Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat
degan judul “Terapi Cairan dan Transfusi Darah”.

Penulisan refarat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Anestesi, Fakultas Kedokteran Universitas Batam.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada


pembimbing, yakni dr. Syahmaidin Purba, Sp.An yang telah meluangkan waktu
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan refarat ini tepat pada
waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan refarat ini masih jauh dalam kata
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sebagai koreksi dalam penulisan refarat selanjutnya semoga refarat ini
bermanfaat. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Binjai, Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

LATAR BELAKANG .......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3

ANATOMI CAIRAN TUBUH ............................................................ 3

PROSES PERGERAKAN CAIRAN ................................................... 5

KEBUTUHAN CAIRAN ..................................................................... 7

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN


CAIRAN ............................................................................................... 7

PERUBAHAN CAIRAN ..................................................................... 8

MACAM-MACAM CAIRAN YANG DIGUNAKAN DALAM


TERAPI CAIRAN .............................................................................. 11

TERAPI CAIRAN .............................................................................. 15

RESUSITASI CAIRAN ..................................................................... 16

TRANSFUSI DARAH ....................................................................... 18

BAB III PENUTUP .................................................................................... 28

KESIMPULAN .................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tubuh mengandung 60% air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan
tubuh ini didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang penting peranannya
dalam metabolisme sel, sehingga sangat penting dalam menunjang
kehidupan. Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan
selama pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Maka
terapi cairan amat diperlukan untuk pemeliharaan dan mencegah kehilangan
cairan terlalu banyak yang bisa membahayakan. Terapi dinilai berhasil
apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal
nafas.
Zat-zat yang terkandung dalam cairan tubuh antara lain adalah air,
elektrolit, trace element, vitamin, dan nutrien-nutrien lain seperti protein,
karbohidrat, dan lemak. Dengan makan dan minum maka tubuh kita akan
tercukupi akan kebutuhan nutrien-nutrien tersebut. Air dan elektrolit yang
masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan dalam waktu 24 jam melalui urin,
feses, keringat, dan pernafasan. Tubuh kita memiliki kemampuan untuk
mempertahankan atau memelihara keseimbangan ini yang dikenal dengan
homeostasis.

Selain terapi cairan, transfusi darah juga dibutuhkan untuk menangani


pasien anemia berat, pasien dengan kelainan darah bawaan, pasien yang
mengalami kecederaan parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan
bedah operatif dan pasien yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit
lainnya yang mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah
atau komponen darah sebagaimana mestinya. Tanpa darah yang cukup,
seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan bahkan kematian. Oleh
karena itu, transfusi darah yang diberikan kepada pasien yang

1
membutuhkannya sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa.

Keputusan melakukan transfusi harus selalu berdasarkan penilaian


yang tepat dari segi klinis penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Seseorang membutuhkan darah bila jumlah sel komponen darahnya tidak
mencukupi untuk menjalankan fungsinya secara normal. Indikasi transfusi
darah secara umum adalah bila kadar Hb menunjukkan kurang dari 7 g/dl
(Hb normal pada pria adalah 14-18 g/dl sedangkan pada perempuan adalah
12-16 g/dl).
Transfusi darah terbagi atas 5 yaitu whole blood, sel darah merah,
trombosit, plasma beku, granulosit, melakukan transfusi darah harus
disesuaikan dengan golongan darah pendonor dan resipien. Transfusi darah
dari golongan yang tidak sesuai dapat menyebabkan reaksi transfusi
imunologis yang berakibat gagal ginjal, syok, dan kematian.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Cairan Tubuh


1. Total Body Water (TBW)
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari
berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi
bergantung beberapa faktor diantaranya:
a. TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan.
Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah
jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya
mengandung sedikit air.
b. TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa
pada umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang
umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak.
c. TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan
d. Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan
menurunjkan jumlah kandungan total air tubuh.
TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler
(CIS) dan cairan ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada gambar :

3
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam
keadaan stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi
melalui mekanisme pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak
membutuhkan energi sebagaimana transport aktif.
Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES),
yaitu seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari cairan
ekstrasluler adalah cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat
cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler.
Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan
dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran kapiler. Celah ini
bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam
cairan ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus
bercampur, sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang
sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada
plasma.
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh
terpisah dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu
berarti dalam keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa
keadaan dimana terjadi pengeluaran jumlah cairan transeluler secara
berlebihan maka akan tetap mempengaruhi keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk cairan transseluler yaitu :Cairan
serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan intra okular, cairan
gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan pericardial.

4
2. Komposisi Cairan Tubuh
Secara garis besar, komposisi cairan tubuh yang utama dalam
plasma, interstitial dan intraseluler ditunjukkan pada tabel berikut :

B. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transport pasif dan aktif. Mekanisme transport pasif tidak
membutuhkan energi sedangkan mekanisme transport aktif membutuhkan
energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transport pasif. Sedangkan
mekanisme transport aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP.

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung


secara :

1. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif dari larutan berkadar lebih rendah
menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun

5
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein. Tekanan osmotik plasma
darah ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira
sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-laktat), lebih
rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik.
2. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan


bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.
Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi
melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan
konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

3. Pompa Natrium Kalium

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa


ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan
memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium
kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau
diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi
elektrolit di dalam dan di luar sel berbeda. Cairan intraselular banyak
mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan ekstraselular banyak
mengandung ion Na dan ion Cl.

Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau


miliosmol/liter. Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya
partikel yang larut dam suatu larutan. Dengan kata lain, makin banyak
partikel yang larut maka makin tinggi tekanan osmotik yang ditimbulkannya.
Jadi, tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya pertikel yang larut bukan
tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding yang bersifat
semipermeabel.

6
C. Kebutuhan Cairan
Bayi dan anak:
Pada bayi dan anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :
Berat badan Kebutuhan air perhari
Sampai 10 kg 100 ml/kgBB
11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB (untuk tiap kg
diatas 10 kg)
> 20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB (untuk tiap kg
diatas 10 kg)
Kebutuhan kalium 2,5 mEq/kgBB/hari
Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari
Orang dewasa:
Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :
1. Kebutuhan air sebanyak 30 - 50 ml/kgBB/hari
2. Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari
3. Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari
D. Faktor yang Memperngaruhi Kebutuhan Cairan
Yang menyebabkan adanya suatu peningkatan terhadap kebutuhan cairan
harian diantaranya :
1. Demam ( kebutuhan meningkat 12% setiap 1 0C, jika suhu > 37 0C )
2. Hiperventilasi
3. Suhu lingkungan yang tinggi
4. Aktivitas yang ekstrim / berlebihan
5. Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria

Yang menyebabkan adanya penurunan terhadap kebutuhan cairan harian


diantaranya yaitu :
1. Hipotermi ( kebutuhannya menurun 12% setiap 1 0C, jika suhu < 37 0C )
2. Kelembaban lingkungan yang sangat tinggi
3. Oliguria atau anuria
4. Hampir tidak ada aktivitas

7
5. Retensi cairan misal gagal jantung
E. Perubahan Cairan Tubuh

Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :
1. Volume
2. Konsentrasidan
3. Komposisi
Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu
dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian,
dapat juga terjadi secara terpisah atau sendiri yang dapat member gejala-
gejala tersendiri pula. Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah
gangguan volume.

1. Perubahan Volume

a. Kekurangan Volume/Dehidrasi

Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan


menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan
jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat, lebih dapat
ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar


konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150
mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (.150
mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau
hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.

Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan


cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah.
Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam
kompartemen intravascular maupun kompartemen ekstravaskular.3

8
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah
(kehilangan cairan hipertonis). Sedangkan dehidrasi hipertonis
(hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan
natrium lebih sedikit dari darah.3

Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang


hilang, maka dehidrasi dapat dibagi atas :

Dehidrasi Dewasa Anak


Ringan 4% 4%-5%
Sedang 6% 5 % - 10 %
Berat 8% 10 % - 15 %
Syok 15 % - 20 % 15 % - 20 %

Rumus Perhitungan Dehidrasi :

9
Dehidrasi berdasarkan tanda dan gejala :

Penilaian A B C
Keadaan Umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai, tidak
sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung dan
kering
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum biasa, Haus, ingin minum Malas, minum atau
tidak haus banyak tidak bisa minum
Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat
lambat
Hasil Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan / Dehidrasi berat /
pemeriksaan dehidrasi sedan syok

b. Kelebihan Volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu


kondisi akibat iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl
yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian
cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun
dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan GFR), sirosis,
ataupun gagal jantung kongestif.

2. Perubahan Konsentrasi
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau
hiponatremia maupun hiperkalemia atau hipokalemia.
Rumus untuk menghitung defisit elektrolit :3,4
a. Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na serum
sekarang) x 0,6 x BB (kg)
b. Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter]
– K serum yang diukur) x 0,25 x BB (kg)

10
c. Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter]
– Cl serum yang diukur) x 0,45 x BB (kg).

3. Perubahan Komposisi
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa
mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya
kenaikan konsentrasi K dalam darah dari 4 mEq menjadi 8 mEq, tidak
akan mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi sudah cukup
mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya dengan gangguan ion
kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8
mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak
menimbulkan perubahan osmolaritas.

F. Macam-macam Cairan yang Dapat Digunakan dalam Terapi Cairan

1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia
dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di
ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid
akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan
luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian lain
menunjukkan pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan
timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.

11
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid
akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan
koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di
ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid
yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak
hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler.
Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami
metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang
sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic
acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan

klorida.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma substitute´ atau plasma expander´. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak
lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu
koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita dengan
hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka

12
bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan
gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia
(5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau
plasenta 60° C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hageman‟s factor fragments) seringkali
terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin.
Oleh sebab itu pemberian infuse dengan fraksi protein plasma
seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid Sintesis yaitu:
1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000
dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-
70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostocmesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70
merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan
dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki
aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai
efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan
fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran
melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cro match,
waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat
dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih
dahulu.

13
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ±
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan
tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini
pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan
koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip
Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam.
Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar
dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi
maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan
pada penderita gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan
berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen
binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
1. Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
2. Urea linked gelatin
3. Oxypoly gelatin, merupakan plasma expanders dan banyak
digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari
golongan urea linked gelatin

14
G. Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;
1. Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga
seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk
ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi
jaringan.
2. Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :


1. Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL,
dan feses
2. Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :
1. Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
2. Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
3. Cairan pengganti ( replacement )
a. Sekuestrasi ( cairan third space )
b. Pengganti darah yang hilang
c. Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan
drainase

15
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan penghitungan
untuk menghitung berapa besarnya cairan yang hilang tersebut :

1. Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml
Ket. BD plasma = 0,001
2. Dari serum Na+
Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )
Ket. Plasma Na = 140
3. Dari Hct

Defisit plasma (ml) = vol.darah normal –

H. Resusitasi Cairan
Target resusitasi adalah meningkatkan pasokan oksigen (DO 2) agar dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi oksigen (VO2). Cairan resusitasi pada pasien
dehidrasi tergantung dari jenis dehidrasi.
Rumus cairan resusitasi : derajat dehidrasi x kgBB
Teknik pemberian cairan :
1. 50 % total cairan diberikan 8 jam pertama. Sisanya 50 % dari total cairan
diberikan 16 jam berikutnya.
2. Agar gangguan hemodinamik cepat teratasi maka 1 jam pertama
diberikan 20 ml/kgBB.
Cairan resusitasi dikatakan berhasi bila :
1. MAP (Mean Arterial Preassure : ≥ 65 mmHg
2. CVP (Central Venous Preassure : 8-12 mmHg
3. Urine Output : ≥ 0,5 mL/kgBB/jam
4. Oxygen Saturation : ≥ 70%
5. Status mental normal
Protokol resusitasi cairan :
1. Metode early goal directed

16
Langkah awal protokol tersebut adalah pemberian bolus kristaloid
sebanyak 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral
(central venous pressure =CVP) 8-12 mmHg. Selanjutnya, bila mean
arterial pressure kurang dari 65 mmHg, protokol menganjurkan
pemberian vasopresor untuk mempertahankan tekanan minimal 65
mmHg. Jika mean arterial pressure lebih dari 90 mmHg, protokol
menganjurkan pemberian vasodilator. Pemberian cairan resusitasi hingga
nilai CVP tertentu, dikenal dengan metode statis. Kelemahan metode ini
adalah menggunakan nilai baku yang sama untuk semua orang.
2. Teknik fluid challenge
Metode dinamis yang kemudian di kenal dengan rule of Weil atau
perasat 5-2. Metode ini mempertimbangkan status preload pada kurva
Frank Starling yang ditentukan oleh compliance jantung. Compliance
adalah ukuran distensibilitas stuktur sferis yang ditetukan oleh perubahan
volume untuk setiap perubahan tekanan (pressure). Berdasarkan
pemikiran ini, maka peningkatan nilai CVP yang tinggi secara mendadak,
menandakan penurunan compliance jantung, atau kurva Frank-Starling
telah sampai pada daerah preload independence. Perasat Weil
menganjurkan pemberian cairan resusitasi yang dipandu nilai CVP.
Apabila CVP kurang atau sama dengan 8 cm H2O maka cairan resusitasi
diberikan 200 ml melalui vena perifer, dalam waktu 10 menit (Tabel 3).
Jika CVP lebih dari 8 cm H2O, tetapi kurang dari 14 cm H2O maka
cairan resusitasi diberikan 100 ml dalam waktu 10 menit. Jika CVP sama
atau lebih besar dari 14 cm H2O, cairan resusitasi diberikan 50 ml dalam
waktu 10 menit. Namun, apabila selama pemberian cairan resusitasi, nilai
CVP meningkat lebih dari 5 cm H2O, pemberian cairan harus dihentikan.
Jika setelah pemberian cairan resusitasi CVP meningkat lebih dari 5 cm
H2O pemberian cairan tidak dilanjutkan, sedangkan bila kurang dari 2
cm H2O, pemberian cairan diulangi dari langkah awal. Apabila CVP
meningkat kurang dari 5 cm H2O tetapi lebih dari 2 cm H2O dari nilai
awal, pasien dipantau selama 10 menit; tetapi jika setelah pemantauan

17
nilai CVP tetap lebih dari 2 cm H2O, pemberian cairan resusitasi
dihentikan. Pada keadaan CVP turun kembali hingga 2 cm H2O atau
lebih rendah, pemberian cairan diulangi dari awal hingga tanda syok
teratasi. Penyesuaian jumlah cairan terhadap kenaikan CVP bertujuan
untuk mencegah pemberian cairan berlebihan di luar kemampuan
jantung.

I. Transfusi Darah
1. Definisi
Transfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah
dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan
mengganti darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar, mengatasi
shock dan mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi
2. Golongan Darah

Seorang yang mengalami kekurangan darah dapat diberi


tambahan darah dari orang lain. Ada beberapa macam penggolongan
darah yaitu sistem ABO, sistem Rh, atau sistem MN. Berdasarkan

sistem ABO, darah manusia dikelompokkan manjadi empat macam


golongan darah. Penggolongan ini berdasarkan senyawa Aglutinogen
dan Aglutinin dalam darah. Aglutinogen merupakan senyawa protein
darah yang terdapat pada sel-sel darah merah dan berfungsi sebagai
antigen. Ada 2 macam aglutinogen, yaitu aglutinogen A dan
aglutinogen B. Aglutinin adalah suatu protein yang terdapat dalam
plasma darah. Berfungsi antibody.

18
Dalam sistem ABO, berdasarkan senyawa aglutinogen dan
aglutinin dalam darah, darah dapat dikelompokkan menjadi:
1. Golongan darah A, yaitu darah yang memiliki aglutinogen A dan
agluitinin β (anti B)
2. Golongan darah B, yaitu darah yang memiliki aglutinogen B
dan agluitinin α (anti A)
3. Golongan darah AB, yaitu darah yang memiliki aglutinogen A
dan B, tetapi tidak mempunyai aglutinin α dan β.
4. Golongan darah O, yaitu darah yang tidak memiliki aglutinogen A
dan B, tetapi memiliki aglutinin α dan β.
Kecocokan golongan darah :
Gol.darah Donor harus
Golongan darah manapun
resipien
AB+ O+ A+ B+ AB+
AB- O- A- B- AB-
A+ O- O+ A- A+
A- O- A- X X
B+ O- O+ B- B+
B- O- B- X X
O+ O- O+ X X
O- O- X X X

3. Indikasi
Transfusi darah umumnya >50 % diberikan pada saat
perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan
oksigen dan volume intravaskuler.
Indikasi :
1. Perdarahan akut sampai Hb <8 gr% atau Ht <30 %, pada orang tua
kelainan paru, kelainan jantung Hb <10 g%
2. Bedah mayor, kehilangan darah >20% volume darah.

19
4. Indikasi Khusus Transfusi Darah
a. Transfusi Darah Gawat Darurat
Dalam situasi gawat darurat yang tidak memungkinan untuk
melakukan tes pada sampel darah transfusi, PRC golongan O resus
negatif dapat diberikan pada pasien, dengan ketentuan tidak ada
riwayat transfusi sebelumnya. Alasannya adalah pada golongan
darah O resus negatif memiliki volume plasma yang lebih sedikit
dan hampir tidak mengandung antibodi anti-A dan anti-B. Dalam
kondisi tersebut, seorang dokter harus membuat lembar
pertanggungjawaban mengenai indikasi pemberian transfusi darah
tanpa dilakukan pemeriksaan sampel darah sebagai tindakan live
saving.
b. Transfusi Darah Masif
Transfusi masif didefinisikan sebagai prosedur pemberian
transfusi yang melebihi volume darah pasien atau sebanyak 10 unit
darah dalam 24 jam. Atau transfusi yang melebihi 50% volume
sirkulasi dalam waktu kurang dari 3 jam atau transfusi dengan laju
150mL/menit. Tindakan ini dilakukan bila terjadi perdarahan akut
pada pasien bedah akibat defisiensi faktor pembekuan multiple dan
trombositopenia. Pada pasien dengan kondisi tersebut dapat
diberikan faktor pembekuan V dan VIII untuk memperbaiki kondisi
klinis.
c. Pemberian Transfusi Darah Pasca Bedah
Kehilangan darah dan hipovolemia dapat terjadi pada periode
pasca operasi. Pencegahan, deteksi dini dan perawatannya sangat
penting untuk kesehatan pasien dan mungkin mengurangi
kebutuhan akan transfusi. Perhatian khusus harus diberikan pada
pasien dengan hipoksia pasca operasi, pemantauan tanda vital,
keseimbangan cairan dan analgesia. Plasma intraoperatif yang lebih
tinggi terhadap rasio transfusi sel darah merah dikaitkan dengan
kebutuhan plasma dan sel darah merah yang lebih sedikit dalam 24

20
jam pertama setelah operasi.
Anemia umum terjadi setelah operasi. Strategi untuk
membatasi perkembangan anemia salah satunya dengan pemberian
transfusi darah. Pemberian transfusi pasca bedah dianjurkan
diberikan setelah pasien sadar, untuk mengetahui sedini mungkin
reaksi transfusi yang mungkin timbul. Pada periode paska bedah,
terutama pasien yang sudah atau sedang memperoleh transfusi
darah, segera lakukan evaluasi status hematologi dan pemeriksaan
faal hemostasis untuk mengetahui sedini mungkin setiap kelainan
yang terjadi. Tujuan pemberian transfusi darah pasca bedah yaitu
untuk mengoreksi komponen darah yang belum terpenuhi selama
operasi, dan mengisi volume sirkulasi.
Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb masih >10 gr/dL.
Transfusi PRC dengan strategi restriktif diindikasikan bila kadar
Hb <7 gr/dL atau hematokrit <21% dan dipertahankan pada rentang
7-9 gr/dL.

21
Klasifikasi perdarahan menurut American College of Surgeon.

5. Tujuan Transfusi Darah pada Penderita Secara Umum


- Memperbaiki kemampuan pengangkutan oksigen (oxygen carryng).
- Mengembalikan volume cairan darah yang hilang.
- Memperbaiki faal bekuan darah.
- Memperbaiki kemampuan fagositosis dan menambah sejumlah
protein darah
6. Jenis-jenis Transfusi Darah
a. Darah Lengkap (Whole Blood) segar (< 48 jam), baru (< 6 hari)
dan biasa (35 hari).

Darah yang diambil langsung dari donor yang disebut whole


blood bercampur dengan antikoagulan yang sudah tersedia dalam

22
kantong darah. Darah lengkap mempunyai komponen utama yaitu
eritrosit, trombosit dan faktor pembekuan labil (V, VIII). Satu unit
kantong darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml antikoagulan.
Di Indonesia, 1 kantong darah lengkap berisi 250 ml darah dengan
37 ml antikoagulan, ada juga yang 1 unit kantong berisi 350 ml
darah dengan antikoagulan. Suhu simpan antara 2-4ºC. Satu unit
darah (250-450 ml) dengan antikoagulan sebanyak 15 ml/100 ml
darah .

 Tujuan transfusi whole blood

Whole blood berguna untuk meningkatkan jumlah eritrosit dan


plasma secara bersamaan. Dilakukannya transfusi whole blood
harus melalui uji cocok serasi mayor dan minor antara darah donor
dan pasien. Indikasi pemberian whole blood yaitu untuk

perdarahan akut, syok hipovolemik, bedah mayor perdarahan


>1500 mL. Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan volume plasma dalam waktu yang bersamaan,
misalnya pada pendarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari
25-30% volume darah total. Kontra indikasi Whole blood yaitu
pada pasien anemia kronis normovolemik atau pada pasien yang
hanya membutuhkan sel darah merah saja.
WB = 6 X (BB (Kg) X ∆Hb)

Keterangan: ΔHB = Selisih Hb yang diinginkan dengan Hb


sebelum transfusi

BB = Berat badan

b. Sel Darah Merah (Packed Red Cell)

Packed Red Cell (PRC) adalah suatu konsentrat eritrosit yang


berasal dari sentrifugasi whole blood, disimpan selama 42 hari dalam

23
larutan tambahan sebanyak 100 ml yang berisi salin, adenin,
glukosa, dengan atau tanpa manitol untuk mengurangi hemolisis
eritrosit.

PRC merupakan pilihan utama untuk anemia kronik karena


volumenya yang lebih kecil dibandingkan dengan whole blood.
Setiap unit PRC mempunyai volume kira-kira 128-240ml,
tergantung volume kadar hemoglobin donor dan proses separasi
komponen awal. Volume darah diperkirakan mengandung plasma
50ml atau antara 20-150 ml.
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan hemoglobin
klien tanpa menaikkan volume darah secara nyata. Keuntungan
menggunakan PRC dibandingkan dengan WB adalah kenaikan Hb
dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan, mengurangi
kemungkinan penularan penyakit dan reaksi imunologis, volume
darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan overload
berkurang serta komponen darah lainnya dapat diberikan kepada
klien yang lain.
PRC digunakan pada pasien anemia yang tidak disertai
penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia
hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukimia
kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis.
Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7 g/dl,
terutama pada anemia akut.
Jumlah PRC yang diperlukan untuk menaikkan Hb dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah PRC = ΔHb x 3 x BB


Keterangan: ΔHB = Selisih Hb yang diinginkan dengan Hb
sebelum transfusi

BB = Berat badan

24
c. Trombosit
Trombosit dibuat dari konsentrat whole blood (buffy coat), dan
diberikan pada pasien dengan perdarahan karena trombositopenia.
Produk trombosit harus disimpan dalam kondisi spesifik untuk
menjamin penyembuhan dan fungsi optimal setelah transfusi. Satu
unit trombosit yang diperoleh mengandung 50–70 mL plasma,
disimpan dalam suhu 20-24°C selama 5 hari.
Profilaksis transfusi trombosit juga ditunjukkan pada pasien
dengan jumlah trombosit di bawah 10.000-20.000×109/L karena
peningkatan risiko perdarahan spontan. Jumlah trombosit kurang
dari 50.000×109/L dikaitkan dengan peningkatan kehilangan darah
selama operasi. Pemberian satu unit trombosit diharapkan
meningkatkan jumlah trombosit sebesar 5000-10.000×109/L.

Trombosit = ΔHb x 0,5 x BB


d. Plasma Beku (Fresh Frozen Plasma)
Fresh Frozen Plasma (FFP) adalah plasma segar yang
dibekukan dalam waktu 8 jam dan disimpan pada suhu minimal -
20°C dapat bertahan 1 tahun, yang berisi semua faktor koagulasi
kecuali trombosit. FFP diberikan untuk mengatasi kekurangan
faktor koagulasi yang masih belum jelas dan defisiensi anti-
thrombin III. FFP berisi plasma, semua faktor pembekuan stabil dan
labil, komplemen dari protein plasma. Volume sekitar 200 sampai
250 ml. Setiap unit FFP biasanya dapat menaikkan masing-masing
kadar faktor pembekuan sebesar 2-3% pada orang dewasa, dosis
inisial adalah 10-15 ml/kg.

FFP = ΔHb x 10 x BB

e. Granulosit
Transfusi granulosit dapat ditunjukkan pada pasien neutropenik

25
dengan infeksi bakteri yang tidak merespons antibiotik. Transfusi
granulosit memiliki masa hidup yang pendek pada sirkulasi
resipien. Ketersediaan faktor penggabungan koloni granulocyte (G-
CSF) dan faktor timulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF)
telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.
Indikasi transfusi konsentrat leukosit/granulosit :
a. Penderita neutropenia dengan febris tinggi yang gagal
dengan antibiotik
b. Aplastik anemia dengan leukosit kurang dari 2000/ml dan
penyakit-penyakit keganasan lainnya
Kapan saat yang tepat untuk pemberian transfusi granulosit
masih belum pasti. Umumnya pada klinis menganjurkan pemberian
transfusi granulosit pada penderita neutropenia dengan panas yang
tinggi dan gagal diobati dengan antibiotik yang adekuat lebih dari 48
jam. Efek pemberian transfusi granulosit tampak dari penurunan
suhu badan penderita dan bukan dari hitung leukosit penderita,
penurunan suhu badan penderita terjadi pada 1-2 jam setelah
transfusi.
7. Komplikasi
a) Reaksi hemolitik
a. Pada pasien sadar : demam, mengigil, nyeri dada-panggul, dan
mual.
b. Pada pasien dalam anestesia : demam, takikardi tak jelas
asalnya, hipotensi, perdarahan merembes ke daerah operasi,
syok, spasme bronkus  Hb uria, ikterus, dan „Renal shut
down‟
b) Reaksi transfusi non hemolitik
- Reaksi transfusi “febrile” Tanda: Menggigil, panas, nyeri
kepala, nyeri otot, mual, batuk non produktif.
- Reaksi alergi
 “Anaphylactoid”

26
Bila terdapat protein asing pada darah transfusi.
 Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-
gatal. Biasanya muka penderita sembab.
Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi
harus dihentikan.
c) Infeksi
- Virus (Hepatitis, HIV-AIDS, CMV)
- Bakteri (stafilokokus, yesteria, citrobakter)
- Parasit (malaria)
d) Lain-lain : urtikaria, anafilaksis, edema paru non-kardial, purpura,
intoksikasi sitrat, hiperkalemia, asidosis
Penanggulangan Transfusi darah :
- Stop transfuse
- Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid, jika perlu
tambah vasokonstriksor, inotropik
- Berikan O2 100 %
- Diuretika manitol 50 mg atau furosemid (lasix) 10-20 mg
- Antihistamin
- Steroid dosis tinggi
- Jika perlu „exchanged transfusion‟
- Periksa analisis gas darah dan pH darah.

27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tubuh mengandung 60% air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan
tubuh ini didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang penting peranannya
dalam metabolisme sel. Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit
merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari
faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif. Cairan yang dapat
digunakan yaitu kristaloid, koloid dan darah.
Resusitasi cairan merupakan bagian dari tata laksana hemodinamik yang
bertujuan untuk mencukupi kebutuhan oksigen. Keberhasilan resusitasi cairan
amat tergantung pada kinerja jantung.
Transfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah dari
seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan
mengganti darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar, mengatasi shock
dan mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Transfusi darah bertujuan memelihara dan mempertahankan kesehatan
donor, memelihara keadaan biologis darah atau komponen-komponennya
agar tetap bermanfaat, memelihara dan mempertahankan volume darah yang
normal pada peredaran darah, mengganti kekurangan komponen seluler atau
kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi
hemostatis.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United


Kingdom : Churchill Livingstone. 2007.
2. Anindita, k., Cahyadi, A. 2011. Komponen Darah dan Indikasi
Penggunaanya.WIMI, Jakarta.
3. Bakta I Made.2006. Hematologi Klinik Ringkas. EGC.Jakarta
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia.
5th ed.Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.
5. Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic
Principles and Clinical Practice. United Kingdom : Churchill
Livingstone. 2004.
6. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta:
Farmedia. 2003.
7. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed.
Pennsylvania: W.B.saunders company; 1997: 375-393
8. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed.
Missouri:Elsevier-mosby; 2005.p3-227
9. Holte K, Kehlet H. Compensatory fluid administration for preoperative
dehydrationdoesit improve outcome. Acta Anaesthesiol Scand. 2002; 46:
1089-93
10. Hutomo, F. 2011. Dasar-dasar Transfusi Darah. WIMI, Jakarta
11. Kaswiyan U. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi.Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000.
12. Keane PW, Murray PF. Intravenous fluids in minor surgery. Their effect
on recoveryfrom anaesthesia. 1986; 41: 635-7.
13. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada
Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. 2002.
14. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Smf/bagian anestesi dan terapi
intensif FKUndip: Semarang; 2004: 1-60.
15. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University -
Center forVeterinary Health. 2006. (Diakses tanggal 29Oktober 2011).
Tersedia dari:http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm
16. ________. Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte
Balance. Oklahoma State University – Center for Veterinary Health.
2006. Tersedia dari ; http://member.tripod.com/-lyser/ivfs.htm
17. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed.
Pennsylvania:Springhouse; 2002:3-189.
18. Morgan, GE, et al. Clinical Aneshesiology : Fluid Management and
Transfusion. Third Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-
Hill. 2002.
19. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian
J.Anaesh.2003;47(5):380-387.
20. Pinnock, Colin, et al. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM. 1999.
21. Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller. Basics of Anesthesia. Fifth
edition. California : Churchill Livingstone. 2007.

Anda mungkin juga menyukai