Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Segala Puja-Puji Syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang PRAPERADILAN,
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana. Dengan
adanya makalah ini, diharapkan Taruna dapat mengetahui tentang Praperadilan, Ganti Kerugian
dan Rehabilitasi dalam Hukum Acara Pidana
Oleh Karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya khususnya Taruna Poltekip.
Diucapkan maaf apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan
makalah ini.

Depok, September 2017

PENULIS

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………………………..……………..…………................……i

DAFTAR ISI …….………………………...………………………………….. ii


BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah……..…………….……………...………………….2
1.3 Tujuan Penulisan………………………………....……………............ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Praperadilan menurut KUHAP………...………………..3
2.2 Kedudukan praperadilan menurut KUHAP..……………...... 5
2.3 Ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP.…....…..…... 7
2.4 Pengertian Ganti Kerugian.…………………..…….……….... 7
2.5 Cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana..... 10
2.6 Pengertian Rehabilitasi…..…………………………………………..14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……..………...………………………………………... 12
3.2 Saran..……...…...…………………………………………………... 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………........ 19

BAB II

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan
tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut
umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan
dan sebagainya.
Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak
terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan
kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh
karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara
menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP
mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip
dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan
fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap
pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu
benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia. Hadirnya praperadilan bukan
merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang
dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada
selama ini.
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara
dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan
pidana. Dalam setiap kasus yang dijalani pastinya ada disebut ganti kerugian didalam hukum pidana dan
diatur dalam hukum acara pidana bila mana si korban mengalami kerugian, baik itu materil maupun fisik.
Serta bagian dalam hukum acara pidana tentu juga diatur mengenai rehabilitasi, baik itu psikologi maupun
ketergantungan sebuah obat-obat terlarang. Dalam makalah ini, akan dibahas kedua pokok masalah
tersebut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan diatas, maka masalah yang akan diangkat adalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan praperadilan menurut KUHAP?
2. Bagaimana kedudukan praperadilan menurut KUHAP?
3. Bagaimana ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP?
4. Apa yang dimaksud Ganti Kerugian?
5. Bagaimana cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana?
6. Apakah yang dimaksud dengan rehabilitasi?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah sabagai
berikut :
1. Untuk mengetahui acara praperadilan menurut KUHAP
2. Untuk mengetahui kedudukan praperadilan menurut KUHAP
3. Untuk mengetahui ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP
4. Untuk mengetahui maksud dari ganti kerugian
5. Untuk mengetahui cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana
6. Untuk mengetahui maksud dari rehabilitasi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PRAPERADILAN


Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Hartono, Pengertian Praperadilan adalah
proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian
perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan
hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok
saja.
Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut,
misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara
korupsi. Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan
perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri, termasuk
penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah
hukumnya yang diuji adalah masalah tata cara penyidikannya. Contohnya : ketika
menangkap tersangka korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi
sebagaimana dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah
penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya, apakah
keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai tindakan penangkapan
dan tindakan penahanan.
Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar
melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris)
di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut
praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan,
juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris (hakim yang memimpin
pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa
Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya
paksa (dwang mid-delen)¸ penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan
pemeriksaan surat-surat. Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai
wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah
tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan
tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua
instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang
luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan
rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan
rampung, ia menentukan apakah suatu perkata cukup alasan untuk dilimpahkan ke
pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut
dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup
alas an, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Namun demikian,
menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-
perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak
begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di
bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan
pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan
pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan
ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut
umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada
kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting
dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah
merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula
penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan
pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri
memeriksa dan memutus tentang berikut.
1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan.
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan.
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai
berikut.
1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
2. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
3. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sahnya penagkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya.

2.2 KEDUDUKAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana wewenang


Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta tentang ganti rugi
dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan
Penyidik adalah tidak sah, maka hakim Praperadilan berwenang untuk:

1. Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan


jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;

2. Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;

3. Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;

4. Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan
kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan


Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang khusus yang
terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana biasa.
Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses
Praperadilan tidak mengenal penuntut umum. Kedudukan lembaga Praperadilan dalam
hubungan ini dapat disamakan dengan kedudukan hakim Pengadilan Ekonomi yang juga
ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai wewenang khusus dan terbatas yakni
mengadili perkara tindak pidana ekonomi semata-mata, dan mempunyai acara yang agak
menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan
tindak pidana ekonomi diatur dalam undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat dilakukan
dengan lembaga Praperadilan, tetapi pembuat Undang-undang telah mengaturnya dalam
KUHAP. Tetapi meskipun demikian hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja,
memeriksa dan memutus perkara tindakan melawan hukum yang khusus.

Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-tindakan


pidana ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak berlaku. Dapat juga
dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding (atau dikasasikan)
kecuali dalam hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan dan pengusutan
adalah tidak sah. Baik Pasal ini maupun Pasal lain di KUHAP tidak menjelaskan apakah
pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus mematuhi proses yang singkat seperti proses
Praperadilan, dan tidak jelas pula bagaimana harus dilakukan terhadap tersangka yang
sudah dibebaskan oleh penyidik atau penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa
ditahan kembali. Kedudukan hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah
sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-
duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan
memutus perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah hakim
dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya Undang-
undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya
kita juga dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa
(buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan
keadilan.

2.3 RUANG LINGKUP PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP


adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan;

2. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian


penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1)
KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri
seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk
mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang
yang diberikan undang-undang.

2.4 PENGERTIAN GANTI KERUGIAN (PASAL 95 DAN 96 KUHAP)


Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat
pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya
memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih
sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti
kerugian yang akan dibahas adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti
kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke
dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi.
Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah
minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian
materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya
berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita.
Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang
tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.
Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk.
Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak
mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu
adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia.
Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan.
Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia
dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini
karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-
tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah
lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan
praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu
sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan
negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut
pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya
berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama
7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan
ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.
Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri
dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap.
Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus
menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti
kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani
perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim
yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang
menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut
harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut
berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan
atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana
Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun
1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut
atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004.
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam
pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena
yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila
tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2. Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan
jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam
hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami sakit
atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau mati maka besarnya
imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31
Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3. Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur
hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru
dari aparat penegak hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP.
Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.

Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian


1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan
yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya
hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang
dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan
satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu
mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat
penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau
penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang
tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan
penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi
mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian
penyidikan atau penuntutan.
3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang
dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak
berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara
kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau
terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan
dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah
tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti
kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).

2.5 CARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA


Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan
permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau
terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan
ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti
kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu
dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini
karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya
dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam
PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak
lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan,
penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan,
penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh
aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan. Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya
penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum
pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya
semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian
yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika
tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat). Apabila permohonan ganti
kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan.
Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat
(1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke
pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut
pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara
cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan
praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut. Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian
dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas
berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima
pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal
ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang
menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi
atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari
setelah sidang pertama.
Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin
juga penolakan atas permohonan ganti kerugian. Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan
eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya
adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan
permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang
selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan
menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan
disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada
kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya
ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya
akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.
Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya
penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa
praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal
adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu
maksimalnya 3 juta rupiah.
Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan
gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan
kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut. Dasar hukum adanya ganti kerugian karena
perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang
menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang
lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban.
Korban disini bisa korban atas perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang
mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau kekerasan yang
dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran
yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan
yang menimbulkan kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan,
pembunuhan.
Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan
kerugian. Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana.
Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban juga bisa
mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama
dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah
ganti kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan. Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah
sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban mempunyai
tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan
sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan
oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi
tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada
tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan. Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu
perkara pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban
KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti
kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana ini
berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat. Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban
dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut
umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan
meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam
tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi.
Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran
nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa
penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim
memutus perkara tersebut. Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti
kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar
ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak korban bisa
mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut
agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN
memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa
membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah
ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka
hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak.
Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara
penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti
kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita. Jika korban tidak
mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya
sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak
dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah
yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan
gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat
secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya
embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata.
Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat
diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara
perdata.

2.6 PENGERTIAN REHABILITASI


Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah
“hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali
nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan
penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan
tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui
proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan
pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas
(vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila
perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang
yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke
pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh
tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan
kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai
sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan,
maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi
“memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya”.
Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi
tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus
mencantumkan dalam amar putusannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui
organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan
menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan kata lain
hukum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses peradilan pidana atau
dapat pula disebut aturan hukum pidana yang dibentuk untuk mempertahankan hokum
pidana materiil.
Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi
fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim
komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis
benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu
perkara.
kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang
khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses
pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan
khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum.
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP
adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
2. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1)
KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri
seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk
mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang
yang diberikan undang-undang.
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat
pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan
permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau
terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan
ataupun penuntutan atas perkaranya dia.
Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi
untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka
dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa
mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan
diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah
“hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali
nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan
penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan
tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui
proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan
pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas
(vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila
perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang
yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke
pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh
tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan
kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai
sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

3.2 SARAN
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: PT. Rangkang
Education
Hamzah Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003.
Ratna Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika
Presindo.
Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2002
https://www.academia.edu/7095182/BAB_I_Ganti_Rugi_dan_Rehabilitasi_dalam_Hukum_Acar
a_Pidana?auto=download
https://muharramwahyu.blogspot.co.id/2016/05/pra-peradilan.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/59778/Chapter%20II.pdf;sequence=3
http://setofschoolwork.blogspot.co.id/2014/07/rehabilitasi-dan-ganti-rugi.html

Anda mungkin juga menyukai