Anda di halaman 1dari 3

PERBEDAAN JUMLAH BILANGAN PEROKSIDA MINYAK

GORENG DENGAN PENAMBAHAN BAWANG MERAH


DAN BAWANG PUTIH SEBAGAI ANTIOKSIDAN ALAMI
(Pada Pedagang Gorengan di Wilayah Kecamatan
Tembalang Kota Semarang Tahun 2016)
ABSTRAK
Gorengan merupakan makanan favorit yang dipilih oleh 49% penduduk
Indonesia. Penggunaan minyak goreng oleh pedagang gorengan biasanya
dilakukan lebih dari 2 kali penggorengan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan
pada minyak goreng. Bilangan peroksida merupakan indikator ketengikan minyak
goreng. Cara menurunkan bilangan peroksida adalah dengan menambahkan
antioksidan ke dalam minyak goreng. Sumber antioksidan alami diantaranya
terdapat pada bawang merah dan bawang putih. Bawang merah bersifat
antioksidan karena mengandung flavonoid, sedangkan bawang putih mengandung
polifenol. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan jumlah bilangan
peroksida minyak goreng pedagang gorengan sebelum dan setelah penambahan
bawang merah dan bawang putih. Jenis penelitian ini adalah experimen. Total
sampel pada penelitian ini yaitu 18 sampel minyak goreng pedagang gorengan.
Analisis univariat dengan distribusi frekuensi dan mean, sedangkan analisis
bivariat menggunakan uji t paired dan uji F. Hasil uji peroksida menyatakan
bahwa 44,4% minyak goreng melebihi batas maksimal bilangan peroksida (>10
mek O2/Kg, SNI 3741-2013). Rata-rata penurunan bilangan peroksida minyak
goreng setelah penambahan bawang merah yaitu 1,13944 mekO2/Kg, sedangkan
dengan penambahan bawang putih yaitu 0, 40111 mekO2/Kg. Hasil analisis uji t
paired menunjukkan ada perbedaan bilangan peroksida minyak goreng sebelum
dan setelah penambahan bawang merah (p value=0,035). Tidak terdapat
perbedaan bilangan peroksida minyak goreng sebelum dan setelah penambahan
bawang putih (p value=0,309).Hasil analisis uji F menunjukkan penambahan
bawang merah ataupun bawang putih memiliki efektivitas yang sama terhadap
penurunan bilangan peroksida (p value=0,722). Perlu dilakukan penyuluhan
kepada pedagang gorengan tentang bahaya penggunaan minyak goreng berulang
kali dan cara mengatasinya.
Hubungan Nyeri Lutut dengan Posisi
Kerja Berjongkok dan Faktor Risiko
Lainnya pada Peternak Sapi Perah
Indah Maulida R1*, Retno Asti W2, I Nyoman Murdana31Program Magister
Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Indonesia2Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,Jakarta, Indonesia3Departemen Rehabilitasi Medik,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, Indonesia*Corresponding author: indah_1801@yahoo.comDiterima 8
November 2017; Disetujui 15 Agustus 2018DOI: 10.23886/ejki.6.8560

Abstrak

Peternak sapi perah terpajan faktor risiko besar untuk mengalami nyeri lutut.
Posisi kerja berjongkok memberikan tekanan di lutut sehingga dapat
menyebabkan cedera dan penyakit degeneratif sendi lutut. Peternak sapi
melakukan pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik berat seperti mengangkat
beban berat, memindahkan peralatan kerja dan posisi kerja janggal. Akibatnya
banyak pekerja mengeluh gangguan muskuloskletal hingga timbul
ketidakmampuan bekerja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi dan
faktor yang berhubungan dengan nyeri lutut pada peternak sapi perah di Jawa
Barat. Penelitian potong lintang dilakukan pada 117 orang di Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) Balai Pengembangan Ternak Sapi Perah dan Hijauan
Makanan Ternak (BPT-SP HPT) Cikole, Lembang pada bulan Mei-Juni 2017
(total populasi). Dilakukan wawancara, pengisian kuesioner Knee Injury and
Osteoarthritis Outcome Score (KOOS) atau dalam bahasa Indonesia adalah
(kuesioner Hasil Cedera Lutut dan Osteoartritis) dan observasi posisi kerja. Uji Chi
Square dan Regresi Logistik dilakukan data dianalisis menyatakan bahwa
sebanyak 88% subjek mengalami nyeri lutut dengan keluhan terbanyak nyeri lutut
ringan (84%). Didapatkan hubungan nyeri lutut dengan posisi berjongkok
(ORc=7,36). Faktor risiko dominan yang berhubungan dengan nyeri lutut posisi
berjongkok adalah masa kerja 6-10 tahun dengan ORAsebesar 7,35 dan masa
kerja >10 tahun dengan ORA sebesar 26,09. Terdapat hubungan nyeri lutut
dengan posisi kerja berjongkok. Faktor risiko yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri lutut adalah masa kerja lebih dari 5 tahun. Perlu dilakukan
perbaikan kondisi kerja pemerah sapi untuk mengurangi pajanan terhadap faktor-
faktor risiko selama masa kerja
https://media.neliti.com/media/publications/261437-none-748c6a6c.pdf

Anda mungkin juga menyukai