Anda di halaman 1dari 19

8 Macam Kecerdasan Manusia

Howard Gardner

Di susun oleh:
Bernath Satya Indrafata
Frisilia Monika Tia
Kelvin
Risky Gunawan
Sylvia
X MIPA 4
SMAN 1 SAMBAS

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sekolah merupakan ujung tombak dalam upaya mewujudkan cita-cita dan


tujuan pendidikan, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Agar tujuan tersebut dapat dicapai, dibutuhkan perhatian besar kepada peserta
didik terutama menyangkut masalah kecerdasannya. Sayang sekali, sistem
pendidikan di Indonesia tidak memberikan ruang yang luas bagi perkembangan
peserta didik. Masih diberlakukannya UN menunjukkan bahwa ranah kognitif
atau kecerdasan intelektual masih diprioritaskan dalam pendidikan nasional
dibandingkan kecerdasan lain.

Barang kali pemerintah lupa –jika tidak ingin dikatakan tidak tahu- bahwa
ada peserta didik lain yang mahir di bidang olahraga, ada yang mampu
memainkan alat musik dengan bagus, ada pula yang mampu menciptakan seni
visual yang indah. Beberapa peserta didik bahkan mampu menghasilkan puisi dan
cerita yang menarik dengan tingkat imajinasinya yang tinggi. Pertanyaan
kemudian adalah, di antara peserta didik yang disebut Setiap individu memiliki
keunikan dan mampu menawarkan kontribusi yang berharga bagi kehidupan
manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia dikaruniai kecerdasan yang beragam
(multiple intelligence) yang perkembangannya tergantung dari masing-masing
individu. kan di atas, siapa sesungguhnya yang paling cerdas?

B. RUMUSAN MASALAH

2
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kecerdasan majemuk?
2. Apakah jenis- jenis kecerdasan majemuk?
3. Apakah perbedaan antara kecerdasan majemuk dan kesulitan belajar?
4. Bagaimana aplikasi kecerdasan majemuk pada pembelajaran?

C. TUJUAN
Setelah mempelajari kecerdasan majemuk, mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian kecerdasan majemuk;
2. Menjelaskan jenis - jenis kecerdasan majemuk;
3. Menjelaskan kecerdasan majemuk dan kesulitan belajar;
4. Mengembangkan keterampilan aplikasi kecerdasan majemuk pada
pembelajaran

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kecerdasan Majemuk


Pandangan Howard Gardner dituangkan dalam buku Frames of Mind: The
theory of multiple intelligences (1983). Dalam buku tersebut Gardner membahas
teori multiple intelligences yang mengemukakan tujuh kecerdasan dasar pada diri
manusia yang sangat bermanfaat dalam kehidupan (Gage & Berliner, 1991;
Amstrong, 1994; Brualdi, 1996). Namun demikian pada tahun 1999, Howard
Gardner mengembangkan teorinya dan menambahkan satu kecerdasan lagi yaitu
kecerdasan natural yang belum di sebutkan sebelumnya, sehingga teori
kecerdasan majemuk menjadi 8 jenis kecerdasan (Christison dan Kennedy, 1999).
Ada kemungkinan jumlah jenis kecerdasan ini terus bertambah jumlahnya karena
Howard Gardner terus mengeksplorasi kemungkinan adanya tambahan jenis
kecerdasan lain (Gardner, 1999).

Kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah dan membuat suatu


produk yang bermanfaat bagi kehidupan (Amstrong, 1994; McGrath & Noble,
1996). Kebanyakan orang mengenalnya sebagai prediksi kesuksesan di sekolah—
bakat bersekolah. Sementara kecerdasan sejati mencakup berbagai keterampilan
yang lebih luas pada semua segi kehidupan—kecerdasan majemuk/ganda.
Kecerdasan majemuk adalah teori kecerdasan yang dikembangkan Howard
Gardner 18 tahun silam yang mengemukakan bahwa paling tidak ada delapan
jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logis-matematis, visual-
spasial, kinestetik, musik, intrapribadi, antarpribadi, dan naturalis.

4
B. Jenis – jenis Kecerdasan Majemuk
Jenis – jenis Kecerdasan Menurut Howard Gardner

KECERDASAN KEMAMPUAN INTI


1. Linguistic Kepekaan terhadap suara, ritme, makna
kata-kata, dan keragaman fungsi bahasa.
2. Logical –Mathematical Kepekaan dan kemampuan untuk
mengamati pola-pola logis dan numerik
(bilangan) serta kemampuan untuk berpikir
rasional/logis.
3. Musical Kemampuan untuk menghasilkan dan
mengapresiasikan ritme. Nada (warna
nada), dan bentuk-bentuk ekspresi musik.
4. Spatial Kemampuan mempersepsi dunia ruang
visual secara akurat dan melakukan
transformasi persepsi tersebut.
5. Bodily Kinesthetic Kemampuan mengontrol gerakan tubuh
dan menangani objek secara terampil.
6. Interpersonal Kemampuan untuk mengamati dan
merespon suasana hati, temperamen, dan
motivasi orang lain.
7. Intrapersonal Kemampuan untuk memahami perasaan,
kekuatan dan kelemahan serta intelegensi
sendiri.
8. Naturalis Kemampuan menggolongkan benda,
tumbuhan

1) Kecerdasan verbal-linguistik
Kecerdasan verbal-linguistik adalah kemampuan berfikir dalam bentuk
kata-kata secara efektif baik secara lisan maupun tulisan dan menggunakan bahasa
untuk mengekspresikan dan mengapresiasikan makna. Mengungkap kalimat
dengan menggunakan kata yang tepat. Dengan demikian ada empat komponen
dalam kecerdasan ini yakni: fonologis (kepekaan bunyi), sintaksis (struktur dan
susunan kalimat), semantik (pemahaman tentang makna), dan pragmatika
(kemampuan berbahasa untuk mencapai sasaran praktis).
Karakteristik:
Senang mendengarkan cerita; senang bercerita; bermain peran; permainan kata,
seperti tebak kata (teka teki); peka terhadap suara dan arti kata-kata; mampu dan

5
gemar baca-tulis; kaya perbendaharaan kata; dan menyelesaikan tugas verbal lebih
cepat.
Tanda-tanda kesulitan:
Sulit dalam ekspresi verbal; sulit dalam menangkap informasi verbal; sulit dalam
percakapan; tidak tanggapi pemikiran dengan lengkap (kehilangan kata-kata &
ekspresi); tidak efisien menggunakan kalimat perintah; menanggapi dengan
pertanyaan yang tidak biasa diajukan; lebih suka tugas yang tidak mengandalkan
pendengaran; tidak dapat membedakan ide pokok saat bicara; sulit membedakan
bunyi kata yang mirip; tidak dapat cerita ulang atas cerita yang baru didengar;
sulit identifikasi & menghasilkan ritme pada kata-kata; mengabaikan awalan &
akhiran tertentu; tidak dapat mengulang serangkaian kata atau angka yang disebut
secara verbal.
Upaya menstimulasi:
Ajak anak berbicara; bacakan cerita; main huruf dan angka; latih rangkaian cerita;
diskusi; bermain peran; perdengarkan lagu anak-anak.

2) Kecerdasan logis-matematis
Kemampuan menggunakan angka secara efektif dan penalaran secara baik.
Kecerdasan logis-matematis mencakup: perhitungan matematis; berfikir logis;
pemecahan masalah; pertimbangan deduktif dan induktif; ketajaman akan pola-
pola dan hubungan.
Karakteristik:
Gemar bereksperimen; pandai mengkategorikan sesuatu; melakukan pengukuran-
pengukuran; menganalisa; kuantifikasi; menuntut bukti konkrit dan empiris;
memberikan penjelasan logis (terkait linguistik); dapat mengkonstruksikan solusi
sebelum diartikulasikan;
Tanda-tanda kesulitan:
Sulit menguasai konsep yang bersifat kuantitatif dan hubungan sebab-akibat; sulit
menangkap simbol dan konsep abstrak; kurang terampil memecahkan masalah
secara logis; sulit memahami pola-pola dan hubungan; tidak mampu mengajukan
dan menguji hipotesis; tidak tertarik pada bahan informasi angka dan grafik;

6
kurang tertarik pada operasi kompleks yang melibatkan angka dan komputer;
tidak tertarik pada bidang-bidang yang akrab dengan operasi angka dan
pengembangan wawasan baru.
Upaya menstimulasi:
Menyelesaikan puzzle sebagai cara melatih menyelesaikan masalah; mengenalkan
bentuk geometri; memperkenalkan bilangan sajak berirama dan lagu; eksplorasi;
pikiran melalui diskusi dan olah pikir; pengenalan pola; eksperimen di alam;
memperkaya pengalaman berinteraksi dengan konsep matematika; menggambar
dan membaca; memperkenalkan kerja perancangan; melatih membuat
perancangan; menggunakan pendekatan proyek dalam pembelajaran;
 Lakukan permainan logis-matematis (Go, Clue, domino) dengan teman atau
keluarga.
 Pelajari cara menggunakan sempoa.
 Siapkan kalkulator untuk menghitung soal matematika yang Anda hadapi
dalam hidup sehari-hari.

3) Kecerdasan visual-spasial
Kemampuan berpikir secara visual, imajinatif dan kreatif, khususnya
terhadap objek tiga dimensi.
Karakteristik
Tanpa sadar sering mencorat-coret kertas ketika merasa jenuh dan senang melihat
film, slide, atau foto.Senang bermain dengan bentuk dan ruang (rancang bangun)
seperti puzzle dan balok ; Lebih mudah membaca gambar atau peta daripada teks ;
Mampu memperkirakan jarak dengan baik ; Senang membandingkan benda;
Mempunyai perhatian yang tinggi terhadap detail; Suka melamun; Suka pada
kegiatan seni.
Upaya menstimulasi
 Sering mengajak anak bepergian dan minta mereka untuk memperhatikan
lokasi sebuah tempat, letak toko, dan lain-lain.
 Minta anak menceritakan bagaimana cara mencapai suatu tempat (misalnya ke
rumah nenek).

7
 Perbanyak kegiatan menggambar, mulai dari gambar dua dimensi, lalu
tingkatkan ke tiga dimensi. Sediakan juga fasilitas yang akan dibutuhkan anak
untuk kegiatan menggambar ini.
 Perkenalkan anak dengan alat-alat bantu belajar berupa tiga dimensi, misalnya
anatomi tubuh atau kerangka binatang.
 Kenalkan juga anak pada beberapa nama bangunan/bentuk, warna, dan arah.
 Lakukan permainan-permainan yang akan mengasah kecerdasan ini, misalnya :

a. Bermain warna. Memperkenalkan anak pada warna-warna tertentu dan


mencampur berbagai warna untuk mendapatkan warna baru.
b. Permainan semacam rubik, juga dapat membantu meningkatkan kecerdasan
visual-spasial, selain itu juga dapat mengembangkan kecerdasan logika
matematika pada anak.
c. Kegiatan mencari jejak kelompok, selain meningkatkan visual spasial, juga
bisa meningkatkan beberapa kecerdasan lain seperti kecerdasan naturalis,
kecerdasan logika matematika dan interpersonal.
d. Permainan merakit. Misalnya permainan balok kayu atau permainan
bongkar pasang. Ketika anak benar-benar mengalami kesulitan dalam
merakitnya barulah anda membantu dan mengarahkannya.
e. Bermain pasir. Dengan membuat istana atau bentuk-bentuk tertentu dengan
pasir. Tetap damping dan berikan pengawasan kepada anak saat
melakukannya.
 Berikan buku-buku yang cocok untuknya, yaitu jenis buku bergambar menarik
apa saja yang berkaikan dengan ilmu pengetahuan, daerah wisata, bangunan-
bangunan bersejarah, tempat-tempat terkenal, tofografi, tubuh, peta dunia, dan
lain-lain

8
4) Kecerdasan kinestetik
Kemampuan menggunakan badan untuk mengekspresikan gagasan dan
perasaan dan menyelesaikan problem (Amstrong, 1994; Gardner, 1993; Lazear,
1991). Kemampuan untuk menggerakkan objek dan mengembangkan
keterampilan motorik yang halus. Kecerdasan ini mencakup: keseimbangan;
kelenturan; kegesitan; ketangkasan; kontrol; keanggunan; dan ketahanan dalam
gerak tubuh.
Karakteristik
Menurut Permendiknas No. 58 tahun 2006, pada anak usia 5-6 tahun kecerdasan
kinestetik terdeteksi melalui indikator sebagai berikut :
 Mengekspresikan berbagai gerakan kepala, tangan/kaki sesuai dengan
irama musik/ritmik dan lentur
 Senam fantasi bentuk meniru misal : mnirukan berbagai gerakan hewan,
menirukan gerakan tanaman yang terkena angin dengan lincah
 Mendemonstrasikan kemampuan motorik kasar seperti melompat dan
berlari dengan berbagai variasi
 Bergerak bebas dengan irama musik

Cara Mengembangkan Kecerdasan Kinestetik pada Anak Usia Dini


Menurut Sujiono (2010:59-60) Cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
kecerdasan kinestetik anak usia dini yaitu dengan cara menstimulasi kecerdsan
kinestetik anak antara lain:
 Menari, menari dapat melatih dan meningkatkan keseimbangan,
keselarasan gerak tubuh, kekuatan dan kelenturan otot.
 Bermain peran atau drama, melalui kegiatan bermain peran kecerdasan
kinestetik anak juga dapat berkembang, karena kegiatan ini menuntut anak
untuk menggunakan tubuhnya sesuai dengan perannya, bagaimana anak
berekspresi, termasuk juga gerakan tangan.
 Olaraga, berbagai kegiatan olahraga seperti berenang, sepak bola, tenis,
bulu tangkis, ataupun senam dapat meningkatkan kesehatan dan gerak olah

9
tubuh anak, artinya olahraga dapat mengembangkan kecerdasan kinestetik
anak.
 Latihan ketrampilan fisik, latihan ketrampilan fisik (seperti berlari,
melompat, meloncat dan berguling), pada anak salah satunya dapat
dilakukan melalui kegiatan senam irama. Misalnya, aktivitas
mengayunkan lengan, membungkuk dan berlari dengan variasi. Aktivitas
ini dapat dilakukan saat anak berusia 5-6 tahun. Melalui aktivitas ini akan
melatih kekuatan otot dan keseimbangan anak.

5) Kecerdasan musik
Stimulasi kecerdasan ini berpengaruh besar terhadap aspek kecerdasan
lainnya, terutama logis, linguistik dan spasial (khusus dari musik klasik).
Karakteristik:
Suka mendengerjan musik kapan saja dan di mana saja ; Dia suka mengoleksi CD
atau kaset musik ; Dia juga suka bersenandung lagu di mana saja dan kapan saja,
atau ; Dia bahkan bisa memainkan satu atau beberapa alat musik ; Dia bisa dengan
mudah membedakan bunyi berbagai alat musik dalam suatu lagu ; Dia suka
menonton konser musik atau film musikal ; Dia mengidolakan pemain musik atau
penyanyi
Kecenderungan lain
Suka menyanyi dan memutar lagu-lagu; suka melakukan gerak berirama; suka
melakukan kegiatan diiringi musik; menggambar dengan musik; suka
memanipulasi komposisi musik; mencoba-coba membuat alat musik.
Upaya menstimulasi:
Menyanyikan atau memutarkan lagu-lagu; latihan mengenal ritme; belajar
bersenandung; melakukan gerak berirama; latihan lagu dan aksi (operet);
mendengarkan musik bersama; menggambar dengan musik; aplikasi teknologi
musik; membuat alat musik.

10
6) Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk memahami dan
berinteraksi dengan orang lain secara efektif.
Karakteristik:
Memiliki interaksi yang baik dengan orang lain; pandai menjalin hubungan sosial;
mampu mengetahui dan menggunakan berbagai cara saat berinteraksi; mampu
merasakan perasaan, pikiran dan tingkah laku serta harapan orang lain; mampu
bekerjasama dengan orang lain; pandai mempengaruhi orang lain; mau menerima
dan memanfaatkan balikan orang lain.
Kecenderungan lain
Biasanya lebih menonjol dan terpilih menjadi pemimpin kelompok; menikmati
suasana kebersamaan; tertarik pada perbedaan budaya dan kegiatan sosial; gemar
humor saat berkomunikasi.
Upaya menstimulasi:
Mengembangkan dukungan kelompok (group supportive); menetapkan aturan
tingkah laku yang mendukung; memberikan kesempatan bertanggung jawab;
bersama-sama menyelesaikan konflik; melakukan kegiatan sosial di lingkungan
sekitar; menumbuhkan sikap ramah dan memahami keragaman budaya dan adat
istiadat; mengajak bermain talking stick.
Robert Bolton membagi komunikasi antarpribadi dalam 4 hal yakni:
keterampilan mendengarkan, menegaskan, menyelesaikan konflik, dan bekerja
sama untuk menyelesaikan masalah.

7) Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk membuat persepsi
yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakannya dalam mengarahkan
kehidupan sendiri.

Karakteristik:
Memiliki kepekaan perasaan dan situasi yang tengah berlangsung; memahami diri
dan memiliki citra diri yang positif; mampu berinstrospeksi; mampu

11
mengendalikan diri dalam situasi konflik; mengetahui apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan dalam lingkungan sosial; tahu kepada siapa harus minta bantuan
saat memerlukan.
Ciri-ciri lain
Umumnya memiliki etika yang baik; terkadang tampak pemalu dan pendiam di
lingkungan sosial; mampu menemukan cara untuk mengekspresikan perasaan dan
pemikirannya secara tepat; mampu mengungkapkan diri dengan baik; memiliki
motivasi untuk mencapai yang diinginkan; kerap penasaran akan makna hidup,
relevansi dan tujuan sesuatu; sering membuat catatan dan gambar mengenai
perasaannya; mencari dan berusaha memahami pengalaman batinnya; memiliki
tanggung jawab kemanusiaan; kadang lebih suka bekerja sendiri (bukan berarti
antisosial); merasa bebas untuk berkreasi.
Upaya menstimulasi
Mengembangkan program 4A atau P3K dalam pembimbingan
(attention/perhatian; acceptance/penerimaan; appreciation/penghargaan;
affection/kasih sayang);

8) Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan mengenali dan
mengklasifikasikan tanaman, batu-batuan, binatang, dan artefak atau simbol-
simbol budaya. Kecerdasan naturalis berkenaan dengan kemampuan mengamati
dan merasakan bentuk-bentuk dan menghubungkan elemen-elemen yang ada di
alam.
Karakteristik:
Memiliki ketertarikan yang besar pada dunia luar, sangat berminat pada
lingkungan, bumi, dan spesies; gemar mengumpulkan benda-benda alam; pandai
menandai kesamaan dan perbedaan yang ada di sekitar, mengingat dan menandai
kekhasan suatu benda, tumbuhan atau binatang; selalu ingin mengetahui detail
benda dan makhluk di sekitar.

12
Kecenderungan lain
Lebih menyukai bermain di luar rumah; suka menyendiri dan mengamati benda-
benda atau makhluk di sekitar; suka memandangi benda-benda angkasa, dan
perubahan alam; tidak takut dengan binatang yang umumnya dipandang
menjijikkan; menikmati benda, cerita, dan tontonan tentang fenomena alam; serta
menikmati dan gemar berkemah, hiking dan sejenisnya.
Upaya menstimulasi
Menyediakan atau bahkan mengajak membuat diorama mini untuk serangga,
bebatuan dll; menyediakan atau mengunjungi tempat-tempat pemeliharaan
binatang, tanaman, dan koleksi benda-benda alam; berpetualang di hutan; koleksi
perangko gambar tumbuhan dan binatang; sediakan gambar, cerita, dan film
tentang kehidupan alam; pengamatan terhadap tumbuhan tanpa tanah;
penambahan pengetahuan tentang alam, seperti: pengenalan jenis, penjelasan asal
mula makhluk, mengantisipasi bahaya alam; rancangan bahan belajar mengenai
kehidupan alam; pemberian kesempatan mengeksplorasi isi alam.
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan guru berkaitan dengan
kecerdasan majemuk. Prinsip-prinsip tersebut menurut Amstrong (1994) sebagai
berikut:
1. Setiap individu memiliki semua jenis kecerdasan
Teori kecerdasan majemuk mengemukakan bahwa setiap individu memiliki
kemampuan dari kedelapan inteligensi. Kedelapan kecerdasan tersebut
berfungsi sacara bersama-sama pada setiap orang secara unik.
2. Kebanyakan individu dapat mengembangkan setiap jenis kecerdasan pada
tingkat kemampuan yang memadai.
3. Setiap kecerdasan biasanya bekerja bersama secara kompleks
Dalam berfungsinya, kecerdasan berinteraksi antara satu kecerdasan dengan
kecerdasan yang lain dalam kehidupan individu.

13
C. Kecerdasan Majemuk dan Kesulitan Belajar
Ada beberapa jenis atau macam kesulitan belajar, yaitu: learning disorder,
learning difunction, slow learner, dan underachiever.
Learning disorder adalah keadaan dimana proses belajar seseorang
terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan (Ross, 1974
Learning disfunction mengacu kepada gejala dimana proses belajar tidak
berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya anak tidak menunjukkan adanya
abnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan-gangguan psikologis
lainnya.
Pengertian underachiever mengacu pada siswa-siswa yang memiliki
potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya
tergolong rendah. Sedangkan slow learner adalah siswa-siswa yang lambat dalam
proses belajarnya, sehingga siswa tersebut memerlukan waktu yang lebih lama
untuk menyelesaikan tugas-tugasnya bila dibandingkan dengan sekelompok siswa
lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak pada berbagai
jenis manifestasi tingkah laku.
Gejala ini akan tampak dalam aspek-aspek motorik, konatif, kognitif, dan
afektif, baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapainya.
Dari antara jenis kesulitan belajar adalah ketidakmampuan belajar.
Misalnya: “kesulitan membaca”, “masalah menggambar lukisan”,
“ketidakmampuan untuk bergaul dengan rekan di tempat kerja”, “tuli nada”, “rasa
takut terhadap matematika”, “canggung bila berolahraga”, dan seterusnya.
Beberapa ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan manifestasi gejala
kesulitan belajar ialah:
a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai
oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan.
Mungkin ada siswa yang selalu berusaha untuk belajar dengan giat tetapi nilai
yang dicapainya selalu rendah.

14
c. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan, misalnya membolos datang
terlambat, tidak mengerjakan tugas/PR, mengganggu di dalam dan di luar
kelas, tidak mau/enggan mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan
belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, dan tidak mau bekerja sama.
d. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti pemurung, mudah
tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira menghadapi situasi tertentu,
misalnya menghadapi nilai rendah tidak menunjukkan adanya perasaan sedih
atau menyesal.
Burton mengemukakan bahwa siswa dapat dianggap mengalami kesulitan
belajar bila menunjukkan kegagalan tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya.
Selanjutnya Burton mendefinisikan kegagalan belajar sebagai berikut:
a. Siswa dikatakan gagal, bila dalam batas waktu tertentu dia tidak mencapai
ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (mastery level), misal
minimal setiap mata pelajaran telah ditetapkan guru (criterion referenced).
b. Siswa dikatakan gagal, jika ia tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi
yang semestinya (berdasarkan ukuran tingkat kemampuannya, intelegensi,
bakat) dia diramalkan akan dapat mengerjakannya atau mencapai prestasi
tersebut. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under-achiever.
c. Siswa dikatakan gagal, bila yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-
tugas perkembangan termasuk penyesuaian sosial, sesuai dengan pola
organismiknya pada fase perkembangan tertentu seperti yang berlaku bagi
kelompok sosial dan usia siswa. Siswa ini dikategorikan dalam kelompok
slow-learner.
d. Siswa dikatakan gagal, jika dia tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan
yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan pada tingkat pelajaran
berikutnya, siswa ini dapat digolongkan kepada slow-learner atau belum
matang (immature) sehingga harus menjadi pengulang (repeater).
Dari keempat pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa siswa
dapat diduga mengalami kesulitan belajar bila siswa tersebut tidak berhasil
mencapai taraf kualifikasi belajar tertentu (berdasarkan ukuran kriteria
keberhasilan seperti yang dinyatakan dalam SKM (Standard Ketuntasan

15
Minimum) atau ukuran tingkat kapasitas atau kemampuan belajarnya dalam batas-
batas waktu tertentu (seperti yang ditetapkan dalam silabus dan Satuan Acara
Pembelajaran).
Patokan Gejala Kesulitan Belajar
Berdasarkan hal ini kriteria kesulitan belajar dapat ditetapkan berdasar
empat hal, yaitu: (1) tujuan pendidikan, (2) kedudukan dalam kelompok, (3)
perbandingan antara potensi dengan prestasi, dan (4) kepribadian

D. Aplikasi Kecerdasan Majemuk dalam Pembelajaran

1. Pengembangan Strategi Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk


Teori kecerdasan majemuk memberikan kesempatan bagi berbagai strategi
pembelajaran yang dapat dengan mudah diimplementasikan dalam kegiatan
pembelajaran.
Strategi pembelajaran untuk kecerdasan intrapribadi dalah kegiatan satu
menit refleksi, koneksi pribadi, pilihan waktu, saat-saat ekspresi emosi dan belajar
mandiri. Adapun beberapa strategi pembelajaran bagi kecerdasan naturalis adalah
observasi, klasifikasi dan organisasi, komparasi, pajan tumbuhan dan binatang,
dan wisata alam (Amstrong, 1994; Hoerr, 1999).
2. Pengembangan penilaian berbasis kecerdasan majemuk
Beberapa teknik penilaian otentik tersebut antara lain portofolio, proyek
mandiri, jurnal siswa, penyelesaian tugas kreatif, catatan anekdot, observasi, dan
wawancara (Gardner, 1993; Amstrong, 1994).

16
BAB IV
PENUTUP

Kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah dan membuat suatu


produk yang bermanfaat bagi kehidupan (Amstrong, 1994; McGrath & Noble,
1996). Sementara kecerdasan sejati mencakup berbagai keterampilan yang lebih
luas pada semua segi kehidupan—kecerdasan majemuk/ganda.
Kecerdasan majemuk adalah teori kecerdasan yang dikembangkan Howard
Gardner 18 tahun silam yang mengemukakan bahwa paling tidak ada delapan
jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logis-matematis, visual-
spasial, kinestetik, musik, intrapribadi, antarpribadi, dan naturalis.
Kecerdasan majemuk adalah teori kecerdasan yang dikembangkan Howard
Gardner 18 tahun silam yang mengemukakan bahwa paling tidak ada delapan
jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logis-matematis, visual-
spasial, kinestetik, musik, intrapribadi, antarpribadi, dan naturalis.
Prinsip-prinsip kecerdasan majemuk sebagaimana dikemukakan oleh
Amstrong (1994) adalah sebagai berikut:
1. Setiap individu memiliki semua jenis kecerdasan
2. Setiap kecerdasan biasanya bekerja bersama secara kompleks
Teori kecerdasan majemuk menyajikan suatu model yang memaknai
semua ketidakmampuan belajar yang dialami seseorang.
1. Perencanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk
Untuk merancang pembelajaran yang memuat kecerdasan majemuk dapat
mengikuti tahap-tahap (Amstrong, 1994) sebagai berikut:
a. Penetapan suatu sasaran belajar atau topik yang spesifik
b. Pengajuan pertanyaan-pertanyaan pokok berkaitan dengan kecerdasan majemuk
c. Pembuatan pertimbangan berbagai kemungkinan
d. Curah Pendapat
e. Pemilihan aktivitas yang layak
f. Penetapan rencana pembelajaran

17
g. Implementasi rencana pembelajaran
2. Pengembangan Strategi Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk
Teori kecerdasan majemuk memberikan kesempatan kepada para guru
mengembangkan strategi pembelajaran yang relatif baru dalam kegiatan
pembelajaran. Di antara beberapa strategi pembelajaran pokok untuk setiap
kecerdasan adalah sebagai berikut.

3. Pengembangan penilaian (asesmen) berbasis kecerdasan majemuk


Pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk adalah kegiatan pembelajaran
yang memberikan kesempatan bagi setiap siswa mengembangkan semua jenis
kecerdasannya berdasarkan kelemahan dan kekuatannya.
Dalam keseluruhan sistem pembelajaran mutakhir (Contextual Teaching-
learning), asesmen otentik memusatkan pada tujuan, meliputi hands-on learning,
menghendaki pembuatan pola kerjasama dan kolaborasi, dan penggunaan higher
order thinking.

18
DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, T. 1994. Multiple intelligences in the classroom. Alexandria, Virginia:


ASCD.

Amstrong, T, 1999. Seven Kinds of Smart: Alih bahasa T. Hermaya (2002).


Jakarta:
Gramedia

Brualdi, A.C. 1996. Mutiple intelligences: Gardner’s theory. Washington DC:


ERIC
Clearinghouse and Evaluation.

Christison, M.A. dan Kennedy, D. 1999. Multiple intelligences: Theory in adult


ESL. Washington DC: National Clearinghouse for ESL Literacy
Education.
Gage, N. L. & Berliner, D. C. 1991. Educational Psychology. Boston;
Hougton Mifflin.

19

Anda mungkin juga menyukai