Anda di halaman 1dari 7

Saat ini, hampir semua negara memperoleh sertifikasi bebas polio, termasuk Indonesia pada

tahun 2014. Sertifikasi ini dimulai pada tahun 1988, organisasi kesehatan dunia (WHO) mengadopsi
inisiatif pemberantasan Polio secara Global; Yang bertujuan memberantas polio pada tahun 2000. Oleh
karena itu, WHO merekomendasikan negara-negara untuk membuat sebuah sistem pengawasan kasus
untuk gejala kelumpuhan lembek akut (AFP) (Odoom et al., 2014). AFP menjadi prioritas bagi kesehatan
masyarakat dan menjadi fokus utama pada implementasi pengawasan polio (Macesic et al., 2016).

Poliovirus tidak ditemukan di Indonesia sejak tahun 2005. Namun, pada 2006 ada peningkatan kasus
polio yang menyebabkan wabah dengan 46 kasus yang terletak di provinsi jawa timur. Laporan terbaru
dari kementerian kesehatan Indonesia menyatakan bahwa dari tahun 2017 sampai 2018, terdapat 168
kasus polio di seluruh dunia, dan 9 kasus ditemukan di Papua nugini. Situasi ini memicu munculnya
peringatan dari kementrian kesehatan untuk meningkatkan tindakan pencegahan terhadap munculnya
poliovirus di Indonesia. Munculnya kasus polio ini menjadi tantangan bagi pemberantasan polio secara
global. Selama satu anak ditemukan terinfeksi polio, maka semua anak di dunia masih memiliki risiko
yang sama untuk terinfeksi polio (Khona, Prayag, & Ashtagi, 2016). Risiko ini juga menjadi tantangan bagi
kota dengan populasi tertinggi di provinsi jawa timur seperti Surabaya. Total populasi Surabaya adalah
sebanyak 2.862.406 orang dengan kepadatan penduduk sekitar 8,770 orang /km2 dan total populasi
tertinggi yang berusia < 15 tahun hingga 626.805 anak (kantor kesehatan provinsi jawa timur 2018).

Pengawasan AFP adalah strategi utama untuk memantau kemajuan pemberantasan polio secara
global. Strategi ini efektif untuk mendeteksi potensi dari poliomielitis atau kasus infeksi poliovirus
(Soltani, Esmailnasab, Roshani, Karimi, & Amjadi, 2014). Pengawasan AFP merupakan salah satu dari
empat strategi pilar pemberantasan polio dalam menemukan semua kasus polio dengan menarget
semua kasus AFP sebagai kasus polio potensial (Makoni et al, 2017). AFP didefinisikan sebagai
kelumpuhan di bagian tubuh mana pun, disebut flaccid, terjadi secara tiba-tiba pada anak-anak berusia <
15 tahun. AFP sangat akut karena kelumpuhan terjadi pada waktu yang cepat antara 1-14 hari sejak
timbulnya gejala-gejala seperti kesemutan, nyeri, mati rasa sampai kelumpuhan maksimum. Kelumpuhan
bercirikan cacat atau lemas, dan itu bukan karena kekakuan atau kemunduran di tonus dan bekerja
terlalu keras (kementrian kesehatan RI, 2007).

WHO memperkirakan banyak diagnosis digolongkan dalam kasus AFP, dan lebih dari 200 diagnosis
dinilai, polio hanyalah salah satu penyebabnya (kementrian kesehatan RI, 2007). Diagnosis lain yang
termasuk dalam kasus AFP adalah sindrom Guillain Barre (GBS), transverse myelitis, kelumpuhan
sementara, neuritis traumatis, DLL (Odoom DST., 2014). Kasus-kasus AFP memiliki karakteristik
epidemiologi yang berbeda sebagai aetiologi AFP heterogen (Jasem et al, 2014). Bedanya Diagnosis AFP
sangat beragam. Misalnya, di Australia, diagnosis akut telah menyebarkan ensefalomyelitis (ADEM)
termasuk dalam kasus AFP. Di Nigeria, klasifikasi AFP terdiri dari diagnosis kelumpuhan saraf akibat
trauma sciatic, tetapi GBS tetap menjadi penyebab paling umum dari kasus AFP non-polio di seluruh
dunia (Mohsin & Asimi, 2016).

Upaya untuk mendeteksi kasus polio dan keragaman diagnosis AFP diperlukan untuk memahami
karakteristik epidemiologi penyakit. Upaya ini sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan sistem
pengawasan AFP dalam mendeteksi kasus polio. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjabarkan
karakteristik epidemiologi dan jenis diagnosis AFP di Surabaya dari 2014 hingga 2017 dengan
menjelaskan kasus-kasus berdasarkan variabel waktu, tempat, dan orang.

Metode

studi ini adalah studi yang deskriptif dengan seri kasus untuk menggambarkan karakteristik epidemiologi
dari AFP kasus implementasi pengawasan AFP di Surabaya dari 2014 hingga 2017. Sumber data yang
digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dari laporan pengawasan AFP yang diambil dari kantor
kesehatan Surabaya selama 2014-2017. Data itu juga didukung oleh profil kesehatan jawa timur, profil
kesehatan Surabaya, yang, dan laporan lain yang diterbitkan.

Analisis ini menggunakan analisis menyeluruh untuk mencari tahu tinjauan dari distribusi
frekuensi, jenis diagnosis akhir, dan tinjauan berdasarkan orang tersebut (usia, jenis kelamin), tempat
(kondisi geografis), dan variabel waktu. Diagnosis akhir kasus AFP dibagi menjadi lima jenis, sindrom
Guillain Barre (GBS), Chikungunya, kelumpuhan, Paraparesis. Variabel usia dibagi menjadi empat
kelompok termasuk < 1 tahun, 1-4 tahun, 5-8 tahun, dan 10-15 tahun.

Hasil

pengawasan AFP di Surabaya

total temuan AFP di Surabaya dari tahun 2014 hingga 2017 adalah 54 kasus. Surabaya memiliki target
untuk menemukan kasus-kasus AFP sebanyak 16 kasus setiap tahun. Tarif NPAFP di Surabaya menurun
dari 2014 hingga 2015, namun laju penjadaian terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Tidak ada
kasus polio positif yang ditemukan. Tingkat NPAFP Surabaya Melebihi target NPAFP nasional tahun 2017
(tabel 1).

Tabel 1

Msukkann gambbar tabel desos

* Tinjauan Diagnosis terakhir atas kasus-kasus AFP di Surabaya selama 2014-2017

mayoritas Diagnosis akhir (44,44%) kasus AFP adalah Guillain Barre Syndrome (GBS) (tabel 2).

Tabel 2

* Ikhtisar dari kasus-kasus AFP berdasarkan variabel


kasus AFP dari kasus yang ditemukan berdasarkan kelompok usia dari 2014 sampai 2017 sebagian besar
berdampak pada anak-anak di kelompok usia 1-4 tahun. Berdasarkan seks, mayoritas kasus AFP lebih
sering terjadi pada pria ketimbang wanita (tabel 3).

* Ikhtisar kasus-kasus AFP berdasarkan variabel tempat

berdasarkan hasil pemetaan kasus-kasus AFP menurut tempat itu, diperkirakan bahwa kasus AFP terjadi
di seluruh Surabaya. Namun, dari analisis empat tahun terakhir, beberapa negara memiliki kasus AFP
setiap tahunnya, seperti Sawahan, Rungkut, Tambaksari, sukomanada, Tegalsari, dan kabupaten
Wonokromo (gambar 2).

* Ikhtisar kasus-kasus AFP berdasarkan variabel waktu

ikhtisar kasus AFP di Surabaya dari 2014 sampai 2017 berfluktuasi. Puncak tertinggi dari temuan kasus
terjadi pada oktober 2016, hampir 70% kasus AFP ditemukan pada oktober 2016. Pola kasus yang
meningkat terjadi pada bulan April dan oktober dalam dua tahun terakhir, masing-masing. (gambar 3).

Diskusi

AFP surveilans di Surabaya

sistem pengawasan AFP konon bisa mendeteksi setidaknya 2 kasus AFP per 100.000 anak berusia <15
tahun (Makoni et al., 2017). Satu indikator keberhasilan pengawasan AFP adalah tidak adanya polio AFP
(NPAFP). Nilai NPAFP adalah jumlah kasus kelumpuhan akut yang cenderung layu diduga polio sampai
terbukti bukan polio oleh uji laboratorium. Menteri kesehatan Indonesia menetapkan nilai
minimum NPAFP di Indonesia dari 2/100.000 anak berusia <15 tahun (kementrian kesehatan 2018). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa temuan AFP di Surabaya telah melebihi target temuan setiap tahun.
Nilai NPAFP ini juga melampaui target NPAFP nasional pada 2017. Hal ini menunjukkan peningkatan
pengawasan AFP dalam menangkap kasus AFP dan membuktikan bahwa itu bukanlah polio.

Ikhtisar kasus AFP Diagnosis akhir di Surabaya selama 2014-2017

tingkat kasus umum tahunan Non-Polio AFP di Surabaya adalah sekitar 3,85 per 100.000 anak usia <15
tahun per 2017. Nilai ini sudah melebihi target minimum yang telah ditetapkan oleh WHO dan national
NPAFP untuk menemukan 2 kasus per 100.000 anak berusia <15 tahun (kementrian kesehatan RI, 2018).

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas kasus AFP terakhir di Surabaya adalah GBS
(sindrom Guillain Barre). Hampir semua penelitian yang berhubungan dengan pengawasan AFP
menunjukkan hasil yang sama. Sebuah kajian di irak memperlihatkan bahwa sebagian besar kasus AFP
didiagnosis sebagai sindrom Guillain Barre (52,50%) (Jasem et al, 2014). Hasil yang sama juga disebutkan
di Peru, yang juga dianggap sebagai penyebab gangguan saraf paralitik akut yang akut sehubungan
dengan kejadian-kejadian tahunan yang berkisar dari 0,50 sampai 2,00 per 100.000 penduduk (Diaz-
Soto, Chavez, Chaca, Alanya, & Tirado-Hurtado, 2019). Selain sebagai hasil penelitian yang dilakukan di
spanyol, GBS adalah diagnosis klinis yang paling umum sebagai kasus AFP terbesar selama 18 tahun
pengawasan AFP dari AFP pada tahun 1998 hingga 2015 (78. Calles et al., 2018).

Sindrom Guillain Barre (GBS) adalah kondisi neuropati di sistem saraf perifer yang tiba-tiba
terjadi akibat pengembangan kelemahan motorik. GBS adalah peradangan akut karena demyelination
dari polyuloneuropathy dari mekanisme autoimun. Karakteristik umum sindroma ini adalah kelemahan
otot lengan dan kaki akibat sistem stimulasi saraf kranial, kehilangan atau berkurangnya refleks tendon,
dan pemisahan albumin cytologis. Tinjauan atas populasi di eropa dan amerika utara
memperlihatkan bahwa insiden tahunan GBS berkisar dari 0,80-1,90 per 100.000 orang per tahun
(Willison, Jacobs, & van Doorn, 2016). Skala tahunan sedunia untuk jumlah GBS berkisar dari 0,50-2,00
kasus per 100.000 orang per tahun (Wachira, Peixoto, & de Oliveira, 2019).

Selain itu, hasil studi ini menunjukkan bahwa diagnosis kasus-kasus AFP pada 2016 dan 2017
menunjukkan perubahan pola menjadi lebih beragam dengan ensefalitis, paraparesis, chikungunya, dan
diagnosis lainnya. Diagnosa akhir berbagai kasus AFP disebabkan oleh sejumlah penyakit termasuk
dalam kategori AFP. Menurut WHO, paling tidak lebih dari 200 diagnosis dapat diklasifikasikan dalam
kasus AFP (kementrian kesehatan RI, 2007). Dalam penelitian lain, diagnosis AFP terbesar kedua dan
ketiga adalah myelitis transverse dan ensefalitis. Perubahan pada jenis - jenis diagnosis lebih beragam;
Itu terjadi karena peningkatan kemampuan staf medis untuk mengklasifikasikan gejala AFP dalam kasus-
kasus diagnosis (Soltani, Esmailnasab, Roshani, Karimi, & Amjadi, 2014).

Tinjauan atas kasus-kasus AFP berdasarkan variabel org

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan kasus AFP berdampak pada anak-anak di kelompok
usia 1-4. Hasilnya berkaitan dengan beberapa penelitian yang telah diadakan sebelumnya. Berbagai
penelitian di Iran memperkirakan bahwa 53,30% kasus AFP terjadi pada anak laki-laki yang usianya rata-
rata berkisar pada 5.39 dan juga 3.98 tahun (wong. & Shakurnia, 2017). Wabah penyakit dengan
manifestasi klinis AFP terjadi tertinggi pada anak-anak berusia kurang dari enam tahun (66%) dengan r.
5.93 (95%CI=3.20 10,70; HLM. Pd.01) (Soltani, Esmailnasab, Roshani, Karimi, & Amjadi, 2014).
Penelitian lain yang diadakan di irak juga menyatakan bahwa GBS adalah penyebab utama kasus
AFP. Hasilnya ditunjukkan oleh mayoritas kasus AFP yang terjadi pada anak-anak kelompok usia 1-4 yang
terinfeksi oleh GBS. Kecenderungan kasus AFP terjadi pada anak-anak adalah karena kisaran usia
cenderung lebih rentan terhadap infeksi dan demyelinasi saraf periferal (Jasem et al., 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio anak laki-laki yang terkena AFP lebih tinggi daripada
anak perempuan. Hasil yang sama juga ditemukan dalam sebuah studi di India yang menunjukkan sekitar
65.90% kasus AFP terjadi pada laki-laki (Khona, Prayag & Ashtagi, 2016). Salah satu penyebab anak lelaki
itu lebih rentan terkena AFP karena mereka lebih mudah terinfeksi GBS (sindrom Guillain Barre). Salah
satu faktor risiko yang dominan GBS adalah jenis kelamin; Sebuah penelitian memperkirakan bahwa
jumlah GBS adalah 1,50 kali lebih banyak di antara kaum pria (Ansari, Basiri, Derakhshan, Kadkhodaei, &
Okhovat, 2018). Sebuah penelitian oleh wong & Shakurnia (2017) juga memperlihatkan hasil serupa
bahwa anak berusia di bawah 15 tahun lebih umum pada anak laki-laki ketimbang anak perempuan.
Kajian lain yang dilakukan menunjukkan temuan serupa bahwa sekitar 63,50% kasus GBS terjadi pada
pria, walaupun hasil tes t-menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara pria dan wanita
yang ditemukan dengan nilai p-yakni 0,95 (Ghazavi, Moghim, Sabaghi, Fadaei, & Naeini, 2015). Hasil
dari penelitian serupa lainnya juga memperlihatkan bahwa persentase kasus GBS yang lebih tinggi terjadi
pada pria (55%) dibandingkan wanita, meskipun perhitungan tidak secara statistik menunjukkan
perbedaan yang signifikan (r. K.93; 95%CI: 0,77- 1,12; P = 0,05) (Soltani, Esmailnasab, Roshani, Karimi, &
Amjadi, 2014). Penyebab pasti dari banyaknya kasus yang terjadi pada pria belum dijelaskan oleh studi
atau literatur apapun. Alasan kecenderungan dalam usia dan jenis kelamin masih belum dijawab,
terutama dalam penyakit autoimun (Hughes, Cornblath, & Willison, 2016). Hasil penelitian atas orang ini
sebagai variabel menunjukkan kecenderungan kasus AFP ditemukan pada anak laki-laki dan pada
kelompok usia 1-4. Hasilnya dapat dipertimbangkan dalam menentukan kelompok-kelompok yang rentan
untuk mencegah infeksi poliovirus.

Meninjau kasus-kasus AFP berdasarkan urutan tempat

hasil analisis dalam empat tahun terakhir menunjukkan bahwa beberapa daerah rentan terhadap kasus-
kasus AFP setiap tahunnya, seperti Sawahan, Rungkut, Tambaksari, sukomanada, Tegalsari, dan
kabupaten Wonokromo. Keenam distrik mempunyai kesamaan dalam hal kepadatan penduduk
(Surabaya Health Office, 2017). Kami optimis rupiah akan kembali menguat, karena sentimen pasar
masih positif, katanya. Analisis ini mempengaruhi kasus AFP dengan menggunakan racun regresi tes.
Studi ini menyatakan bahwa salah satu unsur yang mempengaruhi jumlah kasus AFP adalah kepadatan
penduduk. Dalam penelitian yang dilakukan, tercatat bahwa setiap kenaikan kepadatan populasi sebesar
1% akan mempengaruhi pertambahan 1% kasus AFP (Deliana, Yendra, & Desvina, 2018). Kepadatan
penduduk dikaitkan dengan NPAFP, tempat sistem kekebalan tubuh dan sanitasi memungkinkan
penyebaran agen - agen pencemar di perkampungan yang padat penduduk (Maan, Dhole, & Chowdhary,
2019).

Study-terkait dengan GBS yang dilakukan di Khuzestan, Iran menganalisis tren dalam insiden GBS
secara geografis dengan membagi kawasan itu menjadi dua kategori (perkotaan dan pedesaan). Rata-
rata tingkat kecelakaan adalah 1,62 di daerah perkotaan, dan 1,28 di pedesaan per 100.000 orang per
tahun. Secara statistik, nilai dari jumlah peristiwa antardesa dan kota menunjukkan hasil yang tidak
penting dan juga ada nilai dari 0.09 (wong. & Shakurnia, 2017). Informasi mengenai hasil pemetaan dari
kasus AFP dapat dipertimbangkan dalam mendukung pemberantasan polio. Dengan meningkatkan
cakupan imunisasi, imunisasi akan menjadi lebih efektif dan ditargetkan.

Penelitian atas AFP dilakukan berdasarkan variabel waktu

Studi yang berhubungan dengan AFP berdasarkan karakteristik musim di negara-negara yang memiliki
dua musim seperti Indonesia saat ini masih terbatas. Hampir semua penelitian epidemiologi AFP dan
GBS dilakukan di negara-negara empat musim. Studi tentang insiden GBS berdasarkan analisis musiman
dilakukan di rumah sakit John Radcliffe, Oxford selama 2001-2012. Hasilnya menunjukkan bahwa
ada peningkatan 14% dalam risiko peningkatan GBS di musim dingin dibandingkan dengan musim panas
(IRR= 1,14; 95%CI = 1.027; P = 0,02) (IRR= 1,14; 1.027; P = 0,02) (Webb, Brain, Wood, Rinaldi, & Turner,
2017).

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kasus AFP mencapai puncak tertinggi di Surabaya
terjadi pada bulan oktober 2016. Pola kasus AFP yang meningkat terjadi pada bulan April dan oktober
selama dua tahun terakhir. Menurut A study of AFP yang telah dilakukan di India, kasus-kasus tersebut
terjadi sepanjang tahun dengan persentase yang paling signifikan dalam periode musim hujan (juni
hingga September) (Maan et al., 2019). Musim hujan adalah fenomena cuaca disebabkan oleh efek
panas yang dapat mempengaruhi curah hujan di wilayah. Fenomena ini mencakup hujan musim dingin
(November-March) dan hujan musim panas (akhir May-September). Daerah hujan terletak di 250SL-
350NL dan 300 pon - 1700LE. Dengan demikian, Indonesia akan dikategorikan sebagai daerah yang
terkena dampak musim hujan. Kawasan itu terletak bersama negara-negara asia tenggara lainnya seperti
India bagian timur, cina bagian selatan, Myanmar, Thailand, Vietnam, Laos, kamboja, Malaysia,
singapura, Borneo, filipina, dan Papua barat. Iklim musim hujan yang berbeda mencirikan daerah paling
padat penduduk di benua asia ini.

Luas pegunungan ini bervariasi dari ekstratropic di Asia timur hingga subbenua india (Li, Ting, &
Lee 2018).

Pada bulan oktober sampai April, Indonesia mengalami musim hujan. Salah satu alasan ini
terjadi adalah karena fenomena hujan musim dingin ( hujan musim dingin). Pada periode hujan musim
dingin, posisi matahari terletak di belahan bumi selatan (kawasan Australia), menyebabkan temperatur
yang lebih tinggi dengan tekanan rendah di Australia. Pada saat yang sama, suhu di wilayah asia turun
drastis akibat tekanan tinggi. Perbedaan temperatur dan tekanan mempengaruhi arah angin, sehingga
menyebabkan musim hujan di Indonesia (Loo, Billa, & Singh, 2015). Pada bulan oktober hingga
maret, rata-rata suhu rata-rata di Indonesia, khususnya di provinsi jawa timur berkisar dari 20.50 sampai
22,40 celcius. Rata-rata curah hujan Surabaya setiap bulan adalah 248 mm, sementara curah hujan lebih
dari 500 mm di stasiun Juanda terjadi pada bulan februari dan oktober (kantor pusat statistik indonesia,
2015).

Fenomena musim hujan sangat berpengaruh atas penentuan musim di Indonesia, baik musim
hujan maupun musim kering (Loo et al, 2015). Studi lain mengatakan hujan musim panas mengakibatkan
80% curah hujan tahunan, yang berdampak pada ekonomi, pertanian, ekosistem, dan kesehatan
setempat (Li et al., 2018).

Faktor-faktor cuaca menciptakan berbagai kondisi lingkungan dan sosial, yang mengakibatkan timbulnya
banyak penyakit menular pada manusia dan binatang. Kondisi iklim dan cuaca juga berperan dalam
menyebabkan wabah penyakit menular di beberapa kawasan (McMichael, 2015). Cuaca dan
komponen-komponen iklim seperti suhu udara, tingkat kelembapan, dan curah hujan, serta kecepatan
angin dan arah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup virus dan patogen. Komponen-komponen ini
secara tidak langsung mempengaruhi kondisi sistem kekebalan tubuh manusia. Kondisi ini disebabkan
oleh perubahan iklim yang bisa meningkatkan tingkat pertumbuhan gigitan dan reproduksi vektor dan
juga mempersingkat masa inkubasi patogen (Chowdhury et al., 2018). Gambaran kasus AFP pada
musim ini dapat digunakan sebagai informasi untuk memonitor dan mendeteksi dini sehingga dapat
meningkatkan kesiagaan personel medis untuk melaksanakan pencegahan dalam bulan yang meningkat.

Keterbatasaan/batasan penelitian

Tinjauan kasus-kasus AFP di Surabaya memperlihatkan bahwa diagnosis terakhir AFP tertinggi adalah
GBS (sindrom Guillain Barre). Kasus AFP menimpa kebanyakan anak usia 1-4 yang berumur dan lebih
umum terjadi pada anak laki-laki. Kasus-kasus AFP sering ditemukan di wilayah yang memiliki kepadatan
penduduk tinggi. Pola kasus yang meningkat terjadi pada bulan oktober selama dua tahun, masing-
masing.

Anda mungkin juga menyukai