Bapak/Ibu sekalian, tidak jaman lagi kita berharap anak-anak kita itu harus
pintar Matematika, jago di sekolah, ranking, masuk kampus top, cumlaude.
Dsbgnya. Tidak harus selalu begitu rumusnya. Karena hari ini, ada banyak sekali pilihan hidup baginya. Jadi petenis misalnya. Jangan salah, kehidupan petenis itu sangat menakjubkan. Dari aspek pendapatan sangat menarik. Hari ini, Australia Terbuka selesai. Novak Djokovic juara. Berapa hadiahnya? 4,12 juta dollar, alias 50 milyar lebih. Dan tidak harus juara satu, cukup masuk ronde pertama saja, sudah dapat hadiah 90.000, alias 1 milyar lebih. Pemain2 tenis top seperti Serena William bersaudari misalnya, masing2 mengumpulkan hadiah dari pertandingan tenis lebih dari 80 juta dollar, alias 1,2 trilyun rupiah. Jangan tanya seperti Novak Djokovic, dia mengumpulkan 140 juta dollar lebih, alias nyaris 2 trilyun. Kita bahkan belum menghitung penghasilan dari bintang iklan, promosi, dll. Lebih banyak lagi. Dan lagi2 tidak perlu jadi pemain top sekali kayak mereka. Cukup masuk grade ke-2 atau ke-3 atau ke-4 sekalipun, tetap bisa mengumpulkan jutaan dollar. Pekerjaannya melanglang buana ke seluruh dunia. Naik pesawat, nginep di hotel. Amerika, Eropa, Australia, Asia, ikut berbagai pertandingan tenis. Asyik, kan. Bertanding dengan sportif. Insya Allah rezekinya halal. Bukan sekadar rezeki jadi pejabat gara2 nepotisme atau menjilat biar dipilih. Bayangkan, Bapak/Ibu, jika anak gadis kalian adalah pemain tenis ini. Sejak kecil juga dididik jadi anak yang baik. Pakai kerudung, elegan, gagah perkasa di lapangan. Bukan hanya juara dan dapat uang, dia bisa jadi 'ustazah' level dunia. Tampilannya di atas lapangan, juga kehidupannya yang bersahaja nan baik, bisa jadi alat dakwah yang sangat nyata dan efektif. Padahal dia tidak harus ceramah satu ayat pun. Tapi itu tidak instan. Tidak ada prestasi dicapai dengan mudah. Petenis2 top hari ini, bahkan sudah mulai pegang raket sejak balita. Dididik sejak kecil. Disiapkan sejak kecil. Pun termasuk jika dia ingin jadi pemain badminton, pelari cepat, atau atlet2 top lainnya. Bagaimana kalau anaknya tidak suka tenis, tidak suka olahraga. Baik. Lantas dia suka apa? Bercerita. Sukanya cuma ceritaaa melulu. Nontooon melulu. Wah, ini juga menarik. Didik dia jadi pembuat film yang hebat kelak. Jangan remehkan film. Karena film2 top dunia itu, bahkan ada yang laku hingga 40 trilyun hanya dari jualan tiketnya saja. Belum menghitung merchandise, belum menghitung revenue lainnya, bisa total 100 trilyun hanya dari satu film. Berapa hutang Indonesia? Katakanlah 4000 trilyun. Maka cukup bikin 40 film, lunas hutangnya. Buat apa capek2 ngeduk tambang, bikin jutaan mobil, pabrik, dll. Bikin film saja. Beres. Dan enaknya bikin film, dia bisa keliling dunia juga. Maka didik anak-anak kita jadi pembuat film top. Bayangkan, sudah laku keras itu film, eh ternyata ceritanya juga sangat bermutu. Mendidik generasi berikutnya. Jadi contoh baik. Menginspirasi. Itu bisa jadi alat dakwah yang berkali2 lebih efektif. Kita didik anak kita jadi pembuat film, malah dapatnya dobel. Amal jariyah tak terhingga. Hari ini, ada banyak sekali pilihan profesi. Termasuk jika anak kita mau jadi penyanyi top. Desainer top. Segala profesi yang bisa berkontribusi secara positif bagi sekitar (bukan malah merusak sekitar). Sudah tidak jamannya lagi semua anak harus ikut pola orang tuanya dulu. Besok lusa mereka akan jadi citizen dunia. Tidak banyak lagi batas2 negara, maka siapkanlah anak kita jadi petarung yang mampu menaklukkan dunia. Dan pastikan selalu lengkapi pendidikan kejujuran. Karena bukan apa2, jika anak kita itu sejak kecil suka berbohong, suka nyontek di sekolah, besok lusa dia tidak akan jadi petenis top, atau pembuat film top, dia malah jadi politikus jahat. Misalnya, dia jadi caleg partai. Yang saat sudah kalah sekalipun, dia tetap mengotot menyuap siapapun agar tetap menang. Dan elit partainya yg juga korup, juga ikut semangat bantuin. Begitulah. Namanya juga sudah suka bohong sejak kecil. Yang satu ini, duuuh, ngimpi saja akan berkontribusi positif bagi sekitarnya. *Tere Liye