(RBE) Eva Kurniasari - Flaga PDF
(RBE) Eva Kurniasari - Flaga PDF
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Flaga
Karya Eva Kurniasari
Copyright © Eva Kurniasari, 2019
All rights reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
ISBN: 978-602-385-769-2
BUKUNE
Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing
Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620
Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)
Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
email: nouradigitalpublishing@gmail.com
Instagram: @nouraebook Facebook page: nouraebook
Daftar Isi
Dari Fla
Job Seeker
New Day
Bencana
Erlangga Yuda
Tolong Musnahkan Dia
Another Bad Day
Penawaran
Mimpi Buruk
Kabur
Takut
Terima Kasih
Ian vs Aga
Rival
Kencan
Suatu Pagi BUKUNE
Kencan Kedua
Aneh
Rindu
Mengapa Harus Aga?
Berangkat
Rahasia
Marah
Jangan Menangis
Keajaiban
Pengganti
Kesepakatan
Berbagi
Pelajaran
Suatu Ketika
Jangan Pergi
Pacaran
Aturan Aga
Maaf
Akhir Kesepakatan
Ingat Dia
Semoga
Pink dan Putih
Pengkhianat
Maukah?
Dari Aga
Tentang Penulis
BUKUNE
Dari Fla
T anganku gemetar, keringat tak berhenti keluar. Aku tidak menyangka akan
seperti ini rasanya. Jika aku tahu, aku tidak akan melakukan hal sekonyol ini.
Aku melihatnya berjalan mendekat. Gawat. Mengapa lidahku ikut-ikutan
kelu? Apa kubatalkan saja? Argh, tidak! Aku sudah lama menantikan momen
ini.
“Kak ...,” panggilku lirih, mirip suara orang yang sedang terjepit.
“Ya?” Dia memiringkan kepala untuk menatapku.
OMG, bagaimana mungkin ada makhluk setampan dia? Aku rela melakukan
apa saja asal bisa memandangnya setiap hari.
“Ng ..., ada yang pengin aku bicarain, Kak.” Sekarang aku mirip anak kucing
yang malu-malu.
BUKUNE
“Ya udah, bicara aja. Tapi, kamu siapa, ya?”
Aku menggigit bibir. Sakit. Namun, hatiku lebih sakit lagi karena dia tidak
mengenalku.
“Fla, Kak,” jawabku pelan.
“Kayaknya aku pernah lihat kamu. Kamu adik kelas, bukan?”
Seketika aku mengangguk.
“Oke, mau ngomong apa? Tentang pelajaran, OSIS, klub basket, klub debat,
klub renang, atau ...?”
Dia memang siswa populer di sekolah ini. Baru berhadapan dan menatapnya
langsung saja, aku sudah merasa tidak pantas.
“Aku suka sama Kakak ...,” kataku pelan. Bersamaan dengan terlontarnya
kalimat itu, rasanya seluruh persendianku ikut lepas. Aku tidak bisa lagi berdiri
dengan benar.
“Maksudnya, kamu pengin aku jadi pacar kamu?” tanyanya.
Aku mengutuk dalam hati. Mengapa cowok ini tidak ada basa-basinya sama
sekali?
“Nggak gitu juga ..., aku cuma pengin bilang aja,” sahutku terbata-bata.
Padahal, dalam hati aku sudah beribu kali mengiakan pertanyaannya.
“Oh, gitu. Tapi untuk sekarang, nggak mungkin kamu jadi pacar aku,”
sahutnya. Kalimatnya begitu angkuh.
Aku merasa seolah baru saja dihantam godam. Luar biasa sakit. Boleh aku
amnesia sekarang?
Untuk menutupi malu, aku berlari menjauh darinya. Aku ingin mengubah
wajahku dan lahir menjadi manusia baru. Bisakah aku tidak bertemu dia lagi
sampai aku tamat dari sekolah ini?
Yah, rasa sakitku belum seberapa dibanding luka yang dia timbulkan
setelahnya. Seolah belum cukup sekadar menolak, dia juga menyiarkan kepada
seisi sekolah bahwa aku menyatakan cinta kepadanya.
Masa SMA adalah masa paling indah? Omong kosong. Masa SMA adalah
BUKUNE
tragedi, ketika masa mudaku hancur dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk
memperbaikinya.
Aku berharap dia lenyap dari muka bumi. Namun, itu tidak mungkin. Aku
hanya harus menerima takdir. Kuharap suatu saat dia mendapatkan karma.
Ditolak habis-habisan oleh gadis yang dicintainya.[]
BUKUNE
BUKUNE
Job Seeker
P agi sunyi. Rumah sepi. Mama mungkin sudah pergi dengan seabrek urusan.
Papa jam segini pasti sudah berada di balik meja kantor. Dan, aku baru bangun.
Aku sedang menikmati masa-masa pengangguranku.
Jia dari semalam tidak pulang. Mungkin stres gara-gara tiap hari menemaniku
mengantar surat lamaran. Sepupuku yang satu itu memang tidak betah di rumah,
alasannya pasti sibuk mengerjakan skripsi. Padahal, aku tahu benar, kerjaannya
hanya nongkrong seharian.
Aku menggeliatkan tubuh. Badanku terasa pegal. Aku berguling ke kanan dan
menggapai ponselku. Haaah?! Lima panggilan tak terjawab dan empat pesan
masuk.
BUKUNE
Buru-buru kubuka masing-masing notifikasi. Panggilan tak terjawab dari
nomor tidak dikenal. SMS-nya dari siapa, ya?
Sender +628xxxxxxxxxx
Panggilan wawancara PT Sukses Selalu
hari Selasa 25/9/2018 pukul 8.00 WIB.
Alamat: Jln. Buah no. 502 C.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.
Sender +628xxxxxxxxxx
PT Sukses Selalu bergerak dalam bidang
ekspor impor alat elektronik.
Membutuhkan 100 orang karyawan untuk posisi
HRD, SPV, admin, gudang.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.
Sender +628xxxxxxxxxx
Jadwal wawancara Anda
hari Selasa 25/9/2018 pukul 8.00 WIB.
Pekerjaan di kantor: non sales. Posisi: admin.
Kemungkinan diterima: 99%.
Senin sudah bisa masuk kerja.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.
Aku duduk di kursi tunggu. Sudah setengah jam aku hanya bengong melihat
orang-orang berseliweran, sibuk dengan urusan masing-masing. Entah mengapa,
rasanya aku sedang berada di tempat yang salah.
Dari awal masuk ke kantor ini, aku setengah tidak yakin. Jangan-jangan salah
alamat. Jangan-jangan SMS yang kemarin SMS penipuan atau salah kirim.
Jangan-jangan bukan Selasa ini. Pikiranku berhamburan ke mana-mana.
Terlebih, tidak ada sekuriti yang berjaga seperti di perusahaan besar lainnya.
Namun, setelah berulang kali kucocokkan alamat di SMS dengan plang nama
yang menempel di gedung, rasanya tidak salah. Dari namanya, sepertinya ini
perusahaan distributor elektronik.
Namun, suasananya terasa aneh. Apakah ini memang kantor distributor
elektronik, atau jangan-jangan malah agen penyalur TKI ke luar negeri?
Aku melipat tangan di depan dada, sedikit kebingungan. Mengapa teman-
teman seperjuanganku tampilannya seperti ini? Aku menghirup napas panjang
dan berusaha berpikir positif.
Ada sekitar sepuluh orang, termasuk aku, yang duduk di ruang tunggu. Aku
yakin mereka semua juga sedang menunggu panggilan untuk wawancara.
“Mbak, mau wawancara juga, ya? Ditawarin posisi apa?” tanyaku kepada
orang di sebelahku. Wanita dengan BUKUNE
muka memelas dan bersandal jepit. Apa
sopan wawancara kerja memakai sandal jepit? Sejenak, dia menatapku bingung
sebelum akhirnya bicara.
“Eh, iya. Kemarin sih ditawarin admin,” jawabnya lesu. Aku jadi tidak tega
bertanya macam-macam lagi.
Tenang, aku tidak boleh memikirkan yang aneh-aneh. Aku kembali menatap
ke depan. Kali ini seorang pria berkaus lusuh dan lagi-lagi bersandal jepit! Ya
Tuhan, hilangkan keraguanku ini!
Mungkin aku yang salah kostum. Ya ampun, sepertinya aku menjadi pusat
perhatian di sini.
Seorang ibu tiba-tiba masuk. Anak dalam gendongannya menangis terisak-
isak. Map lusuh tergenggam di tangan kanannya. Sepertinya teman
seperjuanganku juga.
Di sekelilingku berisik sekali. Ada beberapa ruangan yang hanya disekat
dengan tripleks tipis. Udara panas dan suasana kantornya benar-benar tidak
nyaman.
Namaku tiba-tiba dipanggil resepsionis. Rasanya agak sedikit lega. Lama di
ruang tunggu membuat otakku kacau.
Seorang bapak berkumis tebal menyambut kedatanganku sambil nyengir. Aku
menyambut uluran tangannya dan menyebutkan namaku.
“Edi,” katanya sambil tersenyum. Bukan tersenyum, lebih mirip menyeringai.
“Mbak Fla beruntung sekali bisa sampai ke sini,” sambungnya.
Aku hanya tersenyum.
“Sebelumnya sudah pernah bekerja?”
“Belum pernah, Pak. Saya baru lulus bulan kemarin,” sahutku.
“Wah, masih fresh,” katanya sambil terbahak-bahak.
Heran, apanya yang lucu memang?
“Saya jelaskan sedikit tentang perusahaan kami, ya.”
Aku mengangguk mengiakan.
“Perusahaan kami bergerak dalam bidang ekspor impor alat-alat elektronik.
Cabangnya sudah banyak. Sudah hampir di seluruh provinsi di Indonesia, tapi
BUKUNE
kantor pusatnya di Jakarta. Saat ini kami memang lagi butuh banyak karyawan
baru. Kemarin Mbak Fla ditawarin jadi apa?”
Aku tersentak kaget. Si bapak sih terlalu banyak cerita, aku kan jadi ngantuk!
“Jadi admin, Pak,” sahutku singkat.
“Perlu saya tegaskan lagi, perusahaan kami seratus persen non sales. Nanti,
Mbak Fla kerjanya di kantor. Kemungkinan Mbak Fla buat diterima di
perusahaan kami juga sangat besar.”
Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku benar-benar sedang
diwawancara?
“Ada dua cara agar Mbak Fla bisa langsung kerja di perusahaan ini. Yang
pertama, caranya panjang dan agak ribet. Mbak Fla harus tes ke kantor pusat di
Jakarta. Kalau Mbak Fla lulus tesnya, baru diangkat jadi karyawan. Cara kedua,
ini mudah banget. Saya yakin, Mbak Fla pasti bersedia.” Pak Edi berhenti bicara
untuk sesaat. “Di sini ada pilihan produk-produk yang bisa Mbak Fla pilih.” Pak
Edi mengeluarkan sebuah katalog berisi berbagai macam produk perkakas
rumah tangga.
Aku tambah bingung. “Maksudnya, Pak?”
“Produk-produk di sini harganya lima ratus ribu. Mbak Fla bisa pilih salah
satu dari produk ini, bisa buat digunakan sendiri atau dijual lagi. Nggak ada
ruginya, Mbak. Dengan mengeluarkan uang lima ratus ribu, Mbak Fla sudah bisa
dapat salah satu dari produk-produk ini sekaligus kesempatan menjadi karyawan
di perusahaan ini.”
Sumpah, saat itu juga aku langsung ilfil. Pantas saja dari tadi perasaanku tidak
enak.
“Sebenarnya, uang lima ratus ribu itu bakal digunakan untuk membiayai
asuransi dan pengangkatan Mbak Fla sebagai karyawan. Jadi, sebenarnya Mbak
Fla sama sekali nggak rugi. Gimana, mau pilih produk yang mana, Mbak?”
Kepalaku terasa panas. Perusahaan apa ini sebenarnya? Jika seperti ini, sama
saja dengan penipuan berkedok wawancara kerja, namanya!
“Kalau Mbak Fla bayar lunas BUKUNE
hari ini, Senin sudah bisa masuk kerja jadi
admin,” lanjutnya lagi.
Kerja jadi admin? Aku tidak yakin. Paling kerjaannya menjerumuskan orang
juga.
“Mas yang masuk sebelum Mbak tadi sudah bayar lunas juga. Ada juga yang
DP lima puluh persen.” Pak Edi memamerkan bukti penerimaan uangnya. Aku
bergeming.
“Saya nggak bawa uang, Pak,” sahutku akhirnya.
“DP sedikit juga nggak apa-apa, buat tanda jadi aja,” lanjutnya lagi.
Idih, si Bapak, tidak mengerti apa tadi aku sudah bilang tidak bawa uang?
“Mohon maaf sekali, Pak. Dari rumah saya nggak bawa uang karena mikirnya
cuma wawancara sebentar.”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Besok Mbak Fla ke sini aja bawa lima ratus
ribunya. Nanti ketemu sama saya lagi.”
Huuuh, sopan tidak jika saat ini aku jujur dan bilang aku benar-benar muak?
“Maaf, ya, Pak. Saya pamit dulu.” Aku beranjak pergi meski belum
dipersilakan.
Uuugh, kepalaku langsung berdenyut. Mengapa jadi aneh begini
wawancaranya? Katanya wawancara kerja, tetapi mengapa aku tidak diberi
kesempatan sedikit pun untuk bicara? Malah si bapak yang ngobrol tidak jelas
rimbanya.
Memang dia kira aku bodoh apa, bersedia begitu saja menuruti maunya?
Mana ada perusahaan yang memungut biaya untuk ongkos penerimaan
karyawan! Sama sekali tidak modal!
Semoga saja ini bukan pertanda buruk. Dalam hati, aku bersumpah tidak akan
sembarangan lagi memasukkan surat lamaran.
Aku menyelonjorkan kaki di kursi panjang. Mumpung food court sepi. Pegal juga
seharian menjelajahi mal sendirian.
Jia belum kelihatan dari tadi. Meski dia memang berjanji baru akan
BUKUNE
menyusulku sepulang kuliah.
Sudah hampir dua bulan sejak kelulusanku dan masih seperti ini saja, jobless.
Mengapa satu pun pekerjaan tidak ada yang nyangkut? Paling hanya sampai
psikotes atau wawancara, lalu lenyap tanpa kabar. Sumpah, bosan sekali rasanya.
Harapan yang semula kunyalakan, makin lama makin redup. Dan, mungkin
sekarang hampir padam. Seperti es krim yang mulai menetesi tanganku.
Apa memang sesulit ini mencari pekerjaan?
Aku melirik jam tangan sejenak, pukul dua belas siang. Jam segini, Ian pasti
sedang sibuk-sibuknya. Jika kuhubungi, pasti tidak akan diangkat. Sudah hampir
tiga minggu Ian absen menemuiku. Sudahlah, mungkin dia memang sedang
sibuk.
Sepertinya, hanya aku di dunia ini yang tidak memiliki kegiatan. Seharian
hanya keliling mal, nonton film, tidur, makan. Begitu setiap hari. Bahkan, Jia
yang menurutku juga belum memiliki pekerjaan tetap, masih lebih sibuk
daripada aku.
Aku memandang buku menu di hadapanku. Kentang goreng dan jus mangga
sepertinya lumayan bisa membuat pikiranku berhenti sumpek.
Setelah pesananku datang, aku memainkan potongan kentang goreng
berlumur saus sambil termenung. Mendadak, ponselku berdering. Nomor tidak
dikenal.
“Halo?” jawabku dengan mulut penuh kentang.
“Selamat siang. Dengan Mbak Fla Regina, ya? Saya Nita, dari Bank Primatama
Indonesia.”
Hampir saja aku tersedak.
“Iya, saya sendiri,” sahutku.
“Mbak Fla bisa datang jam satu siang ini ke kantor buat interview?” lanjutnya
lagi.
Deg, aku langsung siaga satu. Menarik napas dan buru-buru menelan kentang
yang ada di mulutku.
“Jam satu ya, Mbak? Bisa, kok,” jawabku deg-degan.
BUKUNE
“Nanti langsung aja ketemu dengan saya, Nita, ya, Mbak.”
“Baik, Mbak.”
“Ditunggu, ya, Mbak Fla. Selamat siang.”
Sejenak, aku hanya bisa bengong. Memandang sekelilingku yang semakin
ramai, rasanya otakku tidak bisa digunakan berpikir.
Gawat, sudah hampir pukul dua belas. Mana aku belum ganti baju, dandan,
dan lain-lain. Dan, hebatnya, sekarang ini aku masih di mal, bukan di rumah.
“Kamu lagi di mana? Buruan jemput aku.” Bergegas kutelepon Jia. Hanya dia
penolongku dalam situasi seperti ini.
“Udah di parkiran, nih. Emang mau ke mana lagi? Aku aja baru sampai.”
“Aku dapat panggilan interview, nih. Kamu tunggu di parkiran aja. Aku
langsung ke sana.” Aku menggapai tasku. Tanganku yang masih berlepotan,
kulap begitu saja dengan tisu.
Napasku ngos-ngosan menuruni anak tangga menuju basemen. Aduh,
bodohnya, mengapa tadi tidak naik lift saja?
Sesampainya di basemen, keringatku sudah sebesar biji jagung, napasku pun
hampir habis. Mataku cepat mencari mobil kuning norak Jia. Nah, itu dia!
“Buruan pulang!”
Jia menatapku bengong.
“Jam satu aku harus wawancara,” sambungku.
“Emang keburu? Habis waktu di jalan, lho. Mana nanti sampai di rumah kamu
mau dandan segala lagi,” kata Jia. “Ganti pakai bajuku aja, aku lumayan rapi
hari ini.”
Langsung kuteliti penampilan Jia. Betul juga. Jia tampak berbeda hari ini.
Tumben-tumbennya dia ke kampus pakai rok. Aku menatapnya lagi. Blus tosca
dengan aksen renda di lengan cocok juga di tubuhnya. Apalagi dengan rok midi
yang memamerkan kaki jenjangnya. Untuk penampilannya kali ini, kuacungkan
jempol.
“Aku barusan praktik ngajar tadi.” Jia cengengesan.
Pantas saja.
BUKUNE
“Tapi pasti kegedean,” kataku ragu.
“Nggak gede-gede banget, kok. Ini aja sempit di aku, di kamu pasti pas,”
bujuk Jia lagi.
“Tapi, dandannya gimana?”
“Aku bawa bedak, sisir, sama lipgloss. Cukup, ‘kan?”
Aku tersenyum lebar. “Ayo, temanin aku ke toilet.”
Tergesa-gesa, kami mencari toilet dan berdesakan di dalamnya.
“Buruan buka bajumu,” perintah Jia.
“Ssst ...! Kecilin suara kamu! Ntar didengar orang dikiranya kita lagi
ngapain,” bisikku.
Jia nyengir menahan tawa.
Kemeja Jia pas di badanku, hanya roknya yang agak longgar. Perut gadis itu
memang sedikit buncit.
“Bajumu robek sedikit nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Jia dengan muka
memelas.
Aku memelotot. Bajuku memang satu ukuran di bawah Jia.
“Sempit banget sih bajumu, sesak, nggak bisa napas rasanya. Ini jinsmu juga
sampai nggak bisa dikancing.” Jia memamerkan ritsleting celana yang tidak bisa
ditarik. Untung blusku yang dipakainya agak panjang, jadi tertutup.
Dalam situasi normal, aku pasti akan mengamuk saat melihat bajuku sampai
melar begitu. Namun, untuk saat ini, itu sama sekali bukan masalah. Demi
karierku.
“Ayo, buruan keluar! Dandan,” desak Jia sambil membuka pintu toilet.
Aku menyapukan bedak, lumayan bisa menghilangkan sedikit minyak di
wajahku. Aku tersenyum puas saat memoleskan lipgloss di bibirku. Selesai.
“Ayo buruan.” Aku kembali menarik tangan Jia.
“Tunggu, tukar dulu sepatumu sama sepatuku.” Jia membuka sepatunya. Aku
memandangi sepatu Jia dengan tatapan tidak suka. High heels, sama sekali bukan
seleraku.
“Cepetan!” desak Jia.
BUKUNE
Mau tidak mau, aku membuka sepatu flat-ku dengan tidak rela. Mengapa
wanita selalu menyiksa dirinya dengan sepatu seperti ini?
“Beres! Yuk, berangkat!” kata Jia dengan semangat.
Aku mengekorinya. Entah mengapa, sepatu itu membuat langkahku jadi
lambat.
“Mukaku nggak aneh, ‘kan?” tanyaku setelah kami berada di dalam mobil.
Aku terus-menerus becermin di kaca spion. Jia melirik, lantas menggeleng.
“Tutup jendelanya! Norak banget ngaca pakai spion,” kata Jia jengkel.
“Nggak perlu ngaca lagi. Wajah kamu udah terlahir kayak gitu, terima aja,”
ejeknya.
Aku mendengus.
Aku kemudian mengutak-atik ponsel, mengirimkan pesan kepada Ian,
mengabarkan bahwa aku akan wawancara. Siapa tahu dia sempat membaca dan
mendoakanku agar diterima. Jika meneleponnya pada jam seperti ini, pasti tidak
akan diangkat.
“Bank Primatama, ya,” kataku mengarahkan Jia.
“Iya, tahu. Udah seratus kali kamu bilang,” sahut Jia. “Kalau sampai nggak
diterima lagi, kamu naik angkot aja kalau ada panggilan kerja lagi.”
“Makanya doain aku biar keterima,” kataku sambil tersenyum lebar.
“Ingat, jangan cengar-cengir nggak jelas. Jawab pertanyaannya jangan
berbelit-belit, percaya diri, trus jangan lupa senyum.” Jia menurunkanku tepat di
sebuah bangunan bertingkat tiga dengan plang bertuliskan BANK PRIMATAMA
INDONESIA.
“Tapi kok ramai banget, ya, banknya? Jadi grogi, nih,” bisikku kepada Jia.
“Jam segini yang namanya bank pasti ramailah, kalau sepi namanya kuburan.
Sana buruan!”
“Nanti jemput, ya,” kataku lagi.
“Iya. Udah sana, buruan masuk!”
“Kamu tungguin aku aja. Kan biasanya wawancara nggak lama, paling
setengah jam,” pintaku sambil memelas.
BUKUNE
“Dasar manja. Aku mau makan dulu, ntar habis itu aku langsung ke sini.” Jia
tampak sudah tidak sabar.
“Ya udah. Doain, ya, semoga lancar,” kataku lagi.
Jia mengangguk dan tak lama menyalakan mobilnya, meninggalkanku
seorang diri. Aku menarik napas panjang dan mulai melangkah.
Setelah beberapa menit ke sana kemari seperti anak hilang, akhirnya aku
diantarkan sekuriti ke sebuah ruangan di lantai dua. Mengapa pada saat seperti
ini aku malah kebelet pipis?
Tanganku sedikit gemetar saat mengetuk pintu. Seorang bapak—bukan,
mungkin lebih tepatnya mas-mas berwajah lumayan ganteng—mengangguk
menyuruhku masuk.
“Selamat siang, Pak.” Aku mengulurkan tangan. Kali ini, aku harus
memanggilnya dengan sebutan “Bapak”. Tidak sopan jika dipanggil “Mas”, bisa
di-PHK sebelum diterima bekerja bisa-bisa.
“Silakan duduk,” katanya.
Aku menarik kursi yang ada di hadapannya perlahan. Sepertinya ada yang
kurang. Ah, benar, dia belum mengenalkan namanya.
“Kamu baru saja lulus, ya?” tanyanya sambil membolak-balik lamaran yang
pernah kukirimkan.
“Iya, Pak. Sudah hampir dua bulan,” jawabku.
“Kemarin sudah psikotes dan wawancara sama Pak Wira, ‘kan?” tanyanya
lagi.
Aku berusaha mengingat dengan keras. Psikotes sih memang sudah. Namun,
wawancara dengan Pak Wira? Dia siapa, ya?
“Sudah, Pak,” jawabku yakin. Walaupun dalam hati masih sedikit ragu apakah
aku pernah bertemu yang namanya Pak Wira sebelumnya.
“Bagus, minggu depan kamu sudah bisa mulai kerja. Nanti kamu tanyakan
kepada Nita, apa saja yang kamu butuhkan sebelum masuk kerja,” katanya.
Hampir saja aku melongo saking tidak percayanya. Serius, aku diterima?!
“Saya memang sedang mencari fresh graduate untuk posisi customer service dan
BUKUNE
teller,” lanjutnya. “Saya rasa kamu cocok di bagian customer service,” katanya.
Aku pura-pura mengangguk paham. Apa pun posisinya, tidak masalah bagiku.
Yang penting, aku bisa mendapat pekerjaan. Itu jugalah alasan aku memasukkan
lamaran ke sini setelah membaca syarat-syarat yang diajukan. Mereka
membutuhkan fresh graduate, dan tidak masalah jika masih awam dalam bidang
perbankan karena nantinya akan ada pelatihan langsung yang diberikan.
“Baik, selamat bergabung di Bank Primatama. Sampai bertemu minggu
depan.” Dia kemudian menyalamiku.
Aku balas menyalaminya, lalu bergegas keluar. Perasaanku masih
mengambang. Antara mimpi dan kenyataan. Benarkah aku baru saja
mendapatkan pekerjaan? Kalimat-kalimat itu maju mundur di kepalaku yang kali
ini dipenuhi warna yang lebih terang, lebih menggembirakan.[]
New Day
H ari Senin tampak cerah. Namun, sejak semalam, aku merasa gugup. Tidak
bisa tidur nyenyak. Mataku terpejam, tetapi pikiranku berkeliaran ke mana-
mana.
Hari pertama bekerja. Rasanya grogi dan tegang sekali. Aku menarik napas
panjang untuk menenangkan diri. Semuanya akan baik-baik saja, batinku di depan
cermin.
Kurapikan sekali lagi kemeja putihku sebelum kulapisi dengan blazer hitam.
Aku menatap cermin sambil meringis. Kemeja putih, blazer hitam, rok hitam.
Tampak seperti anak magang. Aku menyisir rambut sambil memikirkan harus
bergaya seperti apa. Diikat masih kependekan, tetapi jika diurai malah tampak
BUKUNE
berantakan karena rambutku jarang mau menurut. Malas bersusah payah, aku
akhirnya membiarkan rambutku tergerai tak keruan. Setidaknya, kini tampilan
anak magangku tidak lagi tampak terlalu rapi dan membosankan.
Aku kemudian memulaskan bedak tipis-tipis ke wajah, menyapukan blush on
yang menurutku memiliki warna menyeramkan: merah merona, memberi kesan
seolah aku baru saja ditampar. Aku menggosok-gosok pipiku perlahan, berusaha
menyamarkan warnanya. Sungguh, aku akan sangat frustrasi jika harus
melakukan ini setiap hari. Semuanya membuatku emosi. Aku tidak tahu cara
menggunakan eyeliner dan membuat sekeliling mataku berlepotan, mirip mata
panda. Kusikat bulu mataku perlahan dengan maskara; gatal. Terakhir, kuoleskan
lipstik pink pucat ke bibirku.
Jia memaksaku membeli seperangkat alat rias walaupun dia sendiri juga tidak
tahu cara berdandan yang benar. Aku menatap pantulan wajahku di cermin.
Masih sedikit tidak percaya diri. Aku menarik napas, lagi. Serbasalah rasanya
hari ini, semua terasa campur aduk.
Ian pasti tahu cara menenangkan kegugupanku pada hari pertama kerja seperti
ini. Aku mengambil ponsel dan menekan nomor Ian.
“Sudah bangun?” tanyaku.
“Barusan. Mentang-mentang hari pertama kerja, semangat banget bangunnya,”
ledek Ian.
“Aku tegang! Deg-degan. Mau ngapa-ngapain nggak konsen,” curhatku.
“Kalau dipeluk pasti langsung sembuh.” Ian tertawa.
“Makanya, buruan pulang. Betah banget di sana.”
“Minggu depan aku pulang, kok.”
“Beneran, ya? Dari minggu kemarin bilangnya gitu terus.”
“Miss you.” Suara Ian terdengar lembut saat menyudahi percakapan.
“Miss you too.” Aku menutup telepon dan bergegas keluar dari kamar.
“Kenapa, Ma?” tanyaku kepada Mama yang sedang mengomel di depan
kamar mandi.
“Jia udah hampir satu jam di kamar mandi,” kata Mama kesal.
BUKUNE
Aku tertawa. “Mama kayak nggak tahu Jia aja.”
“Masalahnya, pagi ini Mama mau nemenin Papa ke acara kantor. Mama harus
segera siap-siap.”
“Jia udah selesai, kok, Tante.” Jia keluar dengan tampang tak berdosa. Dia
menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.
Mama hanya mendengus sebal, kemudian masuk ke kamar mandi. Aku dan
Jia tertawa hampir bersamaan.
“Anterin aku, ya.”
“Pergi sendiri kenapa, sih? Manja banget!”
“Ayolah, sekali ini aja. Kamu kan tahu aku nggak pintar-pintar amat bawa
motor, apalagi mobil. Papa juga pasti nggak sempat nganterin aku,” pintaku
dengan muka memelas.
“Bisa nggak, sih, sehari aja nggak ngerepotin aku?” gerutunya.
Aku hanya bisa nyengir. Jika Jia sudah bicara seperti itu, dia pasti mengiakan
permintaanku.
“Pulangnya sendiri bisa, ‘kan?” tanya Jia kemudian. Aku menggeleng.
“Lama-lama aku mirip sopir pribadi kamu. Seharusnya kamu minta antar jemput
Ian aja, dia kan pacar kamu,” lanjut Jia.
“Ssst ... pelan-pelan ngomongnya. Nanti kalau Mama dengar, bisa diomelin
seharian aku,” kataku panik. “Kamu kan tahu sendiri, Ian kerja di luar kota.
Masih syukur sebulan sekali bisa ketemu,” jawabku, setengah berbisik.
“Atau mau nyari pacar yang deketan?” goda Jia.
Hampir-hampir tanganku mendarat di kepala Jia, tetapi dia menghindar cepat
ke kamar untuk berganti pakaian.
Dulu, aku tidak seperti ini, menyembunyikan hubunganku dengan Ian. Mama
dan Papa juga tidak mempermasalahkan hubungan kami. Di mata orangtuaku,
Ian sudah cukup dipercaya untuk menjagaku. Kami direstui.
Namun, itu berubah setahun belakangan. Hubunganku dan Ian sudah berjalan
satu tahun. Belum terlalu matang, tetapi juga bukan usia jagung yang masih
labil. Kami merencanakan hubungan yang lebih serius. Ian berjanji akan
BUKUNE
melamarku saat aku lulus kuliah. Untuk melangkah ke tahap itu, kami
memutuskan untuk bertunangan dulu sambil mempersiapkan diri.
Tentu saja Mama dan Papa setuju dengan permintaan Ian. Dia sudah sangat
dekat dengan keluargaku walaupun aku tidak begitu mengenal keluarganya.
Yang kukenal hanya mamanya, itu pun hanya sekali bertemu saat acara nikahan
sepupunya. Ian juga tidak pernah bercerita apa-apa tentang keluarganya
kepadaku.
Ketika rencana pertunangan sudah matang, tiba-tiba sambil menangis Mama
memintaku memutuskan hubungan dengan Ian. Mendengarkan permintaan itu
saja sudah membuatku kalut, ditambah lagi melihat sedu sedan Mama. Pastilah
ada sesuatu yang sangat serius.
Awalnya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir semuanya
baik-baik saja. Hingga Mama bercerita bahwa ibu Ian mendatangi Mama dan
menghina keluarga kami, berkata bahwa aku tidak sepantasnya berhubungan
dengan Ian.
Tidak pernah terpikir olehku bahwa keluarga kami sebenarnya biasa-biasa
saja. Papa hanya pegawai negeri sipil di Dinas Pertanian dan Mama seorang ibu
rumah tangga. Tidak bisa dibandingkan dengan keluarga Ian. Aku tahu keluarga
Ian sangat kaya dan memiliki perusahaan di mana-mana. Namun, Ian dan aku
sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya.
Sejak itu, selama beberapa waktu hubunganku dan Ian memburuk. Aku tidak
tahu lagi bagaimana kelanjutan hubungan kami. Ian juga mendadak lenyap dan
tidak pernah menghubungiku lagi. Saat itu, aku berpikir hubunganku dan Ian
sudah berakhir. Namun, Ian tiba-tiba muncul lagi, meminta maaf karena sudah
mengecewakanku, dan menawarkan hubungan baru.
Aku sudah telanjur mencintainya dan tentu saja menerima tawarannya, apa
pun risikonya. Namun, kali ini, hubungan kami kurahasiakan dari Mama dan
Papa.
Pukul tujuh kurang lima menit, Jia menurunkanku tepat di depan kantor baruku.
BUKUNE
Aku menarik napas panjang.
Aku menatap bangunan di depanku, tegang bercampur grogi. Kueja sekali lagi
nama kantor yang terpampang besar. BANK PRIMATAMA INDONESIA. Sebentar lagi,
aku akan menjadi bagian dari bank ini.
Aku melangkah dengan percaya diri. Seorang sekuriti yang sudah kukenal
membukakan pintu. Dia menyambutku dengan senyum. Bagaimana tidak kenal,
sudah beberapa kali aku bolak-balik ke bank ini.
“Pagi, Mbak! Wah, jadi karyawan di sini juga akhirnya,” sapanya. Aku
tersenyum lebar.
“Iya, sekarang Bapak bisa bosan lihat saya tiap hari,” balasku sambil
tersenyum. “Katanya mau ada briefing dulu, di mana ya, Pak?” tanyaku.
“Di banking hall, Mbak,” jawabnya.
Aku bengong. Banking hall? Aduh, di mana itu, ya?
“Mari, saya antar,” katanya kemudian.
Suasana kantor sudah lumayan ramai. Aku semakin salah tingkah, bingung,
dan grogi. Sekilas, pandanganku menangkap satu sosok dengan seragam hitam
putih, mirip seragam yang kukenakan. Aha! Ada teman rupanya.
Perlahan, aku bergeser dari tempatku berdiri, agar tidak terlihat mencolok.
“Hai, baru juga, ya?” sapaku.
Dia tampak kaget. “Eh iya, kamu juga, ya?”
“Fla,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Monik,” sahutnya sambil menyambut uluran tanganku.
Dalam hati, aku menjerit senang. Syukurlah, akhirnya ada teman juga.
Setidaknya, aku tidak akan tampak bodoh karena sendirian.
Tiba-tiba, suasana berubah gaduh. Kerumunan mulai terbentuk. Aku dan
Monik saling pandang.
“Briefing-nya mau mulai,” bisik Monik. Kami pun bergeser dan mengambil
tempat agak di belakang.
Selama briefing berlangsung, aku hanya menunduk menatap kaki. Tidak
BUKUNE
mengerti dengan apa yang dibicarakan. Hampir saja aku menguap lebar
seandainya Monik tidak mencolek tanganku.
“Disuruh ke depan,” bisiknya. Aku tersentak kaget. Monik berjalan duluan
dan, walaupun masih setengah tidak mengerti, aku mengikuti Monik dari
belakang.
“Hari ini kita kedatangan dua karyawan baru. Ayo, masing-masing
perkenalkan diri,” kata bapak-bapak yang mengenakan kemeja biru. Sepertinya
dia yang bernama Pak Wira.
“Selamat pagi, Semuanya. Saya Fla Regina, panggil saja Fla,” kataku
memperkenalkan diri.
“Saya Monika, panggil saja Monik.”
“Kenalan lebih lanjutnya dilanjutkan nanti, ya,” ujar si bapak. Aku melirik
name tag di kemejanya. Wira Gunadi.
Setelah berdoa, semuanya langsung bubar. Tinggal aku dan Monik yang
berdiri kebingungan.
“Ayo, kalian langsung ke depan,” ajak Pak Wira.
Tergopoh-gopoh, aku dan Monik mengikuti langkah pria itu.
“Ini, anak-anakmu yang baru,” ujar Pak Wira kepada seorang wanita bewajah
serius.
“Ini head CS kalian,” kata Pak Wira lagi.
“Merin,” katanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.
Hampir bersamaan, aku dan Monik membalas uluran tangannya.
“Fla, Bu,” kataku.
“Jangan panggil Ibu, Mbak aja,” katanya.
Aku dan Monik hanya nyengir.
Tidak lama kemudian, Pak Wira meninggalkan aku dan Monik yang masih
diliputi kebingungan tentang apa selanjutnya yang harus kami lakukan.
“Simpan dulu tas kalian di loker.”
Aku dan Monik mengikuti langkah Mbak Merin ke ruangan kecil yang
terletak di samping area CS.
BUKUNE
“Ini, kalian pelajari dulu. Kalau ada yang membingungkan, bisa kalian tanyain
ke aku atau senior-senior yang lain.” Mbak Merin menyerahkan setumpuk kertas
fotokopian.
“Hari ini, kalian training sambil lihat gimana sebenarnya kerjaan CS. Monik,
kamu sama Anya, ya. Fla sama Herfi.”
Mbak Merin menyuruhku menuju meja CS dengan papan nama bertuliskan
HERFI. Berbekal setumpuk kertas yang belum sempat kulihat isinya, aku bergegas
menghampiri meja yang dimaksud. Monik sudah duduk manis di samping Mbak
Anya. Aku memberikan kode dengan lambaian tangan.
“Ambil aja kursi yang itu,” kata Mas Herfi sebelum aku sempat bertanya.
Aku melirik Mas Herfi dari samping. Masa dari tadi aku hanya didiamkan
saja. Ganteng sih ganteng, tetapi kalau bisu juga percuma. Aku terus mengomel
dalam hati.
“Nanti kalau ada nasabah, kamu perhatiin ya apa-apa aja yang aku lakuin,”
kata Mas Herfi tiba-tiba. Aku mengangguk.
Jika dilihat sekilas, sepertinya tugas CS tidak terlalu ribet, padahal ada begitu
banyak tetek bengek lain yang tidak dilihat nasabah, belum lagi tanggung jawab
mereka untuk mengurus aliran dana masuk dan keluar. Aku jadi bersemangat
untuk belajar lebih banyak.
“Setiap kali ada nasabah yang datang, kamu harus langsung tanggap dengan
menawarkan bantuan. Selalu berdiri, salaman, senyum, dan sapa. Jangan lupa
selalu perkenalkan nama kamu juga,” jelasnya lagi. “Kamu perhatiin dulu, ya.”
Seorang ibu mendekat. Mas Herfi berdiri dari tempat duduknya.
“Selamat pagi, Ibu, saya Herfi. Silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu,
Bu?” tanyanya setelah si Ibu duduk.
“Saya lupa pin ATM saya. Tadi sudah coba berkali-kali. Sekarang sepertinya
sudah kena blokir,” sahut si Ibu.
“Mohon maaf, sebelumnya boleh saya tahu dengan Ibu siapa saya bicara?”
Mataku tidak berkedip memperhatikan mereka berdua.
“Lena,” sahut si Ibu.
BUKUNE
“Saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Boleh saya pinjam kartu ATM,
buku tabungan, dan KTP-nya? Saya bantu mencocokkan data terlebih dahulu.”
Mas Herfi kemudian mengecek KTP, kartu ATM, dan buku tabungan milik
wanita bernama Lena itu. Dia kemudian sibuk mengetikkan sesuatu di komputer,
mungkin mencari data ibu itu.
“Pin-nya sama sekali tidak bisa diingat lagi, ya, Bu?” tanya Mas Herfi. Si Ibu
menggeleng.
“Kartu ATM-nya ganti baru saja ya, Bu? Tapi kalau Ibu Lena masih bisa ingat
pinnya, tinggal diaktifkan lagi saja,” jelas Mas Herfi.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Ganti baru aja,” sahutnya.
Tidak lama, Mas Herfi mengambil selembar kertas dan menulis data sang
nasabah. Aku terus memperhatikan.
Satu nasabah selesai. Mas Herfi kembali berdiri dan mengucapkan salam.
“Intinya, kamu harus selalu mengutamakan keperluan nasabah. Harus tanggap
dengan keluhan mereka dan tetap tersenyum walaupun menerima komplain,”
jelas Mas Herfi. “Kita juga punya standar greeting yang harus konsisten kamu
terapkan.”
“Greeting? Maksudnya, Mas?” tanyaku bingung.
“Seperti yang saya lakukan tadi. Berdiri, mengucapkan nama, menawarkan
bantuan, menyebutkan nama nasabah minimal tiga kali.”
Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Penguasaan produk juga sangat penting. Usahakan kamu hafal di luar kepala.
Yang penting-penting aja, misalnya produk tabungan, setoran awalnya berapa,
ada nggak biaya adminnya, benefitnya, bunganya, ATM juga,” jelas Mas Herfi
panjang lebar. “Kalau semua itu sudah kamu kuasai, nanti baru pelan-pelan
belajar sistem. Nggak susah, kok.”
Ternyata Mas ini baik juga, tidak sedingin wajahnya.
Seharian, yang kulakukan hanya duduk mengamati nasabah. Aku tidak tahu
apa yang dipikirkan nasabah yang melihatku menempel terus di samping Mas
Herfi. Semoga saja mereka tidak mengira aku adalah petugas sensus yang
sedang mendata keuangan mereka.[]
BUKUNE
The Missing Thing
IAN
Kamu berubah, jarang mau bls SMS
dan terima telp aku lagi.
Knp? Ak ngerasa ada yg ga beres
dgn hubungan kita.
Sbnrnya apa yg kamu mau?
Angkat teleponku!
BUKUNE
BUKUNE
Bencana
A ku berulang kali mengucek mata. Orang yang tidak tahu, pasti mengira aku
tengah menangis. Padahal, aku sedang mati-matian menahan agar tidak ketahuan
sedang mengantuk. Ujung-ujungnya, mataku malah memerah, mirip seperti
orang yang habis menangis.
Baru pukul sebelas, tetapi perutku sudah lapar dan kepalaku kosong, tidak
bisa lagi diajak berpikir. Aku bosan.
Aku tidak tahu apakah ini kebahagiaan atau penderitaan dipindahkan ke
Kantor Cabang Pembantu yang baru buka beberapa hari. Bahagianya karena
tidak perlu berurusan dengan karyawan-karyawan di cabang induk yang
sebagian besar menyebalkan. Di mana aku terus dianggap anak baru yang selalu
BUKUNE
disuruh-suruh dan disalahkan atas segala masalah hanya karena aku memang
masih belum memahami segalanya. Deritanya, mungkin lama-lama aku bisa
mati bosan karena di sini masih minim nasabah.
Aku mengerjap-ngerjap agar kantukku hilang. Semoga tidak ada nasabah yang
melihat, nanti dikira aku CS genit yang mencari perhatian. Namun, memang dari
tadi tidak ada nasabah.
Seandainya CCTV sialan itu tidak tepat mengarah ke mukaku, pasti dari tadi
aku sudah tidur siang dengan sukses. Aku membetulkan posisi duduk, mencoba
bertahan dengan siksaan kantuk dan sepi di kantor baru ini.
Mataku mengarah ke luar. Untung saja pintu terbuat dari kaca transparan, jadi
apa pun yang terjadi di luar bisa terlihat olehku. Seru kali, ya, jika tiba-tiba ada
perampok bertopeng yang datang seperti yang sering diberitakan di TV?
Tiba-tiba, seseorang mendorong pintu dan masuk dengan tergesa. Hampir saja
sekuriti yang bermaksud membukakan pintu ditabraknya. Belum sempat sekuriti
menanyakan keperluannya, orang itu langsung menuju ke arahku.
Aku langsung siaga satu. Semoga saja riasanku belum luntur.
“Selamat siang, Ibu. Saya Fla. Silakan duduk,” kataku sambil berdiri dan
menyodorkan tangan untuk bersalaman. Dia tidak menyambut uluran tanganku
dan langsung duduk.
“Maaf, boleh saya tahu dengan Ibu siapa?” tanyaku setelah kembali duduk.
“Vina,” jawabnya judes.
“Maaf, Ibu Vina, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dengan nada ramah.
“Saya mau komplain, Mbak. Ini kartu kredit saya sudah beberapa bulan lalu
saya tutup, tapi kok tagihannya masih datang? Bulan lalu saya sudah telepon ke
Customer Care, katanya nanti bakal dihapus tagihannya. Tapi bulan ini malah
ditagih lagi. Ini gimana, sih, Mbak?” katanya berapi-api.
Pelan-pelan, aku menarik napas. Kunci menghadapi nasabah yang sedang
marah: kita tidak boleh ikut-ikutan marah juga.
“Ibu Vina, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Boleh saya pinjam kartu
kredit dan KTP-nya? Saya bantu melakukan pengecekan dulu.”
BUKUNE
Si Ibu mengorek-ngorek tas, yang bisa kutebak harganya berkali-kali lipat dari
gajiku sebulan.
“Saya cek dulu ya, Bu,” kataku setelah menerima kartu kredit dan KTP-nya.
Wajah si Ibu masih cemberut.
“Ibu Vina, mohon maaf. Di sistem, data kartu kredit Ibu memang sudah tutup
dan tidak ada tagihan lagi.”
“Tapi, kemarin saya baru terima tagihan lagi, Mbak!” dia langsung memotong.
“Boleh saya lihat tagihannya, Bu?”
Lagi-lagi, si Ibu mengorek-ngorek tasnya. Heran, apa barang-barang di tasnya
tidak bisa disimpan dengan rapi? Setelah sekian lama mengaduk-aduk isi tasnya,
dia pun berhenti.
“Saya telepon anak saya dulu, suruh dia antar ke sini.”
Ampun, deh, kukira dia sudah menyerah.
Si Ibu mengeluarkan ponsel dari tasnya, yang tentu saja keluaran terbaru.
“Atau begini saja, Ibu Vina. Saya buatkan formulir pengaduannya. Masalah
Ibu nanti saya adukan ke Card Center. Kalau ada perkembangan, saya akan
menghubungi Ibu lagi,” tawarku.
“Tunggu sebentar, anak saya sudah di jalan.” Dia tetap bersikukuh dan
kembali menelepon anaknya. Kantuk dan laparku seketika hilang.
Seharusnya, dalam situasi seperti ini, aku bisa mengajaknya mengobrol dan
menawarkan produk-produk perbankan lainnya. Namun, melihat raut wajahnya
yang tampak tidak berminat, akhirnya kuurungkan niat itu. Aku hanya
memandang lurus ke arahnya sambil tersenyum, sedangkan dia sibuk dengan
ponselnya.
“Nah, itu dia!” katanya setengah bersorak.
Cepat sekali anaknya datang. Apa rumah mereka di samping bank ini?
Baru saja melewati pintu, anaknya sudah ditegur oleh sekuriti. Rasakan, siapa
suruh pakai kacamata hitam segala! Memangnya sedang di pantai?
“Kan udah aku bilang, tagihan yang ini punya aku.” Pria itu langsung
BUKUNE
menghampiri ibunya sambil melepaskan kacamata hitam yang dia kenakan. Aku
menatapnya tak percaya. Dia ....
“Punya Mama kan sudah ....” Mendadak, dia menghentikan ucapannya saat
melihatku.
Aku begitu ingin gempa terjadi agar bumi menelanku ke dalam perutnya dan
aku bisa menghilang, lenyap dari sini segera.
Seandainya tidak ada istilah profesional dalam bekerja, mungkin saat ini aku
akan pura-pura pingsan, masuk UGD, dan tidak perlu bertemu dengannya.
“Fla?” tanyanya dengan nada ragu.
Mau tidak mau, aku menegakkan kepala dan tersenyum. Hirup napas,
lepaskan. Buang semua kenangan buruk itu.
“Eh ..., Aga, ya?”
Ugh, mengapa aku tidak pura-pura tidak mengenalnya saja? Seharusnya dia
sudah melupakanku, jadi aku semestinya melakukan hal yang sama. Dan,
seharusnya aku tidak perlu segrogi ini.
“Siapa, Ga?” Si Ibu penasaran.
“Adik kelasku waktu SMA dulu, Ma,” sahutnya, kemudian duduk di depanku.
Aku jadi tidak ingat lagi bahwa aku harus berdiri dan mengucapkan salam
kepada setiap nasabah. Aku cemas, jangan-jangan dia akan mengatakan kepada
ibunya bahwa aku ini gadis tidak tahu diri yang pernah menyatakan cinta
kepadanya. Mau disimpan di mana mukaku ini?
Aga tersenyum sambil menatapku. Sungguh, aku tidak suka dengan sikapnya.
Senyumnya seolah ingin mengejek, mengingatkanku kepada hal bodoh yang
pernah kulakukan beberapa tahun lalu.
“Oh, ya, boleh saya pinjam tagihannya sebentar, Ibu?” Aku langsung ingat
maksud si Ibu datang ke sini. Masa bodoh dengan Aga.
“Mamaku yang salah, ini tagihan punyaku. Punya Mama sudah ditutup
kemarin,” kata Aga.
Aku bengong sesaat, berusaha mencerna omongan Aga.
“Mama salah paham, dia kira tagihan yang datang kemarin punya dia. Padahal
BUKUNE
jelas-jelas atas namaku,” Aga mengulang penjelasannya.
Oooh ..., aku baru mengerti sekarang. Si Ibu berpenampilan wah yang ternyata
ibu dari orang yang dulu pernah diam-diam kutaksir ini salah paham. Untung
saja aku sabar dan baik hati, jadi tidak ikut-ikutan marah.
“Eh ..., iya, ya, Ga?” kata si Ibu malu-malu. “Ya sudah, kalau gitu. Maafin
Tante, ya. Soalnya kemarin Tante buru-buru lihatnya,” katanya sambil
tersenyum.
Mengapa juga dia tiba-tiba menyebut dirinya dengan kata “Tante”? Seperti
terkesan sok akrab denganku.
“Iya, nggak apa-apa, Tante,” sahutku sambil tersenyum ramah.
Tunggu, mengapa aku ikut-ikutan memanggilnya dengan sebutan Tante?
“Masih ada yang bisa saya bantu, Tante? Mungkin masih ada keluhan lain?”
tanyaku. Padahal, dalam hati aku ingin sekali Aga dan ibunya pergi secepat
mungkin.
Si Ibu, eh, si Tante menggeleng sambil tersenyum ramah.
“Ya sudah kalau gitu, aku antar Mama pulang dulu. Aku mau balik ke kantor
lagi,” kata Aga sambil beranjak pamit.
Aku pun ikut-kutan berdiri dan mengulurkan tangan. Aga menjabat tanganku
agak lama—aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin sebagai permintaan maaf
karena sudah membuat masa SMA-ku begitu suram. Mamanya juga ikut-ikutan
menjabat tanganku lama-lama. Padahal, tadinya dia tidak mau kuajak
bersalaman.
Aku menghela napas panjang. Semoga tidak ada Aga pada hari-hariku
selanjutnya. Melihat wajahnya saja sudah membuatku terlempar ke masa lalu.
Aku sudah tidak menyimpan perasaan apa-apa lagi terhadapnya. Sejak dia
menolakku dulu, rasa itu sudah kukubur jauh-jauh.
Aku justru dendam. Dulu, dia sudah membuat hidupku tersiksa karena
menanggung malu. Dia menyebarkan berita ke seluruh sekolah bahwa aku
menyatakan cinta kepadanya. Bayangkan, saat itu aku masih kelas satu. Aku
harus menahan malu selama hampir tiga tahun gara-gara kelakuannya.
BUKUNE
Aku membereskan meja, kemudian memasukkan dokumen-dokumen nasabah ke
lemari. Sudah waktunya pulang. Sejak pindah ke kantor ini, aku selalu pulang
tepat waktu. Itu juga salah satu kebahagiaan yang kudapatkan di sini.
Karena Jia tidak bisa menjemput, aku buru-buru menunggu angkutan umum.
Biasanya, jika sudah sore begini, angkutan umum sudah mulai jarang.
Aku menenteng tas kertas yang berisi sepatu. Aku lebih suka pulang dengan
sandal jepit daripada menggunakan heels yang menyakitkan ini karena aku harus
berjalan beberapa meter dari kantor, baru bisa menemukan tempat angkutan
umum mangkal.
Aku mendengus kesal ketika mendengar suara klakson. Padahal, aku sudah
berjalan di jalur yang benar, jadi apa yang membuat pengendara mobil itu
terganggu?
Mobil yang dari tadi mengklaksonku menepi. Si pengemudi membuka kaca
mobil sehingga aku bisa melihat sosok yang begitu ingin kumusnahkan hidup-
hidup.
“Baru pulang?” tanyanya dengan raut muka menyebalkan.
Aga![]
BUKUNE
Erlangga Yuda
S ejenak, aku menatap wajah yang muncul dari balik kaca mobil itu. Hari ini
tampaknya ketidakberuntungan sedang menguntitku.
“Baru pulang kerja?” ulangnya sekali lagi.
Aku menarik napas kesal. Memangnya aku kelihatan baru pulang dari mana?
Kondangan?
“Iya,” jawabku singkat.
“Mau bareng?” tawarnya.
Dengan tegas aku menggeleng. “Aku bisa pulang sendiri,” kataku yakin.
“Mau hujan,” katanya.
Aku mendongak. Awan sudah mulai menghitam.
BUKUNE
“Rumahku dekat, kok,” balasku tak mau kalah.
“Ya sudah, kalau gitu. Aku duluan, ya,” katanya.
Kukira dia akan memaksa. Sepertinya aku terlalu kegeeran.
Titik-titik air tiba-tiba membasahi wajahku. Semakin lama semakin deras.
Aku menggeram kesal. Mengapa harus hujan pada saat seperti ini? Aku bergegas
berlari untuk berteduh. Aku berhenti di bawah kanopi sebuah kedai roti.
Kutepiskan air hujan yang menempel di baju dan tas. Sepertinya aku harus
menunggu lebih lama sampai hujan reda.
“Bener, ‘kan, yang aku bilang? Deras banget lagi hujannya,” kata Aga sambil
tertawa mengejek.
Aku mengutuki diriku habis-habisan. Aga kembali dan memaksaku
menumpang mobilnya. Aku tidak punya pilihan lain jika aku tidak ingin diguyur
hujan lebih lama.
“Keringin pakai ini.” Aga mengulurkan beberapa lembar tisu kepadaku. Aku
mengambilnya dan menyeka wajah dan tanganku yang basah. Di luar, hujan
semakin deras. Besok-besok, akan kupaksa Jia untuk menjemputku setiap hari.
“Masih rumah yang dulu?” tanya Aga kemudian ketika aku sedang sibuk
menyesali nasibku hari ini.
“Dulu?” tanyaku bingung. Memangnya dia pernah tahu di mana rumahku?
“Iya, masih rumah yang sama dengan waktu kita SMA?”
Aku berpikir keras. Sejak kapan Aga tahu rumahku?
“Dari dulu nggak pernah pindah,” sahutku.
Aga mengangguk kecil, kemudian menjalankan mobilnya.
“Sudah berapa lama kamu kerja di sana?” tanya Aga saat aku tengah
melamun.
“Oh, baru tiga bulan,” jawabku. Pertanyaan basa-basi harus dijawab dengan
basa-basi juga.
Sebenarnya, terasa ada yang aneh dengan situasi ini. Aku tidak pernah
membayangkan bisa duduk berdua BUKUNE
di dalam mobil dengan Aga, orang yang
pernah kubenci—ralat, bukan pernah, tetapi sampai sekarang pun aku masih
membencinya. Seumur hidup, aku baru dua kali berbicara dengannya: ketika
menyatakan perasaanku dan saat ini. Menakjubkan, bukan? Namun, kini aku
tidak sedang ingin bernostalgia.
“Kita udah nggak pernah ketemu sejak aku lulus. Kirain kamu udah nggak di
Pontianak lagi.”
Aku menatap ke arahnya dengan heran. Ada apa ini? Aku tidak suka dia
mengorek-ngorek tentang kehidupanku.
“Aku di Pontianak terus, kok, kuliah juga di sini. Kamu kali yang kuliah di
luar,” jawabku malas.
“Ternyata kamu udah banyak berubah. Kamu bahkan enggak manggil aku
dengan sebutan kakak lagi.” Dia tiba-tiba tertawa keras.
Aku tersenyum masam. Tidak ada yang lucu.
Aku menyesali keputusanku menghindari hujan dan menumpang di mobilnya.
Bukan grogi, aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kami tidak pernah
mengobrol sebelumnya. Dan, kini dia tiba-tiba muncul, berpura-pura akrab
denganku. Mengajakku berbicara, membuatku mengingat masa lalu hingga
merasa sangat rendah diri.
“Mamaku suka sama kamu,” kata Aga.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Katanya, mungkin kita berdua bisa cocok.”
Aku membelalak. Sepertinya mama Aga adalah tipe ibu yang frustrasi karena
anaknya tidak laku-laku juga. Masa baru sekali bertemu sudah bisa membuat
penilaian seperti itu?
“Jadi, kamu masih suka sama aku?”
Jika tadi aku sudah membelalak, kali ini bola mataku seakan mau keluar
mendengar kalimat yang dia ucapkan. Jangan mengira Aga mengatakannya
dengan nada lembut dan romantis karena yang terdengar hanya nada datar, mirip
orang yang menanyakan, “Kamu udah makan?”
“Nggak usah bercanda, Ga!” kataku kesal. “Nggak usah ngerjain aku lagi,”
lanjutku. BUKUNE
“Aku nggak pernah ngerjain kamu,” sanggahnya.
“Udahlah, turunin aku di sini. Rumahku udah dekat,” pintaku, menahan
kekesalan yang menumpuk. Pria ini benar-benar belum puas membuat hidupku
menderita.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru kamu aku turunin,” katanya dengan nada
dingin.
“Pertanyaan apa?! Jawabannya udah jelas enggak!” Kali ini, aku benar-benar
berteriak. Untung saja suara hujan lebih keras daripada suaraku.
“Lebih baik kamu pikirin lagi. Nanti malam aku dan Mama ke rumah kamu.”
“Hah? Ngapain?”
“Ngelamar.”
“Enak aja! Jangan harap aku bakal bilang iya!”
“Kamu boleh ngomong apa pun sesukamu sekarang, tapi nanti kamu pasti
bakal narik ucapan kamu lagi.” Aga terkekeh, lalu menepikan mobilnya.
Aga benar-benar nekat tanpa kompromi. Mungkin sedikit gila. Padahal sudah
kukatakan bahwa aku tidak lagi menyukainya.
Aku tahu dia hanya ingin mengejekku atas tindakan bodoh yang pernah
kulakukan dulu. Semacam usaha untuk menenggelamkanku pada genangan
kenangan buruk. Dia pasti tahu jelas perasaanku sekarang. Cinta yang dulu, kini
sudah berganti benci.
Namun, kedatangannya bersama mamanya malam ini ke rumahku membuatku
berpikir ulang. Apa maunya? Bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu, dan
aku juga tidak pernah berniat untuk mencari tahu tentang dirinya. Mengapa dia
harus datang lagi ke kehidupanku dengan cara seperti ini? Melamarku di
hadapan orangtuaku saat aku setengah mati membencinya. Perlu digarisbawahi,
melamarku!
“Maaf, ya, Pak, Bu. Mungkin ini terkesan terlalu cepat. Tapi, saya senang
sekali waktu tahu Aga dan Fla sedang menjalin hubungan,” ucap Tante Vina
BUKUNE
kepada Mama dan Papa. Aku yakin Mama dan Papa syok dengan kedatangan
Aga dan mamanya yang tiba-tiba. Mengingat selama ini aku juga tidak pernah
terlihat dekat dengan pria mana pun. Itu pun karena aku dan Ian berhubungan
diam-diam.
Aku hampir saja menyela dan ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi
antara aku dan Aga, tetapi Mama lebih dulu memotong.
“Malah kami yang harus berterima kasih. Kami nggak nyangka kalau selama
ini Fla menyembunyikan hubungannya dari kami. Kami menerimanya dengan
senang hati,” jawab Mama sambil tersenyum bahagia, yang mengingatkanku
kepada momen setahun lalu. Ketika Ian melamarku. Astaga, bagaimana aku
harus menjelaskan kepada Mama dan Papa bahwa sampai saat ini aku masih
menjalin hubungan dengan Ian?
“Anggap saja kedatangan kami ini sebagai silaturahmi sebelum lamaran yang
sebenarnya,” kata Tante Vina.
Aku berusaha menahan emosiku, tidak baik marah-marah di hadapan
orangtuaku yang tidak tahu apa-apa. Aku menatap Aga dengan tatapan
membunuh. Setelah ini, aku harus membuat perhitungan dengannya.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Mama dan Papa langsung mengiakan
permintaan Aga tanpa meminta persetujuan dariku dulu. Apa mereka merasa
lega karena akhirnya aku bisa berhubungan dengan pria selain Ian?
“Kami akan saling mengenal dulu, Om, Tante. Saya nggak mau Fla nanti
kaget dengan permintaan saya yang tiba-tiba ini.” Sekarang Aga yang berbicara.
Mama dan Papa hanya tertawa menanggapi omongan Aga. Mereka bahkan
tidak tahu aku baru mengenal pria ini beberapa jam yang lalu. Ya, aku
beranggapan baru mengenalnya karena dulu aku memang tidak tahu apa pun
tentang dia.
“Aku akan membunuhmu,” bisikku ke telinganya saat akan mengantar dia dan
mamanya ke teras.
“Coba aja kalau bisa.” Dia tertawa pelan. “Aku lebih suka kamu yang dulu,
BUKUNE
diam dan nggak banyak nuntut,” Aga balas berbisik.
“Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah nurutin kemauan kamu,” ujarku
lagi sambil menatapnya tajam.
Aga tidak membalas, dia hanya tertawa mengejek sambil beranjak pergi.
Aku akan membuatmu menyesal karena telah berani mengganggu hidupku lagi,
Erlangga Yuda![]
Tolong Musnahkan Dia
A ku terus menatap layar ponsel dengan gelisah. Aneh, kenapa dari tadi tidak
ada seorang pun yang menghubungiku? Aku mendesah kesal. Bahkan Jia tidak
menelepon untuk menanyakan bagaimana aku pulang sore ini. Apa dia lupa
sepupunya ini tidak bisa pulang jika tidak dijemput?
Seharian ini, aku tidak bisa menghubungi siapa pun. Di ponsel milik Aga ini,
tidak ada kontak yang kukenal. Salahku juga karena menyimpan kontak ke
ponsel, bukannya kartu sim. Aku jadi tidak bisa menghubungi Ian. Semoga saja
dia tidak marah-marah seperti biasanya.
Salahkan saja sifat pelupaku yang tidak bisa mengingat satu pun nomor ponsel
orang. Tentu saja semua ini gara-gara Aga! Seandainya dia tidak menahan
BUKUNE
ponselku, mungkin nasibku tidak akan seperti ini.
“Udah mau pulang?” tanyaku kepada Raka yang tengah melintas. Aku tahu
Raka masih marah gara-gara kejadian tadi pagi. Dia tidak berbicara kepadaku
seharian ini. Padahal, jika dia bertanya, aku pasti akan menjelaskan dengan jujur
siapa Aga.
Tak peduli apa tanggapan Raka, aku harus menyapanya. Terutama supaya aku
dapat mendapat tawaran pulang bersama.
“Eh ..., iya,” sahutnya. “Aku duluan, ya,” lanjutnya lagi.
Raka pergi tanpa menawarkan basa-basi tumpangan. Mungkin aku saja yang
tidak tahu diri. Jelas-jelas tadi pagi Aga telah mempermalukannya, wajar saja
sekarang dia menjaga jarak denganku. Jika aku di posisi Raka, pasti aku akan
melakukan hal yang sama.
Aku mengutak-atik ponsel Aga dengan kesal sambil berharap ada yang
menghubungiku. Matahari sudah mulai meredup, artinya sebentar lagi malam
akan datang. Aku menghela napas. Mungkin hari ini aku harus kembali pulang
dengan angkot atau taksi.
Setengah ragu, aku menuju ATM, berharap semoga masih ada uang cukup
untuk ongkos taksi pulang. Jam segini angkot pasti sudah tidak ada. Aku tidak
bisa berharap banyak dengan uang di dompetku yang tinggal recehan.
Aku mendesis geram. Bahkan di ATM-ku tidak tersisa uang sedikit pun.
Hanya bersaldo minimal. Apa malam ini aku harus menginap di kantor?
Ponsel Aga tiba-tiba berbunyi, sangat berisik hingga aku nyaris melempar
benda itu saking kagetnya. Mengapa dia bisa menggunakan nada dering norak
seperti ini?
Sejenak, aku menatap ponselnya tanpa berkedip. Sudah barang tentu aku tidak
mengenal sederet nomor asing yang tertera di layarnya itu.
“Halo?”
“Jangan harap kamu bisa melarikan diri.” Terdengar suara dari seberang sana.
Aku melongo, mencoba mencerna maksudnya.
BUKUNE
“Siapa, ya?” tanyaku. Suara pria, yang pasti bukan suara Ian ataupun Papa.
“Kenapa kamu belum pulang juga? Sengaja, ‘kan?” tanyanya lagi.
Ya ampun, apa orang ini tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Jelas-jelas tadi aku menanyainya, jadi mengapa dia tidak menjawab dan malah
balik menanyaiku?
“Maaf, mungkin salah sambung,” kataku sambil menekan layar untuk
mengakhiri panggilan.
Tidak beberapa lama, ponsel itu kembali berbunyi nyaring. Masih nomor yang
sama. Apa salahku sampai diteror seperti ini?
“Aku udah di rumah kamu. Mau sampai jam berapa kamu di kantor? Atau, kamu
mau ponselmu kujual?”
Mendengar kalimat itu, aku berpikir keras. Jangan-jangan ....
“Aku tunggu lima belas menit lagi,” lanjut suara itu.
“Aga ...! Tu-tunggu dulu!” jeritku setelah menyadari siapa yang menelepon.
“Kamu di rumahku, ‘kan? Tolong bilang ke Jia, jemput aku sekarang. Aku nggak
bisa pulang,” kataku dengan suara memelas.
“Manja amat. Pakai taksi kan bisa,” katanya.
“Nggak punya uang. Buruan kasih tahu Jia.”
Belum juga aku mendengar jawaban darinya, ponsel itu tiba-tiba mati.
Kupaksa untuk menyalakannya lagi, tetapi layar ponsel tetap hitam, tidak ada
tanda-tanda bisa menyala.
Aga pasti sengaja meminjamkanku ponselnya yang sudah soak.
Membayangkan wajahnya yang sedang tertawa penuh kemenangan membuat
kepalaku jadi panas.
Aku menimbang-nimbang. Apa sebaiknya kupinjam saja uang dari sekuriti
kantor untuk ongkos taksi? Namun, tahu, ‘kan, bagaimana rasanya jika
menerapkan prinsip harga diri adalah segalanya?
Kuraih setangkai anyelir di meja kerjaku. Kupertaruhkan hidup dengan
mengadu untung dari perhitungan kelopaknya. Aku mencabut kelopak bunga
sambil mengucapkan “pinjam” dan “tidak” secara bergantian. Kelopak terakhir
bersamaan denganku mengatakan BUKUNE
“pinjam”. Belum puas dengan hasilnya, aku
mengambil tangkai bunga yang baru lagi. Semoga saja besok tidak ada yang
curiga mengapa bunga di atas mejaku mendadak terkena sindrom merontokkan
diri. Baru dua kelopak tercabut, terdengar suara yang memanggil namaku.
“Mbak Fla ....” Mendadak sekuriti kantorku muncul. Apa dia memiliki firasat
yang kuat bahwa aku sedang kesusahan?
“Ditunggu pacarnya di depan tuh, Mbak,” lanjutnya.
Sedetik, aku melongo.
“Oh, ya ..., makasih, Pak,” sahutku akhirnya.
Tidak mungkin Ian yang menjemput, dia sedang di luar kota. Tidak mungkin
juga Papa karena aku yakin sekuriti kantorku tidak akan salah mengenali umur
orang. Sudah pasti bukan Jia. Jadi hanya tinggal satu orang yang bisa
disalahpahami sebagai pacarku.
“Aku nggak minta kamu yang jemput,” kataku kesal.
“Jia nggak di rumah. Buruan naik, nggak usah kebanyakan ngomel,” katanya.
Aku mengempaskan tubuhku ke jok mobil Aga.
“Mana ponselku?” tanyaku sesampainya di rumah.
“Utangmu belum lunas. Dan kali ini utangmu jadi dua kali lipat dengan
tambahan layanan jemput tadi.” Dia tersenyum sinis.
“Emangnya kamu rentenir?! “ sahutku jengkel.
“Kamu harus melunasinya kalau mau ponselmu kembali.”
“Aku nggak mau!” tolakku tegas. “Aku capek, Ga! Seharian kerjaanku
banyak, makan aja nggak sempat. Apa lagi, sih, yang kamu mau? Nggak cukup
apa sepanjang hari ini kamu bikin hidupku susah?” cercaku. Untuk hal tidak
sempat makan aku berbohong, hanya agar protesku dia perhitungkan.
“Ponselmu akan jadi milikku dan jangan nyalahin aku kalau ada foto-foto
pribadimu yang tersebar,” katanya.
Mendadak, aku terdiam, berusaha keras mengingat-ingat apa saja isi galeri
fotoku. BUKUNE
“Oke, aku turuti kemauanmu. Asal memenuhi syarat yang aku sebutin tadi
pagi,” kataku akhirnya. Ngeri juga membayangkan foto mesraku dengan Ian
disebar. Ini artinya Aga sudah mengubrak-abrik isi ponselku. Seharusnya dia
yang kutuntut karena sudah melakukan tindakan yang membuatku merasa tidak
nyaman.
“Apa maumu?” tantangku.
“Temani aku malam ini,” katanya.
“Ogah! Kalau permintaan kamu kayak gitu, aku nggak mau!” sahutku kesal.
“Kamu kira aku wanita murahan?!” aku sudah setengah berteriak.
“Bisa nggak kamu diam dulu sebelum aku selesai bicara?” kata Aga di sela
kemarahanku. “Temani aku ke acara kantorku malam ini,” jelasnya.
Perlahan, wajahku terasa memanas, malu.
“Ajak yang lain aja, aku nggak suka pesta,” elakku.
“Bukan pesta, cuma peresmian kantor baru,” kata Aga lagi.
Aku menatap mata Aga dengan pandangan memelas, berharap Aga mau
mengasihaniku.
“Pilih mana, ikut aku dan ponselmu kembali atau menolak dan isi ponselmu
aku sebar luaskan,” ancamnya, yang sukses membuatku mengangguk,
menyetujui permintaannya.
“Dan, kamu harus berperan sebagai tunanganku,” bisiknya tepat di telingaku.
[]
BUKUNE
Mimpi Buruk
A ku tidak tahu apakah pilihanku benar atau tidak: menuruti permintaan Aga
demi mendapatkan ponselku kembali. Aga memaksaku menemaninya ke acara
kantor. Baiklah, sebenarnya bukan masalah yang harus dibesar-besarkan.
Sekadar menemani, anggap saja seperti menemani Jia makan es krim di
minimarket 24 jam. Namun, jika aku harus berperan sebagai tunangannya, itu
baru masalah besar.
Bagaimana aku harus berpura-pura sebagai tunangannya sedangkan dalam
hati aku diam-diam ingin memusnahkannya? Tidak mungkin perasaan benciku
berubah menjadi suka.
Aku menatap pantulan wajahku di cermin dengan tidak bersemangat. Aku
BUKUNE
menepuk-nepukkan bedak ke pipi dengan asal-asalan. Semoga saja Aga nanti
malu karena telah memilihku untuk menemaninya.
Aku menarik sembarang baju dari lemari. Tadi Aga bilang bukan pesta, hanya
peresmian kantor baru. Jadi, aku tidak harus berpakaian formal, bukan?
Sepertinya cukup dengan dress berpotongan sederhana ini. Sebenarnya, jika bisa,
aku malah ingin memakai jins. Namun, tentu saja aku tidak ingin
mempermalukan diri sendiri juga.
“Sudah,” kataku singkat.
Aga sedang menunggu di teras rumah. Dia menoleh ke arahku dan menatapku
agak lama. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku.
“Ayo,” katanya.
Aku kira dia akan mengomentari penampilanku yang minim make-up dengan
pakaian yang tidak cocok untuk acara formal. Anehnya, Aga tidak mengatakan
apa-apa lagi sampai kami masuk ke mobil. Padahal, jika dia berani berkomentar,
aku tidak akan segan-segan membatalkan rencana.
“Acaranya mulai jam berapa?” tanyaku kemudian setelah beberapa menit
kami hanya saling diam.
“Setengah jam lagi.”
“Kenapa nggak ngajak pacar kamu aja?”
“Mereka nggak mau,” sahutnya.
Mereka? Maksudnya pacarnya banyak? Sombong amat.
“Kenapa juga harus aku yang diajak?” tanyaku kesal.
“Kamu bawel banget, sih! Duduk diam aja kenapa? Kalau perlu, tidur
sekalian,” kata Aga dengan nada tinggi. Aku memberengut. Baru saja aku
mengira dia mendadak berubah, ternyata masih sama saja. Tetap menyebalkan!
Aga berkonsentrasi mengemudi. Aku menatapnya dari samping. Sepertinya,
beberapa hari ini aku tidak pernah memperhatikan wajah Aga dengan benar.
Sikapnya akhir-akhir selalu membuatku kesal, jadi mana mungkin aku mau
berlama-lama menatap wajahnya?
Namun, Aga tidak terlalu banyak berubah. Wajahnya tetap tampan, meski
lebih matang dibandingkan sewaktu BUKUNESMA. Ada bintik-bintik hitam bekas
cukuran di dagu dan rahangnya. Struktur wajahnya juga terlihat lebih keras,
benar-benar terlihat seperti pria dewasa. Dan, matanya, masih saja tajam dan
membius.
“Mau sampai kapan kamu melamun? Aku emang ganteng, tapi nggak perlu
dipandangi sampai segitunya.”
Aku tersentak dan membuang muka, pura-pura memandangi lampu jalanan
yang memecah gelap malam.
“Udah sampai. Jangan bertindak bodoh. Ingat peran kamu,” katanya dengan
nada mengancam.
Aku membuka pintu mobil Aga tanpa semangat, lalu menatap sekeliling.
Parkiran disesaki mobil-mobil mahal. Tak jauh, tampak gedung mewah yang
menjulang, dengan cahaya lampu yang terang benderang. Sepertinya, acara
malam ini bukan peresmian kantor biasa.
Baru saja aku menjejakkan kaki ke tanah, sebuah tangan yang kokoh sudah
menyambut lenganku. Hampir saja aku menepiskannya.
“Ingat peran kamu,” bisiknya di telingaku, membuat tubuhku sontak
merinding.
“Ini masih di parkiran.”
“Kamu nggak lihat apa ada banyak orang di sini?” Aga kemudian
melingkarkan tangannya ke pinggangku.
“Jangan sentuh-sentuh!” bentakku dengan suara pelan.
“Bodoh, nanti orang curiga dengan kita,” katanya, sama sekali tidak berniat
melepas rangkulan. Semoga Ian tidak pernah tahu apa yang kulakukan hari ini.
Aga tersenyum sepanjang jalan menuju gedung. Beberapa orang yang kami
temui di parkiran terlihat mengangguk hormat ketika Aga lewat. Sepertinya dia
lumayan disegani di lingkungan kantor.
“Selamat malam, Pak Erlangga.” Seorang pria, yang didampingi wanita yang
sepertinya istrinya, menyapa Aga ketika kami sudah mau memasuki gedung.
“Malam, Pak Hadi. Apa kabar?” Aga menyalami mereka. Aku mematung di
sampingnya.
“Kenalkan, Pak. Ini Fla, calon BUKUNE
istri saya.” Aga tersenyum lebar ketika
memperkenalkanku. Aku merasa seperti barang lelang yang sedang dipamerkan.
Mau tidak mau, aku menyalami mereka dengan senyum yang tak kalah lebarnya.
“Kapan, nih, peresmiannya?” tanya Pak Hadi.
Aku melirik Aga. Tidak mungkin, ‘kan, aku asal menjawab?
“Akhir tahun ini, Pak,” jawabnya yakin.
“Selamat, ya, kalau begitu.”
Sekali lagi, aku melihat Aga tersenyum lebar. Ternyata dia pintar berakting
juga.
“Ternyata alasan kamu bawa aku ke acara ini cuma biar dianggap udah laku,
ya?” kataku pelan setelah Pak Hadi dan istrinya pergi.
“Tugas kamu cuma nemenin aku, jadi nggak usah banyak komentar,”
balasnya.
Pria ini kejam, tidak ada manisnya sama sekali.
“Jabatanmu pasti udah tinggi, tapi sayang sekali belum punya pasangan.” Aku
tidak tahan untuk mengejeknya.
“Sekali lagi kamu bicara, akan kucium kamu di sini,” ancamnya dengan suara
yang anehnya terdengar lembut.
Aku terdiam dan tak berani menatapnya lagi. Sepertinya aku sudah salah
mengambil langkah. Berurusan dengan pria ini selalu mengancam nyawaku,
sama seperti dulu.
Aga kemudian melepaskan tangannya dari pinggangku. Baru saja aku menarik
napas lega, tangan Aga malah menggenggam tanganku dengan erat. Bodohnya,
jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Apa-apaan ini?
“Ternyata kamu nggak bohong, ya, Ga.” Kali ini, seorang pria seumuran Aga
yang menghampiri kami. “Pacarmu?”
“Calon istriku,” jawab Aga, lagi-lagi mengulas senyum. Entah sudah berapa
kebohongan yang Aga ucapkan hari ini.
“Kamu tahu, dia dijuluki es kutub sama karyawan di sini,” kata pria itu
kepadaku sambil tertawa. “Oh, ya, aku Doni.” Pria itu mengulurkan tangan
kepadaku, tetapi langsung ditepis oleh Aga.
BUKUNE
“Fla,” sahutku, merasa tidak enak karena perlakuan Aga yang tidak sopan itu.
“Ayo, Sayang, kita ke tempat yang lebih aman aja.” Aga kemudian menarik
tanganku. Sayang?!
“Dasar pelit.” Suara tawa teman Aga itu masih terdengar di belakangku.
“Mau makan?” tanya Aga penuh perhatian.
Aku mencibir dalam hati. Dasar tukang sandiwara!
“Mau, tapi harus diambilin sama kamu,” kataku dengan nada manja yang
sengaja kubuat-buat. Rasakan, memangnya hanya dia yang bisa mengelabui
semua orang? Saatnya aku membalas dendam.
“Ya udah. Tunggu, ya.” Aga menyentuh puncak kepalaku perlahan. Jika tidak
ada orang di sini, mungkin sudah kutendang dia ke ujung bumi.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Semua berwajah asing, tidak ada
satu pun yang kukenal. Aku tidak tahu kapan acara intinya akan dimulai. Atau,
mungkin sudah dimulai dan kami melewatkannya. Karena dari tadi aku tidak
melihat apa pun selain orang-orang yang sibuk dengan makanan masing-masing.
Pandanganku tiba-tiba terhenti di satu titik.
Mamanya Ian!
Tidak mungkin! Mengapa mama Ian di sini?
Mendadak, aku merasakan seluruh tubuhku gemetaran. Aku masih ingat
ketika dia menghinaku dengan tuduhan telah memperalat Ian. Ketika dia juga
menyinggung perasaan mamaku. Ketika dia menyemprotku dan mengatakan
bahwa aku tidak pantas untuk Ian.
Perlahan, aku melangkah mundur, menghindar agar dia tidak menyadari
keberadaanku.
Dari kejauhan, aku melihat Aga tengah berjalan ke arahku. Ayo cepat, Aga, kita
harus keluar dari sini, doaku dalam hati.
Napasku terasa berhenti saat Aga melewatiku, menghampiri wanita itu, dan
menyalaminya.[]
BUKUNE
Kabur
BUKUNE
Terima Kasih
BUKUNE
Ian vs Aga
L ama aku menatap wajah Ian yang terlihat kelelahan. Rasanya, tidak tega
melihat raut wajahnya yang seperti itu. Ian jarang mengeluh, tetapi melihat
wajahnya saja aku langsung tahu pasti saat ini dia sedang memendam masalah.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku sambil menyentuh tangannya. Ian tidak
membalas, hal yang jarang sekali dia lakukan.
“Kalau kamu capek, kita pulang aja, ya?” bujukku.
Ini pertemuan pertamaku dengan Ian setelah satu bulan kemarin dia tidak bisa
pulang dengan alasan sibuk. Sebenarnya, aku tidak suka dengan keadaan seperti
ini: berbulan-bulan tidak bertemu, dan pada saat bertemu hanya sedikit waktu
yang bisa kami habiskan untuk bersama.
BUKUNE
“Abisin dulu makanannya. Katanya tadi kamu pengin banget makan di sini,”
kata Ian.
“Lebih pengin ketemu kamu,” sahutku.
“Kamu ditinggal sebulan aja udah pinter gombal,” kata Ian sambil tertawa.
Aku tersenyum melihat perubahan wajah Ian. Sosok Ian yang suka bercanda
seperti inilah yang kurindukan.
“Kerjaanku lagi banyak banget. Nanganin perusahaan baru yang hampir
semua karyawannya masih belum bisa diandalkan. Tekanan ini dan itu bikin aku
pengin kabur.” Ian mengembuskan napas panjang.
Sekali lagi, aku menggenggam tangannya dengan erat. Aku tahu Ian tidak
butuh nasihat dariku. Aku tidak lebih banyak tahu dari dia. Aku hanya ingin
mendukung, memberi kekuatan, menunjukkan bahwa aku akan selalu ada
untuknya.
“Jadi, mungkin beberapa bulan ke depan aku bakal makin jarang pulang,”
lanjut Ian.
Aku menatap mata Ian dalam-dalam. Padahal, belum juga hilang rasa
kangenku, dia malah sudah berencana akan menambahnya lagi.
“Nggak apa-apa, ya? Kan demi kamu juga.” Ian mengelus rambutku.
Aku tidak bisa menjawab apa-apa selain mengangguk, menikmati elusan
tangannya di rambutku.
“Kenapa nggak Mas Saka aja yang nanganin perusahaan baru itu?” Aku
menyebutkan nama kakak kandung Ian yang umurnya lima tahun lebih tua.
“Mama bilang aku harus belajar dari nol. Lagi pula, Mas Saka kan udah
berkeluarga. Kasihan juga kalau dia harus jauh dari istri dan anaknya.”
Aku menggerutu dalam hati. Mengapa mamanya berperan besar sekali dalam
menentukan hidup Ian?
“Setelah aku sukses, aku bakal bikin Mama yakin dengan hubungan kita.”
Mataku terasa berkaca-kaca mendengar perkataan Ian.
Dulu, aku selalu merasa hubunganku dan Ian adalah hubungan paling
sempurna yang pernah kujalani. Tidak pernah ada masalah berat, paling
BUKUNE
bertengkar kecil gara-gara masalah yang tidak terlalu penting. Namun, kini,
dengan Ian masih bersamaku saja sudah membuatku lega sekaligus bahagia.
“Aku ingin kayak dulu, tiap kangen bisa langsung ketemu.”
Ian tersenyum mendengar perkataanku. “Itu artinya aku harus nyulik kamu,
dong?”
“Nggak apa-apa. Daripada jauh-jauhan terus.”
“Kamu benar-benar udah jadi tukang rayu.” Ian mencubit pipiku dan aku
hanya bisa tersenyum masam. “Pulang, yuk,” ajaknya kemudian. “Ada hal
penting yang harus aku bicarain sama Mama.”
“Soal kerjaan?” tanyaku penasaran.
Ian mengangguk. “Aku masih beberapa hari di sini. Senin aku usahain bisa
antar kamu ke kantor,” tawarnya.
“Serius?!” tanyaku meyakinkan. Lagi-lagi, Ian mengangguk. Mataku berbinar.
Akhirnya, aku bisa juga merasakan diantar pacar ke kantor.
Aku mengikuti langkah Ian menuju kasir. Dia menggenggam tanganku dengan
erat.
“Nanti malam ke bioskop, yuk! Udah lama aku nggak nonton. Mau ngajakin
Jia males banget. Dia selalu aja tidur sepanjang film,” keluhku.
“Boleh,” sahutnya singkat. Ian mengeluarkan dompet saat kasir menyebutkan
nominal yang harus dibayar.
“Hai, apa kabar?”
Aku menoleh mendengar sapaan itu.
Aga! Sedang apa dia di sini?!
Aga tersenyum lebar sambil menatapku.
Aku memalingkan wajah, berpura-pura tidak mendengar sapaannya. Ian
menoleh dan menatap Aga. Apa mungkin dia curiga mengapa aku tiba-tiba
disapa seorang pria?
“Eh, iya, baik,” sahut Ian tiba-tiba.
Mendadak otakku terasa kosong. Aku terlalu bingung menghubungkan semua
yang terjadi di depan mataku. Perlahan, aku mengangkat wajah, memandang Ian
dan Aga bergantian. Dan, saat itulah aku menyadari bahwa sapaan tadi bukan
ditujukan Aga kepadaku. BUKUNE
“Sekarang tinggal di mana?” tanya Ian.
Aku bisa merasakan pertanyaan Ian hanya seperti pertanyaan basa-basi yang
jika tidak dijawab pun tidak apa-apa.
“Masih rumah yang dulu,” jawab Aga sambil tersenyum dan, entah hanya
perasaanku saja atau bukan, dari tadi aku bisa merasakan tatapan tajam darinya.
“Kami duluan, ya,” kata Ian. Semuanya terasa kaku, baik itu sikap maupun
perkataan Ian.
“Salam buat Tante Maya, ya,” kata Aga.
Aku semakin penasaran dengan hubungan di antara mereka berdua. Mengapa
Aga sepertinya sangat mengenal keluarga Ian? Eh ..., tunggu dulu, bukannya
waktu acara peresmian kantor Aga kemarin aku memang melihat Aga dan mama
Ian tampak akrab? Apa mereka memiliki hubungan keluarga?
Ian seolah ingin menanggapi ucapan Aga, tetapi buru-buru kutarik tangannya
dan berjalan menuju parkiran.
Aku menutup pintu mobil dan menatap keluar. Mengapa Aga bisa di sini? Apa
mungkin dia sengaja mengikutiku? Tidak, semua ini pasti kebetulan.
Ada sedikit kelegaan juga karena Aga tidak mempermalukanku di depan Ian
dengan membuka rahasiaku. Dan, kelegaan lain karena Ian tidak
memperkenalkanku kepada Aga.
Aku melirik Ian yang sedang menyalakan mesin. Lalu, “Tadi siapa?” tanyaku
memberanikan diri.[]
BUKUNE
Rival
IAN
Sayang, ntar mlm ga jd, ya.
Aku hrs nemenin Mama ketemu klien.
BUKUNE
“Ayo buruan! Katanya tadi ngajak aku nonton!” kataku tiba-tiba. Aga
menatapku tak percaya.[]
BUKUNE
BUKUNE
Kencan
BUKUNE
BUKUNE
Suatu Pagi
R asanya tidurku belum cukup ketika terdengar suara pintu kamarku digedor
dengan keras. Aku membuka mata perlahan. Memangnya ini jam berapa? Hari
libur seperti ini sudah jadwalku untuk bangun siang. Semua orang di rumah ini
tahu itu.
“Fla ...!” Pintu digedor lagi. Kali ini lebih keras. “Fla ..., bangun! Aga
nungguin kamu.”
“Suruh pulang aja, Ma. Fla masih ngantuk!” teriakku sambil menarik selimut
sampai ke leher.
“Bangun, temui Aga dulu. Mungkin ada yang penting,” kata Mama dari balik
pintu.
BUKUNE
Aku menendang selimut dengan kesal. “Mama kan bisa bilang kalau aku
belum bangun,” kataku sambil membuka pintu dengan malas.
“Katanya kalian sudah ada janji hari ini,” sahut Mama.
“Mama aja yang nemuin Aga. Fla masih ngantuk,” rayuku.
“Aga itu pacar kamu, bukan Mama.”
Mau tidak mau, aku berjalan menuju ruang tamu dengan langkah agak
terhuyung. Sesampainya di sana, barulah aku tersadar bahwa aku belum mencuci
muka dan masih mengenakan baju tidurku yang bercorak teddy bear. Namun,
terlambat. Saat aku hendak berbalik, Aga sudah keburu melihatku.
“Ada apa?” tanyaku dingin. Aku duduk agak jauh darinya.
“Mandi dulu sana,” katanya kemudian.
“Aku masih mau tidur,” sahutku. “Kamu mau apa?!” tanyaku curiga.
“Nggak mau apa-apa. Kalau kamu nggak mau mandi ya udah, ngapain juga
aku maksa-maksa kamu,” kata Aga sambil meraih cangkir teh di hadapannya,
menyesap beberapa kali, kemudian meletakkannya kembali. Biar kutebak, yang
diminumnya itu pasti teh madu buatan Mama.
“Maksudnya, kamu mau ngapain nyuruh aku buru-buru mandi?”
“Mandi dulu, baru aku jelasin,” katanya sok misterius.
Aku mencibir. “Suka-suka aku, mau mandi atau nggak.”
“Perlu aku jelasin betapa nggak enaknya bau kamu yang belum mandi? Coba
lihat mata dan bibir kamu, banyak kotorannya. Malu-maluin banget.”
Buru-buru aku berlari menuju kamar mandi. Aku becermin. Tidak ada
kotoran. Badanku juga tidak bau-bau amat. Aga!
Aku mandi dengan buru-buru sambil menahan kekesalan yang tidak bisa
tersalurkan. Kehadiran Aga pada hari Minggu! Benar-benar musibah!
Aku tidak ingin Aga mengganggu rencana-rencana yang telah kususun. Aku
ingin menghabiskan Minggu dengan bangun siang, malas-malasan, nonton
DVD, makan es krim, dan tidur-tiduran sambil mungkin membaca buku. Cukup
kemarin saja Aga menyita waktuku dengan menonton di bioskop. Sekadar
BUKUNE
pelampiasan karena Ian membatalkan janji.
“Ya sudah, kalian buruan perginya. Keburu siang, nanti panas di jalan,” kata
Papa sesaat setelah melihatku selesai berbenah usai mandi.
“Eh ...?” Aku menatap Aga bingung. Pergi? Mau ke mana memangnya?
“Kami pamit dulu ya, Om,” kata Aga sambil memberi kode kepadaku untuk
mengikutinya. Apa maksudnya?
“Aku nggak mau pergi sama kamu,” bisikku.
“Papa kamu udah kasih izin. Jangan keras kepala!”
“Aku nggak mau! Aku bukan asistenmu,” omelku.
“Siapa juga yang bilang kamu asistenku? Kamu kan calon tunanganku,”
godanya. “Aku janji, kamu bisa istirahat seharian setelah kita sampai nanti.”
“Istirahat di rumah aja,” pintaku lagi.
“Belum pergi?” Papa tiba-tiba muncul di teras rumah.
Aku menatap Aga kesal.
“Fla mau ganti baju sebentar, Om,” Aga menyahut.
“Kamu juga, Fla! Udah tahu diajak Aga keluar, kenapa pakai baju begitu?
Sana, ganti baju dulu. Bawa jaket juga.”
Baiklah, sekarang Papa bahkan sudah berpihak kepada Aga. Mengapa tidak
ada satu pun yang bersimpati kepadaku? Dan, apa yang salah dengan bajuku?
Terusan gaya rumahan ini tidak terlalu memalukan untuk dipakai jalan.
“Sana, ganti baju,” ulang Aga.
Aku masuk ke rumah sebelum Papa mengomeliku untuk kedua kalinya.
Kupakai kaus polos, jins, juga jaket, seperti pesan Papa.
“Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Nanti juga tahu sendiri,” sahutnya.
“Aku nggak mau ke bioskop! Bosen!” cetusku.
Aga terkekeh, kemudian melemparkan helm.
“Ayo,” katanya.
Aku tidak dapat berkedip untuk beberapa saat. Yang benar saja, buat apa helm
ini dia berikan kepadaku?
Aku bolak-balik menatap helm BUKUNE
di tanganku dan Aga yang telah memasang
helmnya duluan.
“Pakai jaketnya,” kata Aga sambil menstarter sebuah motor besar.
Ini serius?[]
Kencan Kedua
BUKUNE
Aneh
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Rindu
A ku menatap ponselku dengan kesal. Selalu saja seperti ini. Padahal, aku sudah
berusaha bersikap manis kepada Fla, tetapi mengapa dia selalu memancing
emosiku? Apa aku salah jika merasa khawatir? Mengapa dia selalu saja tidak
peka? Mengapa begitu sulit untuk kembali mendapatkan hatinya?
Aku tidak tahu mengapa aku sampai kesusahan mengontrol emosi jika
menyangkut Fla. Dia benar-benar sudah membuat hidupku jungkir balik.
Menahan perasaan, menahan emosi, menahan rindu.
Padahal, aku sudah mencari-cari alasan yang terlihat wajar agar dapat
menghubunginya. Karena aku yakin, jika tiba-tiba menghubungi dan
menanyakan kabarnya, pasti aku akan ditertawakan.
BUKUNE
Tidak mungkin aku mendadak menelepon, menanyakan kabar, memastikan
dia sudah meminum obat, dan mengatakan betapa inginnya aku berada di
dekatnya. Itu sama saja membunuh diri sendiri. Mau dibuang ke mana harga
diriku? Walaupun, sepertinya, harga diriku memang sudah diinjak-injak.
Seharusnya, pagi ini aku melihat keadaannya, memastikan dia sudah sembuh.
Aku menghela napas, kesal kepada situasi yang tidak berpihak.
Bagaimana caranya agar aku bisa memastikan Fla baik-baik saja? Aku cemas
melihat keadaannya kemarin. Melihatnya terbaring tidak sadarkan diri dengan
napas memburu.
Memang salahku juga, yang sudah memaksanya menemaniku selama dua hari
berturut-turut. Jika saja aku tahu Fla akan sakit, mungkin kemarin pagi aku tidak
akan memaksanya ikut denganku. Mau bagaimana lagi, aku melakukannya
untuk menggantikan beberapa hari ke depan yang harus kuhabiskan tanpa
melihatnya.
Aku tidak pernah segelisah ini memikirkan seorang gadis. Entah sejak kapan,
Fla seperti menghantui hari-hariku. Setiap hal yang berhubungan dengan Fla
selalu membuatku tidak tenang.
Sejak hari pertama aku bertemu dengannya lagi, semuanya berubah. Pikiranku
hanya dipenuhi oleh Fla.
Namun, entah mengapa, semua yang kulakukan selalu salah. Bukannya
membuat gadis itu mendekat, yang terjadi malah sebaliknya.
Apa rasa bencinya kepadaku belum hilang?
Aku tidak tahu cara meminta maaf dengan benar. Setiap kali hendak
melakukannya, keberanianku malah memerosot ke level terendah. Aku bukan
pengecut, tetapi itu terus saja terjadi jika sudah menyangkut Fla.
Aku tidak pernah tahu apakah Fla menyadari semua perhatian yang kuberikan.
Entahlah, kadang aku merasa Fla pura-pura bodoh, pura-pura tidak mengerti
dengan sinyal yang kukirimkan.
Kurang perhatian apa lagi aku kepada Fla? Aku selalu ada pada pagi hari saat
dia membutuhkan seseorang untuk BUKUNE
mengantarnya ke kantor. Sore pun aku
bersedia menjemputnya walaupun aku sedang sibuk. Aku tidak peduli dia suka
mengomeliku, tidak menganggap kehadiranku. Asal dia selalu bersamaku,
kupikir akan cukup.
Aku juga berusaha bersikap romantis. Memperlakukannya dengan baik meski
terkadang aku tidak bisa menahan emosi. Fla suka sekali memancingku. Bahasa
tubuhnya seperti menolakku. Tentu saja aku tidak terima diperlakukan seperti
itu. Itulah mengapa aku suka bersikap ketus kepadanya.
Meski begitu, aku masih saja suka memandanginya diam-diam. Hanya aku
yang tahu betapa sulitnya mengontrol tanganku untuk tidak meyentuh wajahnya,
betapa menyiksanya menahan keinginan untuk memeluknya.
Aku bahkan masih ingat pelukannya kemarin. Pelukan di motor dan pelukan
tidak sengaja yang kulakukan untuk menolongnya. Rasanya nyaman. Tidak
tahukah dia, wangi tubuhnya bahkan sampai hari ini masih menempel di indra
penciumanku?
Nah, aku sudah ekstra romantis, bukan?
Jadi, mengapa hubunganku dan Fla tidak ada kemajuan sedikit pun?
Sepertinya aku harus mencari ancaman lain agar dia mau menerimaku.
Andai saja Fla tahu betapa terumbang-ambingnya perasaanku karenanya,
mungkin dia akan tertawa. Sepertinya dendam yang dia simpan karena aku
pernah mengerjainya semasa sekolah sudah terbalaskan.
Dulu, aku suka mempermainkan perasaan perempuan. Mendekati, kemudian
meninggalkan sesuka hati. Tidak pernah ada perasaan ingin memiliki. Hanya
dengan Fla semuanya berbeda.
Astaga, akhir-akhir ini aku bahkan merasa kelakuanku sedikit aneh. Tidak ada
dalam kamusku istilah manis dan romantis. Mungkin ada yang tidak beres
dengan otakku.
Ini benar-benar keterlaluan. Bayangannya sama sekali tidak bisa disingkirkan
dari kepala.
Ini hanya seminggu, tetapi rasanya aku akan meninggalkan Fla selama
bertahun-tahun. Belum berangkat saja, aku sudah ingin bertemu Fla.
Aku merindukannya.[] BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Mengapa Harus Aga?
BUKUNE
Berangkat
“M bak Fla, dipanggil Mbak Sarah, tuh.” Kepala Ahmad, office boy kantorku
muncul dari balik pintu. Aku sedang di gudang, mencari berkas nasabah yang
kubutuhkan untuk melakukan pembaruan data.
“Kenapa?” tanyaku sambil tetap sibuk membuka filing cabinet yang berisi data
nasabah yang disusun berdasarkan abjad.
“Nggak tahu juga, Mbak” sahutnya.
“Iya, nanti aku ke sana,” ucapku.
Aku mengambil beberapa dokumen yang kubutuhkan, mendorong rak yang
terbuka, dan bergegas keluar, kemudian mengunci pintu gudang.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Senang sekali rasanya menunggu
BUKUNE
jam pulang. Apalagi sudah dua hari ini Jia selalu tepat waktu mengantar dan
menjemputku. Sungguh menyenangkan memiliki sepupu seperti dia.
Namun ....
Aga apa kabarnya, ya? Mengapa dia seolah-olah menghilang? Bahkan,
menghubungiku saja tidak. Terakhir adalah waktu dia meneleponku,
menanyakan jaketnya. Setelah itu, dia benar-benar lenyap. Apa dia masih di luar
kota?
Namun ....
Buat apa aku peduli? Terserah dia mau hilang atau tidak. Seharusnya aku
bersyukur. Yah, asal dia baik-baik saja.
Baik-baik saja?! Apa-apaan aku ini? Ah, sudahlah.
“Ada apa, Mbak?” Aku memasuki back office dan menghadap Mbak Sarah
sudah menungguku di kursinya.
“Besok kamu berangkat ke Jakarta, ya,” katanya.
Aku bengong.
“Training Basic Banking. Kamu gantiin Monik. Dia nggak bisa ikut, lagi
sakit,” jelas Mbak Sarah. “Seharusnya kamu di batch selanjutnya, sih.”
Aku hanya bisa terdiam.
“Tiga hari aja, kok,” lanjut Mbak Sarah, menyadari kebingunganku.
Aku sih senang-senang saja ikut training, tetapi mengapa tergesa-gesa seperti
ini?
“Kamu tanyain Winda. Kayaknya dia udah mesenin tiket pesawat buat kamu.
Sekalian ambil uang muka buat perjalanan dinasmu.” Kata-kata Mbak Sarah
terdengar seperti perintah.
Aku menarik napas panjang. Anggap saja aku akan liburan, melupakan
sejenak Ian yang menyebalkan dan membersihkan pikiranku dari hal-hal berbau
Aga.
Ya, dia harus segera dienyahkan dari otakku.
Jia memang menyebalkan. Padahal sudah kuwanti-wanti dari semalam agar pagi
BUKUNE
ini mengantarku ke bandara, tetapi nyatanya dia malah tidak ada di rumah sejak
aku bangun tadi.
Aku mondar-mandir di teras sambil berusaha menghubungi nomor Jia, tetapi
ponselnya malah tidak aktif. Awas saja, aku tidak akan membelikan pesanannya.
Jika perlu, uang yang dia titipkan kepadaku kuhabiskan semua.
Aku mencari nomor telepon taksi di kontak ponselku, biasanya aku suka iseng
menyimpannya. Namun, saat membuka kontak, nama Aga-lah yang muncul
terlebih dulu.
Apa Aga sudah pulang? Jika aku menelepon dan meminta dia mengantarku ke
bandara, kira-kira dia mau tidak, ya? Jika memesan taksi, aku harus
mengeluarkan uang sekitar seratus sampai seratus lima puluh ribu. Uang segitu
bisa kugunakan untuk membeli oleh-oleh.
Aku sampai tidak sadar saat layar ponselku sudah menunjukkan panggilan ke
nomor Aga. Entah kapan aku menekan tombol panggil. Aku bahkan sempat
bengong beberapa detik. Saat sadar, buru-buru kuakhiri panggilan.
Ini benar-benar keterlaluan. Sejak kapan aku harus bergantung kepada Aga?
Aku bisa, kok, sendiri ke bandara tanpa ada yang mengantar.
Aku menarik napas lagi, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Mobil Jia tiba-tiba muncul dengan suara decitan remnya yang menyakitkan
telinga. Kepalanya keluar dari jendela dan menatapku sambil nyengir.
Setidaknya, aku tidak perlu lagi mengharapkan Aga.
Hari terakhir Training Basic Banking memang selalu membosankan. Aku
menatap layar proyektor di hadapanku. Materi hari ini, yang juga merupakan
materi terakhir, berlangsung dengan sangat lama dan membuat jenuh. Gerakan
tangan pemateri yang sedang menerangkan Grafonomi membuatku seperti
terbius untuk tidur.
Pembahasan pada hari-hari sebelumnya sebenarnya sangat menarik bagiku.
Semuanya berkaitan dengan cara untuk memberikan layanan yang memuaskan
nasabah. Semakin banyak hal-hal baru yang tidak kuketahui dan semakin banyak
BUKUNE
yang harus kupelajari. Namun, topik hari ini lebih seperti ocehan berulang
mengenai identifikasi tanda tangan dan cara membandingkan tanda tangan asli
atau palsu. Aku mungkin akan lebih bersemangat jika yang dibahas adalah cara
membaca peruntungan nasib dari tanda tangan.
Di kepalaku, sudah terbayang akan mengakhiri hariku di Jakarta dengan
berbelanja sepuasnya. Sejak kemarin, aku terkurung di ruang training dan kamar
hotel tanpa bisa ke mana-mana.
Yang kusuka dari training ke luar kota hanya sesi jalan-jalan dan berbelanja,
selebihnya membosankan. Ditambah lagi, Ian sama sekali tidak menghubungiku.
Nomornya masih tidak aktif. Terakhir, dia hanya mengirimkan pesan yang
mengatakan bahwa dia sedang berada di daerah terpencil yang susah sinyal. Aku
tidak tahu pekerjaan apa yang mengharuskannya berada di daerah terpencil.
Memangnya dia ikut program pelestarian orang utan?
Tahu, ‘kan, bagaimana rasanya antara memikirkan Ian yang entah sedang di
mana dan mengikuti training yang super membosankan seperti ini? Aku benar-
benar tidak bisa berkonsentrasi.
Dan ....
Mengapa Aga juga ikut-ikutan tidak menghubungiku? Tidak menanyakan aku
sedang berada di mana, dan tidak menawarkan untuk mengantar dan
menjemputku dari kantor. Ada apa ini? Mengapa semua orang sepertinya janjian
mendiamkan aku?
Dan juga, mengapa aku memikirkan Aga lagi? Lebih baik aku berkonsentrasi
memikirkan tempat yang harus kudatangi untuk berbelanja setelah training ini
selesai.
Ruangan yang mendadak berisik menyadarkanku dari lamunan. Aku
mengerjap-ngerjap. Pembicara telah mematikan proyektor dan aku bisa melihat
wajah-wajah di sekitarku yang mendadak bersemangat.
Masih sore, baru pukul empat, dan training sudah selesai. Artinya, waktuku
masih lumayan panjang untuk dimanfaatkan.
“Fla ..., nanti bareng,” bisik Nia, teman sekamarku. Aku mengangguk penuh
BUKUNE
semangat. Kami memang sudah menyusun rencana untuk hari ini.
Samar, terdengar suara fasilitator yang menutup training dan sorakan
kegirangan karena training selesai lebih cepat daripada jadwal.
“Ayo, buruan!” Nia menarik tanganku menuju lift.
Lift di lantai dua belas langsung disesaki para peserta training. Aku meraba
tasku, mencari ponsel yang dari tadi pagi dalam posisi silent. Ada lima panggilan
tak terjawab, empat dari nomor tak dikenal dan satu dari Aga.
Aga?! Mau apa dia meneleponku.
Aku mengetuk ponsel dengan gelisah. Antara ingin menelepon balik dan
gengsi. Akhirnya, kumasukkan kembali ponsel itu ke tas setelah menonaktifkan
mode silent-nya.
“Mendingan ikut mobil kantor daripada pakai taksi,” kata Nia sesampainya
kami di lantai satu.
“Gratis juga dan nggak khawatir bakal kesasar,” sambungku.
“Mobilnya terbatas. Kita mesti buru-buru, nih,” ujar Nia.
Kami berjalan terburu-buru menuju pelataran gedung. Sudah ada dua mobil
yang memang dijanjikan akan mengantar peserta training ke mana pun.
Suara ponselku terdengar samar. Refleks, aku mengambilnya dari dalam tas.
Nomor tidak dikenal.
“Halo?”
“Fla, udah nggak sibuk lagi, ‘kan?” Terdengar suara wanita yang masih asing di
telingaku.
“Eh ..., iya,” sahutku bingung sambil menerka-nerka siapa yang sedang
meneleponku ini.
“Tante jemput, ya, kita jalan,” katanya lagi.
Tante Vina! Mamanya Aga.
“Eh ..., Fla lagi di Jakarta, Tante.”
“Iya, Tante tahu. Makanya kebetulan, Tante juga lagi di Jakarta sekarang. Tante
jemput, ya?”
“Ng ....” Aku terdiam karena bingung mau menjawab apa.
BUKUNE
“Menara Bank Primatama yang di Kapten Tendean, ‘kan? Tunggu, ya.”
Belum sempat aku menjawab, telepon sudah ditutup. Aku hanya bisa melongo
kebingungan. Dari mana Tante Vina tahu aku sedang di Jakarta?
“Aku nggak jadi ikut. Sebentar lagi mau dijemput,” kataku tidak enak.
“Sama siapa?”
“Tanteku,” sahutku asal.
“Oh, gitu. Ya udah, sampai ketemu di hotel, ya!” Nia melambai, kemudian
berlari kecil menuju mobil yang sudah menunggu.
Setelah Nia pergi, aku menyesali keputusanku. Mengapa harus dengan Tante
Vina? Mengapa aku harus menjerumuskan diri lagi? Bagaimana jika kubatalkan
sekarang? Tinggal bilang masih ada acara tambahan, sepertinya Tante Vina akan
mengerti. Namun ..., setelah itu aku ke mana? Teman-temanku yang lain sudah
pergi dan aku benar-benar buta jalan di Jakarta.
Telepon berbunyi lagi. Sebelum dering kedua, aku sudah mengangkatnya.
“Sudah di depan gedung. Buruan, ya, Fla, nggak bisa lama-lama parkir di sini.
Camry hitam.”
Aku menarik napas panjang ketika menutup telepon. Aku berjalan agak cepat
menuju sebuah mobil yang disebutkan Tante Vina dan mendapati pintu depan
terbuka. Apa maksudnya? Aku harus duduk di depan?
Aku menyelinap ke bangku penumpang sebelah depan. Sedetik kemudian, aku
hampir tidak bisa bernapas ketika menyadari ada Aga yang menatapku dingin
dari balik kemudi.[]
BUKUNE
Rahasia
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Marah
A ku harus menghajarnya!
Kalimat itu berseru berulang-ulang di kepalaku. Kemarahanku sudah sampai
pada puncaknya.
Semua ini benar-benar di luar rencanaku. Bukan ini yang kuinginkan. Ya, aku
ingin Fla mengetahui kebusukan Ian, tetapi bukan dengan cara menyakitinya di
depan banyak orang dengan mendadak seperti ini.
Fla pasti akan menuduhku merencanakan semuanya. Mama yang mengajak
Fla bertemu Tante Maya, mama Ian. Kemudian menyebut-nyebut bahwa Ian
sudah memiliki tunangan. Dia pasti akan membenciku habis-habisan.
Semua gara-gara Mama. Baiklah, aku terlihat seperti orang yang ingin kabur
BUKUNE
dari masalah. Namun, memang benar, aku sama sekali tidak mau
mempertemukan Fla dengan mantan pacarnya dalam situasi seperti ini. Aku
tahu, Fla akan sedih jika mengetahui kebenarannya. Aku masih belum
menemukan waktu yang tepat untuk membongkar kebusukan Ian.
Aku tidak tahu Mama berencana menemui Tante Maya. Karena itu, dari tadi
aku berusaha mencegahnya. Namun, semakin kucegah, Mama malah semakin
ngotot.
Semuanya telanjur terjadi. Fla sudah melihat dengan matanya sendiri. Aku
tidak suka berada di dalam situasi ini. Melihat orang yang kusayangi menahan
tangis, membuatku ingin menghajar orang yang menjadi penyebab kehancuran
itu.
Aku tidak tahan lagi!
Aku turun dari mobil dengan emosi yang sudah hampir meledak. Tanganku
sudah tidak sabar lagi ingin menghajar pria itu. Lihatlah, dia bahkan dengan
tidak tahu dirinya bermesraan dengan ... ah, aku tidak tahu siapa wanita itu. Jika
dia sudah menemukan wanita lain, mengapa tidak diputuskannya saja Fla?
Setidaknya akan mempermudah jalanku untuk memiliki Fla.
“Kamu ini nggak sabaran banget. Ya udah, Jeng Maya, kita berangkat
sekarang.” Mama menyambutku dengan senyuman.
Hampir saja aku gagal mengontrol amarah. Hampir saja tanganku melayang
ke wajah pria itu. Tanganku terkepal erat, seluruh emosiku terkumpul di sana.
“Mama kamu bilang, kamu bawa pacarmu, ya? Mana? Tante mau kenalan,
dong!” goda Tante Maya.
Aku tersenyum datar. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi.
Pria itu berdiri dua meter di hadapanku. Aku tidak dapat membaca ekspresi
wajahnya.
“Mama, Fla sakit. Aku bawa pulang dia dulu,” aku berbisik di telinga Mama.
Setelah menarik napas panjang, emosiku agak terkontrol. Aku tidak mau
mempermalukan Mama di sini. Aku akan menunggu saat yang tepat.
“Sakit?! Sakit apa?” Mama tampak kaget.
BUKUNE
“Masuk angin, Ma. Tadi dia ngeluh mual sama pusing.”
Sesaat, Mama memelotot ke arahku, seolah aku baru mengatakan penyakit
yang berbahaya sedang menulari Fla.
“Jangan bilang dia hamil,” desis Mama tak kalah pelannya.
Rasanya, aku ingin tertawa mendengar tuduhan Mama. Seharusnya, tadi
kukatakan Fla sakit perut saja atau sakit lainnya, bukannya mual dan pusing.
“Dia beneran sakit, Ma. Badannya panas.” Aku berbohong lagi.
“Aduh, Jeng Maya, kayaknya batal lagi. Pacarnya Aga sakit. Kami mau
langsung pulang aja,” kata Mama kepada Tante Maya.
“Kan ada Aga yang bisa ngurusin pacarnya. Jeng Vina tetap ikut kami aja.”
“Kamu bisa?” tanya Mama kepadaku.
Astaga, tentu saja aku bisa melakukan apa pun untuk Fla.
Aku mengangguk singkat.
“Ya sudah, kamu bawa dia pulang dulu. Suruh minum obat, kalau perlu bawa
ke dokter.”
Aku menarik napas lega karena Mama sepertinya tidak curiga.
Sebenarnya, aku sedikit tidak rela Mama harus bersama keluarga pria itu.
Namun, aku juga tidak bisa melarang Mama jika tidak ingin diinterogasi.
Aku berbalik setelah melemparkan senyum sinis kepada pria berengsek itu.
Tunggu tanggal mainnya, aku tidak mau mengotori tanganku sekarang.
Yang pasti, tidak akan kubiarkan Fla jatuh ke pelukannya lagi.
“Jangan pura-pura tidur,” kataku setelah mobilku berjalan meninggalkan rumah
Tante Maya.
Fla menggerakkan tubuhnya perlahan, matanya terbuka. Aku bisa melihat sisa
tangis di wajahnya. Aku menggeram kesal. Sialan!
“Kenapa selama ini kamu nggak pernah kasih tahu aku kalau Ian udah punya
tunangan?” tanyanya terbata-bata. Suaranya serak. Kurasa dia akan menangis
lagi. “Kenapa nggak kamu biarin aja aku ketemu Ian tadi?” Tangisnya pecah. Air
mata membasahi wajahnya.
Aku menghela napas. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak punya
BUKUNE
pengalaman menenangkan wanita yang menangis.
“Kamu nggak akan percaya walaupun aku bilang yang sebenarnya,” sahutku.
“Jadi, kamu sengaja nunjukin semua ini ke aku?”
Aku menghentikan mobil di pinggir jalan. Aku tidak bisa berkonsentrasi
dalam situasi seperti ini.
“Aku sama sekali nggak tahu kalau kita bakal ketemu mereka hari ini.
Kalaupun semua itu rencanaku, seharusnya kamu bersyukur karena tahu
kebenarannya.” Aku berusaha tenang. Aku tidak mau Fla ketakutan.
Fla tidak menimpali, tetapi tangisnya masih terdengar jelas. Ingin sekali aku
memeluknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Namun, aku tidak
memiliki keberanian.
“Jangan nangis lagi,” kataku pelan. Mengapa perempuan selalu menyia-
nyiakan waktu dan tenaga untuk lelaki yang tidak tahu diri?
“Aku nggak nangis,” jawabnya sambil terisak.
Aku tertawa pelan. Bisa-bisanya dia membohongiku.
“Kita pulang dulu, biar kamu bisa istirahat,” kataku.
Fla menatapku dengan matanya yang merah dan bengkak. “Aku masih pengin
jalan-jalan.”
“Mau jalan ke mana?” Aku memutuskan menuruti kemauannya daripada dia
menangis lagi.
“Nggak tahu,” jawabnya.
Beberapa saat, kami hanya terdiam. Akhirnya, aku menyalakan mobil dan
menjalankannya tanpa arah. Aku juga sedang tidak punya ide mau ke mana.
Samar, terdengar lagi suara tangis Fla.
“Kamu nggak capek nangis?” tanyaku kesal.
“Kamu nggak tahu gimana rasanya.”
“Jadi, aku harus gimana?” tanyaku putus asa.
Fla menggeleng. “Aku nggak bisa bayangin kelanjutan hubungan kami.”
“Putusin aja dia. Gampang,” kataku bersemangat.
Fla mendelik. Sepertinya aku terlalu antusias.
“Tapi ....” BUKUNE
“Kamu udah tahu kenyataannya, ‘kan? Apa lagi yang kamu tunggu?”
“Yah, bisa aja, ‘kan, dia dipaksa mamanya?”
“Kalau gitu, kenapa dia mau aja? Seharusnya dia bisa nolak, ‘kan? Dia pria
dewasa, bukan anak-anak.”
“Kamu nggak kenal Ian. Dia emang gitu, kadang nggak bisa nolak keinginan
mamanya.” Kalimat Fla terdengar seperti pembelaan. Bahkan, pada saat sudah
disakiti seperti ini, dia masih saja membela sang mantan.
“Kamu mau ngemis-ngemis biar dia ninggalin pilihan mamanya? Atau tetap
menjalani hubungan walaupun tahu yang sebenarnya?” Aku ingin mengamuk
rasanya. Cemburu, sudah pasti.
Fla tidak menjawab. Dia malah menangis lagi. Astaga, aku tidak bisa
membayangkan berapa banyak stok air matanya.
Seharusnya, aku senang karena kenyataan ini, seharusnya aku merayakan
kemenanganku ini, seharusnya aku bersorak karena telah menyingkirkan pria itu.
Namun, melihat Fla yang menangis membuatku berpikir ulang. Apakah dia
membutuhkan kehadiranku?
Mobilku sudah berputar-putar tanpa arah selama hampir satu jam. Aku melirik
ke samping. Fla tampak tertidur, mungkin kelelahan setelah menangis.
Aku menghentikan mobil dan mematikan mesin. Tanganku terulur untuk
mengelus rambut Fla.
Aku tahu aku tidak pantas berkata seperti ini sekarang, tetapi aku ingin
berjanji. Bahwa aku tidak akan membuatnya menangis. Bahwa aku ingin
mendapat kesempatan untuk menjaganya.
Aku menghapus sisa air mata di wajahnya. Sekadar memandangi, setelah
merindukannya berhari-hari.
Saat itulah aku tersadar. Sepertinya, aku melupakan sesuatu. Aku belum
memesan tiket pesawat untuk pulang besok![]
BUKUNE
BUKUNE
BUKUNE
Jangan Menangis
T idak ada yang lebih menyedihkan daripada mengalami patah hati di hadapan
orang yang pernah membuatmu patah hati. Rasa sakitnya bertambah dua kali
lipat.
Aga pernah membuatku patah hati karena penolakannya, dan di hadapan dia
juga aku harus mengalami patah hati karena dikecewakan Ian. Mengapa nasibku
begitu menyedihkan?
Aku sudah pernah dikecewakan Ian. Seharusnya, aku sudah kebal dan tidak
perlu meratapi nasib. Lagi pula, seharusnya aku sudah tahu bagaimana
kelanjutan hubunganku dengan Ian yang sebenarnya.
Sampai kemarin—ya, hanya sampai kemarin—aku masih menganggap Ian
BUKUNE
sebagai pacarku. Sampai kemarin juga, aku berhenti mengharapkan masa depan
untuk hubungan kami. Ian tidak pernah tegas, tidak pernah bisa menentukan
sikap.
Sampai kemarin, batas kesabaranku.
Rasanya, aku seperti gadis bodoh yang terus terjatuh di tempat yang sama,
mengalami rasa sakit yang sama, dan masih saja berharap ada keajaiban datang.
Mengapa Ian tega melakukan ini kepadaku? Mengapa dia tidak jujur saja?
Padahal, aku sudah berharap banyak kepada janji-janji yang pernah dia ucapkan.
“Fla sudah baikan?” tanya Tante Vina.
Aku mengangguk pelan. Tante Vina menatapku, sepertinya dia tidak
memercayai jawabanku. Bagaimana tidak, wajahku pucat, mataku sembap, dan
hidungku merah akibat terlalu banyak menangis.
“Dia baik-baik aja, Ma. Cuma masih sedikit kelelahan,” Aga yang menjawab.
Aku menatap Aga sekilas, sepertinya dia ingin melindungiku agar tidak
ditanyai macam-macam.
“Pusing sama mualnya masih?” tanya Tante Vina lagi.
Sesaat aku terdiam.
“Sudah baikan, Ma. Sekarang Fla kena flu.” Lagi-lagi Aga yang menjawab.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Setidaknya, kali ini Aga berada di
pihakku.
“Sini, kamu sama Tante aja. Nanti biar Aga yang ngurusin barang-barang
kamu.” Tante Vina membimbingku dan membiarkan Aga mengurus check in-ku.
Mendadak, rasanya aku ingin menangis. Mengapa aku tidak pernah mendapat
perhatian seperti ini dari pacarku sendiri? Bahkan, mamanya saja membenciku.
“Jangan nangis lagi, nanti Mama curiga,” bisik Aga.
Aku mendongak dan menatap wajahnya. Tiba-tiba saja tangannya sudah
menyentuh wajahku, menghapus air mata yang menetes di sana.
“Iya,” jawabku sambil buru-buru menjauh, terlalu kaget menerima perlakuan
baiknya. Apa gara-gara aku tampak seperti orang yang harus dikasihani,
makanya Aga bersikap seperti ini?
Aku dan Tante Vina berjalan BUKUNE
beriringan menuju ruang tunggu di terminal
keberangkatan. Sesekali, aku bisa merasakan tangan Aga menyentuh pundakku
dari belakang, seperti ingin memberiku kekuatan.
Aku tidak ingat apa saja yang terjadi kemarin. Yang jelas, aku terbangun di
kamar Aga dan semua barangku telah diambil dari hotel tempatku menginap.
Semoga saja Jia dan orang-orang kantor mau mengerti alasanku pulang dengan
tangan kosong, tanpa membelikan titipan mereka.
“Aku lebih suka kamu marah-marah kayak biasanya daripada diam begini,”
kata Aga. Kami sudah sampai di ruang tunggu.
“Aku capek,” sahutku pelan. “Dan, kamu nggak perlu meduliin aku.”
“Terserah kamu!” Aga terdengar kesal. Dia kemudian beranjak dari duduknya
yang awalnya berada di sebelahku. Sekarang, dia duduk di samping Tante Vina.
Aku memejam. Sosok Ian terlintas lagi di kepalaku. Aku tidak suka dengan
perasaan seperti ini. Rasa sakitnya sama sekali tidak mau hilang.
“Kamu pasti lapar.” Aga kembali menghampiriku.
Kukira dia akan berhenti menggangguku. Dalam situasi normal, aku pasti
akan meledeknya habis-habisan.
Aku menatap Aga lesu. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil berisi donat.
Aku memandangnya tanpa selera.
“Nggak mau,” tolakku.
Dia malah mengambil sebuah donat dengan topping cokelat yang begitu
menggiurkan, tetapi saat ini aku benar-benar sedang tidak berselera.
“Aku nggak mau,” tolakku lagi.
“Makan. Kalau nggak mau, kupaksa.”
Dasar pria otoriter! Pada situasi seperti ini, dia berhasil memaksaku
menghabiskan satu donat cokelat dan segelas air mineral. Atau, mungkin dia
benar. Aku memang kelaparan.
“Fla naik taksi aja, Tante. Rumah kita kan beda arah,” kataku kepada Tante Vina
setelah tadi dia memintaku untuk naik taksi yang sama. Pesawat kami baru saja
BUKUNE
mendarat beberapa menit lalu.
Kami tengah menunggu Aga yang berada di tempat pengambilan bagasi.
Tante Vina melarangku untuk mengambil barang-barangku sendiri dan
menyuruh Aga yang mengurus.
“Nggak boleh. Kamu pakai taksi yang sama dengan kami.” Tiba-tiba Aga
sudah berada di sampingku.
“Barang-barang kita udah lengkap?” tanya Tante Vina.
Aga hanya mengangguk.
“Tapi, rumah kita nggak searah,” kataku.
“Nanti biar aku yang antar kamu pulang.”
Apa maksud Aga aku harus ikut ke rumahnya dulu, baru kemudian
mengantarku? Kedengarannya seperti orang yang kurang kerjaan.
“Iya, gitu aja lebih baik.” Kali ini Tante Vina yang menimpali. Ibu dan anak
ini benar-benar kompak dalam hal memaksa orang.
Aku tidak berbicara lagi. Sepertinya diam dan menuruti kemauan mereka
adalah ide yang baik untuk saat ini. Aku tidak memiliki energi tersisa untuk
berdebat.
Tanpa meminta persetujuanku lagi, Tante Vina menarikku ke sebuah taksi.
Dan, sepanjang perjalanan, aku memejam. Aku tidak tidur, hanya menghindar
agar tidak diajak mengobrol.
“Istirahat, jangan mikirin apa-apa lagi,” kata Aga sesampainya kami di rumahku.
Aku mengangguk lesu. Hampir saja aku membalas ucapan Aga dengan
mengatakan bahwa dia tidak perlu memedulikanku, tetapi kuurungkan.
Sepertinya itu hanya akan memancing emosinya.
Di dalam tas, ponselku bergetar. Sudah berulang kali, sejak masih di taksi tadi.
Mungkin telepon dari Mama. Aku mengambil ponselku dengan malas. Layarnya
berkedip, memunculkan satu nama. Ian.
“Kenapa?” tanya Aga. BUKUNE
“Eh ... enggak,” kilahku.
Aga kemudian menarik ponsel dari genggamanku.
“Jangan ingat dia lagi!” Aga kemudian mematikan panggilan tadi. Aku
melongo. “Sebaiknya ponsel kamu biar aku yang bawa,” lanjutnya. “Kamu pakai
ponsel aku dulu.” Aga menyerahkan ponselnya kepadaku.
Ini mirip kejadian beberapa bulan lalu. Bedanya, saat ini aku menyerahkan
ponselku kepada Aga tanpa paksaan. Setidaknya, dengan cara ini, Aga telah
membantuku untuk belajar melupakan Ian.
“Jangan nangis lagi,” katanya sebelum beranjak pergi.[]
BUKUNE
BUKUNE
Keajaiban
A ku menggenggam ponsel Fla dengan geram. Ini sudah kesekian kalinya pria
itu menghubungi Fla. Dia pasti tidak tahu bahwa Fla sudah mengetahui semua
kebusukannya.
Sekarang, tinggal aku yang harus menentukan sikap. Apa masuk akal jika
tiba-tiba aku mengatakan kepada Fla bahwa aku mencintainya?
Tidak!
Aku belum bisa mengucapkan kata-kata itu. Fla pasti akan menolakku. Dia
baru saja patah hati, sepertinya mengambil kesempatan pada saat seperti ini
bukan ide bagus. Aku cukup tahu diri untuk membiarkan Fla tenang dulu meski
sebenarnya aku sendiri sudah tidak sabar.
BUKUNE
Lagi-lagi, ponsel Fla bergetar. Aku melirik layar. Pria itu lagi. Sepertinya, dia
belum menyerah juga. Apa yang sebaiknya kulakukan?
Pilihan pertama, membiarkan saja panggilan dari pria sialan itu sampai ponsel
Fla kehabisan baterai. Pilihan kedua, mengangkat telepon kemudian memaki
pria itu. Pilihan ketiga, mengirimkan SMS berisi perintah agar dia berhenti
mengganggu Fla karena semua rahasianya sudah terbongkar.
Aku mengambil pilihan pertama. Itu sudah cukup membuatku puas. Dia pasti
tidak bisa tidur memikirkan alasan Fla tidak mau mengangkat teleponnya. Itu
pasti akan menyiksanya.
Mendengar suara getaran ponsel Fla yang terus-menerus membuatku terserang
kantuk yang sangat hebat. Rasanya seperti mendengar lagu pengantar tidur.
Ditambah lagi, semalam aku tidak tidur karena harus menjaga Fla.
Tidak apa-apa, semua yang kulakukan setimpal dengan apa yang kudapatkan.
Jangan menuduhku yang tidak-tidak, aku tidak mencuri ciuman dari Fla
semalam. Aku hanya memeluk tubuhnya yang sedang terlelap sampai aku
sendiri tidak bisa tidur karenanya.
Ini tidur ternyenyak yang pernah kudapatkan. Bagaimana tidak, aku telah
menyingkirkan pria bodoh itu dan hampir memiliki Fla. Ya, aku tidak bilang
memiliki. Ada kata hampir di sana. Semoga saja itu artinya sebentar lagi.
Sialan! Suara getaran ponsel itu lagi. Aku menatap ponsel Fla yang tadi
kuletakkan begitu saja di atas meja. Getarannya begitu keras. Aku bangkit dari
ranjang dan menyalakan lampu kamar. Sepertinya aku tertidur lumayan lama.
Aku harus mematikan ponsel Fla sebelum aku bertindak di luar kesadaranku.
Menghancurkan ponsel ini, misalnya.
Ada puluhan panggilan tidak terjawab. Aku membukanya satu per satu. Dua
puluh panggilan dari pria itu, lumayan menakjubkan. Lima panggilan dari Jia,
sepupu Fla, dan dua panggilan dari Aga. Aku?!
Pasti Fla tadi menelepon ke nomornya
BUKUNE sendiri dari ponselku. Tergesa, aku
menekan ikon panggil untuk menelepon Fla.
Nomornya tidak aktif. Kuulangi sekali lagi, masih tetap sama. Aku menarik
napas panjang untuk meredam emosiku.
Beberapa saat kemudian, ponsel Fla bergetar kembali. Kali ini, di layarnya
terpampang nama Jia.
“Kamu ke mana aja, sih, aku telepon dari tadi nggak diangkat-angkat.”
“Jia, ya? Maaf, ini Aga,” potongku.
“Eh ..., Aga, ya? Fla mana? Lagi sama kamu? Tolong kasih tahu ke Fla ya, mama
sama papanya lagi di rumah sakit,” lanjut Jia.
“Mereka kenapa?”
“Bukan. Yang kecelakaan Giska, sepupu Fla. Tadi kami buru-buru, nggak sempat
nitipin kunci. Titip Fla sama kamu dulu, ya? Mungkin kami agak malam
pulangnya.”
Aku harus segera ke rumah Fla. Dia pasti kebingungan sekarang. Salahku juga
karena tadi menukar ponselnya.
“Kamu mau ke mana?” Terdengar suara Mama dari ruang tamu.
“Ke rumah Fla, Ma,” sahutku sambil berlalu.
“Tunggu dulu, Aga! Ngapain kamu ke sana?”
“Mau jemput Fla, Ma.” Aku buru-buru mengambil kunci mobil.
“Mama bilang tunggu dulu!” kata Mama setengah berteriak.
“Aku buru-buru, Ma. Nanti aja kalau mau ngobrol.” Mama pasti mau
melarangku ke rumah Fla. Alasannya? Pasti karena aku dan Fla tadi baru
bertemu.
“Fla sudah di sini.”
Aku mematung mendengar ucapan Mama. Bagaimana caranya Fla bisa ke
sini?
“Kok bisa?” tanyaku bingung.
“Tadi sore dia datang pakai taksi. Katanya rumahnya terkunci,” jelas Mama.
“Kok Mama nggak kasih tahu aku?”
“Jangan nyalahin Mama. Kamu aja yang kamarnya digedorin tapi nggak
bangun-bangun.” BUKUNE
“Fla di mana sekarang?” tanyaku bersemangat.
“Di kamar tamu,” kata Mama.
Aku bergegas menuju kamar tamu. Perlahan, aku membuka pintu. Tidak
terkunci. Syukurlah.
Fla tertidur dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali aku bertemu
dengannya.
Dasar tukang tidur. Aku tersenyum menatap wajahnya yang sedang terlelap.
Dia tampak kelelahan. Dan, bahkan dalam kondisi seperti itu saja, aku berhasil
tergoda.
Apa aku akan seperti ini selamanya? Mengendap-endap, mencuri sebuah
ciuman, lalu kabur diam-diam?
Aku mendekatkan wajah, perlahan menekan bibirku ke keningnya.
Tiba-tiba saja, Fla bergerak, seolah memberi respons.
“Ada apa?” Matanya membuka, tepat saat aku berhasil menjauhkan wajah.[]
BUKUNE
BUKUNE
Pengganti
B odoh!
Mengapa aku malah menawarkan diri seperti itu? Memangnya aku pemain
cadangan yang hanya berperan saat dibutuhkan? Seharusnya aku bisa
mengontrol apa yang kuucapkan tadi.
Kali ini, aku harus memaksa Fla untuk bersikap tegas dan meninggalkan
mantannya, kemudian memilihku.
Aku berbalik dan melangkah menuju kamar Fla lagi.
“Aku ingin membuat satu kesepakatan,” ujarku begitu membuka pintu. Dia
menatapku tajam. Baiklah, kali ini mungkin aku akan agak sedikit ngawur.
“Kesepakatan yang mengutungkan,” sambungku.
BUKUNE
“Aku nggak ngerti maksud kamu.” Fla terlihat sebal.
“Aku ngerti masalah yang lagi kamu hadapi, tapi ada beberapa hal yang bisa
dibilang menguntungkan. Buat kita. Pertama, kamu baru putus sama pacar kamu
....” Aku memberi jeda, menunggu Fla menyela. Ternyata tidak. Syukurlah,
akhirnya dia setuju juga putus dengan pria itu. Kini, aku bisa dengan percaya diri
menyebutkan istilah “mantan” di hadapan Fla.
“Kamu butuh seseorang yang bisa bikin mantan kamu nyesel udah ninggalin
kamu. Dan, kamu sendiri tahu aku sangat berpotensi untuk bikin dia ngerasa
kayak gitu.”
“Maksud kamu, aku harus bikin dia cemburu dengan pura-pura dekat sama
kamu?” tanyanya.
Bukan pura-pura, melainkan benar-benar dekat. Namun, yah, tidak masalah,
jika memang itu yang dia inginkan. Untuk saat ini.
“Bener! Bikin dia sakit hati kayak yang kamu rasain sekarang,” timpalku.
Fla tampak berpikir, sedangkan aku merasa cemas, khawatir dia menyadari
niatku yang sebenarnya di balik tawaran ini.
“Jangan ngerjain aku,” dia akhirnya berkata.
“Aku dan kamu sama-sama punya alasan untuk semua ini,” jelasku. Aku
menatap matanya, meyakinkan bahwa aku sangat serius dengan semua ini.
“Kalau itu keuntungannya buatku, terus buat kamu apa?”
Aku terdiam beberapa saat. Bukan karena tidak punya jawaban, melainkan
karena terlalu banyak keuntungan yang bisa kudapatkan hingga aku tidak bisa
menyebutkannya satu per satu.
“Mama udah telanjur suka sama kamu. Selama ini nggak ada satu pun pacarku
yang Mama sukai.”
Mama memang sangat menyukai Fla, tetapi yang satu lagi hanya
kebohonganku saja. Mana pernah aku membawa pacarku sebelum ini ke
hadapan Mama.
“Dan, aku juga punya masalah pribadi dengan mantan kamu,” lanjutku.
“Masalah pribadi?” ulangnya. BUKUNE
“Bisnis,” jawabku cepat. Kebohongan lainnya. “Jadi, kita sama-sama
diuntungkan. Aku dan kamu bisa saling membantu buat balas dendam. Orangtua
kita juga kayaknya nggak ada masalah dengan hubungan kita.”
Sesaat, Fla mengerutkan kening. “Kalau Ian emang mau ninggalin aku, aku
udah nggak mau mikirin dia lagi. Setelah aku pikir-pikir, dia nggak punya hak
buat memperlakukan aku kayak gini.”
“Jadi?” tanyaku.
“Nggak ada salahnya kita coba ide kamu,” sahut Fla.[]
BUKUNE
BUKUNE
Berbagi
P atah hati mungkin membuat aliran darah ke otakku agak terganggu. Aku
tidak bisa berpikir dengan baik.
Aku mencari nama Jia dan menekan ikon panggil. Lama tidak ada jawaban,
tetapi aku tetap mencoba menghubungi nomornya, lagi dan lagi. Mungkin Jia
masih di rumah sakit.
“Lama banget angkatnya,” omelku ketika telepon akhirnya diangkat.
“Siapa, ya?” Terdengar suara Jia.
“Ini aku, Fla.”
“Nomor baru?”
“Iya. Disimpen,” suruhku. “Kalian masih lama, ya, pulangnya?”
BUKUNE
“Eh, enggak ..., ini udah pulang. Maksudku, masih lama pulangnya.” Suara Jia
terdengar tidak jelas.
“Aku nginep di rumah Aga.”
“Bagus.”
“Ntar aku mau cerita, ya. Tentang Ian.” Aku menghela napas panjang.
“Udahan dulu. Aku dipanggil Tante,” kata Jia tiba-tiba.
“Mana Mama? Aku mau bicara bentar,” pintaku.
“Nanti aja. Lagi ribet di sini.” Jia menutup telepon.
Mungkin Jia akan mentertawaiku jika mendengar ceritaku tentang Ian. Dia
tidak pernah melarang, juga tidak menyetujui hubunganku dan Ian, jadi mungkin
dia akan lega jika tahu hubungan kami berakhir.
Aku berharap tidak bermimpi buruk malam ini karena terlalu banyak
memikirkan Ian.
“Aku nyesel nyuruh kamu ngunci pintu kamar,” gerutu Aga.
Aku hanya diam sambil bergegas mengikutinya masuk ke mobil. Matahari
sudah mulai menampakkan sinarnya walau masih redup.
“Kamu nggak bilang mau berangkat jam berapa.” Aku membela diri. “Kalau
tahu kan aku bisa nyalain alarm.”
“Pintu kamar kamu udah aku gedor dari sejam lalu, masa kamu nggak
denger?” Aga membanting pintu mobilnya.
Aku bergidik ngeri. Percuma saja punya mobil bagus tetapi kelakuannya
seperti manusia purba.
“Jam segini juga belum telat, kok,” kataku.
“Kamu sih enggak, tapi aku yang bakal telat!” bentaknya dengan wajah
memerah.
“Aku bisa minta jemput Jia, kok, kalau kamu nggak bisa antar,” balasku,
meski aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri.
“Buruan!” Aga tidak membalas ucapanku, malah memaksaku naik ke mobil.
“Hari ini aku ada meeting penting. Telat masuk kerja setelah seminggu cuti itu
nggak enak.” BUKUNE
Sepertinya dia berniat membuatku semakin merasa bersalah.
“Dua puluh menit lagi nyampe, kok. Abis itu kamu bisa langsung pergi,”
sahutku malas-malasan.
“Abis nganter kamu ke kantor,” timpalnya.
“Nggak perlu, aku bisa ke kantor sendiri,” tolakku. Jika Aga memaksa
mengantarku ke kantor, bisa-bisa sepanjang jalan dia menceramahiku.
“Kamu pikir orangtuamu bakal bilang apa kalau aku ninggalin kamu gitu
aja?”
“Biar aku yang jelasin kalau kamu ada meeting penting.”
“Udahlah, kamu duduk diam aja. Aku nggak konsen nyetir kalau kamu
berisik.” Dan, setelah berkata begitu, dia malah menyalakan musik.
Aku menajamkan pendengaran. Mengapa dia malah memutar lagu sendu
seperti ini? Membuatku mengantuk saja.
Aku melirik Aga, perlahan mengulurkan tangan dan menekan tombol next,
berharap lagu selanjutnya berbeda. Namun, lagi-lagi lagu yang bernuansa sama.
Mendayu dan menyiksa.
Bunuh saja aku! Sebenarnya, siapa pria di sebelahku ini? Mengapa selera
musiknya begitu manis?
“Ini nggak ada lagu lain apa? Yang lebih semangat?” tanyaku memberanikan
diri.
“Itu kan lagu-lagi dari ponsel kamu,” jawabnya tanpa menoleh.
“Laguku? Kamu pindahin semuanya?”
“Iya.”
“Tapi kan ....”
“Kenapa? Ada masalah?”
Aku terpojok. “Enggak ..., cuma kaget aja,” sahutku asal.
“Aku cuma mikir kalau kamu bakal sering berada di mobil ini. Jadi, nggak
ada salahnya kita berbagi. Dimulai dari selera musik.”
Berbagi? Selera musik? Istilah BUKUNE
aneh apa itu? Mengapa bukan berbagi uang?
Kedengarannya lebih menguntungkan.
Tanganku sudah akan menekan tombol next, tetapi kalah cepat dengan Aga.
E ntah sejak kapan, aku hafal wangi parfum Aga. Aku menyukai perpaduan
wangi segar dan manisnya, seperti kayu manis dan vanila yang tidak terlalu
pekat. Rasanya, jika aku memejam, aku dapat merasakan wanginya lebih dalam.
“Jangan tidur dulu.”
Aku tersentak dan membuka mata. “Siapa juga yang tidur?” kilahku.
“Kamu selalu aja tidur kalau di mobilku. Emangnya tidur kamu semalam
belum cukup?” tanyanya.
“Aku tidur kalau emang lagi ngantuk. Kalau aku ketiduran di mobil kamu, itu
artinya aku ngantuk,” jawabku asal.
Hari ini jadwalku menemani Aga menghadiri pernikahan temannya. Awalnya,
BUKUNE
aku menolak, tetapi bukan Aga namanya jika tidak berhasil memaksaku. Kata
Aga, aku dan dia harus saling mendukung. Ya, kami memang dua orang yang
sedang terikat perjanjian aneh.
“Rambutmu jadi berantakan.” Aga meraih helaian rambutku yang terlepas dari
ikatan, kemudian merapikannya. Mendadak, wangi parfum Aga semakin kuat.
Rasanya aku terkena sindrom mendadak-mau-mati-saja.
Aku menatap Aga dengan ngeri. Heran dengan kelakuannya yang mendadak
manis. Seperti bukan Aga saja.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Kenapa apanya?” Aga balas bertanya.
“Kenapa kayak gini?”
“Kayak gini, maksudnya?”
“Ah, udahlah, nggak penting,” kataku akhirnya.
Jika disuruh memilih, aku lebih suka Aga yang biasanya. Yang suka memarahi
dan menghinaku. Aga yang bersikap baik dan terlalu manis membuatku takut
ada hal buruk yang dia rencanakan. Aku sudah terbiasa mendapati Aga yang
kasar dan usil. Jika mendadak penuh perhatian dan berusaha romantis, rasanya
sangat aneh. Dan, sedikit perubahan itu menumbuhkan banyak spekulasi.
“Nanti jangan lama-lama, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa? Ada acara?”
“Males aja di tempat ramai.”
“Pantesan kuper,” sahut Aga singkat.
“Sama aja, kamu juga!” ledekku. Aga juga tidak memiliki lebih banyak teman
dibandingkan denganku, makanya kerjaannya hanya membuntutiku terus.
“Bisa nggak, sih, kamu panggil aku dengan sebutan yang lebih sopan?”
Aku menatap Aga bingung. Apa maksudnya? Memang selama ini aku kurang
sopan apa lagi?
“Aku lebih tua dari kamu, dan kamu selalu panggil aku dengan sebutan
‘kamu’, tanpa embel-embel.”
Aku melongo mendengarnya. Apa-apaan ini?
“Lalu?” BUKUNE
“Pikirin aja sendiri apa maksud omonganku,” sahut Aga ketus. “Ayo turun.
Udah nyampe.”
Aku memasang muka cemberut.
“Jangan pegang-pegang.” Aku menarik tanganku yang sudah berada dalam
genggaman tangan Aga.
“Ingat kesepakatan kita,” dia berbisik di telingaku.
Aku hanya bisa mendesis geram dan merelakan tanganku dia genggam.
Sampai hari ini, aku belum menemukan keuntungan dari tawaran Aga kecuali
diantar jemput setiap hari. Sedangkan tujuan utama untuk membuat Ian sakit hati
belum berhasil dilaksanakan.
Aku berjalan tertatih mengikuti langkah Aga memasuki ballroom hotel. Aku
tidak suka dimanfaatkan Aga seperti ini, dia selalu mencari keuntungan—yang
sebenarnya tidak terlalu merugikanku juga. Hanya saja, terkadang aku kesal
dengan sikapnya yang seperti memamerkanku di hadapan para teman dan rekan
bisnisnya. Aga akan dengan bangga memperkenalkanku sebagai tunangannya di
hadapan semua orang.
“Aku ambilin minum,” katanya dengan nada lembut. Mulai lagi
sandiwaranya.
Aku duduk di kursi sambil menunggu Aga. Aku tidak suka keramaian, pesta,
dan orang-orang tak dikenal. Semua itu membuatku merasa terasing.
Tiba-tiba, lenganku dicengkeram dengan sangat kuat. Aku menoleh dan
mendapati seseorang sedang berdiri di sampingku dengan wajah menahan
marah.
Ian!
“Ke mana saja kamu?!” Ian menarik tanganku lebih keras sehingga mau tidak
mau aku bangkit dari dudukku agar tidak terjatuh dari kursi.
“Lepasin!” kataku dengan suara bergetar. Suara musik yang terdengar dari
seluruh penjuru ruangan membuat suaraku teredam.
“Kenapa ponsel kamu nggak aktif?! Kamu sengaja, ‘kan?!” Ian terus menarik
BUKUNE
tanganku, mau tidak mau aku mengikuti langkahnya yang berjalan menjauhi
keramaian, ke lorong belakang yang saat ini sepi, tidak dilewati orang.
“Sakit, Ian! Lepasin!” pintaku sambil menahan tangis.
“Berani-beraninya kamu ngelupain aku dengan cara kayak gini!” bentak Ian.
“Ngaku aja kalau kamu selingkuh, ngaku aja kalau kamu nggak bisa setia, ngaku
ka—”
Buuuk! Terdengar suara berdebam.
“Ini pelajaran buat kamu karena udah nyakitin Fla!”
Buuuuuk! Pukulan lain menyusul. Kepalan Aga mengeras, berikut rahangnya
yang mengetat dan matanya yang menyala marah.
“Dan, ini karena kamu udah bikin Fla nangis!”
Aku memejam, hanya bisa mendengar hantaman lainnya tanpa berani melihat.
Seseorang menarikku. Aku hampir menangis saat akhirnya menyadari bahwa
aku sudah berada dalam pelukan Aga.
“Jangan ganggu Fla lagi atau aku bakal ngehajar kamu lebih parah dari ini!”
Napas Aga terdengar memburu
Ian yang terhuyung karena pukulan Aga perlahan bangkit. Dia seakan tidak
percaya melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Aku berpaling,
mendadak merasa jijik melihat wajahnya.
Aga segera membawaku pergi. Ian meneriakkan namaku, tetapi aku tidak
peduli lagi. Aku tidak mau mendengar penjelasannya, apa pun itu.
“Kita udah bikin onar di pesta orang,” kataku, berusaha mencairkan suasana
yang tegang.
“Nggak ada yang lihat,” jawab Aga sambil menatapku. Lalu, “Kamu nggak
apa-apa, ‘kan?”
Aku hanya menggeleng. “Aku mau pulang,” pintaku.
Aga tidak menjawab, hanya membimbingku menuju pintu keluar.
“Ternyata Aga! Tante kira siapa.”
Langkah kami terhenti oleh suara seorang wanita yang sedang berdiri di dekat
pintu keluar. Aku tersentak dan BUKUNE
hampir saja akan melarikan diri lagi, tetapi
rangkulan Aga begitu kuat. Sekujur tubuhku gemetar dan persendianku terasa
melemah.
“Apa kabar, Tante?” Aga menghampiri wanita itu sambil menarikku. Padahal,
aku sudah memberikan kode bahwa aku tidak mau.
“Pacar kamu, ya?” Wanita itu memicingkan matanya, menilaiku. Dia bersikap
seakan tidak mengenaliku.
“Iya, Tante, ini Fla, tunanganku,” jelas Aga.
Wanita itu tidak berkata-kata lagi, hanya terus menatapku dari kepala sampai
kaki.
“Oh, ya, Ian mau nikah dua bulan lagi. Kamu bisa datang, ‘kan?”
Pandanganku terasa kabur. Sepertinya sebentar lagi aku akan menangis.
“Tante juga harus datang ke acara nikahan kami nanti,” sahut Aga.
“Waaah, kapan?” tanyanya dengan muka pura-pura antusias.
“Secepatnya,” kata Aga enteng. “Sudah, ya, Tante Maya, kami duluan. Mesti
jemput Mama dulu di bandara.” Aga menyalami wanita itu dan segera
menarikku ke luar.
Aku tersekat, menyembunyikan wajah di lengan Aga. Tangisku tidak bisa lagi
dicegah.[]
BUKUNE
Suatu Ketika
BUKUNE
Aturan Aga
“A ku punya aturan.”
Aku menatap si pemilik suara.
“Aku nggak mau kamu berhubungan dengan pria mana pun selain aku,”
ucapnya tegas.
Aku menghela napas panjang. Menyedihkan sekali nasibku, seperti sedang
hidup pada zaman penjajahan.
“Aku harus tahu ke mana kamu pergi, jadi kamu nggak boleh sekali pun lupa
ngasih tahu aku,” lanjutnya.
“Aku juga punya peraturan yang sama buat kamu,” balasku kesal.
“Nggak masalah,” jawabnya santai.
BUKUNE
“Aku nggak mau hidupku diatur-atur sama kamu.”
“Permintaan ditolak. Aku tetap bakal ngatur hidup kamu, suka atau enggak.”
“Kenapa nggak sekalian kamu sandera aku, biar dua puluh empat jam bisa
sama kamu terus?” kataku sinis.
“Kamu mau?”
“Ya enggaklah!” sergahku dongkol. “Sekarang, aku pengin pulang. Kamu
nggak bosan apa lihat aku berkeliaran di rumah kamu?”
“Kenapa pengin pulang?” Bukannya mengiakan, dia malah balik bertanya.
“Ngantuk, pengin tidur,” tukasku asal.
“Tidur di sini aja.”
“Aku punya rumah sendiri. Jadi kalau ngantuk, aku harus tidur di rumahku.”
“Rumah ini juga bakal jadi rumah kamu.”
Aku menggeram kesal. “Kita cuma berdua di sini, nanti timbul fitnah.”
Bahasaku sudah mulai ngawur.
“Malah bagus, ‘kan, kalau cuma kita berdua.” Dia terkekeh.
“Aku bunuh kamu kalau berani macam-macam!”
Beberapa hari ini benar-benar melelahkan bagiku. Seluruh hidupku berpusat di
sekitar Aga. Menjadi pacar Aga ternyata harus siap dibayang-bayangi olehnya
setiap saat. Pagi hari, dia sudah menikmati teh madu di rumahku. Sepanjang
perjalanan ke kantor, hanya wajahnya yang bisa kulihat. Dan, selama bekerja,
suara Aga menghantuiku beberapa jam sekali. Dia tidak bosan-bosannya
meneleponku, menanyakan ini itu. Padahal, aku sudah memperingatkannya,
bahwa selama jam kerja, aku dilarang menggunakan ponsel. Namun, Aga tidak
kekurangan ide, dia meneleponku melalui telepon kantor.
Rasanya seperti dikejar-kejar debt collector.
Semasa bersama Ian, aku tidak pernah mengalami hal seperti ini. Ian memang
posesif, tetapi dia tidak pernah berkeliaran di dekatku 24 jam sehari. Ian jarang
ada saat aku butuh, dia tahunya hanya marah-marah jika cemburu.
Dengan Aga, ada yang berubah dalam hidupku.
BUKUNE
Apa yang ingin dia capai dengan memaksaku menjadi pacarnya? Apa
keuntungan yang dia dapatkan? Kurasa tidak ada. Aku bukan selebritas, dia
tidak akan terkenal hanya dengan menjadi pacarku.
AGA
Pulang duluan aja, pake taksi.
Aku g bs jemput, ada meeting sampai malam.
Pesan dari Aga masuk tepat saat jam pulang kantor. Seandainya lebih awal,
aku bisa minta jemput Jia.
Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar kantor, aku melihat keberadaan
sebuah mobil yang sangat kukenal.
Mobil Ian!
Mengapa mobilnya ada di depan kantorku?
Aku bergegas masuk kembali dengan kaki goyah. Buru-buru aku menekan
nomor ponsel Aga. Hanya dia yang bisa menolongku sekarang. Aku takut Ian
akan bertindak nekat seperti kemarin. Sayangnya, meski sudah kutelepon sampai
tiga kali, Aga tetap tidak mengangkat.
Dari dinding kaca, aku melihat Ian keluar dari mobilnya.
Aku harus segera pergi.[]
BUKUNE
Maaf
Aku menatap sekuriti yang dari tadi berperan sebagai kurir pembawa pesan,
kemudian menghela napas panjang.
Dengan langkah berat, aku membuka pintu. Langkahku semakin ragu ketika
Ian menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Mungkin ini salah satu
kesalahan terbodoh yang pernah kulakukan, bertemu dengan mantan pacar
setelah dikhianati.
“Fla ....” Suara Ian terdengar pelan, tetapi aku tidak perlu menajamkan
pendengaran hanya untuk mendengarnya menyebut namaku.
“Ada apa?” tanyaku tak kalah pelan.
“Maaf ....”
Aku mematung, tidak tahu harus berbicara apa. Inilah akhir hubunganku dan
Ian setelah beberapa tahun bersama. Sama-sama bersembunyi dari orangtua.
Akhirnya, kenangan itu akan usai dalam situasi canggung.
“Kita harus bicara,” lanjutnya.
Aku menatapnya bingung.
“Bicara apa lagi?” tanyaku dingin.
“Bisa ke mobilku? Kita bicara di sana saja, nggak enak di sini.”
Aku menggeleng tegas.
“Sumpah, Fla, aku nggak bakal macam-macam. Aku cuma pengin ngobrol.”
Suara Ian terdengar frustrasi.
“Di sini aja,” aku tetap bersikeras.
BUKUNE
“Fla, aku janji nggak bakal nyakitin kamu lagi. Tapi aku mohon, aku cuma
ingin meluruskan semua masalah yang terjadi,” jelasnya.
Memangnya apa lagi yang perlu diluruskan? Dia pikir aku buta?
Aku memalingkan wajah. “Oke. Cuma sebentar.”
Aku mengikuti Ian menuju mobil. Saat sudah berada di dekat mobilnya,
langkahku terhenti.
“Kamu boleh pegang kunci mobilku. Aku nggak bakal bawa kamu kabur,”
kata Ian, seolah tahu apa yang kupikirkan.
Ragu-ragu, aku menerima kunci tersebut.
“Masuk, Fla. Banyak yang harus aku ceritakan.”
Aku menimbang-nimbang. “Aku nggak punya banyak waktu. Lima belas
menit.”
Kubuka pintu mobil Ian dan, sambil berdoa, aku berharap Ian tidak
bermaksud buruk terhadapku. Samar, aku bisa melihat Ian tersenyum sambil
menatapku.
“Aku kangen kamu,” ucapnya lirih.
Aku tidak ingin menanggapi, jadi aku hanya diam sambil memandang lurus ke
depan.
“Aku emang udah banyak bohong sama kamu. Kesalahanku udah nggak
termaafkan lagi,” dia memulai. “Fla ..., aku sayang banget sama kamu.”
Aku akui, perasaanku sedikit terguncang setelah bertatap muka dan
mendengar ucapannya. Kupikir, aku akan kuat mendengar apa pun yang keluar
dari mulutnya. Ternyata, aku salah.
“Kenapa kamu tega ngelakuin semua ini?” tanyaku. Suaraku masih terdengar
datar, tetapi sebenarnya aku sedang menahan tangis.
“Aku nggak mau nyakitin kamu, makanya aku nutupin semua ini.”
“Kamu pengecut!” umpatku.
“Maaf, Fla ....” Ian mengulurkan tangan, hendak menyentuh bahuku, tetapi
segera kutepiskan.
“Aku nggak pernah kepikiran kalau Mama serius dengan permintaannya.
Sampai dia mengancam akan mengusirku kalau aku nggak nikah dengan wanita
pilihannya.” BUKUNE
“Kamu ngarang semua kebohongan ini cuma buat ngedapetin semua yang
kamu mau. Kamu nggak berani ngambil risiko. Kamu cuma mikirin perasaan
sendiri.” Semuanya terlontar begitu saja dari mulutku.
“Aku nyesel, Fla. Bukan ini yang kumau.”
“Ini yang kamu mau! Jadi terimalah, apa pun yang terjadi.”
“Aku nggak bisa, Fla. Aku nggak bisa kalau kamu pergi. Aku nggak bisa lihat
kamu sama pria lain.”
“Lalu, gimana dengan kamu? Kamu sendiri udah milih wanita lain.” Suaraku
mulai terdengar bergetar. “Ian, hubungan kita sampai di sini aja.”
Aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi, dan kali ini aku harus
menepatinya. Aku dan Ian sama-sama diam. Menyusuri jalan pikiran masing-
masing. Sunyi menjadi pihak ketiga di antara kami.
“Udah lima belas menit. Aku harus pulang.” Aku membuka pintu mobil.
“Aku antar kamu pulang buat ... terakhir kalinya,” kata Ian pelan.
“Aku bisa pulang sendiri,” balasku.
Baru saja aku mendorong pintu, tanganku ditarik oleh Ian.
“Kenapa kamu nolak aku?!” Suaranya terdengar marah. “Apa gara-gara pria
itu?!” lanjutnya lagi.
“Dia nggak ada hubungannya dengan kita!” bentakku kesal.
Tiba-tiba, tubuhku terempas kasar ke kursi. Ian menarik tanganku lagi dengan
tatapan mata penuh kemarahan. Aku menepiskan tangan Ian dan, dengan sekuat
tenaga, berusaha keluar dari mobil.
“Kamu nggak boleh pergi!”
“Kamu gila!”
“Kamu harus tetap di sini!”
“Ian! “ jeritku.
Aku masih tidak bisa melepaskan tanganku, tetapi pintu mobil sudah terbuka.
Tinggal selangkah lagi, aku bisa terlepas dari Ian.
Braaak!!! Suara hantaman keras terdengar jelas di telingaku.
Tepat di samping Ian, wajah Aga terlihat jelas dari balik kaca mobil.[]
BUKUNE
Akhir Kesepakatan
H ari ini, bernapas membuatku sesak. Dadaku terasa sakit setiap kali sosok Aga
terlintas di pikiranku.
Semua kejadian seperti diputar ulang. Tingkahnya yang menyebalkan,
suaranya yang bernada memerintah, wajahnya yang sering kali tampak sinis.
Semua itu membuatku ingin menangis.
Ternyata, aku tidak berarti apa-apa bagi Aga. Sejak dulu. Aku hanya alat yang
dia gunakan untuk membalaskan dendam. Bisa-bisanya aku terjebak. Dan, kali
ini, rasanya jauh lebih menyakitkan daripada pengkhianatan Ian.
Kini, aku sulit berkonsentrasi saat bekerja. Terlebih lagi, aku harus terus
bersikap ramah terhadap nasabah. Pura-pura tersenyum, sedangkan pikiranku
kacau.
BUKUNE
Dering telepon menyadarkanku.
“Selamat siang, Bank Primatama Cabang Sudirman dengan Fla customer
service, ada yang bisa dibantu?”
“Fla, ini Tante Vina! Ponsel kamu nggak aktif.”
“Kalau lagi jam kerja, ponsel Fla di loker, Tante. Tante Vina apa kabar?”
tanyaku beramah-tamah.
“Aga kecelakaan.”
Aku sontak terdiam.
“Tante sekarang lagi di Semarang, nanti sore baru bisa pulang. Terakhir Tante
dapat kabar kalau Aga kecelakaan sekitar empat hari lalu. Abis itu, Tante nggak bisa
ngehubungi dia lagi, ponselnya nggak aktif. Setiap telepon ke rumah juga nggak ada
yang angkat,” jelas Tante Vina.
Aku hanya bisa menangkap samar-samar apa yang diucapkan Tante Vina,
selebihnya hanya kata-kata “Aga kecelakaan” yang memenuhi pikiranku. Empat
hari lalu, terakhir kali kami bertemu.
Apa Aga mengalami kecelakaan setelah kami bertengkar? Aga bodoh! Dia
sedang emosi saat itu, pasti dia tidak fokus saat menyetir, atau mungkin dia
menyetir dengan kecepatan yang hanya berani dilakukan oleh orang mabuk.
Apa dia terluka parah? Atau, jangan-jangan ....
“Tolong cek keadaan Aga, ya, Fla? Tante khawatir terjadi apa-apa sama dia.”
“I-iya, Tante.”
“Segera ya, Fla? Tolong kabari Tante nanti.”
Bayangan Aga kembali memenuhi otakku. Bedanya, kini aku membayangkan
tubuhnya terluka, penuh perban, dan ..., mendadak, aku gemetaran.[]
BUKUNE
Semoga
BUKUNE
Pink dan Putih
BUKUNE
Maukah?
BUKUNE
Dari Aga
BUKUNE
Tentang Penulis
BUKUNE