Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KIMIA ANORGANIK LANJUTAN

ANALISIS KRISTAL

OLEH

EVA MUSIFA

NIM 1920412008

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS MIPA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG
Kristal terbentuk dari komposisi atom-atom, ion-ion atau molekulmolekul zat
padat yang memiliki susunan berulang dan jarak yang teratur dalam tiga dimensi. Pada
hubungan lokal yang teratur, suatu kristal harus memiliki rentang yang panjang pada
koordinasi atom-atom atau ion dalam pola tiga dimensi sehingga menghasilkan
rentang yang panjang sebagai karakteristik dari bentuk Kristal tersebut. Adapun untuk
menganalisis Kristal dibutuhkan beberapa metode yang terbagi atas metode analisa
menggunakan sinar X, metode menggunakan pembesaran mikroskopi dan metode
analisa termal. Berikut ulasan beberapa metode tersebut.

ANALISA MENGGUNAKAN SINAR-X (X-RAY)

Berdasarkan prinsip yang terjadi pada saat berkas sinar X berinteraksi dengan
material sampel, beberapa teknik analisa telah berhasil diturunkan baik untuk analisa
kualitatif maupun kuantitatif, diantaranya adalah Difraksi sinar X atau XRD dan
Flouresensi sinar X atau XRF. Teknik XRD menganalisa sinar X yang dihamburkan
oleh material sampel sevagai hasil dari tumbukan antara sinar-X dengan material
sampel tanpa mengalami kehilangan energy. Sedangkan XRF menganalisa sinar X
yang berasal dari tabung sinar X dengan material sampel yang disertai dengan
penyerapan energy dari sinar X oleh material sampel. Dibawah ini adalah penjelasan
mengenai XRD dan XRF.

1. X-Ray Diffractometer
XRD merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin
dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk
mendapatkan ukuran partikel. Karakterisasi menggunakan metode difraksi
merupakanmetode analisa yang penting untuk menganalisa suatu Kristal (Smallman
dan Bishop, 1999).
XRD dapat memberikan data kualitatif dan semi kuantitatif pada padatan atau
sampel. XRD digunakan untuk beberapa halyaitu (1) pengukuran jarak rata-rata antara
lapisan atau baris atom; (2) penentuan kristal tunggal; (3) penentuan struktur kristal dari
material yang tidak diketahuidan (4) mengukur bentuk, ukuran, dan tegangan dalam
dari kristal kecil
Sinar-x yang lebih bermanfaat dan sering digunakan dalam setiap kegiatan
eksperimen khususnya pada XRD adalah sinar-x monokromatik dan sering disebut
sinar-x karakteristik. Sinar-x monokromatik (sinar-x karakteristik) ini timbul akibat
adanya proses transisi eksitasielektron di dalam anoda. Sinar-x ini timbul secara
tumpang tindih dengan spektrum bremstrahlung. Disamping panjang gelombangnya
yang monokromatik, inensitas sinar-xmonokromatik ini jauh lebih besar dari pada
intensitas sinar-x bremstrahlung.
Menurut pendekatan Bragg, kristal dapat dipandang terdiri atas bidang-bidang
datar (kisi kristal). Jika sinar-X ditembakkan pada tumpukan bidang datar tersebut,
maka beberapa akan didifraksikan oleh bidang tersebut dengan sudut difraksi yang
sama dengan sudut datangnya, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1, sedangkan
sisanya akan diteruskan menembus bidang.

Gambar 1. Difraksi sinar-X berdasarkan hukum Bragg


Penggunaan XRD untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan
Bragg berikut ini:

dimana λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan, d adalah jarak


antara dua bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan n
adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde difraksi. Persamaan Bragg tersebut
digunakan untuk menentukan parameter sel kristal. Sedangkan untuk menentukan
struktur kristal dengan menggunakan metode komputasi kristalografik, data intensitas
digunakan untuk menentukan posisi-posisi atomnya.
Prinsip Kerja X-Ray Diffractometer
Sampel yang berbentuk serbuk ditaruh ditempat sampel. Sampel dikenakan sinar-
X dari sudut θ sebesar 0-90o.Sinar-X dihasilkan di suatu tabung sinar katode dengan
pemanasan kawat pijar untuk menghasilkan elektron-elektron, kemudian elektron-
elektron tersebut dipercepat terhadap suatu target dengan memberikan suatu voltase,
dan menembak target dengan elektron. Ketika elektron-elektron mempunyai energi
yang cukup untuk mengeluarkan elektron-elektron dalam target, karakteristik spektrum
sinar-X dihasilkan.
Spektrum ini terdiri atas beberapa komponen-komponen, yang paling umum
adalah Kα dan Kβ. Kα berisi, pada sebagian, dari Kα1 dan Kα2. Kα1 mempunyai
panjang gelombang sedikit lebih pendek dan dua kali lebih intensitas dari Kα2. Panjang
gelombang yang spesifik merupakan karakteristik dari bahan target (Cu, Fe, Mo, Cr)
disaring oleh kertas perak atau kristal monochrometers, yang akan menghasilkan sinar-
X monokromatik yang diperlukan untuk difraksi.
Tembaga adalah bahan sasaran yang paling umum untuk difraksi kristal tunggal,
dengan radiasi Cu Kα =05418Å. Sinar-X ini bersifat collimated dan mengarahkan ke
sampel. Ketika geometri dari peristiwa sinar-X tersebut memenuhi persamaan Bragg,
interferensi konstruktif terjadi dan suatu puncak di dalam intensitas terjadi. Semakin
banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, semakin kuat intensitas yang
dihasilkan.
Saat sampel dan detektor diputar, intensitas sinar-X direkam seperti yang terlihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Analisa Difraksi Sinar-X


Detektor akan merekam dan memproses isyarat penyinaran ini dan mengkonversi
isyarat itu menjadi suatu arus yang akan dikeluarkan pada printer atau layar komputer.
Sinar-sinar diubah menjadi hasil dalam bentuk gelombang-gelombang. Intensitas sinar-
X dari scan sampel diplotkan dengan sudut 2θ. Tiap puncak yang muncul pada pola
difraktogram mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam
sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini
kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk semua jenis material.
Contoh data yang dihasilkan oleh X-Ray Diffractometer dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Data yang dihasilkan oleh X-Ray Diffractometer.

Kelebihan dan Kekurangan X-Ray Diffraction(XRD)


Kelebihan penggunaan sinar-X dalam karakterisasi material adalah kemampuan
penetrasinya, sebab sinar-X memiliki energi sangat tinggi akibat panjang
gelombangnya yang pendek.
Sedangkan kekurangannya adalah untuk objek berupa kristal tunggal sangat sulit
mendapatkan senyawa dalam bentuk kristalnya. Sedangkan untuk objek berupa bubuk
(powder) sulit untuk menentukan strukturnya.

2. X-Ray Flourescence (XRF)


XRF (X-ray fluororescence spectrometry) merupakan teknik analisa non-
destruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang
ada pada padatan, bubuk ataupun sampel cair. XRF mampu mengukur elemen dari
berilium (Be) hingga Uranium pada level trace element, bahkan dibawah level ppm.
Secara umum, XRF spectrometer mengukur panjang gelombang material secara
individu dari emisi flourosensi yang dihasiljan sampel data diradiasu dengan sinar-X

Pembagian panjang gelombang


Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur material.
Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi di
lapangan dan industry untuk control material. Tergantung pada penggunaannya, XRF
dapat dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga sumber sksitasi primer yang lain
seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan energy yang tinggi lainnya.

Prinsip kerja X-Ray Flourescence (XRF)


Apabila terjadi eksitasi sinar X primer yang berasal dari tabung X ray atau sumber
radioaktif mengenai sampel, sinar X dapat diabsporpsi atau dihamburkan oleh material.
Proses dimana sinar X diabsorpsi oleh atom dengan mentransfer energinya pada
electron yang terdapat pada kulit yang lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama
proses ini, bila sinar X primer memiliki cukup energy, electron pindah dari kulit yang
di dalam menimbulkan kekosingan. Kekososngan ini menghasilkan keadaan atom yang
tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, electron dari kulit luar pindah
ke kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasulkan energy sinar X yang tertentu
dan berbeda antara dua energy ikatan pada kulit tersebut. Emisi sinar X dihasilkan dari
proses yang disebut X ray flouroscence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar X
disebut analisa XRF. Pada umumnya kulit K dan L terlibat pada deteksi XRF. Sehingga
sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada XRF. Jenis spectrum X ray dari
sampel yang diradiasi akan menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang
berbeda
~ transisi elektron ~

Prinsip Kerja XRF

Kelebihan dan Kekurangan XRF


Adapun kelebihan teknik XRF yaitu antara lain:
 Cukup mudah, murah dan analisanya cepat
 Jangkauan elemen hasil analisa akurat
 Membutuhkan sedikit sampel pada tahap preparasinya (Trace element)
 Dapat digunakan untuk analisa element mayor (Si, Ti, Al, Fe, Mn, Mg, Ca,
Na, K, P) maupun trace element (>1 ppm : Ba, ce, Co, Cr, Cu, Ga, La, Nb,
Ni, Rb, Sc, Rh, u, V, Zr, Zn)
Kekurangan XRF
Kelemahan dari teknik XRF antara lain:
 Tidak cocok untuk analisa element yang ringan seperti H dan He
 Analisa sampel cair membutuhkan Volume gas helium yang cukup besar
 Preparasi sampel biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan
membutuhkan perlakuan yang banyak.

ANALISA MENGGUNAKAN TEKNIK MIKROSKOPI

Berdasarkan berkas electron yang dideteksi (bagian yang ditransmisi atau


dihamburkan) intrumentasi electron mikroskopi terdiri dari dua tipe, Scanning Electron
Microscope (SEM) dan Transmition Electron Microscopy (TEM). Berikut ulasan kedua
instrument tersebut.
1. Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM merupakan salah satu jenis mikroskop yang bisa mendapatkan pembesaran
gambar yang melebih mikroskop optik biasa. Cara terbentuknya gambar pada SEM
berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optic dan TEM. Pada SEM, gambar
dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang
muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan
sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya
diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-
terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur
obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak
memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari
sudut pandang 3 dimensi.
Alat SEM ada yang dilengkapi dengan EDS ada yang tidak. Jika dilengkapi
dengan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) maka alat tersebut dapat untuk dipakai
menganalisa unsur kimia yang ada dipermukaan. Namun jika akan mengaktifkan EDS
biasanya memerlukan pendingin berupa nitrogen cair yang dimasukkan pada kontainer
yang telah disediakan pada alat SEM-EDS. Berikut ini gambar dari alat SEM tanpa
EDS beserta komputer untuk menampilkan dan memproses gambar yang dihasilkan.
Skema Alat SEM

Kelebihan SEM
Adapun kelebihan teknik SEM yaitu terdapat sistem vakum pada electron-optical
column dan sample chamber yang bertujuan antara lain:
 Menghilangkan efek pergerakan elektron yang tidak beraturan karena adanya
molekul gas pada lingkungan tersebut, yang dapat mengakibatkan penurunan
intensitas dan stabilitas.
 Meminimalisasi gas yang dapat bereaksi dengan sampel atau mengendap pada
sampel, baik gas yang berasal dari sampel atau pun mikroskop. Karena apabila hal
tersebut terjadi, maka akan menurunkan kontras dan membuat gelap detail pada
gambar
Kekurangan SEM
Kelemahan dari teknik SEM antara lain:
 Memerlukan kondisi vakum
 Hanya menganalisa permukaan
 Resolusi lebih rendah dari TEM
 Sampel harus bahan yang konduktif, jika tidak konduktor maka perlu dilapis logam
seperti emas.

2. Transmission Electrob Microscopy (TEM)


Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron
yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang
disiapkan sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari
tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar. Sedangkan pada SEM sampel
tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron
dengan sampel yang ditangkap oleh detektor dan diolah. Skema perbandingan kedua
alat ini disajikan oleh gambar dibawah ini.

Prinsip kerja dari TEM secara singkat adalah sinar elektron mengiluminasi
spesimen dan menghasilkan sebuah gambar diatas layar pospor. Gambar dilihat sebagai
sebuah proyeksi dari spesimen. Skema dari TEM lebih detil dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Kelebihan TEM
a. Resolusi Superior 0.1~0.2 nm, lebih besar dari SEM (1~3 nm)
b. Mampu mendapatkan informasi komposisi dan kristalografi dari bahan uji dengan
resolusi tinggi
c. Memungkinkan untuk mendapatkan berbagai signal dari satu lokasi yang sama.

Kekurangan TEM
a. Hanya meneliti area yang sangat kecil dari sampel
b. Perlakuan awal dari sampel cukup rumit sampai bisa mendapatkan gambar yang
baik.
c. Elektron dapat merusak atau meninggalkan jejak pada sampel yang diuji.

ANALISA UKURAN PARTIKEL DAN LUAS PERMUKAAN

Teknik analisa ukuran partikel dan luas permukaan kristal terdiri dari berbagai teknik
antara lain, Surface Area Abalyzer (SAA) dan Brunauer-Emmet-Teller (BET). Berikut
ulasan kedua instrument tersebut.
1. Surface Area Analyzer (SAA)
Surface Area Analyzer (SAA) merupakan salah satu alat utama dalam
karakterisasi material. Alat ini khususnya berfungsi untuk menentukan luas permukaan
material, distribusi pori dari material dan isotherm adsorpsi suatu gas pada suatu bahan.
Alat ini prinsip kerjanya menggunakan mekanisme adsorpsi gas, umumnya nitrogen,
argon dan helium, pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada
suhu konstan biasanya suhu didih dari gas tersebut. Alat tersebut pada dasarnya hanya
mengukur jumlah gas yang dapat dijerap oleh suatu permukaan padatan pada tekanan
dan suhu tertentu. Secara sederhana, jika kita mengetahui berapa volume gas spesifik
yang dapat dijerap oleh suatu permukaan padatan pada suhu dan tekanan tertentu dan
kita mengetahui secara teoritis luas permukaan dari satu molekul gas yang dijerap,
maka luas permukaan total padatan tersebut dapat dihitung.
Gambar diatas adalah contoh alat SAA dari perusahaan Quantachrome dengan
seri Autosorb-1. Gambar A adalah port untuk keperluan degassing. Seri ini memiliki 2
port untuk keperluan itu. Tampak satu port sedang dipakai untuk degassing sampel
yang diletakkan dalam tabung dan diselimuti bagian bawah tabung dengan mantel
pemanas. Gambar B adalah port analisa yang pada gambar baru tidak terpakai. Gambar
C adalah kontainer untuk menampung zat pendingin. instalasi gas dalam kondisi
cairnya. Sedangkan gambar D adalah panel yang menunjukkan layout dari proses
analisa dilengkapi indikator – indikator lampu yang dapat menandakan setiap valve
dalam posisi dibuka atau ditutup.

B. Proses Analisa
Setelah sampel selesai didegas, maka dapat langsung dianalisa. Sebelum analisa
tentunya perlu ditimbang berat sampel setelah degas. Supaya benar – benar diketahui
berat sampel sebenarnya setelah dibersihkan dari gas – gas yang terjerap. Kemudian
yang perlu dilakukan sebelum nenjalankan analisa biasanya adalah mengisi kontainer
pendingin dengan gas cair. Kemudian mengeset kondisi alalisa. Waktu analisa bisa
berkisar antara 1 jam sampai lebih dari 3 hari untuk satu sampel. Jika hanya ingin
mengetahui luas permukaan maka kita hanya membutuhkan 3 – 5 titik isotherm
sehingga proses analisa menjadi singkat. Namun jika kita ingin mengetahui distribusi
pori khususnya material yang mengandung pori ukuran mikro (< 20A) maka
memerlukan 2 – 3 hari untuk satu kali analisa dengan menggunakan gas nitrogen
sebagai adsorbennya. Sebenarnya waktu analisa bisa dipersingkat jika kita
menggunakan jenis gas lain misalnya CO2.

C. Contoh Hasil Analisa


Hasil analisa disajikan dalam grafik ataupun tabulasi. Alat ini dilengkapi dengan
perangkat lunak yang dapat menghitung hampir semua data yang diperlukan seperti:
luas permukaan, volume pori, distribusi pori dengan berbagai metode
perhitungan.dibawah ini contoh tampilan isotherm dari karbon aktif dengan
perhitungan PSD nya ditampilkan dalam grafik.

2. BET (Brunauer-Emmet-Teller)

Teori BET dapat digunakan setelah dilakukan uji menggunakan alat SAA
(Surface Area Analyzer). Alat ini berfungsi untuk menentukan diameter dan volume
pori, serta luas permukaan spesifik material. Berdasarkan prinsip adsorpsi desorpsi gas
adsorbat. Mekanisme adsorpsi gas tersebut berupapenyerapan gas (nitrogen, argon dan
helium) pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada suhu tetap.
Jika diketahui volume gas (nitrogen, argon, atau helium) yang dapat diserap oleh suatu
permukaan padatan pada suhu dan tekanan tertentu dan diketahui secara teoritis luas
permukaan dari satu molekul gas yang diserap, maka luas permukaan total padatan
tersebut dapat dihitung. Luas permukaan merupakan jumlah pori pada setiap satuan
luas dari sampel. Sementara luas permukaan spesifik adalah luas permukaan per satuan
gram (Perwira, 2014). Untuk menghitung luas padatan tersebut, teori BET inilah yang
digunakan dengan menggunakan persamaan 2.1.

S yaitu luas permukaan total, yaitu kapasitas monolayer yang dapat diperoleh
melalui persamaan 2.2, yaitu bilangan Avogadro (6,023 х 1023 molekul/mol), yaitu
luas penampang adsorbat dengan nilai 0,162 nm2 menggunakan adsorbat nitrogen, dan
yaitu volume molar gas ideal sebesar 22,4 liter/mol. Sementara kapasitas monolayer
dapat diketahui menggunakanslope dan intercept dari hasil uji.

Pada analisis luas permukaan menggunakan uji SAA, sering digunakan gas
nitrogen. Hal ini disebabkan tersedianya gasnitrogen dalam kemurnian yang tinggi dan
dapat berinteraksidengan kuat dengan kebanyakan padatan. Biasanya, interaksiantara
fasa gas dan padat lemah, sehingga permukaadidinginkan menggunakan nitrogen cair
untuk memperolehjumlah adsorpsi yang terdeteksi. Selanjutnya, tekanan relatif yang
lebih rendah dibandingkan dengan tekanan atmosfer didapatkandalam kondisi setengah
vakum. Setelah lapisan adsorpsterbentuk, gas nitrogen kemudian dihilangkan atau
dibebaskan dari sampel dengan cara dipanaskan

ANALISA TERMAL

Analisa termal adalah suatu teknik pengukuran perubahan sifat-sifat fisik dan kimia
suatu sampel sebagai fungsi atau respon atas perubahan suhu. Pada umumnya, teknik
analisa ini mengamati efek dari suatu material yang dipanaskan. Pada analisa termal,
kenaikan suhu pada saat pengukuran sifat fisika atau kimia tersebut dilakukan secara
terprogram; yaitu kenaikan atau penurunan temperatur secara terkontrol maupun
pengamatan yang dilakukan pada suhu konstan/tetap pada suatu selang waktu tertentu.
Terdapat dua jenis teknik analisa termal yang utama dan merupakan teknik yang paling
populer, yaitu analisa termogravimetri /Thermo Gravimetric Analysis (TGA) dan
analisa deferensial termal /Differential Thermal Analisis (DTA). Berikut ulasannya.
1. Thermo Gravimetric Analysis (TGA)
Pada TGA, masa sampel yang berubah karena proses dekompsosisi,, adsorpsi,
atau reaksi dimonitor sebagai fungsi temperature. Untuk tujuan ini, di dalam peralatan
TGA terdapat komponen utama yang mengatur masa sampel, lazim disebut dengan
micro blance, dan beberapa sensor suhu. Kelengkapan lain di dalam peralatan TGA
adalah wadah sampel, pengatur program temperature, dan tungku pemanas. Secara
skematis peralatan TGA diperlihatan pada Gambar berikut ini.

Di dalam sebuah tungku yang dihubungkan dengan pemrogram temperature


terdapat dua wadah sampel dan wadah rujukan (blanko). Kedua wadah ini terhubung
dengan micro balance yang akan memantau perubahan masa sampel dan masa blanko
selama proses perubahan temperature. Selisish masa sampel dan masa blanko
(dikondisikan nol) direkam dan hasilnya diplot dalam sebentuk grafik fungsi masa
terhadap temperature. Hasil rekamannya dinamakan thermogram. Berbagai proses
dapat dilakukan dengan mengubah-ubah variable sesuai kebutuhan, seperti kenaikan
dengan laju pemanasan yang tetap, mengkondisikan sampel pada temperature tetap
tertentu, atau penurunan temperature. Perubahan masa sampel dapat terjdi karena
adanya dekomposisi, evaporasi, adsorpsi atau reaksi dengan atmosfer (gas) yang
digunakan. Untuk proses pengurangan masa (misalnya karena dekomposisi atau reaksi
yang menghasilkan gas secara skematis diperlihatkan pada gambar berikut.
Pengurangan masa yang ditunukan pada gambar dapat terjasi karena adanya
dekomposisi sampel menjadi gas atau reaksi sampel dengan atmosfer. Pemanasan suatu
garam berhidrat misalnya, akan diikuti dengan pelepasan air pada temperature sekitar
100 sampai dengan 150oC. Pelepadan air ini tentu akan diikuti dengan pengurangan
masa sampel garam berhidrat tersebut. Gambar dibawah ini menunjukkan contoh nyata
termogram (kurva TG dan DTA) dari dekomposisi sejumpah garam oksalat berhidrat
yaitu seperti CaC2O4, SrC2O4, MgC2O4, MnC2O4 dan FeC2O4.
Pada kurva TG pemanasan seluruh garam oksalat mengalami pengurangan masa
pada suhu sekitar 100oC yang berhubungan dengan pelepasan air. Berdasarkan kurva
DTA (akan dijelaskan kemudian) pelepasan air ini disertai dengan peristiwa
endotermis.
Kurva TG dapat diubah menjadi berbentuk plot perubahan masa terhadap
temperature yang dinamakan Diferential Thermogravimetry (DTG). Bentuk kurva DTG
dari garam-garam oksalat ditunjukkan pada gambar berikut ini. Garis putus-putus
merupakan kurva DTA yang menunjukkan terjadinya proses eksotermis maupun
endotermis selama proses pemanasan berlangsung.
Reaksi dekomposisi satu tahap secara skematik diperlihatkan pada Gambar
dibawah ini. Sampel yang digunakan, dengan berat beebrapa milligram, dipanaskan
pada laju konstan, berkisar antara 1-20oC/menit, mempertahankan berat awalnya, W,
sampai mulai terdekomposisi biasanya berlangsung pada rentang suhu tertentu Ti-Tfr,
dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tfr, yang berhubungan harga berat
residu Wf. Berat Wi, Wf dan ΔW adalah harga-harga yang sangat penting dan dapat
digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan komposisinya, dll.

Bertolak belakang dengan harga Ti, dan Tfr, merupakan harga yang bergantung
pada beragam variable, seperti laju pemanasan, sifat dari padatan (ukuran) dan atmosfer
di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan
pada gambar berikut ini.

Untuk dekomposisi CaCO3, pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum


~500oC, namun dalam CO2 tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum
berlangsung hinggu suhu di atas 900oC. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai yang
sangat bergantung pada kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu
dekompsisi pada equilibrium.
2. Differential Thermal Analysis (DTA) dan Differential Scanning Calometri
(DSC)
Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu dari sampel dibandingkan
dengan material scan yang inert selama berlangsungnya perubahan suhu sampel dan
referen akan sama apabila tidak terjadi peristiwa termal seperti pelelehan, dekomposisi
atau perubahan struktur Kristal pada sampel. Namun pada saaat terjadinya beberapa
peristiwa termal tersebut, suh dari sampel dapat berada di bawah (apabila perubahan
bersifat eksoterm) suhu referen. Perbedaan inilah yang diukur dan menjadi dasar
analisis diferensial termal.
Alasan penggunaan sampel dan referen secara bersamaan diperlihatkan pada
Gambar 2.7 (a) sampel mengalami pemanasan pada laju konstan dan suhu nya, Ts
dimonitor secara continue menggunakan termokopel. Suhu dari sampel sebagai fungsi
dari waktu diperlihatkan pada Gambar 2.7 (b) plotnya berupa suatu garis linear hingga
suatu peristiwa endoterm terjadi pada sampel misalnya titik leleh Tc. Suhu sampel
konstan pda Tc sampai peristiwa pelelehan berlangsung sempurna; kemudian suhunya
meningkat dngan tajam untuk menyesuaikan dengan suhu program. Peristiwa terrmal
pada sampel yang berlangsung pada Tc teramati sebagai deviasi yang agak luas dari
slop baseline (b). plot seperti ini tidak sensitif pada efek pemanasan yang kecil karena
waktu yang diperlukan bagi proses sejenis ini bisa sanat singkat dan menghasuljan
deviasi yang juga kecil. Lebih jauh lagi, beragam variasi tidak diharapkan dari baseline,
yang bisa disebabkan oleh fluktuasi laju pemanasan, akan menyerupai peristiwa termal.
Karena ketidaksensitifannya, teknik ini memiliki aplikasi yang terbatas; penggunaan
utama pada awalnya adalah pada metode kurva pendinginan yang digunakan pada
penentuan diagram fasa; dimana suhu efek panas yang disosiasikan dengan solidifikasi
dan kristalisasi biasanya cukup besar sehingga dapat dideteksi dengan metode ini.
Pada Gambar 2.7, grafik (b) merupakan hasil dari rancangan yang diperlihatkan
pada (a) sedangkan grafik (d) merupakan jejak/pola DTA yang umum, yang merupakan
hasil dari pengaturan yang diperlihatkan pda (c). pada Gambar 2.7 (c) diperlihatkan
pengaturan yang digunakan pada DTA. Sampel dan referen ditempatkan bersebelahan
dalam black pemanas yang dipanaskan pada kedua dan dikoneksikan. Ketika sampel
dan referen berada pada suhu yang sama, output bersih dari pasangan termokopel ini
akan sama dengan nol. Pada saat suatu peristiwa termal berlangsung pasa sampel,
perbedaan suhu, Δ T, timbul antara keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih
tegangan dari kedua termokopel. Termokopel ketiga (tidak diperlihatkan pada gambar)
digunakan untuk memonitor suhu balok pamanas dan hasilnya diperlihatkan sebagai Δ
T =0, sedangkan penyimpangan dari baseline akan berupa puncak yang tajam sebagai
akibat dari berlangsungnya peristiwa termal pada sampel. Suhu puncak yang muncul
dapat ditentukan dari suhu dimana deviasi mulai timbul, T1, ataupun pada suhu puncak
T2. Penggunaan T1 mungkin saja lebih tepat, namun seringkali kurang jelas kapan
puncak bermula, dan karenanya lebih umum digunakan T2. Ukuran dari puncak dapat
diperbesar sehingga peristiwa termal dengan perubahan entalpi yang kecil dapat
terdeteksi. Gambar 2.7 (d) snagat mudah diolah, sehingga cara ini digunakan sebagai
cara yang lebih sensitive dan akurat untuk memperoleh data dibandingkan Gambar 2.6
(b) dan dipakai pada metode umum mempresentasilan hasil DTA.
Instrument DTA komersial dapat digunakan pada rentang suhu 190oC samoai
160oC. Ukuran sample biasanya kecil, beberapa milligram, sehingga mengurangi
sensitivitas dan akurasi. Laju pemanasan dan pendinginan biasanya berada pada range 1
sampai 50oC/menit. Pada penggunakan lajuyang lambat, sensitivitas akan berkurang
karena T bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan menurunnya laju
pemanasan.
Sel DTA biasanya didesain untuk memaksimumkan sensitivitasnya terhadap
perubahan termal, namun hal ini sering berakibat pada kehilangan respon kalorimetrik;
sehingga tinggi puncak hanya berhubngan dengan besar perubahan entalpi secara
kualitatif saja. Dimungkinkan untuk mengkalibrasi peralatan DTA sehingga harga
entalpi yang kuantitatif dapat diperoleh, namun kalibrasi ini cukup rumit. Apabila
diperlukan data kalorimetrik, maka lebih mudah untuk memakai DSC sebagai
komplementer. Secara skematis instrument DTA yang digunakan untuk memonitor
peristiwa ini diperlihatkan pada Gambar 2.8
DSC mirip dengan DTA. Sampel dan referen inert juga digunakan pada DSC
namun sel-nya didesain secra berbeda. Pada beberapa sel DSC, sampel dan referen
dipertahankan pada suhu sama selama program pemanasan. Dalam hal ini, input panas
ekstra ke sampel (atau ke referen bisa sampel mengalami perubahan eksoterm) yang
diperlukan untuk menjaga keseimbangan, akan diukur. Pada sel DSC lain, perubahan
suhu antara sampel dan referen diukur, sepeeti halnya DTA, namun dengan pengaturan
tertentu desain sel, respon yang dihasiljan adalah kalorimetrik.

Daftar Pustaka

Kusumaninigtyas, Mega P. Analisis Struktur Nano Batu Apung Lombok Menggunakan


Metode BET (Brunauer-Emmett-Teller). 2017. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Surabaya

Setiabudi, Agus dkk., Karakterisasi Material (Prinsip dan Aplikasinya dalam Penelitian
Kimia). Universitas Pendidikan Indonesia: UPI Press. Bandung.2012

https://www.scribd.com/doc/310329208/Modul-D-Karakterisasi-Material-XRD-dan-SEM-
EDS
https://www.iitk.ac.in/che/pdf/resources/BET-TPX-Chemi-reading-material.pdf
http://labterpadu.undip.ac.id/layanan/organisasi/
https://www.iitk.ac.in/che/pdf/resources/BET-TPX-Chemi-reading-material.pdf

Anda mungkin juga menyukai