Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS TADULAKO

REFARAT
DEMAM TIFOID

OLEH:
YOSIA KEVIN POLUAN
N 111 18 059

PEMBIMBING
dr. JIMMY SAMPELILING, Sp.PD

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN – RSUD UNDATA
UNIVERSITS TADULAKO
PALU
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Yosia Kevin Poluan

NIM : N 111 18 059

Judul Refarat : DEMAM TIFOID

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Agustus 2019

dr. Jimmy Sampeliling, Sp. PD


BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid atau tifoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
cerna dan gangguan kesadaran. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal sebagai “tipes atau
tifus”. Penyakit ini disebabkan oleh salmonella typhi dan hanya didapatkan pada manusia.
Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.1

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan global yang memiliki spektrum


klinis yang luas dimana terdapat lebih dari 17.000.000 orang terinfeksi tiap tahunnya
diseluruh dunia, dan mengakibatkan lebih dari 600.000 kasus kematian diseluruh dunia.
Penyakit ini menjadi masalah penting terutama di negara-negara yang masuk dalam kategori
berkembang yang beriklmi tropis dan subtropis, salah satunya Indonesia. Kasus demam tifoid
di Indonesia masih tinggi yaitu 385 per 100.000 penduduk pedesaan, dan 810 per 100.000
penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus pertahun 600.000-1.500.000 penderita.
Di negara-negera berkembang, faktor-faktor seperti urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, kesehatan lingkungan, kualitas sumber air bersih dan sanaitasi yang
buruk, serta proses pengolahan makanan dan minuman yang buruk merupkan faktor pencetus
banyaknya jumlah kasus demam tifoid.2

Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh salmonella enterik
serotype typhi atau Paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan paratifus
abdominalis. Tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urine) mengandung
S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.3

Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri
salmonella enterica khususnya turunannya, salmonella typhi. Namun dapat pula disebabkan
oleh salmonella paratyphi A, salmonella typhi B, dan salmonella paratyphi C. Komplikasi
dapat lebih sering terjadi pada individu yang tidak diobati sehingga memunkinkan terjadinya
perdarahan dan perforasi usus ataupun infeksi fecal seperti visceral abses. Salmonella typhi
adalah bakteri gram negatif yang menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas termasuk
gastroenteritis, demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal, seperti
osteomielitis, atau abses. Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang ringan (demam
tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala), hingga berat (perut tidak nyaman, komplikasi
pada hati dan limpa).4

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid,
menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa negara yang
berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik dan
hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah
kunjungan wisata.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid adalah infeksi demam sistemik akut yang nyata pada fagosit
mononuklear dan membutuhkan tatanama yang terpisah karena dapat disebabkan oleh
beberapa spesies (S. Typhi, S. Paratyphi, A dan S. Paratyphi B, serta kadang-kadang
S. Typhimurium). Banyak dokter menyukai iatilah demam enterik. Tetapi karena
tifoid secara mendasar bukanlah penyakit usus, istilah ini juga tidak tepat. Di pihak
lain demam tifoid merupakan istilah yang paling baik, karena dapat dipahami oleh
hampir semua dokter, guna menggambarkan sindroma tertentu, yang dalam
kenyataannya disebabkan terutama oleh S. Typhi.6
Etiologi demam tifoid adalah salmonella typhi dan salmonella paratyphi
berserotipe A,B, atau C. kedua spesies salmonella ini berbentuk batang, berflagel,
anaerobik, serta gram negatif. 3
Salmonella memiliki panjang yang bervariasi. Sebagian besar isolat bersifat
motil dengan flagella peritriks. Salmonella mudah tumbuh pada medium sederhana
tetapi hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa. Bakteri ini
membentuk asam dan terkadang membentuk gas dari glukosa dan manosa. Mereka
umumnya menghasilkan H2S. Organisme ini dapat bertahan hidup pada air yang beku
untuk periode yang lama. Salmonella resisten terhadap zat kimia tertentu (misalnya,
brilliant green, natrium tetrathionat, natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri
enterik lain, dengan demikian, penambahan zat tersebut kedalam medium bermanfaat
untuk mengisolasi salmonella dari feses. Empat serotipe salmonella yang dapat
menyebabkan demam enterik dapat diidentifikasi di laboratorium klinis melalui
pemeriksaan serologis dan biokimia. Serotipe tersebut harus secara rutin diidentifikasi
karena kepentingan klinisnya. Keempat serotipe tersebut adalah: salmonella paratyphi
A (serogroup A), salmonella paratyphi B(serogroup B), salmonella Cholerasuis
(serogroup C1) dan salmonella typhi (serogroup D). Salmonella serotipe Enteritidis
dan Typhimurium adalah 2 serotipe yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat.
Lebih dari 1400 salmonella lain yang diisolasi di laboratorium klinis dikelompokan
kedalam serogroup berdasarkan antigen O yang dimilikinya menjadi serogroup
A,B,C1,C2,D,dan E; beberapa salmonella tidak dapat dikelompokan menggunakan set
antiserum tadi.7

B. Epidemiologi
Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya terjadi
di negara-negara dengan tingkat kebersihan rendah. Penyakit ini menjadi masalah
kesehatan publik yang signifikan. Berdasarkan data WHO memperkirakan insidensi
diseluruh dunia sekitar 17 juta jiwa pertahun, angka kematian akibat demam tifoid
mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Berdasarkan WHO angka penderita
tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.4
Sejak awal abad ke 20, insiden demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal
ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik; dan ini
belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Insiden demam tifoid
tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
kemungkinan Afrika Selatan (insiden >100 kasus per 100.000 populasi per tahun)
berada di wilayah Afrika, Amerika Latin dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia
Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 per tahun) di bagian dunia
lainnya. Di Indonesia, insiden demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu
adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun
untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak
tersediannya tempat BAB dalam rumah. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke
3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
(41.081 kasus).5

C. Faktor Risiko
1. Higiene perorang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat
3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik
4. Adanya outbreak demam tifoid disekitar tempat tinggal sehari-hari
5. Adanya carier tifoid disekitar pasien
6. Kondisi imunodefisiensi.8

D. Patogenesis
Masuknya kuman salmonella typhi (S.typhi) dan salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan didalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA)
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembangbiak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak payeri illeum distal dan
kemudian ke kalenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.5
Kuman dapat masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses, sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang
telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan
vaskuler, mental dan koagulasi. Didalam plak payeri makrofag hiperaktif dapat
menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan
saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague payeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.5

E. Manifestasi Klinis
Masa tunas sekitar 10-14 hari. Gejala yang timbul bervariasi:
 Pada minggu pertama, muncul tanda infeksi akut, seperti demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak nyaman diperut, batuk dan epitaksis. Demam yang terjadi
berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih
rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari.
 Pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia
relatif, lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung berwarna merah, disertai
tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran,
dan lebih jarang, berupa roseolae.3

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan:
a. Demam naik turun, terutama sore dan malam hari, dengan pola intermitten dan
kenaikan suhu step-ledder. Demam tinggi dapat terjadi terus-menerus (demam
kontinu) hingga minggu kedua
b. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di daerah frontal
c. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare,
mual, muntah, nyeri abdomen, dan BAB berdarah
d. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot, pegal-pegal, batuk, anoreksia,
insomnia
e. Pada demam tifolid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.8
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat
b. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat, misalnya delerium atau
koma)
c. Demam, suhu >37,50C
d. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi denyut nadi
sebanyak 8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 10C
e. Ikterus
f. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, holitosis
g. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali)
h. Delerium pada kasus berat
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut:

a. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis, dengan kesadaran


seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome)
b. Pada penderita dengan toksik, gejala delerium lebih menonjol
c. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen.8

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
Walaupun dalam pemeriksaan darah lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. LED
dalam demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat,
tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan
adalah uji widal dan kultur salmonella shigella. Sampai sekarang, kultur masih
menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat
beberapa metode serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah
serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik antara lain pemeriksaan
serologi IgM/IgG salmonella.5
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk untuk deteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.
typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan untuk
uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: 1) Aglutinin O (dari
tubuh kuman), 2) Aglutinin H (flagella kuman), dan 3) Aglutinin Vi (simpai
kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.5
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi dalam beberapa
minggu dengan peningkatak aglutinin O terlebih dahulu baru diikuti aglutinin
H. Aglutinin O menentap 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap 9-12
bulan. Titer antibodi O >1:320 atau antibodi H >1:640 menguatkan diagnosis
pada gambaran klinis yang khas.3
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Uji Widal yaitu: 1)
pengobatan dini dengan antibiotik; 2) gangguan pembentukan antibodi dan
pemberian kortikosteroid; 3) waktu pengambilan darah; 4) daerah endemik
atau non endemik; 5) riwayat vaksinasi; 6) reaksi anamnestik, yaitu
peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi
demam tifoid masa lalu atau vaksinasi; 7) faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain salmonella yang digunakan
untuk suspensi antigen.5
c. Tes TUBEX
Tes tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuatitatif
sederhana yang cepat (kurang lebih 2 menit). Sensitivitasnya mampu
ditingkatkan melalui penggunaan partikel berwarna, sedangkan spesifitasnya
ditingkatkan melalui penggunaan antigen 09, antigen ini spesifik dan khas
pada salmonella serogroup D. Tes ini mendeteksi adanya antibodi IgM.
Respon terhadap antigen 09 berlangsung cepat karena antigen 09 bersifat
imunodomain yang mampu merangsang respon imun. Hal ini menguntungkan,
sebab deteksi anti 09, dapat dilakukan lebih cepat, yaitu pada hari ke 4-5
(infeksi primer) dan hari ke 2-3 (infeksi sekunder).9
Melakukan pemeriksaan memerlukan alat dan beberapa reagen, yaitu:
tabung berbentuk V, reagen A yang berisi partikel bermagnetik yang telah
diselimuti antigen S.typhi 09, dan reagen B yang berisi partikel lateks
berwarna biru yang diselimuti antibodi spesifik antigen 09.9
Penambahan partikel lateks merah pada reaksi tersebut akan
menyebabkan supernatant berwarna merah dan akan mudah terlihat
dibandingkan yang tidak berwarna. Bila terdapat antibodi anti 09 pada sampel
penderita, antibodi tersebut akan menghambat ikatan partikel biru dengan
partikel bermagnetik, sehingga supernatant akan tetap berwarna biru. Hasil
pemeriksaan ditentukan dengan pembacaan warna pada hasil akhir reaksi lalu
kemudian dicocokkan dengan score yang tertera pada color scale. Skor <2,
menunjukan hasil negatif, skor 3 dikategorikan borderline (pengukuran tidak
dapat disimpulkan, perlu diulangi beberapa hari kemudian), skor 4-5
menunjukan infeksi tifoid akut, dan skor >6 merupakan indikasi kuat adanya
infeksi tifoid. Tes TUBEX yang bernilai positif disertai tanda gejala demam
tifoid, merupakan indikasi sangat kuat adanya demam tifoid.9
d. Uji typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik
antibodi IgG dan IgM terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD,yang terdapat
pada strip nitroselulosa. Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98% dan
spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang
dilakukan Gopalkhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam
tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan Olsen dkk, didapatkan sensitivitas
dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan Uji TUBEX yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89%. Pada kasus reinfeksi, respon IgG teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi, atau konvalesen pada kasus infeksi
primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi
dengan mengaktivasi total IgGpada serum. Uji ini, dikenal sebagai Uji
Typhidot-M memungkinakan ikatan antara antigen IgM spesifik yang ada
pada serum pasien.5
e. Uji IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi Ig M spesifik terhadap
S.typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip
yang mengandung antigen liposakarida (LPS) S. Typhoid dan anti IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang
dilekati lateks pewarna, cairan membasahi stripsebelum diinkubasi dengan
reagen dan serum pasien, tabung uji. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam
1 hari) dilakukan tanpa perlatan khusus apapun, namun akurasi hasil
didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.5
f. Kultur salmonella typhoid (gold standart)
Dapat dilakukan pada spesimen:
- Darah: pada minggu pertama sampai akhir minggu ke 2 sakit, saat demam
tinggi
- Feses: minggu kedua sakit
- Urin: minggu kedua atau ketiga sakit
- Cairan empedu: pada stadium lanjut penyakit, untuk menedeteksi carrier
typhoid.8

Penegakkan Diagnosis (assessment)

 Suspek demam tifoid


Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek demam
tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.8
 Demam tifoid klinis
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang
menunjukkan tifoid.8

G. Diagnosis banding
Jika semua gejala klasik ditemukkan, termasuk bintil merah muda, demam
yang lama, bradikardia relatif, dan leukopenia, diagnosis tifoid akan cenderung sekali
positif. Walaupun demikian, sebagian kasus tidak sesuai dengan gambaran “khas” ini.
Diagnosis banding termasuk infeksi yang berkaitan dengan demam yang lama seperti
riketsiosis, bruselosis, tularemia, leptosirosis, tuberkulosis milier, hepatitis virus,
mononukleosis infeksiosa, infeksi sitomegalovirus, dan malaria, demikian pula
penyebab bukan infeksi seperti limfoma.6

H. Komplikasi
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara
lain perdarahan, perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.
1. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas yang tinggi disertai
kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delerium sampai koma.8
2. Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi, serta gejala-gejala toksemia yang
berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah
turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.8
3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga diketahui
dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan
gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan
pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut.8
4. Hepatitis Tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali dan kelainan fungsi hati.8
5. Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase.
Tanda ini dibantu USG atau CT Scan.8
6. Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto olos
Thoraks.8

I. Penatalaksanaan
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid adalah:
1. Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk
mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien juga perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostik serta
higiene perorangan perlu diperhatikan dan dijaga.5
2. Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan lama.5 Terapi simptomatik akan menurunkan demam
(antipiretik) dan mengurangi keluhan GI.8
3. Pemberian terapi antimikroba
 Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per
hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7
hari bebas panas. Penyuntikan IM tidak dianjurkan karena hidrolisa ester tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman obat ini
dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam rata-rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Moehario LH , dkk (2002-2008) didapatkan 90% kuman masih memiliki
kepekaan terhadap antibiotik ini.5
 Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg, demam rata-rata menurun
pada hari ke 5 sampai ke 6.5
 Kotrimoksazole. Efektivitas obat ini dilaporkan hamipr sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazole 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu.5
 Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini menurunkan demam lebih
rendah dibanding dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara
50-150 mg/kg BB dan digunakan selama 2 minggu.5
 Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini sefalosporin genenrasi ketiga
yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama
30 menit perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari.5
seftriaksone juga merupakan antibiotik yang sering digunakan pada
pengobatan demam tifoid, terutama sebagai alternatif pilihan apabila terjadi
resistensi. Seftriakson lebih cepat menunjukan waktu bebas panas sehingga
lama terapi lebih singkat, efek samping lebih ringan, dan angka kekambuhan
lebih rendah dibanding kloramfenikol.10
 Florokuinolon
Golongan florokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya:
- Norfofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Levofloksasin dosis 1x500 mg/hari selama 5 hari5
 Azitromisin. Azitromizin 2x500 mg menunjukan bahwa penggunaan obat ini
jika dibandingkan dengan florokuinolon, azitromisin secara signifikan
mengurangi durasi rawat inap, terutama jika mengikutsertakan pula strain
MDR dan NARST. Jika dibandingkan dengan seftriakson, penggunaan
azitromisin dapat mengurangi angka relaps.5
 Kombinasi obat antibiotika
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih di inikasikan hanya pada keadaan tertentu
saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
pernah terbukti ditemukkan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
kuman salmonella.
 Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septik dengan deksametason dosis 3x5 mg.

J. Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit
dapat terjadi berulang.8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh salmonella
enterik serotype typhi atau Paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever,
tifus, dan paratifus abdominalis.
2. Empat serotipe salmonella yang dapat menyebabkan demam enterik dapat
diidentifikasi di laboratorium klinis melalui pemeriksaan serologis dan biokimia.
Serotipe tersebut harus secara rutin diidentifikasi karena kepentingan klinisnya.
Keempat serotipe tersebut adalah: salmonella paratyphi A (serogroup A),
salmonella paratyphi B(serogroup B), salmonella Cholerasuis (serogroup C1) dan
salmonella typhi (serogroup D).
3. Manifestasi klinis demam tifoid sangat bervariasi: pada minggu pertama, muncul
tanda infeksi akut seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak nyaman diperut, batuk dan
epistaksis. Demam seeprti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari,
lebih rendah pada pagi hari dan tinggi sore hari. Pada minggu kedua gejala
menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah tifoid (kotor di
tengah, tepi dan ujung berwarna merah, disertai tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran, dan lebih jarang, berupa
roseolae.
4. Penegakkan diagnosis demam tifoid terbagi atas suspek demam tifoid dan demam
tifoid klinis. Pada suspek demam tifoid dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan
kesadaran. Diagnosis suspek demam tifoid hanya dibuat pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Sedangkan pada demam tifoid klinis yaitu suspek
demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.
5. Pentalaksanaan demam tifoid sampai saat di terdiri dari trilogi pentalaksanaan
yaitu: istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan
suportif), serta pemberian antimikroba.
DAFTAR PUSTAKA

1. Welong,S.S. ad al. Analisis Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Pasien
Rawat Inap Di Rumah Sakit Advent Manado. Kesmas, Vol 6. No 3; 2017
2. Adiputra,I.K.G ad Somia,I.K.A. Karakteristik Klinis Pasien Demam Tifoid di RSUP
Sanglah Periode Waktu Juli 2013-Juli 2014. Ejournal Medika. Vol 6 No 11;2015
3. Wibisino,E.ad.al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta;
2016
4. Rahmasari, W ad Lestari,K. Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid: Kajian
Terapi Farmakologis dan Non Farmakologis. Farmaka Suplemen, Vol 16 No 1; 2018
5. Widodo,D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Jilid I Edisi VI. Interna
Publishing: Jakarta; 2014
6. Isselbacher,ad.al. Horrison:Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume II. Edisi
XII. EGC. Jakarta; 2014
7. Jawetz,Melnick, Adleberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi XXV. EGC. Jakarta; 2014
8. PB IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Edisi I. PB IDI. Jakarta; 2017
9. Pratama I.G ad Lestari, A.A. Efektivitas Tubex Sebagai Metode Diagnosis Cepat
Demam Tifoid. ISM, Vol 2. No 1;
10. Fitriah,R.F. ad al. Perbedaan Efektivitas Antibiotik Pada Terapi Demam Tifoid Di
Puskesmas Bancak Kabupaten Semarang Tahun 2014. E-Publikasi. Vol 1 No 6; 2017

Anda mungkin juga menyukai