Anda di halaman 1dari 8

Nilai-Nilai Pancasila Di Era Globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang
memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar
kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup
bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan
manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Menyadari
bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata
dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya
oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan
dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
Rumusan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
Apakah nilai-nilai pancasila masih ada di era globalisasi ini?
Bagaimana pancasila di era globalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh nilai-nilai
dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal
berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat,
mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini merupakan ancaman
bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu
mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti
pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah
menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya
sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi
menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang serakah dan selalu ingin
mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa
mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan
menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari norma Pancasila. Dari situlah
awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat
internal seperti yang diatas, ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘
melunturkan ‘ nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam internet
terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita adalah seorang akademisi,
akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita
dari pengaruh buruk internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena
kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada akhirnya
masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga diri kita dari ancaman lunturnya
nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang
menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan
umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan
umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan amanat bagi
bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, guna memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah
sumber daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan
kesejahteraan umum yang terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan
mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia dari
segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik dan keamanan
nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk
gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat
harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban
dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial
dapat terwujud.
Hilangnya manusia yang ber-“ Ketuhanan Yang Maha Esa “
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu kebenaran yang
harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu ‘ batas ‘ dan ‘ pengingat ‘ saat
melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan betapa rusaknya
moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah
sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme ) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi para elite-elite
politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti jajaran
wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para
pelaku KKN tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai
keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai perbandingan, kita bisa
melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu masyarakat Indonesia bisa dengan tenang
beragama selama apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu saat
penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, tidak banyak
perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini
membuktikan bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi sekarang, nilai-nilai
dari Pancasila semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya
globalisasi yang hari demi hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja,
makin banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme yang
suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar bagian
tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan kita kepada
suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara langsung
atau tidak langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir
masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi tersebut. Efek buruk dari
contoh diatas terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja
dengan rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai Narkoba di Indonesia yang
didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan pelaku
merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan peningkatan mutu kehidupan
siapapun yang menggunakan kemajuan teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula
yang bisa membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya lupa akan
jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu sebagai mahluk yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Langka hnya “ Kemanusiaan yang adil dan beradab “
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut:
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
Saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam kehidupan
bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki tingkat
kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah bangsa yang
unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan masyarakatnya tetap
terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan
ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan lantas
nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan ? Atau ingatkah pembaca tentang
kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang menamai dirinya sebagai “
Dewan Perwakilan Rakyat “ saat berlangsungnya Sidang Paripurna terlibat aksi baku-hantam
antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota
dewan saat acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari
bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-
fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidak adilan hukum
yang berlaku di Indonesia yang seperti ‘ Pisau ‘ tajam kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini
terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan trilyunan uang
rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo
Widjojo , yakni seorang makelar kasus
yang telah terbukti melakukan percobaan penyuapan terhadap sejumlah petinggi KPK namun ia
masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum dan sama sekali tidak diproses hukum sebagai
tersangka dengan jalan kabur ke Singapura.
Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama Minah yang secara
terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan
oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5
tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan. Berbeda dengan Mbah Minah yang hanya bisa
pasrah menjalani proses hukum karena tuntutan perusahaan tempat dia memetik kakau, Anggodo
dengan kekuatan uang dan kemampuan melobby pihak yang berwajib mampu membeli harga diri
pejabat negara serta menawar proses hukum.
Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila kedua belum sepenuhnya
terlaksana.
Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih dari
17.560 pulau. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi
sebelumnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib
pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun,
sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat contohnya di pulau Papua. Papua
adalah pulau yang memiliki berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah
seakan menutup mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah
justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk menjual
berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini
bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “ Persatuan Indonesia “ karena masyarakat lokal
merasa di “ anak tirikan “ oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi
separatisme bernama OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi
separatisme bernama RMS ( Republik Maluku Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM
( Gerakan Aceh Merdeka ), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk
berdamai berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan separatisme
dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan
dari masyarakat yang merasa “ dilupakan “ oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti
ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya.
Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi
separatisme mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik
Indonesia, inilah salah satu bukti dari Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan? Apakah
pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi hanya
untuk daerah perkotaan? Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia, rela
berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis kemiskinan sekaligus mengakui
bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak acuh,
maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun kemudian akan banyak organisasi-organisasi
separatisme akan bermunculan di berbagai daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk
melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
dan perwakilan “
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari seorang
pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang keberhasilannya dalam
memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila pemimpin semacam ini
mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Indonesia yang sejak
merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak enam kali dimana
presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam dua periode
kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar dipimpin oleh hikmat
kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan ? .
Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin Indonesia bisa
dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat.
Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan para elite politik dimana
kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit memihak rakyat. Sebagai contoh,
masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan
bakar di awal bulan April kemarin ? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik
tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan
yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang
cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat,
dengan asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi
anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu
tindakan yang menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang
lebih menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil
keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang dipakai
para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu keputusan, mereka lebih
menyukai cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan
yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung
dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih
dalam dari nilai Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam
menyatukan suara dan memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil
musyawarah tidak akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode
ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang merasa tersakiti saat hasil
musyawarah ditetapkan.
Mimpi Indonesia tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari berbagai macam
indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh
Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang dikeluarkan
pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang masih hidup dibawah
garus kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia
seperti melihat jarak atau gap
yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya
berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya.
Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas
baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi
atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai
dengan bunyi dari sila kelima yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Jika
kita melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas
ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh
pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota
seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar
daerah banyak terjadi, hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.
Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana
segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai
terdesak, kepercayaan kepada Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-larangan dan perintah-
perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama,
maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat
pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan
peraturanya. Namun pada umumnya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari
dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu,
atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan
berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Sedangkan apabila dalam
masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang
kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama.
Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan
sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat
menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan.
Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral
orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-
pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun
masyarakat. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih
kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana
yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak
berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk
menumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral
pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang
baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Seperti halnya rumah tangga, sekolah pun dapat
mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Dengan kata lain, sekolah
merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta
segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian
itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak
akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil
peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki
dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan
masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya
kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutkan diatas, karena
tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga
lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi
pembinaan moral.
Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya karena budaya materialistis,
hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar
tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-
obat, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-benda tajam. Semua
alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gejala
penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi,
kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak
bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan
melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan
dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal
yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja,
tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian
diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan
generasi muda umumnya.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang
diketahui memiliki kekuasaan ( power ), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya
tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan
moral bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit
penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-
cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-
tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, materi dan sebagainya dengan cara-
cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa.
Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan
pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehilangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit
penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan.
Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan
untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh
dan berkesinambungan.
Antisipasi
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam
negeri.
Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-
benarnya dan seadil- adilnya.
Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh
globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa dan lunturnya nilai-nilai
Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak akan
kehilangan kepribadian bangsa sebagai Bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
. KESIMPULAN
Peran Pancasila sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Karena Pancasila merupakan
sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari luar,
sebagai sistem syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat
membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus
menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem dan pandangan hidup yang merupakan
konsensus dasar dari berbagai komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial,
toleransi, dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk. Pancasila seharusnya
dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi bermacam identitas yang ditawarkan dari luar.
Tetapi sangat disayangkan jika wacana Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat
berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk dimunculkan
kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya agar terus berdialektika dalam jaman
yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita telaah secara analitis.
Saran – Saran
Perlu ditanamkannya nilai – nilai dalam Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Agar kita
mampu memfilterisasi arus globalisasi yang ada. Sesuaikah dengan nilai–nilai Pancasila?
Pancasila dapat berperan dalam era globalisasi apabila dari diri masing–masing sudah tertanam
nilai–nilai luhur Pancasila. Tentu akan percuma peran Pancasila dalam era globalisasi ini, apabila
dalam diri sendiri tidak mempunyai kesadaran akan pentingnya nilai–nilai Pancasila dalam
kehidupan.
Sebagai warga Negara Indonesia kita wajib menghargai segala nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila, mengingat pancasila adalah falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersatu
dan berdaulat.

Anda mungkin juga menyukai