Anda di halaman 1dari 11

1

Reklamasi Rawa untuk Pencetakan Sawah


Baru, Masihkah Diperlukan?1
Suhardjono2 dan Sebrian Mirdeklis B.P.3

PENGANTAR

Salah satu prioritas dari program pembangunan nasional adalah


peningkatan ketahanan pangan. Meningkatnya jumlah penduduk
membawa tuntutan pangan (beras) yang lebih banyak. Di lain
pihak, terjadi alih fungsi lahan persawahan produktif yang
berakibat turunnya produksi beras.
Untuk meningkatkan pangan, khususnya beras, dibutuhkan lebih
banyak air dan lahan. Pemerintah memahami dan telah berupaya
mengatasinya. Melalui program besar Nawacita, telah dan akan
dibangun puluhan bendungan baru, ratusan embung, membangun
serta meningkatkan kualitas saluran dan bangunan irigasi. Juga
dilakukan intensifikasi lahan untuk memaksimalkan produksi
beras pada ratusan ribu hektar sawah. Serta adanya proyek
ekstensifikasi berupa pencetakan sawah baru.
Mencetak sawah baru menuntut ketersediaan air dan lahan.
Memilih lahan dimana sawah akan dicetak, tidaklah mudah. Dsalah
satu di antara pilihan itu adalah reklamasi daerah rawa.
1
Makalah pada diskusi terbatas Alumni IHE di Jurusan Teknik Pengairan Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya, 3 Mei 2017
2
Alumni IIHEE Delft 1976/1977, pengajar mata kuliah Reklamasi Rawa pada
Jurusan Teknik Pengairan FTUB .
3
Calon Mahasiswa Program Doktor IHE 2017, pengajar mata kuliah Teknik Pantai
pada Jurusan Teknik Pengairan FTUB.
2

Akhir-akhir ini, kata reklamasi cenderung dimaknai negatif.


Terlebih bila dikaitan dengan isu lingkungan, atau reklamasi pantai
Jakarta, atau bahkan dengan isu korupsi. Akibatnya, kegiatan
mereklamasi rawa untuk pengembangan sawah baru pun
dipertanyakan. Apakah masih layak?. Benarkan diperlukan? Saat
mengawali perkuliahan tentang Reklamasi Rawa, diskusi hangat
tentang masalah itu selalu saja terjadi.
Karena itu, melalui diskusi pagi ini diharapkan akan diperoleh
tambahan informasi, untuk menjawab pertanyaan “ apakah
reklamasi daerah rawa untuk mencetak sawah baru, masih
diperlukan?”

MENGAPA KITA BUTUH BEGITU BANYAK


BERAS?

Badan Pusat Statistik mencatat, laju pertambahan penduduk


Indonesia mencapai 2 – 3 persen per tahun. Itu artinya, bertambah
sekitar 3 juta orang setiap tahunnya. Proyeksi World Bank
menyatakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia ini akan
mencapai 300 juta jiwa. Di bulan September 2016 jumlah penduduk
telah mencapai 258 juta.
Bertambahnya jumlah penduduk menuntut tambahan produksi
beras sekitar 2 juta ton per tahun. Informasi lain menyebutkan
konsumsi beras Indonesia akan meningkat dari 27,2 juta ton pada
tahun 1992 menjadi 45,1 juta ton di tahun 2018. Sedangkan
menurut hitungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian (2007), jika tidak ada upaya khusus maka
pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami defisit pangan
sebanyak sekitar 9,0 juta ton beras.
Dengan demikian, harus disiapkan berbagai upaya untuk memenuhi
tambahan produksi beras. Konon, di tahun 2018 Indonesia
memerlukan sawah seluas 11,2 juta ha4. Untuk itu Indonesia

4
data Pusdatin Kementan menuliskan luas sawah di tahun 2013 adalah sekitar 8,1
juta ha, data lain menyatakan luas sawah di tahun 2000 sudah mencapai 10,4 juta
3

membutuhkan tambahan sekiar 1,1 juta ha sawah baru untuk dapat


mempertahankan swasembada pangan.5
Bila tidak, setiap tahun kita harus mengimpor beras dalam jumlah
yang tidak sedikit. Dari grafik di bawah, terlihat ilustrasi jumlah
impor beras dari tahun 2000 sampai 2014.

Terus menerus mengimpor beras menunjukkan lemahnya


ketanahan pangan. Padalah “Ketahanan pangan merupakan salah
satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di
bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab itu,
ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan
pertanian saat ini dan masa mendatang.”

Ha.
5
perluasan lahan pertanian menempati posisi teratas dalam arah kebijakan untuk
mendukung ketahanan pangan nasional
4

ISU NASIONAL TERKAIT KETERSEDIAAN


PANGAN (BERAS)

Berbagai isu nasional yang berkaitan dengan ketersediaan pangan


(beras) di antaranya: (a) bertambahnya jumlah penduduk, (b)
pengangguran, (c) kemiskinan, (d) krisis pangan, (b) kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim6 dan (f) meningkatnya alih fungsi
(konversi) lahan pertanian ke lahan non pertanian.
Bahkan, kajian lain menambahnya dengan: (g) menurun dan masih
terbatasnya infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan ketersediaan
air, (h) terjadinya degradasi kesuburan lahan pertanian, serta (i)
meluasnya lahan terlantar,

Untuk meningkatkan pangan, khususnya beras, dibutuhkan lebih


banyak air dan lahan. Pemerintah memahami dan telah berupaya
mengatasinya melalui program pengembangan lahan pertanian
(khususnya mencetak sawah baru). Mengapa demikian? Lahan
6
perubahan iklim telah dilaporkan menurunkan produksi beras, terlebih
lagi bagi sawah tadah hujan, produksi akan menurun akibat terbatasnya
ketersediaan air
5

sawah semakin menciut akibat beralih fungsi. Catatan Kementerian


Pertanian menunjukkan bahwa laju konversi lahan sawah menjadi
nonsawah di Jawa mencapai 100 ribu ha per tahun. Angka
penyusutan itu tidak sebanding dengan penambahan lahan sawah
baru.
Sawah baru yang berhasil dicetak, hanya sekitar 35 ribu hektar per
tahun, yang di antaranya melalui proyek reklamasi rawa di
Sumatera dan Kalimantan beberapa puluh tahun yang lalu. Itupun,
masih memberikan sumbangan yang rendah bagi ketahanan
pangan. Karena, lagi-lagi, banyak terjadi pengalih-fungsian lahan
rawa beririgasi untuk peruntukan lain, seperti perkebunan kelapa
sawit dan karet7.

USAHA YANG TELAH DAN AKAN DILAKUKAN

Dalam Nawacita, telah


dirancang sejumlah
kegiatan untuk
mencapai Ketahanan
Pangan, khususnya
dalam kemampuan
mencukupi pangan
(beras) dalam negeri.
Dalam beberapa ta-
hun mendatang se-
jumlah b endungan,
embung, saluran
dan bangunan 8, juga intensifikasi produksi hasil pertanian
pada lahan sawah yang telah ada, akan dibangun.
7
di daerah rawa pasang surut Belawang (Barito Kuala) adalah salah satu contoh
perubahan pemanfaatan lahan beririgasi menjadi perkebunan karet.
8
Air merupakan faktor utama dalam produksi padi sawah. Dibutuhkan lebih
banyak air yang dapat ditampung dan dapat disalurkan dengan efisien, karenanya
bendungan, embung dan pernambahan serta perbaikan saluran menjadi prioritas.
6

Daripada mencetak sawah baru, mengapa tidak memilih


intensifikasi?
Intensifikasi pertanian adalah mengolah lahan dengan
menggunakan berbagai sarana, seoptimal mungkin, agar didapat
hasil pertanian yang maksimal. Tujuannya agar produktivitas
persatuan luas atau indeks pertanaman (IP) meningkat.
Teknologi intensifikasi dilakukan melalui penerapan panca usaha
tani, yakni: (1) pemakaian benih unggul, (2) pengolahan tanah yang
baik, (3) pengelolaan air, (4)pemakaian pupuk berimbang dan (5)
pengendalian hama dan penyakit. Saat ini ditambah dua kegiatan
lagi, yaitu (6) pengelolaan pasca panen dan (7) pemasaran.
Sebutannya pun berubah menjadi Sapta Usaha Tani.
Dari tujuh kegiatan itu, tingkat produktivitas sangat dipengaruhi
oleh 3 hal, yakni : benih, pupuk dan air. Penelitian Bank Dunia
sekitar tahun 80-an menyatakan bobot kontribusi masing-masing
terhadap produktivitas sekitar 4%, 5% dan 16%. Kecukupan air
memberikan pengaruh yang sangat dominan. Meningkatnya
produksi padi sangat ditentukan oleh kecukupan air 9 yang tepat,
sesuai kebutuhan masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman
padi.
Proyek intensifikasi, di samping relatif mudah pelaksanaannya, juga
hasilnya lebih cepat dapat dinikmati (quick-yeilding proyect) . Hal ini
berbeda, bila dilakukan melalui cetak sawah baru, apalagi cetak
sawah baru di daerah rawa. Produksinya baru dapat dinikmati
dalam waktu yang jauh lebih lama (slow-yeilding project).
Karenanya, bila memungkinkan proyek intensifikasi selayaknya
menjadi pilihan utama dalam peningkatan produksi beras.
Namun, bila intensifikasi tidak lagi dapat dijalankan, tentunya
perluasan sawah untuk mempercepat pencapaian surplus beras nasional
menjadi pilihan berikutnya.
Pada pengantar buku Cetak Sawah Indonesia (Kementan 2013)
tertulis:

9
penelitian IRRI untuk menghasilkan 1 kg beras dibutuhkan total air sebanyak
5000 liter
7

Seperti kita ketahui, dalam beberapa tahun terakhir kebutuhan


pangan terus meningkat, sedangkan alih fungsi lahan sawah
setiap tahun terjadi secara massif pada areal persawahan yang
cukup luas. Oleh karena itu, upaya penambahan baku lahan
tanaman pangan melalui perluasan sawah menjadi sangat
penting dalam upaya mempercepat pencapaian surplus beras
nasional lO juta ton tahun 2014.
Menambah produksi beras secara nasional sebesar 10 juta ton
hingga tahun 2014 tidaklah mudah. Berbagai dukungan inovasi
teknologi, sarana produksi, perluasan areal tanam, pencetakan
lahan sawah baru, menjadi persyaratan. Juga, dituntut adanya
kerjasama yang baik antar kementerian dan lembaga terkait.
Sebagai contoh, pada pembukaan sawah baru, berbagai institusi
berikut ini, wajib saling berkerjasama. BPN dan Kehutanan dalam
peneyediaan lahan, KemenPUPR untuk penyiapan infrastruktur
dasar (bendungan/ waduk, saluran, dan bangunan), Bakorluh
dalam pendampingan bagi petani dalam mengolah sawah baru,
Kemenakertrans dalam penyiapan transmigran dan Kemen BUMN
yang mensuplai benih, pupuk dan sarana pertanian lainnya . Hanya
melalui dukungan dan kerjasama itulah, proyek pembukaan sawah
baru, akan mampu menambah produksi beras.

MENCETAK SAWAH BARU: EKSTENSIFIKASI

Perluasan lahan diawali dengan mencari lahan baru. Umumnya ada


dua pilihan lahan untuk ekstensifikasi pertanian yakni (1) di lahan
kering, atau (2) di lahan basah (rawa)10. Macam teknologi
ekstensifikasinya dibedakan dari lahan yang dipilih dan metode
yang digunakan. Tentu saja, tidak semua lahan dapat dipilih untuk
ekstensifikasi pertanian terlebih lagi untuk membuka sawah baru.
Lahan rawa dapat menjadi pilihan karena mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan lahan kering ataupun lahan tadah

10
pengembagan pertanian di daerah dataran rendah (’low land’) merupakan
pilihan, di antaranya dengan membuka daerah rawa-rawa sebagai lahan pertanian
pasang surut
8

hujan. Keunggulan lahan rawa antara lain: (1) ketersediaan lahan


cukup luas, (2) sumber daya air melimpah, (3) topografi relatif
datar, (4) akses ke lahan dapat melalui sungai, (5) lebih tahan
deraan iklim, dan (6) umumnya telah mempunyai potensi warisan
budaya dan kearifan setempat yang mendukung. Di samping itu,
potensi lahan rawa Indonesia sebagai lahan persawahan cukup
melimpah.

Potensi Rawa Indonesia


Pemetaan
Badan Litbang
Pertanian,
Kementerian
Pertanian,
menyatakan
luas lahan rawa
yang tersebar
di 17 provinsi
di seluruh
Indonesia
sekitar 33,4
juta ha., terdiri
atas 20,1 juta
hektar lahan
rawa pasang surut dan 13,3 juta hektar lahan rawa lebak.
Dari jumlah itu, menurut penelitian Manwan et al., (1992) dan
Nugroho et al, (1992), sebanyak 9,53 juta ha ternyata sesuai untuk
kegiatan budidaya pertanian. Data Puslitbangtanak (2001) dan BPS
(2000), menyatakan sekitar terdapat 3,5 juta hektar lahan rawa
atau pasang surut yang dapat dijadikan sawah baru.
Saat ini baru sekitar 3,8 juta hektar lahan pasang surut yang telah
direklamasi. Sekitar 1 juta hektar dilakukan oleh pemerintah, sisanya
dilakukan masyarakat. Daerah rawa yang dikembangkan itu, sebagian
telah berhasil menjadi sentra produksi padi dan palawija.
9

Namun juga tidak sedikit yang kemudian menjadi lahan telantar,


menjadi semak belukar. Dari 2.2 juta hektar lahan rawa yang
tersebar pada sepuluh provinsi hanya 1,2 juta hektar yang telah
dimanfaatkan secara efektif dengan tingkat produktivitas sangat
beragam. Artinya sekitar 1 juta hektar lahan rawa hasil
ekstensifikasi, saat ini menjadi lahan yang harus lebih dapat
ditingkatkan manfaatnya.
Dengan demikian, daripada membuka sawah baru, maka
mengintensifkan (mengoptimalkan) lahan-lahan “hasil cetak
sawah sebelumnya yang masih belum optimal produksinya ” dapat
merupakan pilihan.

TIDAK MUDAH MEMBUKA LAHAN RAWA


UNTUK PERSAWAHAN

Tidak mudah untuk mencetak sawah baru di lahan rawa. Banyak


permasalahan yang harus diperhatikan. Baik masalah yang timbul di
masa pelaksanaan maupun masalah akan timbul di waktu yang akan
datang.
Masalah-masalah tersebut antara lain: (1) Tenaga penggarap sawah
baru di lahan rawa umumnya petani pendatang ( umumnya para
transmigran). Memotivasi, menseleksi, dan memobilsasi
pemindahan petani dalam waktu yang sesuai dengan selesainya
pembukaan lahan, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. (2)
Kualitas air dan tanah yang tidak terlalu baik, umumnya air rawa
juga sangat miskin akan unsur hara. (3) Wabah dan penyakit
tanaman yang sering terjadi pada persawahan baru (4) Tenaga
untuk pengoperasian dan pemeliharaan.
Masalah berikutnya adalah produksi sawah baru di daerah rawa
umumnya masih sangat rendah. Hal itu karena: (a) mutu tanahnya
yang belum tentu sesuai untuk tanaman padi tertentu, dan (b)
keadaan tata air yang belum stabil.
Masih ada masalah lain. Berbeda dengan proyek intensifikasi
hasilnya dengan cepat dapat dinikmati begitu proyek selasai (quick-
yeilding proyect), pada kegiatan pencetakan sawah baru di daerah
10

rawa, produksi optimalnyanya baru akan dapat dinikmati beberapa


(puluh) tahun kemudian, setelah selesainya proyek (slow-yeilding
project).

Syarat keberhasilan
Karenanya proyek-proyek pembukaan sawah baru di daerah rawa
(yang dilakukan Kementan) menuntut standar teknis sebagai
berikut: (1) Berada pada satu hamparan, (2) . Luas satu hamparan
lebih besar dari 10 hektar., (3) Lahan dengan kedalaman pirit
minimal 60 cm dan (4) Dekat dengan pemukiman.
Di samping itu harus pula memenuhi kriteria: (1). Lahan sesuai
untuk tanaman padi sawah rawa pasang surut dan atau lebak
berdasarkan ketentuandan kriteria yang berlaku. (2) Sudah ada
petani dalam suatu wadah kelompok. (3) Status petani jelas bisa
pemilik penggarap atau penggarap.(4) Luas lahan pemilik
penggarap atau penggarap maksimum dua Ha untuk setiap kepala
keluarga, (5) Adanya petugas lapangan, serta (6) Lokasi yang
mudah diakses.
Sistem tata air juga merupakan salah satu penentu keberhasilan
dalam pengoperasian dan pemeliharaan. Karenanya kegiatan
Survei, Investigasi dan Desain (SID) merupakan hal penting dan
perlu diperhatikan dalam memulai kegiatan cetak sawah. Hal ini
mutlak karena dasar pelaksanaan kegiatan cetak sawah berawal
dari SID. Untuk itu, pelaksanaan SID harus benar-benar harus
dipahami oleh mereka yang akan berkarya dalam bidang ini.
Untuk meningkatkan produksi beras dapat dipilih berbagai
kegiatan di antaranya (1) melakukan intensifikasi pada lahan yang
telah ada, (2) mengoptimalkan lahan hasil ekstensifikasi terdahulu,
atau (3) mencetak sawah baru. Dengan berbagai potensi dan
kesulitan yang dipunyai, masihkah reklamasi daerah rawa untuk
pencetakan sawah baru, layak menjadi pilihan?
Informasi tentang hal itulah, yang diharapkan diperoleh dari
diskusi pagi ini. Tentunya hal itu akan dapat membwa perkuliahan
Mata Kuliah Reklamasi Rawa, lebih up to date, bermakna dan
menyenangkan.
11

Semoga. Terima kasih

BACAAN
-----, Cetak Sawah Indonesia, (2013), Direktorat Perluasan Penglolaaan Lahan
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Indonesia
Hasan M (2014) Strategi Pengelolaan Irigasi dan Rawa Berkesinambungan
Mendukung Ketahanan Pangan Nasiona. Makalah pada Seminar Irigasi dan
Rawa. Palembang.
Noor, M dan A. Jumberi (2005) Persoalan Memajukan Pertanian Lahan Rawa.
http://www.litbang.pertanian.go.id/artikel/one/105. April 2017
Suhardjono. Prasetorini, Linda dan Haribowo, Riyanto. (2010). Reklamasi Daerah
Rawa Untuk Pengembangan Persawahan. Cetakan I. CV Citra, Malang.

Kata kunci: food security, rice production, wetland, reclamation

Anda mungkin juga menyukai