Anda di halaman 1dari 28

PERKEMBANGAN SENI ARSITEKTUR GAPURA BAJANG RATU

DAN WRINGIN LAWANG


Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok Kuliah Kerja Lapangan

Dosen Pengampu : Sudrajat, M.Pd

Disusun Oleh :

Yosie Eva Purbaningrum 15406241002

Dita Kurnia Sari 15406241016

Moh Afrizal 15406241030

Devi Wahyu Fitriani 15406241038

Hasna Anggriani 15406241046

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2016
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas limpahan rahmat dan karunian-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas kelompok dalam Kuliah Kerja
Lapangan (KKL). Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Sudrajad,M.Pd selaku dosen pengampu Kuliah Kerja Lapangan (KKL) serta
segenap pihak yang ikut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini


masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
mambangun sangat penulis harapkan agar menjadi perbaikan. Semoga laporan
ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, Juni 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman sampul.............................................................................................1

Kata Pengantar............................................................................................... 2

Daftar Isi........................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................. 4
B. Kerangka Konseptual................................................................... 5
C. Rumusan Masalah.........................................................................6
D. Tujuan...........................................................................................6

BAB II ARSITEKTUR ZAMAN MAJAPAHIT.......................................... 7

BAB III ARSITEKTUR BAJANG RATU...................................................10

BAB IV ARSITEKTUR GAPURA WRINGAN LAWANG ......................13

BAB V KESIMPULAN...............................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................17

LAMPIRAN.................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerajaan Majapahit meninggalkan banyak bukti baik bangunan, hasil


perdagangan, maupun kebudayaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa
Majapahit telah menjadi suatu kerajaan yang telah berkembang dari segi
sosial, budaya, maupun dari segi pemerintahan. Salah satu peninggalan yang
hingga saat ini masih dapat masyarakat lihat adalah candi-candi.

Candi-candi yang terdapat di Jawa Timur memiliki ciri-ciri yang khas


bila dibandingkan dengan candi-candi yang ada di Jawa Tengah. Tubuh
candi yang ada di Jawa Timur terlihat lebih ramping dengan atap bertingkat
dan puncak berbentuk kubus. Arsitektur pada relief Candi di Jawa Timur
juga dipahat dengan pahatan yang tipis dan dangkal serta bergaya simbolis.
Berbeda dengan candi-candi yang ada di Jawa tengah kebanyakan berbentuk
tambun dan bentuk bangunannya dapat dikatakan monumental.

Keindahan arsitektur masa Kerajaan Majapahit kini merupakan


cerminan kemampuan masyarakat dalam mewujudkan simbol dan semangat
religius kepada dewa-dewa. Semangat tersebut tercermin dalam perpaduan
teknologi dalam bangunan dan kesenian. Bangunan yang begitu megah dan
modern di zaman itu membuktikan bahwa masarakat Majapahit mempunyai
inovasi-inovasi yang bersifat modern. Arsitektur yang mencirikan bangunan-
bangunan Hindhu yang ada disekitarnya seperti di Blitar,Malang dan daerah
Jawa lainya.

Bangunan-bangunan tersebut menggambarkan betapa majunya


kerajaan Majapahit pada saat itu. Tidak dipungkiri Majapahit saat itu ialah
kerajaan yang sangat besar di Nusantara Majapahit juga menguasai beberapa
sektor penting. Salah satu peninggalan Majapahit yang berbeda menurut
pengamatan penulis adalah Gapura Wringin Lawang dan Gapura Bajang
Ratu. Walaupun sama-sama gapura namun keduanya memiliki perbedaan

4
jenis baik dari fungsi maupun arti filosofisnya. Atas dasar keunikan yang ada
dalam peninggalan tersebut, maka penulis tertarik untuk mendalami
mengenai seni arsitektur yang terdapat di dalam gapura Bajang Ratu dan
gapura Wringin Lawang biaik dari segi fungsi, filosofi, relief-relief, dan
orientasi pembangunan gapura.

B. Kerangka Konseptual
a. Seni Arsitektur
Arsitektur merupakan ilmu dalam merancang bangunan yang
meliputi semua proses analisis dan perencanaan semua kebutuhan fisik
bangunan. Dalam arsitektur, diperhitungkan juga mengenai keindahan,
kekuatan, dan kegunaan. Sehingga hingga di masa yang akan datan, seni
arsitektural ini masih dapat dinikmati. Ketiga unsur tersebut harus
seimbang.
b. Gapura

Bangunan candi bentar biasanya disebut juga gapura. Gapura


berasal dari bahsa Sansekerta “Gopuran” yang memilki arti gerbang
menuju kota. Gapura sebagai suatu karya arsitektur mencerminkan ciri
budaya dari sekelompok manusia. Dengan demikian, dengan melihat seni
bangunan gapura melalui tampilan fisik dapat dikenali bagaimana
perkembangan budaya dan kepercayaan pada masa itu.

c. Gapura Bajang Ratu

Gapura Bajang Ratu berada di desa Temon, Kecamatan


Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gapura Bajang Ratu
dibangun sebagai tanda peringatan wafatnya Raja Jayanegara tahun 1328.
Gapura ini bukanlah bangunan suci makam raja tetapi sebagai pintu
gerbang keraton Majapahit.

d. Gapura Wringin Lawang

Secara geografis, gapura Wringin Lawan terletak di Desa Jati


Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

5
Bangunan ini berbentuk Candi Bentar. Gapura ini terbuat dari bata merah
dan anak tangganya terbuat dari batu andesit.

Peninggalan Majapahit

Seni
Gapura Arsitektur Gapura Wringin
Bajang Ratu Majapahit Lawang

Kerangka konseptual Perkembangan Arsitektr Gapura wringin Lawang


dan Bajang Ratu

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang dan kerangka konseptual tersebut,


maka permasalhan yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

a. Bagaimana perkembangan arsitektur pada masa pemerintahan


zaman Majapahit?
b. Bagaimana perkembangan arsitektur gapura Bajang Ratu ?
c. Bagaimana perkembangan seni arsitektur Gapura Wringin
Lawang ?
D. Tujuan Penulisan Laporan
Berdasarkan latar belakang dan kerangka konseptual tersebut,
maka tujuan dari penulisan laporan sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui perkembangan Arsitektur Majapahit
b. Untuk mengetahui perkembangan seni arsitektur Gapura
Bajang Ratu
c. Untuk mengetahui perkembangan seni arsitektur Gapura
Wringin Lawang

6
BAB II

ARSITEKTUR ZAMAN MAJAPAHIT

Terdapat tiga kelompok pola perkembangan arsitektur bangunan yang


berkembang pada masa Kerajaan Majapahit yaitu sebagai berikut.1

1. Arsitektur Jawa Kuno


Arsitektur Jawa Kuno memiliki ciri-ciri konstruksi bangunan dari kayu
yang merupakan tiang yang berdiri di atas tanah, memiliki kolong dari tanah
dan tanpa pemisah ruang. Jika memiliki pemisah ruang, pemisah tersebut
berupa kain. Penutup atap terbuat dari alang-alang atau ijuk. Setelah
keruntuhan Majapahit, rumah rumah kuno ini tidak dapat bertahan lama.
Karena terbuat dari kayu, ketika tertimbun oleh tanah akan lapuk dan
hancur.
2. Arsitektur Majapahit Lama
Arsitektur Majapahit lama memiliki ciri-ciri konstruksi bangunan terbuat
dari kayu yang berdiri diatas batur. Namun, pembatas antar ruang belum
dibuat secara permanan. Penutup atap sudah terbuat dari genting. Bangunan
yang seperti ini biasanya digunakan sebagai bale atau tempat peristirahatan.
Contoh bangunan dengan menggunakan arsitektur Majapahit lama masih
dapat dilihat di Museum Trowulan Majapahit.
3. Arsitektur Akhir Majapahit
Arsitektur pada masa ini tidak jauh berbeda dengan arsitektur Majapahit
Lama. Perbedaannya hanya terdapat pada pembatas antar ruang yang telah
diberi sekat secara permanen. Bentuk arsitektur ini masih dapat dilihat pada
rumah-rumah kuno atau pendopo yang ada di Indonesia.

Namun, diakhir periode Majapahitpun masih dijumpai ketiga pola


bangunan tersebut disebabkan oleh perbedaan fungsi bangunan. Perubahan nilai-
nilai sosial masyarakat dan adanya kesulitan mendapatkan bahan baku kayu

1
Sartono Kartodirdjo, dkk. 1993. 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai.
(Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur). Hlm
121

7
menjadikan bangunan yang menggunakan kayu untuk kolong ataupun dinding
secara berangsur-angsur mulai berkurang.2 Secara umum, gambaran dari seni
arseitektur yang berkembang pada bangunan candi ataupun gapura Bentar di
Majapahit sebagai berikut.

a. Arsitektur Seni
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang
arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai
bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi
inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta pura dan
kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah
digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan
teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui
berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini
cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh
Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang.

b. Pengaturan tata letak


Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata
yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo,
merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak
beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan dengan kerajaan yang
ada di Bali.

c. Fungsi bangunan/candi hingga sekarang

Bangunan atau candi yang ada di kompleks Trowulan sekarang menjadi


cagar budaya dan banyak situs-situs di Trowulan yang telah dipugar untuk
menjaga keindahannya, sehingga mampu menarik wisatawan untuk berkunjung
ketempat ini. Seperti Candi Bajang Ratu, Candi Brahu, Gapura Waringin

2
Ibid.

8
Lawang, Makam Troloyo, Candi Panataran, Kolam Segaran, dan lain-lain. Selain
dipugar, disekitar bangunan candi juga dibuatkan taman kecil yang menarik daya
wisata. Sehingga selain memilki fungsi sejarah situs tersebut juga memiliki
fungsi pariwisata

Kajian mengenai Candi berbentuk bentar dan paduraksa merupakan suatu


bahan kajian yang menarik. Karena selain merupakan peninggalan yang
memiliki kaitan dengan bangunan suci yang ada di Bali, bentuk bangunan ini
masih dapat dijumpai pada pintu-pintu gerbang masuk.

9
BAB III

SENI ARSITEKTUR GAPURA BAJANG RATU

1. Fungsi Gapura Bajang Ratu


Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu
didirikan untuk menghormati atau mendharmakan Jayanegara.3 Dasar
perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang
menggambarkan cerita peruwatan.
Selain itu, mengingat bentuknya yang merupakan gapura
paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun, Bajangratu
diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Pada
Zaman Majapahit, Gapura Bajang Ratu diduga dipergunakan sebagai
pintu belakang kerajaan.4 Hal ini juga dikarenakan lokasi gapura yang
tidak jauh dari lokasi bekas Kerajaan Majapahit.
2. Orientasi/arah
Orientasi Candi ini menghadap ke utara. Ketinggian candi sampai
pada puncak atap adalah 16,1 m dan panjangnya 6,74 m. Bajang Ratu
merupakan pintu masuk dengan bentuk Paduraksa (beratap tunggal).
Atapnya tinggi terdiri dari tingkatan-tingkatan horizontal dengan puncak
berbentuk kubus.
3. Relief candi
Gapura Bajang Ratu ini memiliki relief di badannya yang
menggambarkan tentang Sri Tanjung dan Garuda. Pada relief Garuda
menggambarkan tujuan utama dari masyarakat beragama untuk menuju
ke nirwana atau ke surga. Sebelah kanan candi dari depan terdapat relief
cerita Ramayana yang bergambarkan seekor kera yang membunuh
raksasa, di sana menceritakan bahwa Anoman yang membunuh

3
Wawancara dengan Bapak Wahyudi, BPCB Jawa Timur pada tanggal 24 April 2016.
4
Teguh Panji.2015. Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit.Yogyakarta: Divapress
, hlmn.301

10
Rahwana. Jadi Anoman dilambangkan sebagai kebaikan dan Rahwana
dilambangkan sebagai kejahatan. 5
Kemudian di kaki candi terdapat relief Sri Tanjung. Relief ini
dianggap sebagai pelepasan arwah yang menceritakan bahwa Raden
Sidapaksa yang sudah menuduh istrinya, Dewi Uma berselingkuh.
Akhirnya untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, Dewi Uma
bunuh diri di dekat air. Jika darahnya masuk ke dalam air dan berbau
wangi maka ia tidak bersalah, jika darahnya masuk ke air dan berbau
anyir maka dia bersalah. Ketika dia bunuh diri darahnya masuk ke dalam
air dan berbau wangi yang berarti dia tidak bersalah. Ini seperti legenda
Banyuwangi. Inilah yang disebut dengan pelepasan arwah Sri Tanjung.
Relief juga terdapat pada atap candi. Relief tersebut secara
bersusun berdasarkan tingkatanya terdiri dari relief Kalamakara, Kepala
kala, surya, dan kelopak bunga. Relief yang berada di atap candi
berfungsi sebagai pelindung atau penolak bala.
4. Arsitektur Gapura Bajang Ratu
Bahan Gapura Bajang Ratu terbuat dari batu bata merah. Atap
gapura kebanyakan berbentuk empat persegi panjang atau kubus. Candi
di Jawa Timur berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah yang berbentuk
bulat. Yang berbentuk kotak atau kubus dalam konsep Hindu
melambangkan alam surgawi. Sedangkan yang berbentuk bulat
melambangkan alam duniawi.6
Cara membuat bangunan candi menggunakan sistem gosok.
Sistem gosok tersebut yaitu batu bata merah digosok yang satu dengan
yang lain, kemudian diberi air dan di gosok lagi sampai hampa udara dan
merekat.7 Jadi pembuatan candi pada zaman dulu dengan cara
menggosok antar batu dengan air. Di sekililing kaki candi, dipasangi
batu-bata merah yang berfungsi sebagai selokan atau tempat penyerapan
air. Hal tersebut membuktikan bahwa manusia pada zaman Majapahit
sudah mengenal hukum kapiler, dimana air akan terserap melalui celah –

5
Op.cit., Bapak Wahyudi
6
Ibid.
7
Ibid.

11
celah kecil yang ada pada batu bata merah. Sehingga air tidak akan
menggenang di sekitar candi.
Karena sejak dahulu hingga sekarang, orang-orang Majapahit
telah menganggap bahwa candi ataupun gapura sebagai tempat yang suci.
Sehingga ketika diadakan upacara keagamanaan di musim penghujan, air
tidak akan menggenang dan menggangu peribadatan masyarakat.
Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat
ke timur. Anak tangga dan lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam
atap candi juga terbuat dari balok batu yang disusun membujur utara-
selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas. Atap candi
berbentuk meru (gunung), mirip limas bersusun, dengan puncak persegi.
5. Filosofi candi
Dari kata Bajang Ratu itu berhubungan dengan Jayanegara,
dibangunnya setelah Jayanegara wafat. Diperkirakan dibangun pada masa
Tribuwana untuk menghormati saudaranya yang wafat yaitu Jayanegara
pada tahun 1258.
Relief seperti kala yang di kanan dan kirinya terdapat dua jari
yang disebut dengan musra yang artinya menerima tantangan. Sikap ini
merupakan sikap menerima tantangan yang ada di dunia dan pilihan yang
ada di dunia. Pilihan tersebut terdiri dari dua pilihan, baik dan buruk, laki
laki dan perempan, ada siang dan ada malam, dan lain-lain.
Relief yang ada juga memili mengajarkan bahwa manusia akan
kembali kepada Sang Pencipta ketika ia telah selesai menjalani
kehidupannya. Sebagai manusia, ajaran agama juga harus diamalkan
karena pada akhirnya manusia akan mati seperti yang diceritakan pada
relief Garuda.

12
BAB IV

SENI ARSITEKTUR GAPURA WRINGIN LAWANG

1. Arsitektur Gapura Wringin Lawang


Gapura Wringin Lawang merupakan Gapura Wringin Lawang
dibangun dengan menggunakan bata merah yang dasarnya atau anak
tangga dan penopangnya terbuat dari batu andesit. Diperkirakan batu
andesit digunakan sebagai penopangnya karena bidang kemiringan tanah
di tempat tersebut tidak merata. 8
Cara pemugaran dari Gapura Wringin Lawang tidak
menghilangkan ciri khasnya. Penataan bata merah tetap mempertahankan
penyusunan aslinya. Bata merah yang akan dipasang sebagai pengganti
bata yang telah aus digosokkan satu sama lain sampai kedua permukaan
bata merah menyatu sama lain. Jika telah menyatu, artinya pori-pori bata
merah telah tertutup.
Dalam penelitian arkeologis baik dalam bentuk survey maupun
penggalian di halaman barat daya gapura ditemukan 14 buah sumur.
Penempatan sumur di muka rumah masih banyak dijumpai di rumah-
rumah tradisional. Hal ini menjelaskan bahwa sebelum memasuki
bangunan suci, seseorang harus menyucikan dirinya terlebih dahulu
dengan menggunakan air yang ada di sumur tersebut.
2. Fungsi bangunan/candi hingga sekarang
Candi ini berfungsi sebagai gerbang masuknya ke kerajaan
Majapahit. Selain itu, candi ini juga berfungsi sebagai tempat masuknya
ke sebuah bangunan suci dan mengarah ke gunung Pananggungan.
Hingga saat ini, bangnan ini masih difungsikan sebagai cagar
budaya. Dan setiap malam tanggal 15 Suro (Bulan Jawa), Gapura
Wringin Lawang digunakan untuk pementasan drama yang mengisahkan
kejayaan Majapahit.
3. Orientasi/arah

8
Ibid.

13
Orientasi bangunan mengarah ke timur-barat. Gapura ini
menghadap ke arah Gunung Penanggungan. Arah Gunung
Penanggungan dan Gunung Semeru menunjukkan bahwa bangunan ini
diperkirakan memang bangunan sakral pada masa Majapahit yang
berhubungan untuk keagamaaan karena konteks kosmologi
Penanggungan sebagai kiblatnya.9
4. Filosofi candi

Pembangunan Gapura Wringin Lawang memiliki makna filosofis


tersendiri. Anak tangga yang terdapat dalam gapura berjumlah tujuh
tingkatan yang melambangkan tujuh alam yang dilalui oleh manusia.10
Dan tiga tingkatan pada bangunan candi yaitu dasar candi, badan candi,
dan atap candi. Jika tujuh anak tangga tersebut di jumlahkan dengan 3
tingkatan pada tubuh Gapura Wringin Lawang, akan menghasilkan angka
sepuluh. Kemudian angka satu ditambahkan dengan angka nol, maka
hasilnya satu. Satu tersebut menunjukkan Tuhan. Begitulah konteks
bangunan suci pasti berhubungan dengan Sang Pencipta.

Gapura ini menghadap ke arah Gunung Penanggungan. Arah


Gunung Penanggungan dan Gunung Semeru menunjukkan bahwa
bangunan ini diperkirakan memang bangunan sakral pada masa
Majapahit yang berhubungan untuk keagamaaan karena konteks
kosmologi Gunung Penanggungan sebagai kiblatnya. Gunung dipercaya
sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan penguhubung antara alam
atas dan alam bawah. Dengan kata lain, Gapura Wringin Lawang
memang dijadikan sebagai temapt yang dianggap sakral dan selalu
berorientasi kepada Sang Pencipta.11

9
Op.cit., Bapak Wahyudi.
10
Ibid.
11
Ibid.

14
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan seni bangunan pada masa Kerajaan Majapahit
dapat dikatakan sudah maju. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem
bangunan dan kerajinan-kerajinan yng dihasilkan. Bangunan-bangunan
suci kebanyakan tidak lagi menggunakan batu andesit sebagai bahan
dasar bangunan, melainkan dengan menggunakan bata merah. Bata
merah tersebut berasal dari pengolahan tanah liat yang dicetak berbentuk
balok. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit telah mengenal
adanya seni bangunan yang hingga kini masih dipergunakan.
Pembangunan tempat tinggal dan tempat suci lainnnya juga telah
memperhitungkan risiko alam. Contohnya disekeliling bangunan, di buat
tatanan bata merah yang di sejajarkan yang berguna untuk saluran air.
Pada Gapura Bajang Ratu dan Gapura Wringin Lawang juga dilakukan
hal demikian, namun ditambahkan batu-batu kecil atau kerikil yang
berfungsi sebagai tempat penyerapan air. Sehingga ketika musim
penghujan tiba, tempat tersebut tidak akan tergenang.
Gapura Bajang Ratu termasuk kedalam gapura paduraksa, yaitu
gapura yang atapnya tertutup. Bentuk bangunan memang berbentuk
candi, namun terdapat semacam pintu untuk keluar masuk pada tubuh
bangunan. Mengenai fungsi dari Gapura Bajang Ratu, gapura tersebut
dibangun sebagai tempat pendharmaan Raja Jayanegara. Hingga saat ini,
Gapura Bajang Ratu digunakan sebagai salah satu objek wisata dan
tempat pengakajian sejarah atas kejayaan Majapahit.
Gapura Wringin Lawang berbentuk seperti gapura di belah dua
yang lazimnya disebut candi bentar. Bangunan ini memiliki bentuk yang
hampir sama dengan Pura yang ada di Bali. Candi bentar muncul dalam
seni bangunan Indonesia pada zaman Majapahit. Gapura ini diperkirakan
berfungsi sebagai gerbang masuk untuk masuk kedalam sebuah tempat
yang suci, atau pintu masuk untuk memasuki wilayah Majapahit.

15
B. Saran
1. Ketika penyampaian materi di tempat-tempat peninggalan Kerajaan
Majapahit, sebaiknya disediakan lebih dari satu pemandu, agar semua
pengunjung atau rombongan pengunjung dapat menerima penjelasan
yang utuh.
2. Mengenai tempat parkir bis yang belum memadahi dapat
mengganggu lalu lintas jalan. Sebaiknya, pengelola menyediakan
lahan untuk tempat parkir bis, sehingga kenyamanan para pengguna
jalan lainnya dapat terjamin.
3. Ketika mengunjungi candi-candi, pemandu seharusnya di sediakan di
masing-masing candi.
4. Perawatan taman-taman yang ada di halaman candi perlu
ditingkatkan. Mungkin di taman dipasang papan pengumuman supaya
pengunjung tidak merusak taman tersebut. Atau pihak pengelola
menempatkan kursi-kursi panjang di beberapa tempat untuk
pengunjung.

16
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal :

Asmito. (1988). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Rr.Paramitha Dyah F. (2015). Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian


Arts and Beyond.. Yogyakarta: UGM

Sartono Kartodirdjo, dkk. (1993). 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga


Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Soekmono. (1981). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.


Yogyakarta : Kanisius.

Teguh Panji.(2015). Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit.Yogyakarta:


Divapress

Umi Muyasyaroh. “Perkembangan Makna Candi Bentar di Jawa


TimurAbad 14-16”. Jurnal AVATARA e-Jurnal
Pendidikan sejarah volume 3, no.2, Juli 2015 halaman
153- 161.

Web:

http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_wringinlawang

Wawancara :

Wawancara dengan Bapak Wahyudi, BPCB Jawa Timur pada tanggal 24 April
2016.

17
LAMPIRAN
a. Candi Wringin Lawang

Gambar 1. Candi Wringin Lawang tampak dari depan

Sumber : dokumentasi pribadi

18
Gambar 2. Bagian samping Gapura Wringin Lawang. Tampak bagian bawah
gapura terdapat pembatas batu bata yang berfungsi sebapai parit.

Sumber : Dokumentasi pribadi

19
b. Candi Bajang Ratu

Gambar 3. Gapura Bajang Ratu Tampak dari kejauhan. Bangunan tersebut


terlihat ramping dibandingkan bangunan candi yang ada di Jawa Tengah dengan
puncaknya berbentuk kubus.

Sumber: Dokumentasi pribadi

20
Gambar 4. Gapura Bajang Ratu dari depan. Bagian atas pintu masuk terdapat
kala. Sumber ; Dokumentasi pribadi.

21
c. Tabel Keterangan Gapura Wringin Lawang
Kondisi
No. Keterangan
Kaki candi Pada bagian kaki candi, terdapat anak tangga yang
1
terbuat dari batu andesit. Batu andesit juga
digunakan sebagai penopang candi yang diletakkan
sebelum tubuh candi
Tubuh Candi Tubuh candi seluruhnya terbuat dari bata merah dan
2
sebagian sudah direstorasi. Perbedaanya terlihat dari
struktur bata merah yang masih terlihat baru.
Arca di tubuh candi -
3
Makara -
4
Relief -
5
Prasasti terkait -
6
Arca -
7

d. Tabel Keterangan Gapura Bajang Ratu


No. Keterangan Kondisi
Kaki candi Pada dinding kaki candi mengapit tangga terdapat
1
relief sri tanjuang sedangkan di kiri dan kanan dinding
bagian depan mengapit pintu terdapat relief ramayana.
Tubuh Candi Padadan bagian atas tubuh candi terdapat ukiran
2
kepala garuda matahari diapit naga.
Arca di tubuh candi -
3
Kala Makara Terdapat dua buah kala makara di bagian depan dan
4
bagian belakang candi. Karena terbuat dari batu bata
kala makara dipasang terlebih dahulu baeu setelah itu

22
dipahat.
Relief Terdapat relief Garuda dan Sri tanjung di badan candi.
5
Pada Relief garuda menggambarkan tujuan utama dari
masyarakat beragama untuk menuju ke nirwana atau
surga.
Prasasti terkait -
6
Arca -
7

23
e. Transkrip Penjelasan Gapura Wringin Lawang
Gapura wringin Lawang berasal dari dua kata yaitu Wringin yang
artinya Beringin dan dan Lawang yang artinya pintu. Nama tersebut
merupakan pemberian dari masyarakat. Sedangkan menurut Raffles
dalam bukunya yang berjudul History of Java, nama dari gapura tersebut
adalah Gapura Jati Pasar karena terletak di desa Jati Pasar. Maka,
penamaan dari gapura tersebut ada dua versi yaitu berdasarkan
masyarakat dan berdasarkan Rafless.
Sebelum sampai di Gapura Wringin Lawang, terlebih dahulu
melewati Candi Gentong. Candi ini berhubungan dengan Candi Brahu.
Konsep candi Gentong merupakan bangunan Budha yang digunakan
sebagai konsep Mandala Stupa oleh Majapahit. Mandala Stupa tersebut
digunakan sebagai tempat bersemedi atau bermeditasi tepatnya di tengah-
tengah. Kemudian ada 4 sisi patung Budha yang menghadap ke Utara,
timur, selatan, dan barat. Patung tersebut muncul ketika Sidharta
Gautama wafat. Akhirnya petinggi Budha merundingkan apa yang bisa
digunakan untuk menghormati Sidharta Gautama. Akhirnya para petinggi
Budha membentuklah yang namanya Patung Budha yaitu sikap sikap
yang pernah dilakukan oleh Sidharta Gautama. Jadi Candi Gentong
berhubungan dengan stupa-stupa yang ada di Majapahit.
Di Wringin Lawang pernah ditemukan sumur yang berjumlah 14
buah. Konteks pembangunan gapura wringin lawang itu dulu
diperkirakan sebagai pntu masuk menuju suatu kawasan yang dianggap
suci. Kawasan itu bisa berupa tempat juga bisa berupa pasetran. Maka
dibuku tersebut hanya disebutkan bahwa gapura itu dibangun untuk pintu
masuk menuju kawasan suci. Sampai saat ini memang belum pernah
ditemukan bangunan suci berhubngan dengan apa, yang jelas disitu
hanya disebutkan untuk menuju satu komplek kawasan suci. Gapura
tersebut oleh para peneliti terutama oleh Bapak Agus Aris Munandar
diperkirakan merupakan jenis gapura bentar itu sebenarnya tidak hanya
satu tetapi sebenarnya banyak tidak hanya di Trowulan. tetapi
ditemukannya Gapura Wringin Lawang memberikan kesan bahwa gapura

24
ini satu-satunya yang berbentuk bentar. Padahal berdasarkan interpretasi
Bapak Agus Aris Munandar bahwa di Majapahit dulu banyak bangunan
bertipe seperti itu. Tetapi kebetulan yang ditemukan dan masih utuh
adalah Wringin Lawang.
Struktur bangunan Wringin Lawang terbuat dari bata merah dan
juga disitu ada beberapa batu andesit hanya sebagai penopang atau
penyangga yang sejak dulu sudah ada. Perkiraan sementara dikarenakan
bidang kemiringannya tidak rata. Gapura ini menghadap ke arah Gunung
Penanggungan. Arah Gunung Penanggungan dan Gunung Semeru
menunjukkan bahwa bangunan ini diperkirakan memang bangunan sakral
pada masa Majapahit yang berhubungan untuk keagamaaan karena
konteks kosmologi Penanggungan sebagai kiblatnya. Gunung dipercaya
sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan penguhubung antara alam
atas dan alam bawah.
Mengenai gapura Bajang Ratu yang menghadap ke selatan ke
arah gunung Welirang. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Trowulan
dibatasi oleh empat gunung yaitu Welirang, Arjuna, Anjasmoro, dan
penanggugan. Empat gunung tersebut digunakan sebgai kosmologinya
orang-orang Hindhu pada masa Majapahit.
Gapura Wringin lawang memiliki 7 tingkatan anak tangga. Dan
bangunan gapura memiiki tiga tingkatan. Jika angka tujuh ditambahkan
dengan angka tiga menghasilkan angka sepuluh kemudian angka satu
ditambahkan dengan angka nol, maka hasilnya satu. Satu tersebut
menunjukkan Tuhan. Begitulah konteks bangunan suci pasti
berhubungan dengan Sang Pencipta.
Jika dilihat dengan seksama, terdapat penopang yang terbuat dari
batu andesit yang diperkirakan karena kemiringan tanah tidak rata.
Gapura ini pernah mengalami restorasi. Kita dapat melihatnya melalui
bata merah yang terdapat pada gapura berbeda. Diperkirakan juga oleh
para peneliti dulunya Gapura Wringin Lawang dikelilingioleh pagar
pembatas. Hal ini terlihat dengan adanya bata merah yang mengelilingi

25
candi. Di Candi Brahu pernah dilakukan penelitian dan ditemuhan bata
merah di kedalaman tanah, namun bagaian atasnya telah hilang.
f. Transkrip Penjelasan Gapura Bajang Ratu
Ada seorang perempuan namanya Dewi Uma yang bunuh diri
dengan cara masuk ke dalam air wangi. Ada relief berbentuk ikan. Relief
ikan tersebut menggambarkan bahwa arwah Dewi Uma diantar menuju
alam arwah oleh ikan. Karena Dewi Uma belum waktunya meninggal
maka Ia dikembalikan lagi ke dunia.
Ada relief ikan yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Ada
yang namanya Matsya Awatara, Kurma Awatara, Waraha Awatara,
Narasimha Awatara, Wamana Awatara, Parasurama Awatara, Rama
Awatara, Krisna Awatara, Buddha Awatara, dan Kalki Awatara. 12 Nama-
nama tersebut merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu. Krisna, Rama,
Sidharta Gautama adalah wujud Dewa Wisnu. Satya Yoga ada yang
keluar dua parayoga ada kretayoga. Empat keluarga satyayoga, tiga
keluar parayoga, tiga lagi keluar pada zaman kaliyoga.
Hubungan dengan Jayanegara: Jayanegara itu diperkirakan wafat
dan dikembalikan ke alam arwah. Berhubungan dengan relief Sri
Tanjung dan relief Garuda yang sedang terbang menandakan pelepasan
arwah. Hal tersebut ditandai dengan sayap yang terdap di kanan dan kiri.
Yang menarik bangunan di Jawa Tengah pasti berhubungan dengan sang
pencipta, hanya vertikal. Kalau di Jawa Timur selain secara vertikal juga
secara horizontal. Jadi terdapat hubungan dengan manusia dan juga
hubungan dengan sang penciptanya. Kalanya di pasang terlebih dahulu
baru setelah itu di pahat hal ini karena terbuat dari batu bata. Apabila
terbuat dari batu andesit maka dipahat dahulu lalu dipasang. Jadi kalanya
itu di kanan dan kirinya diapit oleh jari dan disebut dengan musra yang
artinya menerima tantangan. Siap menerima tantangan dari dunia dan ada
dua pilihan yaitu baik dan buruk. Ada perempuan ada laki-laki, ada siang
ada malam.

12
Dapat dilihat dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia, hlmn 29.

26
Cara mererestorasi bangunan gapura Bajang Ratu adalah dengan
menggosokkan bata merah satu sama lain sampai hampa udara, ketika
sudah mencapai hampa udara maka akan melekat satu sama lain.
mengandung unsur filosofi yaitu dengan menggabungkan lima unsur
alam tadi yang disebut panca maha bata. Bagian belakang gapura tidak
memiliki relief menandakan bahwa bangunan ini menghadap ke selatan.
Orientasinya menghadap ke utara. Kalanya memang menghadap ke
empat sisi, apabila dalam segi arsitektur bangunan di awa Timur
berbentuk kotak atau kubus.
Jika di Jawa Tengah brbentuk bulat karena memiliki pola
terpusat, kalau di Jawa Timur berpola linier. Jadi linier itu istilahnya
bangunan suci, contohnya Panataran susunannya gapura, lalu gapura lagi
setelah itu baru bangunan suci. Bangunan suci terdapat di belakang, jadi
konsepnya Ing Ngarso Sing Tuladha. Bangunan hindu berbentuk tetap,
melambangkan surgaw, kalau Budha berbentuk Budha karena Roda
Dharma. Hal ini mengindikasikan mengenai latar belakang agama. Bapak
Agus Aris Munindar mngatakan jika ingin mengetahui mengenai budaya,
kenali dahulu agamanya, Sirna Dinarmaning Kapopongan,dalam kitab
Pararaton di sebutkan dan artinya adalah “Anda di Dharmakan di
Kapopongan”. Jika dalam wilayah Majapahit Kapopongan terdapat di
Kaputren, disini Jayanegara sudah main permpuan, makanya dia di
Dharmakan di Kapopongan, di Istana Keputren. Pratista
Ing Antar Wulan, Sri Sangga Pura merupakan wilayah yang
terdapat di kaputren, yang luasnya 1 kecamatan. Sri Sangga Pura,Pratista
Ing Antar Wulan artinya “Bangunan Suci yang ada di Trowulan” jadi,
asal kata Trowulan adalah Antar Wulan. Anta artinya “Terang” dan
Wulan artinya “Bulan” yang kalau di sambung jadi “Terang Bulan”
sedangkan Antar Wulan artinya “Antar Bulan”. Sri Sangga Pura
berhubungan dengan Negara Kertagama. Bajang diartikan kerdil,
Bajangratu diindikasikan bujang ratu istilahnya raja yang masih bujang
atau keicil istilahnya istri yang belum mempunyai istri dan putra kalau di
Majapahit dinamakan Kumararaja artinya putra-putri raja dari Majapahit.

27
Rafless adalah gubernur Hindia Belanda yang ditugaskan di
Lombok. Bangunan tersebut terdapat di catattan buku Raffless adalah
Historia Of Java. Bangunan tersebut menara itu tidak pernah ditemukan
karena sudah terdapat dari dulu. Pendapat Raffless diperkuat dari teori
Daendles yang menemukan naskah Negarakertagama, atapnnya
bangunan masih asli. Penyangga tiang bangunan tersebut dibangun oleh
pemerintah Belanda untuk merestorasi bangunan tersebut pada tahun
1915. Pemerintah Indonesia merestorasi bangunan tersebut dengan batu
bata merah dilakukan selama 5 tahun dikarenakan kerusakan banguanan
tersebut sudah melebihi 60%.
Bangunan bulat di atas candi disebut dengan Surya Majapahit
sedangkan yang paling bawah diberi nama Surya. Perbedaan bangunan
Jawa Tengah di bawah surya itu ada makara dan jawa timur itu tidak ada
atau lepas, makara disendirikan. Faktor pembeda itu dikarenakan faktor
agama. Di Jawa Tengah perkembangan agama paling besar adalah agama
Budha sedangkan di Jawa Timur adalah agama Hindu. Hal tersebut
menjadikan akulturasi budaya. Konsep di Jawa Timur itu ada gapura,
petirtaan, pemukiman candi. Menjadikan Jawa Timur sebagai kajian yang
kompleks atau lengkap. Dari kata Bajang Ratu itu berhubungan dengan
Jayanegara, dibangunnya setelah Jayanegara wafat. Diperkirakan
dibangun pada masa Tribuwana untuk menghormati saudaranya yang
wafat yaitu Jayanegara pada tahun 1258.

28

Anda mungkin juga menyukai