Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban ganda
penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan
pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit
menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini
terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup
yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah pengertian Transisi
Epidemiologi yang saya ketahui.
Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar
Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan kesehatan di
negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi
epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas dan
berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30 tahun, 2)The age of receding pandemics, era di
mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and man-made
disease, fase dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat.
gambaran itu memang untuk negara Barat.
Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan
Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi. Bagi
negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD mortality, ageing,
lifestyle modification, emerging and resurgent diseases ditandai dengan angka harapan hidup mencapai
80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired
quality of life with paradoxical longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa
depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas,
sehingga mendorong upaya peningkatanquality of life.
Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara berkembang
dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang ditandai dengan 3 hal
yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit menular), b)munculnya
problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan
dengan jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious
Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.

1
Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan berada pada
fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan. Kita akan membahas
beban ini satu-persatu.
Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit
menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara
berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis. Angka kesakitan dan
kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya. Sebut saja Tuberkulosis
(TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis dan masih banyak lagi teman-temannya.
Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal (baca:endemis). Sudah
berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program memberantas bahkan mengeliminasi
penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah
dikeluarkan agar mereka mau meninggalkan Indonesia, Malah trend kasusnya mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun.
Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi.
Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological Triangle) yaitu lingkungan,
Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa menimbulkan
penyakit tersebut. Kita tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi lebih jelsnya anda bisa
membaca buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa kita lakukan
dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak agen
penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan
(menciptakan lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat. Namun
kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi. Masalahnya cukup
kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada upaya preventif
(pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah kesehatan, keadaan
politik, sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.
Beban Kedua yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan kematian akibat
Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja Hipertensi, Diabetes Mellitus,
Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese, PPOK, Kanker dan teman-temannya. Masalah
utamanya adalah angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah lebih tinggi
daripada kematian akibat penyakit menular. pada tahun 1995 kematian akibat penyakit tidak menular
sebesar 41,7 persen dan tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen, ini yang tercatat di pelayanan
kesehatan bagaimana dengan yang tidak tercatat ? Ini juga menjadi salah satu masalah PTM sekarang ini,

2
pencatatan yang hampir tidak ada sama sekali di pelayanan kesehatan, sehingga sulit menentukan besaran
masalahnya dan menentukan kebijakan di daerah maupun pusat.
PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan ketika
terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit disembuhkan, dan
biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada Faktor yang spesifik dan dominan
penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup banyak dan saling berinteraksi. Berbagai penelitian
menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada perilaku yaitu merokok, minum
beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi), dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang
bisa kita lakukan ya..dengan mengubah perilaku kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan
yang baik dan sehat, sering berolahraga dan hindari rokok dan minum alkohol.
Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new emerging Infectious
Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza (2004), H1N1 (2009). Penyakit ini rata-
rata disebabkan oleh virus lama yang berganti baju (baca:bermutasi) itulah yang menyebabkan tubuh
manusia sering tidak mengenalnya dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan kematian pada penyakit
ini sangat tinggi dan berlangsung sangat cepat.
Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali
merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu kemampuan mikroba pathogen
untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan teknologi dan perilakunya juga memberikan peluang
kepada mikroba untuk secara alamiah merekayasa dirinya secara genetik, perubahan iklim global juga
turut campur dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.
Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan pemahaman teradap
2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran penyakit secara global dan
pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal (Achmadi,2009).
Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu mewujudkan
Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk membantu pemerintah
mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat, Berperilaku bersih dan Sehat, dan
Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat. Karena dengan bergerak bersama-sama Kita bisa mewujudkan
mimpi itu, melihat indonesia sehat.
Transisi epidemiologi yang dimaksud adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor penyebab
terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. keadaan transisi epidemiologi ini ditandai
dengan perubahan pola frekuensi penyakit.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan kompleks dalam pola kesehatan dan pola
penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit
menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini

3
terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup
yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, hipertensi dan lain-lain.
Jaman semakin modern, globalisasi terjadi di berbagai bidang. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi semakin pesat. Hidup manusia kini dipermudah dengan berbagai akses. Adanya lift,
pesawat telephone, internet, sarana transportasi membuat orang semakin sedikit bergerak. Televisi, play
station, game online menghilangkan permainan tradisional dari dunia bermain anak-anak. Padahal
permainan tradisional sangat baik untuk sosialisasi, menumbuhkan sikap toleransi dan memupuk
kerjasama anak.
Selain berbagai kemudahan, disisi lain jaman modern menyuguhkan berbagai stresor bagi
masyarakat. Polusi udara, pola makan yang tidak teratur dan tidak sehat, kurang olah raga, bad
behavior, menjadi beberapa dari bayak sebab timbulnya transisi epidemiologi. Transisi Epidemiologi
adalah keadaan yang ditandai dengan adanya perubahan dari mortalitas dan morbiditas yang dulunya
lebih disebabkan oleh penyakit infeksi (infectious disease) atau penyakit menular (communicable disease)
sekarang lebih sering disebabkan oleh penyakit-penyakit yang sifatnya kronis atau tidak menular (non-
communicable disease) dan penyakit-penyakit degeneratif.
Dunia medis mengenal penyakit degeneratif sebagai satu istilah yang digunakan untuk
menjelaskan penyakit yang muncul akibat kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari keadaan normal
menjadi lebih buruk. Adapun beberapa jenis penyakit yang masuk dalam kelompok penyakit degeneratif
diantaranya adalah Diabetes melitus, Jantung koroner, Kardiovaskuler, Dislipidemia/kelainan kolesterol,
dan sebagainya.
Bukan isapan jempol belaka jika penyakit degeneratif berpeluang menjadi pembunuh utama yang
menghantui masyarakat mengingat pola pikir masyarakat yang masih menggambarkan kecenderungan
tidak peduli terhadap status kesehatan. Kebayakan orang baru akan peduli dengan kesehatan mereka jika
telah jatuh sakit. Sehingga yang terjadi adalah saat seseorang memeriksakan diri, kondisi kesehatannya
sudah sangat buruk. Hal ini sangatlah berbahaya, karena sekali divonis oleh dokter bahwa seseorang
terkena penyakit degeneratif maka tidak ada obat yang dapat meyembuhkan secara total. Lain halnya
dengan penyakit infeksi atau penyakit menular yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau virus.
Penyakit infeksi akan segera hilang setelah penderita diberikan obat. Namun hal ini tentu tidak berlaku
bagi penyakit infeksi yang berat dan belum ditemukan obatnya seperti TB paru dan HIV/AIDS.
Penurunan fungsi sel seperti yang terjadi pada penyakit degeneratif memang sudah pasti akan
dialami oleh setiap orang. Karena setiap orang pasti mengalami satu fase yang tidak akan dapat dihindari
yaitu penuaan. Namun yang dimaksud dengan penyakit degeneratif disini adalah penurunan fungsi sel
sebelum waktunya.

4
Sebagai orang yang bijak, seharusnya kita menghargai kesehatan yang saat ini kita
miliki. “Health is nothing but without health everything is nothing” disadari atau tidak, istilah tersebut
benar adanya. Jangan menunggu sakit untuk menghargai kesehatan, karena bisa jadi setelah sakit,
kesehatan tidak akan kembali secara utuh. Untuk itu, menjaga kesehatan menjadi hal yang sangat penting.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu transisi demografis ?
2. Bagaimana transisi epidemiologi dalam bidang gizi ?
3. Apa saja faktor penyebab transisi epidemiologi ?
4. Bagaimana perubahan yang terjadi pada transisi epidemiologi ?
5. Faktor – factor apa saja yang mempengaruhi transisi epidemiologi gizi ?
6. Apa dampak transisi epidemiologi dalam bidang gizi ?
7. Bagaimana perubahan penduduk akibat transisi epidemiologi ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
1. Transisi demografis
2. Transisi epidemiologi dalam bidang gizi
3. Faktor penyebab transisi epidemiologi
4. Perubahan yang terjadi pada transisi epidemiologi
5. Faktor – factor yang mempengaruhi transisi epidemiologi gizi
6. Dampak transisi epidemiologi dalam bidang gizi
7. Perubahan penduduk akibat transisi epidemiologi

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Transisi Demografis
Kebijakan otonomi daerah menyebabkan institusi Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional tidak lagi sekuat di zaman Orde Baru. Dampaknya, ledakan penduduk akibat baby booming.
tahun 2015, populasi Indonesia akan menjadi 273 juta jiwa. Pertambahan penduduk akan memengaruhi
kemampuan bangsa menyediakan pangan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Karena itu, seluruh elemen
bangsa harus bersiap menyambut lahirnya bayi-bayi baru yang mungkin akan mewarisi kemiskinan dan
segala keterbelakangan yang kini melanda kita.
Mencermati transisi demografis yang terjadi global, kita tahu sampai tahun 1800 total populasi
dunia satu miliar. Hingga abad ke-18, penduduk dunia mempunyai laju pertambahan yang amat lambat.
Hal ini disebabkan kematian yang tinggi akibat perang, wabah, dan kelaparan.
Pada masa itu, industri belum menjadi tulang punggung ekonomi negara, pertanian belum
modern, dan pelayanan kesehatan masih amat kurang. Produksi pangan sering tidak mencukupi
kebutuhan manusia sehingga kelaparan terjadi. Sampai-sampai Malthus pesimistis terhadap nasib
manusia karena pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sementara produksi pangan mengikuti
deret hitung.
Fase awal transisi demografis juga ditandai tingginya angka kelahiran. Keluarga berencana belum
muncul, tiap orang berpikir beranak banyak agar ada yang tersisa hidup sampai dewasa, menggantikan
orangtuanya. Dengan angka kelahiran dan kematian yang tinggi, pertumbuhan penduduk relatif lambat.
Memasuki abad ke-19, laju kematian dapat ditekan. Kemajuan di bidang kesehatan dapat
mengurangi kematian akibat wabah maupun infeksi. Negara-negara Eropa dan Amerika lebih dulu
memasuki fase kedua ini, sementara negara-negara sedang berkembang agak tertunda. Pada periode ini,
laju kelahiran masih amat tinggi sehingga pertambahan penduduk berlangsung cepat. Diperkirakan tahun
1900 populasi dunia 1,7 miliar jiwa.
Tahap ketiga adalah angka kelahiran mulai rendah, berbagai penyakit infeksi dapat dikendalikan,
tetapi mulai muncul penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, stroke,
dan kanker. Penyakit-penyakit ini juga menyebabkan kematian.
Fase terbaru nantinya adalah ditemukannya berbagai obat untuk mengatasi penyakit degeneratif
dan mulai bermunculan gaya hidup sehat yang mendorong peningkatan kualitas hidup. Ketika fase ini
terjadi, angka kelahiran dan kematian telah stabil pada tingkat rendah, usia harapan hidup kian meningkat
sehingga populasi lansia akan semakin banyak, sementara populasi anak balita agak mengerucut dalam
jumlah relatif rendah.

6
Jadi, transisi demografis yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah wujud pergeseran angka
kematian dan kelahiran yang memicu tinggi rendahnya laju pertumbuhan penduduk. Sementara itu,
transisi epidemiologis lebih menyoroti aspek pergeseran pola penyakit yang diawali wabah dan aneka
penyakit infeksi bergeser ke penyakit degeneratif.
Indonesia sebenarnya telah memasuki fase ketiga dengan berhasilnya jajaran kesehatan menekan
angka kematian akibat infeksi. Namun, kita bisa mundur lagi ke fase sebelumnya manakala laju
pertumbuhan penduduk tidak terkendalikan dan cenderung naik karena kegagalan KB. Fakta
menunjukkan, kita melalaikan program KB. Jumlah penyuluh lapangan KB yang pada zaman Orde Baru
mencapai 35.000 petugas kini menjadi 21.000 orang. Institusi BKKBN di tingkat daerah digabung dengan
kantor lain.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, beberapa fenomena menarik dapat kita amati baik
di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dari fenomena yang ada itu, perlu di amati bahwa
perubahan yang terjadi pada bidang-bidang tersebut mempunyai implikasi kebijakan bagi aktifitas dunia
bisnis. Sebagai contoh, keberhasilan pemerintah Indonesia dalam mengendalikan jumlah penduduk
melalui program keluarga berencana, dalam banyak hal sangat mempengaruhi pola kegiatan masyarakat
tidak hanya terbatas pada bidang ekonomi saja, tapi juga pada bisang-bidang lainnya yang terkait.
Analisis lingkungan eksternal mencakup pemahaman berbagai faktor di luar perusahaan yang
mengarah pada munculnya kesempatan bisnis (Opportunities) atau bahkan ancaman(Threats) bagi
perusahaan. di dalam analisis lingkungan ekstern juga berupaya untuk memilah permasalahan global yang
dihadapi perusahaan kedalam bentuk yang lebih rinci untuk menemukan bentuk, fungsi, dan keterkaitan
antar bagian. bagi pengembangan strategi pemasaran, analisis ini dibutuhkan tidak hanya terbatas pada
rincian analisis kesempatan dan ancaman saja, tetapi juga untuk menentukan darimana dan untuk apa
hasil analisis itu digunakan. Dengan kata lain, manajer pemasaran membutuhkan diagnosis lebih lanjut
atas hasil analisis lingkungan eksternal.
Faktor demografi adalah salah satu dari sekian banyak faktor eksternal dari lingkungan
pemasaran. Tren Demografi yang terbentuk sangat andal digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan
jangka pendek dan menengah. Ada masalah bagi perusahaan yang tiba-tiba terkejut karena perkembangan
demografi. kekuatan demografi utama yang selalu dipantau Marketer adalah populasi, Karena orang
membentuk pasar. Para marketer benar-benar tertarik pada besarnya jumlah penduduk dan angka
pertumbuhan penduduk di kota, bauran umur populasi, etnis dan pasar lain, kelompok pendidikan, pola
rumah tangga, pergeseran geografis dan populasi.
Demografi merupakan istilah yang berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat
atau penduduk dan graphein yang berarti menggambar atau menulis. Oleh karena itu, demografi dapat
diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk , terutama tentang kelahiran, perkawinan,

7
kematian dan migrasi. Demografi meliputi studi ilmiah tentang jumlah, persebaran geografis, komposisi
penduduk, serta bagaimana faktor faktor ini berubah dari waktu kewaktu. Istilah ini pertama kali
dikemukakan oleh Archille Guillard pada tahun 1855 dalam karyanya yang berjudul “elements de
statistique humaine, ou demographie comparree” atau elements of human statistics or comparative
demography (dalam Iskandar,1994).
Pengertian tentang demografi berkembang dengan seiring dengan perkembangan keadaan
penduduk serta penggunaan statistic kependudukan pada zamannya. Berikut beberapa contoh tentang
perkembangan definisi demografi :
 Johan Sussmilch (1762, dalam Iskandar ,1994) berpendapat bahwa demografi adalah ilmu yang
mempelajari hukum tuhan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan pada umat manusia yang
terlibat dari jumlah kelahiran, kematian, dan pertumbuhannya.
 Achille Guillard (1855) memberikan definisi demografi sebagai ilmu yang mempelajari segala
sesuatu dari keadaan dan sikap manusia yang dapat diukur ,yaitu meliputi perubahan secara umum,
fisiknya, peradabannya, intelektualitasnya, dan kondisi moralnya (lihat juga Iskandar, 1994).

 David v. Glass(1953) menekankan bahwa demografi terbatas pada studi penduduk sebagai akibat
pengaruh dari proses demografi ,yaitu fertilitas,mortalitas,dan migrasi.

 United Nations(1958) dan International Union for the Scientific Study of Population/IUSSP (1982)
mendefinisikan demografi sebagai studi ilmiah masalah penduduk yang berkaitan dengan jumlah,
struktur, serta pertumbuhannya
 Philip m. Hauser dan Otis Dudley Duncan(1959) berpendapat bahwa demografi merupakan ilmu
yang mempelajari jumlah, persebaran territorial, komposisi penduduk, serta perubahannya dan sebab-
sebab perubahan tersebut.

 Donald j. Bougue(1969) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang mempelajari secara statistik
dsan matematik jumlah,komposisi,distribusi penduduk,dan perubahan- perubahannya sebagai akibat
bekerjanya komponen-komponen pertumbuhan penduduk, yaitu kelahiran (fertilitas),
kematian(mortalitas), perkawinan, migrasi, dan mobilitas social.

 George w. Brclay(1970) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang memberikan gambaran secara
statistik tentang penduduk. Demografi mempelajari perilaku penduduk secara menyeluruh bukan
perorangan. Dengan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa ilmu demografi merupakan suatu
ilmu untuk mempelajari perubahan-perubahan kependudukan dengan memanfaatkan data dan statistik
dari data penduduk terutama mengenai perubahan jumlah, persebaran pada kommponen-komponen utama
pertumbuhan penduduk, yaitu = fertilitas, mortalitas, migrasi, yang pada gilirannya menyebabkan
perubahan pada jumlah, struktur, dan persebaran penduduk.

8
 Secara singkat , ilmu demografi sangat bermanfaat untuk :
 Mempelajari kuantitas, komposisi, dan distribusi penduduk dalam suatu daerah tertentu serta
perubahan-perubahannya.
 Menjelaskan pertumbuhan masa lampau dan mengestimasi pertumbbuhan penduduk pada masa
datang.
 Mengembangkan hubungan sebab akibat antaraperkembangan penduduk dan bermacam- macam
aspek pembangunan sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan, dan keamanan.
 Mempelajari dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan konsekuensi pertumbuhan penduduk
pada masa mendatang.
Faktor – Faktor Demografi
Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan penduduk :
1. Struktur umur

2. Struktur perkawinan
3. Umur kawin pertama

4. Paritas
5. Disrupsi perkawinan

6. Proporsi yang kawin


Usia harapan hidup
Usia harapan hidup (UHH) bangsa kita membaik. Contoh, untuk wanita, tahun 1980 UHH sekitar
54 tahun, meningkat menjadi 65 tahun (1995) dan mencapai 70 tahun (2000). Usia harapan hidup lelaki
umumnya lebih rendah 2-3 tahun. Dalam waktu dekat, ada 20 juta lansia yang memerlukan layanan
kesehatan lebih baik seiring kian kompleksnya jenis penyakit yang dihadapi. Puskesmas dianggap tidak
memadai untuk memberikan layanan kesehatan yang baik bagi lansia.
Baby booming akibat tidak optimalnya BKKBN pascaotonomi daerah akan kian merepotkan
pemerintah dengan aneka masalah, seperti gizi buruk, diare, serta angka kematian bayi dan anak balita.
Hingga kini relatif lambat upaya menekan angka kekurangan gizi. Tahun 2007 ada 4 juta anak balita
menderita kekurangan gizi, 700.000 di antaranya adalah penderita gizi buruk.
Baby booming dalam situasi ekonomi negara seperti saat ini akan menjadikan generasi muda
mendatang kian tidak berkualitas, tidak mampu bersaing, dan berotak kosong karena kurang gizi.
Program gizi yang sudah mapan, seperti posyandu, harus direvitalisasi. Disinyalir 50 persen dari 250.000
posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia tidak aktif.

9
Penyakit degeneratif sebagai penyebab kematian utama di Indonesia mengindikasikan kurang
sadarnya bangsa ini akan gaya hidup sehat. Jika tahun 1970-an kematian akibat penyakit jantung hanya
lima persen dari kematian total, tahun 2000 kontribusinya mencapai 25 persen. Suatu peningkatan yang
bermakna dan menekankan terjadinya transisi epidemiologis yang sedang berlangsung.
Kemoderenan suatu bangsa dicirikan rendahnya pengeluaran energi tubuh untuk gerak karena
pekerjaan yang mengandalkan otot kian berkurang (sedentary life styles). Di sisi lain, pola makan kaya
lemak dan kaya energi menjadi gaya hidup baru. Istilah communicational diseases sering digunakan untuk
menggambarkan pola hidup yang hanya meniru Barat, yang diperkenalkan ke negara-negara berkembang
dengan iklan-iklan menarik. Kita menutup mata atas dampak pola makan tak seimbang, yang memicu
berbagai penyakit kronis. Kita tidak mau mengerti, penyakit yang kini dihadapi bangsa Barat adalah
akibat pola makan dan gaya hidup yang telah mereka praktikkan selama ini.

2.2.Transisi Epidemiologi dalam Bidang Gizi.


Epidemiologi gizi merupakan satu-satunya metode dalam Ilmu Gizi yang dapat memberikan
informasi langsung tentang keterkaitan gizi/kesehatan pada populasi yang mempunyai asupan makanan
dan zat gizi secara normal.
Pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non-infeksi (degeneratif) adalah akibat
terjadinya pergeseran pola makan dan pola hidup. Di sini terjadi pergeseran dari pola makan tradisional
yang tinggi karbohidrat, tinggi serat, dan rendah lemak ke pola makan modern yang tinggi lemak, tapi
rendah serat dan karbohidrat. Kurangnya mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran membuat tubuh
kekurangan serat dan dapat berisiko meningkatkan kadar kolesterol tubuh.
Di Indonesia transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya pergeseran pola penyakit, di mana
penyakit kronis degenerative sudah terjadi peningkatan. Penyakit degenerative merupakan penyakit tidak
menular yang berlangsung kronis seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan dan lainnya.
Kontributor utama terjadinya penyakit kronis adalah pola hidup yang tidak sehat seperti
kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan dan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan
pencemaran lingkungan. Sehingga Indonesia menanggung beban ganda penyakit di bidang kesehatan,
yaitu penyakit infeksi masih merajalela dan ditambah lagi dengan penyakit-penyakit kronik degenerative.
Bila kondisi ini tidak segera diperbaiki dengan pola makan yang benar dan baik, maka dapat
berakibat timbulnya berbagai penyakit, terutama penyakit degeneratif (jantung, diabetes, bahkan kanker
colon). Saat ini masyarakat kita mengarah pada masyarakat modern yang mempunyai kesibukan sangat
tinggi, sehingga sangat wajar apabila terjadi perubahan pola makan di mana mereka tidak punya waktu
untuk mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran segar.

10
Meningkatnya masalah-masalah yang timbul akibat transisi epidemiologi di bidang gizi, pesatnya
pertumbuhan industry pangan, jumlah dan tuntutan mutu institusi pelayanan gizi dan makanan disamping
peningkatan prevalensi penyakit baik infeksi maupun degeneratif yang berakar pada kurang gizi sejak
masa kehamilan, dan timbulnya masalah obesitas sejak usia dini meningkatkan beragam problematika
gizi kini dan akan datang sehingga memerlukan penanganan yang professional.
Transisi pola hidup berdampak pada perubahan pola konsumsi dan pola aktifitas, sehingga
memengaruhi komposisi tubuh. Saat ini masyarakat cenderung lebih menyukai makanan cepat saji (fast
food) yang tinggi lemak, protein, karbohidrat, dannatrium yang jika dikonsumsi secara terus menerus
dengan porsi yang berlebihan akan berdampak meningkatnya kecenderungan kelebihan berat badan (over
weight) yang merupakan salah satu faktor resiko kejadian penyakit degenerative.

2.3 Faktor Penyebab Transisi Epidemiologi


Transisi kesehatan terjadi karena adanya transisi demografi dan transisi
epidemiologi(henry,1993). transisi demografi merupakan akibat adanya
urbanisasi,industrialisasi,meningkatnya pendapatan, tingkat pendidikan, teknologi kesehatan dan
kedokteran di masyarakat. Hal ini akan berdampak pada terjadinya transisi epidemiologi yaitu perubahan
pola kematian yaitu akibat infeksi,angka fertilitas total,umur harapan hidup penduduk dan meningkatnya
penyakit tidak menular atau penyakit kronis.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan
pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit
menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat.Hal ini
terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup
yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.
Transisi epidemiologi dan demografi, juga perkembangan ekonomi mengakibatkannegara-negara
menghadapi peningkatan beban akibat Penyakit Tidak Menular (PTM).Pada 1999, PTM diperkirakan
bertanggung jawab terhadap hampir 60% kematian di dunia dan 43% dari beban penyakit dunia (WHO,
2000a). Diprediksikan pada tahun 2020 penyakit ini akan mencapai 73 persen kematian di dunia dan 60
persen dari bebanpenyakit dunia (WHO, 2002).
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, data Pola
Penyebab Kematian Umum di Indonesia, penyakit jantung dan pembuluh darah dianggap sebagai
penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia.
Gangguan jantung dan pembuluh darah seringkali bermula dari hipertensi, atau tekanan darah tinggi.
Selain itu, hipertensi yang merupakan suatu kelainan vaskuler awal, dapat menyebabkan gangguan ginjal,

11
merusak kerja mata, dan menimbulkan kelainan atau gangguan kerja otak sehingga dapat menghambat
pemanfaatan kemampuan intelegensia secara maksimal.
Hipertensi atau yang disebut the silent killer merupakan salah satu faktor risiko paling
berpengaruh sebagai penyebab penyakit jantung (kardiovaskular). Penderita penyakit jantung kini
mencapai lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Kurang lebih 10-30% penduduk dewasa di hampir
semua negara mengalami penyakit hipertensi, dan sekitar 50-60% penduduk dewasa adalah mayoritas
utama yang status kesehatannya akan menjadi lebih baik bila tekanan darahnya dapat dikontrol.
Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam beberapa
tahun terakhir. Perkembangan ini meperlihatkan dampak dari ekspansi penyediaan fasilitas kesehatan
publik di tahun 1970 dan 1980, serta dampak dari program keluarga berencana. Meski demikian masih
terdapat tantangan baru sebagai akibat perubahan sosial dan ekonomi:

1. Pola penyakit yang semakin kompleks, Indonesia saat ini berada pada pertengahan transisi
epidemiologi dimana penyakit tidak menular meningkat drastis sementara penyakit menular masih
menjadi penyebab penyakit yang utama. Kemudian saat ini penyakit kardiovaskuler (jantung) menjadi
penyebab dari 30 persen kematian di Jawa dan Bali. Indonesia juga berada diantara sepuluh negara di
dunia dengan penderita diabetes terbesar. Di saat bersamaan penyakit menular dan bersifat parasit
menjadi penyebab dari sekitar 22 persen kematian. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia juga lebih
tinggi dibandingkan dengan kebanyakan negara tetangga. Satu dari dua puluh anak meninggal sebelum
mencapai usia lima tahun dan seorang ibu meninggal akibat proses melahirkan dari setiap 325 kelahiran
hidup. Perubahan yang diiringi semakin kompleksnya pola penyakit merupakan tantangan terbesar bagi
sistem kesehatan di Indonesia.
2. Tingginya ketimpangan regional dan sosial ekonomi dalam sistem kesehatan. Dibanyak propinsi,
angka kematian bayi dan anak terlihat lebih buruk dibandingkan dengan situasi di beberapa negara Asia
termiskin. Kelompok miskin mendapatkan akses kesehatan yang paling buruk dan umumnya mereka
sedikit mendapatkan imunisasi ataupun mendapatkan bantuan tenaga medis yang terlatih dalam
prosesmelahirkan.
Kematian anak sebelum mencapai usia lima tahun dari keluarga termiskin mencapai sekitar empat kali
lebih tinggi dibandingkan anak dari keluarga terkaya. Tingginya tingkat terkena penyakit, baik yang
disebabkan dari penyakit menular maupun penyakit tidak menular, telah mengurangi kemampuan orang
miskin untuk menghasilkan pendapatan, dan hal ini berdampak pada lingkaran setan kemiskinan.
3. Menurunnya kondisi dan penggunaan fasiitas kesehatan publik serta kecenderungan penyedia utama
fasilitas kesehatan beralih ke pihak swasta. Angka penduduk yang diimunisasi mengalami penurunan
semenjak pertengahan 1990, dimana hanya setengah dari anak-anak di Indonesia yang diimunisasi.

12
Indonesia bahkan telah tertinggal dibandingkan dengan negara-negara seperti Filiphina dan Bangladesh.
Program kontrol penyakit tuberkulosis (TB) diindikasikan hanya mengurangi kurang dari sepertiga
penduduk yang diperkirakan merupakan penderita baru tuberkulosis. Secara keseluruhan, pengunaan
fasiitas kesehatan umum terus menurun dan semakinbanyak orang Indonesia memiih fasiitas kesehatan
yang disediakan oleh pihak swasta ketika mereka sakit. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor
swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini terhitung lebih dari dua pertiga fasiitas
ambulans yang ada disediakan oleh pihak swasta. Juga lebih dari setengah rumah sakit yang tersedia
merupakan rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50 persen segala bentuk pelayanan kesehatan diberikan
oleh pihak swasta (satu dekade yang lalu hanya sekitar 10 persen). Dalam masalah kesehatan kaum
miskin cenderung lebih banyak menggunakan staf kesehatan non-medis, sehingga angka pemanfaatan
rumah sakit oleh kaum miskin masih amat rendah.
4. Pembiayaan kesehatan yang rendah dan timpang. Pembiayaan kesehatan saat ini lebih banyak
dikeluarkan dari uang pribadi, dimana pengeluaran kesehatan yang harus dikeluarkan oleh seseorang
mencapai sekitar 75-80 persen dari total biaya kesehatan dan kebanyakan pembiayaan kesehatan ini
berasal dari uang pribadi yang dikeluarkan ketika mereka memanfaatkan pelayanan kesehatan. Secara
keseluruhan, total pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah
negara tetangga (US $ 16 per orang per tahun pada 2001). Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengeluaran
pemerintah maupun pribadi untuk kesehatan. Lebih lanjut, cakupan asuransi amat terbatas, hanya
mencakup pekerja di sektor formal dan keluarga mereka saja, atau hanya sekitar sepertiga penduduk
dilindungi oleh asuransi kesehatan formal. Meski demikian mereka yang telah diasuransikan pun masih
harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi untuk sebagian besar pelayanan kesehatan.
Akibatnya kaum miskin masih kurang memanfaatkan pelayanaan kesehatan yang dibiayai oleh
pemerintah. Dampaknya, mereka menerima lebih sedikit subsidi dana pemerintah untuk kesehatan
dibandingkan dengan penduduk yang kaya. Sebanyak 20 persen penduduk termiskin dari total penduduk
menerima kurang dari 10 persen total subsidi kesehatan pemerintah sementara seperlima penduduk
terkaya menikmati lebih dari 40 persen.
5. Desentralisasi menciptakan tantangan dan memberikan kesempatan baru. Saat ini, pemerintah
daerah merupakan pihak utama dalam penyediaan fasiitas kesehatan. Jumlah pengeluaran daerah untuk
kesehatan terhadap total pengeluaran kesehatan meningkat dari 10 persen sebelum desentralisasi menjadi
50 persen pada tahun 2001. Hal ini dapat membuat pola pengeluaran kesehatan menjadi lebih responsif
terhadap kondisi lokal dan keragaman pola penyakit. Akan tetapi hal ini akan berdampak juga pada
hilangnya skala ekonomis, meningkatnya ketimpangan pembiayaan kesehatan secara regional dan
berkurangnya informasi kesehatan yang penting.

13
6. Angka penularan HIV/AIDS meningkat namun wabah tersebut sebagian besar masih terlokalisir.
Diperkirakan sekitar 120. 000 penduduk Indonesia terinfeksi oleh HIV/AIDS, dengan konsentrasi terbesar
berada di propinsi dengan penduduk yang sedikit (termasuk Papua) dan di kota kecil maupun kota besar
yang terdapat aktifitas industri, pertambangan, kehutanan dan perikanan. Virus tersebut menyebar lebih
lambat dibandingkan dengan yang diperkirakan sebelumnya. Akan tetapi penularan virus tersebut
meningkat pada kelompok yang berisiko tinggi, yaitu penduduk yang tidak menerapkan perilaku
pencegahan terhadap virus tersebut, seperti menggunakan kondom pada aktivitas seks komersial atau
menggunakan jarum suntik yang bersih dalam kasus pecandu obat-obatan.

2.4 Perubahan Yang Terjadi Pada Transisi Epidemiologi


Saat ini, secara umum muncul anggapan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara-
negara berkembang akan diikuti oleh perubahan pola perkembangan penyakit. Situasi seperti ini juga
dialami oleh banyak negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Pola tersebut dikenal dengan
transisi epidemiologi yaitu pergeseran pola penyakit. Transisi ini dimulai dengan peningkatan status
kesehatan secara umum pada akhir abad ke 19 dan berkembang terus sampai awal abad ke 20. Sejalan
dengan penurunan kematian dan peningkatan harapan hidup, penduduk di negara-negara berkembang
mengalami pergeseran pola penyakit. Dimulai dengan dominasi penyakit menular, lalu bergeser ke pola
penyakit kronis seperti gangguan cardio vasculer dan kanker.
Terjadinya transisi pola penyakit sebagian dapat dijelaskan dengan fakta bahwa masih banyak
manusia yang bertahan hidup sampai saat penyakit khronis mulai menyerang mereka. Meskipun transisi
pola penyakit sudah terjadi, munculnya permasalahan yang baru tidaklah sesederhana seperti yang
dibayangkan yaitu terjadi penggantian satu penyakit dengan penyakit lainnya. Situasi ini sudah terjadi
ketika terjadi peningkatan secara menyeluruh dari kesehatan masyarakat. Elemen transisi epidemiologi
yang terjadi saat ini sangat bervariasi kejadiannya di banyak negara berkembang. Beberapa negara yang
berpenghasilan menengah di Amerika Latin dan Asia, penyakit khronisnya malah berkembang lebih pesat
dari penyakit infeksi. Tetapi proses transisinya sampai saat ini belum selesai. Banyak negara, terutama
negara-negara miskin masih sedang bergulat dengan masalah besar yaitu penuntasan pengendalian
penyakit infeksi. Tetapi bersamaan dengan itu, penyakit khronis juga sudah mulai berkembang.
Kelompok-kelompok masyarakat di negara miskin saat ini dihadapkan dengan tekanan ganda penyakit
(double burden of disease). Dengan gambaran seperti itu, transisi pola penyakit sudah pasti terjadi di
semua negara, seperti revolusi sanitasi yang sudah berhasil seperti yang dijelaskan di muka. Untuk itu,
kebijakan dan investasi yang relevan memang sangat dibutuhkan saat ini untuk terus bisa meningkatkan
kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.

14
Pada awalnya masyarakat memandang penyakit terjadi karena adanya pengaruh roh jahat dan
kekuatan supranatural. Lalu konsep ini berkembang, yang ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran
dari Hipocrates - seorang ahli filsafat dan juga tabib Yunani (460-377 SM). Dalam bukunya , dia
mengajukan konsep tentang hubungan penyakit dengan faktor tempat (geografi), penyediaan air, iklim,
kebiasaan makan dan perumahan. Selain itu, Hipocrates juga menyebutkan teorinya bahwa tubuh manusia
terdiri dari empat substansi yang disebut humours (cairan). Cairan tersebut yaitu darah, lendir, empedu
kuning, dan empedu hitam. Jika terjadi ketidakseimbangan antara keempat substansi ini, maka dapat
menyebabkan terjadinya penyakit.
Selanjutnya muncul teori Gallen (melanjutkan teori Hipocrates) - dokter Romawi, lahir 130 M -
yang melihat faktor kepribadian seseorang sebagai penentu rentan atau tidaknya terhadap penyakit.
Contohnya, seseorang yang kelebihan empedu hitam akan bersifat melankonis, cenderung merasa sedih,
depresi, dan badannya terlihat kurus.
Pada abad ke-14 dan 15 terjadi epidemik sampar, cacar, dan demam tifus di Eropa. Hal ini
mendorong lahirnya teori Seminaria Contagium oleh Girilamo Fracastoro (1478 – 1553 M) yang
menyebutkan bahwa penyakit ditularkan dari seorang pengidap kepada orang lain yang sehat melalui
contagion (kontak). Terdapat tiga jenis contagion. Pertama, bentuk dasar yang ditularkan lewat
kontak langsung. Kedua, ditularkan lewat perantara seperti pakaian, bahan kayu dan barang lainnya.
Ketiga, ditularkan dari jarak jauh. Namun, dalam teori ini belum dapat dijelaskan mengapa kontak antara
penderita dan orang sehat dapat menyebabkan penyakit, karena belum seorang pun dapat membuktikan
atau melihat benda kecil penyebab penyakit.
Kemudian, sejak ditemukannya mikroskop oleh Antonie van Leeuwenhoek (1632-1723), muncul
teori jasad renik atau mikroorganisma (kuman). Kuman inilah yang dianggap sebagai penyebab tunggal
penyakit. Lalu pada abad 18 terjadi revolusi industri dan kapitalisme sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan termasuk epidemiologi berkembang dengan pesat. Namun di pihak lain, struktur sosial
ekonomi yang baru membawa implikasi berupa letusan wabah infeksi usus, demam tifus dan tuberculosis
di daerah kumuh perkotaan. Di Eropa pun juga muncul penyakit baru, seperti kolera dan demam kuning.
Munculah tokoh John Snow (1813-1858) - seorang dokter dan ahli anastesi – yang mulai
mempelajari wabah kolera yang terjadi di daerah Square kota London. Dia melakukan pengamatan
terhadap tiga perusahaan air minum di London (Lambeth, Southwark dan Vauxhall) dan menyimpulkan
bahwa penyebab kolera bukan faktor udara, tetapi air minum yang dikonsumsi. Yang perlu dicatat di sini
adalah bahwa John Snow dalam menganalisis masalah penyakit kolera, mempergunakan pendekatan
epidemiologi dengan menganalisis faktor tempat, orang, dan waktu. Dia dianggap sebagai the Father of
Field Epidemiology.

15
Pengaruh teori kuman sebagai agen penyakit begitu kuat sampai beberapa dasawarsa, dimana
para peneliti berpikiran bahwa pengetahuan tentang mikroorganisma dapat dipakai untuk menjelaskan
etiologi semua penyakit. Lalu pada tahun 1950, teori kuman yang berlebihan mendapat kritik. Hal ini
karena tidak semua penyakit, yaitu berbagai penyakit kronik, disebabkan oleh kuman, seperti penyakit
jantung dan kanker.
Epidemiologi modern berkembang tidak hanya berdasarkan teori kuman, tetapi juga teori-teori
yang diangkat dari berbagai disiplin Ilmu: sosial, biomedik, kuantitatif (Kleinbaum et all, 1982).
Dalam perkembangannya, epidemiologi mengalami transisi atau perubahan, baik pada ditribusi
maupun faktor-faktor penyebab terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. Perubahan ini
ditandai dengan menurunnya penyakit menular (infeksi) dan meningkatnya penyakit tidak menular. Ada
beberapa penyebab terjadinya transisi epidemiologi, seperti perkembangan demografi, ekonomi, dan era
globalisasi terkait gaya hidup. Selain itu, transisi ini juga disebabkan karena berkembangnya teknologi
medis, peningkatan taraf hidup, kelahiran yang terkontrol, peningkatan gizi, pengontrolan sanitasi dan
vektor, serta perbaikan dalam gaya hidup. Sebagai contoh, peningkatan taraf hidup setiap orang
menyebabkan semakin baik pola hidupnya, gizi tercukupi dan aktivitas yang dijalani lebih kompleks. Hal
ini telah membuat umur harapan hidup mereka lebih panjang. Namun, seiring berjalannya waktu terjadi
penurunan fungsi tubuh atau dapat juga disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehingga mereka terserang
penyakit tidak menular seperti Diabetes Melitus, penyakit jantung koroner, dan kanker.

2.5.Faktor – faktor yang mempengaruhi Transisi Epidemiologi Gizi


Berdasarkan analisis kecenderungan kesehatan secara nasional
(Badan Litbangkes, 1996). Indonesia saat ini sedang mengalami transisi epidemiologi. Selain itu
dikatakan pula oleh Wilopo (1995) bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami polarisasi epidemiologi.
Penyakit-penyakit degeneratif mulai menunjukkan peningkatannya.Penyebab kematian di daerah
perkotaan dan pedesaan juga
menunjukkan pola yang berbeda dominasi penyakit infeksi dan kelainan gizi yang mengakibatkan
status gizi buruk sebagai penyebab kematian masih terlihat di daerah pedesaan. Sebaliknya penyakit
pembuluh darah jantung, degeneratif, penyakit kronis dan kecelakaan menunjukkan angka yang cukup
tinggi sebagai penyebab kematian di daerah perkotaan.
1. Peningkatan sosial-ekonomi, adanya persiapan untuk globalisasi dan pengaruh kemajuan
teknologi menyebabkan banyaknya makanan kurang berserat dalam bentuk “fast food” yang menyerbu
pasar Indonesia baik dikot kota besar maupun sekitarnya. Persiapan globalisasi dan pengaruh informasi
menyebabkan peningkatan perilaku tidak sehat yang akan banyak berpengaruh pada manusia di masa
mendatang terutama penduduk di perkotaan

16
2. Kesibukan kerja, stress dan kurang kesempatan berolahraga, lingkungan kerja yang kurang
sehat akan mempengaruhi pula keadaan kesehatan pada calon pra lansia dan lansia.
Dalam hubungan masalah gizi terdapat kecenderungan-kecenderungan yang perlu diperhatikan
sebagai berikut;
1) Di Indonesia masalah kesehatan masalah xeropthalmia kekurangan vitamin A bukan
merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Sedangkan untuk masalah GAKI terutama di derita oleh
penduduk di daerah pegunungan dan terisolir, walaupun sudah terjadi penurunan 37.2% (hasil surveo
1980-1982) menjadi 27.7% (hasil survey 1987-1990) masalah ini masih membutuhkan perhatian khusus.
2) Seiring dengan kemajuan social ekonomi masyarakat, masalah gizi lebih sebagai resiko
timbulnya berbagai penyakit degeneratif sudah mulai muncul ke permukaan. Observasi pada 205 orang
dewasa diatas 18 tahun (73 orang laki-laki dan 132 orang perempuan) pengunjung “konsultasi gizi” pada
pameran hari pangan sedunia di Jakarta memberikan satu contoh situasi kecenderungan masalah
“overweight” dikota besar seperti Jakarta. Hasil pengumpulan data berat badan, tinggi badan dan umur
yang diterjemahkan ke body mass index (BMI) membuktikan bahwa prevalensi “overweight” pada
wanita adalah 24% dan laki-laki 18%. Kecenderungan gizi lebih ini juga mulai dirasakan pada anak
balita, obsErvasi yang dilakukan dengan menggunakan data susenas 1998 dan 1992, menyatakan adanya
kecenderungan meningkatnya prevalensi gizi lebih pada laki-laki maupun pada perempuan.
3) Secara mutlak konsumsi total energy meningkat dari 1794 Kkal/orang/hari tahun 1980
menjadi 1901 Kkal/orang/hari pada tahun 1990.
Kecenderungan-kecenderungan masalah gizi tersebut diatas dapat diduga dengan menganalisis
berbagai factor baik yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap masalah gizi.
Banyak ahli yang menyimpulkan bahwa factor-faktor tersebut antara lain adalah factor-faktor demografi,
social ekonomi, perkembangan iptek dan hasil-hasil pembangunan tahap PJP 1 terutama bidang pangan
dan gizi.

2.6.Dampak Transisi Epidemiologi dalam Bidang Gizi


Penyakit-penyakit gizi yang berhubungan dengan gizi, dapat dibagi dalam beberapa golongan:
a. Penyakit Gizi Lebih (obesitas)
Biasanya penyakit ini bersangkutan dengan kelebihan energi didalam hidangan yang dikonsumsi
relatif terhadap kebutuhan atau penggunaannya (energi expenditure). Ada tiga zat makanan penghasil
energi utama, ialah karbohidrat, lemak dan protein. kelebihan energi dalam tubuh diubah menjadi lemak
dan ditimbun pada tempat-tempat tertentu. Jaringan lemak ini merupakan jaringan yang relatif inaktif,
tidak langsung berperan serta dalam kegiatan kerja tubuh.

17
Orang yang kelebihan berat badan, biasanya karena kelebihan jaringan lemak yang tidak aktif
tersebut. Ada ahli gizi yang membandingkan kelebihan jaringan lemak pada orang yang kegemukan ini
sebagai karung beras yang harus dipikul kemana-mana, tanpa mendapat mamfaat dari padanya. Ini akan
meningkatkan beban kerja dari organ-organ tubuh, terutama kerja jantung.
b. Penyakit Gizi Kurang (malnutrition, undernutrition)
Penyakit ini sering dijadikan satu kelompok dan disebut penyakit gizi salah (malnutrition). Pada
penyakit gizi salah, kesalahan pangan terutama terletak dalam ketidakseimbangan komposisi hidangan.
Pada penyakit gizi lebih, susunan hidangan mungkin seimbang, hanya kuantum keseluruhannya tidak
mencukupi kebutuhan tubuh.
Penyakit gizi salah diIndonesia yang terbanyak termasuk gizi kurang yang mencakup susunan
hidangan yang dikonsumsi juga masih seimbang, hanya kuantum keseluruhannya tidak mencukupi
kebutuhan tubuh.
Penyakit gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh pesat, ialah yang
disebut kelompok anak BALITA (bawah lima tahun). Yang menonjol kurang pada kondisi ini, ialah
kurang kalori dan kurang protein, sehingga disebut penyakit kurang kalori dan protein (KKP). Nama
asingnya ialah protein calorie malnutrition (PCM) atau akhir-akhir ini disebut Protein Energi Malnutrition
(PEM).

2.7 Perubahan Penduduk Akibat Transisi Epidemiologi


Terjadinya transisi epidemiologi yang paralel dengan transisi demografi dan transisi teknologi di
Indonesia dewasa ini telah mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit
tidak menular (PTM) meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases yang merupakan faktor utama
masalah morbiditas dan mortalitas. Transisi epidemiologi ini disebabkan karena terjadinya perubahan
sosial ekonomi, lingkungan dan perubahan struktur penduduk, saat masyarakat telah mengadopsi gaya
hidup tidak sehat, misalnya merokok, kurang aktivitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori, serta
konsumsi alkohol yang diduga merupakan faktor risiko PTM. WHO memperkirakan, pada tahun 2020
PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan negara yang
paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2006 dalam
Rahajeng E & Tuminah, S., 2009).
Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan sangat serius saat ini adalah hipertensi yang
disebut sebagai the silent killer. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar
terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung (WHO, 2005 & JNC-7,
2003 dalam Rahajeng E & Tuminah, S., 2009).

18
Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti stroke (terjadi pada
otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi pada kerusakan
pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri/ bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain
penyakit-penyakit tersebut, hipertensi dapat pula menyebabkan gagal ginjal, penyakit pembuluh lain,
diabetes mellitus dan lain-lain (Kearney, et. al, 2002 dalam Sugiharto, A., 2007). Menurut WHO dan the
International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh
dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat (WHO, 2005 dalam Rahajeng E & Tuminah, S., 2009).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi
di Indonesia adalah 32,2%, sedangkan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan
dan riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari kasus hipertensi di masyarakat. Berarti 75,8%
kasus hipertensi di Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan.
Saat ini terdapat kecenderungan pada masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup
masyarakat kota yang berhubungan dengan risiko hipertensi seperti stress, obesitas (kegemukan),
kurangnya olah raga, merokok, alkohol, dan makan makanan yang tinggi kadar lemaknya. Perubahan
gaya hidup seperti perubahan pola makan menjurus kesajian siap santap yang mengandung banyak lemak,
protein, dan garam tinggi tetapi rendah serat pangan, membawa konsekuensi sebagai salah satu faktor
berkembangnya penyakit degeneratif seperti hipertensi (Sugiharto, A., 2007).
Dalam menurunkan dan mengontrol tekanan darah, pendekatan dietetic Dietary Approaches to
Stop Hypertension (DASH) sangat direkomendasikan. Karena DASH lebih menekankan pada diet buah
dan sayur kaya serat serta rendah garam. Uji klinis di Amerika Serikat dan Eropa Utara menunjukkan
bahwa mengurangi natrium klorida dapat menurunkan tekanan darah (Sacks FM, et al, 2001).
Dietary Approacch to Stop Hypertension (DASH) merupakan diet bagi pasien-pasien hipertensi.
Salah satu penanggulangan hipertensi yang direkomendasikan adalah pendekatan dietetik untuk
menghentikan hipertensi atau dikenal dengan sebutan DASH sebab selama ini dilakukan hanya dengan
pengaturan garam dan natriumnya saja (diet rendah garam), namun tidak memperhitungkan kualitas suatu
susunan hidangan. DASH umumnya mencakup diet sayuran serta buah yang banyak mengandung serat
pangan (30 gram/hari) dan mineral tertentu (kalium, magnesium serta kalsium) sementara asupan
garamnya dibatasi (Hartono, A., 2012).
Penelitian tentang DASH menunjukkan bahwa diet tinggi buah, sayur dan produk susu rendah
lemak (susu skim, yoghurt), mengurangi saturated fatty acid (SAFA) dan total lemak seperti daging yang

19
berlemak dapat menurunkan tekanan sistolik rata-rata 6-11 mmHg. Kombinasi DASH dan rendah garam
memberikan dampak positif pada perubahan tekanan darah (Katz, D.L., 2001).
Penelitian tentang DASH yang bertujuan untuk menilai efek pola diet terhadap tekanan darah
membuktikan bahwa kombinasi diet DASH dan diet rendah garam mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap penurunan tekanan darah yaitu menurunkan tekanan darah sistolik pada kelompok
hipertensi sebesar 11,5 mmHg dan diastolik sebesar 5 mmHg. Diet DASH ini dapat lebih efektif
dilakukan daripada hanya menambah diet sayuran dan buah untuk pola diet rendah lemak (Appel et al.,
2006 dalamMahan , LK et al., 2012). Diet DASH baik digunakan untuk mencegah ataupun mengontrol
hipertensi dan sangat bergantung pada bagaimana perencanaannya. Ada 5 prinsip yang terkandung pada
perencanaan pola makan/diet DASH, yakni :
1. Konsumsi buah dan sayur yang mengandung kalium, fitoesterogen dan serat. Konsumsi kalium
(potassium) yang bersumber dari buah-buahan seperti pisang, mangga, air kelapa muda
bermanfaat untuk mengendalikan agar tekanan darah menjadi normal dan terjadi keseimbangan
antara natrium dan kalium dalam tubuh. Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan
konsentrasinya didalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian
ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah. Fitoestrogen bersumber pada pangan nabati seperti
susu kedele, tempe dan lain-lain, mempunyai kemampuan untuk berperan seperti hormon
estrogen. Fitoestrogen dapat menghambat terjadinya menopause, menghindari
gejala hotflaxes (rasa terbakar) pada wanita manapouse dan menurunkan risiko kanker.
Sedangkan serat dibutuhkan tubuh terutama untuk membersihkan isi perut dan membantu
memperlancar proses defekasi. Serat juga mempengaruhi penyerapan zat gizi dalam usus,
manfaat serat terutama dapat mencegah kanker colon.

2. Low-fat dairy product (menggunakan produk susu rendah lemak). Pada diet hipertensi diberikan
produk susu rendah lemak, dimana susu mengandung banyak kalsium. Didalam cairan ekstra
selular dan intraseluler kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti
untuk mengatur transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah dan menjaga permeabilitas
membran sel. Kalsium mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan. Susu
rendah lemak baik diberikan kepada wanita manula, tidak hanya untuk mendapat tambahan
kalsium tapi juga protein, vitamin dan mineral.
3. Konsumsi ikan, kacang dan unggas secukupnya. Intake protein yang cukup dapat membantu
pemeliharaan sel, untuk membantu ikatan essential tubuh, mengatur keseimbangan air,
memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibody dan mengangkut zat-zat gizi.

4. Kurangi SAFA seperti daging berlemak. Lemak jenuh bersifat arterogenik, lemak jenuh yaitu
asam urat, asam palmitat, asam stearate. Seseorang dengan penyakit pembuluh darah umumnya

20
harus membatasi konsumsi lemak jenuh berlebihan terutama dari sumber hewani seperti daging
merah, lemak babi, minyak kelapa, coklat, keju, krim, susu krim dan mentega. Penimbunan SAFA
dalam pembuluh darah menyebabkan timbulnya arteriosclerosis yang artinya meningkatkan
tekanan darah.

5. Membatasi gula dan garam. Membatasi garam bertujuan untuk menurunkan tekanan darah,
mencegah odema dan penyakit jantung. Adapun yang disebut diet rendah garam adalah rendah
sodium dan natrium. Garam dapur mempunyai nama kimia Natrium Klorida (NaCl) yang
didalamnya terkandung 40% sodium. Dalam diet rendah garam, selain membatasi konsumsi
garam dapur juga harus membatasi sumber sodium lainnya, antara lain makanan yang
mengandung soda kue, baking powder, mono sodium glutamate (MSG) atau penyedap masakan,
pengawet makanan atau natrium benzoate (biasanya terdapat dalam saos, kecap, selai, jeli).
Pada diet DASH, kalori yang akan dikonsumsi berkisar 2.000 kkal/hari. Kalori ini berasal dari
berbagai jenis makanan yaitu whole grains (6 sampai 8 sajian/hari), sayuran (4 sampai 5 sajian/hari),
buah-buahan (4 sampai 5 sajian/hari), susu dan produk susu rendah atau tanpa lemak (2 sampai 3
sajian/hari), daging, unggas dan ikan (maksimal 6 sajian/hari), kacang-kacangan, biji-bijian dan polong-
polongan (4 sampai 5 sajian/minggu), lemak dan oil (2 sampai 3 sajian/hari), manisan terutama yang
rendah atau tanpa lemak (maksimal 5 sajian/minggu), sodium (maksimal 2,300 mg/hari).
Terdapat beberapa penelitian terkait dengan DASH dimana memaparkan bahwa diet DASH ini
memiliki faktor yang besar dalam mengurangi risiko penyakit jantung koroner (Obarzanek et al., 2013).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Malloy J et al(2010) menjelaskan bahwa pemberian diet DASH
sangat berpengaruh terhadap tekanan darah sistolik. Diet DASH baik menurunkan tekanan darah
substantial dengan pengurangan asupan natrium yang direkomendasikan sebesar 100 mmol/hari atau
setara dengan 2,3 gram natrium atau 5,8 gram natrium klorida (Sacks FM, et al, 2001).

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Transisi epidemiologi yang dimaksud adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor penyebab
terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. keadaan transisi epidemiologi ini ditandai
dengan perubahan pola frekuensi penyakit.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan kompleks dalam pola kesehatan dan pola
penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit
menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini
terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup
yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, hipertensi dan lain-lain.
Transisi epidemiologi ini disebabkan karena terjadinya perubahan sosial ekonomi, lingkungan
dan perubahan struktur penduduk, saat masyarakat telah mengadopsi gaya hidup tidak sehat, misalnya
merokok, kurang aktivitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori, serta konsumsi alkohol yang diduga
merupakan faktor risiko PTM. WHO memperkirakan, pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73%
kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan negara yang paling merasakan dampaknya
adalah negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2006 dalam Rahajeng E & Tuminah, S.,
2009).

3.2 Saran

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik itu dari
segi penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca akan sangat membantu
kami sebagai bahan referensi agar kedepannya dapat menjadi bahan pertimbangan kami dalam membuat
makalah.

22

Anda mungkin juga menyukai