Anda di halaman 1dari 224

BUKUNE

BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Flaga
Karya Eva Kurniasari
Copyright © Eva Kurniasari, 2019
All rights reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang

Penyunting: Teguh Afandi & Yuli Pritania


Penata aksara: TbD
Penyelaras aksara: Nunung Wiyati
Ilustrator dan desainer sampul: Abimanyu Surya Nagara
Digitalisasi: Lian Kagura

Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books


PT Mizan Publika (Anggota IKAPI)
Jln. Jagakarsa No.40 Rt.007/Rw.04, Jagakarsa-Jakarta Selatan
Telp: 021-78880556, Faks: 021-78880563
E-mail: redaksi@noura.mizan.com
www.nourabooks.co.id

ISBN: 978-602-385-769-2

BUKUNE
Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing
Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620
Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)
Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
email: nouradigitalpublishing@gmail.com
Instagram: @nouraebook Facebook page: nouraebook
Daftar Isi
Dari Fla
Job Seeker
New Day
Bencana
Erlangga Yuda
Tolong Musnahkan Dia
Another Bad Day
Penawaran
Mimpi Buruk
Kabur
Takut
Terima Kasih
Ian vs Aga
Rival
Kencan
Suatu Pagi BUKUNE
Kencan Kedua
Aneh
Rindu
Mengapa Harus Aga?
Berangkat
Rahasia
Marah
Jangan Menangis
Keajaiban
Pengganti
Kesepakatan
Berbagi
Pelajaran
Suatu Ketika
Jangan Pergi
Pacaran
Aturan Aga
Maaf
Akhir Kesepakatan
Ingat Dia
Semoga
Pink dan Putih
Pengkhianat
Maukah?
Dari Aga
Tentang Penulis

BUKUNE
Dari Fla

T anganku gemetar, keringat tak berhenti keluar. Aku tidak menyangka akan
seperti ini rasanya. Jika aku tahu, aku tidak akan melakukan hal sekonyol ini.
Aku melihatnya berjalan mendekat. Gawat. Mengapa lidahku ikut-ikutan
kelu? Apa kubatalkan saja? Argh, tidak! Aku sudah lama menantikan momen
ini.
“Kak ...,” panggilku lirih, mirip suara orang yang sedang terjepit.
“Ya?” Dia memiringkan kepala untuk menatapku.
OMG, bagaimana mungkin ada makhluk setampan dia? Aku rela melakukan
apa saja asal bisa memandangnya setiap hari.
“Ng ..., ada yang pengin aku bicarain, Kak.” Sekarang aku mirip anak kucing
yang malu-malu.
BUKUNE
“Ya udah, bicara aja. Tapi, kamu siapa, ya?”
Aku menggigit bibir. Sakit. Namun, hatiku lebih sakit lagi karena dia tidak
mengenalku.
“Fla, Kak,” jawabku pelan.
“Kayaknya aku pernah lihat kamu. Kamu adik kelas, bukan?”
Seketika aku mengangguk.
“Oke, mau ngomong apa? Tentang pelajaran, OSIS, klub basket, klub debat,
klub renang, atau ...?”
Dia memang siswa populer di sekolah ini. Baru berhadapan dan menatapnya
langsung saja, aku sudah merasa tidak pantas.
“Aku suka sama Kakak ...,” kataku pelan. Bersamaan dengan terlontarnya
kalimat itu, rasanya seluruh persendianku ikut lepas. Aku tidak bisa lagi berdiri
dengan benar.
“Maksudnya, kamu pengin aku jadi pacar kamu?” tanyanya.
Aku mengutuk dalam hati. Mengapa cowok ini tidak ada basa-basinya sama
sekali?
“Nggak gitu juga ..., aku cuma pengin bilang aja,” sahutku terbata-bata.
Padahal, dalam hati aku sudah beribu kali mengiakan pertanyaannya.
“Oh, gitu. Tapi untuk sekarang, nggak mungkin kamu jadi pacar aku,”
sahutnya. Kalimatnya begitu angkuh.
Aku merasa seolah baru saja dihantam godam. Luar biasa sakit. Boleh aku
amnesia sekarang?
Untuk menutupi malu, aku berlari menjauh darinya. Aku ingin mengubah
wajahku dan lahir menjadi manusia baru. Bisakah aku tidak bertemu dia lagi
sampai aku tamat dari sekolah ini?
Yah, rasa sakitku belum seberapa dibanding luka yang dia timbulkan
setelahnya. Seolah belum cukup sekadar menolak, dia juga menyiarkan kepada
seisi sekolah bahwa aku menyatakan cinta kepadanya.
Masa SMA adalah masa paling indah? Omong kosong. Masa SMA adalah
BUKUNE
tragedi, ketika masa mudaku hancur dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk
memperbaikinya.
Aku berharap dia lenyap dari muka bumi. Namun, itu tidak mungkin. Aku
hanya harus menerima takdir. Kuharap suatu saat dia mendapatkan karma.
Ditolak habis-habisan oleh gadis yang dicintainya.[]
BUKUNE
BUKUNE
Job Seeker

P agi sunyi. Rumah sepi. Mama mungkin sudah pergi dengan seabrek urusan.
Papa jam segini pasti sudah berada di balik meja kantor. Dan, aku baru bangun.
Aku sedang menikmati masa-masa pengangguranku.
Jia dari semalam tidak pulang. Mungkin stres gara-gara tiap hari menemaniku
mengantar surat lamaran. Sepupuku yang satu itu memang tidak betah di rumah,
alasannya pasti sibuk mengerjakan skripsi. Padahal, aku tahu benar, kerjaannya
hanya nongkrong seharian.
Aku menggeliatkan tubuh. Badanku terasa pegal. Aku berguling ke kanan dan
menggapai ponselku. Haaah?! Lima panggilan tak terjawab dan empat pesan
masuk.
BUKUNE
Buru-buru kubuka masing-masing notifikasi. Panggilan tak terjawab dari
nomor tidak dikenal. SMS-nya dari siapa, ya?

Sender +628xxxxxxxxxx
Panggilan wawancara PT Sukses Selalu
hari Selasa 25/9/2018 pukul 8.00 WIB.
Alamat: Jln. Buah no. 502 C.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.

Sender +628xxxxxxxxxx
PT Sukses Selalu bergerak dalam bidang
ekspor impor alat elektronik.
Membutuhkan 100 orang karyawan untuk posisi
HRD, SPV, admin, gudang.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.

Sender +628xxxxxxxxxx
Jadwal wawancara Anda
hari Selasa 25/9/2018 pukul 8.00 WIB.
Pekerjaan di kantor: non sales. Posisi: admin.
Kemungkinan diterima: 99%.
Senin sudah bisa masuk kerja.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.

Fiuuuh, aku mengembuskan napas panjang. PT Sukses Selalu? Perusahaan


apa itu? Kapan aku pernah mengirim surat lamaran ke sana? Duh, gara-gara
terlalu banyak mengirimkan lamaran, aku sampai lupa.
Wawancaranya Selasa? Besok? Gawat! Aku belum ada persiapan apa-apa.
Gawat, gawat, gawat! BUKUNE
Eh, tunggu dulu, bukankah tadi aku disuruh mengirim konfirmasi? Aku harus
menulis apa, ya? Oke, saya bersedia, kok aneh? Saya akan datang, apa lagi itu!
Undangan saya terima, tambah aneh.

Nama: Fla Regina


Konfirmasi: bersedia


Aku duduk di kursi tunggu. Sudah setengah jam aku hanya bengong melihat
orang-orang berseliweran, sibuk dengan urusan masing-masing. Entah mengapa,
rasanya aku sedang berada di tempat yang salah.
Dari awal masuk ke kantor ini, aku setengah tidak yakin. Jangan-jangan salah
alamat. Jangan-jangan SMS yang kemarin SMS penipuan atau salah kirim.
Jangan-jangan bukan Selasa ini. Pikiranku berhamburan ke mana-mana.
Terlebih, tidak ada sekuriti yang berjaga seperti di perusahaan besar lainnya.
Namun, setelah berulang kali kucocokkan alamat di SMS dengan plang nama
yang menempel di gedung, rasanya tidak salah. Dari namanya, sepertinya ini
perusahaan distributor elektronik.
Namun, suasananya terasa aneh. Apakah ini memang kantor distributor
elektronik, atau jangan-jangan malah agen penyalur TKI ke luar negeri?
Aku melipat tangan di depan dada, sedikit kebingungan. Mengapa teman-
teman seperjuanganku tampilannya seperti ini? Aku menghirup napas panjang
dan berusaha berpikir positif.
Ada sekitar sepuluh orang, termasuk aku, yang duduk di ruang tunggu. Aku
yakin mereka semua juga sedang menunggu panggilan untuk wawancara.
“Mbak, mau wawancara juga, ya? Ditawarin posisi apa?” tanyaku kepada
orang di sebelahku. Wanita dengan BUKUNE
muka memelas dan bersandal jepit. Apa
sopan wawancara kerja memakai sandal jepit? Sejenak, dia menatapku bingung
sebelum akhirnya bicara.
“Eh, iya. Kemarin sih ditawarin admin,” jawabnya lesu. Aku jadi tidak tega
bertanya macam-macam lagi.
Tenang, aku tidak boleh memikirkan yang aneh-aneh. Aku kembali menatap
ke depan. Kali ini seorang pria berkaus lusuh dan lagi-lagi bersandal jepit! Ya
Tuhan, hilangkan keraguanku ini!
Mungkin aku yang salah kostum. Ya ampun, sepertinya aku menjadi pusat
perhatian di sini.
Seorang ibu tiba-tiba masuk. Anak dalam gendongannya menangis terisak-
isak. Map lusuh tergenggam di tangan kanannya. Sepertinya teman
seperjuanganku juga.
Di sekelilingku berisik sekali. Ada beberapa ruangan yang hanya disekat
dengan tripleks tipis. Udara panas dan suasana kantornya benar-benar tidak
nyaman.
Namaku tiba-tiba dipanggil resepsionis. Rasanya agak sedikit lega. Lama di
ruang tunggu membuat otakku kacau.
Seorang bapak berkumis tebal menyambut kedatanganku sambil nyengir. Aku
menyambut uluran tangannya dan menyebutkan namaku.
“Edi,” katanya sambil tersenyum. Bukan tersenyum, lebih mirip menyeringai.
“Mbak Fla beruntung sekali bisa sampai ke sini,” sambungnya.
Aku hanya tersenyum.
“Sebelumnya sudah pernah bekerja?”
“Belum pernah, Pak. Saya baru lulus bulan kemarin,” sahutku.
“Wah, masih fresh,” katanya sambil terbahak-bahak.
Heran, apanya yang lucu memang?
“Saya jelaskan sedikit tentang perusahaan kami, ya.”
Aku mengangguk mengiakan.
“Perusahaan kami bergerak dalam bidang ekspor impor alat-alat elektronik.
Cabangnya sudah banyak. Sudah hampir di seluruh provinsi di Indonesia, tapi
BUKUNE
kantor pusatnya di Jakarta. Saat ini kami memang lagi butuh banyak karyawan
baru. Kemarin Mbak Fla ditawarin jadi apa?”
Aku tersentak kaget. Si bapak sih terlalu banyak cerita, aku kan jadi ngantuk!
“Jadi admin, Pak,” sahutku singkat.
“Perlu saya tegaskan lagi, perusahaan kami seratus persen non sales. Nanti,
Mbak Fla kerjanya di kantor. Kemungkinan Mbak Fla buat diterima di
perusahaan kami juga sangat besar.”
Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku benar-benar sedang
diwawancara?
“Ada dua cara agar Mbak Fla bisa langsung kerja di perusahaan ini. Yang
pertama, caranya panjang dan agak ribet. Mbak Fla harus tes ke kantor pusat di
Jakarta. Kalau Mbak Fla lulus tesnya, baru diangkat jadi karyawan. Cara kedua,
ini mudah banget. Saya yakin, Mbak Fla pasti bersedia.” Pak Edi berhenti bicara
untuk sesaat. “Di sini ada pilihan produk-produk yang bisa Mbak Fla pilih.” Pak
Edi mengeluarkan sebuah katalog berisi berbagai macam produk perkakas
rumah tangga.
Aku tambah bingung. “Maksudnya, Pak?”
“Produk-produk di sini harganya lima ratus ribu. Mbak Fla bisa pilih salah
satu dari produk ini, bisa buat digunakan sendiri atau dijual lagi. Nggak ada
ruginya, Mbak. Dengan mengeluarkan uang lima ratus ribu, Mbak Fla sudah bisa
dapat salah satu dari produk-produk ini sekaligus kesempatan menjadi karyawan
di perusahaan ini.”
Sumpah, saat itu juga aku langsung ilfil. Pantas saja dari tadi perasaanku tidak
enak.
“Sebenarnya, uang lima ratus ribu itu bakal digunakan untuk membiayai
asuransi dan pengangkatan Mbak Fla sebagai karyawan. Jadi, sebenarnya Mbak
Fla sama sekali nggak rugi. Gimana, mau pilih produk yang mana, Mbak?”
Kepalaku terasa panas. Perusahaan apa ini sebenarnya? Jika seperti ini, sama
saja dengan penipuan berkedok wawancara kerja, namanya!
“Kalau Mbak Fla bayar lunas BUKUNE
hari ini, Senin sudah bisa masuk kerja jadi
admin,” lanjutnya lagi.
Kerja jadi admin? Aku tidak yakin. Paling kerjaannya menjerumuskan orang
juga.
“Mas yang masuk sebelum Mbak tadi sudah bayar lunas juga. Ada juga yang
DP lima puluh persen.” Pak Edi memamerkan bukti penerimaan uangnya. Aku
bergeming.
“Saya nggak bawa uang, Pak,” sahutku akhirnya.
“DP sedikit juga nggak apa-apa, buat tanda jadi aja,” lanjutnya lagi.
Idih, si Bapak, tidak mengerti apa tadi aku sudah bilang tidak bawa uang?
“Mohon maaf sekali, Pak. Dari rumah saya nggak bawa uang karena mikirnya
cuma wawancara sebentar.”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Besok Mbak Fla ke sini aja bawa lima ratus
ribunya. Nanti ketemu sama saya lagi.”
Huuuh, sopan tidak jika saat ini aku jujur dan bilang aku benar-benar muak?
“Maaf, ya, Pak. Saya pamit dulu.” Aku beranjak pergi meski belum
dipersilakan.
Uuugh, kepalaku langsung berdenyut. Mengapa jadi aneh begini
wawancaranya? Katanya wawancara kerja, tetapi mengapa aku tidak diberi
kesempatan sedikit pun untuk bicara? Malah si bapak yang ngobrol tidak jelas
rimbanya.
Memang dia kira aku bodoh apa, bersedia begitu saja menuruti maunya?
Mana ada perusahaan yang memungut biaya untuk ongkos penerimaan
karyawan! Sama sekali tidak modal!
Semoga saja ini bukan pertanda buruk. Dalam hati, aku bersumpah tidak akan
sembarangan lagi memasukkan surat lamaran.

Aku menyelonjorkan kaki di kursi panjang. Mumpung food court sepi. Pegal juga
seharian menjelajahi mal sendirian.
Jia belum kelihatan dari tadi. Meski dia memang berjanji baru akan
BUKUNE
menyusulku sepulang kuliah.
Sudah hampir dua bulan sejak kelulusanku dan masih seperti ini saja, jobless.
Mengapa satu pun pekerjaan tidak ada yang nyangkut? Paling hanya sampai
psikotes atau wawancara, lalu lenyap tanpa kabar. Sumpah, bosan sekali rasanya.
Harapan yang semula kunyalakan, makin lama makin redup. Dan, mungkin
sekarang hampir padam. Seperti es krim yang mulai menetesi tanganku.
Apa memang sesulit ini mencari pekerjaan?
Aku melirik jam tangan sejenak, pukul dua belas siang. Jam segini, Ian pasti
sedang sibuk-sibuknya. Jika kuhubungi, pasti tidak akan diangkat. Sudah hampir
tiga minggu Ian absen menemuiku. Sudahlah, mungkin dia memang sedang
sibuk.
Sepertinya, hanya aku di dunia ini yang tidak memiliki kegiatan. Seharian
hanya keliling mal, nonton film, tidur, makan. Begitu setiap hari. Bahkan, Jia
yang menurutku juga belum memiliki pekerjaan tetap, masih lebih sibuk
daripada aku.
Aku memandang buku menu di hadapanku. Kentang goreng dan jus mangga
sepertinya lumayan bisa membuat pikiranku berhenti sumpek.
Setelah pesananku datang, aku memainkan potongan kentang goreng
berlumur saus sambil termenung. Mendadak, ponselku berdering. Nomor tidak
dikenal.
“Halo?” jawabku dengan mulut penuh kentang.
“Selamat siang. Dengan Mbak Fla Regina, ya? Saya Nita, dari Bank Primatama
Indonesia.”
Hampir saja aku tersedak.
“Iya, saya sendiri,” sahutku.
“Mbak Fla bisa datang jam satu siang ini ke kantor buat interview?” lanjutnya
lagi.
Deg, aku langsung siaga satu. Menarik napas dan buru-buru menelan kentang
yang ada di mulutku.
“Jam satu ya, Mbak? Bisa, kok,” jawabku deg-degan.
BUKUNE
“Nanti langsung aja ketemu dengan saya, Nita, ya, Mbak.”
“Baik, Mbak.”
“Ditunggu, ya, Mbak Fla. Selamat siang.”
Sejenak, aku hanya bisa bengong. Memandang sekelilingku yang semakin
ramai, rasanya otakku tidak bisa digunakan berpikir.
Gawat, sudah hampir pukul dua belas. Mana aku belum ganti baju, dandan,
dan lain-lain. Dan, hebatnya, sekarang ini aku masih di mal, bukan di rumah.
“Kamu lagi di mana? Buruan jemput aku.” Bergegas kutelepon Jia. Hanya dia
penolongku dalam situasi seperti ini.
“Udah di parkiran, nih. Emang mau ke mana lagi? Aku aja baru sampai.”
“Aku dapat panggilan interview, nih. Kamu tunggu di parkiran aja. Aku
langsung ke sana.” Aku menggapai tasku. Tanganku yang masih berlepotan,
kulap begitu saja dengan tisu.
Napasku ngos-ngosan menuruni anak tangga menuju basemen. Aduh,
bodohnya, mengapa tadi tidak naik lift saja?
Sesampainya di basemen, keringatku sudah sebesar biji jagung, napasku pun
hampir habis. Mataku cepat mencari mobil kuning norak Jia. Nah, itu dia!
“Buruan pulang!”
Jia menatapku bengong.
“Jam satu aku harus wawancara,” sambungku.
“Emang keburu? Habis waktu di jalan, lho. Mana nanti sampai di rumah kamu
mau dandan segala lagi,” kata Jia. “Ganti pakai bajuku aja, aku lumayan rapi
hari ini.”
Langsung kuteliti penampilan Jia. Betul juga. Jia tampak berbeda hari ini.
Tumben-tumbennya dia ke kampus pakai rok. Aku menatapnya lagi. Blus tosca
dengan aksen renda di lengan cocok juga di tubuhnya. Apalagi dengan rok midi
yang memamerkan kaki jenjangnya. Untuk penampilannya kali ini, kuacungkan
jempol.
“Aku barusan praktik ngajar tadi.” Jia cengengesan.
Pantas saja.
BUKUNE
“Tapi pasti kegedean,” kataku ragu.
“Nggak gede-gede banget, kok. Ini aja sempit di aku, di kamu pasti pas,”
bujuk Jia lagi.
“Tapi, dandannya gimana?”
“Aku bawa bedak, sisir, sama lipgloss. Cukup, ‘kan?”
Aku tersenyum lebar. “Ayo, temanin aku ke toilet.”
Tergesa-gesa, kami mencari toilet dan berdesakan di dalamnya.
“Buruan buka bajumu,” perintah Jia.
“Ssst ...! Kecilin suara kamu! Ntar didengar orang dikiranya kita lagi
ngapain,” bisikku.
Jia nyengir menahan tawa.
Kemeja Jia pas di badanku, hanya roknya yang agak longgar. Perut gadis itu
memang sedikit buncit.
“Bajumu robek sedikit nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Jia dengan muka
memelas.
Aku memelotot. Bajuku memang satu ukuran di bawah Jia.
“Sempit banget sih bajumu, sesak, nggak bisa napas rasanya. Ini jinsmu juga
sampai nggak bisa dikancing.” Jia memamerkan ritsleting celana yang tidak bisa
ditarik. Untung blusku yang dipakainya agak panjang, jadi tertutup.
Dalam situasi normal, aku pasti akan mengamuk saat melihat bajuku sampai
melar begitu. Namun, untuk saat ini, itu sama sekali bukan masalah. Demi
karierku.
“Ayo, buruan keluar! Dandan,” desak Jia sambil membuka pintu toilet.
Aku menyapukan bedak, lumayan bisa menghilangkan sedikit minyak di
wajahku. Aku tersenyum puas saat memoleskan lipgloss di bibirku. Selesai.
“Ayo buruan.” Aku kembali menarik tangan Jia.
“Tunggu, tukar dulu sepatumu sama sepatuku.” Jia membuka sepatunya. Aku
memandangi sepatu Jia dengan tatapan tidak suka. High heels, sama sekali bukan
seleraku.
“Cepetan!” desak Jia.
BUKUNE
Mau tidak mau, aku membuka sepatu flat-ku dengan tidak rela. Mengapa
wanita selalu menyiksa dirinya dengan sepatu seperti ini?
“Beres! Yuk, berangkat!” kata Jia dengan semangat.
Aku mengekorinya. Entah mengapa, sepatu itu membuat langkahku jadi
lambat.
“Mukaku nggak aneh, ‘kan?” tanyaku setelah kami berada di dalam mobil.
Aku terus-menerus becermin di kaca spion. Jia melirik, lantas menggeleng.
“Tutup jendelanya! Norak banget ngaca pakai spion,” kata Jia jengkel.
“Nggak perlu ngaca lagi. Wajah kamu udah terlahir kayak gitu, terima aja,”
ejeknya.
Aku mendengus.
Aku kemudian mengutak-atik ponsel, mengirimkan pesan kepada Ian,
mengabarkan bahwa aku akan wawancara. Siapa tahu dia sempat membaca dan
mendoakanku agar diterima. Jika meneleponnya pada jam seperti ini, pasti tidak
akan diangkat.
“Bank Primatama, ya,” kataku mengarahkan Jia.
“Iya, tahu. Udah seratus kali kamu bilang,” sahut Jia. “Kalau sampai nggak
diterima lagi, kamu naik angkot aja kalau ada panggilan kerja lagi.”
“Makanya doain aku biar keterima,” kataku sambil tersenyum lebar.
“Ingat, jangan cengar-cengir nggak jelas. Jawab pertanyaannya jangan
berbelit-belit, percaya diri, trus jangan lupa senyum.” Jia menurunkanku tepat di
sebuah bangunan bertingkat tiga dengan plang bertuliskan BANK PRIMATAMA
INDONESIA.
“Tapi kok ramai banget, ya, banknya? Jadi grogi, nih,” bisikku kepada Jia.
“Jam segini yang namanya bank pasti ramailah, kalau sepi namanya kuburan.
Sana buruan!”
“Nanti jemput, ya,” kataku lagi.
“Iya. Udah sana, buruan masuk!”
“Kamu tungguin aku aja. Kan biasanya wawancara nggak lama, paling
setengah jam,” pintaku sambil memelas.
BUKUNE
“Dasar manja. Aku mau makan dulu, ntar habis itu aku langsung ke sini.” Jia
tampak sudah tidak sabar.
“Ya udah. Doain, ya, semoga lancar,” kataku lagi.
Jia mengangguk dan tak lama menyalakan mobilnya, meninggalkanku
seorang diri. Aku menarik napas panjang dan mulai melangkah.
Setelah beberapa menit ke sana kemari seperti anak hilang, akhirnya aku
diantarkan sekuriti ke sebuah ruangan di lantai dua. Mengapa pada saat seperti
ini aku malah kebelet pipis?
Tanganku sedikit gemetar saat mengetuk pintu. Seorang bapak—bukan,
mungkin lebih tepatnya mas-mas berwajah lumayan ganteng—mengangguk
menyuruhku masuk.
“Selamat siang, Pak.” Aku mengulurkan tangan. Kali ini, aku harus
memanggilnya dengan sebutan “Bapak”. Tidak sopan jika dipanggil “Mas”, bisa
di-PHK sebelum diterima bekerja bisa-bisa.
“Silakan duduk,” katanya.
Aku menarik kursi yang ada di hadapannya perlahan. Sepertinya ada yang
kurang. Ah, benar, dia belum mengenalkan namanya.
“Kamu baru saja lulus, ya?” tanyanya sambil membolak-balik lamaran yang
pernah kukirimkan.
“Iya, Pak. Sudah hampir dua bulan,” jawabku.
“Kemarin sudah psikotes dan wawancara sama Pak Wira, ‘kan?” tanyanya
lagi.
Aku berusaha mengingat dengan keras. Psikotes sih memang sudah. Namun,
wawancara dengan Pak Wira? Dia siapa, ya?
“Sudah, Pak,” jawabku yakin. Walaupun dalam hati masih sedikit ragu apakah
aku pernah bertemu yang namanya Pak Wira sebelumnya.
“Bagus, minggu depan kamu sudah bisa mulai kerja. Nanti kamu tanyakan
kepada Nita, apa saja yang kamu butuhkan sebelum masuk kerja,” katanya.
Hampir saja aku melongo saking tidak percayanya. Serius, aku diterima?!
“Saya memang sedang mencari fresh graduate untuk posisi customer service dan
BUKUNE
teller,” lanjutnya. “Saya rasa kamu cocok di bagian customer service,” katanya.
Aku pura-pura mengangguk paham. Apa pun posisinya, tidak masalah bagiku.
Yang penting, aku bisa mendapat pekerjaan. Itu jugalah alasan aku memasukkan
lamaran ke sini setelah membaca syarat-syarat yang diajukan. Mereka
membutuhkan fresh graduate, dan tidak masalah jika masih awam dalam bidang
perbankan karena nantinya akan ada pelatihan langsung yang diberikan.
“Baik, selamat bergabung di Bank Primatama. Sampai bertemu minggu
depan.” Dia kemudian menyalamiku.
Aku balas menyalaminya, lalu bergegas keluar. Perasaanku masih
mengambang. Antara mimpi dan kenyataan. Benarkah aku baru saja
mendapatkan pekerjaan? Kalimat-kalimat itu maju mundur di kepalaku yang kali
ini dipenuhi warna yang lebih terang, lebih menggembirakan.[]
New Day

H ari Senin tampak cerah. Namun, sejak semalam, aku merasa gugup. Tidak
bisa tidur nyenyak. Mataku terpejam, tetapi pikiranku berkeliaran ke mana-
mana.
Hari pertama bekerja. Rasanya grogi dan tegang sekali. Aku menarik napas
panjang untuk menenangkan diri. Semuanya akan baik-baik saja, batinku di depan
cermin.
Kurapikan sekali lagi kemeja putihku sebelum kulapisi dengan blazer hitam.
Aku menatap cermin sambil meringis. Kemeja putih, blazer hitam, rok hitam.
Tampak seperti anak magang. Aku menyisir rambut sambil memikirkan harus
bergaya seperti apa. Diikat masih kependekan, tetapi jika diurai malah tampak
BUKUNE
berantakan karena rambutku jarang mau menurut. Malas bersusah payah, aku
akhirnya membiarkan rambutku tergerai tak keruan. Setidaknya, kini tampilan
anak magangku tidak lagi tampak terlalu rapi dan membosankan.
Aku kemudian memulaskan bedak tipis-tipis ke wajah, menyapukan blush on
yang menurutku memiliki warna menyeramkan: merah merona, memberi kesan
seolah aku baru saja ditampar. Aku menggosok-gosok pipiku perlahan, berusaha
menyamarkan warnanya. Sungguh, aku akan sangat frustrasi jika harus
melakukan ini setiap hari. Semuanya membuatku emosi. Aku tidak tahu cara
menggunakan eyeliner dan membuat sekeliling mataku berlepotan, mirip mata
panda. Kusikat bulu mataku perlahan dengan maskara; gatal. Terakhir, kuoleskan
lipstik pink pucat ke bibirku.
Jia memaksaku membeli seperangkat alat rias walaupun dia sendiri juga tidak
tahu cara berdandan yang benar. Aku menatap pantulan wajahku di cermin.
Masih sedikit tidak percaya diri. Aku menarik napas, lagi. Serbasalah rasanya
hari ini, semua terasa campur aduk.
Ian pasti tahu cara menenangkan kegugupanku pada hari pertama kerja seperti
ini. Aku mengambil ponsel dan menekan nomor Ian.
“Sudah bangun?” tanyaku.
“Barusan. Mentang-mentang hari pertama kerja, semangat banget bangunnya,”
ledek Ian.
“Aku tegang! Deg-degan. Mau ngapa-ngapain nggak konsen,” curhatku.
“Kalau dipeluk pasti langsung sembuh.” Ian tertawa.
“Makanya, buruan pulang. Betah banget di sana.”
“Minggu depan aku pulang, kok.”
“Beneran, ya? Dari minggu kemarin bilangnya gitu terus.”
“Miss you.” Suara Ian terdengar lembut saat menyudahi percakapan.
“Miss you too.” Aku menutup telepon dan bergegas keluar dari kamar.
“Kenapa, Ma?” tanyaku kepada Mama yang sedang mengomel di depan
kamar mandi.
“Jia udah hampir satu jam di kamar mandi,” kata Mama kesal.
BUKUNE
Aku tertawa. “Mama kayak nggak tahu Jia aja.”
“Masalahnya, pagi ini Mama mau nemenin Papa ke acara kantor. Mama harus
segera siap-siap.”
“Jia udah selesai, kok, Tante.” Jia keluar dengan tampang tak berdosa. Dia
menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.
Mama hanya mendengus sebal, kemudian masuk ke kamar mandi. Aku dan
Jia tertawa hampir bersamaan.
“Anterin aku, ya.”
“Pergi sendiri kenapa, sih? Manja banget!”
“Ayolah, sekali ini aja. Kamu kan tahu aku nggak pintar-pintar amat bawa
motor, apalagi mobil. Papa juga pasti nggak sempat nganterin aku,” pintaku
dengan muka memelas.
“Bisa nggak, sih, sehari aja nggak ngerepotin aku?” gerutunya.
Aku hanya bisa nyengir. Jika Jia sudah bicara seperti itu, dia pasti mengiakan
permintaanku.
“Pulangnya sendiri bisa, ‘kan?” tanya Jia kemudian. Aku menggeleng.
“Lama-lama aku mirip sopir pribadi kamu. Seharusnya kamu minta antar jemput
Ian aja, dia kan pacar kamu,” lanjut Jia.
“Ssst ... pelan-pelan ngomongnya. Nanti kalau Mama dengar, bisa diomelin
seharian aku,” kataku panik. “Kamu kan tahu sendiri, Ian kerja di luar kota.
Masih syukur sebulan sekali bisa ketemu,” jawabku, setengah berbisik.
“Atau mau nyari pacar yang deketan?” goda Jia.
Hampir-hampir tanganku mendarat di kepala Jia, tetapi dia menghindar cepat
ke kamar untuk berganti pakaian.
Dulu, aku tidak seperti ini, menyembunyikan hubunganku dengan Ian. Mama
dan Papa juga tidak mempermasalahkan hubungan kami. Di mata orangtuaku,
Ian sudah cukup dipercaya untuk menjagaku. Kami direstui.
Namun, itu berubah setahun belakangan. Hubunganku dan Ian sudah berjalan
satu tahun. Belum terlalu matang, tetapi juga bukan usia jagung yang masih
labil. Kami merencanakan hubungan yang lebih serius. Ian berjanji akan
BUKUNE
melamarku saat aku lulus kuliah. Untuk melangkah ke tahap itu, kami
memutuskan untuk bertunangan dulu sambil mempersiapkan diri.
Tentu saja Mama dan Papa setuju dengan permintaan Ian. Dia sudah sangat
dekat dengan keluargaku walaupun aku tidak begitu mengenal keluarganya.
Yang kukenal hanya mamanya, itu pun hanya sekali bertemu saat acara nikahan
sepupunya. Ian juga tidak pernah bercerita apa-apa tentang keluarganya
kepadaku.
Ketika rencana pertunangan sudah matang, tiba-tiba sambil menangis Mama
memintaku memutuskan hubungan dengan Ian. Mendengarkan permintaan itu
saja sudah membuatku kalut, ditambah lagi melihat sedu sedan Mama. Pastilah
ada sesuatu yang sangat serius.
Awalnya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir semuanya
baik-baik saja. Hingga Mama bercerita bahwa ibu Ian mendatangi Mama dan
menghina keluarga kami, berkata bahwa aku tidak sepantasnya berhubungan
dengan Ian.
Tidak pernah terpikir olehku bahwa keluarga kami sebenarnya biasa-biasa
saja. Papa hanya pegawai negeri sipil di Dinas Pertanian dan Mama seorang ibu
rumah tangga. Tidak bisa dibandingkan dengan keluarga Ian. Aku tahu keluarga
Ian sangat kaya dan memiliki perusahaan di mana-mana. Namun, Ian dan aku
sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya.
Sejak itu, selama beberapa waktu hubunganku dan Ian memburuk. Aku tidak
tahu lagi bagaimana kelanjutan hubungan kami. Ian juga mendadak lenyap dan
tidak pernah menghubungiku lagi. Saat itu, aku berpikir hubunganku dan Ian
sudah berakhir. Namun, Ian tiba-tiba muncul lagi, meminta maaf karena sudah
mengecewakanku, dan menawarkan hubungan baru.
Aku sudah telanjur mencintainya dan tentu saja menerima tawarannya, apa
pun risikonya. Namun, kali ini, hubungan kami kurahasiakan dari Mama dan
Papa.

Pukul tujuh kurang lima menit, Jia menurunkanku tepat di depan kantor baruku.
BUKUNE
Aku menarik napas panjang.
Aku menatap bangunan di depanku, tegang bercampur grogi. Kueja sekali lagi
nama kantor yang terpampang besar. BANK PRIMATAMA INDONESIA. Sebentar lagi,
aku akan menjadi bagian dari bank ini.
Aku melangkah dengan percaya diri. Seorang sekuriti yang sudah kukenal
membukakan pintu. Dia menyambutku dengan senyum. Bagaimana tidak kenal,
sudah beberapa kali aku bolak-balik ke bank ini.
“Pagi, Mbak! Wah, jadi karyawan di sini juga akhirnya,” sapanya. Aku
tersenyum lebar.
“Iya, sekarang Bapak bisa bosan lihat saya tiap hari,” balasku sambil
tersenyum. “Katanya mau ada briefing dulu, di mana ya, Pak?” tanyaku.
“Di banking hall, Mbak,” jawabnya.
Aku bengong. Banking hall? Aduh, di mana itu, ya?
“Mari, saya antar,” katanya kemudian.
Suasana kantor sudah lumayan ramai. Aku semakin salah tingkah, bingung,
dan grogi. Sekilas, pandanganku menangkap satu sosok dengan seragam hitam
putih, mirip seragam yang kukenakan. Aha! Ada teman rupanya.
Perlahan, aku bergeser dari tempatku berdiri, agar tidak terlihat mencolok.
“Hai, baru juga, ya?” sapaku.
Dia tampak kaget. “Eh iya, kamu juga, ya?”
“Fla,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Monik,” sahutnya sambil menyambut uluran tanganku.
Dalam hati, aku menjerit senang. Syukurlah, akhirnya ada teman juga.
Setidaknya, aku tidak akan tampak bodoh karena sendirian.
Tiba-tiba, suasana berubah gaduh. Kerumunan mulai terbentuk. Aku dan
Monik saling pandang.
“Briefing-nya mau mulai,” bisik Monik. Kami pun bergeser dan mengambil
tempat agak di belakang.
Selama briefing berlangsung, aku hanya menunduk menatap kaki. Tidak
BUKUNE
mengerti dengan apa yang dibicarakan. Hampir saja aku menguap lebar
seandainya Monik tidak mencolek tanganku.
“Disuruh ke depan,” bisiknya. Aku tersentak kaget. Monik berjalan duluan
dan, walaupun masih setengah tidak mengerti, aku mengikuti Monik dari
belakang.
“Hari ini kita kedatangan dua karyawan baru. Ayo, masing-masing
perkenalkan diri,” kata bapak-bapak yang mengenakan kemeja biru. Sepertinya
dia yang bernama Pak Wira.
“Selamat pagi, Semuanya. Saya Fla Regina, panggil saja Fla,” kataku
memperkenalkan diri.
“Saya Monika, panggil saja Monik.”
“Kenalan lebih lanjutnya dilanjutkan nanti, ya,” ujar si bapak. Aku melirik
name tag di kemejanya. Wira Gunadi.
Setelah berdoa, semuanya langsung bubar. Tinggal aku dan Monik yang
berdiri kebingungan.
“Ayo, kalian langsung ke depan,” ajak Pak Wira.
Tergopoh-gopoh, aku dan Monik mengikuti langkah pria itu.
“Ini, anak-anakmu yang baru,” ujar Pak Wira kepada seorang wanita bewajah
serius.
“Ini head CS kalian,” kata Pak Wira lagi.
“Merin,” katanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.
Hampir bersamaan, aku dan Monik membalas uluran tangannya.
“Fla, Bu,” kataku.
“Jangan panggil Ibu, Mbak aja,” katanya.
Aku dan Monik hanya nyengir.
Tidak lama kemudian, Pak Wira meninggalkan aku dan Monik yang masih
diliputi kebingungan tentang apa selanjutnya yang harus kami lakukan.
“Simpan dulu tas kalian di loker.”
Aku dan Monik mengikuti langkah Mbak Merin ke ruangan kecil yang
terletak di samping area CS.
BUKUNE
“Ini, kalian pelajari dulu. Kalau ada yang membingungkan, bisa kalian tanyain
ke aku atau senior-senior yang lain.” Mbak Merin menyerahkan setumpuk kertas
fotokopian.
“Hari ini, kalian training sambil lihat gimana sebenarnya kerjaan CS. Monik,
kamu sama Anya, ya. Fla sama Herfi.”
Mbak Merin menyuruhku menuju meja CS dengan papan nama bertuliskan
HERFI. Berbekal setumpuk kertas yang belum sempat kulihat isinya, aku bergegas
menghampiri meja yang dimaksud. Monik sudah duduk manis di samping Mbak
Anya. Aku memberikan kode dengan lambaian tangan.
“Ambil aja kursi yang itu,” kata Mas Herfi sebelum aku sempat bertanya.
Aku melirik Mas Herfi dari samping. Masa dari tadi aku hanya didiamkan
saja. Ganteng sih ganteng, tetapi kalau bisu juga percuma. Aku terus mengomel
dalam hati.
“Nanti kalau ada nasabah, kamu perhatiin ya apa-apa aja yang aku lakuin,”
kata Mas Herfi tiba-tiba. Aku mengangguk.
Jika dilihat sekilas, sepertinya tugas CS tidak terlalu ribet, padahal ada begitu
banyak tetek bengek lain yang tidak dilihat nasabah, belum lagi tanggung jawab
mereka untuk mengurus aliran dana masuk dan keluar. Aku jadi bersemangat
untuk belajar lebih banyak.
“Setiap kali ada nasabah yang datang, kamu harus langsung tanggap dengan
menawarkan bantuan. Selalu berdiri, salaman, senyum, dan sapa. Jangan lupa
selalu perkenalkan nama kamu juga,” jelasnya lagi. “Kamu perhatiin dulu, ya.”
Seorang ibu mendekat. Mas Herfi berdiri dari tempat duduknya.
“Selamat pagi, Ibu, saya Herfi. Silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu,
Bu?” tanyanya setelah si Ibu duduk.
“Saya lupa pin ATM saya. Tadi sudah coba berkali-kali. Sekarang sepertinya
sudah kena blokir,” sahut si Ibu.
“Mohon maaf, sebelumnya boleh saya tahu dengan Ibu siapa saya bicara?”
Mataku tidak berkedip memperhatikan mereka berdua.
“Lena,” sahut si Ibu.
BUKUNE
“Saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Boleh saya pinjam kartu ATM,
buku tabungan, dan KTP-nya? Saya bantu mencocokkan data terlebih dahulu.”
Mas Herfi kemudian mengecek KTP, kartu ATM, dan buku tabungan milik
wanita bernama Lena itu. Dia kemudian sibuk mengetikkan sesuatu di komputer,
mungkin mencari data ibu itu.
“Pin-nya sama sekali tidak bisa diingat lagi, ya, Bu?” tanya Mas Herfi. Si Ibu
menggeleng.
“Kartu ATM-nya ganti baru saja ya, Bu? Tapi kalau Ibu Lena masih bisa ingat
pinnya, tinggal diaktifkan lagi saja,” jelas Mas Herfi.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Ganti baru aja,” sahutnya.
Tidak lama, Mas Herfi mengambil selembar kertas dan menulis data sang
nasabah. Aku terus memperhatikan.
Satu nasabah selesai. Mas Herfi kembali berdiri dan mengucapkan salam.
“Intinya, kamu harus selalu mengutamakan keperluan nasabah. Harus tanggap
dengan keluhan mereka dan tetap tersenyum walaupun menerima komplain,”
jelas Mas Herfi. “Kita juga punya standar greeting yang harus konsisten kamu
terapkan.”
“Greeting? Maksudnya, Mas?” tanyaku bingung.
“Seperti yang saya lakukan tadi. Berdiri, mengucapkan nama, menawarkan
bantuan, menyebutkan nama nasabah minimal tiga kali.”
Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Penguasaan produk juga sangat penting. Usahakan kamu hafal di luar kepala.
Yang penting-penting aja, misalnya produk tabungan, setoran awalnya berapa,
ada nggak biaya adminnya, benefitnya, bunganya, ATM juga,” jelas Mas Herfi
panjang lebar. “Kalau semua itu sudah kamu kuasai, nanti baru pelan-pelan
belajar sistem. Nggak susah, kok.”
Ternyata Mas ini baik juga, tidak sedingin wajahnya.
Seharian, yang kulakukan hanya duduk mengamati nasabah. Aku tidak tahu
apa yang dipikirkan nasabah yang melihatku menempel terus di samping Mas
Herfi. Semoga saja mereka tidak mengira aku adalah petugas sensus yang
sedang mendata keuangan mereka.[]
BUKUNE
The Missing Thing

IAN
Kamu berubah, jarang mau bls SMS
dan terima telp aku lagi.
Knp? Ak ngerasa ada yg ga beres
dgn hubungan kita.
Sbnrnya apa yg kamu mau?

A ku mengeryitkan kening. Apa maksud pesan Ian? Berubah? Apanya yang


berubah? Bukannya dia tahu sekarang aku sudah bekerja, jadi tidak mungkin
BUKUNE
setiap jam bisa berkirim pesan dan teleponan?
Bukannya yang aneh justru dia? Minggu lalu tiba-tiba membatalkan
kepulangannya untuk kali kesekian dengan alasan yang sama: sibuk. Aku tidak
protes karena aku belajar untuk menghargainya, sesibuk apa pun dia. Namun,
kali ini, dia malah tidak mau memahami posisiku.
Setengah emosi, aku mengambil ponsel dan menekan nomor Ian. Nada sibuk.
Kuulang sekali lagi, masih saja sibuk. Dan saat telepon tersambung, malah tidak
diangkat. Apa maksudnya membuatku emosi seperti ini?
Sejak Ian bekerja di luar kota, frekuensi kami bertemu bisa dihitung jari. Dan,
entah mengapa, dia selalu saja merusak kualitas hubungan kami. Entah itu
dengan cemburu ataupun marah-marah tanpa alasan yang jelas.
Aku menatap nasi padang di hadapanku dengan tidak berselera. Padahal, tadi
perutku sudah keroncongan minta diisi. Setelah memikirkan Ian, selera makanku
hilang dan kepalaku mendadak pusing.
Ian bersikap aneh sejak aku mulai bekerja beberapa hari lalu. Dia
meneleponku terus-menerus selagi aku bekerja. Mengirimkan puluhan pesan
yang isinya sama, bertanya mengapa aku tidak mengangkat teleponnya. Padahal,
dia sendiri tahu aku tidak bisa mengangkat telepon sesuka hatiku. Selanjutnya,
dia malah menuduhku yang tidak-tidak. Katanya, aku sengaja tidak mau
mengangkat teleponnya karena sedang bersama pria lain. Tuduhan yang tidak
masuk akal. Dia seolah tidak rela waktuku dihabiskan di kantor.
“Kenapa, Fla? Kok nggak dimakan?” tanya Mbak Restu, staf marketing yang
juga sedang makan di pantri.
“Sebentar, Mbak. Mau telepon orang penting dulu. Urgent,” sahutku sambil
memaksakan tawa.

Angkat teleponku!

BUKUNE

Aku kemudian mengaduk-aduk makan siangku dengan hati dongkol.


Membuat mood-ku jelek saja.
“Tahu Tio, ‘kan?” tanya Mbak Restu tiba tiba.
“Tio mana, Mbak?” tanyaku bingung. Sekarang yang ada di otakku hanya rasa
kesal, kesal, dan kesal!
“Tio anak home loan,” jelas Mbak Restu.
“Oooh, Tio yang itu.” Hampir saja aku melanjutkan, Tio yang mukanya aneh,
hobi tebar pesona, terus suka senyum-senyum sendiri itu, ya? Nyaris.
“Dia sering nanya-nanya tentang kamu, lho,” lanjut Mbak Restu setengah
berbisik. Kontan aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa anehnya
orang yang bernama Tio itu.
“Kayaknya dia naksir kamu, deh.” Sepertinya Mbak Restu salah paham.
Dikiranya aku naksir juga kepada Tio.
“Aku udah punya pacar, Mbak,” ujarku langsung. Meskipun sekarang aku
sedang dongkol setengah mati terhadap Ian, sampai detik ini dia kan masih
pacarku.
“Yaaah, sayang, ya. Padahal niatnya aku mau ngejodohin kalian,” kata Mbak
Restu.
Baru saja Mbak Restu selesai berbicara, orang yang sedang dibahas tiba-tiba
muncul. Setengah mengintip, dia berdiri di ambang pintu pantri.
“Panjang umur kamu, Tio!” seru Mbak Restu.
“Gosipin aku, ya?” sahutnya.
Hampir saja aku berteriak, Geer banget, sih! Namun, batal kulakukan, nanti dia
jadi geer benaran.
“Halo. CS baru, ‘kan? Kenalan dulu, dong,” katanya sambil mendekat ke
arahku. Ugh, eneg jadinya.
“Fla,” kataku malas-malasan.
“Tio,” balasnya sambil menggenggam tanganku lama sekali. Mbak Restu
BUKUNE
hanya memandangku sambil senyum-senyum.
“Sayang kamu udah makan, padahal mau kutraktir makan di luar, lho,”
lanjutnya.
“Aku nggak diajakin?” timpal Mbak Restu.
“Iya, diajakin. Tapi khusus buat Mbak, bayar sendiri,” kata Tio sambil
mencibir.
Ponselku tiba-tiba bergetar pelan. Aku melirik layar. Ian! Aku kemudian
memisahkan diri ke pojok pantri.
“Kenapa nggak diangkat teleponku tadi?!” kataku kesal.
“Lagi sibuk,” sahut Ian singkat.
“Maksud kamu apa, SMS kayak gitu?”
“Masih nggak ngerti juga? Katanya udah dewasa, udah kerja. Gitu aja nggak
ngerti,” kata Ian dengan nada sinis.
“Kamu kenapa selalu nyalahin aku? Coba kamu balikin ke diri kamu sendiri,
apa kamu pernah ngertiin aku? Kenapa buat hal kecil kayak gini aja kamu nggak
mau ngerti?” balasku berapi-api.
“Kamu lagi di mana?” potongnya tiba- tiba.
“Lagi di kantorlah.”
“Lagi sama siapa? Kenapa ada suara cowok?!”
Ya ampun, orang ini! Aku menghela napas panjang.
“Aku lagi makan siang di pantri. Wajarlah kalau ada orang lain juga. Kenapa,
sih, gitu aja jadi masalah?”
“Kamu lagi makan di luar sama teman kantormu yang cowok, ya?” desaknya lagi.
“Kenapa, sih, curigaan terus? Kamu kira aku nggak capek selalu dituduh yang
enggak-enggak? Udah ah, aku mau kerja lagi!” Aku mematikan ponsel dengan
emosi.
“Semuanya, aku duluan, ya!” seruku kepada Mbak Restu dan Tio.
“Lho, kok cepet banget, sih?” komentar Tio.
Aku pura-pura tidak mendengar dan bergegas keluar dari pantri.
Sial! Jelek sekali mood-ku hari ini. Rasanya ingin kucakar-cakar Ian jika dia
BUKUNE
ada di hadapanku. Aneh, tidak pernah dia secemburu ini terhadapku. Selama dua
tahun bersama, kami memang sering bertengkar, tetapi tidak pernah lama.
Beberapa jam kemudian pasti sudah baikan. Semoga saja kali ini juga begitu.
Aku memasuki banking hall. Ruang tunggu dipenuhi nasabah, satu kursi
kosong pun tidak tersisa. Kulihat Monik sibuk mondar-mandir untuk
memfotokopi, padahal biasanya itu tugas OB.
Meja Mas Herfi masih kosong, artinya dia belum kembali dari istirahat. Atau,
mungkin aku saja yang terlalu singkat istirahatnya. Aku melihat sekeliling,
bingung harus melakukan apa. Dari meja seberang, Mbak Merin melambaikan
tangan, memanggilku.
“Sementara nunggu Herfi, kamu bantu-bantu Gea dulu aja,” kata Mbak Merin.
Aku mengiakan.
Kepada nasabah, Mbak Gea memang sangat ramah, tetapi—meski mungkin
hanya perasaanku saja—dia sering bersikap sinis kepadaku. Saat berbicara
denganku, nadanya terkadang sangat jutek. Sebenarnya, kami seumuran, tetapi
dia lulusan D-3 dan lebih dulu diterima kerja. Berhubung sejak awal aku sudah
memanggilnya dengan sebutan Mbak, mau tidak mau sampai sekarang aku tetap
memanggilnya begitu.
“Fla, coba ambilin buku tanda terima ATM. Kayaknya tadi diambil Monik,
deh.”
Itu sapaannya saat aku baru saja hendak duduk.
“Aku pengin lihat kamu menghadapi nasabah. Sini, kamu gantiin aku.” Mbak
Gea menyuruhku duduk di kursinya.
Kacau! Selama ini, Mas Herfi saja belum pernah memintaku melayani
nasabah sendiri.
“Selamat siang, Pak. Silakan duduk.” Setelah memanggil nomor antrean,
seorang pria setengah baya menghampiri counter-ku.
“Jangan lupa perkenalkan diri kamu,” bisik Mbak Gea.
Aku menoleh ke arahnya dengan raut kebingungan.
“Jangan bengong, tanyain bapaknya mau apa,” bisiknya lagi.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”BUKUNE
“Mau buka tabungan,” sahut pria itu dengan suara pelan.
Aku menoleh kepada Mbak Gea lagi, yang kini balas menatapku tajam.
“Sebelumnya sudah pernah punya tabungan di sini, Pak?” tanyaku sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang biasanya Mas Herfi lakukan jika ada
nasabah yang mau membuat rekening.
“Belum pernah,” sahutnya singkat.
“Boleh saya pinjam KTP-nya, Pak?”
Pria itu menyerahkan KTP miliknya. Aku memberinya senyum sekali lagi
sebelum mengambil formulir dari laci.
“Jelasin dulu produk-produk tabungan. Emang kamu tahu Bapaknya mau
buka rekening apa?” bisik Mbak Gea. Meski suaranya pelan, tetapi aku yakin dia
merasa sangat jengkel terhadapku. Aku hanya bisa menarik napas perlahan dan
berusaha tersenyum.

Aku merapikan riasan di kamar mandi, menepuk-nepukkan spons bedak ke
mukaku dan menatap bayangan di cermin. Aku memang sengaja tidak
menggunakan make-up lengkap. Kepalaku yang pusing membuatku malas
melakukan apa pun. Sekadar mandi, berganti pakaian, dan menyambar
setangkup roti tawar yang kumakan sambil memakai sepatu. Ketika tadi
melihatku, Mbak Merin berkomentar bahwa wajahku pucat sekali seperti zombi.
Rasanya, ingin minta izin pulang cepat saja. Namun, Mbak Anya sedang cuti.
Jadi, tinggal aku, Monik, Mbak Gea, dan Mas Herfi. Yang senior hanya dua
orang, sedangkan aku dan Monik belum terlalu bisa diandalkan. Apalagi ini awal
bulan, nasabah sudah mengantre dari pagi.
Buru-buru aku keluar dari toilet. Mau tidak mau, harus dipaksakan. Semoga
saja aku masih bisa bekerja dengan pikiran waras.
Aku tepekur di mejaku. Menatap ke depan dengan pandangan kosong.
Telepon di mejaku tiba-tiba berdering pendek, tanda telepon dari dalam.
“Pagi, dengan Fla,” sahutku tidak bersemangat.
BUKUNE
“Kamu ngapain bengong? Panggil antrean! Banyak nasabah, tuh!” Suara Mbak
Gea menghunjam telingaku.
Buru-buru aku mengeklik tombol panggil di komputerku. Sumpah, rasanya
mau berdiri saja sudah tidak kuat.
“Nomor antrean 103, silakan ke counter 9.” Samar-samar, terdengar panggilan
dari pengeras suara. Semoga saja nasabahnya hanya membutuhkan bantuan kecil
dan tidak berlama-lama di mejaku.
“Selamat pagi, Ibu. Saya Fla. Ada yang bisa dibantu, Ibu?” sapaku sambil
menyalami wanita yang berhenti di depan mejaku. Aku kemudian
mempersilakannya duduk.
“Buku tabungan saya hilang, Mbak,” kata si Ibu.
“Maaf, sebelumnya boleh saya tahu dengan Ibu siapa saya bicara?”
“Tanti,” jawab si Ibu.
“Hilangnya kapan, Bu Tanti?”
“Saya juga nggak terlalu ingat kapan hilangnya, tapi sudah buat surat
kehilangan dari kantor polisi, kok.” Bu Tanti mengeluarkan selembar kertas dari
tasnya dan menyerahkannya kepadaku.
“Bu Tanti, untuk buku tabungan yang hilang, rekeningnya harus ditutup. Jadi,
nanti rekening Ibu kita tutup, kemudian buka rekening baru lagi,” jelasku.
“Tapi, nomor rekeningnya masih sama, ‘kan?” tanyanya.
“Untuk nomor rekeningnya tidak bisa sama lagi, Bu Tanti. Akan diganti
dengan nomor yang baru,” jelasku.
“Ya sudah, nggak apa-apa, deh, Mbak.”
“Bu Tanti, boleh pinjam KTP dan kartu ATM-nya, biar bisa saya cocokkan
terlebih dulu?” pintaku.
Dengan bantuan data di KTP dan kartu ATM, aku mencocokkan data di
sistem. Semuanya sesuai. Aku pun mengambil formulir penutupan rekening dan
menulis data Bu Tanti. Kepalaku tambah pusing, pandanganku rasanya semakin
buram.
BUKUNE
“Ditunggu sebentar, ya, Bu Tanti.” Aku meninggalkan mejaku menuju meja
head CS, Mbak Merin.
“Mbak, ada yang tutup rekening, nih.” Aku menyerahkan aplikasi penutupan
rekening ke Mbak Merin.
“Aku putusin link ATM-nya dulu, ya. Nasabahnya bawa kartu ATM, ‘kan?”
tanya Mbak Merin.
Aku mengangguk sambil menyerahkan kartu ATM.
“Buku tabungannya hilang, Mbak,” aku menginformasikan.
“Surat dari kepolisian ada, ‘kan?”
“Ada, Mbak,” jawabku singkat.
“Kamu minta tolong dulu sama Rohim, ambilin aplikasi pembukaan rekening
tabungan lamanya di gudang,” kata Mbak Merin, menyebutkan nama salah satu
OB.
Keningku tiba-tiba berkerut. Mencari aplikasi pembukaan rekening zaman
antah berantah di gudang? Sama saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Eh ..., tidak segitunya juga, sih. Yang pasti memang sangat merepotkan.
“Kamu harus pastiin tanda tangannya di pembukaan awal sama dengan di
penutupan rekening. Soalnya buku tabungannya hilang, jadi kita nggak punya
alat verifikasi,” kata Mbak Merin lagi.
Hampir saja aku menghela napas panjang, tetapi kutahan.
Aku meninggalkan meja Mbak Merin dengan perasaan tidak jelas. Ingin
protes, tetapi memang seperti itu prosedurnya. Ingin memberi tahu bahwa aku
sedang sakit, tetapi semua orang sedang sibuk dengan tugas masing-masing dan
tidak ada pengganti. Nanti malah akunya yang digorok.
“Bu Tanti, mohon ditunggu sebentar, ya,” kataku. Aku beranjak dari mejaku
menuju pantri. Jam segini pasti Rohim ada di sana.
“Cepat, ya, Him. Nasabahnya nunggu,” kataku kepada Rohim yang langsung
tergesa-gesa menuju gudang.
Badanku rasanya panas dingin. Sepertinya aku mau demam. Apa sebaiknya
aku menunggu Rohim di pantri saja, ya? Namun, nasabahku menunggu di depan.
BUKUNE
Sekali lagi aku menarik napas panjang dan menuju banking hall. Napasku pun
terasa panas.
“Kamu sakit ya, Fla?” Tio tiba-tiba menegurku.
Aku menatapnya dengan tidak bersemangat dan menjawab pertanyaannya
dengan anggukan lemah.
“Kenapa nggak izin pulang aja?” Kali ini pria di sampingnya yang berbicara.
Kalau tidak salah namanya Raka, anak ODP—Officer Development Program—
yang baru beberapa hari ini training di kantor.
“Masih ada nasabah,” sahutku.
“Udah, pulang aja. Mukamu pucat gitu. Ntar biar aku yang nganterin,” bujuk
Tio.
“Tunggu nasabah yang ini selesai dulu,” kataku akhirnya. Seandainya tidak
sedang sakit begini, pasti kutolak mentah-mentah tawaran Tio.
Aku menuju counter-ku lagi. Sambil mengulur waktu, aku menawarkan
produk-produk tabungan walaupun rasanya aku sudah tidak bisa berkonsentrasi
lagi.
Rohim datang beberapa menit kemudian. Akhirnya, aku bisa bernapas lega.
Semuanya cocok, tanda tangannya sama, tidak ada yang aneh. Syukurlah.
Tinggal buka tabungan baru. Data nasabahnya masih sama, jadi tidak banyak
yang harus diinput. Ambil nomor rekening, print buku tabungan, link ATM,
beres.
“Bu Tanti, nomor antreannya saya pindahkan ke Teller, ya, untuk setoran ke
rekeningnya. Nanti Ibu akan dipanggil sekali lagi. Masih ada yang bisa dibantu,
Bu Tanti?” tanyaku akhirnya. Si Ibu menggeleng sambil tersenyum. Aku pun
memaksakan diri untuk tersenyum juga, meski rasanya sudah lemas sekali.
Kubalikkan papan nama di mejaku menjadi “Tutup”, kemudian mematikan
komputer. Untung Mbak Merin tidak cerewet saat aku meminta izin pulang.
Perlahan, aku berjalan menuju pintu keluar.
Tio dan Raka mengadangku di depan pintu. Aku menatap mereka bingung.
“Ayo, aku antar,” kata Tio.
BUKUNE
Ah, benar, aku membuat janji dengannya tadi. Untuk hari ini saja tidak apa-
apalah, daripada menunggu Jia.
Tio membawaku ke parkiran. Raka menghampiri sedan silver dan membuka
pintunya. Seingatku, Tio tidak pernah membawa mobil ke kantor. Ini pasti mobil
Raka. Mengapa malah Tio yang sok menawari untuk mengantarku pulang?
Aku duduk di belakang. Raka yang menyetir, dan Tio duduk di sampingnya.
Aku menyebutkan alamat rumahku kemudian merebahkan kepala ke sandaran
kursi.
“Rasanya gimana? Pusing?” tanya Raka tiba-tiba. Aku membuka mataku yang
sudah terpejam.
“Pusing sama demam,” jawabku.
“Seharusnya tadi pagi nggak usah masuk kerja aja,” Tio menimpali.
Aku memejam lagi. Mobil tiba-tiba berhenti. Mungkin sedang di lampu
merah. Mataku kubuka sedikit. Tio sedang memainkan ponsel. Raka tidak ada di
kursinya.
Tidak beberapa lama, Raka kembali dengan bungkusan kecil. Aku pura-pura
memejam lagi.
“Obat apa yang kamu beli?” Samar, terdengar suara Tio.
“Parasetamol sama Vitamin C,” sahut Raka.
Kali ini, aku benar-benar tertidur dengan sukses. Aku baru tersadar saat
mendengar suara Tio memanggil namaku.
“Fla, rumahmu di gang mana?”
Pelan, aku membuka mata sambil menyebutkan nama gang rumahku.
“Yang cat hijau,” kataku.
Raka menghentikan mobilnya di depan rumah.
“Makasih banyak, ya. Maaf udah ngerepotin,” kataku.
“Enggak, kok, Fla. Ini juga sekalian mau ke tempat nasabah. Oh, ya, ini, aku
beliin obat buat kamu. Diminum, ya, biar cepat sembuh,” kata Tio sambil
menyerahkan bungkusan berisi obat.
Aku tidak peduli siapa yang sudah membelinya, Tio atau Raka. Aku lebih
BUKUNE
ingin sesegera mungkin minum obat dan beristirahat.

Aku tersentak dari tidurku karena mendengar getaran ponsel. Aku melihat
sekeliling. Jam menunjukkan pukul lima sore. Lama sekali sepertinya aku
tertidur.
Kubuka selimut. Lumayan, panasku sudah turun. Kucari ponselku yang
ternyata tertutupi selimut.
“Halo,” jawabku.
“Udah baikan, Fla?”
Aku terdiam sejenak, mencoba menerka pemilik suara di seberang sana. Tio?
“Siapa, ya?” tanyaku malas-malasan.
“Ini Raka, Fla.”
“Oh ... Raka. Udah mendingan. Ini baru bangun,” sahutku. Entah mengapa,
aku bernapas lega karena yang menelepon ternyata bukan Tio.
“Syukurlah. Ya udah, kamu istirahat lagi aja. Jangan lupa makan.”
“Iya. Makasih, Ka.” Telepon pun ditutup.
Aku bengong sejenak. Rasanya ada yang terlupa. Oh, iya, hari ini aku belum
menghubungi Ian!
Bergegas, kutekan nomor telepon Ian. Tak sampai tiga kali nada sambung,
suara Ian terdengar.
“Kok baru telepon?” Itu komentar Ian.
“Kenapa nggak kamu aja yang telepon duluan? Aku demam, tadi aku kerja
setengah hari.”
“Kenapa nggak bilang kalau kamu sakit?”
“Ini bilang.”
Ian kembali memancing emosiku.
“Sekarang gimana? Udah mendingan?” Ian tiba-tiba melunak.
“Udah. Jangan suka marah-marah, masa tiap telepon ada aja yang diributin,”
kataku.
“Iya maaf, habis bawaannya curiga terus kalau kamu jauh.”
BUKUNE
Aku menghela napas panjang. Salah siapa tiap minggu selalu beralasan tidak
bisa pulang? Pekerjaan memang mengharuskan Ian berjauhan denganku, tetapi
Ian semakin sering membatalkan janji untuk pulang setiap pekan. Ada apa?
Hanya alasan yang selalu datang, tanpa Ian.
Aku tidak tahu entah sampai kapan kami akan seperti ini. Ini juga menjadi
salah satu alasan Ian tidak bisa memberikan keputusan tentang hubungan kami.
Aku dan Ian tidak memiliki banyak waktu untuk bersama, selain karena
mamanya yang sampai sekarang masih tidak menyukaiku.
“Udah minum obat?” tanyanya.
“Udah, tadi dibeliin sama teman kantorku.”
“Cewek atau cowok?”
“Cowok.” Saat kata itu terlontar, aku langsung menyadari kesalahanku.
“Siapa? Tumben ada yang mau beliin obat buat kamu.” Suara Ian kembali
meninggi.
Ya ampun, bahkan saat rasa sakit di kepalaku belum benar-benar hilang, Ian
sudah membuatnya kambuh lagi.
“Cuma teman kantor,” jawabku, bingung harus menjelaskan seperti apa.
“Kamu bohong lagi sama aku,” katanya tidak percaya. Dia menggunakan kata
“lagi”. Memangnya sudah berapa kali aku berbohong?
“Ian! Bisa nggak sehari aja kita nggak berantem?” timpalku kesal.
“Udahlah, aku lagi malas ngobrol sama kamu.”
Telepon pun dimatikan sepihak. Aku berteriak dan melemparkan ponselku.[]

BUKUNE
Bencana

A ku berulang kali mengucek mata. Orang yang tidak tahu, pasti mengira aku
tengah menangis. Padahal, aku sedang mati-matian menahan agar tidak ketahuan
sedang mengantuk. Ujung-ujungnya, mataku malah memerah, mirip seperti
orang yang habis menangis.
Baru pukul sebelas, tetapi perutku sudah lapar dan kepalaku kosong, tidak
bisa lagi diajak berpikir. Aku bosan.
Aku tidak tahu apakah ini kebahagiaan atau penderitaan dipindahkan ke
Kantor Cabang Pembantu yang baru buka beberapa hari. Bahagianya karena
tidak perlu berurusan dengan karyawan-karyawan di cabang induk yang
sebagian besar menyebalkan. Di mana aku terus dianggap anak baru yang selalu
BUKUNE
disuruh-suruh dan disalahkan atas segala masalah hanya karena aku memang
masih belum memahami segalanya. Deritanya, mungkin lama-lama aku bisa
mati bosan karena di sini masih minim nasabah.
Aku mengerjap-ngerjap agar kantukku hilang. Semoga tidak ada nasabah yang
melihat, nanti dikira aku CS genit yang mencari perhatian. Namun, memang dari
tadi tidak ada nasabah.
Seandainya CCTV sialan itu tidak tepat mengarah ke mukaku, pasti dari tadi
aku sudah tidur siang dengan sukses. Aku membetulkan posisi duduk, mencoba
bertahan dengan siksaan kantuk dan sepi di kantor baru ini.
Mataku mengarah ke luar. Untung saja pintu terbuat dari kaca transparan, jadi
apa pun yang terjadi di luar bisa terlihat olehku. Seru kali, ya, jika tiba-tiba ada
perampok bertopeng yang datang seperti yang sering diberitakan di TV?
Tiba-tiba, seseorang mendorong pintu dan masuk dengan tergesa. Hampir saja
sekuriti yang bermaksud membukakan pintu ditabraknya. Belum sempat sekuriti
menanyakan keperluannya, orang itu langsung menuju ke arahku.
Aku langsung siaga satu. Semoga saja riasanku belum luntur.
“Selamat siang, Ibu. Saya Fla. Silakan duduk,” kataku sambil berdiri dan
menyodorkan tangan untuk bersalaman. Dia tidak menyambut uluran tanganku
dan langsung duduk.
“Maaf, boleh saya tahu dengan Ibu siapa?” tanyaku setelah kembali duduk.
“Vina,” jawabnya judes.
“Maaf, Ibu Vina, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dengan nada ramah.
“Saya mau komplain, Mbak. Ini kartu kredit saya sudah beberapa bulan lalu
saya tutup, tapi kok tagihannya masih datang? Bulan lalu saya sudah telepon ke
Customer Care, katanya nanti bakal dihapus tagihannya. Tapi bulan ini malah
ditagih lagi. Ini gimana, sih, Mbak?” katanya berapi-api.
Pelan-pelan, aku menarik napas. Kunci menghadapi nasabah yang sedang
marah: kita tidak boleh ikut-ikutan marah juga.
“Ibu Vina, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Boleh saya pinjam kartu
kredit dan KTP-nya? Saya bantu melakukan pengecekan dulu.”
BUKUNE
Si Ibu mengorek-ngorek tas, yang bisa kutebak harganya berkali-kali lipat dari
gajiku sebulan.
“Saya cek dulu ya, Bu,” kataku setelah menerima kartu kredit dan KTP-nya.
Wajah si Ibu masih cemberut.
“Ibu Vina, mohon maaf. Di sistem, data kartu kredit Ibu memang sudah tutup
dan tidak ada tagihan lagi.”
“Tapi, kemarin saya baru terima tagihan lagi, Mbak!” dia langsung memotong.
“Boleh saya lihat tagihannya, Bu?”
Lagi-lagi, si Ibu mengorek-ngorek tasnya. Heran, apa barang-barang di tasnya
tidak bisa disimpan dengan rapi? Setelah sekian lama mengaduk-aduk isi tasnya,
dia pun berhenti.
“Saya telepon anak saya dulu, suruh dia antar ke sini.”
Ampun, deh, kukira dia sudah menyerah.
Si Ibu mengeluarkan ponsel dari tasnya, yang tentu saja keluaran terbaru.
“Atau begini saja, Ibu Vina. Saya buatkan formulir pengaduannya. Masalah
Ibu nanti saya adukan ke Card Center. Kalau ada perkembangan, saya akan
menghubungi Ibu lagi,” tawarku.
“Tunggu sebentar, anak saya sudah di jalan.” Dia tetap bersikukuh dan
kembali menelepon anaknya. Kantuk dan laparku seketika hilang.
Seharusnya, dalam situasi seperti ini, aku bisa mengajaknya mengobrol dan
menawarkan produk-produk perbankan lainnya. Namun, melihat raut wajahnya
yang tampak tidak berminat, akhirnya kuurungkan niat itu. Aku hanya
memandang lurus ke arahnya sambil tersenyum, sedangkan dia sibuk dengan
ponselnya.
“Nah, itu dia!” katanya setengah bersorak.
Cepat sekali anaknya datang. Apa rumah mereka di samping bank ini?
Baru saja melewati pintu, anaknya sudah ditegur oleh sekuriti. Rasakan, siapa
suruh pakai kacamata hitam segala! Memangnya sedang di pantai?
“Kan udah aku bilang, tagihan yang ini punya aku.” Pria itu langsung
BUKUNE
menghampiri ibunya sambil melepaskan kacamata hitam yang dia kenakan. Aku
menatapnya tak percaya. Dia ....
“Punya Mama kan sudah ....” Mendadak, dia menghentikan ucapannya saat
melihatku.
Aku begitu ingin gempa terjadi agar bumi menelanku ke dalam perutnya dan
aku bisa menghilang, lenyap dari sini segera.
Seandainya tidak ada istilah profesional dalam bekerja, mungkin saat ini aku
akan pura-pura pingsan, masuk UGD, dan tidak perlu bertemu dengannya.
“Fla?” tanyanya dengan nada ragu.
Mau tidak mau, aku menegakkan kepala dan tersenyum. Hirup napas,
lepaskan. Buang semua kenangan buruk itu.
“Eh ..., Aga, ya?”
Ugh, mengapa aku tidak pura-pura tidak mengenalnya saja? Seharusnya dia
sudah melupakanku, jadi aku semestinya melakukan hal yang sama. Dan,
seharusnya aku tidak perlu segrogi ini.
“Siapa, Ga?” Si Ibu penasaran.
“Adik kelasku waktu SMA dulu, Ma,” sahutnya, kemudian duduk di depanku.
Aku jadi tidak ingat lagi bahwa aku harus berdiri dan mengucapkan salam
kepada setiap nasabah. Aku cemas, jangan-jangan dia akan mengatakan kepada
ibunya bahwa aku ini gadis tidak tahu diri yang pernah menyatakan cinta
kepadanya. Mau disimpan di mana mukaku ini?
Aga tersenyum sambil menatapku. Sungguh, aku tidak suka dengan sikapnya.
Senyumnya seolah ingin mengejek, mengingatkanku kepada hal bodoh yang
pernah kulakukan beberapa tahun lalu.
“Oh, ya, boleh saya pinjam tagihannya sebentar, Ibu?” Aku langsung ingat
maksud si Ibu datang ke sini. Masa bodoh dengan Aga.
“Mamaku yang salah, ini tagihan punyaku. Punya Mama sudah ditutup
kemarin,” kata Aga.
Aku bengong sesaat, berusaha mencerna omongan Aga.
“Mama salah paham, dia kira tagihan yang datang kemarin punya dia. Padahal
BUKUNE
jelas-jelas atas namaku,” Aga mengulang penjelasannya.
Oooh ..., aku baru mengerti sekarang. Si Ibu berpenampilan wah yang ternyata
ibu dari orang yang dulu pernah diam-diam kutaksir ini salah paham. Untung
saja aku sabar dan baik hati, jadi tidak ikut-ikutan marah.
“Eh ..., iya, ya, Ga?” kata si Ibu malu-malu. “Ya sudah, kalau gitu. Maafin
Tante, ya. Soalnya kemarin Tante buru-buru lihatnya,” katanya sambil
tersenyum.
Mengapa juga dia tiba-tiba menyebut dirinya dengan kata “Tante”? Seperti
terkesan sok akrab denganku.
“Iya, nggak apa-apa, Tante,” sahutku sambil tersenyum ramah.
Tunggu, mengapa aku ikut-ikutan memanggilnya dengan sebutan Tante?
“Masih ada yang bisa saya bantu, Tante? Mungkin masih ada keluhan lain?”
tanyaku. Padahal, dalam hati aku ingin sekali Aga dan ibunya pergi secepat
mungkin.
Si Ibu, eh, si Tante menggeleng sambil tersenyum ramah.
“Ya sudah kalau gitu, aku antar Mama pulang dulu. Aku mau balik ke kantor
lagi,” kata Aga sambil beranjak pamit.
Aku pun ikut-kutan berdiri dan mengulurkan tangan. Aga menjabat tanganku
agak lama—aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin sebagai permintaan maaf
karena sudah membuat masa SMA-ku begitu suram. Mamanya juga ikut-ikutan
menjabat tanganku lama-lama. Padahal, tadinya dia tidak mau kuajak
bersalaman.
Aku menghela napas panjang. Semoga tidak ada Aga pada hari-hariku
selanjutnya. Melihat wajahnya saja sudah membuatku terlempar ke masa lalu.
Aku sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi terhadapnya. Sejak dia
menolakku dulu, rasa itu sudah kukubur jauh-jauh.
Aku justru dendam. Dulu, dia sudah membuat hidupku tersiksa karena
menanggung malu. Dia menyebarkan berita ke seluruh sekolah bahwa aku
menyatakan cinta kepadanya. Bayangkan, saat itu aku masih kelas satu. Aku
harus menahan malu selama hampir tiga tahun gara-gara kelakuannya.
BUKUNE

Aku membereskan meja, kemudian memasukkan dokumen-dokumen nasabah ke
lemari. Sudah waktunya pulang. Sejak pindah ke kantor ini, aku selalu pulang
tepat waktu. Itu juga salah satu kebahagiaan yang kudapatkan di sini.
Karena Jia tidak bisa menjemput, aku buru-buru menunggu angkutan umum.
Biasanya, jika sudah sore begini, angkutan umum sudah mulai jarang.
Aku menenteng tas kertas yang berisi sepatu. Aku lebih suka pulang dengan
sandal jepit daripada menggunakan heels yang menyakitkan ini karena aku harus
berjalan beberapa meter dari kantor, baru bisa menemukan tempat angkutan
umum mangkal.
Aku mendengus kesal ketika mendengar suara klakson. Padahal, aku sudah
berjalan di jalur yang benar, jadi apa yang membuat pengendara mobil itu
terganggu?
Mobil yang dari tadi mengklaksonku menepi. Si pengemudi membuka kaca
mobil sehingga aku bisa melihat sosok yang begitu ingin kumusnahkan hidup-
hidup.
“Baru pulang?” tanyanya dengan raut muka menyebalkan.
Aga![]

BUKUNE
Erlangga Yuda

S ejenak, aku menatap wajah yang muncul dari balik kaca mobil itu. Hari ini
tampaknya ketidakberuntungan sedang menguntitku.
“Baru pulang kerja?” ulangnya sekali lagi.
Aku menarik napas kesal. Memangnya aku kelihatan baru pulang dari mana?
Kondangan?
“Iya,” jawabku singkat.
“Mau bareng?” tawarnya.
Dengan tegas aku menggeleng. “Aku bisa pulang sendiri,” kataku yakin.
“Mau hujan,” katanya.
Aku mendongak. Awan sudah mulai menghitam.
BUKUNE
“Rumahku dekat, kok,” balasku tak mau kalah.
“Ya sudah, kalau gitu. Aku duluan, ya,” katanya.
Kukira dia akan memaksa. Sepertinya aku terlalu kegeeran.
Titik-titik air tiba-tiba membasahi wajahku. Semakin lama semakin deras.
Aku menggeram kesal. Mengapa harus hujan pada saat seperti ini? Aku bergegas
berlari untuk berteduh. Aku berhenti di bawah kanopi sebuah kedai roti.
Kutepiskan air hujan yang menempel di baju dan tas. Sepertinya aku harus
menunggu lebih lama sampai hujan reda.

“Bener, ‘kan, yang aku bilang? Deras banget lagi hujannya,” kata Aga sambil
tertawa mengejek.
Aku mengutuki diriku habis-habisan. Aga kembali dan memaksaku
menumpang mobilnya. Aku tidak punya pilihan lain jika aku tidak ingin diguyur
hujan lebih lama.
“Keringin pakai ini.” Aga mengulurkan beberapa lembar tisu kepadaku. Aku
mengambilnya dan menyeka wajah dan tanganku yang basah. Di luar, hujan
semakin deras. Besok-besok, akan kupaksa Jia untuk menjemputku setiap hari.
“Masih rumah yang dulu?” tanya Aga kemudian ketika aku sedang sibuk
menyesali nasibku hari ini.
“Dulu?” tanyaku bingung. Memangnya dia pernah tahu di mana rumahku?
“Iya, masih rumah yang sama dengan waktu kita SMA?”
Aku berpikir keras. Sejak kapan Aga tahu rumahku?
“Dari dulu nggak pernah pindah,” sahutku.
Aga mengangguk kecil, kemudian menjalankan mobilnya.
“Sudah berapa lama kamu kerja di sana?” tanya Aga saat aku tengah
melamun.
“Oh, baru tiga bulan,” jawabku. Pertanyaan basa-basi harus dijawab dengan
basa-basi juga.
Sebenarnya, terasa ada yang aneh dengan situasi ini. Aku tidak pernah
membayangkan bisa duduk berdua BUKUNE
di dalam mobil dengan Aga, orang yang
pernah kubenci—ralat, bukan pernah, tetapi sampai sekarang pun aku masih
membencinya. Seumur hidup, aku baru dua kali berbicara dengannya: ketika
menyatakan perasaanku dan saat ini. Menakjubkan, bukan? Namun, kini aku
tidak sedang ingin bernostalgia.
“Kita udah nggak pernah ketemu sejak aku lulus. Kirain kamu udah nggak di
Pontianak lagi.”
Aku menatap ke arahnya dengan heran. Ada apa ini? Aku tidak suka dia
mengorek-ngorek tentang kehidupanku.
“Aku di Pontianak terus, kok, kuliah juga di sini. Kamu kali yang kuliah di
luar,” jawabku malas.
“Ternyata kamu udah banyak berubah. Kamu bahkan enggak manggil aku
dengan sebutan kakak lagi.” Dia tiba-tiba tertawa keras.
Aku tersenyum masam. Tidak ada yang lucu.
Aku menyesali keputusanku menghindari hujan dan menumpang di mobilnya.
Bukan grogi, aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kami tidak pernah
mengobrol sebelumnya. Dan, kini dia tiba-tiba muncul, berpura-pura akrab
denganku. Mengajakku berbicara, membuatku mengingat masa lalu hingga
merasa sangat rendah diri.
“Mamaku suka sama kamu,” kata Aga.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Katanya, mungkin kita berdua bisa cocok.”
Aku membelalak. Sepertinya mama Aga adalah tipe ibu yang frustrasi karena
anaknya tidak laku-laku juga. Masa baru sekali bertemu sudah bisa membuat
penilaian seperti itu?
“Jadi, kamu masih suka sama aku?”
Jika tadi aku sudah membelalak, kali ini bola mataku seakan mau keluar
mendengar kalimat yang dia ucapkan. Jangan mengira Aga mengatakannya
dengan nada lembut dan romantis karena yang terdengar hanya nada datar, mirip
orang yang menanyakan, “Kamu udah makan?”
“Nggak usah bercanda, Ga!” kataku kesal. “Nggak usah ngerjain aku lagi,”
lanjutku. BUKUNE
“Aku nggak pernah ngerjain kamu,” sanggahnya.
“Udahlah, turunin aku di sini. Rumahku udah dekat,” pintaku, menahan
kekesalan yang menumpuk. Pria ini benar-benar belum puas membuat hidupku
menderita.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru kamu aku turunin,” katanya dengan nada
dingin.
“Pertanyaan apa?! Jawabannya udah jelas enggak!” Kali ini, aku benar-benar
berteriak. Untung saja suara hujan lebih keras daripada suaraku.
“Lebih baik kamu pikirin lagi. Nanti malam aku dan Mama ke rumah kamu.”
“Hah? Ngapain?”
“Ngelamar.”
“Enak aja! Jangan harap aku bakal bilang iya!”
“Kamu boleh ngomong apa pun sesukamu sekarang, tapi nanti kamu pasti
bakal narik ucapan kamu lagi.” Aga terkekeh, lalu menepikan mobilnya.

Aga benar-benar nekat tanpa kompromi. Mungkin sedikit gila. Padahal sudah
kukatakan bahwa aku tidak lagi menyukainya.
Aku tahu dia hanya ingin mengejekku atas tindakan bodoh yang pernah
kulakukan dulu. Semacam usaha untuk menenggelamkanku pada genangan
kenangan buruk. Dia pasti tahu jelas perasaanku sekarang. Cinta yang dulu, kini
sudah berganti benci.
Namun, kedatangannya bersama mamanya malam ini ke rumahku membuatku
berpikir ulang. Apa maunya? Bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu, dan
aku juga tidak pernah berniat untuk mencari tahu tentang dirinya. Mengapa dia
harus datang lagi ke kehidupanku dengan cara seperti ini? Melamarku di
hadapan orangtuaku saat aku setengah mati membencinya. Perlu digarisbawahi,
melamarku!
“Maaf, ya, Pak, Bu. Mungkin ini terkesan terlalu cepat. Tapi, saya senang
sekali waktu tahu Aga dan Fla sedang menjalin hubungan,” ucap Tante Vina
BUKUNE
kepada Mama dan Papa. Aku yakin Mama dan Papa syok dengan kedatangan
Aga dan mamanya yang tiba-tiba. Mengingat selama ini aku juga tidak pernah
terlihat dekat dengan pria mana pun. Itu pun karena aku dan Ian berhubungan
diam-diam.
Aku hampir saja menyela dan ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi
antara aku dan Aga, tetapi Mama lebih dulu memotong.
“Malah kami yang harus berterima kasih. Kami nggak nyangka kalau selama
ini Fla menyembunyikan hubungannya dari kami. Kami menerimanya dengan
senang hati,” jawab Mama sambil tersenyum bahagia, yang mengingatkanku
kepada momen setahun lalu. Ketika Ian melamarku. Astaga, bagaimana aku
harus menjelaskan kepada Mama dan Papa bahwa sampai saat ini aku masih
menjalin hubungan dengan Ian?
“Anggap saja kedatangan kami ini sebagai silaturahmi sebelum lamaran yang
sebenarnya,” kata Tante Vina.
Aku berusaha menahan emosiku, tidak baik marah-marah di hadapan
orangtuaku yang tidak tahu apa-apa. Aku menatap Aga dengan tatapan
membunuh. Setelah ini, aku harus membuat perhitungan dengannya.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Mama dan Papa langsung mengiakan
permintaan Aga tanpa meminta persetujuan dariku dulu. Apa mereka merasa
lega karena akhirnya aku bisa berhubungan dengan pria selain Ian?
“Kami akan saling mengenal dulu, Om, Tante. Saya nggak mau Fla nanti
kaget dengan permintaan saya yang tiba-tiba ini.” Sekarang Aga yang berbicara.
Mama dan Papa hanya tertawa menanggapi omongan Aga. Mereka bahkan
tidak tahu aku baru mengenal pria ini beberapa jam yang lalu. Ya, aku
beranggapan baru mengenalnya karena dulu aku memang tidak tahu apa pun
tentang dia.
“Aku akan membunuhmu,” bisikku ke telinganya saat akan mengantar dia dan
mamanya ke teras.
“Coba aja kalau bisa.” Dia tertawa pelan. “Aku lebih suka kamu yang dulu,
BUKUNE
diam dan nggak banyak nuntut,” Aga balas berbisik.
“Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah nurutin kemauan kamu,” ujarku
lagi sambil menatapnya tajam.
Aga tidak membalas, dia hanya tertawa mengejek sambil beranjak pergi.
Aku akan membuatmu menyesal karena telah berani mengganggu hidupku lagi,
Erlangga Yuda![]
Tolong Musnahkan Dia

“N ikahi aku,” pintaku dengan penuh harap.


Ian seketika meletakkan kembali gelasnya. Dia menatapku bingung.
“Kamu nggak apa-apa, ‘kan?” Wajah Ian terlihat cemas.
“Ian, aku serius,” sahutku kesal.
“Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya,” kata Ian.
Aku mendengus sebal. Apa salah aku minta dinikahi oleh pacar sendiri?
“Kamu pernah janji kita bakal nikah kalau aku udah lulus kuliah.”
“Iya, aku ingat. Tapi, sekarang keadaannya beda. Kamu juga ngerti, ‘kan?”
Ian menyentuh tanganku perlahan.
Aku menghela napas panjang. “Terus sampai kapan aku harus nunggu?”
BUKUNE
Ian kemudian tertawa. “Jangan gitu, Fla. Aku nggak mau kamu mengemis
untuk dinikahi. Kalau waktunya tiba, aku akan memperjuangkan kamu.”
Lagi-lagi aku hanya cemberut mendengar omongan Ian. Selalu kata-kata yang
sama.
“Aku ingin secepatnya, bukannya nunggu saat yang tepat.”
“Beri aku waktu buat meyakinkan Mama, Fla.”
Rasanya, aku ingin menangis dengan kenyataan ini. Aku menunduk,
menghindari tatapan Ian. Tidak mungkin aku jujur kepada Ian bahwa ada pria
gila yang tiba-tiba melamarku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
marahnya Ian. Emosinya selalu cepat terpancing jika tahu ada pria lain yang
mendekatiku.
“Aku ... aku cuma tiba-tiba kepikiran sampai kapan kita bakal berhubungan
seperti ini, menyembunyikan semuanya dari orangtua kita.”
“Bersabarlah, aku bakal berusaha.” Ian kemudian menggenggam tanganku
erat.
Aku menyandarkan kepala di bahunya. Sudah lama sekali rasanya kami tidak
seperti ini. Pekerjaan Ian yang tidak ada habisnya membuat waktu kebersamaan
kami menjadi berkurang. Kadang, aku berpikir, mungkin mama Ian sengaja
menjauhkan kami dengan mengirim Ian menjalankan usaha mereka yang ada di
luar kota.
“Besok mau langsung berangkat lagi?”
Ian mengangguk sambil mengelus kepalaku.
“Aku masih kangen,” bisikku lirih.
“Aku bakal sering telepon.”
“Kamu sering marah-marah kalau ditelepon.”
Ian tertawa mendengar perkataanku. “Aku cuma nggak bisa jauh dari kamu,”
sahutnya.
“Terus, kapan pulangnya?”
“Berangkat saja belum, sudah ditanya kapan pulang.” Ian tersenyum.
“Jangan janji bilang bisa pulang, tapi ujung-ujungnya kamu bohongin aku
terus,” kataku sambil cemberut. BUKUNE
“Iya, iya ..., asal kamu juga enggak aneh-aneh di sini.” Ian mengecup
keningku sekilas.
“Kayaknya bentar lagi Mama bakal datang. Aku anterin kamu pulang, ya,”
lanjut Ian.
Aku menatapnya dengan tidak rela. Baru saja bertemu, sudah disuruh pulang.
“Aku pulang sendiri aja. Mama sama Papa di rumah, aku nggak mau kamu
ketemu mereka.”
“Kamu marah?”
Sejak kapan aku bisa marah karena keanehan hubungan kami? Sejak aku
memutuskan menerima Ian lagi, aku tidak pernah mempermasalahkan jika akan
seperti ini jadinya.
Aku menggeleng sambil memeluknya.
“Aku antar sampai depan kompleks, ya?” pinta Ian.
Aku mengangguk, masih belum melepaskan pelukanku.

Aku berjalan menuju rumah. Sudah setahun terakhir kami selalu seperti ini. Ian
tidak pernah menunjukkan diri di depan orangtuaku, pun sebaliknya. Mereka
menganggap aku dan Ian sudah tidak berhubungan lagi. Mungkin lebih baik
seperti itu daripada ada yang tersakiti.
“Kamu kan bisa minta jemput sama aku daripada harus jalan kaki seperti ini.”
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di sampingku.
“Aku nggak butuh bantuanmu,” sahutku ketus.
“Masuk. Kita searah. Aku juga mau ke rumah kamu.” Dia membukakan pintu
mobil.
Aku tidak memedulikannya dan terus berjalan. Namun, beberapa pasang mata
yang memandang penuh ingin tahu membuatku dengan terpaksa masuk ke mobil
Aga. Aku tidak mau menjadi bahan pergunjingan di kompleks ini.
“Jangan sekali-kali menguntitku lagi,” kataku.
“Jangan salah paham. Ini cuma kebetulan, kok,” sahut Aga.
BUKUNE
“Kenapa kamu ingin menikahiku?” tanyaku tanpa basa-basi.
Dia tertawa sambil menatapku. “Sudah jelas, ‘kan? Aku ingin menikah
dengan orang yang mencintaiku,” kata Aga.
Ternyata sifatnya tidak banyak berubah dari dulu. Dia masih saja terlalu
percaya diri.
“Aku nggak cinta sama kamu,” kataku marah.
Lagi-lagi, Aga tertawa keras. Enak saja dia dengan mudahnya mengatakan
aku mencintainya, bahkan baru memikirkan dia saja perutku sudah mual.
“Kamu nggak seharusnya mengganggu hidupku. Cari aja wanita lain yang
mau kamu nikahi, jangan aku,” lanjutku lagi.
“Kamu lupa kalau beberapa tahun lalu kamu sendiri yang ngejar-ngejar aku?”
Dia tersenyum sinis.
“Itu dulu, dan aku bersumpah itu kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan.
Kamu cowok paling menyebalkan yang pernah aku kenal.” Aku membuka pintu
mobil Aga dengan napas yang tidak teratur, emosiku memuncak gara-gara
perkataannya.
“Temani aku hari ini, atau perlu aku laporkan ke orangtuamu kalau kamu baru
saja bertemu pacarmu?”
Aku melongo. Sialan! Dia menjebakku!
“Tahu apa kamu tentang aku? Jangan ikut campur!” desisku.
Aga tertawa penuh kemenangan.
“Aku capek, pengin istirahat. Besok harus kerja,” tolakku.
“Aku cuma minta ditemani ngobrol di rumah aja. Kita nggak bakal ke mana-
mana, kok.”
Ya Tuhan, tolong musnahkan pria ini!
Aku turun tanpa semangat dari mobil, sedangkan Mama menyambut
kedatanganku dengan gembira. Sepertinya, dia senang melihatku datang bersama
Aga. Duuuh, Mama, tidak tahukah kau anakmu harus tersiksa lahir dan batin
menjalani ini semua?
BUKUNE
“Kok bisa pulang bareng dia? Bukannya tadi habis ketemuan sama Ian?” Jia
sedang berbaring sambil memainkan ponsel ketika aku masuk ke kamar.
Aku menghela napas kesal, menyimpan tasku, dan duduk di ujung tempat
tidur. “Dia ngancam bakal bocorin hubunganku sama Ian. Aku nggak tahu apa
maunya.”
“Mungkin dia jatuh cinta sama kamu,” sahut Jia, tertawa.
Aku mendelik. Tidak mungkin. Pria itu hanya ingin membuatku kesal.
“Nggak mungkin. Kamu nggak tahu dia gimana. Dia terus-menerus
menghinaku.” Aku tertawa getir.
“Fla, jangan lama-lama ganti bajunya! Kasihan Aga sendirian di depan!”
Terdengar suara Mama dari balik pintu.
“Aku nggak bisa bantu kamu.” Jia berbalik, pura-pura tidur saat aku
memandangnya dengan tatapan memelas.
Dengan setengah hati, aku beranjak dan menyeduhkan kopi instan untuk Aga.
Mama yang memaksa. Aku tidak tahu apa minuman kesukaannya. Masih untung
tidak kutambahi racun.
“Aku lebih suka teh dengan sedikit gula atau madu,” katanya saat aku
menghidangkan minuman.
Jika dia bicara lebih banyak, sebentar lagi minuman ini akan berpindah tempat
ke wajahnya.
“Kalau yang kamu cari adalah wanita yang bisa mencintaimu, aku bisa
bantu,” kataku tiba-tiba. Aku yakin, dengan penampilannya yang seperti ini,
pasti banyak wanita yang mengejarnya. Kecuali aku. Dia lumayan tampan, kaya,
dan sukses. Tipe lelaki yang dalam sedetik saja sudah laku jika diobral.
“Maksudmu?” Aga mengambil cangkir dan meneguk isinya perlahan.
“Iya, aku tahu kamu frustrasi karena nggak bisa mendapatkan wanita yang
kamu cintai. Aku bakal bantu kamu nyari wanita itu asal kamu nggak ganggu
aku lagi,” tawarku penuh harap.
Aga menatapku tajam dan meletakkan cangkirnya. “Aku nggak butuh
bantuanmu!” bentaknya kasar.
Aku terdiam. Tidak pernah ada pria yang membentakku sebelumnya.
“Maaf,” katanya kemudian. BUKUNE
Aku tidak mengira dia akan mengucapkan maaf setelah membentakku.
“Aku pulang dulu,” lanjutnya.
Dalam hati, aku bersorak. Pulang sana! Jika bisa, jangan muncul lagi di
hadapanku!
“Besok aku jemput. Jangan kabur.”
Aku memandangi kepergiannya tanpa berkedip. Apa kesalahan yang pernah
kulakukan sampai harus bertemu makhluk seperti dia?[]
Another Bad Day

“A yo buruan, anterin aku!” Aku menarik paksa tangan Jia.


“Aku nggak ada jadwal kuliah pagi. Pergi sendiri kan bisa.” Jia menepis
tanganku.
“Keburu dijemput Aga nanti,” kataku.
“Bagus, dong, hemat uang buat bayar angkot.”
Aku mendesis geram sambil memikirkan ide untuk menghindari Aga. Dia
sudah mengatakan akan menjemput dan mengantarku ke kantor hari ini. Ian,
yang pacarku saja, belum pernah mengantarku kerja. Enak saja dia mau merebut
posisi itu.
“Fla, ada Aga di depan!” Terdengar teriakan Mama dari luar. Sepertinya kali
ini aku terlambat mengatur strategi.
BUKUNE
Aku menemukan Aga sedang duduk di teras rumah sambil menikmati
secangkir minuman. Dia menatapku dan tersenyum.
“Mamamu baik banget mau bikinin aku teh madu,” katanya sambil
memamerkan minumannya.
Aku mencibir. “Aku nggak mau diantar kamu.”
“Siapa bilang aku mau nganterin kamu?” sahutnya sambil meneguk
minumannya dengan gaya yang sungguh memuakkan.
“Kan kamu bilang gitu kemarin.”
“Kalau aku berubah pikiran, nggak masalah, ‘kan?” Dia terkekeh.
“Ya udah, kalau gitu kamu pulang aja. Ngapain juga pagi-pagi ada di sini?”
kataku kesal.
“Bentar, aku abisin minuman ini dulu,” sahutnya.
“Nggak tahu malu, ke sini cuma numpang minum.”
“Numpang minum di rumah calon tunangan sendiri kayaknya bukan hal yang
memalukan.” Dia tertawa lagi. Serius, pria ini sepertinya benar-benar tidak
waras.
Calon tunangan? Memangnya ada istilah seperti itu?
“Ingat, hari ini kamu jangan ganggu aku, jangan ngikutin aku, jangan muncul
di hadapanku, jangan ....” Aku mengentakkan kaki karena Aga malah tertawa
semakin keras.
“Tenang aja, aku bukan orang yang kurang kerjaan kayak yang kamu sebutin
tadi,” katanya.
Aku menatapnya tajam. Awas saja, dia akan merasakan akibatnya nanti.
Aku masuk kembali untuk mengambil tas, bersyukur Aga tidak jadi
mengantarku ke kantor. Tiba-tiba, dari dalam tas, terdengar bunyi nada dering
ponselku.
“Mau barengan ke kantornya?” tanya suara di seberang sana. Aku harus berpikir
beberapa detik untuk menebak siapa yang sedang meneleponku.
“Oh, Raka, ya?” tanyaku. BUKUNE
“Iya. Belum berangkat, ‘kan? Aku udah mau sampai rumahmu, nih,” katanya.
Aku bersorak dalam hati. Lumayan, dapat tumpangan gratis.
“Tapi, kita kan beda arah.”
“Hari ini aku ditugasin di cabangmu,” jelasnya.
“Oke, kalau gitu. Aku tunggu, ya,” kataku semangat.
Aga masih saja duduk di teras. Kukira dia sudah pulang. Aku menoleh ke
arahnya sekilas. Ekspresinya seolah ingin mendengarkan semua obrolanku
dengan Raka.
“Kamu nggak kerja apa?” tanyaku akhirnya. Aku penasaran karena dia sudah
berpenampilan rapi tetapi tidak kelihatan khawatir akan terlambat.
“Sebentar lagi,” sahutnya pendek. Tumben jawabannya waras.
“Ya udah, aku pergi dulu.” Aku buru-buru mengenakan sepatu ketika mobil
Raka terlihat berhenti di depan rumah.
“Itu siapa?” tanya Aga. Keningnya bekernyut.
“Teman kantor,” sahutku.
Aku bergegas menuju mobil Raka tanpa menghiraukan Aga lagi. Aku ingin
segera terlepas dari suasana canggung yang membuat dongkol ini. Namun, tanpa
kuduga ....
“Maaf, hari ini saya yang mengantar Fla ke kantor.”
Aku baru saja hendak membuka pintu mobil Raka saat terdengar suara dari
sampingku. Raka, yang tampak kebingungan, menatapku meminta penjelasan.
“Saya Aga, tunangan Fla.” Aga mengulurkan tangan kepada Raka yang masih
bengong. Sedangkan aku, rasanya ingin kucincang saja makhluk di sampingku
ini. Mau tidak mau, Raka membalas uluran tangan Aga.
Tidak punya pilihan lain, Raka mengangguk dan mempersilakanku untuk ikut
dengan Aga. Aku menggeram kesal. Aga? Dia justru tersenyum seolah menang.
Jika tidak malu dengan Raka, mungkin sudah kumaki si Aga. Apa maksudnya
mengatakan akan mengantarku ke kantor dan, parahnya lagi, mengaku sebagai
tunanganku di depan Raka? Padahal, tadi jelas-jelas dia bilang tidak mau
mengantarku. BUKUNE
“Kamu hobi banget bikin aku malu!” bentakku.
Mobil Raka melaju pergi. Aku terdiam, memikirkan serangkaian penjelasan
yang harus kusampaikan kepada Raka nanti.
“Bikin malu gimana? Aku cuma mau kenalan sama teman kantor kamu,”
jawabnya enteng.
“Ngapain pakai ngaku-ngaku tunangan segala?”
“Ya emang faktanya gitu, ‘kan? Kalau aku ngakunya pacar kamu, itu baru
salah.” Dia tersenyum mengejek.
“Aku lagi nggak pengin berdebat. Antar aku ke kantor sekarang. Gara-gara
kamu, aku kehilangan tumpangan gratis hari ini.”
Pria bernama Aga ini benar-benar menyebalkan.

Sepanjang jalan, kami diam. Aku bersikap seolah sedang naik taksi, jadi tidak
perlu berbicara apa-apa dengan sopirnya.
“Aga, bisa lebih cepat sedikit, nggak, sih? Aku hampir telat, nih!” kataku
akhirnya, tidak tahan juga karena dia mengemudikan mobil dengan terlalu
santai.
Dia melirikku sekilas sambil tersenyum. “Aku nggak biasa bawa mobil
ngebut.”
Aku mendengus kesal.
“Sekali ini aja. Aku bisa diomelin seharian kalau telat hari ini. Tolong, ya, Ga
...,” pintaku memelas.
“Aku dapat imbalan apa?” tanyanya sambil tersenyum licik. Sepertinya, aku
telah melakukan negosiasi yang tidak tepat.
“Kenapa harus ada imbalan?”
“Ya udah, kalau nggak mau.” Aga semakin memperlambat laju mobilnya.
Sepertinya, melompat dari mobil Aga merupakan pilihan yang tepat saat ini.
“Oke! Kamu maunya apa? Asal jangan minta yang aneh-aneh, jangan yang
ada hubungannya dengan interaksi fisik, aku nggak mau disentuh sama kamu.
Jangan materi juga karena aku BUKUNE
nggak punya banyak uang. Jangan ngerjain,
merintah, dan mempekerjakan aku. Terus, jangan permintaan yang merugikan
aku,” jelasku panjang lebar.
“Udah syaratnya?” Aga terkekeh.
“Iya, aku bersedia dengan syarat yang kusebutin tadi. Sekarang, bisa nggak
kamu ngebut sedikit? Waktuku nggak banyak.”
Sebagai jawaban atas permintaanku, Aga mempercepat laju mobilnya,
menyalip kendaraan lain dengan lincah dan menerobos lampu merah. Semoga
saja kami tidak dikejar polisi lalu lintas.
“Belum telat, ‘kan?” katanya dengan nada bangga.
Aku hanya mengangguk, tidak mau memberi pujian tambahan, takut dia besar
kepala.
“Tunggu dulu, sekarang gantian aku yang minta.” Aga menahan tanganku,
tetapi buru-buru kutepiskan.
“Nanti aja, sebentar lagi briefing,” kilahku.
“Nggak bisa, aku tahu kamu licik. Jadi, nggak semudah itu kamu bisa lari.”
Aga tiba-tiba menarik ponsel yang ada di genggamanku. Aku melongo
kebingungan.
“Kembalikan ponselku!” jeritku.
“Ponsel ini bakal aku kembaliin nanti malam,” katanya.
“Please, Aga, aku bersedia ngelakuin apa aja asal jangan ambil ponselku.” Aku
sudah hampir menangis. Bagaimana jika Ian tiba-tiba meneleponku kemudian
Aga yang mengangkat? Bagaimana jika ada pesan penting dari keluargaku,
bagaimana jika Aga mengubrak-abrik isi ponselku dan melihat isi di dalamnya.
Namun, memikirkan aku bersedia melakukan apa saja demi ponselku
sepertinya bukan ide bagus. Sepertinya, aku asal bicara lagi.
“Kamu pakai aja dulu ponselku.” Aga mengambil kartu sim-ku dan
memasukkannya ke ponselnya sendiri.
“Kalau kayak gini adil, ‘kan? Kamu masih bisa menerima telepon.” Aga
tampak tersenyum puas. Mau tidak mau, aku mengambil ponsel Aga yang telah
BUKUNE
berisi kartu sim-ku. Dalam hati, aku mengutuk. Sepertinya, dia memang terlahir
untuk menyengsarakanku.
“Ingat, kamu masih punya utang. Nanti malam akan kutagih. Kalau kamu bisa
lunasin, baru aku kembaliin ponsel kamu.”
Aku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Aga. Lagi-lagi, aku
terjebak permainannya.
“Ya sudah, sana turun. Kamu tunggu apa lagi?” usirnya.[]
Penawaran

A ku terus menatap layar ponsel dengan gelisah. Aneh, kenapa dari tadi tidak
ada seorang pun yang menghubungiku? Aku mendesah kesal. Bahkan Jia tidak
menelepon untuk menanyakan bagaimana aku pulang sore ini. Apa dia lupa
sepupunya ini tidak bisa pulang jika tidak dijemput?
Seharian ini, aku tidak bisa menghubungi siapa pun. Di ponsel milik Aga ini,
tidak ada kontak yang kukenal. Salahku juga karena menyimpan kontak ke
ponsel, bukannya kartu sim. Aku jadi tidak bisa menghubungi Ian. Semoga saja
dia tidak marah-marah seperti biasanya.
Salahkan saja sifat pelupaku yang tidak bisa mengingat satu pun nomor ponsel
orang. Tentu saja semua ini gara-gara Aga! Seandainya dia tidak menahan
BUKUNE
ponselku, mungkin nasibku tidak akan seperti ini.
“Udah mau pulang?” tanyaku kepada Raka yang tengah melintas. Aku tahu
Raka masih marah gara-gara kejadian tadi pagi. Dia tidak berbicara kepadaku
seharian ini. Padahal, jika dia bertanya, aku pasti akan menjelaskan dengan jujur
siapa Aga.
Tak peduli apa tanggapan Raka, aku harus menyapanya. Terutama supaya aku
dapat mendapat tawaran pulang bersama.
“Eh ..., iya,” sahutnya. “Aku duluan, ya,” lanjutnya lagi.
Raka pergi tanpa menawarkan basa-basi tumpangan. Mungkin aku saja yang
tidak tahu diri. Jelas-jelas tadi pagi Aga telah mempermalukannya, wajar saja
sekarang dia menjaga jarak denganku. Jika aku di posisi Raka, pasti aku akan
melakukan hal yang sama.
Aku mengutak-atik ponsel Aga dengan kesal sambil berharap ada yang
menghubungiku. Matahari sudah mulai meredup, artinya sebentar lagi malam
akan datang. Aku menghela napas. Mungkin hari ini aku harus kembali pulang
dengan angkot atau taksi.
Setengah ragu, aku menuju ATM, berharap semoga masih ada uang cukup
untuk ongkos taksi pulang. Jam segini angkot pasti sudah tidak ada. Aku tidak
bisa berharap banyak dengan uang di dompetku yang tinggal recehan.
Aku mendesis geram. Bahkan di ATM-ku tidak tersisa uang sedikit pun.
Hanya bersaldo minimal. Apa malam ini aku harus menginap di kantor?
Ponsel Aga tiba-tiba berbunyi, sangat berisik hingga aku nyaris melempar
benda itu saking kagetnya. Mengapa dia bisa menggunakan nada dering norak
seperti ini?
Sejenak, aku menatap ponselnya tanpa berkedip. Sudah barang tentu aku tidak
mengenal sederet nomor asing yang tertera di layarnya itu.
“Halo?”
“Jangan harap kamu bisa melarikan diri.” Terdengar suara dari seberang sana.
Aku melongo, mencoba mencerna maksudnya.
BUKUNE
“Siapa, ya?” tanyaku. Suara pria, yang pasti bukan suara Ian ataupun Papa.
“Kenapa kamu belum pulang juga? Sengaja, ‘kan?” tanyanya lagi.
Ya ampun, apa orang ini tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Jelas-jelas tadi aku menanyainya, jadi mengapa dia tidak menjawab dan malah
balik menanyaiku?
“Maaf, mungkin salah sambung,” kataku sambil menekan layar untuk
mengakhiri panggilan.
Tidak beberapa lama, ponsel itu kembali berbunyi nyaring. Masih nomor yang
sama. Apa salahku sampai diteror seperti ini?
“Aku udah di rumah kamu. Mau sampai jam berapa kamu di kantor? Atau, kamu
mau ponselmu kujual?”
Mendengar kalimat itu, aku berpikir keras. Jangan-jangan ....
“Aku tunggu lima belas menit lagi,” lanjut suara itu.
“Aga ...! Tu-tunggu dulu!” jeritku setelah menyadari siapa yang menelepon.
“Kamu di rumahku, ‘kan? Tolong bilang ke Jia, jemput aku sekarang. Aku nggak
bisa pulang,” kataku dengan suara memelas.
“Manja amat. Pakai taksi kan bisa,” katanya.
“Nggak punya uang. Buruan kasih tahu Jia.”
Belum juga aku mendengar jawaban darinya, ponsel itu tiba-tiba mati.
Kupaksa untuk menyalakannya lagi, tetapi layar ponsel tetap hitam, tidak ada
tanda-tanda bisa menyala.
Aga pasti sengaja meminjamkanku ponselnya yang sudah soak.
Membayangkan wajahnya yang sedang tertawa penuh kemenangan membuat
kepalaku jadi panas.
Aku menimbang-nimbang. Apa sebaiknya kupinjam saja uang dari sekuriti
kantor untuk ongkos taksi? Namun, tahu, ‘kan, bagaimana rasanya jika
menerapkan prinsip harga diri adalah segalanya?
Kuraih setangkai anyelir di meja kerjaku. Kupertaruhkan hidup dengan
mengadu untung dari perhitungan kelopaknya. Aku mencabut kelopak bunga
sambil mengucapkan “pinjam” dan “tidak” secara bergantian. Kelopak terakhir
bersamaan denganku mengatakan BUKUNE
“pinjam”. Belum puas dengan hasilnya, aku
mengambil tangkai bunga yang baru lagi. Semoga saja besok tidak ada yang
curiga mengapa bunga di atas mejaku mendadak terkena sindrom merontokkan
diri. Baru dua kelopak tercabut, terdengar suara yang memanggil namaku.
“Mbak Fla ....” Mendadak sekuriti kantorku muncul. Apa dia memiliki firasat
yang kuat bahwa aku sedang kesusahan?
“Ditunggu pacarnya di depan tuh, Mbak,” lanjutnya.
Sedetik, aku melongo.
“Oh, ya ..., makasih, Pak,” sahutku akhirnya.
Tidak mungkin Ian yang menjemput, dia sedang di luar kota. Tidak mungkin
juga Papa karena aku yakin sekuriti kantorku tidak akan salah mengenali umur
orang. Sudah pasti bukan Jia. Jadi hanya tinggal satu orang yang bisa
disalahpahami sebagai pacarku.
“Aku nggak minta kamu yang jemput,” kataku kesal.
“Jia nggak di rumah. Buruan naik, nggak usah kebanyakan ngomel,” katanya.
Aku mengempaskan tubuhku ke jok mobil Aga.

“Mana ponselku?” tanyaku sesampainya di rumah.
“Utangmu belum lunas. Dan kali ini utangmu jadi dua kali lipat dengan
tambahan layanan jemput tadi.” Dia tersenyum sinis.
“Emangnya kamu rentenir?! “ sahutku jengkel.
“Kamu harus melunasinya kalau mau ponselmu kembali.”
“Aku nggak mau!” tolakku tegas. “Aku capek, Ga! Seharian kerjaanku
banyak, makan aja nggak sempat. Apa lagi, sih, yang kamu mau? Nggak cukup
apa sepanjang hari ini kamu bikin hidupku susah?” cercaku. Untuk hal tidak
sempat makan aku berbohong, hanya agar protesku dia perhitungkan.
“Ponselmu akan jadi milikku dan jangan nyalahin aku kalau ada foto-foto
pribadimu yang tersebar,” katanya.
Mendadak, aku terdiam, berusaha keras mengingat-ingat apa saja isi galeri
fotoku. BUKUNE
“Oke, aku turuti kemauanmu. Asal memenuhi syarat yang aku sebutin tadi
pagi,” kataku akhirnya. Ngeri juga membayangkan foto mesraku dengan Ian
disebar. Ini artinya Aga sudah mengubrak-abrik isi ponselku. Seharusnya dia
yang kutuntut karena sudah melakukan tindakan yang membuatku merasa tidak
nyaman.
“Apa maumu?” tantangku.
“Temani aku malam ini,” katanya.
“Ogah! Kalau permintaan kamu kayak gitu, aku nggak mau!” sahutku kesal.
“Kamu kira aku wanita murahan?!” aku sudah setengah berteriak.
“Bisa nggak kamu diam dulu sebelum aku selesai bicara?” kata Aga di sela
kemarahanku. “Temani aku ke acara kantorku malam ini,” jelasnya.
Perlahan, wajahku terasa memanas, malu.
“Ajak yang lain aja, aku nggak suka pesta,” elakku.
“Bukan pesta, cuma peresmian kantor baru,” kata Aga lagi.
Aku menatap mata Aga dengan pandangan memelas, berharap Aga mau
mengasihaniku.
“Pilih mana, ikut aku dan ponselmu kembali atau menolak dan isi ponselmu
aku sebar luaskan,” ancamnya, yang sukses membuatku mengangguk,
menyetujui permintaannya.
“Dan, kamu harus berperan sebagai tunanganku,” bisiknya tepat di telingaku.
[]

BUKUNE
Mimpi Buruk

A ku tidak tahu apakah pilihanku benar atau tidak: menuruti permintaan Aga
demi mendapatkan ponselku kembali. Aga memaksaku menemaninya ke acara
kantor. Baiklah, sebenarnya bukan masalah yang harus dibesar-besarkan.
Sekadar menemani, anggap saja seperti menemani Jia makan es krim di
minimarket 24 jam. Namun, jika aku harus berperan sebagai tunangannya, itu
baru masalah besar.
Bagaimana aku harus berpura-pura sebagai tunangannya sedangkan dalam
hati aku diam-diam ingin memusnahkannya? Tidak mungkin perasaan benciku
berubah menjadi suka.
Aku menatap pantulan wajahku di cermin dengan tidak bersemangat. Aku
BUKUNE
menepuk-nepukkan bedak ke pipi dengan asal-asalan. Semoga saja Aga nanti
malu karena telah memilihku untuk menemaninya.
Aku menarik sembarang baju dari lemari. Tadi Aga bilang bukan pesta, hanya
peresmian kantor baru. Jadi, aku tidak harus berpakaian formal, bukan?
Sepertinya cukup dengan dress berpotongan sederhana ini. Sebenarnya, jika bisa,
aku malah ingin memakai jins. Namun, tentu saja aku tidak ingin
mempermalukan diri sendiri juga.
“Sudah,” kataku singkat.
Aga sedang menunggu di teras rumah. Dia menoleh ke arahku dan menatapku
agak lama. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku.
“Ayo,” katanya.
Aku kira dia akan mengomentari penampilanku yang minim make-up dengan
pakaian yang tidak cocok untuk acara formal. Anehnya, Aga tidak mengatakan
apa-apa lagi sampai kami masuk ke mobil. Padahal, jika dia berani berkomentar,
aku tidak akan segan-segan membatalkan rencana.
“Acaranya mulai jam berapa?” tanyaku kemudian setelah beberapa menit
kami hanya saling diam.
“Setengah jam lagi.”
“Kenapa nggak ngajak pacar kamu aja?”
“Mereka nggak mau,” sahutnya.
Mereka? Maksudnya pacarnya banyak? Sombong amat.
“Kenapa juga harus aku yang diajak?” tanyaku kesal.
“Kamu bawel banget, sih! Duduk diam aja kenapa? Kalau perlu, tidur
sekalian,” kata Aga dengan nada tinggi. Aku memberengut. Baru saja aku
mengira dia mendadak berubah, ternyata masih sama saja. Tetap menyebalkan!
Aga berkonsentrasi mengemudi. Aku menatapnya dari samping. Sepertinya,
beberapa hari ini aku tidak pernah memperhatikan wajah Aga dengan benar.
Sikapnya akhir-akhir selalu membuatku kesal, jadi mana mungkin aku mau
berlama-lama menatap wajahnya?
Namun, Aga tidak terlalu banyak berubah. Wajahnya tetap tampan, meski
lebih matang dibandingkan sewaktu BUKUNESMA. Ada bintik-bintik hitam bekas
cukuran di dagu dan rahangnya. Struktur wajahnya juga terlihat lebih keras,
benar-benar terlihat seperti pria dewasa. Dan, matanya, masih saja tajam dan
membius.
“Mau sampai kapan kamu melamun? Aku emang ganteng, tapi nggak perlu
dipandangi sampai segitunya.”
Aku tersentak dan membuang muka, pura-pura memandangi lampu jalanan
yang memecah gelap malam.
“Udah sampai. Jangan bertindak bodoh. Ingat peran kamu,” katanya dengan
nada mengancam.
Aku membuka pintu mobil Aga tanpa semangat, lalu menatap sekeliling.
Parkiran disesaki mobil-mobil mahal. Tak jauh, tampak gedung mewah yang
menjulang, dengan cahaya lampu yang terang benderang. Sepertinya, acara
malam ini bukan peresmian kantor biasa.
Baru saja aku menjejakkan kaki ke tanah, sebuah tangan yang kokoh sudah
menyambut lenganku. Hampir saja aku menepiskannya.
“Ingat peran kamu,” bisiknya di telingaku, membuat tubuhku sontak
merinding.
“Ini masih di parkiran.”
“Kamu nggak lihat apa ada banyak orang di sini?” Aga kemudian
melingkarkan tangannya ke pinggangku.
“Jangan sentuh-sentuh!” bentakku dengan suara pelan.
“Bodoh, nanti orang curiga dengan kita,” katanya, sama sekali tidak berniat
melepas rangkulan. Semoga Ian tidak pernah tahu apa yang kulakukan hari ini.
Aga tersenyum sepanjang jalan menuju gedung. Beberapa orang yang kami
temui di parkiran terlihat mengangguk hormat ketika Aga lewat. Sepertinya dia
lumayan disegani di lingkungan kantor.
“Selamat malam, Pak Erlangga.” Seorang pria, yang didampingi wanita yang
sepertinya istrinya, menyapa Aga ketika kami sudah mau memasuki gedung.
“Malam, Pak Hadi. Apa kabar?” Aga menyalami mereka. Aku mematung di
sampingnya.
“Kenalkan, Pak. Ini Fla, calon BUKUNE
istri saya.” Aga tersenyum lebar ketika
memperkenalkanku. Aku merasa seperti barang lelang yang sedang dipamerkan.
Mau tidak mau, aku menyalami mereka dengan senyum yang tak kalah lebarnya.
“Kapan, nih, peresmiannya?” tanya Pak Hadi.
Aku melirik Aga. Tidak mungkin, ‘kan, aku asal menjawab?
“Akhir tahun ini, Pak,” jawabnya yakin.
“Selamat, ya, kalau begitu.”
Sekali lagi, aku melihat Aga tersenyum lebar. Ternyata dia pintar berakting
juga.
“Ternyata alasan kamu bawa aku ke acara ini cuma biar dianggap udah laku,
ya?” kataku pelan setelah Pak Hadi dan istrinya pergi.
“Tugas kamu cuma nemenin aku, jadi nggak usah banyak komentar,”
balasnya.
Pria ini kejam, tidak ada manisnya sama sekali.
“Jabatanmu pasti udah tinggi, tapi sayang sekali belum punya pasangan.” Aku
tidak tahan untuk mengejeknya.
“Sekali lagi kamu bicara, akan kucium kamu di sini,” ancamnya dengan suara
yang anehnya terdengar lembut.
Aku terdiam dan tak berani menatapnya lagi. Sepertinya aku sudah salah
mengambil langkah. Berurusan dengan pria ini selalu mengancam nyawaku,
sama seperti dulu.
Aga kemudian melepaskan tangannya dari pinggangku. Baru saja aku menarik
napas lega, tangan Aga malah menggenggam tanganku dengan erat. Bodohnya,
jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Apa-apaan ini?
“Ternyata kamu nggak bohong, ya, Ga.” Kali ini, seorang pria seumuran Aga
yang menghampiri kami. “Pacarmu?”
“Calon istriku,” jawab Aga, lagi-lagi mengulas senyum. Entah sudah berapa
kebohongan yang Aga ucapkan hari ini.
“Kamu tahu, dia dijuluki es kutub sama karyawan di sini,” kata pria itu
kepadaku sambil tertawa. “Oh, ya, aku Doni.” Pria itu mengulurkan tangan
kepadaku, tetapi langsung ditepis oleh Aga.
BUKUNE
“Fla,” sahutku, merasa tidak enak karena perlakuan Aga yang tidak sopan itu.
“Ayo, Sayang, kita ke tempat yang lebih aman aja.” Aga kemudian menarik
tanganku. Sayang?!
“Dasar pelit.” Suara tawa teman Aga itu masih terdengar di belakangku.
“Mau makan?” tanya Aga penuh perhatian.
Aku mencibir dalam hati. Dasar tukang sandiwara!
“Mau, tapi harus diambilin sama kamu,” kataku dengan nada manja yang
sengaja kubuat-buat. Rasakan, memangnya hanya dia yang bisa mengelabui
semua orang? Saatnya aku membalas dendam.
“Ya udah. Tunggu, ya.” Aga menyentuh puncak kepalaku perlahan. Jika tidak
ada orang di sini, mungkin sudah kutendang dia ke ujung bumi.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Semua berwajah asing, tidak ada
satu pun yang kukenal. Aku tidak tahu kapan acara intinya akan dimulai. Atau,
mungkin sudah dimulai dan kami melewatkannya. Karena dari tadi aku tidak
melihat apa pun selain orang-orang yang sibuk dengan makanan masing-masing.
Pandanganku tiba-tiba terhenti di satu titik.
Mamanya Ian!
Tidak mungkin! Mengapa mama Ian di sini?
Mendadak, aku merasakan seluruh tubuhku gemetaran. Aku masih ingat
ketika dia menghinaku dengan tuduhan telah memperalat Ian. Ketika dia juga
menyinggung perasaan mamaku. Ketika dia menyemprotku dan mengatakan
bahwa aku tidak pantas untuk Ian.
Perlahan, aku melangkah mundur, menghindar agar dia tidak menyadari
keberadaanku.
Dari kejauhan, aku melihat Aga tengah berjalan ke arahku. Ayo cepat, Aga, kita
harus keluar dari sini, doaku dalam hati.
Napasku terasa berhenti saat Aga melewatiku, menghampiri wanita itu, dan
menyalaminya.[]

BUKUNE
Kabur

P erlahan, kakiku melangkah mundur. Mungkin seperti ini rasanya berada di


antara hidup dan mati. Ada banyak kemungkinan yang terlintas di kepalaku.
Pertama, Aga sengaja menjebakku ke acara ini agar aku bertemu mamanya
Ian. Kedua, Aga tidak tahu apa-apa tentang aku dan mama Ian, tetapi mereka
memiliki hubungan khusus. Rekan bisnis, mungkin? Ketiga, jika sampai mama
Ian melihatku, bisa dipastikan sebentar lagi hidupku tidak akan tenang.
Keempat, mengapa aku sempat-sempatnya memikirkan kemungkinan konyol
seperti ini sedangkan nasibku sudah sangat terancam?
Bodoh!
Tanganku sudah menempel ke dinding. Dengan gerakan kilat, aku berbalik
BUKUNE
dan melangkah dengan tergesa. Aku berharap tidak ada teriakan yang
memanggil namaku. Syukurlah, tampaknya Aga tidak menyadari bahwa saat ini
aku sedang kabur.
Aku bisa merasakan napasku yang memburu. Pikiranku tidak bisa diajak
bekerja sama; aku tidak tahu harus menyembunyikan diri di mana. Yang kutahu,
aku harus menghindar sejauh mungkin.
Aku terengah dan berhenti sejenak. Seketika, aku tersadar bahwa aku sudah
berjalan lumayan jauh dari gedung tempat acara tadi dan mendapati diriku
sedang berada di pinggir jalan yang gelap dan sepi.
Mendadak, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Aku takut bertemu
mama Ian, tetapi aku juga tidak kalah takut dengan tempat gelap dan sepi seperti
ini.
Aku harus segera menghubungi Jia untuk menjemputku. Namun, seketika aku
ingat bahwa yang kumiliki sekarang hanyalah ponsel pinjaman dari Aga dan itu
berarti aku tidak memiliki nomor Jia. Ingin kuhujani pria itu dengan caci maki,
tetapi salahku juga tidak menghafal nomor-nomor penting.
Aku menggenggam tas tanganku, meremasnya dengan gelisah. Ketakutan
mulai merayapiku. Aku tidak tahu sedang berada di mana. Suasana gelap.
Lampu redup. Jalanan lengang dan sepi dari kendaraan.
Sesuatu yang bergetar dari dalam tas menyadarkanku. Buru-buru kukeluarkan
ponsel. Tanpa perlu melihat siapa yang menelepon, aku langsung
mengangkatnya.
“Tolong!” jeritku tertahan.
“Kamu di mana?” tanya suara di seberang sana.
Sejenak, aku mengatur napas. Sepertinya prospek berada sendirian di tempat
lengang ini lebih membuatku ngeri daripada bertemu mama Ian.
“Kamu di mana?!” tanyanya lagi dengan nada yang semakin tinggi.
“Aku ... aku ... nggak tahu lagi di mana.” Aku sudah hampir menangis.
“Kamu masih di gedung?”
BUKUNE
Aku menggeleng, kemudian buru-buru berhenti saat menyadari bahwa dia
tidak bisa melihatnya.
“Di luar gedung, di jalan raya, tapi ... tapi di sini gelap banget,” sahutku.
“Balik ke gedung lagi!” perintahnya.
“Nggak bisa.” Kutarik lagi pikiranku tadi. Aku tetap tidak mau kembali ke
sana dan bertemu mama Ian meski itu bisa menjadi jalan keluar dari situasi ini.
“Kenapa nggak bisa?! Ya udah, diam di situ, jangan ke mana-mana!”
Entah keberuntungan atau tidak, aku merasa lega karena Aga tidak memaksa
dan memilih mendatangiku.
Tak lama, sorot lampu kendaraan menyilaukan mataku. Aku terdiam saat
melihat sesosok pria keluar dari mobil. Pikiranku masih di zona ambiguitas.
Napasku terhenti sesaat.
“Kamu ngapain, sih, harus kabur ke sini? Kalau kenapa-kenapa dan aku nggak
ada gimana?”
Aku memicingkan mata sambil menajamkan pendengaran.
Aga! Penyelamat nyawaku!
“Aku mau pulang,” kataku sambil menahan tangis yang hampir tumpah.
Antara ketakutan dan bahagia karena berhasil diselamatkan.
Diselamatkan?! Terserah apa pun istilahnya, aku benar-benar merasa lega.
“Kenapa? Ada yang sakit?” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng sambil menghapus air yang dengan tidak tahu diri keluar
dari mataku.
“Kaki kamu sakit?”
Mau tidak mau, aku mengangguk. Aku memijat-mijat kakiku yang terasa
nyeri sebelum mengikuti langkah Aga. Mau bagaimana lagi, aku tidak punya
alasan untuk menangis seperti ini. Tidak mungkin, ‘kan, aku jujur mengatakan
bahwa aku terharu karena Aga telah menghilangkan ketakutanku?
“Pegang tanganku,” katanya, menyodorkan lengannya kepadaku dengan nada
yang masih tinggi.
Aku menatapnya ragu. Mengapa dia harus marah-marah ketika menawarkan
bantuan? BUKUNE
“Aku bisa sendiri,” tolakku.
Aku tidak menyukai ekspresi pongah di wajahnya. Dengan kesal, aku berjalan
sambil mengentak-entakkan kaki. Namun, sendi-sendi di kakiku malah
bertambah nyeri karena tekanan yang begitu kuat. Tubuhku kehilangan
keseimbangan.
“Aaargh ...!”
Aga menghentikan langkah, sedangkan aku meniup-niup telapak tanganku
yang lecet karena menahan beban tubuhku saat terjatuh tadi. Saat aku
menengadah, Aga sudah berada di sebelahku.
“Dasar keras kepala,” katanya sambil membantuku berdiri. Aku tidak bisa
menolak lagi. Tangan Aga melingkari pinggangku dan aku mendadak merasa
hangat. Aku bangkit dengan bantuan Aga dan berjalan tertatih-tatih.
Aku menahan napas. Ada aroma asing yang begitu menenangkan setiap kali
aku menghirup napas. Apa ini aroma Aga? Kuhirup sekali lagi sambil
mendekatkan wajahku kepada tubuhnya.
“Masih sakit?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tersentak dan kebingungan menjawab pertanyaannya. Wajah Aga terlihat
jelas karena tertimpa cahaya lampu sorot mobil. Sedetik ..., dua detik, aku
menatap wajahnya. Tidak ada yang bicara. Yang terdengar hanya tarikan dan
embusan napas.
“Nggak begitu sakit lagi,” kataku sambil memalingkan wajah.
Aku membuka pintu mobil Aga sebelum dia melakukannya duluan dan
membantuku naik. Aku lelah dan sedang tidak punya tenaga untuk bertengkar
dengannya.
“Jadi, kenapa kamu kabur?” tanya Aga setelah duduk di bangku pengemudi.
“Aku ... aku ... tadi ....” Aku menghentikan ucapanku ketika menyadari bahwa
hal pribadi seperti ini tidak perlu dia ketahui.
“Tadi ada yang telepon dan sinyalnya nggak bagus. Dan pas sadar, aku udah
sampai di tempat tadi,” jawabku asal.
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan. Aga berkonsentrasi menyetir
BUKUNE
sedangkan aku hanya bisa mengarahkan pandanganku ke depan.
“Mana ponselku?” tanyaku kemudian. “Mana ponselku?!” ulangku sekali lagi
karena dia hanya diam.
“Ketinggalan di rumah,” jawabnya enteng.
“Kamu pembohong!” jeritku kesal. “Aku udah nurutin semua mau kamu, tapi
kamu bahkan nggak nepatin janji!”
“Pakai ponselku aja untuk sementara.”
“Nggak mau!” Kulempar ponsel ke arahnya. Aga berkelit dan menangkap
ponsel yang kulempar dengan satu tangan.
“Kamu bakal nyesal karena menolak kebaikanku.” Dia terkekeh. Bersamaan
dengan itu, dia menghentikan mobilnya di depan rumahku.
Dengan kasar, aku mengambil kembali ponsel yang ada di tangannya dan
dengan tergesa-gesa membuka pintu mobil.
“Sampai jumpa besok.” Aga melambaikan tangan dengan senyumnya yang
paling menyebalkan.[]
Takut

B agaimana cara mengenyahkan Aga dari hidupku? Semakin hari, hidupku


semakin sengsara saja gara-gara dia.
“Menurut kamu aku harus gimana?” tanyaku kepada Jia.
“Maksudnya?”
“Aga. Jangan bilang kalau dari tadi kamu nyetir sambil tidur!”
“Aku masih ngantuk banget,” katanya sambil menguap, kemudian menoleh ke
arahku sambil nyengir. “Seharusnya, hari ini aku bisa bangun siang kalau bukan
gara-gara kamu.”
“Menurutmu Aga gimana?” tanyaku lagi.
“Dia naksir kamu kali,” jawab Jia sekenanya.
Aku memelotot. “Nggak mungkin!”
BUKUNE
“Kalau gitu, apa maksudnya ngerjain kamu? Cuma iseng? Kurang kerjaan
banget.”
“Kalau kamu jadi aku dan ngerasain batapa usilnya Aga, kamu pasti bakal
narik kata-kata kamu tadi.” Aku berusaha menahan emosi karena saat ini yang
terbayang di kepalaku adalah wajah Aga yang sedang tertawa mengejek.
“Jadi, menurutmu dia maunya apa?” Jia malah balik bertanya.
“Nggak tahu, makanya aku minta pendapat. Menurut aku, dia cuma punya
maksud buruk.”
“Tanya aja sama orangnya langsung,” usul Jia.
“Kamu kayak nggak tahu aja Aga gimana. Setiap kata-kata yang keluar dari
mulutnya nggak pernah ada yang benar,” jawabku putus asa.
“Tahu kenapa kamu nggak pernah berhasil belajar nyetir?” tanya Jia tiba-tiba.
Aku melongo. Ini benar-benar tidak ada hubungannya.
“Ini tentang Aga, bukan tentang kemahiranku menyetir,” protesku. Apa
mungkin Jia sedang berbicara sambil tidur?
“Kamu terlalu takut. Jatuh cinta itu ibarat nyetir mobil. Ketakutan akan selalu
ada, yang kamu butuhkan hanya percaya dan nikmati sensasinya,” kata Jia.
Aku terdiam, meresapi kalimat Jia. Ada sesuatu yang bergetar. Kenangan dan
segumpal harapan yang mendadak saling bentur.
“Sekarang, pikirkan sendiri kenapa kamu selalu beranggapan Aga bermaksud
buruk sama kamu,” tambah Jia sambil nyengir.
Mungkin otakku pagi ini masih beku. Aku sama sekali tidak memahami apa
yang Jia maksud.
“Aku nggak ngerti ...,” kataku pasrah.
Jia berdecak kesal. “Kamu itu nggak percayaan sama orang lain, negative
thinking. Kamu selalu memikirkan trauma yang dulu pernah kamu alami. Kamu
nggak pernah mau cari tahu ada apa sebenarnya di balik hal yang menurut kamu
nakutin itu,” jelas Jia. “Jadi, coba sekali-sekali kamu ilangin perasaan nggak
BUKUNE
aman itu, pasti kamu bisa ngerasain kalau sebenarnya Aga nggak berniat buruk
sama kamu.”
“Maksudnya?” Aku tambah bingung.
“Udahlah! Percuma ngomong panjang lebar sama kamu. IQ jongkok!”
omelnya.
Aku tertawa keras. Yah, dia sepenuhnya benar. Berbicara tentang belajar
menyetir, aku memang ahlinya. Ahli membuat si pengajar angkat tangan dan
bersumpah tidak akan pernah mau mengajariku lagi.
Yang pertama sewaktu SMA. Papa sudah mati-matian mengajariku setiap
sore. Sampai tiga tahun masa SMA kulewati, tidak ada perubahan berarti. Aku
masih saja menabrak pagar tetangga, menghancurkan tanaman hias Mama, dan
membuat mobil Papa semakin hari semakin penuh goresan dan penyok di mana-
mana.
Kemudian, datanglah Jia yang saat itu tinggal di rumahku karena melanjutkan
kuliah. Aku iri dengan Jia yang sudah diizinkan membawa mobil sendiri oleh
orangtuanya. Akhirnya, karena tidak tahan mendengar rengekanku, Jia berjanji
akan mengajariku menyetir. Dan, hasilnya, Jia ikut bersumpah bahwa seumur
hidupnya dia tidak akan pernah mengizinkanku menyentuh mobilnya lagi.
Apa yang salah denganku? Aku selalu mengikuti instruksi pengajarku dengan
baik. Menginjak kopling, memindahkan persneling, menginjak rem, menginjak
gas. Apa lagi yang kurang? Aku kurang fokus? Kurasa tidak juga. Mataku selalu
mengarah ke depan ketika menyetir.
Aku hanya takut.

“Ada nasabah, tuh, nungguin kamu.”
Aku baru saja menyuapkan sendok pertamaku ketika Tania muncul di pintu
pantri.
“Suruh tunggu sebentar,” sahutku dengan mulut penuh makanan.
“Nasabahnya buru-buru katanya.”
Aku mendesah kesal. Selalu BUKUNE
seperti ini. Acara makan siangku terganggu
karena ada nasabah. Mau bagaimana lagi, CS hanya aku sendiri.
“Kamu ajak dia ngobrol dulu sana,” kataku kepada Tania.
“Sudah keduluan dimonopoli sama Sarah,” katanya, menyebutkan nama
Operational Manager-ku.
“Pasti nasabahnya cowok,” tebakku.
Tania hanya mengangguk sambil terkikik.
Aku menutup bungkusan nasiku yang masih utuh, kemudian buru-buru
menjajari langkah Tania. Aku menyeka mulut dengan tisu dan meminta
komentar Tania soal riasanku.
Tania berbelok menuju area teller, sedangkan aku berjalan menuju mejaku.
Sudah ada Mbak Sarah yang sedang mengobrol dengan nasabah. Seharusnya,
jika Mbak Sarah sudah turun tangan, aku tidak perlu dipanggil lagi.
“Saya tinggal dulu, ya, Mas. Ini CS-nya sudah datang.”
Sarah bangkit dari kursiku dan aku menggantikannya. Saat itulah aku melihat
siapa nasabah yang telah mengganggu jadwal makan siangku itu.
“Mas Erlangga mau nambah limit kartu kreditnya, Fla.”
Oh My God! Bagaimana bisa dia ada di sini?
“Selamat siang, Pak,” sapaku seformal mungkin sambil mengulurkan tangan.
Siapa pun yang datang ke meja sebagai pelanggan, harus kuperlakukan sesuai
standar pelayanan. Jika tidak, bisa-bisa aku kena semprot.
“Boleh saya pinjam kartu kredit dan kartu identitasnya, Pak Erlangga?”
kataku sambil tersenyum. Senyum palsu.
Mbak Sarah kembali ke ruangannya.
“Ngapain ke sini?” bisikku saat Aga menyerahkan kartu kredit dan KTP-nya.
Aku berpura-pura mengecek data Aga di komputerku.
“Nggak usah geer. Aku bukan mau nyari kamu,” sahutnya sambil tersenyum
juga.
“Pak Erlangga, limit bisa dinaikan hingga 100 persen dari limit awal. Mau
diajukan seberapa besar, Pak?” tanyaku, dengan nada dan gaya bicara default
antara CS dan nasabah.
“Semaksimalnya saja,” sahutnya.
BUKUNE
“Baik. Bisa dibantu untuk tanda tangan di sini, Pak?” Aku menyodorkan
formulir untuk ditandatangani.
“Nanti malam kujemput,” katanya sambil membubuhkan tanda tangan.
“Maksudnya?!” tanyaku bingung.
“Mama minta kamu ke rumah malam ini.”
Aku terdiam sambil menatapnya lekat. Makhluk menyebalkan ini terlihat
tampan sekali dengan setelan jas biru dan dasi merah bata. Wangi tubuhnya
segar. Aku bisa melihat dengan jelas struktur wajahnya, tulang rahangnya yang
kokoh, dan matanya yang tajam. Astaga, pukul saja kepalaku, tampaknya aku
sudah hampir gila!
“Nggak mau!” sahutku ketus.
“Terserah, yang pasti jam tujuh malam ini aku bakal datang ke rumah kamu.
Jangan harap bisa kabur.” Dia tersenyum penuh kemenangan. Meskipun
berpenampilan superkeren, Aga tetap menyebalkan.
“Baik, Pak Erlangga, untuk proses kenaikan limitnya akan saya informasikan
lagi kalau sudah disetujui. Masih ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”
“Sudah. Nggak ada lagi, kok.”
“Terima kasih, Pak Erlangga. Selamat siang.” Aku buru-buru berdiri dan
mengulurkan tangan untuk mengusir Aga secepatnya dari hadapanku.
“Ingat, aku nggak suka penolakan,” bisiknya saat menjabat tanganku.[]

BUKUNE
Terima Kasih

A dakah yang pernah mengalami kejadian sepertiku? Dikejar-kejar makhluk


menyebalkan yang sampai saat ini masih berstatus tidak jelas? Teman bukan,
pacar apalagi.
Seandainya hal tidak masuk akal ini terjadi beberapa tahun lalu, mungkin aku
akan dengan senang hati menerima. Siapa, sih, yang tidak senang dikejar-kejar
pria tampan seperti Aga? Namun, sekarang? Ibarat adonan yang telah menjadi
roti panas selepas dipanggang di oven. Terlambat. Hatiku sudah kebas terhadap
Aga. Ian telah menguasi semua kaveling hatiku.
Ian segalanya bagiku. Meskipun Ian tidak punya tampang artis sinetron seperti
Aga, setidaknya saat ini dia adalah kekasihku.
BUKUNE
“Yang tadi temanmu, ya?” seru Tania dari counter teller-nya.
“Siapa? Nasabah yang barusan pergi?” tanyaku memastikan.
“Memangnya siapa lagi? Nasabah kita kan bisa dihitung jari sejak tadi pagi,”
balas Tania.
“Nggak kenal,” sahutku. Aku tidak rela mengakui Aga sebagai temanku.
“Aku kira kenalanmu. Habis tadi dia ngotot harus ketemu kamu, padahal udah
ada Sarah.”
“Tentu aja dia pengin ketemu aku. Kalau sama Mbak Sarah bukan masalahnya
yang selesai, tapi ujung-ujungnya malah tukaran nomor ponsel,” kataku sambil
terkikik.
Tania memandangku dengan memelotot dan memberi kode agar aku
mengecilkan suara.
“Eh ..., keceplosan,” kataku sambil nyengir.
“Padahal, dia itu dulunya nasabah cabang induk, tapi akhir-akhir ini malah
sering ke sini,” lanjut Tania.
“Rumahnya dekat sini kali,” sahutku asal. Padahal, dalam hati aku ingin
menimpali, itu kan hanya akal-akalannya saja biar bisa mengerjaiku sesuka
hatinya.

Aku menekan panggilan ke nomor ponsel Aga. Biarpun aku dan Aga tidak
pernah tukar-menukar nomor ponsel, nomor ponsel Aga sudah tercantum di
daftar kontak. Pasti Aga sendiri yang menyimpannya.
Dipikir-pikir, mungkin ada manfaatnya juga. Seperti sekarang, saat Jia tidak
bisa menjemputku dan yang ada di pikiranku hanya Aga. Apa salahnya sesekali
memanfaatkan dia? Dia malah sudah sering memanfaatkanku. Apalagi malam
ini dia memaksaku ke rumahnya. Sekalian saja aku mengancam tidak akan mau
ke rumahnya jika dia tidak menjemputku.
“Jemput aku! Jia nggak bisa jemput, lagi ada acara di kampusnya,” kataku
saat telepon diangkat.
Yang terdengar pertama kali BUKUNE
adalah embusan napas berat. Aku menahan
napas, takut dia akan mengomeliku karena sudah berani meneleponnya.
“Tunggu lima belas menit lagi,” katanya singkat, kemudian menutup telepon.
Padahal, aku baru saja mau mengucapkan terima kasih. Cukup hari ini saja aku
mempermalukan diri dengan meminta Aga menjemputku. Anggap saja ini balas
jasa karena aku bersedia ke rumahnya.
Tidak beberapa lama, mobil Aga memasuki area parkir depan kantorku. Aku
melirik jam tangan. Dia benar-benar tepat waktu.
“Langsung ke rumahku aja,” katanya ketika aku membuka pintu mobil.
“Pulang dulu. Aku perlu mandi, ganti baju, dandan.”
“Nggak perlu, Mama cuma pengin ketemu kamu, kok. Bukan mau ngajak
kamu ke mal,” sahutnya.
“Tapi, kan ....” Kalimatku terpotong. Pandangan Aga lurus mengamati
jalanan, sesekali tangannya bermain di persneling mobil.
“Tapi jangan lama-lama. Aku belum minta izin sama Mama.”
“Udah tadi,” sahutnya singkat.
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Aku udah kasih tahu Tante Hera kalau kamu pulang telat,” jelasnya.
Aku menyahut dengan oh panjang. “Ada acara apa, memangnya?”
“Mama cuma pengin ketemu kamu. Nggak ada acara apa-apa,” timpalnya
jengkel.
Aku tersenyum masam. Seperti ini risikonya jika berbicara dengan pria-
menyebalkan-yang-sok-kegantengan-gara-gara-wajahnya-mirip-artis-sinetron.
“Ini, aku kembaliin ponsel kamu,” katanya tiba-tiba sambil mengambil
sesuatu dari sakunya.
Ponselku!!!
Sebelum Aga berubah pikiran, aku segera menyambar benda tersebut.
Akhirnya, setelah sekian lama ponselku disanderanya, dia dengan sukarela
mengembalikan.
“Nggak kamu apa-apain, ‘kan?” tanyaku curiga sambil buru-buru mengutak-
atik ponselku.
“Periksa aja,” sahutnya dingin. BUKUNE
Aku mengembuskan napas lega setelah memastikan tidak ada perubahan apa-
apa.
“Tapi—”
Aku menegang ketika mendengar Aga mengucapkan kata “tapi”. Selalu saja
harus ada timbal baliknya.
“—kamu jangan ngomel-ngomel ataupun marah-marah sama aku di depan
Mama,” lanjutnya.
Aku menghela napas. “Oke.”
Yah, memangnya aku bisa menjawab apa lagi?

“Tante udah nungguin kamu dari tadi. Ayo masuk.” Tante Vina menyambut
kedatanganku di depan pintu. Dia menyeretku untuk mengikuti langkahnya. Aku
sampai tidak sempat memperhatikan sekeliling. Yang kutahu, tiba-tiba Aga
sudah menghilang entah ke mana.
“Bantuin Tante masak, ya? Aga paling suka udang. Kamu punya ide mau
masak apa?”
Tante Vina telah menyeretku sampai ke dapurnya yang lima kali lebih luas
daripada dapur di rumahku. Warna hitam dan putih mendominasi. Mataku
hampir tidak bisa berkedip menatap satu per satu peralatan dapur yang begitu
keren dan membuatku iri.
“Tante jarang masak. Ini gara-gara ada kamu aja, makanya Tante nekat mau
masak.” Tante Vina tertawa pelan. “Mama kamu bilang, kamu pintar masak,”
lanjutnya lagi.
Sudah kuduga, pasti kedatanganku kali ini membawa misi penting. Aku kira
Tante Vina memang murni ingin bertemu denganku, tetapi ternyata aku hanya
akan dijadikan tukang masak.
“Nggak juga, Tante. Fla juga baru belajar,” kataku, pura-pura malu.
“Kira-kira mau masak apa, ya? Ini Tante udah beliin bahan-bahannya.”
Aku memperhatikan bahan-bahan yang dia maksud.
BUKUNE
“Kalau udang bakar madu sama sup jagung gimana, Tante?”
“Boleh.” Wajah Tante Vina langsung berbinar.
Aku memisahkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk memasak. Tante
Vina berdiri di belakangku sambil terus memperhatikan apa yang kukerjakan.
“Tante jadi ngerepotin kamu,” katanya sambil membantuku membilas
sayuran.
“Nggak apa-apa, Tante. Fla juga suka masak, kok,” kataku sambil tersenyum.
Untung saja Tante Vina baik seperti ibu peri, beda dengan anak semata
wayangnya yang perangainya mirip ibu tiri.
“Kamu sering-sering main aja. Nggak perlu nungguin Aga, datang aja
langsung. Kadang Tante suka kesepian. Kamu tahu sendiri gimana sibuknya
Aga,” kata Tante Vina.
Ada sesuatu yang mendadak mekar di hatiku. Haru, merasa kehadiranku
begitu istimewa bagi seseorang. “Iya, Tante, bakal Fla usahain sering ke sini.”
Aku tersenyum. Semoga aku bisa menepati janji.
“Aga nggak jahat sama kamu, ‘kan?” tanya Tante Vina tiba-tiba saat aku
sedang melumuri udang dengan bumbu. Aku bengong beberapa saat.
“Aga baik, kok, Tante.” Sumpah ini kebohongan terberat yang pernah
kuucapkan.
“Syukurlah. Aga itu orangnya cuek banget, kadang suka nggak peduli sama
orang lain.”
“Ehem ...!”
Hampir bersamaan, aku dan Tante Vina menoleh ke sumber suara. Aga
bersandar di ambang pintu. Dia tidak lagi mengenakan pakaian kerja, tetapi
sudah berganti kaus dan celana pendek.
“Masak apa?” Aga menghampiriku dan, saking dekatnya, embusan napasnya
sampai terasa di telingaku. Sejenak, aku menahan napas. Pria menyebalkan ini
memang suka mencari masalah.
“Makanan kesukaan kamu,” Tante Vina yang menjawab. “Udah sana, kamu
jangan di sini dulu. Nanti Mama panggil kalau udah selesai.” Tante Vina
mendorong Aga keluar dari dapur. BUKUNE
“Dia suka protes kalau Tante yang masak,”
bisik Tante Vina kepadaku.

Aku menyandarkan tubuh di jok mobil Aga. Tubuhku berontak. Kekenyangan,
ditambah penat usai memasak. Aku menahan mataku agar tidak tertidur selama
perjalanan. Sekilas, aku menatap Aga yang serius selagi menyetir. Pada saat-saat
seperti ini, aku selalu ingin memulai pembicaraan dengannya. Namun, melihat
sorot matanya yang tidak bersahabat, lagi-lagi aku mengurungkan diri.
Tubuhku terasa lengket dan aku bahkan bisa mengendus bau masakan dari
baju seragamku. Dengan kondisi seperti ini, aku merasa tidak pantas berduaan
dengan Aga. Lihat saja, dia sudah mandi, wajahnya segar, dan aku bahkan bisa
menghirup wangi parfumnya.
“Ini, aku kembaliin ponsel kamu.” Aku mematikan ponsel Aga dan
mengambil kartu sim-ku.
Dia melirik. “Pakai aja dulu,” sahutnya singkat.
Aku melongo, antara bingung dan berusaha mencerna kata-katanya.
“Iya, pakai aja dulu. Aku punya banyak ponsel, kok,” lanjutnya lagi.
Aku mencibir dalam hati, Dasar sombong.
“Nggak, pokoknya aku nggak mau ponsel ini ada sama aku. Nih, aku
kembaliin, ya.” Aku meletakkan ponselnya di dasbor. Aga tidak berkata apa-apa
lagi sampai mobilnya memasuki kompleks rumahku.
“Thanks, ya,” kataku basa-basi sambil membuka pintu mobil.
“Fla ....”
Aku menghentikan kakiku yang sebentar lagi akan menyentuh tanah.
“Makasih buat hari ini,” katanya pelan.
Dan, entah mengapa, wajahku mendadak terasa panas.[]

BUKUNE
Ian vs Aga

L ama aku menatap wajah Ian yang terlihat kelelahan. Rasanya, tidak tega
melihat raut wajahnya yang seperti itu. Ian jarang mengeluh, tetapi melihat
wajahnya saja aku langsung tahu pasti saat ini dia sedang memendam masalah.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku sambil menyentuh tangannya. Ian tidak
membalas, hal yang jarang sekali dia lakukan.
“Kalau kamu capek, kita pulang aja, ya?” bujukku.
Ini pertemuan pertamaku dengan Ian setelah satu bulan kemarin dia tidak bisa
pulang dengan alasan sibuk. Sebenarnya, aku tidak suka dengan keadaan seperti
ini: berbulan-bulan tidak bertemu, dan pada saat bertemu hanya sedikit waktu
yang bisa kami habiskan untuk bersama.
BUKUNE
“Abisin dulu makanannya. Katanya tadi kamu pengin banget makan di sini,”
kata Ian.
“Lebih pengin ketemu kamu,” sahutku.
“Kamu ditinggal sebulan aja udah pinter gombal,” kata Ian sambil tertawa.
Aku tersenyum melihat perubahan wajah Ian. Sosok Ian yang suka bercanda
seperti inilah yang kurindukan.
“Kerjaanku lagi banyak banget. Nanganin perusahaan baru yang hampir
semua karyawannya masih belum bisa diandalkan. Tekanan ini dan itu bikin aku
pengin kabur.” Ian mengembuskan napas panjang.
Sekali lagi, aku menggenggam tangannya dengan erat. Aku tahu Ian tidak
butuh nasihat dariku. Aku tidak lebih banyak tahu dari dia. Aku hanya ingin
mendukung, memberi kekuatan, menunjukkan bahwa aku akan selalu ada
untuknya.
“Jadi, mungkin beberapa bulan ke depan aku bakal makin jarang pulang,”
lanjut Ian.
Aku menatap mata Ian dalam-dalam. Padahal, belum juga hilang rasa
kangenku, dia malah sudah berencana akan menambahnya lagi.
“Nggak apa-apa, ya? Kan demi kamu juga.” Ian mengelus rambutku.
Aku tidak bisa menjawab apa-apa selain mengangguk, menikmati elusan
tangannya di rambutku.
“Kenapa nggak Mas Saka aja yang nanganin perusahaan baru itu?” Aku
menyebutkan nama kakak kandung Ian yang umurnya lima tahun lebih tua.
“Mama bilang aku harus belajar dari nol. Lagi pula, Mas Saka kan udah
berkeluarga. Kasihan juga kalau dia harus jauh dari istri dan anaknya.”
Aku menggerutu dalam hati. Mengapa mamanya berperan besar sekali dalam
menentukan hidup Ian?
“Setelah aku sukses, aku bakal bikin Mama yakin dengan hubungan kita.”
Mataku terasa berkaca-kaca mendengar perkataan Ian.
Dulu, aku selalu merasa hubunganku dan Ian adalah hubungan paling
sempurna yang pernah kujalani. Tidak pernah ada masalah berat, paling
BUKUNE
bertengkar kecil gara-gara masalah yang tidak terlalu penting. Namun, kini,
dengan Ian masih bersamaku saja sudah membuatku lega sekaligus bahagia.
“Aku ingin kayak dulu, tiap kangen bisa langsung ketemu.”
Ian tersenyum mendengar perkataanku. “Itu artinya aku harus nyulik kamu,
dong?”
“Nggak apa-apa. Daripada jauh-jauhan terus.”
“Kamu benar-benar udah jadi tukang rayu.” Ian mencubit pipiku dan aku
hanya bisa tersenyum masam. “Pulang, yuk,” ajaknya kemudian. “Ada hal
penting yang harus aku bicarain sama Mama.”
“Soal kerjaan?” tanyaku penasaran.
Ian mengangguk. “Aku masih beberapa hari di sini. Senin aku usahain bisa
antar kamu ke kantor,” tawarnya.
“Serius?!” tanyaku meyakinkan. Lagi-lagi, Ian mengangguk. Mataku berbinar.
Akhirnya, aku bisa juga merasakan diantar pacar ke kantor.
Aku mengikuti langkah Ian menuju kasir. Dia menggenggam tanganku dengan
erat.
“Nanti malam ke bioskop, yuk! Udah lama aku nggak nonton. Mau ngajakin
Jia males banget. Dia selalu aja tidur sepanjang film,” keluhku.
“Boleh,” sahutnya singkat. Ian mengeluarkan dompet saat kasir menyebutkan
nominal yang harus dibayar.
“Hai, apa kabar?”
Aku menoleh mendengar sapaan itu.
Aga! Sedang apa dia di sini?!
Aga tersenyum lebar sambil menatapku.
Aku memalingkan wajah, berpura-pura tidak mendengar sapaannya. Ian
menoleh dan menatap Aga. Apa mungkin dia curiga mengapa aku tiba-tiba
disapa seorang pria?
“Eh, iya, baik,” sahut Ian tiba-tiba.
Mendadak otakku terasa kosong. Aku terlalu bingung menghubungkan semua
yang terjadi di depan mataku. Perlahan, aku mengangkat wajah, memandang Ian
dan Aga bergantian. Dan, saat itulah aku menyadari bahwa sapaan tadi bukan
ditujukan Aga kepadaku. BUKUNE
“Sekarang tinggal di mana?” tanya Ian.
Aku bisa merasakan pertanyaan Ian hanya seperti pertanyaan basa-basi yang
jika tidak dijawab pun tidak apa-apa.
“Masih rumah yang dulu,” jawab Aga sambil tersenyum dan, entah hanya
perasaanku saja atau bukan, dari tadi aku bisa merasakan tatapan tajam darinya.
“Kami duluan, ya,” kata Ian. Semuanya terasa kaku, baik itu sikap maupun
perkataan Ian.
“Salam buat Tante Maya, ya,” kata Aga.
Aku semakin penasaran dengan hubungan di antara mereka berdua. Mengapa
Aga sepertinya sangat mengenal keluarga Ian? Eh ..., tunggu dulu, bukannya
waktu acara peresmian kantor Aga kemarin aku memang melihat Aga dan mama
Ian tampak akrab? Apa mereka memiliki hubungan keluarga?
Ian seolah ingin menanggapi ucapan Aga, tetapi buru-buru kutarik tangannya
dan berjalan menuju parkiran.
Aku menutup pintu mobil dan menatap keluar. Mengapa Aga bisa di sini? Apa
mungkin dia sengaja mengikutiku? Tidak, semua ini pasti kebetulan.
Ada sedikit kelegaan juga karena Aga tidak mempermalukanku di depan Ian
dengan membuka rahasiaku. Dan, kelegaan lain karena Ian tidak
memperkenalkanku kepada Aga.
Aku melirik Ian yang sedang menyalakan mesin. Lalu, “Tadi siapa?” tanyaku
memberanikan diri.[]

BUKUNE
Rival

“T adi siapa?” ulangku sekali lagi.


“Oh ..., tetanggaku dulu,” jawabnya singkat.
Hanya tetangga? Jika aku bertemu tetangga lama, pasti banyak percakapan
yang akan kulakukan. Bukan sekadar basa-basi seperti tadi.
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Antara penasaran dan
takut Ian akan curiga mengapa aku terus bertanya tentang Aga. Namun,
seharusnya aku yang curiga, mengapa sepertinya hubungan Aga dan Ian tidak
terlalu baik?
“Kalian musuhan?” tanyaku lagi.
“Kalau musuhan, mungkin kami udah berantem tadi,” sahutnya.
“Terus?” Aku tambah penasaran.
BUKUNE
“Waktu kecil kami emang sering berantem, sih.”
“Tapi kok malah dingin gitu pas ketemu?”
Aku tidak bisa mengontrol rasa penasaran yang sudah memenuhi kepalaku.
“Aku emang nggak terlalu akrab sama Aga. Teman, tapi sering jadi rival,”
jelas Ian.
“Rival? Dalam hal?”
“Dalam semua hal,” jawab Ian singkat. “Kamu kenal sama dia?” tanya Ian
tiba-tiba.
“Siapa?”
“Erlangga.”
Aku pura-pura memicingkan mata, menggeleng.
“Siapa tahu kenal,” kata Ian sambil nyengir.

“Kamu ke mana aja? Dicariin Aga dari tadi.” Suara Jia memburuku sesampainya
aku di rumah.
“Terus, sekarang Aga ke mana?” aku balik bertanya.
“Nganter Tante arisan,” jawab Jia.
“Kan tadi kamu bisa usir dia,” kataku.
“Nggak mungkin aku ngusir dia dengan bilang kamu lagi sama Ian. Panjang
umur. Tuh orangnya!” tunjuk Jia.
Dari luar, terdengar suara mobil Aga.
“Aku lanjut tidur lagi, ya.” Jia melambaikan tangan dan kembali masuk ke
kamar.
Tanpa mengucapkan permisi, Aga tiba-tiba sudah masuk dan duduk di
sebelahku.
“Siapa yang suruh kamu ke sini?” tanyaku kesal.
“Nggak ada, cuma mau mastiin aja kalau kamu pulang dengan selamat.” Dia
tertawa.
BUKUNE
“Pulang sana. Aku ngantuk, pengin tidur,” usirku.
“Tidur aja. Siapa juga yang ngelarang?”
“Ya udah, kamu pulang sana.”
“Tuan rumah yang baik harus menjamu tamu,” ejek Aga.
“Aku nggak peduli!”
“Kalau mama dan papamu pulang dan lihat aku sendirian di sini, pasti kamu
bakal diomelin. Aku udah megang kartu As kamu,” ancamnya.
Aku memelotot menahan marah. Selalu saja seperti ini, memanfaatkan
kelemahanku.
“Gimana kalau mamamu tahu tadi kamu habis dari mana?”
Aku menggeram kesal.
“Nonton, yuk,” ajaknya tiba-tiba.
“Malas.”
“Makan?”
“Udah kenyang.”
“Belanja?”
“Nggak punya duit.”
“Ke rumahku aja, mau?”
“Ogah!”
Aku menatap Aga kesal. Dia cerewet sekali hari ini. Aku lebih suka dia diam
seperti biasanya. Aku lebih suka menatap Aga yang diam dan serius daripada
yang bawel seperti ini. Sikap menyebalkannya meningkat dua kali lipat.Namun,
tunggu ..., sejak kapan aku suka menatap Aga?!
Bunyi pesan masuk membuatku buru-buru mengambil ponsel yang masih ada
di dalam tasku.

IAN
Sayang, ntar mlm ga jd, ya.
Aku hrs nemenin Mama ketemu klien.

BUKUNE
“Ayo buruan! Katanya tadi ngajak aku nonton!” kataku tiba-tiba. Aga
menatapku tak percaya.[]
BUKUNE
BUKUNE
Kencan

F la mau kuajak nonton? Ini keajaiban. Seperti mendapat durian runtuh.


Fla tampak begitu manis. Bahkan ketika mengomeli gaya mengemudiku yang
sangat lambat, benar-benar menggemaskan. Mata bulatnya masih seperti dulu,
kadang menatapku malu-malu. Tak jarang, tatapannya seakan mau
membunuhku. Bibir mungilnya begitu serasi dengan wajahnya.
“Nggak jadi nonton. Tiba-tiba males,” kata Fla dengan sangat mendadak.
Aku mendelik tajam. Aku baru saja merayakan kemenangan atas kencan
pertama kami, sekarang dia mau membatalkannya?
“Enak aja. Kamu pikir bensin mobilku gratis? Kita udah setengah perjalanan,
nggak ada istilah nggak jadi!” kataku tegas.
BUKUNE
Ini kelemahanku, selalu saja tidak bisa berkata manis. Mungkin karena terlalu
grogi berada di dekatnya.
“Aku mau tidur. Jangan ganggu aku sebelum sampai,” katanya ketus.
Gadis satu ini benar-benar membuat perasaanku jungkir balik. Dia selalu
mengomel, marah-marah, dan mengucapkan semua kalimat yang berisi
penolakan kepadaku. Sudah jelas sebagai bentuk balas dendamnya karena aku
pernah menolak pernyataan cintanya.
Dan, inilah kebahagiaan yang kuimpikan. Bisa berduaan dengan Fla. Bisa
memandangi wajahnya ketika tidur dan diam-diam mengelus pipinya.
Ya, aku mencintainya. Tentu saja begitu. Apa lagi alasannya sehingga aku
bersedia terus makan hati seperti ini? Namun, ya, aku juga belum berani
mengungkapkannya secara terang-terangan. Aku ingin membuatnya terlebih
dulu menerima kehadiranku. Terutama karena dia sudah memiliki pacar. Aku
harus secepatnya menyingkirkan pria itu. Ian sama sekali tidak layak untuk
menjadi pendamping Fla. Tinggal tunggu waktu saja sampai aku berhasil
membuktikan keburukannya.
Sejak dulu, aku dan Ian selalu bertengkar. Dan, dia selalu kalah, bahkan dalam
hal perempuan. Namun, untuk urusan Fla, dia jauh lebih unggul.
Mobilku sudah berada di basemen, tetapi Fla belum bangun. Aku menyentuh
bahunya perlahan. Kepalanya tersandar di pintu.
“Kenapa nggak bangunin?” Fla mengucek mata dan merapikan rambut.
“Baru aja sampai. Buruan turun,” kataku sambil membuka pintu mobil.
Aku mengambil kesempatan merangkul bahunya saat kami berdesakan di lift
yang penuh orang. Fla mendelik dan aku membalasnya dengan tersenyum
mengejek.
“Panas, jangan dekat-dekat,” omelnya.
“Siapa juga yang mau dekat-dekat kamu? Nggak lihat apa kalau lagi ramai,”
sahutku tak mau kalah.
Fla hanya mendengus kesal. Lumayan, bisa mendapat kesempatan berdekatan
dengannya meski hanya beberapa detik.BUKUNE
“Nonton apa?” tanyaku setelah kami berdua sampai di depan loket pembelian
tiket.
Fla mengangkat bahu, seolah tidak peduli.
Aku memutuskan memilih acak dari pilihan film yang ada. Tidak masalah apa
filmnya, yang penting Fla menemaniku menonton. Lagi-lagi, aku hanya bisa
bersorak dalam hati membayangkan akan berduaan dengannya.
“Kalau nggak mau nonton, mendingan kamu pulang aja, deh,” kataku sambil
menarik tangannya.
Fla tampak malas-malasan dan tidak bersemangat. Mendadak kepalaku terasa
memanas.
Fla duduk di sampingku. Masih ogah-ogahan. Ketika film dimulai, Fla
langsung jatuh tertidur. Aku tidak ingin mengganggunya. Biarlah, toh tujuanku
memang hanya ingin berdekatan dengannya.
Dengkur halus mulai terdengar. Film dimulai, tetapi konsentrasiku justru
tersedot untuk lebih jeli mengamati wajah Fla.
Aku memiringkan kepala. Aroma rambutnya langsung terhirup indra
penciumanku, seperti wangi bunga yang menyegarkan pernapasan. Bibir mungil
Fla seperti magnet, menjerat pikiranku. Aku memberanikan diri untuk
mendekatkan wajah. Aku menahan napas. Gugup. Embusan napas Fla menerpa
wajahku. Sudah semakin dekat. Tersisa satu gerakan.
“Aku kebelet!” Fla bangkit dari kursi.
Remang bioskop menutupi rasa maluku.[]

BUKUNE
BUKUNE
Suatu Pagi

R asanya tidurku belum cukup ketika terdengar suara pintu kamarku digedor
dengan keras. Aku membuka mata perlahan. Memangnya ini jam berapa? Hari
libur seperti ini sudah jadwalku untuk bangun siang. Semua orang di rumah ini
tahu itu.
“Fla ...!” Pintu digedor lagi. Kali ini lebih keras. “Fla ..., bangun! Aga
nungguin kamu.”
“Suruh pulang aja, Ma. Fla masih ngantuk!” teriakku sambil menarik selimut
sampai ke leher.
“Bangun, temui Aga dulu. Mungkin ada yang penting,” kata Mama dari balik
pintu.
BUKUNE
Aku menendang selimut dengan kesal. “Mama kan bisa bilang kalau aku
belum bangun,” kataku sambil membuka pintu dengan malas.
“Katanya kalian sudah ada janji hari ini,” sahut Mama.
“Mama aja yang nemuin Aga. Fla masih ngantuk,” rayuku.
“Aga itu pacar kamu, bukan Mama.”
Mau tidak mau, aku berjalan menuju ruang tamu dengan langkah agak
terhuyung. Sesampainya di sana, barulah aku tersadar bahwa aku belum mencuci
muka dan masih mengenakan baju tidurku yang bercorak teddy bear. Namun,
terlambat. Saat aku hendak berbalik, Aga sudah keburu melihatku.
“Ada apa?” tanyaku dingin. Aku duduk agak jauh darinya.
“Mandi dulu sana,” katanya kemudian.
“Aku masih mau tidur,” sahutku. “Kamu mau apa?!” tanyaku curiga.
“Nggak mau apa-apa. Kalau kamu nggak mau mandi ya udah, ngapain juga
aku maksa-maksa kamu,” kata Aga sambil meraih cangkir teh di hadapannya,
menyesap beberapa kali, kemudian meletakkannya kembali. Biar kutebak, yang
diminumnya itu pasti teh madu buatan Mama.
“Maksudnya, kamu mau ngapain nyuruh aku buru-buru mandi?”
“Mandi dulu, baru aku jelasin,” katanya sok misterius.
Aku mencibir. “Suka-suka aku, mau mandi atau nggak.”
“Perlu aku jelasin betapa nggak enaknya bau kamu yang belum mandi? Coba
lihat mata dan bibir kamu, banyak kotorannya. Malu-maluin banget.”
Buru-buru aku berlari menuju kamar mandi. Aku becermin. Tidak ada
kotoran. Badanku juga tidak bau-bau amat. Aga!
Aku mandi dengan buru-buru sambil menahan kekesalan yang tidak bisa
tersalurkan. Kehadiran Aga pada hari Minggu! Benar-benar musibah!
Aku tidak ingin Aga mengganggu rencana-rencana yang telah kususun. Aku
ingin menghabiskan Minggu dengan bangun siang, malas-malasan, nonton
DVD, makan es krim, dan tidur-tiduran sambil mungkin membaca buku. Cukup
kemarin saja Aga menyita waktuku dengan menonton di bioskop. Sekadar
BUKUNE
pelampiasan karena Ian membatalkan janji.
“Ya sudah, kalian buruan perginya. Keburu siang, nanti panas di jalan,” kata
Papa sesaat setelah melihatku selesai berbenah usai mandi.
“Eh ...?” Aku menatap Aga bingung. Pergi? Mau ke mana memangnya?
“Kami pamit dulu ya, Om,” kata Aga sambil memberi kode kepadaku untuk
mengikutinya. Apa maksudnya?
“Aku nggak mau pergi sama kamu,” bisikku.
“Papa kamu udah kasih izin. Jangan keras kepala!”
“Aku nggak mau! Aku bukan asistenmu,” omelku.
“Siapa juga yang bilang kamu asistenku? Kamu kan calon tunanganku,”
godanya. “Aku janji, kamu bisa istirahat seharian setelah kita sampai nanti.”
“Istirahat di rumah aja,” pintaku lagi.
“Belum pergi?” Papa tiba-tiba muncul di teras rumah.
Aku menatap Aga kesal.
“Fla mau ganti baju sebentar, Om,” Aga menyahut.
“Kamu juga, Fla! Udah tahu diajak Aga keluar, kenapa pakai baju begitu?
Sana, ganti baju dulu. Bawa jaket juga.”
Baiklah, sekarang Papa bahkan sudah berpihak kepada Aga. Mengapa tidak
ada satu pun yang bersimpati kepadaku? Dan, apa yang salah dengan bajuku?
Terusan gaya rumahan ini tidak terlalu memalukan untuk dipakai jalan.
“Sana, ganti baju,” ulang Aga.
Aku masuk ke rumah sebelum Papa mengomeliku untuk kedua kalinya.
Kupakai kaus polos, jins, juga jaket, seperti pesan Papa.
“Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Nanti juga tahu sendiri,” sahutnya.
“Aku nggak mau ke bioskop! Bosen!” cetusku.
Aga terkekeh, kemudian melemparkan helm.
“Ayo,” katanya.
Aku tidak dapat berkedip untuk beberapa saat. Yang benar saja, buat apa helm
ini dia berikan kepadaku?
Aku bolak-balik menatap helm BUKUNE
di tanganku dan Aga yang telah memasang
helmnya duluan.
“Pakai jaketnya,” kata Aga sambil menstarter sebuah motor besar.
Ini serius?[]
Kencan Kedua

“P akai motor?” tanyaku ragu.


“Iya. Nggak lihat aku bawanya motor, bukan mobil? Buruan!” Suara deru motor
Aga semakin keras terdengar.
Aku ragu. Bukan karena takut dibonceng motor. Aku tidak suka kedekatan
yang ditimbulkan jika harus duduk di belakang motor Aga. “Kenapa nggak pakai
mobil aja?”
“Lagi di bengkel,” sahutnya.
Aku tidak percaya, buktinya semalam saja dia masih bisa mengantarku
sepulang dari bioskop.
“Ayo. Kamu nggak mau, ‘kan, kita jadi bahan gosip tetangga?”
BUKUNE
Aku melihat sekeliling. Memang benar, beberapa tetanggaku sedang
memandang ke arah kami dengan tatapan mata penasaran. Berani bertaruh, yang
mereka perhatikan pasti Aga.
“Nah, gitu, dong.”
Akhirnya, aku duduk juga di belakang Aga.
“Kita mau ke mana?” tanyaku sambil menjaga jarak di antara tubuhku dan
punggung Aga.
Aga tidak menjawab, entah tidak mendengar atau memang sengaja. Motornya
melaju meninggalkan kompleks rumahku.
“Jaketnya udah dipakai, ‘kan?” tanya Aga di tengah deru motornya. Aku
sampai harus berulang kali menajamkan pendengaran untuk mendengar apa
yang Aga tanyakan.
“Udah!” teriakku.
Beberapa detik setelahnya, Aga mempercepat laju motor. Tanganku masih
bertumpu pada pahaku.
“Pelan sedikit!” teriakku. Namun, sepertinya suaraku tenggelam oleh deru
mesin motor dan mental oleh helm full face Aga.
“Agaaa! Pelanin sedikit!” seruku lebih keras. Kupukul-pukul bahu Aga
supaya dia mendengarkan.
Aga tidak menggubris. Mau tidak mau, sebelah tanganku meraih
pinggangnya. Aku ketakutan.
Aku sama sekali tidak bisa menebak dia akan membawaku ke mana. Ini sudah
keluar dari kota. Sepanjang jalan, yang terlihat hanya pepohonan dan sesekali
rumah-rumah penduduk dengan jarak berjauhan.
“Aga, masih lama, ya?” tanyaku, seperti berbicara kepada diri sendiri karena
aku yakin dia tidak mendengarku.
“Sebentar lagi,” jawabnya sambil membuka kaca helm.
“Kamu bisa dengar aku ternyata! Kenapa dari tadi cuma diam aja?” omelku.
“Kamu berisik, bikin nggak konsen!” sahutnya.
“Aku mau pulang aja!” ancamku.
“Ya udah, aku turunin di sini.” BUKUNE
Aku langsung diam.
Aga kemudian membelokkan motornya ke sebuah jalan kecil. Setelah
beberapa meter, Aga berhenti di depan rumah berhalaman besar. Sekelilingnya
dipenuhi tanaman rambat yang menyerupai pagar.
“Rumah siapa?” tanyaku penasaran.
“Turun dulu,” perintah Aga.
Saat itulah aku tersadar bahwa tanganku masih memeluk pinggangnya.
Wajahku terasa memanas. Aga menoleh dan tersenyum.
“Rumah Om Hendra, adik Mama,” jawab Aga.
Aku mengikuti langkah Aga menuju belakang rumah.
“Kita ngapain ke sini?” tanyaku masih penasaran.
“Mau nyari beruang kutub,” sahut Aga.
Aku merengut mendengar jawabannya yang asal bunyi.
“Kok sepi?” tanyaku lagi. Entah mengapa, aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak berbicara.
Aga menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. Aku mendengus kesal. Siapa
suruh membawaku ke tempat seperti ini?!
“Kita ke sungai belakang. Mereka lagi di sana.”
Aku tidak lagi menimpali.
“Om Hendra punya usaha tambak udang di sungai belakang. Dulu, waktu
kecil, hampir tiap Minggu aku ke sini,” jelasnya kemudian.
Tumbuhan merambat memenuhi hampir sebagian jalan. Nyaris tidak bisa
dibedakan mana jalan yang bisa dilewati dan yang tidak jika tidak ada bekas-
bekas rerumputan layu karena sering diinjak. Beberapa langkah di depan, jalan
terlihat menurun. Tidak ada tangga untuk mempermudah, hanya tanah
kecokelatan yang terlihat basah. Melewati jalan ini, aku jadi ingat permainam
perosotan di tanah berlumpur sewaktu kecil dulu.
Di bawah, tampak sungai yang Aga maksud.
BUKUNE
“Aku nggak bisa turun,” kataku cemas.
“Ikuti aja langkah aku.”
Aga menjejakkan kaki dengan mantap di rimbunan semak, sesekali
berpegangan kepada ranting-ranting. Aku hanya bisa menatapnya dengan
bengong.
“Ayo!” teriaknya saat dilihatnya aku hanya terdiam.
“Aku nggak berani! Seram!”
“Pegangan sama ranting-ranting di sampingmu.”
Aku menginjakkan kaki dengan ragu, menarik satu ranting, kemudian
menginjakkan sebelah kakiku yang lain. Saat aku merasakan kakiku sudah
sempurna mendapat tempat pijakan, aku melepaskan peganganku dari ranting
yang kupegang dan mencari ranting lainnya.
Dan, sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku karena tidak
ada pegangan lagi. Kedua kakiku yang sedang bertumpu di tanah yang licin
mendadak kehilangan keseimbangan. Aku menjerit sambil membayangkan
posisiku pada saat mendarat di bawah nanti.
Aku membuka mata. Tidak ada yang sakit, bahkan aku masih berdiri dengan
tegak. Sebuah aroma menyerbu hidungku. Aroma yang sudah tidak asing.
Aroma yang membuat sesuatu di dadaku berdebar.
Aku membuka mata. Aku sedang berada di pelukan Aga.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya kemudian. Saat itulah aku tersadar untuk
cepat-cepat melepaskan pelukan.
“Aku nggak mau ke sini lagi,” kataku dengan suara gemetar.
Aku bukan sedang ketakutan, aku hanya sedang menutupi kegugupan.
Berusaha agar Aga tidak mendengar degup jantungku yang mendadak lebih
cepat.
“Ini udah sampai,” bujuk Aga dengan suara lembut.
“Kenapa kita harus ke sini?” tanyaku kesal.
Aga tidak menjawab, justru menarik tanganku menuju tepian tambak. Terlihat
beberapa tambak yang sedang dipanen. Tambak lainnya tampak sedang
dibersihkan.
BUKUNE
Aku menatap aliran sungai yang tidak begitu deras. Airnya tidak terlalu jernih,
tetapi jika menutup mata dan mendengar suara alirannya, pasti akan merasakan
ketenangan. Aku suka sekali dengan tempat yang bisa memberikan efek seperti
itu.
“Suka?”
Aku membuka mata saat mendengar suara Aga.
“Biasa aja,” jawabku dingin.
“Kamu duduk aja di pondok itu. Aku mau bantu panen dulu,” kata Aga. Dia
membuka jaket dan menyerahkannya kepadaku.
Aku berjalan menuju pondok kecil yang ditunjuk Aga tadi. Lumayan, aku bisa
tidur sambil mendengarkan suara aliran sungai. Terlihat Aga begitu bersemangat
berbicara dengan para pekerja yang sudah bersiap-siap akan memanen udang.
Dia menggulung celana panjangnya hingga sebatas betis. Para pekerja menarik
jaring-jaring yang mengelilingi tambak, sebagian menceburkan diri ke dalam
tambak untuk mempermudah menarik jaring. Aga terlihat tidak sabar dan tiba-
tiba dia ikut melompat masuk. Aku menggeleng. Untuk apa celananya digulung
jika pada akhirnya dia malah membuat semua pakaiannya basah?[]

BUKUNE
Aneh

F la .... Fla ...!”



Suara itu mengusik kenyamanan tidurku.
Embusan udara hangat menerpa wajahku. Dengan pandangan yang belum
begitu jelas, aku melihat wajah Aga berada tepat di depan mukaku.
“Kamu sakit?” tanya Aga.
Aku menggeleng.
“Badanmu panas,” Aga berkomentar setelah mengangkat punggung tangannya
dari dahiku.
Aku ikut meraba-raba kening dan leherku. Memang sedikit panas, tetapi
bukan berarti aku demam. “Gara-gara cuacanya panas, mungkin,” balasku.
BUKUNE
“Yuk, pulang.”
Dia melingkarkan lengan ke pinggangku, hendak memapah.
“Aku bisa jalan sendiri.” Buru-buru aku bangkit meski dengan sedikit
terhuyung-huyung. “Motormu?” tanyaku ketika Aga justru mendekati mobil.
“Besok aja aku ambil.” Aga membantuku membuka pintu mobil. Aku
merasakan Aga sedikit berbeda, baik sikap maupun nada bicaranya. “Kita ke
dokter dulu,” tambahnya.
Dia duduk di sampingku, kemudian menyalakan mobil. Dia menyerahkan
jaketnya, padahal jaketku sendiri sedang ada di tanganku.
“Tiduran aja. Pakai jaketku kalau masih dingin.”
Aku mengerjap-ngerjap, kikuk dengan perubahan sikap Aga.
“Aku baik-baik aja, kok. Nanti minum Parasetamol juga bakal sembuh.”
“Tidur.” Kali ini nada suaranya terdengar tidak mau dibantah.

Aku menendang selimut yang menutupi tubuhku. Panas sekali. Siapa yang
kurang kerjaan menyelimutiku? Tiba-tiba aku tersadar. Sepertinya aku
melupakan sesuatu.
Aku bangkit, kemudian duduk di ujung ranjang. Bukannya tadi aku tidur di
mobil Aga? Mengapa mendadak aku sudah di kamar?
“Aga mana?” Aku mengguncang tubuh Jia.
“Udah pulang,” jawab Jia dengan mata masih terpejam.
“Siapa yang gantiin bajuku?!” Aku kaget karena sudah berganti piama tidur.
“Akulah, siapa lagi?”
“Siapa yang bawa aku ke kamar?” tanyaku lagi.
Terdengar suara tarikan napas kesal Jia. “Bisa nggak, sih, pertanyaan kamu
disimpan buat nanti aja?” Jia berbalik membelakangiku.
“Jawab dulu! Cuma satu pertanyaan ini,” bujukku.
“Aga yang gendong kamu ke kamar. Puas?! Jangan ganggu aku lagi.” Jia
kemudian menutupi wajahnya dengan bantal.
Aku meraba kening. Sudah tidak BUKUNEpanas. Aku memandang berkeliling dan
menemukan bungkusan obat di atas meja rias.
Samar-samar, aku mengingat apa yang terjadi, setelah pulang bersama Aga.
Dia memaksaku ke dokter. Aku hanya demam karena kelelahan dan terpapar
panas saat naik motor. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin aku
tertidur karena lelah atau pengaruh obat.
“Jangan ke kantor dulu,” kata Mama ketika melihatku keluar dari kamar
setelah selesai mandi.
“Fla udah sehat, Ma,” elakku.
“Tapi, kamu harus istirahat dulu. Aga udah pesan, kamu jangan kerja dulu hari
ini.”
Aku mengernyit heran. Mengapa harus bawa-bawa Aga?
“Ngapain juga bengong di rumah?”
“Ya udah kalau mau kamu gitu. Tapi telepon Aga dulu, jangan sampai dia
khawatir.”
“Paling sebentar lagi ke sini,” sahutku.
“Semalam dia pamit mau ke luar kota. Mungkin pagi ini udah berangkat.”
“Serius, Ma?!”
“Semalam dia gelisah nungguin kamu bangun.”
Aku tidak sempat lagi membalas perkataan Mama, yang kurasakan saat ini
hanya kebahagiaan karena akan terhindar dari gangguan Aga. Namun, jika
seperti ini, siapa yang akan mengantarku ke kantor? Membangunkan Jia?
Sepertinya bukan ide bagus. Lebih baik menumpang Papa saja meski itu akan
membuatku menjadi karyawan yang paling pertama sampai di kantor. Papa bawa
mobilnya gila-gilaan.
“Nanti aku anter.”
Aku hampir tidak percaya mendengar perkataan Jia yang mendadak muncul.
“Kamu udah beneran bangun, ‘kan? Enggak lagi tidur?” tanyaku memastikan.
Tidak biasanya Jia menawarkan bantuan. Aku tersenyum, kemudian buru-buru
kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Dengan cepat, aku berganti baju.
“Kalau udah siap, bangunin aku.”
“Ini juga udah siap.” BUKUNE
“Lima belas menit lagi. Aku masih ngantuk.”
“Mendingan lima belas menit itu kamu pakai buat mandi.”
Jia bangkit, mau tidak mau. Dia menyeret langkahnya menuju kamar mandi.
Suara dering ponselku terdengar samar.
“Halo?” Aku mengambilnya tanpa melihat siapa yang menelepon.
“Jaketku ada sama kamu, ‘kan?”
Sejenak, aku terdiam, kemudian refleks melihat nama yang tertera di layar.
Aga?!
“Nggak ada,” sahutku singkat.
“Coba lihat lagi.” Dia masih ngotot.
Aku mengedarkan pandang. Hiyaaaa! Kenapa jaket Aga ada di tempat
tidurku? “Iya, ada.”
“Ya udah, simpan dulu.”
“Iya.”
“Kamu udah baikan?” tanyanya kemudian.
“Udah.”
“Jangan masuk kerja dulu,” lanjutnya kemudian.
“Kamu baik-baik aja, ‘kan? Kok, hari ini cerewet banget?” tanyaku bingung.
Serius, ini sudah kesekian kalinya Aga bersikap aneh.
Terdengar helaan napas panjang.[]

BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Rindu

A ku menatap ponselku dengan kesal. Selalu saja seperti ini. Padahal, aku sudah
berusaha bersikap manis kepada Fla, tetapi mengapa dia selalu memancing
emosiku? Apa aku salah jika merasa khawatir? Mengapa dia selalu saja tidak
peka? Mengapa begitu sulit untuk kembali mendapatkan hatinya?
Aku tidak tahu mengapa aku sampai kesusahan mengontrol emosi jika
menyangkut Fla. Dia benar-benar sudah membuat hidupku jungkir balik.
Menahan perasaan, menahan emosi, menahan rindu.
Padahal, aku sudah mencari-cari alasan yang terlihat wajar agar dapat
menghubunginya. Karena aku yakin, jika tiba-tiba menghubungi dan
menanyakan kabarnya, pasti aku akan ditertawakan.
BUKUNE
Tidak mungkin aku mendadak menelepon, menanyakan kabar, memastikan
dia sudah meminum obat, dan mengatakan betapa inginnya aku berada di
dekatnya. Itu sama saja membunuh diri sendiri. Mau dibuang ke mana harga
diriku? Walaupun, sepertinya, harga diriku memang sudah diinjak-injak.
Seharusnya, pagi ini aku melihat keadaannya, memastikan dia sudah sembuh.
Aku menghela napas, kesal kepada situasi yang tidak berpihak.
Bagaimana caranya agar aku bisa memastikan Fla baik-baik saja? Aku cemas
melihat keadaannya kemarin. Melihatnya terbaring tidak sadarkan diri dengan
napas memburu.
Memang salahku juga, yang sudah memaksanya menemaniku selama dua hari
berturut-turut. Jika saja aku tahu Fla akan sakit, mungkin kemarin pagi aku tidak
akan memaksanya ikut denganku. Mau bagaimana lagi, aku melakukannya
untuk menggantikan beberapa hari ke depan yang harus kuhabiskan tanpa
melihatnya.
Aku tidak pernah segelisah ini memikirkan seorang gadis. Entah sejak kapan,
Fla seperti menghantui hari-hariku. Setiap hal yang berhubungan dengan Fla
selalu membuatku tidak tenang.
Sejak hari pertama aku bertemu dengannya lagi, semuanya berubah. Pikiranku
hanya dipenuhi oleh Fla.
Namun, entah mengapa, semua yang kulakukan selalu salah. Bukannya
membuat gadis itu mendekat, yang terjadi malah sebaliknya.
Apa rasa bencinya kepadaku belum hilang?
Aku tidak tahu cara meminta maaf dengan benar. Setiap kali hendak
melakukannya, keberanianku malah memerosot ke level terendah. Aku bukan
pengecut, tetapi itu terus saja terjadi jika sudah menyangkut Fla.
Aku tidak pernah tahu apakah Fla menyadari semua perhatian yang kuberikan.
Entahlah, kadang aku merasa Fla pura-pura bodoh, pura-pura tidak mengerti
dengan sinyal yang kukirimkan.
Kurang perhatian apa lagi aku kepada Fla? Aku selalu ada pada pagi hari saat
dia membutuhkan seseorang untuk BUKUNE
mengantarnya ke kantor. Sore pun aku
bersedia menjemputnya walaupun aku sedang sibuk. Aku tidak peduli dia suka
mengomeliku, tidak menganggap kehadiranku. Asal dia selalu bersamaku,
kupikir akan cukup.
Aku juga berusaha bersikap romantis. Memperlakukannya dengan baik meski
terkadang aku tidak bisa menahan emosi. Fla suka sekali memancingku. Bahasa
tubuhnya seperti menolakku. Tentu saja aku tidak terima diperlakukan seperti
itu. Itulah mengapa aku suka bersikap ketus kepadanya.
Meski begitu, aku masih saja suka memandanginya diam-diam. Hanya aku
yang tahu betapa sulitnya mengontrol tanganku untuk tidak meyentuh wajahnya,
betapa menyiksanya menahan keinginan untuk memeluknya.
Aku bahkan masih ingat pelukannya kemarin. Pelukan di motor dan pelukan
tidak sengaja yang kulakukan untuk menolongnya. Rasanya nyaman. Tidak
tahukah dia, wangi tubuhnya bahkan sampai hari ini masih menempel di indra
penciumanku?
Nah, aku sudah ekstra romantis, bukan?
Jadi, mengapa hubunganku dan Fla tidak ada kemajuan sedikit pun?
Sepertinya aku harus mencari ancaman lain agar dia mau menerimaku.
Andai saja Fla tahu betapa terumbang-ambingnya perasaanku karenanya,
mungkin dia akan tertawa. Sepertinya dendam yang dia simpan karena aku
pernah mengerjainya semasa sekolah sudah terbalaskan.
Dulu, aku suka mempermainkan perasaan perempuan. Mendekati, kemudian
meninggalkan sesuka hati. Tidak pernah ada perasaan ingin memiliki. Hanya
dengan Fla semuanya berbeda.
Astaga, akhir-akhir ini aku bahkan merasa kelakuanku sedikit aneh. Tidak ada
dalam kamusku istilah manis dan romantis. Mungkin ada yang tidak beres
dengan otakku.
Ini benar-benar keterlaluan. Bayangannya sama sekali tidak bisa disingkirkan
dari kepala.
Ini hanya seminggu, tetapi rasanya aku akan meninggalkan Fla selama
bertahun-tahun. Belum berangkat saja, aku sudah ingin bertemu Fla.
Aku merindukannya.[] BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Mengapa Harus Aga?

I nilah hari terindah sepanjang hidupku, bisa menghirup udara sebanyak-


banyaknya tanpa perlu khawatir ada makhluk menyebalkan yang sedang
merencanakan sesuatu yang buruk.
Bolehkah aku memohon, semoga ini bisa terjadi selamanya? Hari-hari tanpa
adanya Aga seperti hari yang cerah tanpa hujan, sungguh sempurna.
Semakin hari, aku semakin tidak mengerti dengan sikap Aga. Semuanya di
luar logikaku. Kadang, dia berlaku manis dan menyenangkan, tetapi lebih sering
menyebalkan dengan segala kelakuannya yang tidak masuk akal.
Setengah dari kehidupanku telah dikuasai Aga. Dia dengan mudah mengatur
hidupku, menyuruhku ini dan itu. Tanpa diundang, tiba-tiba sudah berada di
BUKUNE
rumah dan meminum teh madu buatan Mama. Aku sering berpikir betapa
menyeramkannya Aga.
Aku tidak mau berharap banyak. Apalagi berpikir bahwa Aga jatuh cinta
kepadaku, seperti yang pernah dikatakan Jia. Aku sudah mengenal Aga selama
masa sekolah, meski tidak begitu dekat, memang. Namun, aku tahu standar gadis
yang pernah menjadi pacarnya. Dan, aku tidak termasuk.
Aku menyukainya untuk segala alasan standar yang dimiliki seorang gadis
remaja. Aga murid berprestasi, dia terkenal, dan seolah bisa melakukan apa saja.
Terlebih, dia juga tampan dan digilai cewek-cewek di sekolah. Aku tidak tahu
apa yang ada di pikiranku saat itu. Desakan untuk memberitahunya begitu kuat,
diselipi oleh harapan untuk dilirik olehnya. Aku begitu polos, begitu lugu,
bahkan mungkin bisa dibilang tidak tahu malu. Namun, hanya karena aku pernah
berbuat bodoh, bukan berarti dia boleh bersikap semena-mena terhadapku.
Mengapa tidak disudahinya saja semua ini? Apa tidak cukup kenangan buruk
yang dijejakkannya di dalam memoriku?
Sayangnya, selain karena tidak ada Aga, sebenarnya hari ini tidak begitu
indah. Ada Ian yang mengacaukan pikiranku beberapa hari terakhir.
Seharusnya, aku marah karena dia selalu saja tidak menepati janji.
Membuatku senang, dan pada saat yang sama menyakitiku. Sudah terlalu banyak
kesabaran dan maaf yang kuberikan, tetapi mengapa dia ikut-ikutan marah
dengan tidak mau menghubungiku juga? Pagi ini, akhirnya aku mengalah, tetapi
ternyata apa yang kudapat? Ponsel Ian berada di luar jangkauan, entah benar-
benar sedang berada di luar jangkauan, tidak aktif, atau sengaja dimatikan.
Aku masih ingat janjinya yang akan mengantarku ke kantor. Seharusnya, janji
itu kemarin ditepatinya, tetapi sampai hari ini bahkan tidak ada kabar. Pacar
seperti apa itu? Selalu saja meninggalkanku pada saat aku memebutuhkannya.
Malah, jika boleh dibandingkan, Aga lebih perhatian—tentu saja jika aku
bersedia mengesampingkan sifat Aga yang menyebalkan, suka marah-marah,
tukang paksa, dan agak aneh itu.
Ian dan Aga memang dua sosok yang berbeda. Dari fisik saja sudah terlihat
jelas. BUKUNE
Aga memiliki warna kulit kecokelatan yang terkesan macho—jangan
tertawakan aku dengan istilah ini, aku hanya tidak memiliki istilah lain yang
lebih tepat untuk menggambarkan dia. Struktur rahangnya yang tegas, matanya
yang tajam, dan bentuk badannya yang enak sekali jika dipeluk. Astaga, tolong,
siapa saja, sadarkan aku dari kebodohan memikirkan makhluk itu!
Mengapa yang ada di pikiranku sekarang malah berada di pelukan Aga?
Oke, mari membahas Ian. Yah, dia tidak semaskulin itu. Maksudku, kulitnya
tidak secokelat Aga, struktur wajahnya juga lebih lembut, malah cenderung baby
face. Tatapannya juga tidak tajam dan mengintimidasi. Bisa dikatakan, Ian tipe
pria manis yang akan cepat disukai wanita.
Aku tidak bisa mengatakan siapa di antara mereka yang lebih menarik.
Namun, sejak dulu aku memang menyukai tipe lelaki yang maskulin, dan
penggambaran kata itu ada pada wujud Aga. Jadi, tolong jangan menghakimiku
dengan mengatakan aku menyukai Aga. Aku sama sekali tidak menyukai Aga,
aku hanya suka melihat fisiknya, itu saja. Hanya ada Ian di dalam hatiku.
Oh, tidak!
Sepertinya otakku benar-benar tidak beres. Bisa-bisanya aku membanding-
bandingkan Ian dan Aga seperti itu.
Atau, mungkin aku sudah benar-benar gila!
“Fla, kerja yang benar, jangan ngelamun terus!”
Aku tersentak, suara Mbak Sarah menyadarkanku dari lamunan. []

BUKUNE
Berangkat

“M bak Fla, dipanggil Mbak Sarah, tuh.” Kepala Ahmad, office boy kantorku
muncul dari balik pintu. Aku sedang di gudang, mencari berkas nasabah yang
kubutuhkan untuk melakukan pembaruan data.
“Kenapa?” tanyaku sambil tetap sibuk membuka filing cabinet yang berisi data
nasabah yang disusun berdasarkan abjad.
“Nggak tahu juga, Mbak” sahutnya.
“Iya, nanti aku ke sana,” ucapku.
Aku mengambil beberapa dokumen yang kubutuhkan, mendorong rak yang
terbuka, dan bergegas keluar, kemudian mengunci pintu gudang.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Senang sekali rasanya menunggu
BUKUNE
jam pulang. Apalagi sudah dua hari ini Jia selalu tepat waktu mengantar dan
menjemputku. Sungguh menyenangkan memiliki sepupu seperti dia.
Namun ....
Aga apa kabarnya, ya? Mengapa dia seolah-olah menghilang? Bahkan,
menghubungiku saja tidak. Terakhir adalah waktu dia meneleponku,
menanyakan jaketnya. Setelah itu, dia benar-benar lenyap. Apa dia masih di luar
kota?
Namun ....
Buat apa aku peduli? Terserah dia mau hilang atau tidak. Seharusnya aku
bersyukur. Yah, asal dia baik-baik saja.
Baik-baik saja?! Apa-apaan aku ini? Ah, sudahlah.
“Ada apa, Mbak?” Aku memasuki back office dan menghadap Mbak Sarah
sudah menungguku di kursinya.
“Besok kamu berangkat ke Jakarta, ya,” katanya.
Aku bengong.
“Training Basic Banking. Kamu gantiin Monik. Dia nggak bisa ikut, lagi
sakit,” jelas Mbak Sarah. “Seharusnya kamu di batch selanjutnya, sih.”
Aku hanya bisa terdiam.
“Tiga hari aja, kok,” lanjut Mbak Sarah, menyadari kebingunganku.
Aku sih senang-senang saja ikut training, tetapi mengapa tergesa-gesa seperti
ini?
“Kamu tanyain Winda. Kayaknya dia udah mesenin tiket pesawat buat kamu.
Sekalian ambil uang muka buat perjalanan dinasmu.” Kata-kata Mbak Sarah
terdengar seperti perintah.
Aku menarik napas panjang. Anggap saja aku akan liburan, melupakan
sejenak Ian yang menyebalkan dan membersihkan pikiranku dari hal-hal berbau
Aga.
Ya, dia harus segera dienyahkan dari otakku.

Jia memang menyebalkan. Padahal sudah kuwanti-wanti dari semalam agar pagi
BUKUNE
ini mengantarku ke bandara, tetapi nyatanya dia malah tidak ada di rumah sejak
aku bangun tadi.
Aku mondar-mandir di teras sambil berusaha menghubungi nomor Jia, tetapi
ponselnya malah tidak aktif. Awas saja, aku tidak akan membelikan pesanannya.
Jika perlu, uang yang dia titipkan kepadaku kuhabiskan semua.
Aku mencari nomor telepon taksi di kontak ponselku, biasanya aku suka iseng
menyimpannya. Namun, saat membuka kontak, nama Aga-lah yang muncul
terlebih dulu.
Apa Aga sudah pulang? Jika aku menelepon dan meminta dia mengantarku ke
bandara, kira-kira dia mau tidak, ya? Jika memesan taksi, aku harus
mengeluarkan uang sekitar seratus sampai seratus lima puluh ribu. Uang segitu
bisa kugunakan untuk membeli oleh-oleh.
Aku sampai tidak sadar saat layar ponselku sudah menunjukkan panggilan ke
nomor Aga. Entah kapan aku menekan tombol panggil. Aku bahkan sempat
bengong beberapa detik. Saat sadar, buru-buru kuakhiri panggilan.
Ini benar-benar keterlaluan. Sejak kapan aku harus bergantung kepada Aga?
Aku bisa, kok, sendiri ke bandara tanpa ada yang mengantar.
Aku menarik napas lagi, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Mobil Jia tiba-tiba muncul dengan suara decitan remnya yang menyakitkan
telinga. Kepalanya keluar dari jendela dan menatapku sambil nyengir.
Setidaknya, aku tidak perlu lagi mengharapkan Aga.

Hari terakhir Training Basic Banking memang selalu membosankan. Aku
menatap layar proyektor di hadapanku. Materi hari ini, yang juga merupakan
materi terakhir, berlangsung dengan sangat lama dan membuat jenuh. Gerakan
tangan pemateri yang sedang menerangkan Grafonomi membuatku seperti
terbius untuk tidur.
Pembahasan pada hari-hari sebelumnya sebenarnya sangat menarik bagiku.
Semuanya berkaitan dengan cara untuk memberikan layanan yang memuaskan
nasabah. Semakin banyak hal-hal baru yang tidak kuketahui dan semakin banyak
BUKUNE
yang harus kupelajari. Namun, topik hari ini lebih seperti ocehan berulang
mengenai identifikasi tanda tangan dan cara membandingkan tanda tangan asli
atau palsu. Aku mungkin akan lebih bersemangat jika yang dibahas adalah cara
membaca peruntungan nasib dari tanda tangan.
Di kepalaku, sudah terbayang akan mengakhiri hariku di Jakarta dengan
berbelanja sepuasnya. Sejak kemarin, aku terkurung di ruang training dan kamar
hotel tanpa bisa ke mana-mana.
Yang kusuka dari training ke luar kota hanya sesi jalan-jalan dan berbelanja,
selebihnya membosankan. Ditambah lagi, Ian sama sekali tidak menghubungiku.
Nomornya masih tidak aktif. Terakhir, dia hanya mengirimkan pesan yang
mengatakan bahwa dia sedang berada di daerah terpencil yang susah sinyal. Aku
tidak tahu pekerjaan apa yang mengharuskannya berada di daerah terpencil.
Memangnya dia ikut program pelestarian orang utan?
Tahu, ‘kan, bagaimana rasanya antara memikirkan Ian yang entah sedang di
mana dan mengikuti training yang super membosankan seperti ini? Aku benar-
benar tidak bisa berkonsentrasi.
Dan ....
Mengapa Aga juga ikut-ikutan tidak menghubungiku? Tidak menanyakan aku
sedang berada di mana, dan tidak menawarkan untuk mengantar dan
menjemputku dari kantor. Ada apa ini? Mengapa semua orang sepertinya janjian
mendiamkan aku?
Dan juga, mengapa aku memikirkan Aga lagi? Lebih baik aku berkonsentrasi
memikirkan tempat yang harus kudatangi untuk berbelanja setelah training ini
selesai.
Ruangan yang mendadak berisik menyadarkanku dari lamunan. Aku
mengerjap-ngerjap. Pembicara telah mematikan proyektor dan aku bisa melihat
wajah-wajah di sekitarku yang mendadak bersemangat.
Masih sore, baru pukul empat, dan training sudah selesai. Artinya, waktuku
masih lumayan panjang untuk dimanfaatkan.
“Fla ..., nanti bareng,” bisik Nia, teman sekamarku. Aku mengangguk penuh
BUKUNE
semangat. Kami memang sudah menyusun rencana untuk hari ini.
Samar, terdengar suara fasilitator yang menutup training dan sorakan
kegirangan karena training selesai lebih cepat daripada jadwal.
“Ayo, buruan!” Nia menarik tanganku menuju lift.
Lift di lantai dua belas langsung disesaki para peserta training. Aku meraba
tasku, mencari ponsel yang dari tadi pagi dalam posisi silent. Ada lima panggilan
tak terjawab, empat dari nomor tak dikenal dan satu dari Aga.
Aga?! Mau apa dia meneleponku.
Aku mengetuk ponsel dengan gelisah. Antara ingin menelepon balik dan
gengsi. Akhirnya, kumasukkan kembali ponsel itu ke tas setelah menonaktifkan
mode silent-nya.
“Mendingan ikut mobil kantor daripada pakai taksi,” kata Nia sesampainya
kami di lantai satu.
“Gratis juga dan nggak khawatir bakal kesasar,” sambungku.
“Mobilnya terbatas. Kita mesti buru-buru, nih,” ujar Nia.
Kami berjalan terburu-buru menuju pelataran gedung. Sudah ada dua mobil
yang memang dijanjikan akan mengantar peserta training ke mana pun.
Suara ponselku terdengar samar. Refleks, aku mengambilnya dari dalam tas.
Nomor tidak dikenal.
“Halo?”
“Fla, udah nggak sibuk lagi, ‘kan?” Terdengar suara wanita yang masih asing di
telingaku.
“Eh ..., iya,” sahutku bingung sambil menerka-nerka siapa yang sedang
meneleponku ini.
“Tante jemput, ya, kita jalan,” katanya lagi.
Tante Vina! Mamanya Aga.
“Eh ..., Fla lagi di Jakarta, Tante.”
“Iya, Tante tahu. Makanya kebetulan, Tante juga lagi di Jakarta sekarang. Tante
jemput, ya?”
“Ng ....” Aku terdiam karena bingung mau menjawab apa.
BUKUNE
“Menara Bank Primatama yang di Kapten Tendean, ‘kan? Tunggu, ya.”
Belum sempat aku menjawab, telepon sudah ditutup. Aku hanya bisa melongo
kebingungan. Dari mana Tante Vina tahu aku sedang di Jakarta?
“Aku nggak jadi ikut. Sebentar lagi mau dijemput,” kataku tidak enak.
“Sama siapa?”
“Tanteku,” sahutku asal.
“Oh, gitu. Ya udah, sampai ketemu di hotel, ya!” Nia melambai, kemudian
berlari kecil menuju mobil yang sudah menunggu.
Setelah Nia pergi, aku menyesali keputusanku. Mengapa harus dengan Tante
Vina? Mengapa aku harus menjerumuskan diri lagi? Bagaimana jika kubatalkan
sekarang? Tinggal bilang masih ada acara tambahan, sepertinya Tante Vina akan
mengerti. Namun ..., setelah itu aku ke mana? Teman-temanku yang lain sudah
pergi dan aku benar-benar buta jalan di Jakarta.
Telepon berbunyi lagi. Sebelum dering kedua, aku sudah mengangkatnya.
“Sudah di depan gedung. Buruan, ya, Fla, nggak bisa lama-lama parkir di sini.
Camry hitam.”
Aku menarik napas panjang ketika menutup telepon. Aku berjalan agak cepat
menuju sebuah mobil yang disebutkan Tante Vina dan mendapati pintu depan
terbuka. Apa maksudnya? Aku harus duduk di depan?
Aku menyelinap ke bangku penumpang sebelah depan. Sedetik kemudian, aku
hampir tidak bisa bernapas ketika menyadari ada Aga yang menatapku dingin
dari balik kemudi.[]

BUKUNE
Rahasia

“T ante kok tahu Fla lagi di Jakarta?” tanyaku membuka pembicaraan.


“Sopir kita yang kasih tahu,” bisik Tante Vina sambil tersenyum.
Aku menoleh kepada Aga. Wajahnya datar. Aku bergidik ngeri. Sepertinya
Aga sedang menahan marah. Namun, aku salah apa?
“Kita makan dulu, baru jemput Tante Maya,” kata Tante Vina kepada Aga.
Suara ban berdecit, Aga mengerem mobilnya mendadak.
“Kamu kenapa? Pelan-pelan, Aga.” Tante Vina menepuk pundak anaknya.
“Kenapa harus sama Tante Maya?” Akhirnya Aga bersuara.
“Kebetulan lagi sama-sama di Jakarta.”
Aga memegang setir mobil dengan tegang, tatapannya tertuju lurus ke depan.
BUKUNE
“Kapan-kapan kan bisa, Ma. Aku lagi malas mau ke mana-mana.” Aga
menarik napas panjang.
Dia sedang malas ke mana-mana? Lalu, bagaimana nasibku? Tahu begini, tadi
aku ikut mobil kantor saja.
“Ya sudah, nanti biar Mama sama Fla saja. Tapi, nanti kamu jemput kami
lagi.”
“Mama mau bareng Tante Maya?” Suara Aga terdengar emosi.
“Iyalah, sama siapa lagi. Kan katanya kamu lagi malas mau ke mana-mana,”
balas Tante Vina.
Aku terdiam, tidak berminat mencampuri pembicaraan ibu dan anak ini.
“Besok aja, Ma. Hari ini kita makan, terus langsung pulang,” kata Aga tegas.
“Besok kita udah mau pulang.” Tante Vina tampak kesal.
“Fla juga besok pulang, Tante.” Akhirnya, aku tidak tahan juga untuk
menimpali.
“Oh, ya?! Jam berapa pesawatnya?” tanya Tante Vina semangat.
“Sepuluh pagi,” jawabku.
“Pesawat kita udah kamu pesan, ‘kan? Dapat yang jam berapa?” Kali ini Tante
Vina bertanya kepada Aga.
“Sama,” sahut Aga pendek.
“Sama apanya?”
“Sama jadwalnya, jam sepuluh ,” sahutnya lagi.
“Ya udah, besok bareng aja ke bandaranya,” cetus Tante Vina tiba-tiba.
“Malas banget mau jemput-jemput segala,” kata Aga ketus.
Aku menoleh ke arahnya. Apa maksudnya malas menjemputku? Memangnya
aku minta dijemput?
“Fla nginap bareng kita aja.”
Aku memelotot. “Nggak usah, Tante. Barang-barang Fla masih di hotel,”
kataku.
“Ntar tinggal singgah buat jemput,” balas Tante Vina.
Aku menoleh kepada Aga. Dia tidak bicara lagi. Padahal, aku berharap Aga
BUKUNE
akan menolak dan membiarkanku tidur dengan tenang malam ini.
“Sekarang kita makan, setelah itu langsung pulang,” ucap Aga tegas.
“Ketemuan sama Tante Maya dulu.”
“Kapan-kapan aja, Ma. Aku mau tidur.”
“Tapi mereka udah nunggu dari tadi.” Tante Vina tidak mau mengalah.
“Tinggal turunin Mama sama Fla di rumahnya Tante Maya, kamu nggak perlu
ikut.”
“Ya udah kalau gitu, aku ikut.” Aga tampak menghela napas panjang.
Aku bersorak dalam hati. Jika menuruti maunya Aga, berarti aku tidak akan
memiliki kesempatan berbelanja hari ini.
“Kamu ini, jangan gara-gara lagi berantem sama Fla, Mama juga ikut-ikutan
kena getahnya,” kata Tante Vina tiba-tiba.
Sontak aku dan Aga berpandangan. Berantem?!
“Kami nggak berantem,” kataku dan Aga, hampir bersamaan. Tante Vina
tertawa mendengarnya.
“Kami nggak berantem, Ma. Aku cuma lagi lelah dan mau istirahat,” Aga
mengulangi lagi.
Tiba-tiba Aga mengelus kepalaku. Aku terperangah dan refleks menjauh.
“Kamu istirahat aja, biar Mama sama Fla.”
Setelah mendengar perkataan Tante Vina, Aga langsung menggeleng. Aku
menatapnya heran.
“Nggak apa-apa. Asal nggak sampai malam aja. Fla juga butuh istirahat.”
Tiba-tiba tatapan Aga tertuju kepadaku.
Aku hanya membalas dengan anggukan kecil.
“Tenang, nggak lama, kok. Mama mau pamer doang ke Tante Maya,” Tante
Vina berbisik sambil tertawa pelan.
“Maksud Mama?”
“Mama mau ngenalin Fla ke Tante Maya. Selama ini, tiap ketemuan, dia bawa
calon menantunya. Aduh ..., siapa tuh nama anaknya, Mama jadi lupa. Nah,
sekaran giliran Mama ngenalin calon tunanganmu.”
BUKUNE
Sejenak, aku bengong menyadari maksud Tante Vina. Aku melirik Aga.
Wajahnya tampak memerah. Apa dia marah?

“Nah itu rumahnya. Kalian tunggu di sini dulu, Mama masuk sebentar.” Tante
Vina kemudian turun dari mobil.
Tidak tahu alasannya, aku jadi grogi ditinggal berdua saja dengan Aga di
mobil.
“Are you okay?” tanyaku kepada Aga
“Nope,” jawabnya singkat.
Matanya tajam mengawasi rumah yang dimasuki Tante Vina. Apa dia
khawatir dengan mamanya?
Tidak lama, terdengar suara orang bercakap-cakap. Beberapa sosok terlihat
keluar dari rumah tadi, termasuk Tante Vina.
Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan satu sosok yang ada di sebelah Tante
Vina.
Ian!!!
Aku menoleh kepada Aga, meminta penjelasan mengapa ada Ian, mengapa
kami bisa berada di sini, mengapa Aga tidak memberitahuku. Namun, Aga
malah berpaling.
Tanganku sudah memegang pintu mobil. Aku akan membukanya dan berlari
menuju Ian, menanyakan bagaimana dia bisa ada di sini. Apakah ini tempat tidak
bersinyal yang dia maksud?
Apakah Ian adalah orang yang diceritakan Tante Vina tadi? Seseorang yang
disebut Tante Vina telah memiliki tunangan?
Melihatnya tersenyum membuatku muak. Ternyata, janjinya yang akan
memperjuangkanku hanya dusta. Selama ini, dengan begitu mudahnya aku
dibohongi dan termakan rayuannya.
“Jangan!” Aga menarik tanganku, mencegahku bergerak.
Tepat saat itu, satu sosok lagi terlihat jelas di penglihatanku. Mamanya Ian!
Satu lagi pemandangan yang membuatku ingin tenggelam saja ke dasar bumi.
BUKUNE
Seorang wanita, berpenampilan modis, berkulit putih bersih, dengan wajah mirip
boneka tampak bergelayut manja di tangan Ian.
Wanita itu pasti tunangan Ian!
Tanganku gemetar, tenggorokanku mendadak kering. Aku tidak menyangka
semua ini begitu nyata. Ian dan tunangannya! Apa tidak ada adegan yang lebih
menyakitkan?
Jadi, selama ini apa yang sudah kulakukan? Bahagia karena memiliki Ian?
Aku meremas tanganku yang berkeringat dingin. Merasa bodoh karena selama
ini telah dibohongi. Ini menyakitkan.
Ian telah memiliki tunangan, dan siapa aku bagi Ian? Hanya pacar yang begitu
bodoh. Bukan ..., hanya aku yang menganggap diriku sebagai pacar Ian. Bagi
Ian, aku bukan siapa-siapa.
Mataku memanas, napasku memburu. Rasanya sakit. Setitik air mata sudah
hampir jatuh.
Braaak!!! Bunyi pintu mobil ditutup dengan kasar. Kulihat Aga sedang
berjalan mendekati mereka.
Bersamaan dengan itu, seluruh pertahananku runtuh. Air mataku jatuh satu per
satu.[]

BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Marah

A ku harus menghajarnya!
Kalimat itu berseru berulang-ulang di kepalaku. Kemarahanku sudah sampai
pada puncaknya.
Semua ini benar-benar di luar rencanaku. Bukan ini yang kuinginkan. Ya, aku
ingin Fla mengetahui kebusukan Ian, tetapi bukan dengan cara menyakitinya di
depan banyak orang dengan mendadak seperti ini.
Fla pasti akan menuduhku merencanakan semuanya. Mama yang mengajak
Fla bertemu Tante Maya, mama Ian. Kemudian menyebut-nyebut bahwa Ian
sudah memiliki tunangan. Dia pasti akan membenciku habis-habisan.
Semua gara-gara Mama. Baiklah, aku terlihat seperti orang yang ingin kabur
BUKUNE
dari masalah. Namun, memang benar, aku sama sekali tidak mau
mempertemukan Fla dengan mantan pacarnya dalam situasi seperti ini. Aku
tahu, Fla akan sedih jika mengetahui kebenarannya. Aku masih belum
menemukan waktu yang tepat untuk membongkar kebusukan Ian.
Aku tidak tahu Mama berencana menemui Tante Maya. Karena itu, dari tadi
aku berusaha mencegahnya. Namun, semakin kucegah, Mama malah semakin
ngotot.
Semuanya telanjur terjadi. Fla sudah melihat dengan matanya sendiri. Aku
tidak suka berada di dalam situasi ini. Melihat orang yang kusayangi menahan
tangis, membuatku ingin menghajar orang yang menjadi penyebab kehancuran
itu.
Aku tidak tahan lagi!
Aku turun dari mobil dengan emosi yang sudah hampir meledak. Tanganku
sudah tidak sabar lagi ingin menghajar pria itu. Lihatlah, dia bahkan dengan
tidak tahu dirinya bermesraan dengan ... ah, aku tidak tahu siapa wanita itu. Jika
dia sudah menemukan wanita lain, mengapa tidak diputuskannya saja Fla?
Setidaknya akan mempermudah jalanku untuk memiliki Fla.
“Kamu ini nggak sabaran banget. Ya udah, Jeng Maya, kita berangkat
sekarang.” Mama menyambutku dengan senyuman.
Hampir saja aku gagal mengontrol amarah. Hampir saja tanganku melayang
ke wajah pria itu. Tanganku terkepal erat, seluruh emosiku terkumpul di sana.
“Mama kamu bilang, kamu bawa pacarmu, ya? Mana? Tante mau kenalan,
dong!” goda Tante Maya.
Aku tersenyum datar. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi.
Pria itu berdiri dua meter di hadapanku. Aku tidak dapat membaca ekspresi
wajahnya.
“Mama, Fla sakit. Aku bawa pulang dia dulu,” aku berbisik di telinga Mama.
Setelah menarik napas panjang, emosiku agak terkontrol. Aku tidak mau
mempermalukan Mama di sini. Aku akan menunggu saat yang tepat.
“Sakit?! Sakit apa?” Mama tampak kaget.
BUKUNE
“Masuk angin, Ma. Tadi dia ngeluh mual sama pusing.”
Sesaat, Mama memelotot ke arahku, seolah aku baru mengatakan penyakit
yang berbahaya sedang menulari Fla.
“Jangan bilang dia hamil,” desis Mama tak kalah pelannya.
Rasanya, aku ingin tertawa mendengar tuduhan Mama. Seharusnya, tadi
kukatakan Fla sakit perut saja atau sakit lainnya, bukannya mual dan pusing.
“Dia beneran sakit, Ma. Badannya panas.” Aku berbohong lagi.
“Aduh, Jeng Maya, kayaknya batal lagi. Pacarnya Aga sakit. Kami mau
langsung pulang aja,” kata Mama kepada Tante Maya.
“Kan ada Aga yang bisa ngurusin pacarnya. Jeng Vina tetap ikut kami aja.”
“Kamu bisa?” tanya Mama kepadaku.
Astaga, tentu saja aku bisa melakukan apa pun untuk Fla.
Aku mengangguk singkat.
“Ya sudah, kamu bawa dia pulang dulu. Suruh minum obat, kalau perlu bawa
ke dokter.”
Aku menarik napas lega karena Mama sepertinya tidak curiga.
Sebenarnya, aku sedikit tidak rela Mama harus bersama keluarga pria itu.
Namun, aku juga tidak bisa melarang Mama jika tidak ingin diinterogasi.
Aku berbalik setelah melemparkan senyum sinis kepada pria berengsek itu.
Tunggu tanggal mainnya, aku tidak mau mengotori tanganku sekarang.
Yang pasti, tidak akan kubiarkan Fla jatuh ke pelukannya lagi.

“Jangan pura-pura tidur,” kataku setelah mobilku berjalan meninggalkan rumah
Tante Maya.
Fla menggerakkan tubuhnya perlahan, matanya terbuka. Aku bisa melihat sisa
tangis di wajahnya. Aku menggeram kesal. Sialan!
“Kenapa selama ini kamu nggak pernah kasih tahu aku kalau Ian udah punya
tunangan?” tanyanya terbata-bata. Suaranya serak. Kurasa dia akan menangis
lagi. “Kenapa nggak kamu biarin aja aku ketemu Ian tadi?” Tangisnya pecah. Air
mata membasahi wajahnya.
Aku menghela napas. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak punya
BUKUNE
pengalaman menenangkan wanita yang menangis.
“Kamu nggak akan percaya walaupun aku bilang yang sebenarnya,” sahutku.
“Jadi, kamu sengaja nunjukin semua ini ke aku?”
Aku menghentikan mobil di pinggir jalan. Aku tidak bisa berkonsentrasi
dalam situasi seperti ini.
“Aku sama sekali nggak tahu kalau kita bakal ketemu mereka hari ini.
Kalaupun semua itu rencanaku, seharusnya kamu bersyukur karena tahu
kebenarannya.” Aku berusaha tenang. Aku tidak mau Fla ketakutan.
Fla tidak menimpali, tetapi tangisnya masih terdengar jelas. Ingin sekali aku
memeluknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Namun, aku tidak
memiliki keberanian.
“Jangan nangis lagi,” kataku pelan. Mengapa perempuan selalu menyia-
nyiakan waktu dan tenaga untuk lelaki yang tidak tahu diri?
“Aku nggak nangis,” jawabnya sambil terisak.
Aku tertawa pelan. Bisa-bisanya dia membohongiku.
“Kita pulang dulu, biar kamu bisa istirahat,” kataku.
Fla menatapku dengan matanya yang merah dan bengkak. “Aku masih pengin
jalan-jalan.”
“Mau jalan ke mana?” Aku memutuskan menuruti kemauannya daripada dia
menangis lagi.
“Nggak tahu,” jawabnya.
Beberapa saat, kami hanya terdiam. Akhirnya, aku menyalakan mobil dan
menjalankannya tanpa arah. Aku juga sedang tidak punya ide mau ke mana.
Samar, terdengar lagi suara tangis Fla.
“Kamu nggak capek nangis?” tanyaku kesal.
“Kamu nggak tahu gimana rasanya.”
“Jadi, aku harus gimana?” tanyaku putus asa.
Fla menggeleng. “Aku nggak bisa bayangin kelanjutan hubungan kami.”
“Putusin aja dia. Gampang,” kataku bersemangat.
Fla mendelik. Sepertinya aku terlalu antusias.
“Tapi ....” BUKUNE
“Kamu udah tahu kenyataannya, ‘kan? Apa lagi yang kamu tunggu?”
“Yah, bisa aja, ‘kan, dia dipaksa mamanya?”
“Kalau gitu, kenapa dia mau aja? Seharusnya dia bisa nolak, ‘kan? Dia pria
dewasa, bukan anak-anak.”
“Kamu nggak kenal Ian. Dia emang gitu, kadang nggak bisa nolak keinginan
mamanya.” Kalimat Fla terdengar seperti pembelaan. Bahkan, pada saat sudah
disakiti seperti ini, dia masih saja membela sang mantan.
“Kamu mau ngemis-ngemis biar dia ninggalin pilihan mamanya? Atau tetap
menjalani hubungan walaupun tahu yang sebenarnya?” Aku ingin mengamuk
rasanya. Cemburu, sudah pasti.
Fla tidak menjawab. Dia malah menangis lagi. Astaga, aku tidak bisa
membayangkan berapa banyak stok air matanya.
Seharusnya, aku senang karena kenyataan ini, seharusnya aku merayakan
kemenanganku ini, seharusnya aku bersorak karena telah menyingkirkan pria itu.
Namun, melihat Fla yang menangis membuatku berpikir ulang. Apakah dia
membutuhkan kehadiranku?
Mobilku sudah berputar-putar tanpa arah selama hampir satu jam. Aku melirik
ke samping. Fla tampak tertidur, mungkin kelelahan setelah menangis.
Aku menghentikan mobil dan mematikan mesin. Tanganku terulur untuk
mengelus rambut Fla.
Aku tahu aku tidak pantas berkata seperti ini sekarang, tetapi aku ingin
berjanji. Bahwa aku tidak akan membuatnya menangis. Bahwa aku ingin
mendapat kesempatan untuk menjaganya.
Aku menghapus sisa air mata di wajahnya. Sekadar memandangi, setelah
merindukannya berhari-hari.
Saat itulah aku tersadar. Sepertinya, aku melupakan sesuatu. Aku belum
memesan tiket pesawat untuk pulang besok![]

BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Jangan Menangis

T idak ada yang lebih menyedihkan daripada mengalami patah hati di hadapan
orang yang pernah membuatmu patah hati. Rasa sakitnya bertambah dua kali
lipat.
Aga pernah membuatku patah hati karena penolakannya, dan di hadapan dia
juga aku harus mengalami patah hati karena dikecewakan Ian. Mengapa nasibku
begitu menyedihkan?
Aku sudah pernah dikecewakan Ian. Seharusnya, aku sudah kebal dan tidak
perlu meratapi nasib. Lagi pula, seharusnya aku sudah tahu bagaimana
kelanjutan hubunganku dengan Ian yang sebenarnya.
Sampai kemarin—ya, hanya sampai kemarin—aku masih menganggap Ian
BUKUNE
sebagai pacarku. Sampai kemarin juga, aku berhenti mengharapkan masa depan
untuk hubungan kami. Ian tidak pernah tegas, tidak pernah bisa menentukan
sikap.
Sampai kemarin, batas kesabaranku.
Rasanya, aku seperti gadis bodoh yang terus terjatuh di tempat yang sama,
mengalami rasa sakit yang sama, dan masih saja berharap ada keajaiban datang.
Mengapa Ian tega melakukan ini kepadaku? Mengapa dia tidak jujur saja?
Padahal, aku sudah berharap banyak kepada janji-janji yang pernah dia ucapkan.
“Fla sudah baikan?” tanya Tante Vina.
Aku mengangguk pelan. Tante Vina menatapku, sepertinya dia tidak
memercayai jawabanku. Bagaimana tidak, wajahku pucat, mataku sembap, dan
hidungku merah akibat terlalu banyak menangis.
“Dia baik-baik aja, Ma. Cuma masih sedikit kelelahan,” Aga yang menjawab.
Aku menatap Aga sekilas, sepertinya dia ingin melindungiku agar tidak
ditanyai macam-macam.
“Pusing sama mualnya masih?” tanya Tante Vina lagi.
Sesaat aku terdiam.
“Sudah baikan, Ma. Sekarang Fla kena flu.” Lagi-lagi Aga yang menjawab.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Setidaknya, kali ini Aga berada di
pihakku.
“Sini, kamu sama Tante aja. Nanti biar Aga yang ngurusin barang-barang
kamu.” Tante Vina membimbingku dan membiarkan Aga mengurus check in-ku.
Mendadak, rasanya aku ingin menangis. Mengapa aku tidak pernah mendapat
perhatian seperti ini dari pacarku sendiri? Bahkan, mamanya saja membenciku.
“Jangan nangis lagi, nanti Mama curiga,” bisik Aga.
Aku mendongak dan menatap wajahnya. Tiba-tiba saja tangannya sudah
menyentuh wajahku, menghapus air mata yang menetes di sana.
“Iya,” jawabku sambil buru-buru menjauh, terlalu kaget menerima perlakuan
baiknya. Apa gara-gara aku tampak seperti orang yang harus dikasihani,
makanya Aga bersikap seperti ini?
Aku dan Tante Vina berjalan BUKUNE
beriringan menuju ruang tunggu di terminal
keberangkatan. Sesekali, aku bisa merasakan tangan Aga menyentuh pundakku
dari belakang, seperti ingin memberiku kekuatan.
Aku tidak ingat apa saja yang terjadi kemarin. Yang jelas, aku terbangun di
kamar Aga dan semua barangku telah diambil dari hotel tempatku menginap.
Semoga saja Jia dan orang-orang kantor mau mengerti alasanku pulang dengan
tangan kosong, tanpa membelikan titipan mereka.
“Aku lebih suka kamu marah-marah kayak biasanya daripada diam begini,”
kata Aga. Kami sudah sampai di ruang tunggu.
“Aku capek,” sahutku pelan. “Dan, kamu nggak perlu meduliin aku.”
“Terserah kamu!” Aga terdengar kesal. Dia kemudian beranjak dari duduknya
yang awalnya berada di sebelahku. Sekarang, dia duduk di samping Tante Vina.
Aku memejam. Sosok Ian terlintas lagi di kepalaku. Aku tidak suka dengan
perasaan seperti ini. Rasa sakitnya sama sekali tidak mau hilang.
“Kamu pasti lapar.” Aga kembali menghampiriku.
Kukira dia akan berhenti menggangguku. Dalam situasi normal, aku pasti
akan meledeknya habis-habisan.
Aku menatap Aga lesu. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil berisi donat.
Aku memandangnya tanpa selera.
“Nggak mau,” tolakku.
Dia malah mengambil sebuah donat dengan topping cokelat yang begitu
menggiurkan, tetapi saat ini aku benar-benar sedang tidak berselera.
“Aku nggak mau,” tolakku lagi.
“Makan. Kalau nggak mau, kupaksa.”
Dasar pria otoriter! Pada situasi seperti ini, dia berhasil memaksaku
menghabiskan satu donat cokelat dan segelas air mineral. Atau, mungkin dia
benar. Aku memang kelaparan.

“Fla naik taksi aja, Tante. Rumah kita kan beda arah,” kataku kepada Tante Vina
setelah tadi dia memintaku untuk naik taksi yang sama. Pesawat kami baru saja
BUKUNE
mendarat beberapa menit lalu.
Kami tengah menunggu Aga yang berada di tempat pengambilan bagasi.
Tante Vina melarangku untuk mengambil barang-barangku sendiri dan
menyuruh Aga yang mengurus.
“Nggak boleh. Kamu pakai taksi yang sama dengan kami.” Tiba-tiba Aga
sudah berada di sampingku.
“Barang-barang kita udah lengkap?” tanya Tante Vina.
Aga hanya mengangguk.
“Tapi, rumah kita nggak searah,” kataku.
“Nanti biar aku yang antar kamu pulang.”
Apa maksud Aga aku harus ikut ke rumahnya dulu, baru kemudian
mengantarku? Kedengarannya seperti orang yang kurang kerjaan.
“Iya, gitu aja lebih baik.” Kali ini Tante Vina yang menimpali. Ibu dan anak
ini benar-benar kompak dalam hal memaksa orang.
Aku tidak berbicara lagi. Sepertinya diam dan menuruti kemauan mereka
adalah ide yang baik untuk saat ini. Aku tidak memiliki energi tersisa untuk
berdebat.
Tanpa meminta persetujuanku lagi, Tante Vina menarikku ke sebuah taksi.
Dan, sepanjang perjalanan, aku memejam. Aku tidak tidur, hanya menghindar
agar tidak diajak mengobrol.

“Istirahat, jangan mikirin apa-apa lagi,” kata Aga sesampainya kami di rumahku.
Aku mengangguk lesu. Hampir saja aku membalas ucapan Aga dengan
mengatakan bahwa dia tidak perlu memedulikanku, tetapi kuurungkan.
Sepertinya itu hanya akan memancing emosinya.
Di dalam tas, ponselku bergetar. Sudah berulang kali, sejak masih di taksi tadi.
Mungkin telepon dari Mama. Aku mengambil ponselku dengan malas. Layarnya
berkedip, memunculkan satu nama. Ian.
“Kenapa?” tanya Aga. BUKUNE
“Eh ... enggak,” kilahku.
Aga kemudian menarik ponsel dari genggamanku.
“Jangan ingat dia lagi!” Aga kemudian mematikan panggilan tadi. Aku
melongo. “Sebaiknya ponsel kamu biar aku yang bawa,” lanjutnya. “Kamu pakai
ponsel aku dulu.” Aga menyerahkan ponselnya kepadaku.
Ini mirip kejadian beberapa bulan lalu. Bedanya, saat ini aku menyerahkan
ponselku kepada Aga tanpa paksaan. Setidaknya, dengan cara ini, Aga telah
membantuku untuk belajar melupakan Ian.
“Jangan nangis lagi,” katanya sebelum beranjak pergi.[]
BUKUNE
BUKUNE
Keajaiban

A ku menggenggam ponsel Fla dengan geram. Ini sudah kesekian kalinya pria
itu menghubungi Fla. Dia pasti tidak tahu bahwa Fla sudah mengetahui semua
kebusukannya.
Sekarang, tinggal aku yang harus menentukan sikap. Apa masuk akal jika
tiba-tiba aku mengatakan kepada Fla bahwa aku mencintainya?
Tidak!
Aku belum bisa mengucapkan kata-kata itu. Fla pasti akan menolakku. Dia
baru saja patah hati, sepertinya mengambil kesempatan pada saat seperti ini
bukan ide bagus. Aku cukup tahu diri untuk membiarkan Fla tenang dulu meski
sebenarnya aku sendiri sudah tidak sabar.
BUKUNE
Lagi-lagi, ponsel Fla bergetar. Aku melirik layar. Pria itu lagi. Sepertinya, dia
belum menyerah juga. Apa yang sebaiknya kulakukan?
Pilihan pertama, membiarkan saja panggilan dari pria sialan itu sampai ponsel
Fla kehabisan baterai. Pilihan kedua, mengangkat telepon kemudian memaki
pria itu. Pilihan ketiga, mengirimkan SMS berisi perintah agar dia berhenti
mengganggu Fla karena semua rahasianya sudah terbongkar.
Aku mengambil pilihan pertama. Itu sudah cukup membuatku puas. Dia pasti
tidak bisa tidur memikirkan alasan Fla tidak mau mengangkat teleponnya. Itu
pasti akan menyiksanya.
Mendengar suara getaran ponsel Fla yang terus-menerus membuatku terserang
kantuk yang sangat hebat. Rasanya seperti mendengar lagu pengantar tidur.
Ditambah lagi, semalam aku tidak tidur karena harus menjaga Fla.
Tidak apa-apa, semua yang kulakukan setimpal dengan apa yang kudapatkan.
Jangan menuduhku yang tidak-tidak, aku tidak mencuri ciuman dari Fla
semalam. Aku hanya memeluk tubuhnya yang sedang terlelap sampai aku
sendiri tidak bisa tidur karenanya.

Ini tidur ternyenyak yang pernah kudapatkan. Bagaimana tidak, aku telah
menyingkirkan pria bodoh itu dan hampir memiliki Fla. Ya, aku tidak bilang
memiliki. Ada kata hampir di sana. Semoga saja itu artinya sebentar lagi.
Sialan! Suara getaran ponsel itu lagi. Aku menatap ponsel Fla yang tadi
kuletakkan begitu saja di atas meja. Getarannya begitu keras. Aku bangkit dari
ranjang dan menyalakan lampu kamar. Sepertinya aku tertidur lumayan lama.
Aku harus mematikan ponsel Fla sebelum aku bertindak di luar kesadaranku.
Menghancurkan ponsel ini, misalnya.
Ada puluhan panggilan tidak terjawab. Aku membukanya satu per satu. Dua
puluh panggilan dari pria itu, lumayan menakjubkan. Lima panggilan dari Jia,
sepupu Fla, dan dua panggilan dari Aga. Aku?!
Pasti Fla tadi menelepon ke nomornya
BUKUNE sendiri dari ponselku. Tergesa, aku
menekan ikon panggil untuk menelepon Fla.
Nomornya tidak aktif. Kuulangi sekali lagi, masih tetap sama. Aku menarik
napas panjang untuk meredam emosiku.
Beberapa saat kemudian, ponsel Fla bergetar kembali. Kali ini, di layarnya
terpampang nama Jia.
“Kamu ke mana aja, sih, aku telepon dari tadi nggak diangkat-angkat.”
“Jia, ya? Maaf, ini Aga,” potongku.
“Eh ..., Aga, ya? Fla mana? Lagi sama kamu? Tolong kasih tahu ke Fla ya, mama
sama papanya lagi di rumah sakit,” lanjut Jia.
“Mereka kenapa?”
“Bukan. Yang kecelakaan Giska, sepupu Fla. Tadi kami buru-buru, nggak sempat
nitipin kunci. Titip Fla sama kamu dulu, ya? Mungkin kami agak malam
pulangnya.”
Aku harus segera ke rumah Fla. Dia pasti kebingungan sekarang. Salahku juga
karena tadi menukar ponselnya.
“Kamu mau ke mana?” Terdengar suara Mama dari ruang tamu.
“Ke rumah Fla, Ma,” sahutku sambil berlalu.
“Tunggu dulu, Aga! Ngapain kamu ke sana?”
“Mau jemput Fla, Ma.” Aku buru-buru mengambil kunci mobil.
“Mama bilang tunggu dulu!” kata Mama setengah berteriak.
“Aku buru-buru, Ma. Nanti aja kalau mau ngobrol.” Mama pasti mau
melarangku ke rumah Fla. Alasannya? Pasti karena aku dan Fla tadi baru
bertemu.
“Fla sudah di sini.”
Aku mematung mendengar ucapan Mama. Bagaimana caranya Fla bisa ke
sini?
“Kok bisa?” tanyaku bingung.
“Tadi sore dia datang pakai taksi. Katanya rumahnya terkunci,” jelas Mama.
“Kok Mama nggak kasih tahu aku?”
“Jangan nyalahin Mama. Kamu aja yang kamarnya digedorin tapi nggak
bangun-bangun.” BUKUNE
“Fla di mana sekarang?” tanyaku bersemangat.
“Di kamar tamu,” kata Mama.
Aku bergegas menuju kamar tamu. Perlahan, aku membuka pintu. Tidak
terkunci. Syukurlah.
Fla tertidur dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali aku bertemu
dengannya.
Dasar tukang tidur. Aku tersenyum menatap wajahnya yang sedang terlelap.
Dia tampak kelelahan. Dan, bahkan dalam kondisi seperti itu saja, aku berhasil
tergoda.
Apa aku akan seperti ini selamanya? Mengendap-endap, mencuri sebuah
ciuman, lalu kabur diam-diam?
Aku mendekatkan wajah, perlahan menekan bibirku ke keningnya.
Tiba-tiba saja, Fla bergerak, seolah memberi respons.
“Ada apa?” Matanya membuka, tepat saat aku berhasil menjauhkan wajah.[]
BUKUNE
BUKUNE
Pengganti

“A da apa?” tanyaku dengan suara bergetar.


Mengapa tiba-tiba Aga ada di depanku?
Aku mengubah posisi menjadi duduk, bersandar ke bantal. Apa yang
dilakukan Aga barusan? Mengapa wajahnya tampak seperti habis mengerjaiku?
Aku meraba-raba tubuh. Syukurlah, pakaianku masih lengkap.
“Ngapain kamu ke sini?” tanyaku.
“Ini rumahku.”
Aku mendengus kesal.
“Tadi Jia telepon. Dia nitipin kamu ke aku.”
“Mereka ke mana?” Bisa-bisanya mereka pergi begitu saja tanpa
memberitahuku.
BUKUNE
“Rumah sakit. Giska, sepupu kamu, kecelakaan.”
“Aku boleh pinjam ponselku?” Astaga, mengapa juga aku harus meminta izin
untuk memakai ponsel sendiri?
“Bentar, aku kirimin semua kontak di ponsel kamu ke ponselku,” kata Aga.
“Kecuali satu orang.”
Aku tahu siapa yang dia maksud.
“Tadi Jia bilang apa aja?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan sebelum Aga
menyebut nama Ian. Eh ..., aku malah sudah menyebut namanya sekarang.
“Katanya mungkin kamu harus nginap di sini.”
Aku terdiam. Yang benar saja! Menginap di sini? Seatap dengan pria
menyebalkan seperti Aga?
“Coba aku telepon Jia dulu,” kataku tidak yakin.
“Telepon aja, pasti dia juga bakal bilang gitu. Mereka belum tahu bakal
pulang kapan. Bisa jadi malem banget.”
Aku menatap Aga. Haruskah aku memercayainya?
“Lebih baik kamu mandi aja dulu. Setahuku dari kemarin kamu belum mandi,
‘kan?” kata Aga sambil terkekeh.
Sialan, dia tahu rahasiaku rupanya.
“Tapi, aku harus pulang malam ini. Besok aku kerja.”
“Emangnya kenapa kalau besok kamu kerja? Tinggal aku anter, ‘kan?”
“Maksudku, baju kerjaku kan di rumah.”
“Besok subuh aku antar kamu pulang. Sekarang mending kamu mandi dulu.”
Aga kemudian beranjak dan menutup pintu kamar.
Aku menghela napas panjang. Mandi? Bagaimana caranya? Maksudku,
bagaimana bisa aku mandi jika tidak ada baju ganti dan perlengkapan mandi.
Tadinya, aku mengira hanya akan menumpang sebentar di sini, sampai Mama
dan Papa pulang, bukan untuk menginap.
Badanku memang terasa lengket, meski kuharap tidak bau-bau amat.
Sepertinya aku memang harus mandi.
BUKUNE
Aku membuka pintu kamar, mengeluarkan separuh badan, dan melihat sekitar.
“Kenapa?”
Hampir saja aku terlonjak saking kagetnya.
“Ngapain kamu begitu? Udah kayak mau maling aja.”
Ternyata Aga masih berdiri di dekat pintu kamar.
“A-aku ... aku mau mandi,” kataku gugup.
Aga menatapku dari kepala hingga kaki.
“Di kamar kan ada kamar mandi,” katanya kemudian.
Aku menghela napas. Salahku juga karena tidak memperhatikan.
“Aku ....” Aku tidak sanggup membela diri.
“Nggak tahu caranya mandi?” Dia tertawa.
Aku menggeram kesal.
“Aku nggak bawa baju ganti,” kataku sambil menunduk, memperhatikan jari
kakiku.
“Terus tas kamu isinya apaan kalau bukan baju?”
“Baju kotor semua. Aku bawa baju pas-pasan doang.”
“Kamu ini emang hobi ngerepotin orang, ya?” Aga meninggalkanku yang
masih mematung karena kebingungan. Apa artinya dia akan membelikanku baju
baru?
Selama beberapa detik, aku berdiri di sana seperti orang bodoh. Aku
menggerakkan mata melihat sekeliling, sepi dan tidak ada siapa-siapa.
“Pakai ini aja.” Aga tiba-tiba kembali. “Aku nggak punya baju cewek, tapi
mungkin kamu bisa pakai ini,” katanya sambil menyerahkan sehelai kaus dan
celana pendek, juga sebuah handuk kecil.
“Sana mandi.” Aga membuka pintu kamar dan mendorongku masuk. Sebelum
sempat berkata-kata, pintu kamar telah menutup.
Aku mengamati dua helai pakaian di tanganku. Ini pasti pakaian Aga. Astaga,
mendadak jantungku terasa berdebar kencang membayangkan harus
menggunakan pakaian Aga.
Rasanya ada yang aneh pada diriku. Mungkin patah hati membuat seseorang
menjadi bodoh. Dan, itu terjadi kepadaku saat ini.
BUKUNE
Aku menimbang-nimbang sebelum masuk ke kamar mandi. Mandi dan setelah
itu mengenakan pakaian Aga, atau mandi dan menggunakan pakaianku lagi, atau
tidak mandi sama sekali.
Baiklah, aku akan mandi. Dan, mengenakan pakaian Aga.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Untung saja aku sudah selesai berpakaian. Lain
kali, aku tidak akan lupa mengunci pintu kamar lagi.
“Mama bener-bener manjain kamu,” kata Aga kesal. “Makan.” Dia
meletakkan sebuah nampan di meja.
“Kenapa dibawa ke sini?” tanyaku bingung.
“Mama kira kamu beneran sakit, jadi aku dipaksa bawain semua ini buat
kamu,” katanya.
Aku memang lagi sakit, kok, sakit hati.
“Buruan dimakan. Mama bakal marah kalau aku nggak berhasil maksa kamu
makan,” lanjutnya ketus.
“Kamu sendiri udah makan?” tanyaku sambil membuka tutup nampan tadi.
Tiba-tiba perutku terasa lapar sekali.
“Udah.”
“Aku makan di ruang makan aja,” kataku tidak enak. Aku hanya menumpang.
Diperlakukan seperti ini membuatku risi.
“Makan di sini aja. Udah repot-repot aku bawain juga!” katanya setengah
membentak.
Aku tidak berkata-kata lagi, hanya menyuap makanan tanpa berani
memandang wajah Aga.
“Jia telepon lagi, enggak?” tanyaku setelah menghabiskan makanan yang
diantarkan Aga. Kadang, perutku memang suka tidak tahu diri, tidak peduli
dengan perasaanku yang sedang buruk.
Aga menggeleng, jadi kuartikan Jia tidak meneleponnya lagi.
“Kalau ... Ian? Dia telepon lagi?” tanyaku, nyaris berbisik.
“Nggak tahu,” jawabnya tak acuh. “Nih, ponsel kamu. Nomornya udah aku
BUKUNE
ganti dan kontak yang lama udah aku pindahin semua ke sini. Dia nggak bakal
bisa ngehubungin kamu lagi.”
Apa aku harus mengucapkan terima kasih?
“Besok subuh aku anterin kamu pulang. Sekarang kamu istirahat aja.” Aga
kembali mengangkat nampan dan beranjak menuju pintu.
“Kalau kamu mau,” Aga menggantung ucapannya sebelum membuka pintu,
“aku bisa gantiin dia.”
Dan, pintu pun tertutup.[]
BUKUNE
BUKUNE
Kesepakatan

B odoh!
Mengapa aku malah menawarkan diri seperti itu? Memangnya aku pemain
cadangan yang hanya berperan saat dibutuhkan? Seharusnya aku bisa
mengontrol apa yang kuucapkan tadi.
Kali ini, aku harus memaksa Fla untuk bersikap tegas dan meninggalkan
mantannya, kemudian memilihku.
Aku berbalik dan melangkah menuju kamar Fla lagi.
“Aku ingin membuat satu kesepakatan,” ujarku begitu membuka pintu. Dia
menatapku tajam. Baiklah, kali ini mungkin aku akan agak sedikit ngawur.
“Kesepakatan yang mengutungkan,” sambungku.
BUKUNE
“Aku nggak ngerti maksud kamu.” Fla terlihat sebal.
“Aku ngerti masalah yang lagi kamu hadapi, tapi ada beberapa hal yang bisa
dibilang menguntungkan. Buat kita. Pertama, kamu baru putus sama pacar kamu
....” Aku memberi jeda, menunggu Fla menyela. Ternyata tidak. Syukurlah,
akhirnya dia setuju juga putus dengan pria itu. Kini, aku bisa dengan percaya diri
menyebutkan istilah “mantan” di hadapan Fla.
“Kamu butuh seseorang yang bisa bikin mantan kamu nyesel udah ninggalin
kamu. Dan, kamu sendiri tahu aku sangat berpotensi untuk bikin dia ngerasa
kayak gitu.”
“Maksud kamu, aku harus bikin dia cemburu dengan pura-pura dekat sama
kamu?” tanyanya.
Bukan pura-pura, melainkan benar-benar dekat. Namun, yah, tidak masalah,
jika memang itu yang dia inginkan. Untuk saat ini.
“Bener! Bikin dia sakit hati kayak yang kamu rasain sekarang,” timpalku.
Fla tampak berpikir, sedangkan aku merasa cemas, khawatir dia menyadari
niatku yang sebenarnya di balik tawaran ini.
“Jangan ngerjain aku,” dia akhirnya berkata.
“Aku dan kamu sama-sama punya alasan untuk semua ini,” jelasku. Aku
menatap matanya, meyakinkan bahwa aku sangat serius dengan semua ini.
“Kalau itu keuntungannya buatku, terus buat kamu apa?”
Aku terdiam beberapa saat. Bukan karena tidak punya jawaban, melainkan
karena terlalu banyak keuntungan yang bisa kudapatkan hingga aku tidak bisa
menyebutkannya satu per satu.
“Mama udah telanjur suka sama kamu. Selama ini nggak ada satu pun pacarku
yang Mama sukai.”
Mama memang sangat menyukai Fla, tetapi yang satu lagi hanya
kebohonganku saja. Mana pernah aku membawa pacarku sebelum ini ke
hadapan Mama.
“Dan, aku juga punya masalah pribadi dengan mantan kamu,” lanjutku.
“Masalah pribadi?” ulangnya. BUKUNE
“Bisnis,” jawabku cepat. Kebohongan lainnya. “Jadi, kita sama-sama
diuntungkan. Aku dan kamu bisa saling membantu buat balas dendam. Orangtua
kita juga kayaknya nggak ada masalah dengan hubungan kita.”
Sesaat, Fla mengerutkan kening. “Kalau Ian emang mau ninggalin aku, aku
udah nggak mau mikirin dia lagi. Setelah aku pikir-pikir, dia nggak punya hak
buat memperlakukan aku kayak gini.”
“Jadi?” tanyaku.
“Nggak ada salahnya kita coba ide kamu,” sahut Fla.[]
BUKUNE
BUKUNE
Berbagi

P atah hati mungkin membuat aliran darah ke otakku agak terganggu. Aku
tidak bisa berpikir dengan baik.
Aku mencari nama Jia dan menekan ikon panggil. Lama tidak ada jawaban,
tetapi aku tetap mencoba menghubungi nomornya, lagi dan lagi. Mungkin Jia
masih di rumah sakit.
“Lama banget angkatnya,” omelku ketika telepon akhirnya diangkat.
“Siapa, ya?” Terdengar suara Jia.
“Ini aku, Fla.”
“Nomor baru?”
“Iya. Disimpen,” suruhku. “Kalian masih lama, ya, pulangnya?”
BUKUNE
“Eh, enggak ..., ini udah pulang. Maksudku, masih lama pulangnya.” Suara Jia
terdengar tidak jelas.
“Aku nginep di rumah Aga.”
“Bagus.”
“Ntar aku mau cerita, ya. Tentang Ian.” Aku menghela napas panjang.
“Udahan dulu. Aku dipanggil Tante,” kata Jia tiba-tiba.
“Mana Mama? Aku mau bicara bentar,” pintaku.
“Nanti aja. Lagi ribet di sini.” Jia menutup telepon.
Mungkin Jia akan mentertawaiku jika mendengar ceritaku tentang Ian. Dia
tidak pernah melarang, juga tidak menyetujui hubunganku dan Ian, jadi mungkin
dia akan lega jika tahu hubungan kami berakhir.
Aku berharap tidak bermimpi buruk malam ini karena terlalu banyak
memikirkan Ian.

“Aku nyesel nyuruh kamu ngunci pintu kamar,” gerutu Aga.
Aku hanya diam sambil bergegas mengikutinya masuk ke mobil. Matahari
sudah mulai menampakkan sinarnya walau masih redup.
“Kamu nggak bilang mau berangkat jam berapa.” Aku membela diri. “Kalau
tahu kan aku bisa nyalain alarm.”
“Pintu kamar kamu udah aku gedor dari sejam lalu, masa kamu nggak
denger?” Aga membanting pintu mobilnya.
Aku bergidik ngeri. Percuma saja punya mobil bagus tetapi kelakuannya
seperti manusia purba.
“Jam segini juga belum telat, kok,” kataku.
“Kamu sih enggak, tapi aku yang bakal telat!” bentaknya dengan wajah
memerah.
“Aku bisa minta jemput Jia, kok, kalau kamu nggak bisa antar,” balasku,
meski aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri.
“Buruan!” Aga tidak membalas ucapanku, malah memaksaku naik ke mobil.
“Hari ini aku ada meeting penting. Telat masuk kerja setelah seminggu cuti itu
nggak enak.” BUKUNE
Sepertinya dia berniat membuatku semakin merasa bersalah.
“Dua puluh menit lagi nyampe, kok. Abis itu kamu bisa langsung pergi,”
sahutku malas-malasan.
“Abis nganter kamu ke kantor,” timpalnya.
“Nggak perlu, aku bisa ke kantor sendiri,” tolakku. Jika Aga memaksa
mengantarku ke kantor, bisa-bisa sepanjang jalan dia menceramahiku.
“Kamu pikir orangtuamu bakal bilang apa kalau aku ninggalin kamu gitu
aja?”
“Biar aku yang jelasin kalau kamu ada meeting penting.”
“Udahlah, kamu duduk diam aja. Aku nggak konsen nyetir kalau kamu
berisik.” Dan, setelah berkata begitu, dia malah menyalakan musik.
Aku menajamkan pendengaran. Mengapa dia malah memutar lagu sendu
seperti ini? Membuatku mengantuk saja.
Aku melirik Aga, perlahan mengulurkan tangan dan menekan tombol next,
berharap lagu selanjutnya berbeda. Namun, lagi-lagi lagu yang bernuansa sama.
Mendayu dan menyiksa.
Bunuh saja aku! Sebenarnya, siapa pria di sebelahku ini? Mengapa selera
musiknya begitu manis?
“Ini nggak ada lagu lain apa? Yang lebih semangat?” tanyaku memberanikan
diri.
“Itu kan lagu-lagi dari ponsel kamu,” jawabnya tanpa menoleh.
“Laguku? Kamu pindahin semuanya?”
“Iya.”
“Tapi kan ....”
“Kenapa? Ada masalah?”
Aku terpojok. “Enggak ..., cuma kaget aja,” sahutku asal.
“Aku cuma mikir kalau kamu bakal sering berada di mobil ini. Jadi, nggak
ada salahnya kita berbagi. Dimulai dari selera musik.”
Berbagi? Selera musik? Istilah BUKUNE
aneh apa itu? Mengapa bukan berbagi uang?
Kedengarannya lebih menguntungkan.
Tanganku sudah akan menekan tombol next, tetapi kalah cepat dengan Aga.

Maukah kau ‘tuk menjadi pilihanku?


Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau ‘tuk menjadi yang pertama
Yang selalu ada di saat pagi ku membuka mata
(Pilihanku, Maliq & D’Essentials)

“Yang ini bukan laguku!” aku memprotes.[]


Pelajaran

E ntah sejak kapan, aku hafal wangi parfum Aga. Aku menyukai perpaduan
wangi segar dan manisnya, seperti kayu manis dan vanila yang tidak terlalu
pekat. Rasanya, jika aku memejam, aku dapat merasakan wanginya lebih dalam.
“Jangan tidur dulu.”
Aku tersentak dan membuka mata. “Siapa juga yang tidur?” kilahku.
“Kamu selalu aja tidur kalau di mobilku. Emangnya tidur kamu semalam
belum cukup?” tanyanya.
“Aku tidur kalau emang lagi ngantuk. Kalau aku ketiduran di mobil kamu, itu
artinya aku ngantuk,” jawabku asal.
Hari ini jadwalku menemani Aga menghadiri pernikahan temannya. Awalnya,
BUKUNE
aku menolak, tetapi bukan Aga namanya jika tidak berhasil memaksaku. Kata
Aga, aku dan dia harus saling mendukung. Ya, kami memang dua orang yang
sedang terikat perjanjian aneh.
“Rambutmu jadi berantakan.” Aga meraih helaian rambutku yang terlepas dari
ikatan, kemudian merapikannya. Mendadak, wangi parfum Aga semakin kuat.
Rasanya aku terkena sindrom mendadak-mau-mati-saja.
Aku menatap Aga dengan ngeri. Heran dengan kelakuannya yang mendadak
manis. Seperti bukan Aga saja.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Kenapa apanya?” Aga balas bertanya.
“Kenapa kayak gini?”
“Kayak gini, maksudnya?”
“Ah, udahlah, nggak penting,” kataku akhirnya.
Jika disuruh memilih, aku lebih suka Aga yang biasanya. Yang suka memarahi
dan menghinaku. Aga yang bersikap baik dan terlalu manis membuatku takut
ada hal buruk yang dia rencanakan. Aku sudah terbiasa mendapati Aga yang
kasar dan usil. Jika mendadak penuh perhatian dan berusaha romantis, rasanya
sangat aneh. Dan, sedikit perubahan itu menumbuhkan banyak spekulasi.
“Nanti jangan lama-lama, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa? Ada acara?”
“Males aja di tempat ramai.”
“Pantesan kuper,” sahut Aga singkat.
“Sama aja, kamu juga!” ledekku. Aga juga tidak memiliki lebih banyak teman
dibandingkan denganku, makanya kerjaannya hanya membuntutiku terus.
“Bisa nggak, sih, kamu panggil aku dengan sebutan yang lebih sopan?”
Aku menatap Aga bingung. Apa maksudnya? Memang selama ini aku kurang
sopan apa lagi?
“Aku lebih tua dari kamu, dan kamu selalu panggil aku dengan sebutan
‘kamu’, tanpa embel-embel.”
Aku melongo mendengarnya. Apa-apaan ini?
“Lalu?” BUKUNE
“Pikirin aja sendiri apa maksud omonganku,” sahut Aga ketus. “Ayo turun.
Udah nyampe.”
Aku memasang muka cemberut.
“Jangan pegang-pegang.” Aku menarik tanganku yang sudah berada dalam
genggaman tangan Aga.
“Ingat kesepakatan kita,” dia berbisik di telingaku.
Aku hanya bisa mendesis geram dan merelakan tanganku dia genggam.
Sampai hari ini, aku belum menemukan keuntungan dari tawaran Aga kecuali
diantar jemput setiap hari. Sedangkan tujuan utama untuk membuat Ian sakit hati
belum berhasil dilaksanakan.
Aku berjalan tertatih mengikuti langkah Aga memasuki ballroom hotel. Aku
tidak suka dimanfaatkan Aga seperti ini, dia selalu mencari keuntungan—yang
sebenarnya tidak terlalu merugikanku juga. Hanya saja, terkadang aku kesal
dengan sikapnya yang seperti memamerkanku di hadapan para teman dan rekan
bisnisnya. Aga akan dengan bangga memperkenalkanku sebagai tunangannya di
hadapan semua orang.
“Aku ambilin minum,” katanya dengan nada lembut. Mulai lagi
sandiwaranya.
Aku duduk di kursi sambil menunggu Aga. Aku tidak suka keramaian, pesta,
dan orang-orang tak dikenal. Semua itu membuatku merasa terasing.
Tiba-tiba, lenganku dicengkeram dengan sangat kuat. Aku menoleh dan
mendapati seseorang sedang berdiri di sampingku dengan wajah menahan
marah.
Ian!
“Ke mana saja kamu?!” Ian menarik tanganku lebih keras sehingga mau tidak
mau aku bangkit dari dudukku agar tidak terjatuh dari kursi.
“Lepasin!” kataku dengan suara bergetar. Suara musik yang terdengar dari
seluruh penjuru ruangan membuat suaraku teredam.
“Kenapa ponsel kamu nggak aktif?! Kamu sengaja, ‘kan?!” Ian terus menarik
BUKUNE
tanganku, mau tidak mau aku mengikuti langkahnya yang berjalan menjauhi
keramaian, ke lorong belakang yang saat ini sepi, tidak dilewati orang.
“Sakit, Ian! Lepasin!” pintaku sambil menahan tangis.
“Berani-beraninya kamu ngelupain aku dengan cara kayak gini!” bentak Ian.
“Ngaku aja kalau kamu selingkuh, ngaku aja kalau kamu nggak bisa setia, ngaku
ka—”
Buuuk! Terdengar suara berdebam.
“Ini pelajaran buat kamu karena udah nyakitin Fla!”
Buuuuuk! Pukulan lain menyusul. Kepalan Aga mengeras, berikut rahangnya
yang mengetat dan matanya yang menyala marah.
“Dan, ini karena kamu udah bikin Fla nangis!”
Aku memejam, hanya bisa mendengar hantaman lainnya tanpa berani melihat.
Seseorang menarikku. Aku hampir menangis saat akhirnya menyadari bahwa
aku sudah berada dalam pelukan Aga.
“Jangan ganggu Fla lagi atau aku bakal ngehajar kamu lebih parah dari ini!”
Napas Aga terdengar memburu
Ian yang terhuyung karena pukulan Aga perlahan bangkit. Dia seakan tidak
percaya melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Aku berpaling,
mendadak merasa jijik melihat wajahnya.
Aga segera membawaku pergi. Ian meneriakkan namaku, tetapi aku tidak
peduli lagi. Aku tidak mau mendengar penjelasannya, apa pun itu.
“Kita udah bikin onar di pesta orang,” kataku, berusaha mencairkan suasana
yang tegang.
“Nggak ada yang lihat,” jawab Aga sambil menatapku. Lalu, “Kamu nggak
apa-apa, ‘kan?”
Aku hanya menggeleng. “Aku mau pulang,” pintaku.
Aga tidak menjawab, hanya membimbingku menuju pintu keluar.
“Ternyata Aga! Tante kira siapa.”
Langkah kami terhenti oleh suara seorang wanita yang sedang berdiri di dekat
pintu keluar. Aku tersentak dan BUKUNE
hampir saja akan melarikan diri lagi, tetapi
rangkulan Aga begitu kuat. Sekujur tubuhku gemetar dan persendianku terasa
melemah.
“Apa kabar, Tante?” Aga menghampiri wanita itu sambil menarikku. Padahal,
aku sudah memberikan kode bahwa aku tidak mau.
“Pacar kamu, ya?” Wanita itu memicingkan matanya, menilaiku. Dia bersikap
seakan tidak mengenaliku.
“Iya, Tante, ini Fla, tunanganku,” jelas Aga.
Wanita itu tidak berkata-kata lagi, hanya terus menatapku dari kepala sampai
kaki.
“Oh, ya, Ian mau nikah dua bulan lagi. Kamu bisa datang, ‘kan?”
Pandanganku terasa kabur. Sepertinya sebentar lagi aku akan menangis.
“Tante juga harus datang ke acara nikahan kami nanti,” sahut Aga.
“Waaah, kapan?” tanyanya dengan muka pura-pura antusias.
“Secepatnya,” kata Aga enteng. “Sudah, ya, Tante Maya, kami duluan. Mesti
jemput Mama dulu di bandara.” Aga menyalami wanita itu dan segera
menarikku ke luar.
Aku tersekat, menyembunyikan wajah di lengan Aga. Tangisku tidak bisa lagi
dicegah.[]

BUKUNE
Suatu Ketika

A ku menggosok-gosok mata. Tangisku tidak bisa berhenti. Aku merasa bodoh.


Ternyata selama ini aku terlalu percaya kepada Ian.
Awalnya, aku mengira Ian terpaksa melakukan ini semua. Bahwa mungkin
sebenarnya dia tidak mau. Nyatanya? Dia bahkan akan segera menikah.
Berapa banyak waktuku yang terbuang sia-sia bersama Ian? Aku tidak pernah
memikirkan akan seperti ini akhirnya. Jika memang kami harus putus, kukira
penyebabnya pastilah karena mamanya yang tidak menyukaiku. Tidak pernah
terbayang bahwa Ian akan berselingkuh dan membohongiku seperti ini.
“Kamu bodoh kalau nangis buat orang kayak dia.”
Aku menoleh kepada Aga yang berbicara dengan nada datar.
BUKUNE
“Aku nggak nangis gara-gara dia!”
Aga menarik tanganku yang dari tadi kugunakan untuk menggosok mata. Aga
menatap lurus kepada mataku yang basah.
“Maafin aku,” kataku, setengah berbisik.
Aga menghentikan langkah dan menatapku tajam. “Maaf buat apa?” Suara
Aga terdengar seperti menahan marah.
“Buat semua kekacauan yang terjadi.” Aku menunduk, tidak berani
menatapnya.
“Pria berengsek itu yang seharusnya minta maaf, bukan kamu!” Aga
melepaskan genggaman, kemudian membuka pintu mobil. Setelah itu, dia
membantingnya dengan kasar.
Aku hanya bisa terdiam sambil mengikuti Aga masuk ke mobil.
“Aku nggak mau kamu nangis lagi gara-gara dia.” Aga menatapku tajam.
“Kamu tahu dia nggak berharga untuk ditangisin. Dia bakal tahu akibatnya kalau
berani muncul di hadapan kamu lagi.”
Aku bergidik ngeri. Saat ini, sosok Aga seperti pembunuh bayaran yang siap
mengakhiri hidup siapa saja yang mengganggunya.

“Kamu jangan ganggu aku. Sana pergi!” usirku.
Aku sedang membongkar isi kulkas di rumah Aga, siapa tahu ada bahan
makanan yang bisa dimasak. Namun, Aga yang sejak tadi mondar-mandir di
dapur membuatku terganggu. Sepanjang perjalanan pulang, Aga terus mengeluh
kelaparan dan memaksaku memasak untuknya.
“Ini kan rumahku,” sahutnya pendek.
“Tapi jangan ganggu aku dulu. Aku nggak bisa masak kalau kamu berkeliaran
terus kayak gitu.”
“Oke, aku duduk di sini aja.” Aga kemudian mengambil sebuah kursi dan
duduk di atasnya.
“Aku juga nggak bisa masak kalau kamu pelototin begitu,” kataku geram.
“Anggap aja kamu lagi ikut kontes
BUKUNEmemasak dan aku jurinya.” Dia tertawa
mengejek.
Aku berhenti memedulikannya. Aku sudah tidak memiliki tenaga untuk
bertengkar. Perutku keroncongan dan sisa tenagaku hanya bisa digunakan untuk
mengolah bahan makanan.
“Jangan lama-lama. Aku udah lapar.” Suara menyebalkannya kembali
terdengar.
“Kalau lapar, beli makan di luar aja sana.”
“Mumpung di sini ada yang gratis, ngapain repot beli di luar segala?”
“Minum aja air putih banyak-banyak buat nunda lapar.”
“Tukang masak aneh,” cibirnya.
Aku mengupas bawang merah dan mengirisnya dengan kesal. Ditambah lagi,
tidak ada bahan makanan apa pun di kulkas, membuatku semakin kesal. Hanya
ada telur dan beberapa ikat sayuran yang sudah layu. Aku tidak bisa
membayangkan jika isi kulkas di rumahku seperti ini, bisa-bisa kami sekeluarga
terkena busung lapar.
“Jadi, kamu mau masak apa?” Tiba-tiba saja Aga sudah berdiri di sampingku.
Aku memelotot menatapnya.
“Omelet.” Aku tidak punya pilihan.
“Nggak bisa bikin yang lain apa?”
“Salahin isi kulkas kamu.” Aku mengambil pisau yang kugunakan untuk
mengiris bawang tadi dan membawanya ke wastafel untuk dicuci
“Aduuuh!” jeritku tertahan.
“Kenapa?”
“Kena pisau,” sahutku, berusaha menghentikan aliran darah yang keluar dari
jariku yang terluka.
“Kamu ceroboh banget, sih! Kalau nggak bisa, kasih tahu. Nyusahin aja!” kata
Aga sambil berlalu.
Aku menghela napas. Antara menahan sakit dan kesal.
“Siniin tangan kamu,” kata Aga tiba-tiba. Di tangannya sudah ada kapas dan
obat luka.
BUKUNE
Mau tidak mau, aku mengulurkan tangan sambil menahan perih.
Kini, kami berdiri berhadapan. Aga menghentikan darah di jariku dengan
kapas, kemudian mengoleskan obat luka. Aku meringis menahan sakit.
“Makanya, jangan banyak pikiran kalau lagi masak,” ujarnya sambil
membungkus tanganku dengan plester luka.
“Aku nggak lagi banyak pikiran!” protesku. Enak saja, pasti dia mau
menghubungkan kejadian ini dengan Ian. Aku menatapnya tajam.
“Diam dulu. Aku belum selesai,” omelnya lagi.
Ketika Aga selesai mengobati lukaku, posisi kami belum juga berubah. Aga
masih berdiri sambil memegangi tanganku dan aku masih bengong sambil
menatap wajahnya.
Sedetik kemudian, jarak di antara kami semakin menipis. Aku tidak tahu
mengapa kakiku terasa seperti terpaku di lantai, tidak bisa bergerak meski napas
Aga sudah berembus begitu dekat.
Kemudian, bibirnya menyentuh bibirku.[]
BUKUNE
BUKUNE
Jangan Pergi

M engapa aku tidak bisa menahan diri?


Aku mendadak ragu dan ketakutan jika di mata Fla aku sama saja dengan Ian
yang hanya memanfaatkan kesempatan. Aku menghela napas. Frustrasi.
Bagaimana ini? Bagaimana jika Fla tiba-tiba menjauhiku karena kelakuanku
barusan?
“Lebih baik aku pulang.” Suara Fla menarikku dari lamunan.
“Kita makan di luar aja,” ujarku cepat.
Situasi berubah kikuk. Buru-buru aku mengambil kunci mobil. Aku tidak
berani menatap wajahnya.
“Tiba-tiba aku nggak lapar lagi,” katanya.
BUKUNE
“Tunggu di rumah. Biar aku yang pergi beli makanan,” ujarku dengan nada
memerintah.
Sebenarnya, makanan bisa kupesan dari rumah. Namun, dengan beralasan
membeli makan di luar, aku jadi memiliki waktu untuk menghindari suasana
canggung di antara kami.

Aku pulang setelah beberapa puluh menit berputar-putar tanpa tujuan, yang
malah membuat kepalaku semakin pusing. Perut kelaparan dan kepala sakit,
benar-benar kombinasi bagus.
Dan, dengan bodohnya, aku tidak membawa makanan. Pikiranku sedang
kalut. Dikerubuti banyak pikiran.
Sesampainya di rumah, tercium aroma masakan. Perutku mendadak menjerit
kelaparan.
Fla memasak?
Buru-buru aku melangkahkan kaki ke dapur. Aku bisa melihat Fla di depan
wastafel, mencuci wajan dan peralatan masak dengan sebelah tangan. Tangan
yang terluka tadi dialihkannya agar tidak terkena air.
“Biar aku aja.” Aku mengambil alih pekerjaan Fla. Sekilas, mataku
menangkap keberadaan sepiring nasi dan omelet di atas meja. Namun, mengapa
cuma sepiring?
“Udah aku masakin. Aku pulang dulu,” katanya dengan nada dingin. Aku bisa
merasakan hawa kecanggungan di antara kami.
“Makan dulu,” ujarku.
“Nanti aja di rumah.”
“Aku antar.” Aku menahan emosi.
“Aku bisa pulang sendiri.”
“Fla ....” Aku berhenti karena amarahku sudah mencapai ubun-ubun. Aku
tidak suka dibantah ketika suasana hatiku seperti ini.
“Aku harus pulang sekarang,” bisiknya.
BUKUNE
Sebuah reaksi tak biasa dari Fla yang galak dan suka marah-marah. Aku
sampai harus berjalan mendekatinya agar bisa mendengar dengan jelas apa yang
dia ucapkan.
“Aku ....” Fla terdiam, mendadak melangkah mundur saat aku mendekatinya.
“Aku harus pulang.” Wajah Fla memucat.
Apa ada kata-kataku yang menyinggungnya? Atau sebenarnya ini masalah
ciuman tadi?
“Maafin aku,” kataku akhirnya. Aku tahu dia marah gara-gara tindakanku
tadi.
Fla menggeleng dan berbicara tidak jelas. Aku tidak bisa menangkap kata-
katanya.
“Aku pulang.” Fla berbalik dan berjalan tergesa.
“Aku mohon ..., jangan pergi ....” Aku berhasil menarik lengannya sebelum
dia mencapai pintu.[]
BUKUNE
BUKUNE
Pacaran

A ku menahan napas ketika tangan Aga mencekalku. Aku tidak bisa


memikirkan apa pun selain pertanyaan mengapa dia menciumku.
“Jangan pergi,” ulang Aga sekali lagi.
Aku dan Aga berhadapan. Aku melangkah mundur, takut Aga akan bertindak
nekat dan menciumku lagi.
“Aku harus pulang.”
“Jangan!” Aga semakin mengeratkan cengkeramannya.
Ya Tuhan, apa salahku sampai hari ini disiksa oleh dua pria menyebalkan?
“Kenapa kamu nyium aku?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Ya karena aku cinta kamu,” jawab Aga.
BUKUNE
“Aku nggak ngerti!” Apa-apaan, sih, dia?
“Maksudku ..., kita harus pacaran,” lanjutnya.
“Aku nggak mau! Kamu gila!” jeritku.
“Aku udah nyium kamu, jadi aku nggak bisa ngelepas kamu gitu aja,”
ucapnya menyebalkan.
“Aku nggak butuh tanggung jawab kamu!” Aku berhasil melepaskan cekalan
tangan Aga, tetapi sebagai gantinya dia malah menarik tanganku yang satunya.
Hanya sebuah ciuman. Aku tidak akan hamil anaknya hanya dengan sebuah
ciuman. Aku masih waras dan ingin mendapatkan pria lain untuk kunikahi.
Siapa pun, selain dia.
“Pokoknya, kita tetap harus pacaran!” katanya tegas.
Pria ini tidak waras! Apa sebenarnya yang ada di pikirannya? Belum
cukupkah yang dia lakukan kepadaku dulu? Menolak dan mempermalukanku?
Apa saat ini dia menganggapku sebagai mainannya?
Aku tidak mengerti dan, sekeras apa pun aku berpikir, aku tetap tidak bisa
menemukan benang merahnya. Dia dulu menolakku mentah-mentah, jadi
mengapa dia sekarang malah berbalik menginginkanku?
“Aku nggak suka penolakan.”
“Terserah kamu!” kataku sambil bergegas mencapai pintu keluar. Napasku
terasa sesak jika harus berada di ruangan yang sama dengan pria gila ini. Aku
tidak bisa bernapas, tidak bisa berpikir dengan benar.
“Mau ke mana?” Lagi-lagi tanganku berhasil ditariknya.
“Kamu nggak perlu tahu.”
“Mulai sekarang, bersikaplah yang baik. Jangan suka memancing emosiku,”
Aga berbisik di telingaku. Sejenak, tubuhku terasa merinding.
“Aku nggak mau jadi pacar kamu! Dan jangan harap aku bakal bersikap
baik!” Pria ini benar-benar sudah tidak waras. Atas dasar apa dia ingin aku jadi
pacarnya? Hanya gara-gara ciuman tadi? Enak saja! Tidak semudah itu.
“Kamu bakal merasakan akibatnya kalau menolakku,” ancamnya dengan
wajah serius. BUKUNE
“Aku nggak takut!” tantangku.
“Aku bisa bertindak nekat kalau itu mau kamu.” Aga menarik tanganku lebih
keras sehingga tubuhku mendarat tepat di pelukannya.
“Kamu mau apa?!” bentakku.
“Bikin kamu bilang iya.” Aga merapatkan tubuhnya ke tubuhku.
“Sekali enggak, tetap enggak!” Aku menggeliat, berusaha melepaskan diri
dari pelukannya—meski sepertinya Aga memiliki magnet aneh yang membuat
siapa saja rela berada di pelukannya—sial, bukan itu yang ingin kubahas
sekarang!
“Masih nggak mau juga?” Napas Aga berembus tepat di wajahku.
“Lepasin!” Tenagaku terkuras—aku bahkan belum makan. Seluruh tubuhku
terasa gemetar.
“Iya atau enggak?!” desaknya lagi.
“Enggak!” ulangku sekali lagi. Pria macam apa dia, memaksaku untuk
menjadi pacarnya. Jelas-jelas sudah berulang kali aku mengatakan tidak.
“Kalau gitu, bakal aku laporin ke mama kamu kalau kamu selama ini diam-
diam masih menjalin hubungan dengan Ian.” Aga tersenyum licik, tertawa di
sela-sela sulitnya aku menarik napas karena terlalu kesal.
Bayangan Mama yang menangis berputar-putar di kepalaku. Mama jarang
sekali menangis. Dan, aku tidak mau hal itu terjadi lagi. Dia pasti akan sangat
kecewa karena aku tidak jujur kepadanya, terutama jika dia sampai tahu apa
yang telah Ian lakukan.
“Kamu tuh—” Aku terdiam, tidak punya alasan lagi untuk mengelak.
“Bagus, mulai hari ini kita pacaran!”
Aga melepaskan pelukannya, membuatku nyaris terjatuh karena sekujur
tubuhku terasa lumpuh.[]

BUKUNE
Aturan Aga

“A ku punya aturan.”
Aku menatap si pemilik suara.
“Aku nggak mau kamu berhubungan dengan pria mana pun selain aku,”
ucapnya tegas.
Aku menghela napas panjang. Menyedihkan sekali nasibku, seperti sedang
hidup pada zaman penjajahan.
“Aku harus tahu ke mana kamu pergi, jadi kamu nggak boleh sekali pun lupa
ngasih tahu aku,” lanjutnya.
“Aku juga punya peraturan yang sama buat kamu,” balasku kesal.
“Nggak masalah,” jawabnya santai.
BUKUNE
“Aku nggak mau hidupku diatur-atur sama kamu.”
“Permintaan ditolak. Aku tetap bakal ngatur hidup kamu, suka atau enggak.”
“Kenapa nggak sekalian kamu sandera aku, biar dua puluh empat jam bisa
sama kamu terus?” kataku sinis.
“Kamu mau?”
“Ya enggaklah!” sergahku dongkol. “Sekarang, aku pengin pulang. Kamu
nggak bosan apa lihat aku berkeliaran di rumah kamu?”
“Kenapa pengin pulang?” Bukannya mengiakan, dia malah balik bertanya.
“Ngantuk, pengin tidur,” tukasku asal.
“Tidur di sini aja.”
“Aku punya rumah sendiri. Jadi kalau ngantuk, aku harus tidur di rumahku.”
“Rumah ini juga bakal jadi rumah kamu.”
Aku menggeram kesal. “Kita cuma berdua di sini, nanti timbul fitnah.”
Bahasaku sudah mulai ngawur.
“Malah bagus, ‘kan, kalau cuma kita berdua.” Dia terkekeh.
“Aku bunuh kamu kalau berani macam-macam!”

Beberapa hari ini benar-benar melelahkan bagiku. Seluruh hidupku berpusat di
sekitar Aga. Menjadi pacar Aga ternyata harus siap dibayang-bayangi olehnya
setiap saat. Pagi hari, dia sudah menikmati teh madu di rumahku. Sepanjang
perjalanan ke kantor, hanya wajahnya yang bisa kulihat. Dan, selama bekerja,
suara Aga menghantuiku beberapa jam sekali. Dia tidak bosan-bosannya
meneleponku, menanyakan ini itu. Padahal, aku sudah memperingatkannya,
bahwa selama jam kerja, aku dilarang menggunakan ponsel. Namun, Aga tidak
kekurangan ide, dia meneleponku melalui telepon kantor.
Rasanya seperti dikejar-kejar debt collector.
Semasa bersama Ian, aku tidak pernah mengalami hal seperti ini. Ian memang
posesif, tetapi dia tidak pernah berkeliaran di dekatku 24 jam sehari. Ian jarang
ada saat aku butuh, dia tahunya hanya marah-marah jika cemburu.
Dengan Aga, ada yang berubah dalam hidupku.
BUKUNE
Apa yang ingin dia capai dengan memaksaku menjadi pacarnya? Apa
keuntungan yang dia dapatkan? Kurasa tidak ada. Aku bukan selebritas, dia
tidak akan terkenal hanya dengan menjadi pacarku.

AGA
Pulang duluan aja, pake taksi.
Aku g bs jemput, ada meeting sampai malam.

Pesan dari Aga masuk tepat saat jam pulang kantor. Seandainya lebih awal,
aku bisa minta jemput Jia.
Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar kantor, aku melihat keberadaan
sebuah mobil yang sangat kukenal.
Mobil Ian!
Mengapa mobilnya ada di depan kantorku?
Aku bergegas masuk kembali dengan kaki goyah. Buru-buru aku menekan
nomor ponsel Aga. Hanya dia yang bisa menolongku sekarang. Aku takut Ian
akan bertindak nekat seperti kemarin. Sayangnya, meski sudah kutelepon sampai
tiga kali, Aga tetap tidak mengangkat.
Dari dinding kaca, aku melihat Ian keluar dari mobilnya.
Aku harus segera pergi.[]

BUKUNE
Maaf

S emoga Ian hanya mampir ke ATM, pintaku dalam hati.


“Mbak Fla, dicariin sama Mas yang di depan.” Sekuriti kantor membuka pintu
dan menghampiriku.
“Bilang aku sudah pulang,” kataku sambil berbisik.
“Tapi, dia bisa lihat Mbak Fla dari luar.” Si sekuriti menunjuk pintu kaca yang
transparan. Mati aku!
“Bilang aku masih banyak kerjaan atau apalah.”
“Katanya dia mau ngobrol sebentar aja, Mbak.”
Aku menghela napas panjang.
Apa mau Ian?!
BUKUNE
Aku takut Ian akan bersikap kasar seperti saat terakhir kali kami bertemu.
“Mbak, Mas yang di depan nitip ini.” Sekuriti kantorku muncul kembali dan
menyerahkan secarik kertas.

Temui aku sebentar aja, Fla.


Aku janji setelah ini akan pergi.

Aku menatap sekuriti yang dari tadi berperan sebagai kurir pembawa pesan,
kemudian menghela napas panjang.
Dengan langkah berat, aku membuka pintu. Langkahku semakin ragu ketika
Ian menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Mungkin ini salah satu
kesalahan terbodoh yang pernah kulakukan, bertemu dengan mantan pacar
setelah dikhianati.
“Fla ....” Suara Ian terdengar pelan, tetapi aku tidak perlu menajamkan
pendengaran hanya untuk mendengarnya menyebut namaku.
“Ada apa?” tanyaku tak kalah pelan.
“Maaf ....”
Aku mematung, tidak tahu harus berbicara apa. Inilah akhir hubunganku dan
Ian setelah beberapa tahun bersama. Sama-sama bersembunyi dari orangtua.
Akhirnya, kenangan itu akan usai dalam situasi canggung.
“Kita harus bicara,” lanjutnya.
Aku menatapnya bingung.
“Bicara apa lagi?” tanyaku dingin.
“Bisa ke mobilku? Kita bicara di sana saja, nggak enak di sini.”
Aku menggeleng tegas.
“Sumpah, Fla, aku nggak bakal macam-macam. Aku cuma pengin ngobrol.”
Suara Ian terdengar frustrasi.
“Di sini aja,” aku tetap bersikeras.
BUKUNE
“Fla, aku janji nggak bakal nyakitin kamu lagi. Tapi aku mohon, aku cuma
ingin meluruskan semua masalah yang terjadi,” jelasnya.
Memangnya apa lagi yang perlu diluruskan? Dia pikir aku buta?
Aku memalingkan wajah. “Oke. Cuma sebentar.”
Aku mengikuti Ian menuju mobil. Saat sudah berada di dekat mobilnya,
langkahku terhenti.
“Kamu boleh pegang kunci mobilku. Aku nggak bakal bawa kamu kabur,”
kata Ian, seolah tahu apa yang kupikirkan.
Ragu-ragu, aku menerima kunci tersebut.
“Masuk, Fla. Banyak yang harus aku ceritakan.”
Aku menimbang-nimbang. “Aku nggak punya banyak waktu. Lima belas
menit.”
Kubuka pintu mobil Ian dan, sambil berdoa, aku berharap Ian tidak
bermaksud buruk terhadapku. Samar, aku bisa melihat Ian tersenyum sambil
menatapku.
“Aku kangen kamu,” ucapnya lirih.
Aku tidak ingin menanggapi, jadi aku hanya diam sambil memandang lurus ke
depan.
“Aku emang udah banyak bohong sama kamu. Kesalahanku udah nggak
termaafkan lagi,” dia memulai. “Fla ..., aku sayang banget sama kamu.”
Aku akui, perasaanku sedikit terguncang setelah bertatap muka dan
mendengar ucapannya. Kupikir, aku akan kuat mendengar apa pun yang keluar
dari mulutnya. Ternyata, aku salah.
“Kenapa kamu tega ngelakuin semua ini?” tanyaku. Suaraku masih terdengar
datar, tetapi sebenarnya aku sedang menahan tangis.
“Aku nggak mau nyakitin kamu, makanya aku nutupin semua ini.”
“Kamu pengecut!” umpatku.
“Maaf, Fla ....” Ian mengulurkan tangan, hendak menyentuh bahuku, tetapi
segera kutepiskan.
“Aku nggak pernah kepikiran kalau Mama serius dengan permintaannya.
Sampai dia mengancam akan mengusirku kalau aku nggak nikah dengan wanita
pilihannya.” BUKUNE
“Kamu ngarang semua kebohongan ini cuma buat ngedapetin semua yang
kamu mau. Kamu nggak berani ngambil risiko. Kamu cuma mikirin perasaan
sendiri.” Semuanya terlontar begitu saja dari mulutku.
“Aku nyesel, Fla. Bukan ini yang kumau.”
“Ini yang kamu mau! Jadi terimalah, apa pun yang terjadi.”
“Aku nggak bisa, Fla. Aku nggak bisa kalau kamu pergi. Aku nggak bisa lihat
kamu sama pria lain.”
“Lalu, gimana dengan kamu? Kamu sendiri udah milih wanita lain.” Suaraku
mulai terdengar bergetar. “Ian, hubungan kita sampai di sini aja.”
Aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi, dan kali ini aku harus
menepatinya. Aku dan Ian sama-sama diam. Menyusuri jalan pikiran masing-
masing. Sunyi menjadi pihak ketiga di antara kami.
“Udah lima belas menit. Aku harus pulang.” Aku membuka pintu mobil.
“Aku antar kamu pulang buat ... terakhir kalinya,” kata Ian pelan.
“Aku bisa pulang sendiri,” balasku.
Baru saja aku mendorong pintu, tanganku ditarik oleh Ian.
“Kenapa kamu nolak aku?!” Suaranya terdengar marah. “Apa gara-gara pria
itu?!” lanjutnya lagi.
“Dia nggak ada hubungannya dengan kita!” bentakku kesal.
Tiba-tiba, tubuhku terempas kasar ke kursi. Ian menarik tanganku lagi dengan
tatapan mata penuh kemarahan. Aku menepiskan tangan Ian dan, dengan sekuat
tenaga, berusaha keluar dari mobil.
“Kamu nggak boleh pergi!”
“Kamu gila!”
“Kamu harus tetap di sini!”
“Ian! “ jeritku.
Aku masih tidak bisa melepaskan tanganku, tetapi pintu mobil sudah terbuka.
Tinggal selangkah lagi, aku bisa terlepas dari Ian.
Braaak!!! Suara hantaman keras terdengar jelas di telingaku.
Tepat di samping Ian, wajah Aga terlihat jelas dari balik kaca mobil.[]
BUKUNE
Akhir Kesepakatan

A ku memanfaatkan kedatangan Aga dan melompat keluar. Ian, yang terpecah


konsentrasinya, tidak sempat menarik tanganku lagi. Hampir saja kaca mobil Ian
dipecahkan Aga jika Ian tidak buru-buru membuka pintunya.
Aga menarik kerah baju Ian dengan kasar. Wajahnya tampak murka.
“Aku udah peringatin kamu buat nggak nemuin Fla lagi atau aku bakal
ngehajar kamu lebih parah!” ucapnya geram.
“Kenapa kamu selalu iri dengan kehidupanku?!” Terdengar nada menantang
dari kata-kata Ian.
Aku menahan napas, tidak menyangka Ian akan berani melawan Aga.
Awalnya, Aga hanya diam, tidak menanggapi kata-kata Ian, hanya menatap
BUKUNE
tajam penuh kemarahan. Sedangkan Ian terus mengoceh, mengatakan bahwa
Aga iri, merasa tersaingi, dan hal lainnya yang bermakna sama.
“Iri, kamu bilang? Buat apa aku iri dengan kehidupan kamu yang menjijikkan
itu?” jawab Aga datar.
Aku masih terdiam di samping mobil Ian, bingung. Memisahkan mereka
berdua? Tidak mungkin.
“Kamu selalu merebut apa pun yang aku punya. Kamu iri, ‘kan, dengan apa
yang aku dapatkan? Bahkan bekasku saja masih kamu pungut.”
Bersamaan dengan kalimat terakhir Ian, terdengar gebukan keras yang
membuatku memejam. Saat aku kembali membuka mata, Ian sudah tergeletak di
jalan sambil berteriak kesakitan.
Refleks, aku menjerit ketakutan. Pikiranku bercabang dua, antara menolong
Ian atau menarik Aga pergi agar tidak memukuli Ian lagi. Namun ..., kata-kata
Ian yang menyebutku sebagai “bekas”-nya membuat darahku mendidih.
“Sekali lagi kamu muncul di hadapan Fla, kamu bakal mati!” Suara Aga
terdengar mendesis, dadanya naik turun dengan cepat. “Kita pulang.” Aga
menarikku ke mobilnya.
Aku ingin menoleh ke belakang, memastikan kondisi Ian. Bagaimanapun,
setelah hal-hal menyakitkan yang terjadi, Ian pernah menjadi bagian penting
dalam hidupku. Aku tidak berharap Ian mengemis minta maaf. Aku hanya
berharap Ian tidak terluka parah, bisa pulang sendiri, dan tidak berurusan dengan
Aga lagi.
“Kenapa kamu nemuin dia?” tanya Aga setelah beberapa lama kami hanya
terdiam dan dia menyibukkan diri dengan mengemudikan mobil sekencang
mungkin. Dia sepertinya sudah gila, membawa mobil dengan penuh emosi dan
memaksaku ikut di dalamnya.
Tubuhku masih gemetar, membayangkan Ian yang berlumuran darah dan jerit
kesakitannya. Ditambah lagi kelakuan Aga yang sudah seperti preman, membuat
kepalaku terasa sakit.
BUKUNE
“Dia tiba-tiba datang,” aku membela diri.
“Kenapa harus masuk ke mobilnya?” Kali ini suara Aga meninggi.
“Tadi dia janji nggak bakal ngapa-ngapain.”
“Dan, kamu percaya? Buktinya dia hampir nyelakain kamu, ‘kan?!”
“Bukannya ini yang kamu pengin? Ngebuktiin ke Ian kalau kamu lebih
hebat?” Aku terpancing emosi karena perkataan Aga yang memojokkanku.
Kepalaku pusing sekali.
“Apa maksud kamu?” Mendadak, Aga menghentikan mobilnya dan
menatapku tajam. Wajah Aga terlihat tegang.
“Iya, semua yang terjadi selama ini di antara kita, emang sesuai dengan
rencanamu, ‘kan? Kamu dengar sendiri apa yang Ian bilang. Kamu selalu
ngerebut apa yang dia punya. Jadi, semua yang kita lakukan, sesuai rencana
kamu,” lanjutku sinis.
“Iya, benar, semua ini sesuai dengan rencanaku,” jawab Aga, seakan dia baru
saja memenangi sebuah peperangan. Rasanya, ingin kutendang saja dia sampai
wajahnya tidak lagi bisa dikenali.
“Jadi, aku cuma alat balas dendam?!”
“Sesuai kesepakatan kita, ‘kan?” jawab Aga enteng.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Seluruh tubuhku seperti ditindih beban
ribuan ton. Sakit.
“Kamu dan Ian sama aja! Yang bodoh itu aku, mau aja ngikutin permainan
kalian!” Ya, dari awal, semua ini hanya kebohongan, bukan? “Kita akhiri aja
semuanya!” kataku sambil menatap Aga tajam.
Aga, yang awalnya menatap mataku, langsung berpaling.
“Kamu nggak perlu bantuin aku lagi dan aku juga ngerasa udah nggak punya
tanggung jawab apa-apa lagi,” lanjutku.
Aga masih belum berbicara juga. Hanya saja, dari gerak-geriknya, terlihat
bahwa dia tidak senang dengan ucapanku. Aga menggenggam kemudi dengan
erat, raut wajahnya tidak bisa dijelaskan, pandangan matanya tajam, tetapi dia
masih saja tidak mau menatap ke arahku.
“Oke, kalau emang itu mau kamu,” akhirnya dia berkata.
Sebelum mendengar kelanjutannya, BUKUNE aku membuka pintu dengan tergesa,
menjauh dari mobil Aga. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan air
mataku mengalir tanpa henti.[]
Ingat Dia

H ari ini, bernapas membuatku sesak. Dadaku terasa sakit setiap kali sosok Aga
terlintas di pikiranku.
Semua kejadian seperti diputar ulang. Tingkahnya yang menyebalkan,
suaranya yang bernada memerintah, wajahnya yang sering kali tampak sinis.
Semua itu membuatku ingin menangis.
Ternyata, aku tidak berarti apa-apa bagi Aga. Sejak dulu. Aku hanya alat yang
dia gunakan untuk membalaskan dendam. Bisa-bisanya aku terjebak. Dan, kali
ini, rasanya jauh lebih menyakitkan daripada pengkhianatan Ian.
Kini, aku sulit berkonsentrasi saat bekerja. Terlebih lagi, aku harus terus
bersikap ramah terhadap nasabah. Pura-pura tersenyum, sedangkan pikiranku
kacau.
BUKUNE
Dering telepon menyadarkanku.
“Selamat siang, Bank Primatama Cabang Sudirman dengan Fla customer
service, ada yang bisa dibantu?”
“Fla, ini Tante Vina! Ponsel kamu nggak aktif.”
“Kalau lagi jam kerja, ponsel Fla di loker, Tante. Tante Vina apa kabar?”
tanyaku beramah-tamah.
“Aga kecelakaan.”
Aku sontak terdiam.
“Tante sekarang lagi di Semarang, nanti sore baru bisa pulang. Terakhir Tante
dapat kabar kalau Aga kecelakaan sekitar empat hari lalu. Abis itu, Tante nggak bisa
ngehubungi dia lagi, ponselnya nggak aktif. Setiap telepon ke rumah juga nggak ada
yang angkat,” jelas Tante Vina.
Aku hanya bisa menangkap samar-samar apa yang diucapkan Tante Vina,
selebihnya hanya kata-kata “Aga kecelakaan” yang memenuhi pikiranku. Empat
hari lalu, terakhir kali kami bertemu.
Apa Aga mengalami kecelakaan setelah kami bertengkar? Aga bodoh! Dia
sedang emosi saat itu, pasti dia tidak fokus saat menyetir, atau mungkin dia
menyetir dengan kecepatan yang hanya berani dilakukan oleh orang mabuk.
Apa dia terluka parah? Atau, jangan-jangan ....
“Tolong cek keadaan Aga, ya, Fla? Tante khawatir terjadi apa-apa sama dia.”
“I-iya, Tante.”
“Segera ya, Fla? Tolong kabari Tante nanti.”
Bayangan Aga kembali memenuhi otakku. Bedanya, kini aku membayangkan
tubuhnya terluka, penuh perban, dan ..., mendadak, aku gemetaran.[]

BUKUNE
Semoga

A ga ...!” Aku meneriakkan namanya karena setelah berkali-kali memencet bel


dan mengetuk, tidak ada jawaban. Apa mungkin dia tidak sedang berada di
rumah? Pikiranku semakin kalut. Jangan-jangan, Aga memang sudah dibawa ke
rumah sakit? Namun, ke rumah sakit mana?
Satu ide terlintas di kepalaku. Mungkin pintu belakang tidak terkunci.
Rasanya, aku sudah mirip maling pada siang bolong yang mengendap-endap di
halaman rumah orang.
Benar dugaanku, pintu belakang tidak terkunci. Ruangan gelap. Jendela
tertutup. Aku meraba-raba mencari sakelar.
Dua kamar di lantai bawah adalah kamar Tante Vina dan kamar tamu. Kamar
BUKUNE
Aga pasti salah satu dari tiga kamar di lantai dua.
Semoga Aga baik-baik saja, kalimat itu terucap terus di dalam hatiku selagi aku
menaiki tangga menuju lantai dua. Lampu menyala dari arah salah satu kamar di
sana. Itu pasti kamar Aga.
Aku mendorong pintu kamar Aga yang sedikit terbuka. Jantungku berdebar
semakin kencang. Semoga Aga baik-baik saja.
Aku menahan napas dan berjalan dengan mengendap-endap. Suasana kamar
remang-remang. Di pojok, terdapat sebuah tempat tidur berukuran kecil.
Seseorang terbaring dengan selimut yang hampir menyelimuti seluruh tubuhnya.
Langkahku semakin dekat dan mendadak aku menjadi sangat berdebar. Aku
duduk di samping ranjang, kemudian menyentuh lengan Aga yang tidak tertutup
selimut.
“Aga,” panggilku. Perasaan takut berkelebat di pikiranku. Apa Aga sedang
tertidur atau ....
Mata Aga mengerjap, gerakannya sangat pelan sehingga aku harus menahan
napas selama beberapa detik.
“Aga,” panggilku lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Keadaan kamu
gimana?” tanyaku saat matanya sudah terbuka sempurna.
Dia mengerjap lagi. Sorot matanya terlihat bingung. Mulutnya bergerak,
seperti ingin menyampaikan sesuatu.
“Masih sakit?” tanyaku lagi.
Aga mengangguk lemah.
Dia tidak bicara dan situasi berubah canggung.
Aku mengamatinya. Setelah beberapa hari tidak bertemu, aku merasa
kebingungan mendeskripsikan perasaanku saat ini.
“Udah ke rumah sakit?” Aku memecah keheningan.
“Udah mendingan, kok,” jawab Aga sambil tersenyum.
“Kok bisa sampai kecelakaan?”
Aga menatap mataku dalam-dalam. “Cuma jatuh dari tangga, tapi lumayan
parah sampai nggak bisa jalan.” BUKUNE
Seketika itu juga, aku tertawa tak percaya. Lega, kurasa.
“Jatuh dari tangga? Aku kira kamu tabrakan!” Aku masih terbahak. “Tadi
Tante Vina telepon, katanya kamu kecelakaan. Dalam bayangan aku, kamu udah
berdarah-darah.”
Namun, ini menjawab pertanyaan mengapa dia malah di rumah, bukannya di
rumah sakit. Jika dia kecelakaan di jalan raya, pastilah langsung masuk rumah
sakit dan tidak diperbolehkan pulang. Tidak heran juga Tante Vina masih di luar
kota, bukannya buru-buru pulang untuk mengecek keadaan anaknya.
“Mama telepon kamu?” tanya Aga.
“Iya, katanya ponselmu nggak aktif.”
Aga tersenyum masam.
“Kok bisa jatuh? Kamu mikirin apa?” tanyaku sambil tertawa. Sumpah, ini
sangat lucu!
“Iya, jatuhnya abis kamu kabur dari mobilku. Sampai di rumah, aku nggak
konsen. Jadi ya gitu, jatuh.”
Aku terdiam. Aku ikut ambil andil dalam kecelakaan ini.
“Maaf ...,” kataku pelan. Lalu, “Aku pulang dulu, ya. Aku seneng kamu baik-
baik aja.” Aku beranjak dari dudukku.
“Aaaaargh ...!”
Teriakan Aga memenuhi kamar. Aku yang baru saja menggapai kenop pintu,
langsung berbalik dan cepat-cepat menghampirinya.
Aga terbaring di lantai sambil merintih kesakitan.
“Kenapa juga harus turun dari tempat tidur segala? Tuh, kaki kamu makin
bengkak! Sakit?” Aku begitu panik sampai menanyakan hal bodoh seperti itu.
Tentu saja sakit.
“Kamu, sih, tiba-tiba pergi,” katanya kesal.
“Sini, aku bantu ke tempat tidur lagi.”
Aku berusaha mengangkat tubuhnya. Tentu saja gagal.
“Aku mau di sini aja,” kata Aga sambil menahan tanganku yang bersikeras
untuk menariknya ke ranjang. Aga meraih bantal dari tempat tidurnya, kemudian
BUKUNE
membaringkan diri di lantai. Aku menatap Aga bingung.
“Aku di sini aja, asal kamu nggak pergi,” katanya sambil menatapku. “Jangan
kabur lagi. Jangan bilang kamu mau hubungan kita berakhir.”
“Kamu juga setuju,” balasku.
“Makanya, kamu harus dengar dulu sampai aku selesai ngomong, jangan main
kabur gitu aja. Aku setuju mengakhiri semuanya untuk memulai yang baru,
tanpa ada sandiwara lagi,” jelas Aga, masih sambil menatapku.
“Aku nggak ngerti.”
“Aku nggak mau ada kesepakatan lagi, aku nggak mau ada timbal balik, aku
ingin semuanya benar-benar tulus. Aku cinta kamu, Fla. Aku udah pernah
bilang, ‘kan?”
Entakan jantungku terasa menyakitkan. Terlalu keras. Debarannya terlalu
kencang.
“Kamu pasti ngerjain aku lagi,” kataku tidak percaya.
“Aku nggak pernah ngerjain kamu, Fla. Aku serius.” Aga kemudian menarik
tubuhnya dan duduk bersandar di bantal.
“Kamu pernah mempermalukan aku dulu, menurut kamu itu apa kalau bukan
ngerjain?”
“Oke, aku minta maaf. Aku masih ... terlalu egois waktu itu. Dulu, aku punya
... semacam prinsip. Bahwa kalau ada cewek yang aku suka, harus aku yang
ngejar dia, harus aku yang duluan bilang suka. Makanya aku nolak kamu karena
aku ....” Aga terdiam sejenak. “Karena aku pengin jadi pihak yang mengejar,
bukan dikejar.”
Aku melongo.
“Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku emang salah waktu itu. Maafin
aku ....” Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Aku nggak percaya. Kamu selalu aja bohongin aku, kamu selalu senang
ngelihat aku susah, kamu yang nyebarin ke satu sekolah kalau aku naksir kamu,
kamu—” Aku terdiam saat Aga mendekatkan wajahnya ke wajahku.
BUKUNE
“Itu karena aku pengin kamu nyari aku, maki-maki aku. Aku udah keabisan
cara buat ketemu kamu. Maafin aku, ya,” ucapnya lirih.
Aku membatu. Kehilangan kata-kata. Jangan bilang dia sedang mengerjaiku!
“Ng ..., kayaknya kita harus ke rumah sakit. Ka-kaki kamu harus diperiksa.”
Aku mengalihkan pembicaraan, gugup.
“Nanti aja bicarain soal kakiku. Buat aku, sekarang kamu yang paling
penting.” Aga menatapku dengan penuh keyakinan. “Kita mulai semuanya dari
awal, ya? Kamu mau jadi pacar aku?”
“Bukannya kita emang udah pacaran?” tanyaku bingung.
Wajah Aga terlihat berseri. Dia mengangguk-angguk saat mendengar kata-
kataku. Dia tersenyum. Perpaduan yang sempurna, antara senyum dan ekspresi
angkuhnya. Dan, lagi-lagi, dia meremas tanganku.
Remasan tangan Aga terasa hangat menyentuh kulitku. Lidahku kelu setelah
pengakuannya tadi sehingga yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berpura-pura
tidak peduli. Padahal, untuk menarik napas saja terasa sulit.
“Ke rumah sakit, ya? Aku takut ada apa-apa sama kaki kamu,” kataku sambil
memalingkan wajah. Aku malu menatap Aga yang dari tadi sepertinya tidak
pernah lepas memandang dan mengamatiku.
Aga menggeleng sambil tersenyum. Sepertinya, aku melupakan fakta bahwa
Aga adalah pria paling menyebalkan di seluruh dunia. Dia ..., dan senyumnya,
terasa sangat menyejukkan. Aku baru tahu Aga memiliki senyum semanis itu
selain wajah sombong yang selama ini selalu ditunjukkannya di hadapanku.
“Takutnya ada tulang yang retak,” tambahku.
“Aku nggak apa-apa, Fla,” sahutnya enteng.
Aku membelalak. “Ka-kamu nggak apa-apa?” tanyaku, khawatir melihat
tingkah laku Aga yang semakin ganjil.
Dan, lagi-lagi dia membalas dengan senyum. Sial, oksigenku sudah mau habis
rasanya.
“Aga, jangan main-main, deh! Aku beneran khawatir, tapi kamu malah
senyum-senyum terus!”
BUKUNE
“Rasanya kayak mimpi,” bisiknya. Dia meremas tanganku lagi, kali ini
ditambah elusan ibu jari.
Jangan-jangan Aga mengalami gegar otak gara-gara jatuh? Aku hampir tidak
mengenalinya. Dia ... agak menyeramkan, menurutku.
“Emangnya nggak ada yang sakit?” Aku menyentuh keningnya dengan
sebelah tanganku yang bebas.
“Rasanya kangen ...,” bisiknya dengan raut wajah aneh.
“Aga! Kamu kenapa, sih?” tanyaku emosi. Sudah cukup semua kelakuan
menyebalkannya selama ini, mengapa sekarang dia bertingkah tidak masuk akal
begini?
“Aku ngantuk,” katanya, kemudian memeluk lenganku. Aku menatapnya tak
berkedip. “Beberapa hari ini, aku nggak bisa tidur gara-gara mikirin kamu.” Dia
memejam. Beberapa detik kemudian, embusan napasnya teras hangat menerpa
tanganku.
“Temani aku, ya,” katanya pelan. Besar kemungkinan, dia sedang mengigau.
Aku membiarkan tanganku berada dalam pelukan Aga hingga kurasakan
napasnya mulai teratur, yang berarti dia sudah terlelap. Aku menarik napas
panjang, mengabaikan perasaan yang memborbardirku. Seperti perasaan
bahagia, berdebar, cemas, semuanya berbaur menjadi satu.
Aku mengamati Aga. Dia tampak tidak terawat, kucel, dan acak-acakan.
Kasihan. Jangan-jangan dia malah belum mandi sejak terakhir kali kami
bertemu?
Aku melonggarkan pelukan Aga karena merasa pegal. Karena kasihan dan
tidak tega melihat Aga tertidur di lantai, aku menepuk pundaknya pelan.
“Pindah ke kasur, ya?” Dia bergeming. “Aga, nanti pinggang kamu sakit,”
bujukku lagi.
Aku menghela napas putus asa dan berakhir dengan memperhatikan isi kamar
Aga yang tadi tidak sempat kulirik.
Kamarnya sederhana, tidak ada pernak-pernik aneh yang menunjukkan
hobinya ataupun tempelan poster band favoritnya. Dinding kamarnya hampir
BUKUNE
kosong, hanya ada sebuah jam dinding di dekat pintu. Yang membuat kamar ini
bercirikan Aga hanyalah wangi samar parfum yang sering dia pakai. Aku
tersenyum. Sepertinya aku merindukan aroma itu.
“Aga,” panggilku lagi.
Aga menggumam tidak jelas dan dia kembali mengeratkan pelukannya pada
lenganku.
“Kamu belum makan, ‘kan?” tanyaku saat melihat nampan berisi sebungkus
nasi di meja sebelah tempat tidur. “Makan dulu, baru lanjut tidur.” Aku
mengguncang tubuhnya perlahan. Pria ini ternyata masih saja menyebalkan.
Mengapa dia berpura-pura seperti orang mati yang tidak bergerak sedikit pun?
“Aku suapin, ya?” kataku ragu.
Mata Aga terlihat mengerjap, kemudian membuka. Dia tersenyum sambil
menatapku penuh harap. Sial, sepertinya aku dikerjai lagi.
“Kayaknya aku lapar.”
Tuh, kan! Seandainya aku tadi tidak bilang bersedia menyuapinya, dia pasti
akan tetap berpura-pura tidur sekarang.
“Nih, makan sendiri!” kataku kesal sambil menyorongkan bungkusan nasinya.
“Tanganku pegal. Susah pegang sendok.” Dia merajuk.
Pegal apanya? Buktinya saja lenganku bisa dia peluk erat.
“Kamu ini beneran sakit atau cuma cari perhatian, sih?” gerutuku sambil
memberengut.
Aga terkekeh. “Dua-duanya.”
“Ayo, aku bantu kamu pindah ke kasur dulu,” kataku, tidak memedulikan
omongannya.
Aku menarik tangan Aga, dengan susah payah membantunya berdiri.
“Aduuuh, kakiku!” Aga berteriak kesakitan.
Aku panik dan langsung memeluk tubuhnya, mencegah agar dia tidak terjatuh.
“Ayo, Ga, gerakin kaki yang satunya. Aku pegal kalau kayak gini terus. Aga!”
Kali ini aku yang berteriak. Aga sepertinya sengaja tidak mau bergerak. Dia
malah keenakan menikmati pelukanku dan, sialnya, embusan napasnya di dekat
telingaku malah membuatku semakin tidak bisa berkonsentrasi.
BUKUNE
“Kita bisa jatuh kalau kamu kayak gini!” seruku kesal.
Aga hanya tertawa sambil mengelus kepalaku.
“Kamu beneran nggak bisa jalan atau cuma pura-pura, sih?” bentakku.
“Beneran nggak bisa jalan, makanya aku butuh bantuan.”
“Makanya buruan, jangan peluk-peluk!” kataku geram.
“Kamu yang duluan peluk aku.”
“Iya! Tapi, jangan balas peluk!”
“Udah jadi pacar, masih aja galak,” balasnya cemberut. Sejak kapan Aga bisa
memasang ekspresi seperti itu?
Aku menyandarkan kepala Aga ke bantal. Meski tubuhnya telah menyentuh
kasur, tangannya masih memeluk pinggangku. Aku meliriknya tajam, memberi
kode agar dia melepaskan dekapannya.
“Singkirin tangan kamu! Katanya mau makan!” ucapku ketus. Sebenarnya,
aku terlalu grogi untuk bersikap normal. Pria menyebalkan ini malah menempel
terus dari tadi. “Abis ini kita langsung periksa ke dokter aja, kayaknya emang
ada yang nggak beres sama kamu!”
Bagaimana tidak? Pelukan Aga yang begitu kuat mau tidak mau membuat
jarakku dan Aga semakin dekat. Posisi kami yang begitu aneh membuat wajahku
terasa memanas.
“Lepasin, Aga,” kataku lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan.
Kaki Aga memang terluka, tetapi tidak dengan tangannya. Energi yang begitu
besar dari tangannya membuatku tidak bisa melepaskan diri. Atau, mungkin aku
yang menjadi lemah gara-gara ketidakberesan hatiku.
Embusan napasnya semakin lama terasa semakin dekat. Aku berpaling, tidak
mau menatap wajahnya yang seolah memiliki magnet. Tangannya yang masih
memeluk pinggangku membuatku tidak bisa bergerak.[]

BUKUNE
Pink dan Putih

“A ga, gimana kakinya?”


Aku dan Aga serempak menoleh ke asal suara.
Di ambang pintu yang terbuka, tampak sosok Tante Vina, lengkap dengan
kacamata hitam dan tas branded-nya.
Aku mendorong Aga. Panik. Seluruh wajahku terasa panas.
Aga enggan melepaskan rangkulannya. Dia malah tersenyum masam
menyambut kedatangan mamanya.
“Mama udah khawatir setengah mati, eh ternyata di sini kamu baik-baik aja!”
Tante Vina berjalan mendekati kami.
Aku mencubit perut Aga sekuat tenaga agar dia melepaskanku.
BUKUNE
“Aduuuh!” teriaknya dan akhirnya aku terbebas.
Aku menarik napas lega, kemudian bergeser dan duduk di pinggir ranjang.
“Tante baru datang?” sapaku canggung.
“Iya, Tante khawatir sama Aga,” sahutnya sambil tersenyum, lalu
mengulurkan tangan untuk memeriksa kondisi anaknya.
“Sudah baikan, Ma.” Aga menepis tangan mamanya.
“Giliran Fla aja boleh disuruh nemanin kamu, sedangkan Mama kamu usir-
usir,” rajuk Tante Vina.
“Berkat tukang urut langganan Mama, kakiku udah mendingan,” kata Aga
sambil menunjukkan kakinya yang sakit.
“Ini masih bengkak!”
“Bawa ke dokter aja, Tante. Takut ada apa-apa sama tulangnya,” aku
menimpali.
“Ini udah mendingan dibanding beberapa hari lalu.” Aga tidak mau kalah.
“Nanti malam kita ke dokter aja, ya?” bujuk Tante Vina.
Aga memberengut. Aku baru sadar, kelakuan manja dan kekanak-kanakannya
ternyata tidak main-main. Sifat sombong dan menyebalkannya hanya tameng.
“Malas. Aku ngantuk!”
“Ditemenin Fla? Nanti biar Pak Narto aja yang nganter Fla pulang setelah
kalian ke dokter.” Tante Vina kemudian menatapku.
“Mau gimana lagi, kalau Mama maksa.” Aga tersenyum.
Padahal, sepenglihatanku, Tante Vina sama sekali tidak memaksanya, hanya
memberi saran.
“Ya sudah sana, Mama istirahat aja dulu. Pasti capek, ‘kan?” Kata-kata Aga
terdengar seperti usiran halus.
Tante Vina sepertinya tidak sadar. Dia malah berbalik menatapku dengan
wajah yang tampak lebih bahagia dibandingkan saat berbicara dengan putranya
itu.
“Ayo, kamu ikut Tante ke bawah. Ada yang mau Tante tunjukin.” Tante Vina
menarik tanganku agar aku mengikutinya.
BUKUNE
“Mama aja yang ke bawah, Fla di sini,” pinta Aga dengan wajah memelas.
“Kalau kamu pengin ikutan ke bawah juga, sana panggil Pak Narto. Biar dia
bantuin kamu turun,” tukas Tante Vina, tidak lagi memedulikan rengekan
anaknya.
“Biarin aja Aga sendiri. Kalau bosan, bakalan tidur,” kata Tante Vina
kepadaku.
Aku menoleh ke belakang, menatap Aga yang tampak tidak senang.
“Kamu suka warna pink?” tanya Tante Vina tiba-tiba.
“Suka, Tante,” sahutku. Aku memang tidak memiliki warna favorit. Warna
apa saja aku suka, asalkan tidak norak.
“Kamu pasti suka sama pilihan Tante.” Dia menarik tanganku dengan lebih
bersemangat, membuatku penasaran.
Tas dan barang-barang bawaan Tante Vina berserakan di ruang tamu. Tante
Vina kemudian mengambil satu tas paling besar dan dengan tergesa
membukanya.
“Aga bilang kamu lebih cocok pakai warna putih. Tapi, menurut Tante, warna
apa aja pasti cocok buat kamu,” katanya sambil mengubrak-abrik isi tas. “Cantik
banget, ‘kan, warna pink-nya? Nanti dikombinasi sama payet warna silver, pasti
makin cantik. Kainnya juga Tante pilihin yang paling bagus. Pegang, deh!
Lembut banget, ‘kan?”
Aku melongo melihat apa yang ditarik Tante Vina dari tasnya. Maksudnya,
kain berwarna pink itu dibelikannya untukku?
Tergoda oleh rasa penasaran, tak urung aku ikut-ikutan mengelus kain yang
dikeluarkan Tante Vina tadi. Jadi, ini oleh-olehnya?
“Bawahannya ntar pakai songket aja. Ada, tuh, teman lama Tante yang jualan
songket. Pasti dia mau ngasih diskon.” Tante Vina tertawa kecil dan kembali
membongkar tasnya.
“Dan ini cadangannya, warna putih, seperti permintaan Aga. Manis juga,
‘kan? Tante temanin kamu deh nanti ke penjahitnya, biar kamu nggak bingung.
Tante banyak, kok, kenalan penjahit yang terkenal bagus hasil jahitannya,” kata
Tante Vina bersemangat.
BUKUNE
Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
“Ini mau dibuat apa, ya, Tante?” tanyaku akhirnya.
“Buat kebaya, dong. Kamu udah dapat model kebayanya, ‘kan? Badan kamu
bagus, sih. Dimodelin apa aja pasti cocok,” sahut Tante Vina tanpa jeda.
“Nanti emang bakal ada acara apa, Tan?” tanyaku, masih diselimuti
kebingungan.
“Buat acara kalianlah! Apa lagi emangnya?” Dia tertawa pelan.
“Maksudnya?” Aku semakin tidak mengerti. Acara apa? Perayaan ulang
tahunku?
“Buat nikahan kamu,” jawabnya mantap.
Aku tersedak.[]
Pengkhianat

P engkhianat! Semuanya pengkhianat!!!


Mengapa hanya aku sendiri yang tidak tahu? Mengapa semua orang sudah
mempersiapkan hari yang katanya akan menjadi hari pernikahanku, tetapi aku
malah tidak tahu apa-apa?
Yang pertama, tentu saja Aga. Setelah pengakuannya yang mengejutkan, tiba-
tiba saja mamanya sudah memproklamirkan bahwa aku akan dinikahi anaknya.
Sama sekali tidak lucu. Kapan Aga pernah menyatakan akan menikahiku,
selain permintaan anehnya waktu pertama kali bertemu? Dia tidak pernah
melamarku secara serius. Apa dia pikir setelah memintaku menjadi pacarnya,
aku bisa dinikahi kapan saja?
BUKUNE
Yang kedua, Tante Vina. Dia menguraikan rencana demi rencana yang harus
kujalani. Mulai dari pakaian, undangan, dekorasi, sampai perawatan menjelang
pernikahan. Apa yang kutahu tentang semua itu? Nol besar! Aku seperti
kambing congek yang hanya bisa mendengarkan, tidak bisa memberikan
tanggapan apa pun. Apa dia tidak tahu bahwa anaknya tidak pernah
menyinggung masalah ini dan malah bersikap menyebalkan setiap saat?
Masih ada yang ketiga: orangtuaku. Hatiku terasa sakit jika harus
mengatakannya. Ternyata, Papa dan Mama sudah tahu tentang ini semua.
Tentang rencana pernikahan, tentang Aga yang meminta putri mereka menjadi
istrinya. Bayangkan, mereka sudah tahu! Buktinya, dari pembicaraan Tante Vina
tentang baju seragam yang akan digunakan keluargaku dan Aga. Katanya,
orangtuaku telah sepakat mengenai warna bajunya.
Mengapa aku merasa telah diperjualbelikan?
Dan, kemungkinan keempat: jangan-jangan Jia juga sudah tahu? Mengingat
Jia tipe yang mudah terbawa arus.

“Fla ..., kamu kenapa?” Suara Aga kali ini benar-benar membuatku kesal.
“Kamu ngantuk ya?” tanyanya lagi.
“Mmm ...,” aku menggumam.
“Sebentar lagi sampai rumahmu,” katanya.
“Kamu baring aja. Aku pindah duduk ke depan kalau gitu,” sahutku dingin.
“Kamu capek, ya?” Lagi-lagi dia bertanya.
Aku menarik napas kesal.
“Iya! Nggak usah banyak tanya!” bentakku.
Aga yang kukenal pasti akan balas membentakku, tetapi kali ini dia malah
terdiam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yang terdengar selanjutnya hanya suara musik dari radio yang dihidupkan Pak
Narto. Beberapa kali aku menarik dan mengembuskan napas panjang, tetapi
kekesalanku masih saja menumpuk.
“Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Kali ini dia melanggar perintahku dengan
BUKUNE
bertanya lagi. “Atau ... aku ada salah sama kamu?” tebaknya.
“Banyak!” jawabku ketus.
Aga tampak terperanjat. Melihat wajahnya yang seperti itu, tak urung aku
merasa kasihan.
“Aku minta maaf, ya?” pintanya.
“Kamu ngomong apa aja, sih, ke papa sama mamaku? Kapan kita sepakat
akan menikah?” tanyaku kemudian.
“Maksudnya?”
“Kamu udah ngomong apa aja ke Papa sama Mama mengenai hubungan
kita?” ulangku sekali lagi.
“Enggak ngomong apa-apa. “
“Bohong! Kenapa mama kamu bilang kalau kita mau nikah sedangkan aku
enggak tahu apa-apa?” Aku akhirnya memuntahkan hal yang menggangguku
sejak tadi.
“Nikah?” tanyanya dengan raut wajah datar. Dan, anehnya, ada yang nyeri di
hatiku saat melihat reaksi Aga.
“Udahlah, kapan-kapan aja kita sambung lagi. Aku pulang dulu.”
Mobil Aga telah berhenti tepat di rumahku.
“Tunggu.” Aga menahanku. “Kamu tahu dari siapa?” desaknya. “Dari
Mama?”
“Kenapa cuma aku sendiri yang nggak tahu? Aku nggak mau nikah sama
kamu!” seruku sambil membuka pintu mobil dengan beringas.[]

BUKUNE
Maukah?

A ku masuk ke rumah dengan kesal. Bahkan sampai membanting pintu segala.


“Kamu kenapa, Fla?” Mama muncul dari balik pintu kamarnya.
“Mama sama Papa apa-apaan, sih? Fla nggak mau nikah sama Aga!” aku
menjerit histeris.
Mama, yang baru terbangun dan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul,
menatapku bingung. Tak lama, terdengar derap langkah dari dalam kamar. Pasti
Papa.
“Nggak mau nikah? Maksudnya?” tanya Mama linglung.
“Kamu kenapa? Malam-malam gini malah ribut?” tegur Papa.
“Papa sama Mama mau nikahin Fla sama Aga, ‘kan? Fla enggak mau!”
BUKUNE
“Lho, jadi beneran nikahnya?” Mama mengerjap, membuatku tambah kesal.
“Gimana, sih? Kan Papa sama Mama yang udah nyusun rencana sama
mamanya Aga dan aku enggak tahu apa-apa!”
“Emangnya apa alasan kamu nggak mau nikah sama Aga? Kalian juga sudah
lumayan lama pacaran.” Mama menatapku penasaran.
“Gara-gara Papa sama Mama.”
“Lho, kok nyalahin Mama?” Mama tampak tidak terima.
“Kamu ganti baju, setelah itu kita bicarain baik-baik.” Papa menengahi.
Aku melempar tasku sembarangan. Emosiku meledak-ledak. Aku keluar dari
kamar setelah menghapus sisa riasan wajahku. Langkahku terhenti saat
memasuki ruang tamu. Ada Papa, Mama, dan ... Aga.
“Duduk sini dulu, Fla,” panggil Papa.
“Papa sama Mama nggak mau ikut campur masalah kalian. Tadi Aga sudah
bicara sama Papa, tapi kalian harus tetap selesaikan sendiri. Bicara dengan
kepala dingin.” Papa bangkit dari tempat duduknya, diikuti oleh Mama.
“Jangan teriak-teriak seperti anak kecil.” Kali ini Mama yang bicara.
“Aku harus gimana supaya kamu percaya?” Terdengar suara putus asa Aga.
Aku memutar bola mata.
“Coba kamu jelasin apa salahku. Aku nggak ngerti kenapa gara-gara hal
sepele kamu bisa marah sampai kayak gini,” kata Aga dengan raut serius.
“Kamu selalu aja pura-pura nggak tahu!”
“Gimana aku bisa tahu kalau tiba-tiba aja kamu marah-marah dan bilang
nggak mau nikah sama aku. Sumpah, aku sama sekali nggak tahu apa
masalahnya.”
Aku diam, terlalu kesal untuk menimpali. Sambil menarik napas panjang, aku
mengingat-ingat kembali alasan aku menjadi kesal terhadapnya.
“Fla ....” Suara Aga terdengar pelan di telingaku.
Aku tersentak kaget.
“Kamu belum jawab pertanyaanku,” katanya lirih.
“Kenapa tiba-tiba mamamu bilang kita bakal nikah?”
BUKUNE
“Aku udah cerita ke Mama kalau suatu hari nanti aku maunya kamu jadi ...
istriku. Mungkin Mama terlalu bersemangat dengan semua ini, mengingat aku
nggak pernah sekali pun ngenalin pacar aku ke Mama.”
Aga diam sejenak dan menatap mataku, sepertinya ingin memastikan bahwa
aku menyimak ceritanya. “Mama emang kayak gitu orangnya. Menurut
tebakanku, Mama juga sudah banyak ngobrol dengan mamamu mengenai
hubungan kita. Dan, kayaknya, Mama serius dengan semua rencananya.”
“Aku kesal sama kamu. Aku ngerasa bodoh banget mau-maunya aja ngikutin
semua permainan kamu. Aku kira kamu ngerjain aku lagi,” kataku dengan
kepala tertunduk. “Nikah itu butuh lamaran dan kamu bahkan nggak pernah
ngajak aku secara langsung.” Meski kesal, kali ini nada suaraku melembut.
“Jadi, kamu pengin dilamar?” Aga tersenyum. “Dulu kan udah, tapi kamu
nolak.”
Aku semakin menunduk, menyembunyikan rona wajahku yang mulai terasa
panas.
“Jadi, kamu mau nikah sama aku?” Aga mengulurkan tangan. Ada sesuatu di
telapaknya. Berkilau tertimpa cahaya lampu.[]

BUKUNE
Dari Aga

K enapa aku menolaknya?!


Kalimat itu menggema di telingaku. Bertubi-tubi, seolah menyalahkanku. Aku
mengepalkan tangan, kesal.
Siapa yang mengira ternyata dia juga menyukaiku?
Dia terburu-buru menyimpulkan. Mengapa Fla begitu tidak sabar?
Seharusnya, aku yang menyatakan cinta, memintanya menjadi kekasihku. Dan,
ketika Fla menembakku duluan, aku menjadi bingung. Kikuk. Semua itu
melukai harga diriku sebagai laki-laki. Bagaimana bisa aku kalah cepat?
Padahal, aku sudah mengincar Fla sejak pertama kali dia masuk sekolah.
Aku mulai memperhatikannya sewaktu dia dikerjai habis-habisan saat masa
BUKUNE
orientasi sekolah, sewaktu dia menatapku diam-diam, kemudian memalingkan
wajah ketika pandangan kami bertemu. Bahkan, aku yakin, akulah yang terlebih
dahulu menyukainya. Aku sudah jatuh cinta saat melihat senyum manisnya,
mendengar suaranya yang mirip anak kecil, dan semua gerak-geriknya yang
selalu menyita perhatianku.
Namun, mengapa dia malah tiba-tiba mendatangiku dan mengaku bahwa dia
menyukaiku? Tentu saja aku tidak bisa menerimanya. Aku sudah berprinsip
bahwa akulah yang harus mengejar, jadi wajar saja saat dia datang kepadaku dan
menyatakan suka, aku langsung menolak.
Akulah orang pertama yang mengerjainya ketika masa orientasi sekolah.
Awalnya, aku hanya penasaran dengan sikapnya yang tampak tidak senang
setiap kali teman sekelasnya menerima hukuman. Dan, saat Fla mendapat
giliran, dia tidak merengek-rengek memintaku mengurangi hukuman, atau
bahkan pura-pura pingsan seperti yang dilakukan teman-teman perempuannya
yang lain.
Sepertinya, aku telah jatuh hati kepadanya. Selain manis, dia gadis yang
tangguh. Namun, adakalanya juga dia ceroboh dan itu membuat naluriku untuk
melindungi tersentil. Fla adalah gadis lugu yang tidak menyadari daya tariknya
sendiri. Itulah yang membuatnya menarik.
Yang menjadi masalah, mendadak aku kehilangan kepercayaan diri setiap kali
hendak mendekatinya. Nyaliku langsung ciut. Ke mana perginya ketua OSIS
yang katanya pemberani?
Fla tidak seperti siswi-siswi lain yang menjadi penggemarku selama beberapa
tahun terakhir. Dia terlihat tidak tertarik kepadaku. Ketika pandangan kami tidak
sengaja bertemu, dia pasti akan langsung berpaling. Dia juga tidak pernah
beramah-tamah setiap kali berpapasan denganku di koridor, entah itu sekadar
tersenyum ataupun menyapa.
Apa sebaiknya aku menarik kembali ucapanku tadi?
Aku menoleh ke belakang, mencari sosoknya. Panik, aku mulai berlari. Di
mana dia?
BUKUNE
Mataku berkeliaran. Perpustakaan? Mungkin. Beberapa kali aku
memergokinya tengah membaca dengan wajah serius. Ternyata sia-sia. Dia tidak
ada di sana. Pun di kelasnya.
Aku sadar telah melakukan hal bodoh. Aku harus meminta maaf dan
menyatakan perasaanku. Namun, di mana dia?
Hari berikutnya, aku mencarinya lagi. Mengelilingi sekolah, menunggunya di
depan kelas, mengejarnya ketika dia menghindar. Saat berpapasan, dia langsung
kabur. Saat aku mendatangi kelasnya, dia selalu tidak ada. Aku bahkan sampai
mencari tahu alamat rumahnya. Tetap saja dia berhasil kabur.
Kejadian yang sama terus berulang. Fla sulit sekali ditemui. Dia seolah
menghilang. Dia menjauhiku dengan berbagai cara, tidak memberiku
kesempatan untuk mendekatinya lagi. Saat itulah aku tersadar sebesar apa
kesalahan yang telah kulakukan.
Akhirnya, aku memilih jalan terakhir. Menyebarkan ke seluruh sekolah bahwa
Fla telah menyatakan perasaannya kepadaku. Dengan begitu, aku berharap Fla
akan marah dan kemudian melabrakku. Namun, nihil. Fla tidak menghiraukan
jebakanku.
Mulai sejak itu, aku bersumpah. Jika suatu saat nanti aku kembali bertemu
dengannya, aku akan mati-matian mengejarnya, dengan cara apa pun. Dan, jika
dia muncul lagi di hadapanku, itu artinya dia adalah jodohku, orang yang akan
mendampingiku menghabiskan sisa hidup.
Dan, tidak akan kulepaskan Fla untuk kali kedua.[]

BUKUNE
Tentang Penulis

BUKUNE

EVA KURNIASARI lahir di Pontianak, 27 September. Eva adalah seorang


banker dan ibu rumah tangga. Menulis dan mengkhayal merupakan dua hal yang
paling dia sukai. Dia juga menggemari cerita romantis dan warna pastel.
Eva bisa disapa lewat:
Instagram : @raa_va
Wattpad : @ra_vaa
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE

Anda mungkin juga menyukai