Anda di halaman 1dari 9

Jelang subuh merambati

Memasuki halamanmu terbayang Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah mendera-dera


Di depan Ka'bah pertama kali kulantunkan do'a untukmu berjuta deras air mata mengalir
Tatkala dahi bersujud di permaidani masjid-Mu
Terasa gigilan yang amat sangat
Sebab menahan rasa haru dan syukur
Subhanallah...
Hanya Engkau ya Allah, yang mengetahui setiap apa yang tersembunyi di balik hati ini
Yang tak mampu tertuang dengan sebatas kata

Setiap kali azan berkumandang di bumi penuh berkah


Setiap kali kaki berjalan memenuhi
Tiada lelah seakan rindu bertemu dengan-Mu
Menjadi aliran energi kehidupan tak bertepi
Subhanallah...
Maha Suci Allah Yang Menciptakan Alam Duniawi...
Menumbuhkan rindu berapi-api akan Tanah Suci
Rindu ingin selalu beribadah tiada henti
Rindu melantunkan do'a dan mengadu pada-mu.
Menangis dan bermunajat kehadirat-Mu

Rindu pada harumnya Ka'bah yang mulia


Ingin bertawaf memuliakanmu
Rindu pada Safa Dan Marwa yang mengajarkan makna beribu pengorbanan Siti Hajar dan Nabi Ismail
Rindu air Zam-Zam-Mu yang mampu mengusir dahaga berjuta tamu-Mu yang datang ke rumah mulia-Mu

Ya Allah... Duhai Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, Al-Maalik, Al-Qudduus, As-Salaam...

Batinku bagai dimensi tak berbingkai


Saat diriku bersujud hina di hadapan Ka’bah...
Begitu dekat terasa dengan-Mu
Untaian do'a dengan menangis di Multazam, Tempat paling mustajab
Tempat semua doa akan terjawab
Dalam balutan kain putih
Bersama jiwa-jiwa lain yang merindu pada-Mu
Yang datang dengan totalitas hati jiwa dan raga
Untuk menjadi tamu-Mu

Dengan hati bergetar, lisan yang berucap ‘Labbaik Allaahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik.
Innalhamda wanni’mata, lakawal mulk, laa syariikalak.’ MenujuMu...Menyahut seruanMu.. Berakhir di
pelukanMu...
Subhanallah...

Ya Allah, Engkau mengundangku ke rumah agung-Mu


Kiblat umat muslim sepenjuru dunia
Mungkinkah Engkau memperkenankan aku datang bertamu lagi
Pada diri yang penuh peluh noda dan alfa
Dengan segenap kerinduan yang menggunung Aku akan datang lagi, dengan izin-Mu
Meski harus tertatih...
Meski harus menyeret langkah
Dengan serpihan cinta yang kurekatkan rapat-rapat
Aku ingin kembali
Menjadi tamu-Mu

Ya Allah, ya Robbi...
Betapa rindu aku ingin kembali...
Aku bagaikan petualang yang telah lama tidak pulang dan merasa ingin kembali...
Betapa aku berharap, kerinduan ini cukup untuk menghantarkanku ke Mekkah dan Madinah kembali
Tempat Rasulullah, sang habibullah berawal dan berakhir...
Menyampaikan salam kepada Rasulullah di Raudhah...
Menyungkurkan taubatku di hadapan kesaksian Ka’bah
Tempat cahaya keislaman memancar dan menjadi ‘rahmatan lil ‘aalamin’...
Tempat terindah untuk dijadikan kiblat di setiap langkah mereka yang mengaku hamba Allah...
Dengan lantunan ayat suci qiyamullail yang menghidup nadi imanku...
Dengan salawat kerinduan pada kekasihMu yang mendamai ragaku...

Aku ingin bertemu kembali ya Rabbul ‘Izzati...


‘Labbaik Allaahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik. Innalhamda wanni’mata, lakawal mulk,
laa syariikalak.’ MenujuMu...Menyahut seruanMu.. Berakhir di pelukanMu...

Hingga kini masih kurasa rindu itu


Pada Tanah Haram bumi penuh berkah-Mu
Semoga Allah mengizinkan untuk datang bertamu
Sebelum badan dikandung tanah...

"Wahai Tuhan kami! Terimalah daripada kami (amal kami); sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar, lagi Maha mengetahui [al-Quran, al-Baqarah:127]

Ya Allah, izinkan aku kembali...

Meski tak ada air terjun seindah Niagara di tempat ini. Tak ada pula aneka taman
bunga yang indah berseri. Ataupun dunia fantasi yang menyenangkan buah hati.
Tapi semua pengunjung merasa nyaman di tempat ini. Banyak hati rindu untuk
mendatangi, dan banyak doa terlantun agar bisa mendatangi.

Itulah Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah dimana Ka’bah berada


didalamnya. Tak ada tempat ibadah ataupun wisata manapun yang lebih banyak
dikunjungi dari tempat ini. Dan tak ada lokasi yang lebih mengesankan dan lebih
dirindukan berkali-kali melebihi tempat ini.

Sudah Selayaknya Hati Ini Rindu


Bagaimana seorang muslim tidak merindukannya. Disitulah tempat dimana Islam
bermula, tempat dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan.
Disitulah banyak peristiwa besar dan mengesankan terjadi dalam sejarah. Membaca
dan mengingat sejarahnya saja, membuat hati kita haru, lantas bagaimana kiranya
tatkala kita bisa menginjakkan kaki di sana.
Namun kerinduan seorang muslim bukan semata-mata karena faktor nostalgia
sejarah. Lebih dari itu, banyak sisi fadhilah dan keutamaan yang bisa didapatkan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “ Allah


Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri. Negeri terbaik serta termulia jatuh
pada tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabi terakhir dari tempat
tersebut dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat
menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan
mendatangi tanah yang mulia itu.”
Itulah tempat yang diberkahi sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah)
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96).
Begitu mulianya tempat itu, hingga shalat didalamnya lebih utama dari seratus ribu
shalat di tempat yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada
1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram
lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah, Al-Albani mengatakan “shahih”)
Wajar jika melihat manusia berduyun-duyun memakmurkan Masjidil Haram setiap
waktu. Bahkan hinggga kini, terbilang sulit untuk mencari tempat sujud di
dalamnya, terutama di bulan Ramadhan dan musim haji. Bukan karena sempitnya
tempat, tapi karena saking banyaknya manusia yang ingin mendapatkan tempat
sujud di dalamnya. Butuh kesungguhan dan dating lebih awal untuk mendapatkan
tempat sujud dengan nyaman.

Ritual Ibadah Tingkat Tinggi


Ke tempat yang mulia itu pula Allah Ta’ala mengundang seluruh manusia untuk haji
dan beribadah kepada-Nya, bahkan undangan ini berlaku sejak Nabi
Ibrahim ‘Alaihissalamdiperintahkan untuk menyeru manusia, sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
dating kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
dating dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Sungguh merupakan karunia yang besar jika kita termasuk orang-orang yang diberi
kekuatan dan kemampuan untuk mendatangi undangan yang mulia ini.

Haji adalah ritual ibadah tingkat tinggi. Dimana semua potensi dilibatkan dalam
prosesnya. Harta yang tidak sedikit harus dicurahkan, segenap tenaga harus
dikerahkan, ketegaran mental dan hati mutlak diperlukan. Namun itu semua tak
menciutkan nyali orang-orang yang telah merindukannya. Karena hasil yang bisa
diraih lebih hebat lagi dari usaha yang dikerahkan.

Betapa tidak, ibadah haji mampu membersihkan dosa-dosa yang


kita ‘produksi’ setiap waktunya. Hingga kesempurnaan haji bisa menjadi sebab
terhapusnya dosa secara total. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata jorok dan tidak berbuat
kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh
ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan besarnya pengorbanan para hujjaj tersebut, tidak ada reward atau balasan
yang bisa menutup dan mencukupinya selain jannah. Terlalu remeh jika balasan haji
hanya sebatas gelar haji, sebatas bertambahnya relasi atau lancarnya rejeki. Bahkan
kenikmatan dunia dan seisinya masih terlalu remeh dan belum cukup untuk
mengganjar orang yang berhaji. Dan hanya jannah yang sepadan dan layak diberkan
sebagai balasan bagi orang yang berhaji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Dan haji yang mabrur, tidak ada balasan (yang layak) selain jannah.” (HR.
Bukhari)
Jadi, hadits ini tidak mengingkari kemungkinan adanya faedah dan keberkahan
duniawi yang diperoleh bagi orang yang berhaji. Akan tetapi, sebagai penekanan
bahwa hanya jannah yang bisa mencukupi keutamaan orang yang berhaji.

Apa Daya, Bekal Tiada


Meskipun semua orang merindukannya, belum tentu semua mampu
menunaikannya. Karenanya, kewajiban haji berlaku hanya bagi orang yang mampu
menempuh perjalanannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Biasanya, tatkala seseorang membaca ayat ini otomatis tergambar bahwa hanya
orang kaya yang bisa berhaji. Sehingga orang-orang yang belum dikarunia
kecukupan harta menjadi ciut nyalinya. Dan tak sedikit diantara kaum muslimin
yang belum ada gambaran di benaknya untuk berhaji lantaran melihat minimnya
ekonomi.

Ia lupa, bahwa ternyata tak sedikit orang yang miskin namun Allah takdirkan bisa
menginjakkan kakinya di tanah suci. Sangat menarik dialog seorang
tabi’in, Ibrahim bin Adham dengan seseorang yang hendak berhaji. Suatu kali
seseorang yang mengendarai unta melewati Ibrahim bin Adham yang sedang
berjalan kaki, lalu menyapa,
“Hendak kemana anda pergi wahai Ibrahim?” Beliau menjawab, “Saya hendak
pergi berhaji.” Orang itu heran dan berkata, “Mana kendaraanmu? Bukankah
jalan menuju Mekkah itu jauh?” Beliau menjawab, “Saya memiliki banyak
kendaraan yang anda tidak melihatnya.” Makin penasaranlah orang itu, lalu
bertanya kembali, “Kendaraan apa itu?” Beliau menjawab, “Jika terjadi
musibah, kendaraanku adalah sabar, jika mendapatkan nikmat
kendaraanku adalah syukur, dan jika takdir turun, kendaraanku
adalah ridha.”
Beliau tidak bermaksud mengesampingkan kendaraan pengangkut fisik maupun
perbekalan materi. Namun dengan kesiapan hati dan kekuatan mentalnya, seseorang
akan mampu mencapai tanah suci atau setidaknya memperoleh pahala haji.

Awali dengan Niat, Tempuh Jalan yang Mampu Diperbuat


Yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang merindukan haji adalah mengawalinya
dengan niat. Dengan niat yang tulus dan ikhlas, ia tak akan luput dari pahala haji.
Bisa jadi dengan niat dan tekadnya yang tulus Allah berkenan member kemudahan
jalan yang tak disangka-sangka. Dan kisah tentang ini bertebaran dari zaman ke
zaman.

Atau jika ternyata Allah tidak mentakdirkan ia sampai ke Baitullah, ia tetap


mendapatkan pahala haji karena niatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Perumpamaan umat ini seperti perumpamaan empat golongan; ada orang yang
dikaruniai Allah keluasan harta dan ilmu, maka dia mengelola hartanya dengan
ilmunya dan ia tunaikan sesuai haknya. Ada orang (kedua) yang tidak dikaruniai
kecukupan harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki harta seperti dia,
niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat’. Lalu Rasulullah bersabda,
“Maka keduanya mendapatkan pahala yang sama.” (HR. Ibnu Majah)
Maka tatkala seseorang belum diberi karunia harta, lalu ia melihat ada orang kaya
yang menggunakan hartanya untuk berhaji dan ia bercita-cita seperti itu, niscaya ia
mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berhaji.

Tersebut dalam hadits Al-Bukhari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallambersabda,
“Maka barangsiapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan dan dia belum
mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna di
sisi-Nya.” (HR. Bukhari)
Sebagai bukti akan tekad dan niatnya, ia tidak akan tinggal diam. Ia akan berusaha
semampunya untuk bisa menjalankannya. Jika seseorang terhalang haji karena
kuota yang terbatas, atau antrian terlalu panjang, atau sebab lain sementara dia
mampu menempuh perjalanan umroh di bulan lain, hendaknya ia melakukannya.

Diriwayatkan dalam shahihain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma,


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seorang wanita
Anshar, “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia
menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor unta yang dipakai
untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor
unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi
tanaman.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
“Maka apabila datang ramadhan, ber-umrahlah. Karena sesungguhnya umrah di
dalamnya menyamai ibadah haji.” Dalam riwayat lain, “Seperti haji bersamaku.”
Ibnu Rajab Rahimahullah dalam ‘Lathaif al-Ma’arif’ berkata, “Dan ketahuilah,
orang yang tak mampu dari satu amal kebaikan dan bersedih serta berangan-
angan bisa mengerjakannya maka ia mendapat pahala bersama dengan orang
yang mengerjakannya.” Lalu beliau menyebutkan riwayat tersebut sebagai satu
contohnya.
Semoga Allah Jalla wa ‘ala memudahkan kita untuk ziarah dan menunaikan ibadah
haji ke Baitullah yang mulia. Allohumma aamiin.
*)Fursanul Izzah – 15 Oktober 2013/10 Dzulhijjah 1434 H, dalam kerinduanku
untuk dapat menunaikan ibadah Haji ke Baitullah
[Source : ar-risalah vol.XII no.4/12]

Bila Hati Ini Rindu Haji


Meski tak ada air terjun seindah Niagara di tempat ini. Tak ada pula aneka taman
bunga yang indah berseri. Ataupun dunia fantasi yang menyenangkan buah hati.
Tapi semua pengunjung merasa nyaman di tempat ini. Banyak hati rindu untuk
mendatangi, dan banyak doa terlantun agar bisa mendatangi.

Itulah Masjidil Haram di Makkah Al-Mukarramah dimana Ka’bah berada


didalamnya. Tak ada tempat ibadah ataupun wisata manapun yang lebih banyak
dikunjungi dari tempat ini. Dan tak ada lokasi yang lebih mengesankan dan lebih
dirindukan berkali-kali melebihi tempat ini.

Sudah Selayaknya Hati Ini Rindu


Bagaimana seorang muslim tidak merindukannya. Disitulah tempat dimana Islam
bermula, tempat dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan.
Disitulah banyak peristiwa besar dan mengesankan terjadi dalam sejarah. Membaca
dan mengingat sejarahnya saja, membuat hati kita haru, lantas bagaimana kiranya
tatkala kita bisa menginjakkan kaki di sana.
Namun kerinduan seorang muslim bukan semata-mata karena faktor nostalgia
sejarah. Lebih dari itu, banyak sisi fadhilah dan keutamaan yang bisa didapatkan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “ Allah


Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri. Negeri terbaik serta termulia jatuh
pada tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabi terakhir dari tempat
tersebut dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat
menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan
mendatangi tanah yang mulia itu.”
Itulah tempat yang diberkahi sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah)


manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96).
Begitu mulianya tempat itu, hingga shalat didalamnya lebih utama dari seratus ribu
shalat di tempat yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada
1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram
lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah, Al-Albani mengatakan “shahih”)
Wajar jika melihat manusia berduyun-duyun memakmurkan Masjidil Haram setiap
waktu. Bahkan hinggga kini, terbilang sulit untuk mencari tempat sujud di
dalamnya, terutama di bulan Ramadhan dan musim haji. Bukan karena sempitnya
tempat, tapi karena saking banyaknya manusia yang ingin mendapatkan tempat
sujud di dalamnya. Butuh kesungguhan dan dating lebih awal untuk mendapatkan
tempat sujud dengan nyaman.

Ritual Ibadah Tingkat Tinggi


Ke tempat yang mulia itu pula Allah Ta’ala mengundang seluruh manusia untuk haji
dan beribadah kepada-Nya, bahkan undangan ini berlaku sejak Nabi
Ibrahim ‘Alaihissalamdiperintahkan untuk menyeru manusia, sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
dating kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
dating dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Sungguh merupakan karunia yang besar jika kita termasuk orang-orang yang diberi
kekuatan dan kemampuan untuk mendatangi undangan yang mulia ini.

Haji adalah ritual ibadah tingkat tinggi. Dimana semua potensi dilibatkan dalam
prosesnya. Harta yang tidak sedikit harus dicurahkan, segenap tenaga harus
dikerahkan, ketegaran mental dan hati mutlak diperlukan. Namun itu semua tak
menciutkan nyali orang-orang yang telah merindukannya. Karena hasil yang bisa
diraih lebih hebat lagi dari usaha yang dikerahkan.
Betapa tidak, ibadah haji mampu membersihkan dosa-dosa yang kita ‘produksi’
setiap waktunya. Hingga kesempurnaan haji bisa menjadi sebab terhapusnya dosa
secara total. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata jorok dan tidak berbuat
kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh
ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan besarnya pengorbanan para hujjaj tersebut, tidak ada reward atau balasan
yang bisa menutup dan mencukupinya selain jannah. Terlalu remeh jika balasan haji
hanya sebatas gelar haji, sebatas bertambahnya relasi atau lancarnya rejeki. Bahkan
kenikmatan dunia dan seisinya masih terlalu remeh dan belum cukup untuk
mengganjar orang yang berhaji. Dan hanya jannah yang sepadan dan layak diberkan
sebagai balasan bagi orang yang berhaji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Dan haji yang mabrur, tidak ada balasan (yang layak) selain jannah.” (HR.
Bukhari)
Jadi, hadits ini tidak mengingkari kemungkinan adanya faedah dan keberkahan
duniawi yang diperoleh bagi orang yang berhaji. Akan tetapi, sebagai penekanan
bahwa hanya jannah yang bisa mencukupi keutamaan orang yang berhaji.

Apa Daya, Bekal Tiada


Meskipun semua orang merindukannya, belum tentu semua mampu
menunaikannya. Karenanya, kewajiban haji berlaku hanya bagi orang yang mampu
menempuh perjalanannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Biasanya, tatkala seseorang membaca ayat ini otomatis tergambar bahwa hanya
orang kaya yang bisa berhaji. Sehingga orang-orang yang belum dikarunia
kecukupan harta menjadi ciut nyalinya. Dan tak sedikit diantara kaum muslimin
yang belum ada gambaran di benaknya untuk berhaji lantaran melihat minimnya
ekonomi.

Ia lupa, bahwa ternyata tak sedikit orang yang miskin namun Allah takdirkan bisa
menginjakkan kakinya di tanah suci. Sangat menarik dialog seorang tabi’in, Ibrahim
bin Adham dengan seseorang yang hendak berhaji. Suatu kali seseorang yang
mengendarai unta melewati Ibrahim bin Adham yang sedang berjalan kaki, lalu
menyapa,

“Hendak kemana anda pergi wahai Ibrahim?” Beliau menjawab, “Saya hendak
pergi berhaji.” Orang itu heran dan berkata, “Mana kendaraanmu? Bukankah
jalan menuju Mekkah itu jauh?” Beliau menjawab, “Saya memiliki banyak
kendaraan yang anda tidak melihatnya.” Makin penasaranlah orang itu, lalu
bertanya kembali, “Kendaraan apa itu?” Beliau menjawab, “Jika terjadi
musibah, kendaraanku adalah sabar, jika mendapatkan nikmat
kendaraanku adalah syukur, dan jika takdir turun, kendaraanku
adalah ridha.”
Beliau tidak bermaksud mengesampingkan kendaraan pengangkut fisik maupun
perbekalan materi. Namun dengan kesiapan hati dan kekuatan mentalnya, seseorang
akan mampu mencapai tanah suci atau setidaknya memperoleh pahala haji.

Awali dengan Niat, Tempuh Jalan yang Mampu Diperbuat


Yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang merindukan haji adalah mengawalinya
dengan niat. Dengan niat yang tulus dan ikhlas, ia tak akan luput dari pahala haji.
Bisa jadi dengan niat dan tekadnya yang tulus Allah berkenan member kemudahan
jalan yang tak disangka-sangka. Dan kisah tentang ini bertebaran dari zaman ke
zaman.

Atau jika ternyata Allah tidak mentakdirkan ia sampai ke Baitullah, ia tetap


mendapatkan pahala haji karena niatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Perumpamaan umat ini seperti perumpamaan empat golongan; ada orang yang
dikaruniai Allah keluasan harta dan ilmu, maka dia mengelola hartanya dengan
ilmunya dan ia tunaikan sesuai haknya. Ada orang (kedua) yang tidak dikaruniai
kecukupan harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki harta seperti dia,
niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat’. Lalu Rasulullah bersabda,
“Maka keduanya mendapatkan pahala yang sama.” (HR. Ibnu Majah)
Maka tatkala seseorang belum diberi karunia harta, lalu ia melihat ada orang kaya
yang menggunakan hartanya untuk berhaji dan ia bercita-cita seperti itu, niscaya ia
mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berhaji.

Tersebut dalam hadits Al-Bukhari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallambersabda,
“Maka barangsiapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan dan dia belum
mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna di
sisi-Nya.” (HR. Bukhari)
Sebagai bukti akan tekad dan niatnya, ia tidak akan tinggal diam. Ia akan berusaha
semampunya untuk bisa menjalankannya. Jika seseorang terhalang haji karena
kuota yang terbatas, atau antrian terlalu panjang, atau sebab lain sementara dia
mampu menempuh perjalanan umroh di bulan lain, hendaknya ia melakukannya.

Diriwayatkan dalam shahihain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma,


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seorang wanita
Anshar, “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia
menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor unta yang dipakai
untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor
unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi
tanaman.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
“Maka apabila dating ramadhan, ber-umrahlah. Karena sesungguhnya umrah di
dalamnya menyamai ibadah haji.” Dalam riwayat lain, “Seperti haji bersamaku.”
Ibnu Rajab Rahimahullah dalam ‘Lathaif al-Ma’arif’ berkata, “Dan ketahuilah,
orang yang tak mampu dari satu amal kebaikan dan bersedih serta berangan-
angan bisa mengerjakannya maka ia mendapat pahala bersama dengan orang
yang mengerjakannya.” Lalu beliau menyebutkan riwayat tersebut sebagai satu
contohnya.
Semoga Allah Jalla wa ‘ala memudahkan kita untuk ziarah dan menunaikan ibadah
haji ke Baitullah yang mulia. Allohumma aamiin.

*) Fursanul Izzah – 15 Oktober 2013 / 10 Dzulhijjah 1434 H, Dalam kerinduan yang


mendalam untuk dapat menunaikan ibdah Hajji ke Baitullah
Source : [ar-risalah vol.XII no.4/12]

Anda mungkin juga menyukai