Anda di halaman 1dari 32

POKOK-POKOK HUKUM TANAH NASIONAL

UNTUK KEPERLUAN PENILAIAN TANAH DAN BANGUNAN

1. Hukum Tanah Nasional


Istilah property (Inggris) atau properti (Indonesia) adalah mengenai tanah dan/atau
bangunan. Tanah dan bangunan merupakan obyek pemilikan yang diatur oleh Hukum
Tanah Nasional (HTN), dan sekaligus sebagai objek penilaian.
Atas dasar pertimbangan itu terlebih dahulu akan diuraikan mengenai HTN sebagai
dasar pengetahuan untuk memahami aspek hukum mengenai properti yang berlaku di
Indonesia.
A. Hukum Tanah Nasional
Apa yang disebut Hukum Tanah Nasional (HTN) adalah perangkat peraturan
perundang-undangan dibidang pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas semua tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
berlaku terhitung mulai tanggal 24 September 1960 sampai sekarang.
Ketentuan pokok HTN tercantum dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA),
yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang bersumber utamanya adalah Hukum Adat yang tidak tertulis.
Ini berarti bahwa norma-norma HTN tertulis (UUPA dan peraturan pertanahan
lainnya) dibentuk menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum
untuk merumuskan norma-norma HTN tertulis yang disusun menurut sistem
Hukum Adat.
HTN yang tertulis dilengkapi dengan :
a. Ketentuan-ketentuan (norma-norma) hukum adat setempat mengenai
hal-hal yang belum mendapat pengaturan dalam hukum yang tertulis.
b. Lembaga-lembaga Hukum lain (diluar hukum adat) dalam rangka
memenuhi perkembangan kebutuhan nasional masa kini dan mendatang,
misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, hak tanggungan dan
pendaftaran tanah.
c. Ketentuan hukum adat dilingkungan masyarakat hukum adat sepanjang
belum mendapat pengaturan secara tertulis dan tidak bertentangan
dengan hukum nasional tertulis.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 1


B. Konsepsi Hukum Tanah Nasional
Konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional adalah Konsepsinya Hukum
Adat, yaitu komunalistik Religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung unsur kebersamaan. Konsepsi Komunalistik Religius dirumuskan
dalam pasal 1 ayat 2 UUPA . ”Seluruh bumi air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Dalam Hukum konsepsi Adat (yang tidak tertulis) tanah ulayat merupakan tanah
bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka secara
nasional dalam HTN semua tanah dalam wilayah Negara RI adalah tanah
bersama rakyat Indonesia yang bersatu menjadi bangsa Indonesia (pasal 1 ayat
(1) UUPA). Dengan perkataan lain tanah diseluruh wilayah RI adalah tanah
bersama Bangsa Indonesia. Oleh karena itu setiap bidang tanah yang dikuasai
dengan sesuatu hak atas tanah merupakan bagian dari tanah bersama Bangsa
Indonesia.
Setiap warganegara sebagai bagian dari Bangsa Indonesia (tidak dibedakan asal
keturunannya) baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk menguasai sebidang tanh bagi dirinya maupun keluarganya (pasal 9 ayat
2 UUPA).
Hak atas tanah mengandung unsur yang bersifat pribadi sekaligus mengandung
unsur kebersamaan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 6 UUPA , yaitu
”semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” sebagai sifat asal hak atas
tanah dalam konsepsi HTN. Dengan demikian setiap pemegang hak wajib
memakai/menggunakan tanahnya sesuai dengan fungsi tanahnya yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat oleh
Pemerintah Daerah menjadi pedoman bagi setiap pemegang hak dalam
memakai tanahnya. Pada dasarnya peruntukkan tanah yang ditetapkan RTRW
adalah berupa tanah pertanian (dipedesaan) atau tanah non pertanian
(diperkotaan) yang digunakan untuk mendirikan bangunan : perumahan dan
pembangunan lainnya.
Dalam konsepsi HTN tanah bukan barang komiditi dan penguasaan tanah bukan
semata mata untuk tujuan investasi/ komersial, kecuali jika Pemerintah Daerah

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 2


melalui RTRW menetapkan peruntukan tanahnya untuk kegiatan usaha atau
kegiatan pembangunan lainnya. Dalam hal ini Pemerintah dapat pula
menetapkan kebijakan (policy) pembangunan perumahan (real estate),
industrial estate dan kawasan industri, sehingga bidang-bidang tanahnya dengan
atau tanpa bangunan dapat dijual kepada yang memerlukannya.
C. Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional
Hukum Tanah Nasional (HTN) mengatur hak-hak penguasaan atas semua tanah
dalam wilayah RI. Hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA berdasarkan
konsepsi hukum adat. Dan yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah
adalah hubungan hukum dengan tanah yang memberi wewenang untuk berbuat
sesuatu.
Hak-hak penguasaan atas tanah dalam HTN yang memberi wewenang untuk
berbuat sesuatu disusun dalam tata susunan dan hirarki berdasarkan sistem
Hukum (tanah) Adat, yaitu :
a. Hak Bangsa yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi
dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, dinyatakan dalam Pasal
1 UUPA. Hak Bangsa ini dalam UUPA dinyatakan sebagai Hak Ulayat yang
diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan nasional
yang meliputi seluruh wilayah negara RI. Hubungannya dengan tanah
bersama pada satu segi merupakan hubungan perdata (kepunyaan
bersama), dan pada segi lain mengandung tugas kewenangan dalam
bidang hukum publik. Bersumber pada hak itu dapat diberikan hak
perorangan atas tanah kepada warganegara Indonesia dengan hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai oleh Negara.
b. Hak Menguasai dari Negara bersumber padan Hak Bangsa Indonesia
Negara RI sebagai organisasi tertinggi yang ditugasi untuk melaksanakan
tuags kewenangan dari Bangsa Indonesia untuk menguasai dalam arti
memimpin dan mengatur (kewenangan publik) semua tanah dalam
wilayah RI, dengan kewenangan sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar
ketentuan tersebut pengertian “dikuasai Negara” diberikan tafsiran
otentik yang dirumuskan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA sebagai isi atau

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 3


kewenangan dari istilah “dikuasai Negara” atau hak menguasai dari
Negara tersebut, dan kewenangan itu semata-mata berada dibidang
hukum politik. Yang pada intinya adalah mengatur :.
▪ Peruntukan tanah yang dilimpahkan kewenangannya kepada
Pemerintah Daerah, Kabupaten Kota dan Propinsi DKI Jakarta untuk
membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang wajib ditaati oleh
pemegang hak/ atau siapa saja yang menguasai sebidang tanah,
▪ Memberikan hak-hak atas tanah kepada warganegara Indonesia dan
badan hukum Indonesia termasuk memberikan tanda bukti hak
(sertipikat) kepada pemegang hak melalui pendaftaran tanah,
termasuk membukukan (mencatat) setiap perubahan yang terjadi
mengenai hak-hak yang telah terdaftar.
▪ Membuat peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.
Demikianlah secara singkat kewenangan Negara untuk mengatur tanah di
wilayah RI. Sedang Pemerintah diberi wewenang melaksanakan HTN.
c. Hak Ulayat Masyarakat-masyarakat Hukum Adat Sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, merupakan hak penguasaan atas tanah bersama
masyarakat-masyarakat hukum adat tertentu. Dalam pasal 3 UUPA
mengandung pernyataan pengakuan mengenai keberadaan Hak Ulayat
dalam Hukum Tanah Nasional. Dalam HTN Hak Ulayat dibiarkan tetap
diatur oleh hukum adat setempat, hal ini ditegaskan dalam PMNA/KA-BPN
No. 5/1991 dan pasal 43 UU No. 21/ 2004 (otonomi khusus Papua).
d. Hak-hak Perorangan yang memberi wewenang untuk memakai tanah
dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat
tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, berupa :
d.1 Hak-Hak Atas Tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya
terdapat dalam UUPA serta hak-hak lain dalam hukum adat
setempat yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang
memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai
suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi
kebutuhan pribadi atau usahanya, demikian juga tubuh bumi dan air
serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 4


yang bersangkutan dalam batas-batas kewajaran dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Hak-hak atas
tanah itu pokok-pokok ketentuannya diatur dalam UUPA. Dan dalam
pasal 20 s/d 42 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 mengatur lebih
lanjut HGU, HGB dan Hak Pakai.
d.2 Hak Milik Satuan Rumah Susun yang merupakan hak milik atas
suatu bagian tertentu dari suatu gedung bertingkat (Rumah Susun)
yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dan berdiri sendiri
berikut hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah
bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan dengan satuan
yang bersangkutan. Tanah hak bersama yaitu Hak Milik, HGB atau
Hak Pakai di atas mana gedung bangunan bertingkat (apartemen
atau perkantoran) yang bersangkutan berdiri (pasal 7 ayat 1 UU No.
16/ 1985). Setiap unit apartemen/ perkantoran mempunyai sarana
penghubung langsung ke jalan umum (pasal 1 angka 2 UU No. 16/
1985).
d.3 Hak Atas Tanah Wakaf, yang merupakan hak penguasaan atas suatu
bidang tanah tertentu, yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta
kekayaannya dan melembagakannya selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai
ajaran Hukum Islam. Pewakafan tanah hak milik diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai pelaksanaan
pasal 49 ayat 3 UUPA.
e. Hak Tanggungan (HT) sebagai satu-satunya hak jaminan atas tanah dalam
HTN yang membebani hak atas tanah tertentu, yaitu Hak Milik (HM)-Hak
Guna Usaha (HGU)-Hak Guna Bangunan (HGB)- dan Hak Pakai (HP) yang
dijadikan jaminan pelunasan utang oleh pihak yang berhutang (debitur).
Hak Tanggungan merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi
kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah
tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu dalam
hal debitor cidera janji dan mengambil pelunasan piutang (dari hasil
penjualan tersebut) terlebih dahulu dari pada kreditor-kreditor yang
bukan pemegang HT atau kreditor biasa. Hak Tanggungan diatur dalam

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 5


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 sebagai pelaksanaan ketentuan
pasal 51 UUPA.
2. Tanah Negara, Tanah Aset Negara dan Hak Pengelolaan
Dalam HTN mengatur jenis-jenis hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara atas
tanah Negara maupun yang diberikan atas bagian tanah hak pengelolaan seperti yang
diuraikan pada uraian dibawah ini Atas bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan dapat
pula diberikan hak-hak atas tanah yang berupa HM, HGB dan Hak Pakai oleh Negara.
Pemberian hak-hak atas tanah dilaksanakan melalui pejabat yang berwenang
(PMNA/KA-BPN No. 3/ 1999). Hak Pengelolaan (HPL) bukan hak atas tanah melainkan
hak yang menyediakan tanah bagi pihak lain (investor/pengembang) seperti diuraikan
dibawah ini.
Hak-hak atas tanah yang diberikan atas tanah Negara maupun atas tanah HPL
pengertian, kewenangan dan kewajiban seperti diuraikan dibawah ini.
▪ Tanah Negara (TN)
TN = Tanah yang langsung dikuasai oleh Negara, dapat dimohonkan Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.
▪ Tanah Aset Negara
Tanah aset Negara (menurut PP No. 8/ 1953) yang dikuasai dengan Hak
Penguasaan (Hak BEHEER) oleh instansi Pemerintah, LPND atau Pemerintah
Daerah dikonversi menjadi Hak Pakai (untuk kantor) atau Hak Pengelolaan
(Pelabuhan, dll) dengan jangka waktu selama dipakai untuk keperluannya (pasal 4
dan pasal 5 PMA No. 9 Tahun 1965). Tanah aset Negara tersebut selanjutnya
disebut : Tanah Hak Pakai dan Tanah Hak Pengelolaan.
▪ Tanah Hak Pengelolaan (HPL)
HPL adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (pasal 1 angka 2 PP No. 40 Tahun
1996).
Atas dasar definisi (pengertian) tersebut, meskipun bagian-bagian tanah HPL telah
diberikan/ dikuasai oleh pihak lain dengan Hak Milik, HGB atau Hak Pakai, maka
HPL tetap berlangsung. Karena pada hakekatnya Hak Menguasai dari Negara
(pasal 2 UUPA) sama seperti Hak Bangsa Indonesia atas tanah yang bersifat abadi
(pasal 1 ayat dan ayat 3 UUPA) yang akan berlangsung selama-lamanya.
Pemegang Haknya : Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga Non
Pemerintah Non Departemen (LPND), Badan Otorita dan Badan-badan yang

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 6


didirikan Pemerintah atau BUMN (Pesero, Perum, Perjan) atau BUMND. Jangka
waktu penguasaannya selama diperlukan.
HPL bukan hak atas tanah melainkan hak yang menyediakan tanah untuk
keperluan pihak lain. Dengan demikian pemegang HPL dapat menyelenggarakan
Perusahaan Tanah.
Bagian-bagian tanah HPL dapat diberikan kepada pihak lain (investor/ PT) dengan
HGB atau Hak Pakai untuk dikembangkan bagi keperluannya (Mall, Gedung
Perkantoran, Rumah Susun, Apartemen, Kegiatan Niaga, dll) tanpa mengubah
status tanahnya, Pihak ketiga dapat memperoleh dan menguasai bagian (bidang)
tanah HPL berdasarkan :
▪ Perjanjian penyerahan penggunaan tanah (pemegang HPL dan Pihak ketiga).
▪ Mengajukan permohonan hak yang sesuai dengan keperluannya (HM, HGB
atau Hak Pakai). Pemberian haknya dilakukan hanya oleh pejabat BPN atas
usul pemegang HPL.
▪ Meskipun bagian-bagian tanah HPL telah dikuasai dengan sesuatu hak atas
tanah seperti di atas, namun HPL yang bersangkutan tetap berlangsung.
Investor dapat pula bekerjasama dengan pemegang HPL dalam bentuk BOT (Build,
Operate, and Transfer) atau BOO (Build, Own and Operate), dengan masa konsesi
berakhir bangunan yang didirikan menjadi milik pemegang HPL.
3. Pemilikan Bangunan dan Tanaman
HTN yang bersumber pada Hukum Adat, maka pemilikan bangunan dan tanaman yang
ada diatas tanah yang dihaki menggunakan asas hukum tersebut, yaitu asas
“pemisahan horizontal”.
Berdasarkan asas tersebut bangunan atau tanaman bukan merupakan bagian dari
tanah yang bersangkutan, ini berarti bahwa hak atas tanah tidak dengan sendirinya
meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Perbuatan hukum
mengenai tanah, tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman
yang ada diatasnya. Meskipun demikian dalam praktek dimungkinkan perbuatan
hukum mengenai tanah (misalnya jual beli tanah atau pembebanan Hak Tanggungan)
meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, dengan syarat bahwa :
a. Bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan suatu kesatuan dengan
tanah yang bersangkutan.
b. Bangunan dan tanaman tersebut milik pemegang hak (yang mempunyai tanah).

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 7


c. Dalam akta PPAT yang dibuktikan dilakukannya perbuatan hukum tersebut
(misalnya dalam akta jual beli atau APHT). Disebutkan secara tegas bahwa jual beli
tanah atau pembebanan hak tanggungan berikut bangunan yang ada diatasnya.
Dalam pasal 4 ayat 4 UU o. 4 Tahun 1996 yaitu UU Hak Tanggungan disebutkan
bahwa syarat a, b, dan c tersebut berlaku pula untuk objek Hak Tanggungan yang
meliputi tanah dan bangunan tanaman di atasnya (benda-benda yang terkait
dengan tanah) dan dalam pasal 4 ayat 5 UUHT diperluas untuk bangunan dan
tanaman milik pihak lain.
4. Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional (HTN)
UUPA menetapkan 4 (empat) jenis hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun
untuk kegiatan usaha. Untuk keperluan pribadi perorangan warga Negara Indonesia
adalah Hak Milik (Pasal 20 s/d 27 UUPA). Sedang untuk keperluan Usaha adalah Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dan Hak Pakai dapat pula digunakan
untuk keperluan khusus.
Dan jika disebut “hak atas tanah” adalah hubungan hukum dengan tanah yang
memberikan wewenang memakai sebidang tanah tertentu. Sedang tanah hak adalah
bagian tertentu dari permukaan bumi (surtace of the earth) yang dikuasai dengan hak
atas tanah tertentu oleh orang atau badan hukum tertentu.
“Bidang tanah” adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang
yang berbatas “(pasal 1 angka 2 PP No. 24 Tahun 1997).
Hak Atas Tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang atau badan hukum
sebagaimana yang ditetapkan dalam UUPA pasal 20 s/d 43 UUPA yo PP No. 40 Tahun
1996, yaitu :
a) Untuk keperluan pribadi
▪ Hak Milik (pemukiman atau pertanian), khusus hanya untuk warganegara
Indonesia yang tunggal kewarganegarannya,
b) Untuk kegiatan usaha (bisnis), yaitu :
▪ Hak Guna Usaha (perkebunan, peternakan dan perikanan)
▪ Hak Guna Bangunan (mendirikan bangunan dan memiliki bangunan yang
bersangkutan),
▪ Hak Pakai (mendirikan bangunan atau usaha pertanian)
Selanjutnya hak-hak atas tanah tersebut dijelaskan singkat dibawah ini :

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 8


A. Hak Milik (HM) adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6
(yang mengandung fungsi sosial).
Turun temurun berarti dapat dikuasai tanahnya secara terus menerus dan akan
beralih karena hukum kepada ahli warisnya. “Terkuat dan Terpenuh” berarti
penguasaan tanahnya. Tidak terputus-putus dan kewenangan pemilik untuk
memakai tanahnya untuk diusahakan maupun untuk keperluan membangun
sesuatu selama peruntukan tanahnya belum dibatasi menurut RTRW yang
berlaku di Kabupaten/ Kota atau Propinsi DKI Jakarta..
▪ HM hanya khusus untuk perorangan yang mempunyai kewarganegaraan
Indonesia saja (pasal 21 ayat 1 dan ayat 4 UUPA). Kecuali badan-badan
hukum tertentu yang ditunjuk Pemerintah sebagai subyek hak milik
(pasal 21 ayat 2 UUPA yo PP No. 38 Tahun 1963).
▪ Bank-Bank Negara
▪ Badan Keagamaan
▪ Badan Sosial
▪ Koperasi Pertanian
▪ HM dapat beralih (karena hukum) atau dialihkan (karena pemindahan
hak) kepada pihak lain dan dapat dibebani hak baru dengan HGB, Hak
Pakai, Hak Sewa, Hak Usaha bagi Hasil maupun Hak Menumpang (pasal
20 dan 24 UUPA).
▪ Dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan (pasal 25 UUPA).
▪ Dapat diwakafkan (Pasal 49 UUPA).
▪ HM wajib didaftarkan dan mempunyai sertipikat sebagai tanda bukti hak
(pasal 23 UUPA yo PP No. 24 Tahun 1997).
B. Hak Guna Usaha (HGU) memberikan wewenang untuk menggunakan tanah
yang langsung dikuasai Negara untuk usaha pertanian, yaitu perkebunan,
perikanan dan peternakan selama jangka waktu tertentu, yaitu 25 tahun dan
untuk perkebunan 35 tahun akan diperpanjang jangka waktunya 25 tahun dan
jika tanahnya masih diperlukan dapat diperbaharui haknya, yaitu diberikan
kembali (pembaruan hak) selama 35 tahun. Sedang untuk perusahaan dalam
rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 95 tahun (pasal 11 PP No.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 9


40/1996). HGU dapat diberikan kepada warganegara Indonesia dan Badan
Hukum Indonesia.
C. Hak Guna Bangunan (HGB) memberikan wewenang untuk mendirikan
bangunan diatas tanah kepunyaan pihak lain (tanah Negara atau tanah Hak
Pengelolaan atau tanah Hak Milik), selama jangka waktu 30 tahun dan akan
diperpanjang jangka waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat
diperbaharui hak tersebut. Untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal
dapat diberikan sekaligus untuk 80 tahun (Pasal 28 PP No. 40/1996). HGB hanya
dapat diberikan kepada Warganegara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.
D. Hak Pakai (HP) memberikan wewenang untuk menggunakan tanah kepunyaan
pihak lain (tanah Negara atau tanah Hak Pengelolaan atau tanah Hak Milik)
selama jangka waktu tertentu, yaitu 25 tahun dan akan diperpanjang jangka
waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat diperbahurui hak tersebut.
Untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 70
(pasal 48 PP No. 40/1996) tahun. Tanah dengan Hak Pakai dapat digunakan
untuk mendirikan bangunan atau usaha pertanian (di pedesaan).
Hak Pakai dapat diberikan kepada :
a. Warganegara Indonesia,
b. Badan Hukum Indonesia
c. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
d. Badan Hukum Asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia.
e. Departemen, Lembaga Non Departemen dan Pemerintaha Daerah
f. Badan keagamaan dan sosial
g. Perwakilan Negara Asing dan perwakilan badan International.
E. Karena tujuannya untuk keperluan bisnis atau investasi, maka HGU – HGB dan
Hak Pakai,
• dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
• Dapat dijadikan jaminan perlunasan utang dengan dibebani Hak
Tanggungann,
• Wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan (Kabupaten/Kota) untuk
mendapatkan sertipikat sebagai tanda bukti hak.
• Tanah dengan hak-hak tersebut tidak boleh diswakan kepada piahak lain,
namun bangunan yang didirikan diatas tanah HGB atau Hak Pakai boleh
disewakan kepada pihak lain.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 10


F. Hapusnya HM, HGU, HGB dan Hak Pakai karena :
(a) Jangka waktunya berakhir atau dihentikan sebelum jangka waktunya
berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
(b) Dilepaskan haknya (pelepasan hak secara sukarela) oleh pemegang hak
sebelum jangka waktunya berakhir.
(c) Dicabut haknya berdasarkan pasal 18 UUPA yo UU No. 20 Tahun 1961.
(d) Ditelantarkan, dengan memperhatikan ketentuan PP No. 36 Tahun 1998.
(e) Tanahnya musnah.
(f) Karena subjeknya tidak lagi memenuhi syarat.
G. Persamaan dan Perbedaan HM-HGU-HGB dan Hak Pakai
▪ Persamaannya :
a) Mempunyai tanda bukti Hak : Sertipikat Hak Tanah (wajib
didaftarkan)
b) Jangka waktunya relatif lama (akan diperpanjang jangka waktunya
dan akan diperbarui hak yang bersangkutan)
c) Turun menurun
Dapat beralih karena hukum kepada ahli warisnya apabila pemegang
haknya meninggal dunia
d) Dapat dijadikan jaminan pelunasan utang (kredit) dengan dibebani
Hak Tanggungan
e) Dapat diperjual belikan kepada yang memenuhi syarat
f) Bangunan yang didirikan di atas tanah HGB/ Hak Pakai dapat
disewakan kepada pihak lain
▪ Perbedaannya :
a. Jangka waktunya HGU = 35 tahun, HGB = 30 tahun, Hak Pakai = 25
tahun akan diperpanjang jangka waktunya dan diperbarui haknya
(diberikan kembali)
b. Subyeknya atau siapa yang boleh menjadi pemegang haknya
c. Status tanah dalam pemberian haknya
▪ HGB dan Hak Pakai dapat diberikan atas tanah Negara, bagian
tanah HPL atau tanah Hak Milik
HM dapat diberikan atas tanah Negara dan bagian tanah HPL
HGU hanya dapat diberikan atas tanah Negara saja

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 11


Demikianlah berbagai jenis hak atas tanah baik untuk keperluan pribadi maupun
untuk keperluan kegiatan usaha (bisnis).
H. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Hak
KEWAJIBAN
KEWENANGAN PEMBATASANNYA
PEMEGANG HAKNYA
Memakai Tanah Sesuai Dengan ▪ Memakai Tanah Sesuai Dengan Tidak Meliputi :
Keperluannya (Unsur Pribadi) Peruntukan Tanahnya Menurut a) Kewenangan Kekayaan
Pasal 4 (2) UUPA RTRW Yang Ditetapkan Alam Di Dalam Tubuh
Pemerintah Daerah (Unsur Bumi (Pasal 8 UUPA),
Kebersamaan) Pasal 6 UUPA Mineral Dan Batubara
(UU NO. 4/ 2009)
▪ Memelihara Tanahnya (Pasal 15 b) Tidak Menguasai Tanah
UUPA) Yang Melampaui Batas
Keperluannya Yang
Nyata (Pasal 7 UUPA)
c) Tidak Menelantarkan
Tanahnya PP NO.
10/2010

Apa yang disebut menelantarkan tanah ?


Menelantarkan tanah adalah :
▪ Jika pemegang haknya dengan sengaja tidak memakai tanahnya sesuai
dengan tujuan pemberian haknya dan fungsi tanahnya, dan/ atau
▪ Pemegang hak tidak memelihara tanahnya dengan baik, padahal setiap
pemegang hak wajib memelihara tanahnya (pasal 15 UUP).

I. Kriteria Penguasaan Tanah Untuk Berbagai Keperluan


1. HAK MILIK
Untuk keperluan pribadi Warganegara Indonesia yang tunggal
kewarganegaraannya.
Kriterianya :
▪ Luasnya dibatasi
▪ Jangka waktunya tidak terbatas dan bersifat turun temurun
2. HGU, HGB, HAK PAKAI
Untuk keperluan kegiatan usaha (bisnis)
▪ Luasnya menurut keperluan proyeknya
▪ Jangka waktunya dibatasi
3. HAK PAKAI DAN HAK PENGELOLAAN (HPL)

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 12


Untuk keperluan instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Departemen dan
Lembaga Non Departemen
Kriterianya :
▪ Luasnya menurut keperluannya,
▪ Jangka waktunya tidak terbatas
Hak Pakai : untuk keperluan pelaksanaan tugasnya (kantor)
HPL : untuk keperluan kegiatan usaha dan pelaksanaan tugasnya.
Kedua hak tersebut tidak dapat diperjual-belikan dan tidak dapat dijadikan
jaminan pelunasan utang.
4. HAK PAKAI (Untuk keperluan Khusus)
Bagi kegiatan keagamaan, kegiatan sosial, perwakilan Negara Asing (rumah
kediaman Kepala Perwakilan dan Kantornya), Badan-badan Organisasi
Internasional.
Kriterianya :
▪ Luasnya menurut keperluannya
▪ Jangka waktunya tidak terbatas
▪ Tidak dapat diperjual-belikan maupun dijadikan jaminan pelunasan
utang
5. HAK MILIK ATAS TANAH PERTANIAN
Kriterianya :
a) Syarat Umumnya : WNI yang tunggal kewarganegaraannya
b) Syarat Khusus :  Tidak melebihi luas maksimum yang
ditetapkan UU No. 56 Prp 1960
 Tidak dimiliki secara absente (guntai)
Pasal 3 PP No. 224/ 1961 yo PP No. 41/ 1964
J. Asas Umum Subjek Hak Atas Tanah
Setiap orang yang termasuk sebagai Bangsa Indonesia, berstatus Warganegara
Indonesia, dalam pasal 9 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa :
“Tiap-tiap Warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Ketentuan tersebut mewujudkan asas demokrasi, yang tidak membedakan antar
gender (persamaan hak/ emansipasi) dan tidak membedakan asal keturunan

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 13


antara sesama Warganegara Indonesia, hal ini seperti yang ditetapkan dalam
pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 tentang “Kewarganegaraan Republik Indonesia”.
Berdasarkan asas umum subjek hak atas tanah maka setiap Warganegara
Indonesia dapat menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang ditetapkan
dalam UUPA (pasal 21 ayat (1), pasal 30 ayat (1), pasal 36 ayat (1), pasal 42 dan
pasal 45 UUPA) yaitu HM – HGU – HGB dan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Apabila status subjeknya bukan Warganegara Indonesia, hak atas tanah yang
dapat dikuasainya ditetapkan oleh UUPA, yaitu :
a) Badan hukum Indonesia; (HGU-HGB-Hak Pakai atau Hak Sewa)
b) Orang-asing yang diam di Indonesia; (Hak Pakai atau Hak Sewa)
c) Badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia (Hak
Pakai atau Hak Sewa)
maka hak atas tanah apa yang dapat dikuasainya yang ditetapkan oleh UUPA.
Apabila subjeknya tidak lagi memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah
maka akan mempengaruhi kelangsungan hak atas tanahnya, sebagaimana
ditetapkan dalam :
a) Pasal 21 ayat 3 UUPA apabila Hak Milik diperoleh oleh orang asing karena
hukum, yaitu karena :
a. Pewarisan tanpa wasiat
b. Percampuran harta karena perkawinan
c. Naturalisasi
Dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya wajib melepaskan
haknya kepada Negara atau memindahkan haknya kepada pihak lain (yang
memenuhi syarat) apabila kewajiban tersebut dilalaikan maka Hak Milik
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara (tanah
yang langsung dikuasai oleh Negara).
b) Pasal 26 ayat 2 UUPA melarang memindahkan Hak Milik (secara langsung
atau tidak langsung) kepada suatu badan hukum (Indonesia atau Asing)
atau kepada orang asing.
Akibat hukumnya (Sanksinya) adalah jual belinya batal karena hukum
berdasarkan ketentuan pasal 26 ayat 2 UUPA, akibatnya :
b.1 Hak miliknya hapus karena hukum
b.2 Tanahnya menjadi tanah Negara

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 14


b.3 Uang yang telah diserahkan kepada penjual tidak dapat dituntut
kembali oleh pembelinya (resiko ditanggung pembelinya).
c) Dalam pasal 3, 20 dan 40 PP No. 40 Tahun 1996 ditetapkan bahwa HGU –
HGB – Hak Pakai apabila dikuasai oleh subjek yang tidak memenuhi syarat
akibat hukumnya adalah :
▪ Pemegang HGU – HGB – atau Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi
syarat dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan haknya
kepada Negara atau memindahkan hak tersebut kepada pihak lain
yang memenuhi syarat.
▪ Apabila pemegang hak melalaikan kewajibannya, hak atas tanahnya
hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara.
(Baca ketentuan pasal 3, 20 dan 40 PP No. 40 Tahun 1996, dalam UUPA
diatur dalam pasal 30 ayat (2) dan pasal 36 ayat (2) UUPA).
Demikianlah kelangsungan hak atas tanahnya akan terpengaruh oleh status
subjeknya yang tidak memenuhi syarat.
K. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007
Dalam rangka penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam
negeri (PMDN) menurut pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang “Penanaman
Modal”, jangka waktu hak atas tanah yang diberikan adalah sebagai berikut :
▪ HGU untuk perkebunan 95 tahun, dengan cara dapat diberikan (pertama
kali) dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 35 tahun + 25 tahun = 60
tahun dan dapat diperbaharui 35 tahun
▪ HGB diberikan untuk 80 tahun dengan cara dapat diberikan (pertama kali)
dan diperpanjang sekaligus selama 30 tahun + 20 tahun = 50 tahun, dan
dapat diperbaharui haknya 30 tahun.
▪ Hak Pakai diberikan untuk 70 tahun dengan cara dapat diberikan (pertama
kali) dan diperpanjang sekaligus selama 25 tahun + 20 tahun = 45 tahun, dan
dapat diperbaharui haknya 25 tahun.
Demikianlah varian jangka waktu hak atas tanah untuk penanaman modal,
perhitungan jangka waktunya tetap tunduk pada ketentuan UUPA sebagaimana
ditetapkan dan dikukuhkan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi.
5. Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS)
A. Rumah Susun adalah istilah hukum untuk “gedung bangunan bertingkat”,
(Penjelasan pasal 1 angka 1 UU No. 16/ 1985). Sehingga apa yang disebut

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 15


gedung bangunan bertingkat dapat berupa Rumah Susun yang ketentuannya
diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang “Rumah Susun” yang
peruntukannya untuk hunian atau non hunian misalnya perkantoran atau mall
(pasal 24 UU No. 16/ 1985).
Rumah Susun sebagai kesatuan Sistem Pembangunan (planned unit
development) adalah pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama
dengan penggunaan dan pemanfaatan yang berbeda-beda baik untuk hunian
maupun bukan hunian secara mandiri maupun terpadu berdasarkan
perencanaan lingkungan atau perencanaan bangunan yang merupakan satu
kesatuan (pasal 1 angka 4 PP No. 4 Tahun 1988).
Adapun gedung bangunan bertingkat yang bukan rumah susun, yang dimliki oleh
satu pemilik yaitu suatu Perseroan Terbatas atau atas nama perseorangan
(individu), penggunaan satuan ruangan dalam gedung tersebut disewakan
kepada para penyewa yang berminat, karena setiap unit ruangan yang
bersangkutan tidak dapat dimiliki secara terpisah dan berdiri sendiri.
Pada Rumah Susun atau yang disebut apartemen, flat atau kondominium, selalu
dijumpai Satuan-Satuan Rumah Susun (SRS) atau unit-unit bagian dari rumah
susun yang dimiliki secara terpisah dan berdiri sendiri. Namun pemilikan secara
individual tersebut perlu disertai dengan pemilikan bersama, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Secara yuridis
hubungan hukum pemilik dengan SRS dan pemilikan bersama tersebut disebut
Hak Milik Atas SRS (HM-SRS), yang dapat diperjual-belikan kepada para pembeli
yang berminat, setelah memenuhi 2 (dua) persyaratan “
a) Izin Layak Huni dari Pemerintah Daerah setempat
b) Telah terbit sertipikat HM-SRS
B. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS)
Disamping tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu sesuai
dengan keperluan pemegang haknya, ada pula Satuan Rumah Susun, yaitu
bagian gedung bangunan bertingkat yang dikuasai secara legal dengan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS).
Setiap Satuan Rumah Susun (SRS) atau setiap unit gedung bangunan bertingkat,
harus mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
Ini berarti bahwa setiap penghuni/ pemilik SRS tidak menganggu/ terganggu
oleh penghuni/ pemilik SRS yang lain.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 16


Batas pemilikan SRS adalah setiap SRS dibatasi dengan dinding, yaitu
permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan bagian bawah dari
langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur (pasal 41 ayat 3
PP No. 4/ 1988).
Berdasarkan “Pertelaan yang dibuat oleh pengembang” ditetapkan NPP (Nilai
Perbandingan Proporsional) terhadap apa yang dimiliki bersama oleh para
pemilik SRS.
C. Pemilikan SRS selalu terkait dengan istilah-istilah :
1. Pemilikan bagian bersama dari rumah susun yang dimiliki secara tidak
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-
satuan rumah susun. Sebagai contoh, bagian bersama adalah antara lain :
pondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang, lift, selasar, saluran-
saluran, pipa-pipa, jaringan-jaringan listrik, gas dan telekomunikasi serta
ruang untuk umum. Koridor, dinding-dinding
2. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah
susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama. Sebagai contoh, benda bersama adalah antara lain : tanaman,
bangunan, pertanaman, bangunan sarana sosial, tempat ibadah, tempat
bermain, tempat parkir, yang sifatnya terpisah dari struktur bangunan
rumah susun.
3. Tanah hak bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan
ditetapkan batasnya dalam persyaratan lain bangunan.
4. Lingkungan adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang
diatasnya dibangun rumah susun termasuk prasarana dan fasilitasnya,
secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS).
5. Untuk memiliki SRS harus dilandasi dengan suatu lembaga atau hak
penguasaan yang disebut Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS).
Dan apa yang disebut HM-SRS adalah hak untuk memiliki Satuan Rumah
Susun secara terpisah dan berdiri sendiri berikut hak atas bagian bersama,
benda bersama dan tanah bersama, yang merupakan satu-kesatuan
dengan satuan rumah susun yang bersangkutan (pasal 8 UURS dan
Penjelasan Umum UURS).

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 17


Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah lembaga baru yang diciptakan
oleh UU Rumah Susun yang meliputi :
▪ Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang
digunakan secara terpisah
▪ Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun
▪ Hak bersama atas benda-benda
▪ Hak bersama atas tanah
Yang semuanya merupakan suatu kesatuan hak yang secara fungsional
tidak terpisahkan (menurut penjelasan umum UURS uraian No. 1).
Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak
kepada orang/ badan hukum yang memiliki HM atas SRS diberikan tanda
bukti hak yang disebut Sertipikat Hak Milik atas SRS.
6. Sertipikat Hak Milik atas SRS diterbitkan oleh Kantor Pertanahan
(Kabupaten/ Kotamadya) dan di DKI Jakarta disetiap Kantor Pertanahan
Kotamadya yang isinya terdiri dari :
▪ Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur atas Hak Tanah Bersama
▪ Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan (yang
menunjukkan Satuan Rumah Susun yang dimiliki)
▪ Pertelaan mengenai besarnya bagian, Hak atas Bagian Bersama, Benda
Bersama dan Tanah Bersama
Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dijilid
dalam satu sampul dokumen.
Penerbitan Sertipikat Hak Milik atas SRS harus dilaksanakan terlebih
dahulu sebelum SRS dijual kepada pihak lain, setelah pengembang
memperoleh izin layak huni (pasal 18 UURS).
6. Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pelunasan Utang
1. Tanah dengan HM-HGU-HGB- Hak Pakai dapat dijadikan agunan atau jaminan
pelunasan utang (kredit) dengan dibebani Hak Tanggungan yang sifatnya
mengikuti perjanjian kreditnya (perjanjian pokoknya) ditangan siapapun berada
(accesoir).
2. Hak Tanggungan adalah jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas
tanah tertentu untuk menjamin pelunasan utang tertentu kepada kreditor
tertentu yang kedudukannya diutamakan (preferen) dalam memperoleh
pelunasan atas piutangnya dari para kreditor lainnya. Dalam UUHT ditetapkan

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 18


bahwa Hak Tanggungan merupakan satu-satunya hak jaminan atas Tanah
dalam HTN.
3. Objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, HGU, HGB (sesuai dengan ketentuan
pasal 25, 33 dan 39 UUPA), dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS)
menurut pasal 13 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Ditambah
dengan Hak Pakai atas Tanah Negara sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas tanah benda-benda yang berkaitan dengan tanah”
atau disingkat : UU Hak Tanggungan (UUHT).
4. Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor (Bank, Orang atau Badan Hukum)
sebagai pemegang Hak Tanggungan tujuannya adalah semata-mata sebagai
jaminan pelunasan utang atau piutang tertentu, kepada kreditor tertentu.
Jika pemberi Hak Tanggungan tidak dapat memenuhi kewajibannya (cedera
janji), kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat melelang tanah hak tertentu
yang dibebani Hak Tanggungan dan hasilnya digunakan untuk melunasi
piutangnya. Dan jika ada sisanya dikembalikan kepada bekas pemegang hak.
Bedanya dengan hak atas tanah adalah Hak Tanggungan tidak memberi
wewenang menggunakan (memakai) tanah yang ditunjuk menjadi obyek Hak
Tanggungan, karena semata-mata tujuannya sebagai jaminan pelunasan utang.
Oleh karena itu sebagai pemegang Hak Tanggungan (kreditor) tidak dibatasi
statusnya, apakah yang bersangkutan bertempat tinggal di Indonesia atau diluar
negeri.
5. Hukum Yang Mengatur Hak Tanggungan
Pada saat berlakunya UUPA, UU Hak Tanggungan yang dimaksud pasal 51 UUPA
menurut ketentuan pasal 57 UUPA (pasal peralihan yang khusus) untuk
melaksanakan Hak Tanggungan masih dapat menggunakan ketentuan Hipotik
(dalam Buku Kedua KUH Perdata Indonesia) dan Ketentuan Crediet Verband
(s.1908-542) sehingga secara singkat disebut “Hipotik”. Jika Hak Tanggungan
menggunakan ketentuan Hipotik, dan disebut “Crediet Verband” jika Hak
Tanggungan menggunakan ketentuan “Crediet Verband”.
Dengan berlakunya UU Hak Tanggungan pada Tanggal 4 April 1996 ketentuan
Hipotik dan ketentuan Crediet Verband dinyatakan tidak berlaku lagi (pasal 29
UUHT).
6. Sifat-sifat Hak Tanggungan (HT)

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 19


a) HT selalu mengikuti perjanjian utang-piutangnya sampai piutangnya
dibayar lunas
b) Kreditor pemegang Hak Tanggungan diutamakan (preferen) dalam
pelunasan piutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya (kreditor biasa/
konkuren) pasal 1 angka 1 UUHT. Sebagai kreditor pemegang Hak
Tanggungan peringkat pertama dapat diperjanjikan memperoleh hak atas
kekuasaan sendiri menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan dan
hasilnya untuk melunasi piutangnya (pasal 6 yo pasal 11 ayat (2) huruf e
UUHT)
c) Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya ditangan siapapun obyek
tersebut berada (pasal 7 UUHT)
d) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 ayat (1) UUHT), kecuali
jika diperjanjikan oleh Kreditor dan Debitor untuk dilaksanakan Roya
Partial (pasal 2 ayat (2) UUHT).
e) Obyek HT dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan sepanjang nilai
objek HT masih mencukupi (pasal 5 UUHT)
f) Hak Tanggungan hanya dapat diberikan oleh yang berwenang atau yang
berhak atas obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan (pasal 8 ayat (2)
UUHT).
Sekurang-kurangnya kewenangan pemegang hak atas tanah
tersebut harus telah ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan dilaksanakan (pasal 8 ayat (2) UUHT)
g) Hak Tanggungan dapat beralih karena hukum kepada kreditor lain apabila
perjanjian kreditnya dipindahkan kepada kreditor yang bersangkutan
karena cessie atau subrogasi atau dalam hal terjadi pengambilan
perusahaan atau penggabungan perusahaan atau pewarisan yang
mengakibatkan beralihnya piutang dari kreditor semula kepada kreditor
yang baru (pasal 16 UUHT dan penjelasannya).
h) Pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang
diperolehnya menurut UUHT, apabila pemberi Hak Tanggungan
dinyatakan pailit (pasal 21 UUHT) karena objek Hak Tanggungan tidak
termasuk dalam harta pailit (boedel failit).
7. Sertipikat Sebagai Alat Bukti Pemilikan Tanah
1. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 20


Tersedianya alat bukti tertulis dalam pembuktian pemilikan dan penguasaan
bidang tanah hak tertentu (dengan Hak Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai) adalah
dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan yang
dilaksanakan melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah (land registration)
sebagaimana diatur dalam pasal 19 UUPA yis PP No. 24 Tahun 1997 dan
PMNA/KA-BPN No. 3 Tahun 1997 tentang “Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997”
kedua peraturan tersebut mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1997 yang
menggantikan PP No. 10 Tahun 1961.
Disamping itu perlu diketahui bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah tidak
berdiri sendiri, melainkan dalam rangka melengkapi Hukum Tanah tertulis yang
mengatur jenis-jenis hak atas tanah, siapa yang boleh menjadi subyeknya,
jangka waktu berlangsungnya hak tersebut serta kewenangan dan kewajiban
pemegang haknya.
Pengertian pendaftaran tanah dalam arti “rechtskadaster” atau “juridical
cadastre” yang dimaksud pasal 19 UUPA adalah sebagai berikut :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (pasal 1 angka 1 PP 24/
1997).
Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilaksanakan secara terus menerus dan
berkesinambungan, yang meliputi :
a) Pengumpulan;
b) Pengolahan;
c) Pembukuan;
d) Penyajian, serta
e) Pemeliharaan data fisik dan data yuridis
f) Termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
hak dan hak milik atas satuan rumah susun, serta hak-hak tertentu yang
membebaninya (a.l. Hak Tanggungan).

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 21


Dengan demikian dapat diketahui kegiatan apa saja yang diselenggarakan
dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah.
2. Tujuan penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah :
a. Memberikan kepastian hukum (atas data fisik dan data yuridis) dan
perlindungan hukum kepada pemegang haknya atas bidang tanah yang
dihaki atau hak-hak pihak ketiga yang membebaninya perubahan
subjeknya dan perubahan tanahnya.
b. Data fisik dan data yuridis berikut perubahan-perubahan yang terjadi atas
tanah hak yang terdaftar yang disimpan di Kantor Pertanahan setempat
menjadi keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya bagi siapa saja
(calon pembeli/ calon kreditor) yang berkepentingan.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.
3. Asas Pendaftaran Tanah
▪ Asas pendaftaran tanah adalah SEDERHANA, AMAN, TERJANGKAU,
MUTAKHIR dan TERBUKA.
4. Penyelenggaraan dan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sedang pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan yang daerah kerjanya di Kabupaten dan Kota.
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi :
▪ Pendaftaran pertama kali
▪ Pemeliharaan data pendaftaran tanah
Pendaftaran tanah pertama kali
▪ Secara sporadik dilaksanakan atas prakarsa pemegang haknya
▪ Secara sistematis dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah dan dilaksanakan
secara masal pelaksanaannya ditangani oleh Panitia Ajudikasi yang
membantu Kepala Kantor Pertanahan.
Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses
pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan
penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 22


Dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, setiap terjadi perubahan
wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, agar perubahan tersebut dapat dicatat
pada Buku Tanah dan Sertipikatnya.
5. Objek Pendaftaran Tanah (Pasal 9 dan Pasal 10)
Objek Pendaftaran Tanah meliputi :
▪ Hak atas tanah : Hak Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai
▪ Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf dan Tanah Negara
▪ Hak Tanggungan dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HM-SRS)
Untuk pendaftaran hak-hak atas tanah, HM, HGB dan Hak Pakai, Tanah Wakaf
dan HM-SRS adalah berdasarkan Desa/Kelurahan letak bidang tanahnya.
Sedang HGU, Hak Tanggungan, Tanah Pengelolaan dan Tanah Negara didaftar
menurut daerah kerja Kantor Pertanahan (Kabupaten/ Kota).
6. Sistem Pendaftaran Hak
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak
(registration of titles) sebagaimana yang digunakan dalam PP No. 10 Tahun
1961, bukan sistem pendaftaran akta (registration of deeds). Sistem
pendaftaran hak tersebut tampak adanya buku tanah sebagai dokumen yang
memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan diterbitkannya sertipikat
sebagai tanda bukti hak bagi objek pendaftaran tanah yang telah didaftar atau
dibukukan di Kantor Pertanahan setempat (Kabupten/ Kota). Pembukuan dalam
buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti
bahwa hak yang bersangkutan serta pemegang haknya dan bidang tanahnya
yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftarkan menurut pasal
29 PP No. 24/ 1997.
7. Pendaftaran pertama kali meliputi kegiatan :
a. Dibidang fisik tanahnya atau teknis kadastral
b. Dibidang yuridis, yaitu hubungan hukum dengan tanahnya atau hak pihak
ketiga
c. Pemberian dokumen tanda bukti hak
Pada dasarnya yang didaftarkan pertama kalinya adalah sebidang tanah yang
semula belum pernah didaftarkan menurut peraturan yang berlaku. Yang
dimaksud bidang tanah disebut persil yang merupakan bagian-bagian
permukaan bumi yang berbatas dengan ukuran luas yang dinyatakan dengan
meter persegi (M2).

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 23


a. Kegiatan bidang fisik tanahnya adalah untuk memperoleh data mengenai
letaknya, batas-batasnya dan luasnya, serta bangunan-bangunan dan/atau
tanaman-tanaman penting diatasnya (data fisik). Pengumpulan data fisik
dimulai dengan penetapan letaknya, batas-batasnya dengan disertai
pemberian tanda batas disetiap sudutnya. Kemudian diukur, dibuatkan
petanya dan Surat Ukur sebagai alat bukti letaknya, batas-batasnya dan
luasnya. Setiap Surat ukur diberi nomor urut tahunan dan tahun
penerbitannya.
b. Kegiatan dibidang yuridis dengan mengumpulkan data mengenai haknya,
pemegang hak dan ada atau tidaknya hak pihak lain yang membebaninya
(data yuridis). Pengumpulan datanya menggunakan alat pembuktian
berupa dokumen/ surat-surat bukti tertulis. Data yuridis mengenai jenis
hak dan siapa pemegang haknya dicatat dalam buku tanah, yaitu daftar
isian yang mencatat data yuridis dan data fisik bidang tanah hak.
Setiap Buku Tanah memuat identitas tanahnya yaitu nomor urut hak atas
tanah di desa/ kelurahan letak tanahnya, dan kode hak atas tanahnya : M
= HM, B = HGB, U = HGU dan P = Hak Pakai. Dicantumkan pula tanggal
pendaftaran (pembukuan) hak tersebut untuk pertama kalinya.
c. Selanjutnya diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti hak yang terdiri dari
salinan buku tanah dan surat ukur. Dicantumkan tanggal penerbitan
sertipikat.
Kegiatan a s/d c dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan dan sebagai arsip
disimpan buku tanah dan surat ukur untuk setiap bidang tanah yang didaftarkan.
8. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Supaya data pendaftaran tanah selalu mutakhir (up to date), pemegang hak
wajib mendaftarkan (membukukan) setiap perubahan yang terjadi di Kantor
Pertanahan setempat (Kabupaten/ Kota).
Perubahan-perubahan yang wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan adalah :
a. Perubahan haknya
▪ Jika HM, HGU, HGB, Hak Pakai dibebani Hak Tanggungan karena
dijadikan jaminan pelunasan piutang kreditor/ Bank dan Hak
Tanggungan tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan
setempat untuk dibuatkan Buku Tanah dan Sertipikat Hak

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 24


Tanggungan. Beban Hak Tanggungan tersebut dicatat pada buku tanah
dan sertipikat tanah objek Hak Tanggungan.
▪ Jika tanah Hak Milik dibebani hak baru yaitu HGB atau Hak Pakai
aktanya dibuat oleh PPAT (akta pemberian hak baru) dan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat dan kepada pemegang
hak baru diberi sertipikat Hak Baru. Perubahan tersebut dicatat dalam
Buku Tanah dan sertipikat Hak Milik yang dibebani Hak Baru.
Hak Sewa Atas Tanah (pasal 44 UUPA) termasuk pula hak baru yang
dibebankan pada Hak Milik. Namun tidak wajib didaftarkan di Kantor
Pertanahan. Sedang perjanjian sewa menyewa dapat dibuat oleh dan
dihadapan Notaris atau dibuat sendiri oleh para pihak (dibawah
tangan). PPAT belum diberi wewenang membuat akta pemberian Hak
Sewa.
b. Perubahan Subjeknya
Jika terjadi peralihan hak yang meliputi :
▪ Pewarisan karena hukum (menurut Hukum Waris yang berlaku) wajib
didaftarkan untuk dicatatkan dalam buku tanah dan sertipikat atas
nama para ahli waris.
▪ Pemindahan hak, yaitu jual-beli tanah, tukar menukar, hibah,
pemasukan harta dalam perusahaan (inbreng), dll.
Pemindahan hak wajib dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
dan wajib didaftarkan di Kantpr Pertanahan, untuk memperkuat dan
memperluas pembuktian.
Perubahan karena pemindahan hak tersebut dicatat dalam Buku
Tanah dan Sertipikat.
c. Perubahan tanahnya
Jika terjadi pemisahan, pemecahan dan penggabungan mengenai bidang
tanahnya.
c.1 Pemisahan
A mempunyai tanah Hak Milik seluas 1000 M2 dijual sebagian seluas
300 M2, maka yang dijual dipisahkan dan dibuatkan surat ukur dan
sertipikat Hak Milik oleh Kantor Pertanahan setempat.
c.2 Pemecahan

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 25


Sebidang tanah HGB/ Hak Pakai yang luas misalnya 10 Ha kepunyaan
PT. X, pengembang (Developer) perumahan setelah Rencana Tapak
(site plan) disahkan oleh Ketua Bappeda a/n Bupati, bidang tanah
tersebut dipecah-pecah menjadi bidang-bidang tanah yang akan
didirikan rumah di atasnya sesuai dengan Rencana Tapak.
c.3 Penggabungan
B mempunyai sebidang tanah HGB seluas 200 M2, untuk
memperluas tanahnya, dibeli bidang tanah HGB disebelahnya seluas
250 M2 dan kemudian kedua bidang tanah tersebut digabung
menjadi satu, seluas 450 M2. Didaftarkan untuk dibuatkan surat ukur
dan sertipikat baru hasil penggabungan tersebut.
9. Kekuatan Pembuktian Sertipikat
Kekuatan pembuktian sertipikat hak tanah terkait dengan sistem publikasi
sistem yang digunakan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sama dengan PP No. 10
ahun 1961, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, yang akan
menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat seperti dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf C, pasal 23 ayat 2,
pasal 32 ayat 2, pasal 28 ayat 2 UUPA. Dengan adanya pernyataan dalam pasal-
pasal tersebut menurut Prof. Boedi Harsono (Hukum Agraria Indonesia, Edisi
Revisi 1999, halaman 83) Pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah
harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan data yang benar dalam
buku tanah dan peta pendaftaran. Maka selama tidak terbukti sebaliknya data
yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran maupun yang disajikan
dalam sertipikat hak tanah harus diterima sebagai data yang benar. Baik dalam
perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di Pengadilan. Hal ini
dirumuskan dalam pasal 32 ayat (1) PP No. 24/ 1997 sebagai berikut :
“Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan”.
Ini berarti, bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang tercantum di dalamnya harus dianggap benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di
Pendagilan. Mengingat data fisik dan data yuridis tersebut adalah bersifat

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 26


terbuka untuk umum dan pihak-pihak yang berkepentingan (calon pembeli
tanah atau calon kreditor yang akan menerima tanah sebagai jaminan pelunasan
utang) sewaktu-waktu dapat mengecek kebenarannya, dengan mencocokkan
data dalam sertipikat itu dengan surat ukur dan buku tanah yang disajikan di
Kantor Pertanahan.
Perlindungan Hukum Kepada Pemegang Haknya
Dalam pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut :
“Dalam hal suatu bidang tanah telah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa berhak (mempunyai
hak) atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak itu apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan tuntutan pada Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.
Berdasarkan ketentuan tersebut berarti bahwa apabila sebidang tanah telah
diperoleh orang atau badan hukum dengan itikad baik dan tanah tersebut secara
nyata dikuasai (digunakan oleh pemegang haknya) selama 5 (lima) tahun sejak
diterbitkan sertipikat, orang yang merasa berhak atas tanah tersebut :
▪ Tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat
atau Kantor Pertanahan yang menerbitkan sertipikat ataupun
▪ Tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri yang berwenang
mengenai penguasaan tanah tersebut atau mengenai penerbitan sertipikat
tersebut.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka pemegang hak akan merasa aman
karena penguasaan atas tanahnya tidak dapat diganggu gugat lagi (indefeasible
of title). Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada
sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberi
kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang
tanah dan telah didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan
memiliki sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut pasal 19 ayat (2) huruf
C UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Selanjutnya dalam Penjelasan pasal 32 ayat (2) disebutkan bahwa : “Dengan
pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 27


menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan
ketentuan hukum yang sudah ada dalam Hukum Adat, yaitu lembaga
rechtsverwerking yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari
Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud yang
konkret dalam penerapan ketentuan UUPA mengenai pendaftaran tanah”.
Dalam Hukum Adat yang dimaksud “rechtsverwerking” yaitu lampaunya waktu
sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama
waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak
lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.
Sebagaimana diketahui bahwa lembaga Rechtsverwerking tersebut mendapat
pengukuhan dan penerapan dalam berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung
kita (Putusan Tanggal 10-01-1957 Nomor 210/K/Sip/1995, tanggal 24-09-1958
Nomor 329/K/Sip/1959.
8. Izin Lokasi Menurut PMNA/ KA-BPN No. 2/ 1999 (Diluar DKI Jakarta)
Jika perusahaan tersebut didirikan dalam rangka penanaman modal menurut PMNA/
KA-BPN No. 2 Tahun 1999 yang mulai berlaku tanggal 10 Pebruari 1999, wajib
mengajukan permohonan Izin Lokasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota,
sebelum melakukan kegiatan perolehan tanahnya.
a. Yang dimaksud Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk
memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang
berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah
tersebut guna keperluan usaha penanaman modal (pasal 1 angka 1). Secara
singkat izin lokasi adalah izin untuk memperoleh dan menggunakan tanah.
Selanjutnya dalam PMNA/ KA-BPN No. 2/ 1999 disebutkan bahwa tanah yang
dapat ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut RTRW yang berlaku
diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman
modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut surat persetujuan
penanaman modal yang dipunyainya (pasal 3). Persetujuan Penanaman Modal
Asing oleh Presiden sejak tahun 1999 oleh Kepala Perwakilan RI a/n Menteri
Luar Negeri, Kepala BKPM atau Ketua BKPMD a/n Gubernur Penanaman Modal
Dalam Negeri persetujuan oleh Kepala BKPM atau Ketua BKPM Daerah a/n
Gubernur.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 28


Permohonan Izin Lokasi disampaikan kepada Pemerintah Daerah, Bupati/
Walikota Kepala Daerah, dengan disertai proposal pengembangan areal
tanahnya.
Tata cara pemberian Izin Lokasi dapat diatur Pemerintah Daerah dalam bentuk
Peraturan Daerah (pasal 7).
b. Jangka Waktu Berlakunya Izin Lokasi Dibatasi
Dalam rangka pemberian ijin lokasi disamping ditetapkan pembatasan luas
maksimum areal tanahnya (baca uraian 5 dibawah juga ditetapkan), jangka
waktu berlakunya ijin lokasi dalam rangka kegiatan perolehan tanahnya, yaitu
perolehan tanahnya wajib diselesaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 peraturan tersebut dengan ketentuan
sebagai berikut :
(1) Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :
▪ Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha, satu tahun
▪ Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha s/d 50 Ha, dua tahun
▪ Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha, tiga tahun
(2) Perolehan tanah oleh pemegang Izin Lokasi harus diselesaikan dalam
jangka waktu Izin Lokasi.
(3) Apabila dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) perolehan tanah belum selesai, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang
jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah
diperoleh mencapai lebih dari 50% dari luas tanah yang ditunjuk Izin
Lokasi.
(4) Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu Izin
Lokasi, termasuk perpanjangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3), maka perolehan tanah tidak dapat dilakukan oleh
pemegang Izin Lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah
diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. Dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal
dengan penyesuaian mengenai luas bangunan, dengan ketentuan
bahwa apabila diperlukan masih dapat dilaksanakan perolehan tanah
sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan
bidang.
b. Dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 29


Dengan demikian Izin Lokasi sama sekali tidak memberi wewenang kepada
pemegang izin Lokasi untuk memaksa para pemilik/ pemegang hak untuk
menjual tanah haknya kepada perusahaan yang memiliki izin lokasi. Secara
yuridis pemilik. Pemegang hak atas tanah dapat menolak apabila harga/ ganti
rugi atas tanah haknya tidak layak sebagaimana ditegaskan dalam pasal 8
PMNA/KA-BPN No. 2 Tahun 1999.
9. Izin Perolehan dan Pengembangan Tanah Yang Khusus Berlaku di DKI Jakarta
Di DKI Jakarta sejak tanggal 31 Maret 1990 berlaku SK Gubernur KDKI Jakarta No.
540/1990 yang intinya menetapkan bahwa penyediaan tanah untuk pembangunan
fisik kota yang luasnya minimal 5.000 M2 (satu bidang tanah atau beberapa bidang
tanah yang disatukan) wajib mengajukan permohonan Surat Persetujuan Prinsip
Pembebasan Lokasi/ Lahan (SP3L) kepada Gubernur KDKI Jakarta. SP3L tersebut akan
berlaku untuk 6 bulan dan batal dengan sendirinya, jika tidak ditindak lanjuti dengan
kegiatan perolehan tanah yang ditetapkan, kecuali mendapat persetujuan
perpanjangan secara tertulis dari Gubernur. Jika lokasi tanah yang bersangkutan
menurut rencana kota untuk perumahan dan luasnya 5.000 M 2 atau lebih, kepada
developer yang bersangkutan wajib membiayai dan membangun Rumah Susun Murah
beserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat secara komersial. Pembangunan
Rumah Susun Murah tersebut, lokasi dan persyaratan penjualan ditetapkan kemudian
oleh Gubernur.
Persyaratan Pembebasan Lokasi
1. SP3L = Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi
Pembebasan areal tanahnya dibatasi dalam jangka waktu 6 bulan dengan
kemungkinan dapat diperpanjang 6 bulan lagi berdasarkan pertimbangan yang
cukup beralasan oleh Gubernur KDKI Jakarta.
2. Setelah selesai dilaksanakan pembebasan tanah dan menjadi satu kesatuan
areal tanah/ lokasi, selanjutnya developer :
2.1 Minta rekomendasi keabsahan surat-surat tanahnya dari Kepala Kantor
Pertanahan BPN Kotamadya (wilayah Kota)
2.2 Mohon Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) kepada Gubernur
KDKI Jakarta.
Dalam SIPPT memuat antara lain kewajiban sebagai berikut :
a. Wajib menyusun Rencana Tapak (Site Plan) dan kemudian disahkan
oleh Kepala Dinas Tata Kota a/n Gubernur.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 30


b. Wajib mengajukan permohonan HGB/ Hak Pakai atau areal tanah
yang diperoleh.
c. Wajib memohon Izin Pendahuluan Membangun dan kemudian IMB
setelah rumahnya selesai dibangun kepada Dinas Pengawasan
Pembangunan Kota.
2.3 Mengajukan permohonan HGB dan Hak Pakai kepada Kepala Kanwil BPN
melalui Ka. Kan Pertanahan.
2.4 Setelah mendapat SK pemberian HGB, penerima hak memenuhi
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam SK Pemberian Hak dan
didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat untuk memperoleh Sertipikat
(induk) HGB. Wajib membayar BPHTB sebelum SK pemberian Hak
diterbitkan.
Perbedaan Ijin Lokasi dengan SP3L dan SIPPT :
▪ Ijin Lokasi adalah ijin untuk memperoleh tanah dan menggunakan tanah. Ini
berarti bahwa tanah-tanah yang diperoleh wajib digunakan sesuai dengan tujuan
pengembangan proyeknya dan sekaligus untuk memohon IMB.
▪ Di DKI Jakarta, dipisahkan antara perolehan tanahnya berdasarkan SIPPT. Dalam
SIPPT ditetapkan pula kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi pemegang SIPPT
dalam kaitannya dengan pengembangan areal tanahnya. Dan SIPPT tersebut
menjadi dasar hukum untuk memohon IMB.
10. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Setiap kegiatan pembangunan (yang bukan bangunan rumah tinggal) harus terlebih
dahulu memliki izin membangun dari Dinas atau Suku Dinas Pengawasan dan
Pembangunan Kota.
Izin membangun dapat berupa :
a) Izin Pendahuluan (IP) sesuai tahapan pelaksanaan pembanguna yang di izinkan.
b) Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin yang diberikan untuk melakukan
kegiatan pembangunan
c) Izin Khusus atau keterangan membangun
Pelaksanaan kegiatan membangun harus dilakukan oleh Pemborong dan diawasi oleh
Direksi Pengawas yang memiliki Surat Izin Bekerja (SK. Gubernur DKI Jakarta No. 72
Tahun 2002, tanggal 7 Juni 2002, pasal 2 dan 3).
Proses pengurusan pengajuan pembuatan IMB, pertama-tama harus mempersiapkan
dokumen-dokumen seperti :

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 31


1. Formulir permohonan IMB
2. Fotokopi KTP dari Pimpinan Perusahaan dan NPWP Badan
3. Fotokopi pembayaran PBB terakhir
4. Fotokopi surat keterangan kepemilikan tanah yang sah (sertipikat, akte jual-beli)
5. Gambar arsitektur dan gambar situasi bangunan yang akan didirikan
6. Gambar peta Rencana Kota yang diperoleh dari Sudin Tata Kota
Syarat-syarat untuk dapat diberikannya IMB kepada pemohon adalah :
a. Bangunan yang didirikan harus sesuai peruntukan dengan Rencana Tata Ruang
b. Luas bangunan harus sesuai dengan ketentuan KDB atau BCR (Building
Converage Ratio), yaitu perbandingan antara luas bangunan (tutupan yang tidak
resap air) dengan total luas resapan lahan. Untuk wilayah perkotaan besarnya
BCR antara 30% - 60%.
c. Garis Sempadan Bangunan 9GSB) yaitu jarak ruas jalan dengan bangunan terluar
:
a. Jalan Primer (Propinsi) : 25 M
b. Jalan Sekunder (Kabupaten) : 13 M
c. Jalan Tersier (Penghubung) : 13 M
d. Jalan Lokal : 8 M
d. Ketinggian bangunan tidak melebihi aturan yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan tata ruang kecuali telah dilakukan pengkajian teknik terlebih dahulu
atau izin khusus.
Demikianlah secara singkat tentang IMB.
Penutup
Demikianlah paparan secara singkat aspek hukum pertanahan yang berkaitan dengan
penilaian tanah dan bangunan, semoga bermanfaat dan terima kasih atas
partisipasinya pada pelatihan ini.

BAHAN PDP I, DPD BALI NUSRA, DENPASAR 27 JANUARI 2020 Page 32

Anda mungkin juga menyukai