Anda di halaman 1dari 4

SISTEM PERLADANGAN MALAN (BAHUMA/BERLADANG)

Banyak istilah dalam sistem perladangan di Kalimantan Tengah ini, spt.: Malan, Bahuma, dll.
Silahkan menggunakan istilah yang umumnya dikenal di daerah masing-masing.
Malan, Bahuma atau istilah bhs Indonesia adalah berladang dengan sistem berpindah-pindah
(shifting cultivication) sudah dikenal dimana-mana, khususnya di kalangan masyarakat Dayak
Kalimantan. Demikian juga halnya dengan suku Dayak di Kalimantan Tengah. Malan atau
berladang adalah mata pencaharian pokok Suku Dayak. Mereka kerjakan sekali dalam setahun
dengan melakukan beberapa tahapan.
BEBERAPA TAHAPAN DALAM PERLADANGAN
Menentukan Waktu Untuk Memulai Berladang (Katika Manampara Malan)

Dalam kegiatan pertanian/perladangan sistem kepercayaan atau religi harus mereka praktekkan
agar apa yang mereka lakukan betul-betul membawa hasil yang baik, mendapat restu dari roh-roh
nenek moyang, serta tidak mendapat gangguan dari roh-roh di sekitar mereka. Adapun tahapan
dalam berladang pada suku Dayak ini, adalah : 1) Menentukan Waktu; 2) Pemilihan Lokasi
(Mamilih Kaleka); 3) Menebas (Mandirik); 4) Menebang (Maneweng); 5) Pengeringan
(Mangeang Dirik Tewengan); 6) Membakar (Manusul Tewengan); 7) Menanam Padi (Manugal);
8) Mambawau (Merumput/menyiang); 9) Manggetem (Menuai padi/Panen).
Tahap pertama; adalah menentukan kapan mereka boleh memulai berladang, mereka tidak
mendasarkannya pada kalender nasional yang kita kenal, tapi menggunakan kalender tradisional
dengan perhitungan bulan di langit. Observasi dilakukan dengan cermat yaitu dengan mengamati
posisi bintang timur pada pagi hari (sekitar jam 3 atau 4 pagi). Bila Patendo (bintang timur) sudah
kelihatan di bagian timur, itu menandakan bahwa mereka boleh memulai kegiatan berladang
(manampara malan).
2. Pemilihan Lokasi (Mamilih Kaleka)
Tahap kedua adalah masuk ke dalam hutan untuk menentukan lokasi yang baik. Pertama-tama
mereka memasuki hutan yang mereka percaya merupakan warisan nenek moyang mereka. Kedua
mengamati tanah yang subur dengan melihat karakteristik tanah. Bila tanahnya agak gembur dan
banyak kelihatan dipermukaan tahi cacing berarti tanahnya subur untuk menanam padi.
Selanjutnya ciri-ciri tanah subur dapat diamati dari daun-daun dan pucuk kayu yang tumbuh di
sekitar lokasi atau lahan yang akan dipilih. Bila daun dan pucuk kayu lebar-lebar, berwarna hijau
tua, berarti tanahnya subur.
Terakhir bila syarat-syarat kesuburan sudah diperoleh, maka selanjutnya lokasi tersebut
dibersihkan seluas 1,5 meter dan didirikan tongkat kayu tertentu di situ. Ini merupakan ciri bahwa
ada orang yang akan menggarap tanah tersebut. Lokasi ini dibiarkan sekitar satu minggu sambil
menunggu datangnya mimpi baik tentang tanah yang akan digarap tersebut dan juga menunggu
kalau-kalau ada orang lain yang mengklaim lokasi tersebut, sehingga konflik dikemudian hari
tidak terjadi. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada akhir bulan Mei.
3. Menebas (Mandirik)
Kegiatan menebas (mandirik) atau membersihkan hutan merupakan kegiatan yang harus
dikerjakan oleh orang banyak. Kegiatan menebas adalah jenis pekerjaan
membersihkan/memotong/menebang pohon-pohon kecil, akar-akaran dan rumput-rumput yang
lebat dengan menggunakan pisau. Pekerjaan menebas biasanya dilakukan selama satu bulan
dengan luas lahan sekitar 2-6 hektar. Kegiatan menebas bisa dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan serta anak-anak,usia 12 tahun ke atas. Biasanya menebas dilakukan sepanjang bulan
Juni.
4. Menebang (Maneweng)
Kegiatan menebang (maneweng) adalah pekerjaan menebang dan memotong pohon-pohon yang
besar yang tidak mungkin ditebang dengan menggunakan pisau. Alat yang digunakan adalah
beliung (baliung). Menebang biasanya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki dewasa dan
berpengalaman karena tergolong pekerjaan berat dan berbahaya. Cara menebang pohon harus
tumbang ke satu arah. Misalnya semua pohon ditebang dan ditumbangkan ke arah Barat agar
kelihatan rapi dan pada saat membakar daun, ranting dan dahan kayu dapat dilalap oleh api secara
merata. Menebang (maneweng) biasanya dilakukan sepanjang bulan Juli.
5. Pengeringan (Mangeang Dirik Tewengan)
Biasanya kemarau (musim pandang) dimulai pada bulan Juli hingga bulan Agustus. Oleh karena
itu bulan Agustus adalah masa untuk menjemur/mengeringkan pohon-pohon yang telah ditebang.
Pada saat pengeringan, biasanya digunakan waktu atau dimanfaatkan pula untuk memotong atau
meratakan semua dahan, ranting dan pohon kayu yang belum rata dengan tanah. Sebab bila ada
salah satu dahan kayu masih lurus ke atas, misalnya, maka dahan tersebut akan dilewati oleh api
sehingga berpengaruh pada tanah di sekitarnya. Kegiatan lain yang amat penting juga yaitu
membuat isolasi (pembatas) di sekeliling lahan/ladang. Caranya adalah dengan membersihkan
daun, ranting dan batang kayu yang sudah lapuk pada sekeliling lahan selebar 2-3 meter agar pada
saat membakar nanti api tidak menjalar/merambat ke hutan di sekitarnya.
6. Membakar (Manusul Tewengan)
Bila lahan yang dikeringkan dirasa sudah cukup kering dan siap untuk dibakar, maka musim untuk
membakar lahan (manusul dirik teweng) yang sudah dikeringkan biasanya dilakukan pada akhir
bulan Agustus hingga awal bulan September. Membakar lahan harus mengikuti cara-cara tertentu
agar api tidak merambat ke hutan di sekitar. Pukul 12- 14 siang merupakan jam-jam yang sangat
strategis untuk memulai membakar karena jam tersebut dianggap merupakan puncak panas
teriknya matahari. Penyulutan api yaitu menggunakan penyulut yang dinamakan Sahewan
(penyulut dari bilah bambu atau kulit kayu). Penyulutan api pun diatur sedemikian rupa, yaitu
dengan memperhatikan arah tiupan angin.
Bila tiupan angin menuju ke arah Barat, maka penyulutan api pertama-tama harus dilakukan dari
pinggir lahan bagian Barat dengan cara bergerak pelan-pelan menuju ke arah Timur. Cara
demikian adalah upaya agar nyala api tidak ikut dibawa oleh tiupan angin menuju ke hutan
belantara di sekitar lahan. Kegiatan membakar biasanya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga
(laki-laki dan perempuan). Dan sering juga harus meminta bantuan tetangga lainnya untuk ikut
serta mengawasi kalau-kalau terjadi kebakaran pada hutan di sekitarnya.
Pada upacara membakar lahan ini, penulis mengambil contoh sebagaimana yang dilakukan oleh
masyarakat Dayak Tomon di sekitar Tapin Bini. Biasanya sebelum membakar lahan, terlebih
dahulu dilakukan sebuah ritual atau upacara dengan menggunakan tuak atau baram (brem) sebagai
media untuk menyampaikan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuak tetes pertama untuk doa
kepada Sang Dewato; tetes tuak kedua adalah doa agar lahan menjadi subur; tetes tuak ketiga
adalah doa untuk menghilangkan adanya kemarahan atau balas dendam dari roh-roh binatang,
serangga dan lain-lain yang ikut mati pada saat membakar, agar berdamai dengan manusia;
kemudian tetes tuak keempat yaitu doa untuk Padaro Indai Bopai Abu Nini, Koi Honda Sonang
Loma Daduh Mangan Samnaan Kainjam. Maksudnya memohon restu dari roh-roh leluhur dan
roh-roh alam di sekitar mereka.
Setelah itu baru upacara memanggil angin “Oi Sem Pucung”, dengan mengatakan “aku minto
angin lalu lampat ribut pulang pogi lanjur minto pantuh tinggi minto tugang cucul mansa tugal
bonakan”. Maksudnya yaitu meminta agar angin datang untuk meratakan nyala api dan agar hasil
pembakaran memuaskan dan lahan tersebut menjadi subur. Setelah api sudah selesai melalap
lahan yang dikeringkan, mereka mengadakan upacara doa lagi, yaitu : “Sampui Tuya” dengan
mengatakan: “Aku mampuh lakau ku uti disorobu urang asing cia, corak bakar kapang karau
lomin kopoyo”. Maksudnya agar lahan yang telah dibakar terhindar dari berbagai gangguan hama
tanaman. Setelah lahan dibakar, biasanya sekitar satu minggu digunakan untuk membersihkan
lahan tersebut, khususnya mengumpul daun-daun, ranting dan dahan kayu yang tidak sempat
dimakan api. Daun-daun, akar-akaran, ranting dan dahan kayu tersebut ditumpuk kembali pada
beberapa tempat dan dibakar. Dalam bahasa Dayak Ngaju pekerjaan ini disebut “manyimpuk”.
7. Menanam Padi (Manugal)
Waktu manugal (menanam padi) dilakukan pada bulan September hingga awal Oktober. Kegiatan
manugal termasuk jenis pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga kerja, sehingga harus
dilakukan dengan nyanjuruan/riuh rimpuh (bergotong royong) dengan sistem resiprokal. Istilah
dalam bahasa Dayak Ngaju disebut handep haruyong. Sebelum memulai menanam padi biasanya
didahului dengan sebuah ritual menanam bibit tertentu persis di tengah ladang yang akan ditugal.
Dalam bahasa Dayak Ngaju ritual ini disebut “banian”. Banian, adalah lokasi di tengah ladang,
ditanam batu-batuan, sawang (lenjuang) dan kambat, lalu bibit padi diletakkan mengelilingi
lenjuang dan kambat, sebagai pusat pelepasan bibit padi pada waktu akan menanam yaitu sebagai
syarat menurut kepercayaan adat Dayak (Albert A Bingan dan Offeny A Ibrahim, 2005:29)
Cara menanam padi secara tradisional ini, yaitu laki-laki berbaris di bagian depan dengan
membawa tongkat terbuat dari kayu setinggi 2-3 meter yang bagian ujungnya diruncing. Tongkat
tersebut ditancapkan ke tanah sehingga membuat lobang-lobang kecil tempat mengisi biji-biji padi
yang dilakukan oleh kaum perempuan dengan cara mengikuti laki-laki dari bagian belakang.
Kegiatan ini biasanya diakukan mulai sekitar pukul 07.00 pagi hingga pukul 17.00 sore.Siang hari
mulai pukul 12.00 -13.00 adalah waktu untuk istirahat dan makan siang bersama. Makan siang,
kue dan minuman biasanya disediakan oleh yang empunya ladang. Jumlah orang yang biasanya
melakukan pekerjaan gotong royong semacam ini berkisar antara 20-40 orang. Pada umumnya
bila jumlah orang cukup memadai maka tugalan untuk satu ladang yang luasnya antara 2-6 hektar
dapat diselesaikan dalam sehari. Kemudian untuk menentukan di tempat siapa giliran manugal
berikutnya langsung ditentukan pada hari itu juga.
8. Mambawau (Merumput/menyiang)
Sejak selesai kegiatan menanam padi atau manugal, maka ladang harus dijaga secara terus
menerus hingga musim panen telah tiba. Sebab bila tidak biji padi yang baru ditanam akan habis
dimakan oleh burung pipit dan burung lainnya. Kemudian pada saat padi mulai tumbuh sekitar 15-
40 cm. sangat rawan dimakan oleh rusa, dan pada saat padi mulai menguning akan menjadi
sasaran empuk bagi babi dan kera. Bersamaan dengan tumbuhnya tunas padi, berbagai jenis
rumputpun tumbuh dengan suburnya dan seringkali rumput demikian menutupi tanaman padi.
Akibatnya padi menjadi kerdil dan sering mati karena dikalahkan oleh rumput yang tumbuh
dengan subur. Oleh sebab itu mambawau uru (menyiang rumput) merupakan pekerjaan
melelahkan dan memerlukan banyak tenaga kerja.
Pada jenis pekerjaan ini bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Mambawau (merumput)
juga bisa dikerjakan secara nyanjuruan (gotong royong) atau handep haruyong dngan teman-
teman yang ladangnya berdekatan, atau sering juga diupahkan kepada orang-orang desa. Biasanya
untuk satu burungan (10 depa persegi) dibayar sesuai dengan kesepakatan atau standar upah yang
ditetapkan, dan makan siang disediakan oleh pemilik lahan.
Kegiatan merumput biasanya dilakukan pada bulan Nopember dan Desember. Alat-alat yang
digunakan untuk merumput adalah pisau khusus berbentuk clurit yang mereka sebut oleng. Secara
umum rumput-rumput itu dicabut dan diletakkan secara terbalik, yaitu bagian akarnya ke atas,
atau diangkut dan ditimbun di tempat yang khusus, kemudian dibakar. Hama padi yang umum
menyerang tunas padi yang belum berbuah ada dua, yaitu sejenis ulat yang makan daun dan ulat di
dalam tanah yang memakan akar padi sehingga warnyanya kekuning-kuningan dan lama-
kelamaan mati.
Jenis hama lainnya adalah hampangau (walangsangit) yang hinggap pada tangkai padi yang masih
muda, akibatnya tangkai padi tersebut menjadi layu dan mati. Cara mengatasi berbagai hama padi
tersebut, adalah : a) untuk hama burung (spt. Pipit) harus secara rutin dihalau dan diburu dan
dibuat alat bunyi-bunyian untuk menakuti burung-burung itu; b) untuk kera, babi dan rusa dibuat
perangkap di pinggir ladang; c) untuk ulat daun dan ulat akar yaitu dengan cara membunuh ulat
daun dan menggali akar padi yang terindikasi dimakan akarnya oleh ulat; d) khususnya untuk
hampangau (walangsangit) dan berbagai jenis belalang yaitu dengan cara menangkapnya pada
malam hari dengan membawa lampu suar atau colok (suluh) yang terbuat dari bambu sebagai alat
penerangan.
9. Manggetem (Menuai padi/Panen)
Manggetem (Dayak Ngaju), Mahanyi (Lamandau) atau menuai padi adalah jenis pekerjaan berat
dan memerlukan banyak orang. Pekerjaan menuai padi bisa juga dilakukan dengan handep
haruyong (bergotong royong) atau diupahkan kepada orang desa. Bila diupahkan kepada orang
desa, caranya adalah dengan bagi hasil. Cara pembagian bisa 50:50 atau 60:40 (60 untuk pemilik
lahan dan 40 untuk pekerja).
Dikalangan Dayak Tomon tangkai padi yang baru dituai dikumpulkan dan bila siang hari di jemur
dipanas matahari. Bila sudah kering lalu diikat dengan tali. Kemudian dimasukkan ke dalam
Jurung (lumbung padi tradisional yang bangunanya terpisah dari rumah). Kegiatan menuai padi
biasanya dilakukan pada bulan April hingga bulan Mei. Alat-alat yang digunakan untuk menuai
padi adalah bakul besar (taya), bakul/keranjang kecil (takin) kemudian bakul kecil yang diikat di
pinggang, ani-ani (gentu) yang terbuat dari kaleng atau silet. Bila bakul kecil di pinggang sudah
penuh, dipindahkan ke bakul besar untuk di angkut. Cara mengolah padi: ditumbuk pada sebuah
lesung dengan menggunakan alu atau juga dengan menggunakan kisaran.
Kisaran terbuat dari balok kayu yang berat dipotong menjadi dua bagian. Balok bagian bawah
pada bagian atasnya dibuat gerigi, dan balok bagian atas, bagian bawahnya juga bergerigi, bagian
tengahnya dibuat lobang untuk memasukkan padi. Kemudian balok bagian atas diputar kekiri dan
ke kanan sehingga kulit padi terbuka dan terpisah dari berasnya. Namun saat ini pengolahan padi
secara tradisional sudah ditinggalkan diganti oleh mesin penggilingan padi.

Anda mungkin juga menyukai