Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit saluran
pernafasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom).
Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multifaktorial). Meskipun organ
saluran pernafasan yang terlibat adalah hidung, laring, tenggorok, bronkus,
trakea, dan paru-paru, tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru. Titik
perhatian ini disepakati karena tingginya tingkat mortalitas radang paru-paru
(Widiyono, 2011)
Penyakit ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penyakit menular di dunia. Penyakit ISPA juga penyebab utama kematian
terbesar ketigadi dunia dan pembunuh utama di Negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Kematian akibat penyakit ISPA sepuluh sampai lima puluh kali
di Negara berkembang dari pada Negara maju (Ide dan Onyenegecha, 2015).
Di Negara bagian Asia, tingkat mortalitas penyakit ISPA sangat tinggi
pada bayi dan anak-anak. Kasus terbanyak terjadi di India (43juta), China (21
juta), Pakistan (10 juta) dan Bangladesh. Di Indonesia dan Nigeria terdapat
enam juta kasus (Kemenkes, 2012).
Berdasarkan Kemenkes RI tahun 2014, menurut umur, period
prevalence pneumonia tertinggi terjadi pada kelompok umur balita terutama
usia kurang dari 1 tahun menurut daerah tmpat tinggal dipedesaan priod
prevalance pneumonia 2,0% lebih tinggi dibanding perkotaan (1,6%) sedankan
menurut status ekonomi degan menggunakan kuintil indekks pemiran semakin
tinggi priod prevalance pneumonia.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, Prevalensi ISPA pada balita
menurut provinsi, tertinggi pada provinsi Nusa Tenggara Timur (41.7%) dan

1
terendah pada Provinsi Jambi (17.0%), sedangkan di provinsi Sumatera Utara
(19.9%)
Indonesia adalah negara yang berpenghasilan rendah dan negara ketiga
yang memiliki penduduk yang sangat padat (sekitar 250 juta jiwa) di Asia.
Penyebab terbesar kematian anak dibawah umur lima tahun di Indonesia adalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (sekitar 17%). Indonesia sebagai daerah tropis
berpotensi menjadi daerah endemik dari beberapa penyakit infeksi yang setiap
saat dapat menjadi acaman bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis
dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus maupun kematian penderita
akibat penyakit ISPA (Shibata, T. et al, 2014).
Data Dinas Kesehatan Sumsel, tercatat jumlah penderita ISPA di
seluruh wilayah Sumsel mencapai 274.502 orang periode Januari-Juni 2019.
April menjadi masa paling parah dengan jumlah 54.409 penderita, disusul
Maret dengan 54.237 penderita, sebanyak 50.837 penderita pada Februari,
Januari 44.142, Mei dengan 40.459 penderita dan 30.418 penderita pada Juni
dan Kota Palembang menjadi daerah paling tinggi jumlah penderita ISPA
dengan 80.162 orang.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap faktor resiko penyakit
ISPA yaitu faktor lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah pencemaran
udara baik didalam ruangan maupun di luar ruangan serta sanitasi rumah.
Pencemaran udara dalam rumah seperti asap hasil pembakaran bahan bakar
untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi, asap rokok, ventilasi rumah
dan kepadatan hunian. Sedangkan pencemaran di luar ruangan seperti
Pembakaran, transportasi dan hasil pembuangan asap pabrik (Kusnoputranto,
2000).

2
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah adakah hubungannya antara ispa dengan pengaruh hubungan
lingkungan fisik rumah terhadap ispa balita.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. TUJUAN UMUM
Ingin mengetahui kejadian ISPA pada balita dengan faktor pengetahuan
ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan
fisik rumah.

2. TUJUAN KHUSUS
a. Diketahuinya gambaran kejadian ISPA pada balita
b. Diketahuinya pengetahuan ibu balita tentang ISPA
c. Diketahuinya pencemaran udara dalam ruang ( bahan bakar memasak
dan keberadan perokok)
d. Diketahuinya lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan
penghuni)
e. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA
pada balita
f. Diketahuinya hubungan antara karakteristik balita (umur, berat bayi
lahir, status imunisasi, dan status ASI) dengan kejadian ISPA
Diketahuinya hubungan antara karakteristik balita (umur, berat bayi
lahir, status imunisasi, dan status ASI) dengan kejadian ISPA
g. Diketahuinya hubungan antara sumber pencemar udara dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita

3
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Agar penilitian ini tidak melebar terlalu jauh maka penelitian ini akan
berfoukus kepada balita diwilayah kerja puskemas pembina dengan diagnosa
penyakit ispa

E. MANFAAT PENELITIAN
a. Mafaat teoritis

Penelitian dapat memberikan informasi lebih mendalam terkait ispa


khususnya yang sanagat berguna untuk ilmu keperawatan

b. Manfaat praktis

Dapat digunakan untuk penelitian dalam bidang jurnalisme kesehatan

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFENISI
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit saluran
pernafasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom).
Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multifaktorial). Meskipun organ
saluran pernafasan yang terlibat adalah hidung, laring, tenggorok, bronkus,
trakea, dan paru-paru, tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru. Titik
perhatian ini disepakati karena tingginya tingkat mortalitas radang paru-paru
(Widiyono, 2011)
Penyakit ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penyakit menular di dunia. Penyakit ISPA juga penyebab utama kematian
terbesar ketigadi dunia dan pembunuh utama di Negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Kematian akibat penyakit ISPA sepuluh sampai lima puluh kali
di Negara berkembang dari pada Negara maju (Ide dan Onyenegecha, 2015).

B. ETIOLOGI

Depkes (2004) menyatakan penyakit ispa dapat disebabkan oleh


berbagaipenyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya.
Ispa bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ispa bagian bawah
dapat disebabkan oleh bakteri, umumnya mempunyai manifestasi klinis yang
berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.

Bakteri penyebab ispa antara lain adalah genus streptococcus,


stapilococus, pneumococus,haemophyllus, bordetella dan corynobacterium.
Virus penyebab ispa antaralain golongan paramykovirus (termasuk didalamnya
virus influenza, virus parainfluenza dan virus campak), adenovirus,
coronavirus, picornavirus, herpesvirus, dan lain-lain. Di Negara-negara

5
berkembang umumnya kuman penyebab ispa adalah streptococcus pneumonia
dan haemopylus influenza.

C. PATOFISIOLOGI
Perjalanan klinis penyakit ispa dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernapasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran napas bergerak
keatasmendorong virus kearah faring atau dengan suatu tangkapan reflex spasmus
oleh laring. Jika reflex tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan
mukosa saluran pernapasan
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya
batukkering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernapasan menyebabkan
kenaikan aktfitas kelenjar mucus yang banyak terdapat pada dinding saluran napas,
sehingga terjadipengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan
cairan berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk sehingga pada tahap awal
gejala ispa paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernapasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada
saluran pernapasan atas seperti streptococcus menyerang mukosa yang rusak
tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran napas sehingga timbul sesak napas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya
factor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
napas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak.
Virus yang menyerang saluran napas atas dapat menyebar ketempat-tempat
yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa

6
menyebar kesaluran napas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran napas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernapasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat
menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
Penanganan penyalit saluran pernapsan pada anak harus diperhatikan aspek
imunologis saluran napas terutama dalam hal bahwa system imun disaluran napas
yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan system imun sistemik
pada umumnya. System imun sluran napas yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan cirri khas system imun mukosa. Cirri khas
berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran napas bawah,
diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan
integritas mukosa saluran napas.

D. TANDA DAN GEJALA


Ispa merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernapasan atas maupun bawah, yang meli[uti infiltrate peradangan dan edema
mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mucus serta perubahan
struktur fungsi siliare.
Depkes RI membagi tanda dan gejala ISPA menjadi tiga yaitu :

1. Gejala dari ispa ringan


Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Batuk
b. Serak
c. Pilek
d. Panas atau deman bersuhu lebih dari 37 C

7
2. Gejala ispa sedang
a. Pernapasan cepat ( fastbreathing) sesuai umur yaitu: untuk
kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi napas 60 kali per
menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau
lebih padaumur 12 bulan-<5 tahun.
b. Suhu tubuh lebih dari 39C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

3. gejala ispa berat


a. Bibir atau kulit membiru
b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernapas
e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Tenggorokan berwarna merah

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto rontgen leher AP
2. Pemeriksaan laboraturium
3. Pemeriksaan kultur
4. Pemeriksaan kultur

8
F. PENATA LAKSANAAN
1. Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit tersebut
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada yang bersangkutan
orangtua misalkan penderita ISPA pada anak-anak atau balita.
2. Klasifikasi ISPA dalam pencegahan

TEORI SANITASI RUMAH


A. PENGERTIAN RUMAH
Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Menurut
Dinkes (2005), secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi
kriteria yaitu:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan,
ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy yang cukup,
komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah
tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak
berlebihan, dan cukup sinar matahari pagi.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah
yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung
membuat penghuninya jatuh tergelincir.

Menurut Dinkes (2005), rumah sehat adalah proporsi rumah yang


memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari
tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu wilayah kerja

9
pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi kriteria sehat pada
masing masing parameter adalah sebagai berikut :
a. Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit,
dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi,
sarana pembuangan asap dapur, dan pencahayaan.
b. Minimum dari kelompok sarana sanitasi adalah sarana air bersih,
jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan air
limbah (SPAL), dan sarana pembuangan sampah.
c. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik
beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakan
sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan
manusia (Azwar, 1990). Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi,
suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi
bangunan rumah, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
kotoran manusia, dan penyediaan air. Sanitasi rumah sangat erat
kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA.
Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan
tersebarnya ISPA (Azwar, 1990).

Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf


kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan
mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini
dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak
sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan
pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan pemukiman
pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan
penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

10
B. VENTIKASI
Menurut Sukar (1996), ventilasi adalah proses pergantian udara segar
ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara
alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadianya ventilasi dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Luas lubang ventilasi tetap minimal lima persen dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal lima persen dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari
luas lantai ruangan
2. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau
pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.
3. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang
ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai
terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat, dan
lain-lain.
4. Menurut Dinata (2007), secara umum penilaian ventilasi rumah dapat
dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai
rumah, dengan menggunakan rollmeter. Berdasarkan indikator
penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai
rumah.

C. PENCAHAYAAN
Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari
luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1990). Pencahayaan alami

11
menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika besarnya antara 60–120 lux dan buruk
jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang perlu diperhatikan dalam
membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke
dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di
samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan
jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama
menyinarilantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di
tengahtengah tinggi dinding (tembok).

D. KELEMBABAN
kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan
tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama
penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri.
Menurut Suryanto (2003), kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan
buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%. Kelembaban berkaitan erat dengan
ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara
dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah
yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan
jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan
(Krieger dan Higgins, 2002).

E. LANTAI
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai
yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan
bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam
keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah
dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akanlebih baik kalau dilapisi
ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002).

12
F. DINDING
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di
daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan
bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. Rumah
yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan
penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang
langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA,
karena dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman
(Suryanto , 2003).

G. ATAP
Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu dalam rumah.
Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk ke
dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Menurut Suryanto (2003), atap juga berfungsi
sebagai jalan masuknya cahaya alamiah dengan menggunakan genteng kaca.
Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yaitu dengan melubangi genteng,
biasanya dilakukan pada waktu pembuatannya, kemudian lubang pada genteng
ditutup dengan pecahan kaca.

13
KRANGKA TEORI

SANITASI
RUMAH Kejadian
RUMAH 1. Ventilasi
ispa
2. Pencahayan
alami
3. Kelembaban
4. Lantai
Status ekonomi 5. Dinding
6. atap
masyarakat

KRANGKA KONSEP
Variabel bebas
1. Ventilasi
2. Pencahayaan alami
3. Kelembaban Variabel terikat
4. Lantai
Kejadian ispa pada balita
5. Atap
6. Dinding

14
BAB III
METODE PENELITIAN

A. JENIS DAN METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross
sectional yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan
paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit
serentak pada individu-individu dari populasi tunggal, pada suatu saat atau periode
(Murti, 1997).

B. SUBJEK PENELITIAN
Subjek pada penelitian ini adalah seluruh rumah yang di dalamnya terdapat
balita berusia nol sampai lima tahun diwilayah area kerja puskesmas pembina plaju.

C. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Lokasi penelitian ini di diwilayah area kerja puskesmas pembina plaju pada
januari 2020.

D. POPULASI DAN SEMPEL


1. Populasi penelitian ini adalah semua kartu keluarga (KK) yang mempunyai
balita berusia nol sampai lima tahun diwilayah area kerja puskesmas
pembina plaju
2. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian KK yang mempunyai balita
berusia nol sampai lima tahun.

15
a. Besar sampel dapat dihitung dengan rumus Khotari (1990) dalam
Murti (2006) sebagai berikut :

Jadi sampel yang diambil sebanyak 62 responden. Keterangan :


n : Besar sampel
N : Besar populasi
P : Perkiraan proporsi (prevalensi) variabel dependen pada populasi
(95%)
q : 1-p
Z1-α/2 : Statistik Z (Z = 1,96 untuk α = 0,05)
d : Delta presisi absolut atau margin of error yang diinginkan di
kedua sisi proporsi (±5%)

16
b. Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan adalah cluster
random sampling yaitu suatu pencuplikan di mana unit pencuplikan
adalah kelompok (misalnya dukuh atau rumah tangga) bukan
individu dan klaster yang dipilih secara random dari populasi (Murti,
2006).
Karena pencuplikan sampel adalah cluster random sampling
dengan jumlah sampel 62 responden, maka sampel akan dibagi
menjadi 16 klaster. Jumlah klaster diambil dari jumlah rukun warga
(RW) yang masing-masing klaster terdiri dari tiga sampai empat
responden.

c. Kriteria inklusi atau kriteria subjek yang memenuhi syarat sebagai


sampel penelitian ini adalah :
1) Merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan
memiliki rumah diarea kerja puskesmas pembina plaju
2) Memiliki anak usia 0 sampai 5 tahun dalam setiap kk
3) Bersedia menjadi responde

d. Kriteria eksklusi atau kriteria subjek yang tidak memenuhi syarat


sebagai sampel penelitian ini adalah :
1) Bukan merupakan warga yang berdomisili (tinggal menetap) dan
tidak memiliki rumah diarea kerja puskesmas pembina plaju.
2) Tidak memiliki anak usia o sampai 5 tahun
3) Tidak bersedia menjadi responden

17
E. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sanitasi fisik rumah yang
meliputi ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding, dan
atap rumah.
2. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pada balita.

F. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Variabel bebas
a. Ventilasi merupakan lubang angin untuk proses pergantian udara segar
ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup
secara alamiah maupun buatan. Dengan kategori :
1) Baik (>10% dari luas lantai)
2) Tidak baik (<10% dari luas tanah)
Skala : nominal
b. Pencahayaan alami merupakan penerangan rumah secara alami oleh
sinar matahari untuk mengurangi kelembaban dan membunuh bakteri
penyebab ISPA. Dengan kategori :
1) Baik (60-120 lux)
2) Kurang baik (<60 lux/>120 lux)
Skala : nominal
c. Kelembaban merupakan kandungan uap air yang dapat dipengaruhi
oleh sirkulasi udara dalam rumah dan pencahayaan yang masuk dalam
rumah. Dengan kategori :
1) Baik (40%-70%)
2) Kurang baik (<40%/>70%)

18
d. Lantai merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi
sebuah rumah. Dengan kategori :
1) Baik : kedap air dan tidak lembab (kramik dan ubin)
2) Tidak baik : menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah)
Skala : nominal

e. Dinding merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk


mendirikan sebuah rumah. Dengan kategori :
1) Baik : Permanen atau tembok
2) Tidak baik : semi permanen, bambu dan kayu atau papan
Skala : nominal
f. Atap merupakan salah satu bahan bangunan rumah yang berfungsi
untuk melindungi agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah.
Dengan kategori :
1) Baik : Genting dan menggunakan langit-langit
2) Tidak baik : asbes atau seng dan tidak menggunakan langit-langit
Skala : nominal

2. Variabel terikat
Kejadian ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan atas pada balita
usia nol sampai lima tahun yang di tandai dengan batuk pilek, demam, sakit
telinga (otitis media), dan radang tenggorokan (faringitis), yang terjadi pada
saat ini atau enam bulan yang lalu dari bulan juni sampai bulan desember di
Desa daerah silabranti. Dengan kategori :
1) Pernah
2) Tidak pernah
Skala : nominal

19
G. PENGUMPULAN DATA
1. Jenis data
data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang meliputi
ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding, dan atap.

2. Sumber data
a.Data primer
Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung
kepada responden dengan menggunakan pedoman wawancara semi
terstruktur, observasi dan pengukuran dilakukan pada sanitasi fisik
rumah.
b.Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi kesehatan seperti
dinas kesehatan kabupaten atau kota, puskesmas serta kantor kepaladesa
yang meliputi data jumlah kasus, gambaran umum lokasi penelitian dan
data demografi.

3. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan
pengukuran. Wawancara secara langsung ditujukan kepada ibu yang
memiliki balita dengan menggunakan pedoman wawancara semi
terstruktur, observasi dan pengukuran mengenai sanitasi fisik rumah
dilakukan dengan menggunakan peralatan untuk mengukur luas ventilasi,
pencahayaan alami, kelembaban, lantai, dinding, dan atap rumah.

20
4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner,
pedoman observasi, formulir isian pengukuran, rollmeter, luxmeter,
hygrometer atau psychrometer sling, dan alat tulis.
Cara menggunakan luxmeter dalam pengukuran pencahayaan alami
rumah yaitu dengan mengukur pada setiap bagian ruangan yang akan
diukur melalui lima titik pada ruangan yang diukur dan hasilnya dirata-rata.
Cara menggunakan sling psychrometer sling untuk mengukur kelembaban
rumah yaitu dengan memutarkan alat dan mengitari ruangan yang akan
diukur, dan dilakukan sebanyak tiga kali dan hasilnya dirata-rata.

H. Jalannya Penelitian
Peneliti mengadakan survei awal ke Puskesmas pembina untuk meminta
ijin mencari data Desa dengan jumlah kasus ISPA selama 3 tahun terakhir.
Kemudian datang ke kantor Kelurahan silabranti untuk mencari data monografi,
dan datang ke Posyandu pada setiap dusun untuk mencari data jumlah KK yang
mempunyai balita. Penelitian dilakukan dengan mengadakan observasi langsung
pada lantai, dinding dan atap rumah, sedangkan pengukuran langsung pada
ventilasi, pencahayaan alami dan kelembaban rumah.

I.Pengolahan Data
Menurut Budiarto (2001), kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi
editing, coding, entry, dan tabulating data.
1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban, konsistensi
maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.
2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses pengolahan
data.
3. Entry, memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.

21
4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti
guna memudahkan analisis data.

J. Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan program SPSS 11.
Analisis data meliputi :
1. Analisis univariat
Analisis univariat (analisis persentase) dilakukan untuk
menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel
bebas(independen), variabel terikat (dependen) maupun deskripsi karakteristik
responden.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square dengan
rumus :

Keterangan :
x² : chi square
O : frekuensi observasi
E : frekuensi
harapan Menurut Budiarto (2001), dasar pengambilan keputusan
penerimaan hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95%:
a.Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
b.Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

22

Anda mungkin juga menyukai