Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum masalah kesehatan pada anak sangat banyak macamnya,

yang sering terjadi pada anak antara lain batuk atau ISPA, Tuberculosis,

diare, Dengue Hemorage Fiver (DHF), typoid, demam, sakit kulit dan masih

banyak lagi. Dari beberapa penyakit tersebut yang paling berbahaya ialah

ISPA, dan salah satunya adalah pneumonia.

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seprti virus,

jamur dan baktreri . Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam,

sakit kepala, batuk, mengeluarkan dahak, dan sesak napas (Kemenkes RI

2017).

Penumpukan sekret pada paru-paru (Alveoli) menyebabkan resiko

ventilasi perfusi menurun sehingga anak kesulitan melakukan proses

pertukaran gas oksigen dan korban dioksida. Dampaknya anak dapat

mengalami hipoksia (kekurangan oksigen) karena proses pertukaran gas

terganggu serta karbon dioksida yang tidak dikeluarkan menimbulkan

peningkatan keasaman didalam tubuh (Asidasi respiratorik). Selain itu,

apabila eksudet dibiarkan di paru-paru, maka akan menyebabkan empiema,

atelektasis, hingga menimbulkan kematian (Syliva & Wilson, 2005;806).

1
2

Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita didunia.

Penyakit ini menyumbang 16 % dari seluruh kematian anak dibawah 5 tahun,

yang menyebabkan kematian pada 920.136 balita, atau lebih dari 2.500 per

hari, atau di perkirakan 2 anak balita meninggal setiap menit pada tahun 2015

(WHO,2017).

Di Indonesia, data Riskesdas menyebutkan bahwa pneumonia

menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita tertinggi setelah

diare. Akibat menderita pneumonia, pada tahun 2017 sebanyak 1.351 bayi

meninggal dunia (953 bayi usia 1-4 tahun dan 398 bayi usia dibawah 1 tahun),

di Jawa Tengah penemuan dan penanganan penderita pneumonia pada balita

tahun 2017 sebesar 50,5 %, menurun dibandingkan capaian tahun 2016 yaitu

54,3%.

Cakupan penemuan pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2017 adalah

60,53 %. Angka ini masih di bawah target yaitu target 80 %. Cakupan balita

dengan pneumonia di Kabupaten Rembang pada Tahun 2016 terdapat 43.467

balita, sedangkan kasus pneumonia yang ditemukan sebanyak 37 kasus

sedangkan perkiraan kasus ditemukan sebanyak 1.573 kasus. Angka

penemuan penderita pneumonia Tahun 2015 sebesar 2,36 %. Adapun

presentase penanganan kasus mencapai 100 %, semua kasus pneumonia yang

ditemukan telah ditangani sesuai dengan prosedur pelayanan medis. ( Profil

Kesehatan Kabupaten Rembang 2016).

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia terbagi

atas faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur,
3

jenis kelamin, status gizi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status

imunisasi, pemberian Air Susu Ibu (ASI), dan pemberian vitamin A.

Faktor ekstrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal, polusi udara, tipe

rumah, ventilasi, asap rokok, penggunaan bahan bakar, penggunaan obat

nyamuk bakar, serta faktor ibu baik pendidikan, umur, maupun pengetahuan

ibu (Nurjazuli, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati

(2013), mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia

pada balita. Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang menyatakan

bahwa asap rokok mempunyai efek toksik lebih buruk daripada asap

utama terutama dalam menimbulkan iritasi mukosa saluran napas. Jika

kebutuhan gizi tidak seimbang / kurang dari kebutuhan tubuh maka daya

tahan tubuh akan menurun imunitas juga ikut menutun artikel dari Yudhi

Kurniawan (2012). Faktor ekonomi juga menjadi factor terjadinya

pneumonia.

Pneumonia dapat di ketauhi lebih dini dengan gejala nafas cepat,

terdengar suara nafas ronchi dan wheezing, demam disertai kejang karena

demam tinggi. Sesak napas disebut juga dispnea merupakan keadaan sulit

dan berat saat bernapas (Hidayat & Uliyah, 2015 ; 10). Sesak napas terjadi

saat terdapat ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan

kapilaritas ventilasi (Alexander & Anggreanie (2007).

Tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri.

Pencegahan pertama sesuai peran perawat sebagai educator, perawat dapat


4

memberikan penkes mengenai tanda gejala, penaganan, pencegahan, pada

pneumonia kepada keluarga supaya pemahaman tentang pneumonia baik.

Selain itu Perawat harus melakukan kolaborasi dengan cara

memberikan obat secara farmakologi seperti pemberian antibiotik,

antipiretik dan analgetik. Perawat dapat melaksanakan fungsi dependen

dengan memberikan nebulizer untuk mengencerkan secret pada paru-paru.

Sebagian besar perawat tidak melakukan tindakan mandiri (independen)

yaitu non farmakologi dengan melakukan fisioterapi dada dan postural

drainage. Pada pasien pneumonia dapat dilakukan postural drainage untuk

mengurangi sesak napas pada pasien. Jika peran fungsi perawat tersebut

dilakukan dengan maksimal maka dapat membantu mengatasi masalah pada

pasien pneumonia dan apabila tidak dilakukan asuhan keperawatan dengan

tepat maka dampak yang terjadi pada pneumonia adalah hipertermi,

hipoksia, gagal nafas, ateleksis, efusi pleura bahkan sampai kematain.

Setelah menguraikan latar belakang tentang Bersihan Jalan Nafas

Tidak Efektif pada anak pneumonia, penulis tertarik untuk membuat Karya

Tulia Ilmiah dengan judul : “Asuhan Keperawatan pada Anak Pneumonia

dengan Fokus Studi Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif”.

B. Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan pada

Anak Pneumonia dengan masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak

efektif.
5

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, bagaimanakah asuhan keperawatan pada

anak pneumonia dengan fokus bersihan jalan nafas tidak efektif?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penulis mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien

Pneumonia dengan gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif melalui

pendekatan proses keperawatan.

2. Tujuan Khusus

a. Penulis dapat mengkajian pasien pneumonia dengan gangguan

bersihan jalan nafas tidak efektif.

b. Penulis dapat menegakkan diagnose pada pasien pneumonia

dengan gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif.

c. Penulis dapat merencanakan tindakan pada pasien pneumonia

dengan gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif.

d. Penulis dapat melakukan tindakan keperawatan pada pasien

pneumonia dengan gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif.

e. Penulis dapat mengevaluasi tindakan pada pasien pneumonia

dengan gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif.

f. Penulis dapat menganalisa perbandingan 2 respon pasien dengan

gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif.


6

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengembangan

ilmu keperawatan dan dapat memperluas ilmu khususnya mengenai

pengelolaan bersihan jalan nafas tidak efektif pada naka pneumonia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Dapat melakukan asuhan keperawatan pada anak

pneumonia dengan gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif.

b. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam

pelaksanaan praktik keperawatan khususnya pada anak dengan

bersihan jalan nafas tidak efektif pada kasus pneumonia.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil pengelolaan kasus ini dapat dijadikan mahasiswa

khususnya Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang.

Untuk wawasan bacaan pengelolaan asuhan keperawatan anak

dengan masalah bersihan jalan nafas tidak efektif..

d. Klien dan keluarga dapat mengetahui dan menangulangi masalah

oksigenasi gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif yang

disebabkan pneumonia dengan melakukan pemenuhan oksigenasi.

Anda mungkin juga menyukai