang dipantulkan oleh suatu
obyek dan direkam oleh citra. Umumnya berupa warna palsu (false color composite); misalnya
daerah hutan yang seharusnya berwarna hijau, pada citra warna akan tampak berwarna
merah atau lainnya (tergantung pada band gelombang yang dipilih). Warna adalah suatu
pengenalan unsur yang mungkin dapat sangat bermanfaat, jika tidak bermanfaat, untuk
keperluan dalam kriteria penafsiran Cetakan foto/citra yang berbeda kemungkinan dapat juga
memberikan warna atau rona yang berbeda walau pada objek yang sama.
b. Bentuk (Shape) adalah salah satu unsur/elemen didalam penafsiran geologi, terutama dalam
arti yang lebih luas sangat berarti, karena ekspresi topografi atau relief topografi akan
memberikan pandangan yang lebih luas dalam hubungan masing-masing bentuk dalam kontek
ilmu geologi. Dalam hal ini bentuk sangat penting untuk mengenal bentuk bentangalam
konstruksional seperti kerucut gunungapi, kubah, teras sungai, meander sungai. Bentuk juga
sangat penting untuk membedakan satuan batuan seperti misalnya formasi batuan yang
berbentuk pungggung yang terjal dengan formasi batuan yang berbentuk bukit yang landai.
Pada umumnya banyak kenampakan geologi dapat diidentifikasi terutama dari bentuknya
saja. Beberapa contoh seperti struktur kubah yang tererosi, Cinder cones, sand dunes, kipas
aluvial, dan lipatan yang menunjam. Bentuk kipas aluvial yang tersusun dari endapan yang
tidak terkonsolidasi relatif mudah dikenal dari bentuknya yang menyerupai kipas. Pada
umumnya bentuk asli dari endapan kipas aluvial masih belum lapuk dan belum mengalami
kerusakan oleh proses tererosi atau ditutupi oleh endapan lainnya. Perbedaan erosi dapat
dipertimbangkan sebagai kunci dalam mengenal dan mengidentifikasi lapisan batuan. Secara
umum batuan yang resisten terhadap erosi akan membentuk bentangalam yang lebih
menonjol atau topografi yang lebih tinggi dibandingkan dengan batuan yang kurang resisten
terhadap erosi dan biasanya membentuk lembah (topografi yang lebih rendah). Contoh
batupasir yang berbentuk bukit dan serpih yang berbentuk lembah.
Apabila korelasi antara litologi dan topografi tidak mencerminkan kondisi resistensi batuan,
seperti misalnya pergeseran yang disebabkan oleh suatu patahan dimana batuan yang kurang
resisten membentuk topografi yang tinggi (bukit) dan batuan yang resisten disebelahnya
membentuk topografi yang lebih rendah. Jika batuan dapat diidetifikasi dengan kriteria lain,
maka hubungan antara keberadaan topografi terbalik (reverse topography) dan litologi dapat
diidentifikasi.
Suatu lipatan yang menunjam yang melibatkan beberapa perlapisan yang resistensi batuannya
berbeda seringkali diperlihatkan oleh bukit dan lembah yang berbentuk zig zag. Apabila
lipatan tidak menunjukkan menunjaman maka lembah dan bukit akan berbentuk sejajar atau
paralel. Jenjang gunungapi (volcanic neck) adalah satu contoh batuan yang sangat resisten
yang berada pada bagian inti (pipa gunungapi) yang tersisa karena badan gunungapinya telah
sepenuhnya tererosi. Di beberapa tempat dibumi sering dijumpai kenampakan suatu bukit
yang terisolasi yang berdiri sendiri dan disekelilingnya terdapat endapan material hasil
peneplenisasi. Bentuk sisa bukit yang terisolasi seperti ini disebut dengan monadnocks.
Intrusi batuan beku dapat berbentuk seperti dinding tembok yang berbentuk bukit dan
biasanya melintang dan memotong daerah sekitarnya. Zona patahan seringkali diekspresikan
dalam bentuk topografi positif sehingga seringkali membingungkan dengan kenampakan dyke.
Topografi yang relatif lebih tinggi pada suatu zona patahan seringkali dapat dijelaskan oleh
bukti bahwa disepanjang zona patahan mengalami silisifikasi karena adanya pengendapan air
bawah tanah dimana konsentrasi silika lebih resisten terhadap erosi dibandingkan dengan
batuan yang ada diselilingnya.
Bentangalam juga sangat penting di dalam mengenal dan memetakan sejumlah struktur
geologi. Sebagai contoh adalah serangkaian perbukitan dan lembah yang terbentuk oleh
perselingan antara satuan batuan yang resisten dan yang tidak resisten mungkin akan berakhir
secara tiba-tiba disepanjang suatu garis linear. Garis semacam ini seringkali ditafsirkan sebagai
jejak dari suatu patahan.
c. Pola (Pattern) adalah susunan ruang beberapa objek alam dalam urutan dan susunan
tertentu, misalnya pola belang-belang selang-seling antara punggungan pasir di pantai dengan
rawa belakang, pola perkebunan karet yang lurus dan teratur, pola aliran sungai, pola
lingkungan binaan manusia, dan sebagainya.
d. Texture (Tekstur) didefinisikan oleh Colwell (1952, p.358) sebagai frekuensi perubahan rona
warna di dalam gambar / citra dan dihasilkan dari satu agregat dari satu satuan kenampakan
obyek yang masing-masing individunya sulit untuk dipisahkan di atas foto. Tekstur (Textures)
adalah kekasaran suatu objek pada hasil cetakan. Misalnya daerah padang rumput akan
tampak halus dibandingkan dengan hutan heterogen, atau daerah batu lempung akan tampak
lebih halus dibandingkan dengan daerah endapan volkanik, walaupun mungkin mempunyai
rona yang sama.
e. Ukuran (Size) adalah dimensi volume objek yang diamati dalam tiga dimensional. Secara
praktis dapat diperkirakan dengan membandingkan terhadap objek yang telah dikenal; atau
dengan membandingkan terhadap peta topografi daerah yang sama (jika tersedia).
Seringkali suatu patahan dicirikan oleh suatu kelurusan yang dikenal sebagai lineament. Pada
dasarnya lineament itu sendiri tidak selalu berbentuk garis lurus (linear). Suatu patahan yang besar
dapat memberikan bentuk yang linear dan sangat tipis, terutama apabila patahan itu terjadi di
daerah yang morfologinya berbukit bukit atau berupa dataran aluvial.
Kelurusan itu sendiri tidak selalu berkaitan dengan patahan dan tidak dapat dipakai sebagai
bukti adanya patahan. Jadi hanya kelurusan-kelurusan yang diakibatkan oleh pergerakan tektonik
saja yang dapat menunjukan suatu kenampakan tertentu yang bisa dipakai sebagai indikator suatu
patahan atau sesar.
Adanya perbedaan jejak-jejak lapisan dapat dikembangkan untuk mengenal suatu patahan,
yaitu:
c. Jejak perlapisan yang membentuk sudut lancip (acute angel of bedding trace).
Jejak lapisan membentuk sudut Lancip. Pertemuan jejak lapisan yang membentuk sudut
lancip dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan suatu sesar naik atau lipatan
rebah.
e. Jejak perlapapisan yang menghilang pada satu sisi (no pattern on one side of bedding
trace).
Pola jejak-jejak lapisan yang berbeda.Pola perlapisan yang berbeda kenampakannya pada
salah satu sisi lineament. Adanya perbedaan pola lapisan juga dapat sebagai petunjuk
adanya suatu ketidak selarasan (unconformity).
Contoh mengenal dan menafsir patahan pada citraberdasarkan pola jejak jejak perlapisan:
Gambar 6-8. Patahan / sesar (F) yang ditafsirkan atas dasar tidak menerusnya
jejak-jejak lapisan dan adanya pergeseran jejak-jejak lapisan (succession of
break and displaced of structural pattern).
Gambar 6-10. Patahan (F2) ditafsirkan atas dasar jejak-jejak lapisan yang
terputus atau tidak menerusnya jejak lapisan oleh suatu kelurusan
(succession of breaks of bedding trace).
Perbedaan arah kemiringan dan inklinasi pada daerah yang berdampingan dapat dipakai
petunjuk adanya suatu patahan (sesar) diantara kedua daerah tersebut.
Inklinasi besar
Inklinasi kecil
Napal
Batupasir
Batugamping
Konglomerat
Lempung
B. Struktur Perlipatan
Kenampakan suatu lapisan batuan pada citra merupakan informasi kunci yang sangat
penting untuk mengetahui suatu bentuk lipatan. Analisa jenis lipatan akan menjadi lebih akurat
lagi, terutama pada satuan batuan yang homogen sudut kemiringan lapisannya tampak jelas di
kedua sayapnya.
Kasus ini seringkali dijumpai pada citra, penelusuran perlapisan tidak melibatkan gawir-gawir
lapisan tertentu. Pada daerah yang relatif agak datar, seperti perbukitan dengan daerah dataran
aluvial umumnya sering dijumpai. Kedua lipatan baik sinklin maupun antiklin dapat diketahui dari
citra (gambar 6-16).
Gambar 6-15. Kenampakan pola perlapisan yang berbentuk oval atau berbentuk
sepatu (shoeshape) menjadi ciri dari struktur lipatan.
Gambar 6-16. Kenampakan pola perlapisan yang berbentuk oval yang mencirikan
pola struktur antiklin disertai dengan kubah garam /saltdome (bagian
kiri citra) dan bagian tengah adalah struktur sinklin berdasarkan
suksesi lapisan dimana punggungan bukit dengan daerah dataran
aluvial, bagian kanan struktur antiklin dengan pola punggungan
punggungan bukit paralel.
Warna/rona merupakan unsur yang paling dominan digunakan untuk mengenali persebaran
batuan atau mendeliniasi dalam penafsiran visual ini. Tampilan citra yang komposit akan lebih
mempermudah untuk mengenali satuan batuan. Citra komposit merupakan citra yang mampu
memperlihatkan perbedaan informasi geologi maupun geografi yang sangat jelas dan citra
komposit ini telah dibuktikan sebagai citra yang paling baik untuk pemetaan fenomena geologi.
Penarikan (deliniasi) batas sebaran batuan (litologi) atau satuan batuan pada citra dapat
dilakukan dengan mendasarkan sifat-sifat dari fotomorfik citra, yaitu antara lain mendasarkan pada
kenampakan rona warna yang sama, tekstur yang sama, pola atau bentuk yang sama, atau
berdasarkan hubungan diantara asosiasi rona warna, tekstur dan bentuk obyek geologi di dalam
citra. Berikut ini beberapa contoh penarikan (deliniasi) batas persebaran batuan atau satuan
batuan yang tampak pada suatu citra, yaitu :
2. Penarikan batas dan penyebaran batuan berdasarkan rona warna dan tekstur
Gambar 6-18. Penarikan batas dan sebaran batuan berdasar pada rona
warna dan tekstur.
3. Penarikan batas dan penyebaran satuan batuan berdasarkan rona warna, tekstur, dan
jejak-jejak lapisan.
Gambar 6-20. Penarikan (deliniasi) batas dan sebaran batuan berdasar kepada
tekstur yang tampak pada citra SRTM. Satuan batuan A berbeda dengan satuan
batuan B dan C. Perbedaan ini didasarkan pada kenampakan citra dimana batuan A
bertekstur kasar, batuan B tampak bertekstur sedang, sedangkan batuan C
memperlihatkan tekstur citra yang sangat kasar. Batas A , B dan C juga dapat ditafsir
sebagai batas sesar dengan indikasi kemiringan (inklinasi) lapisan yang berbeda.
Gambar 6-21. Penarikan batas dan sebaran batuan berdasar kepada tekstur dan rona
warna. Pada citra hanya ada 2 rona warna yang dapat kita identifikasi, yaitu warna
hijau daun dan hijau tosca, sedangkan berdasarkan kenampakan teksturnya dapat
dibagi menjadi 3 satuan batuan. yaitu batuan A memperlihatkan tekstur yang halus,
batuan B bertekstur sedang dan batuan C bertekstur kasar.
Metoda penafsiran dapat dibagi menjadi beberapa tahap atau tingkatan dari suatu proses
pekerjaan. Ada beberapa perbedaan teknis yang terdapat dalam penafsiran citra, misalnya dalam
mengidentifikasi bentuk topografi atau mengenal struktur patahan atau sumbu lipatan di atas
selembar citra. Untuk yang pertama dapat dilakukan oleh orang yang dilatih dalam kurun waktu
tertentu, sedangkan untuk yang kedua, hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai latar
belakang geologi.
Gambar 6-22 adalah diagram alir proses penafsiran citra untuk pemetaan geologi secara
visual, yang diawali dengan tahap penafsiran awal yang didukung oleh data geologi sekunder dan
pengecekan lapangan untuk beberapa lokasi terpilih. Tahap analisis dilakukan setelah tahap awal
selesai yang didukung oleh data lapangan. Validasi data lapangan dilakukan dari hasil analisa
laboratorium.
Citra Satelit
Tahap Analisis
Peta Geologi
Gambar 6-22. Diagram alir proses penafsiran citra satelit untuk pemetaan geologi
Proses penafsiran dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian pertama adalah tahap dasar
dan kedua adalah tahap analisis. Pada tahap pertama diperlukan kesepakatan terlebih dahulu oleh
semua penafsir mengenai informasi kunci yang ada di dalam citra sebagai suatu fakta yang
dibuktikan di lapangan dan dipakai sebagai bukti untuk analisa geologi pada tahap analisis.
Pada tahap analisis, kemampuan penafsir sangat besar dibandingkan pada tahap pertama.
Sebagai contoh, sumbu lipatan biasanya tidak terlihat di dalam citra, namun demikian seorang
penafsir harus mengetahui keberadaan dari sumbu lipatan tersebut dan dapat menentukan
dimana lokasi sumbu lipatan tersebut berada, yaitu dengan melihat sejumlah tanda dari perlapisan
batuan secara sintetik.
Pengetahuan yang memadai serta pengalaman geologi lapangan sangat membantu untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebagai contoh hasil dari setiap penafsiran dapat dilihat
pada gambar 6-23, 6-24, 6-25, 6-26 dan 6-27. Gambar tersebut merupakan gambar hasil penafsiran
citra SPOT di daerah Pamekasan Madura.
TAHAP ANALISA
Step Pertama Mencari penyebaran batuan dan struktur geologi (peta struktur hasil
penafsiran dan peta penyebaran batuan hasil penafsiran)
Step Kedua Menyiapkan peta penyebaran batuan dan penampang geologi
Step Pertama : Pada tahap ini hanya fakta-fakta yang berhubungan dengan geologi saja yang
dipilih dan diambil sebagai bukti yang terlihat pada citra, sebagai contoh adalah seperti yang
diperlihatkan pada gambar 6-23. Bukti-bukti inilah yang kemudian oleh penafsir dipakai untuk
menganalisa struktur geologi serta penyebaran batuan. Titik-titik kunci ini harus terlebih dahulu di
cek di lapangan untuk lebih meyakinkan dalam melakukan penafsiran.
Step Kedua : Semua kenampakan pada citra yang mempunyai hubungan dengan geologi harus
diambil dan data datanya boleh dimasukan meskipun kenampakan geologinya kurang baik. Hal
yang terpenting pada tahap ini adalah menghubungkan bidang-bidang perlapisan yang sama yang
pada akhirnya akan menghasilkan suatu gambaran dari bentuk-bentuk struktur geologi maupun
penyebaran batuan dalam citra (gambar 6-24)
Tahap Analisis
Step Pertama : Pada tahap ini penyebaran batuan dan struktur geologi di analisa. Data yang
dipakai adalah data yang berasal dari hasil penafsiran tahap awal, sedangkan yang menjadi pokok
permasalahan adalah struktur geologi dan batuan (stratigrafi). Proses penafsiran struktur geologi
diperlihatkan pada gambar 6-25 dimana patahan dapat diketahui dari bentuk pola penyebaran
lapisan batuan yang tidak menerus. Adanya kelurusan (lineament) dapat juga dipakai sebagai
indikator suatu patahan yaitu apabila jejak-jejak perlapisan (bedding trace) pada kedua sisi
lineament tersebut membentuk suatu anomali. Perlipatan dapat dikenali dari bentuk-bentuk pola
perlapisannya, misalnya pola perlapisan yang berbentuk oval (shoe shape) biasanya merupakan ciri
dari suatu struktur lipatan yang menunjam. Arah kemiringan lapisan pada salah satu sayap lipatan
dapat dipakai sebagai bukti untuk mengetahui apakah lipatan tersebut berupa sinklin atau antiklin.
Informasi mengenai jenis atau macam batuan dapat diketahui berdasarkan warna yang terlihat
pada citra. Sebagaimana diketahui bahwa gambar spektral yang ada pada citra satelit sangat
dipengaruhi oleh kondisi permukaan bumi sehingga ada hubungan antara kondisi permukaan bumi
dengan jenis batuan. Dengan demikian batuan dapat dikenali dan ditelusuri berdasarkan
penyebaran warna yang terlihat di dalam citra dan hal ini dikenal sebagai salah satu metoda analisa
dalam penginderaan jauh.
Gambar 6-27 memperlihatkan proses penafsiran batuan. Pada citra, tanah yang tidak bervegetasi
(bare soil) akan terlihat berwarna kuning keputihan dan batuan berwarna hijau sedangkan hutan
berwarna merah. Susunan warna yang ada pada citra umumnya dipengaruhi oleh warna yang
berasal dari penggunaan lahan buatan (landuse), sehingga dalam melakukan penafsiran harus
diperhatikan dengan seksama unsur unsur geologi yang dapat diamati pada citra.
Step Kedua : Pada tahap ini akan dihasilkan suatu peta geologi sementara. Informasi tatanan
batuan (stratigrafi) yang bisa di dapat dari citra sangat terbatas sekali, sehingga data yang berasal
dari peta geologi atau data hasil studi geologi regional dapat dipakai sebagai acuan. Batas batuan
yang terlihat dalam citra harus dibandingkan dengan stratigrafi yang ada pada peta geologi. Nama
Formasi atau kelompok batuan yang berasal dari lokasi tipe sangat dibutuhkan pada proses
penafsiran.
Tujuan utama pada tahap analisa adalah melakukan suatu analisa yang baru atau meningkatkan
arti data yang berasal dari citra. Survei lapangan pada daerah yang belum diteliti akan memakan
waktu yang lebih lama, namun demikian metoda pemetaan yang menggunakan teknik
penginderaan jauh akan lebih cepat dan keakuratan hasil penafsiran tetap terjaga.
Gambar 6-23. Citra SPOT HRV, Band 3,2,1 (R,G,B) Daerah Pamekasan
Madura, Jawa Timur
Gambar 6-24. Unsur-unsur yang ditafsirkan disini adalah unsur-unsur yang terlihat dalam citra dan
yang dipakai sebagai dasar dalam geologi. Dari data citra SPOT HRV Band 1,2,3 = B, R, G terlihat
dengan jelas bentuk dan pola penyebaran batuan, sehingga dapat dideliniasi penyebaran.
Gambar 6-25. Unsur-unsur geologi yang terpilih pada step pertama sedapat mungkin dihubungkan
dengan bentuk-bentuk yang mempunyai pola yang sama. Pola pola yang terbentuk dari hasil
korelasi jejak lapisan ini sangat penting untuk analisa struktur geologi
Gambar 6-26. Patahan / sesar dianalisa berdasarkan perbedaan jejak lapisan. Adanya beberapa
jenis batuan dapat diketahui berdasarkan kenampakan spektral yang berbeda. Penentuan adanya
patahan didasarkan atas warna yang berbeda atau jejak lapisan yang tidak menerus. Struktur
lipatan diketahui berdasarkan pola dari jejak-jejak lapisan dan besarnya arah penunjaman
ditentukan oleh bentuk struktur antiklin dan struktur sinklin.
Gambar 6-27. Satuan batuan yang homogen ditentukan berdasarkan kenampakan rona warna
(spektral) yang ada dalam citra. Informasi struktur geologi secara sintetik dapat untuk menentukan
batas batuan.
Morfologi yang dibentuk oleh tumbukan lempeng pada citra satelit dapat dilihat melalui
bentuk(shape), tekstur, dan polanya yang secara visual terekspresikan pada citra. Pada gambar 6-
24 sampai dengan gambar 6-29 disajikan ekspresi dari pola dan bentuk yang mewakili batuan-
batuannya, sedangkan lineament-lineament (kelurusan-kelurusan) pada citra mewakili struktur-
struktur sesar dan umumnya merupakan batas antar batuan.
Pada gambar 6-29 hingga gambar 6-31 memperlihatkan bentangalam tektonik (morfologi
perlipatan dan patahan) yang merupakan tipe yang umum dari deformasi tektonik. Pada umumnya
bentangalam tektonik diekpresikan oleh adanya perbedaan relief yang cukup signifikan sehingga
memungkinkan adanya perbedaan ekosistem.
Sebagai contoh, pegunungan yang berada pada iklim semi-arid akan tampak pada citra
vegetasi yang lebat (bertona gelap pada citra band sinar tampak) dan pada cekungan yang
berdekatan memperlihatkan tona yang terang. Dengan demikian kekontrasan akan tampak jelas
pada citra hitam-putih. Terrain pegunungan terlihat dengan jelas pada Landsat, HCMM, dan citra
Radar melalui bayangannya yang disebabkan oleh variasi tona yang berhubungan dengan
kelerengan / posisi matahari.
Gambar 6-32 (kiri) adalah morfologi “hogbag” yang merupakan bagian dari bentangalam
tektonik yang terdapat di pegunungan Rocky Colorado, USA. Gambar tersebut diambil dari udara
melaui kockpit pesawat. Pada gambar tampak morfologi “hogbag” dicirikan oleh perbukitan
berbentuk linear dengan kemiringan lapisan batuannya yang curam. Pada gambar tampak juga
adanya pergeseran bukit (offset) yang menandai adanya patahan/sesar. Gambar 10-32 (kanan)
adalah kenampakan morfologi tektonik yang diambil dari satelit dimana morfologi “hogbag”
merupakan bagian dari jalur pegunungan lipatan “Rocky Mountains”.
Gambar 6-32 Kenampakan morfologi perlipatan dan patahan yang terbentuk oleh tumbukan lempeng
Gambar 6-33 adalah morfologi tektonik yang terdapat di pegunungan Zagros, Iran yang
tersusun dari perlipatan batuan sedimen berupa sinklin-antiklin. Pola perlipatan tampak dengan
jelas melalui bentuk dan pola lipatan sinklin dan antiklinnya yang berbentuk “shoe shape”.
Kemiringan lapisan batuannya dapat dikenali melalui bentuk “flat iron” (bentuk-bentuk segitriga).
Adapun tipe perlipatannya berbentuk lipatan sungkup, dengan pola sebaran berbentuk
ellipsoide. Gambar 6-34 adalah citra yang memperlihatkan jalur pegunungan Appalachian dengan
segmen yang cukup luas. Pada citra tampak beberapa bentuk perbukitan lipatan yang saling
menutup dengan skala yang lebih kecil. Sebagaimana diketahui bahwa pegunungan Appalachian
merupakan pegunungan yang terkenal dan terbentuk sebagai hasil orogenesa.
Gambar 6-35 Citra Landsat yang memperlihatkan sebagian dari sayap pegunungan di bagian
barat Pakistan yang merupakan pegunungan lipatan hasil tumbukan yang kuat antara sub-kontinen
India dan Asia Selatan. Pada citra diperlihatkan jalur pegunungan lipatan Sulaiman yang berupa
offset antiklin (beberapa tertutup), menghasilkan perbukitan (lembah mendatar ditempati
perulangan sinklin). Sesar Kingri memotong pada bagian tengah citra (terlihat dengan adanya garis
yang tidak kontinu). Blok kearah barat (kiri) bergerak relative ke arah utara terhadap blok dibagian
timur.
Gambar 6-35. Citra Landsat yang memperlihatkan sebagian dari sayap pegunungan di
bagian barat Pakistan yang merupakan pegunungan lipatan hasil tumbukan yang kuat
antara sub-kontinen India dan Asia Selatan. Pada citra diperlihatkan jalur pegunungan
lipatan Sulaiman yang berupa offset antiklin (beberapa tertutup), menghasilkan
perbukitan (lembah mendatar ditempati perulangan sinklin). Sesar Kingri memotong
pada bagian tengah citra (terlihat dengan adanya garis yang tidak kontinu). Blok kearah
barat (kiri) bergerak relative ke arah utara terhadap blok dibagian timur.
Pemetaan pada daerah pantai dan pesisir sulit dilakukan karena sukarnya diperoleh
singkapan batuan, asesibilitas sukar (rawa pantai) dan mahal karena sebagian besar harus
dilakukan melalui survei bawah permukaan (geofisika dan pemboran). Sebaliknya daerah pantai
dan pesisir merupakan wilayah ekonomi yang potensial sebagai lahan pemukiman, prasarana
perhubungan, jasa industri dan sebagainya. Kepincangan dari kedua masalah tersebut perlu
dipecahkan secara cermat.
Dengan bantuan citra satelit maka pemetaan pada daerah pantai dan pesisir akan menjadi
mudah, dikarenakan citra satelit dapat meliput area yang cukup luas, sehingga kenampakan
bentangalam dapat dipetakan dengan baik. Dengan menggunakan berbagai kombinasi band yang
ada, kita dapat juga memetakan batas pesisir maupun kedalaman (batimetri) air laut disekitar
pesisir. Secara umum wilayah pantai dan pesisir dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok
dalam kaitannya dengan proses pembentukannya. Pengelompokan secara garis besar dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Proses endogenik: pantai gunungapi, pantai terangkat (uplifted) dan tilted (miring);
b. Proses eksogenik: aktivitas laut (oseanografi), proses sedimentasi dari darat dan laut dan
gabungan keduanya;
c. Proses biogenik: pembentukan terumbu karang dan hutan bakau. Kenampakan pada citra
Landsat seperti terlihat pada gambar 6-40 dan 6-41.
Gambar 6-36. Morfologi undak pantai (beach terraces) di Gambar 6-37. Morfologi endapan kipas aluvial
Pulau Larat, Maluku S.Jeneberang, Makassar dan alur
sungai purba
Gambar 6-38. Morfologi punggung pematang pantai Gambar 6-39 Morfologi perselingan pematang pantai
(beach ridges) pantai selatan Jawa (beach ridge) di Lokseumawe, Nangroe
Tengah Aceh Darussalam.
Gambar 6-40 Morfologi rawa pantai di Utara Jawa Gambar 6-41 Morfologi hutan bakau di Timor
Pola pengaliran sungai dan sumberdaya air yang menyangkut bentuk tubuh air di permukaan
bumi (air permukaan) dan air bawah tanah merupakan aspek geologi yang sangat rawan akibat
perubahan kondisi lingkungan, khususnya dalam bentuk pencemaran kimia dan fisika. Pencemaran
fisika air, khususnya pengaruh sedimentasi paling nyata teridentifikasi pada citra inderaja pada
kombinasi band visible (pada citra Landsat band 1, 2 dan 3). Pencemaran kimia sampai saat ini
masih belum dapat ditentukan dari band yang tersedia. Penggunaan sensor hiperspektral (misalnya
pada CASI) pencemaran kimia dilaporkan telah dapat diketahui, meskipun sistim ini masih belum
meluas penggunaannya.
Informasi sumberdaya air yang dapat dipetakan dari citra inderaja secara umum di
antaranya:
a. Pola aliran sungai dengan bentuk dan sebaran DAS dan subDAS;
b. Jenis sungai dalam kelangsungan kandungan air (intermitten dan perenial streams);
c. Bentuk dan jenis massa air genangan (danau, bendungan, rawa, rawa pantai, kelembanan
tanah permanen);
d. Sedimentasi di dalam massa air (danau, bendungan, pantai);
e. Banjir;
f. Sebaran mataair dan airtanah bebas/dangkal;
g. Kemungkinan airtanah dalam.
Pada citra inderaja kesemua bentuk hidrologi tersebut di atas hanya dapat terlihat pada
kombinasi band tertentu. Sebagai contoh, sedimentasi di dalam massa air misalnya hanya dapat
diidentifikasi pada kombinasi band visible sedangkan pada kombinasi band infra merah tidak
terlihat. Kelembaban tanah tampak jelas pada kombinasi band infra merah, tidak pada visible. Air
di dalam lembah sungai umumnya tidak dapat dilihat karena ukurannya yang lebih kecil dari nilai
resolusi spasialnya, kecuali air pada sungai-sungai utama yang besar. Meskipun demikian
keberadaan air dapat ditafsirkan diri kenampakan lembah sungainya. Beberapa kenampakan
bentuk hidrologi pada citra inderja diperlihatkan pada gambar 6-42 sampai dengan 6-46.
Bentangalam yang berasal dari hasil pelarutan batuan karbonat banyak kita jumpai
diberbagai tempat di dunia. Berbagai bentuk bentangalam topografi karst, seperti lembah lembah
hasil pelarutan, sinkhole, gua-gua karbonat dan tower tower batuan karbonat yang terbentuk
akibat reaksi kimiawi pada batugamping. Pelarutan seringkali dimulai dari bagian rekahan yang ada
pada batugamping. Pelarutan yang terjadi pada rekahan rekahan batugamping kemudian akan
meluas hingga membentuk lembah lembah yang semakin lama semakin bertambah luas. Gambar
6-48 adalah contoh kenampakan bentangalam karst yang terdapat di pegunungan Alpen di Croatia
(Dinaric Alps of Croatia), merupakan batugamping berumur Mesozoik yang terbentuk akibat
pelarutan batugamping.
RINGKASAN
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengenal dan menentukan obyek
dipermukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan obyek tersebut.
Sistim penginderaan jauh mencakup beberapa komponen utama yaitu: (1). Sumber energi; (2).
Sensor sebagai alat perekam data; (3). Stasiun bumi sebagai pengendali dan penyimpan data; (4).
Fasilitas pemrosesan data; (5). Pengguna data.
Data penginderaan jauh pada umumnya berbentuk data digital yang merekam unit terkecil di dalam
sistim perekam data. Unit terkecil ini dikenal dangan nama pixel (picture element) yang berupa
koordinat 3 dimensi (x,y,z). Koordinat x,y menunjukkan lokasi unit tersebut dalam koordinat geografi
dan y menunjukkan nilai intensitas pantul dari unit dalam tiap selang panjang gelombang yang
dipakai.
Nilai intensitas pantul berkisar antara 0 – 255 dimana 0 merupakan intensitas terrendah (hitam) dan
255 intensitas tertinggi (putih). Ukuran pixel berbeda tergantung pada sistim yang dipakai,
menunjukkan ketajaman/ketelitian dari data penginderaan jauh, atau yang dikenal dengan resolusi
spasial.
Karakteristik Citra:
1. Unsur Gambar (Pixel): bagian terkecil dari obyek yang terekam dalam citra
2. Resolusi Citra: a). Resolusi Spasial, b). Resolusi Spektral; dan c). Resolusi Temporal
PERTANYAAN ULANGAN