Anda di halaman 1dari 25

PERAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN

BANTUAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT YANG KURANG


MAMPU

Kelompok 11
Sri Wahyuni (C100160214)ˡ
Sri Wulaningsih (C100162003)²
Tyas Nurliawati (C100160240)³
Wahyu Kartika Ningsih (C100160197)4
Fakultas Hukum universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta-Indonesia
Abstrak
Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah berhasil mendorong dan
mempopulerkan gagasan dan konsep bantuan hukum kepada masyarakat. Berkat
keberhasilannya dalam aktivitanya memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat membuat LBH menjadi lebih terkenal dan mendapat kepercayaan dari
masyarakat. Keberada LBH ini sangat penting ditengah-tengah masyarakat
mengingat prinsip persamaan dihadapan hukum.
Semakin berkembangnya LBH ini diharapkan dapat berperan serta dalam
penegakan hukum secara nyata serta memberikan harapan baru ditegah-tengah
keputusasaan masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya dihapan hukum.
Lembaga Bantuan Hukum memiliki andil besar dalam access to justice, sehingga
tidak hanya menumbuhkan harapan baru di dunia peradilan, namun juga menjadi
bukti nyata bahwa keadilan atau persamaan dihadapan bukum berlaku untuk
siapapun tanpa tercekuali.
Kata kunci : lembaga bantuan hukum, bantuan hukum, peran, hadapan hukum
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstitusi menjamin hak setiap warga negara mendapat perlakuan
yang sama di muka hukum, termasuk hak untuk mengakses keadilan melalui
pemberian bantuan hukum. Orang kaya dan mempunyai kekuasaan, dengan
mudah mengakses dan mendapatkan keadilan, melalui tangan-tangan advokat
yang disewanya. Tidak demikian halnya dengan kelompok masyarakat kurang
mampu, mereka tidak mampunyai kemampuan untuk memahami hukum dan
tidak mampu untuk membayar advokat, hal demikian menyebabkan tidak ada
perlakuan yang sama di muka hukum untuk mengakses keadilan. Masalah
dasar yang muncul adalah tidak adanya perluasan akses yang sama bagi setiap
warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum,
meskipun doktrinnya keadilan harus dapat diakses oleh semua warga negara
tanpa terkecuali.1
Indonesia sebagai negara hukum pada dasarnya telah menjamin hak
atas bantuan hukum dan akses keadilan sebagai hak konstitusional warga
negaranya sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahkan jaminan bantuan hukum tersebut di atur lebih lanjut di dalam Pasal 4
dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM). Akan tetapi pada kenyataannya negara terkesan
mengabaikan pemenuhan jaminan hak tersebut. Keadilan dan persamaan di
hadapan hukum (equality before the law) seakan telah menjadi barang mewah
yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang dengan pangkat dan jabatan
tertentu serta mereka yang memiliki uang. Ketimpangan sosial dan
ketimpangan keadilan yang ada mengakibatkan tidak salah jika kita
mendengar sentilan yang berbunyi “equality before the law for who can effort
it” (persamaan di hadapan hukum untuk siapa yang mampu membelinya).
Dengan ketimpangan hukum dan keadilan yang demikian itu menyebabkan
masyarakat menjadi apatis dan takut bermasalah dengan hukum. Akan tetapi
permasalahan hukum merupakan permasalahan yang tidak dapat dihindari dan

1
Tri Astuti Handayan, 2015, Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Dalam Perspektif
Teori Keadilan Bermartabat, Refleksi Hukum, Vol 9 No 1, Hal 16
pasti akan kita temukan di dalam kehidupan bernegara. Sebagai warga Negara
Indonesia yang merupakan Negara Hukum tentu tidaklah pantas
menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan atau hukum rimba sebagai
dalih ketimpangan keadilan yang ada, sebab Indonesia telah menyatakan diri
sebagai negara yang berdasarkan kepada hukum. Alangkah bijaknya jika ada
permasalahan hukum diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang
berlaku di Indonesia.2
Dalam rangka memberlakukan peraturan-peraturan hukum materiil,
kebutuhan akan suatu lembaga yang mampu berfungsi secara terus meners dan
dengan waktu penuh sebagai saluran untuk menampung keluhan, masalah,
tuntutan dari masyarakat terutama masyarakat yang kurang mampu sangatlah
dibutuhkan di sinilah peran Lembaga Bantuan Hukum menjadi penting.3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hak dan kewajiban lembaga bantuan hukum dalam memberikan
bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu?
2. Bagaimana optimalisasi peran Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan
bantuan hukum terhadap masyarakat yang kurang mampu?

TINJAUAN PUSTAKA
1.Sejarah Bantuan Hukum
Di Indonesia bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga
hukum) yang mulai dikenal sejak berlakunya Sistem Hukum Barat di Indonesia.
Hal ini berawal saat terjadi perubahan besar dalam sejarah hukum Belanda.
Berdasarkan Asas Konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No.1,
perundang-undangan baru di Negera Belanda tersebut juga diberlakukan di
Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan
peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het beleid der Justitie),
yang lazim disingkat dengan R.O.4 Dalam peraturan hukum inilah untuk
pertama kalinya diatur mengenai “Lembaga Advokat” sehingga dapat
2
Hariyanto, 2017, Peran Lbh Kampus Di Ptkin Dalam Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat
Miskin, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 10 No. 1, Januari 2017, Hal. 70
3
Nirwan Yunus dan Lucyana Djafar, 2008, Eksistensi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam
Memberikan Layanan Hukm kepada Masyarakat di Kabupaten Gorontalo, Mimbar Hukum, Vol.
20, No. 3, Hal 548
4
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Cendana Press: Jakarta. Hal. 40.
diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di
Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.5 Pada masa itu, penduduk
Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 Ayat (1) Indische
Staatsregeling (IS), yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan
Bumi Putera.
Adanya penggolongan ini menyebabkan munculnya perbedaan diantara
golongan tersebut, baik dibidang social, ekonomi, dan politik kolonial.
Perbedaan ini berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada
masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan.
Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan
yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama,
Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung
(Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan
yang dipersamakan, yang meliputi Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan
Landraad.
Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera
pada tahun 1910 yang memperoleh gelar Meester In De Rechten dari Belanda.
Dan Pada tahun 1924. Belanda mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia
yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro
Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo.6
Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di
negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan
hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut
adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap penjajah.
Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, walaupun pemberian
bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil,
karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada
umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, hal ini sudah dapat

5
Frans Hendra Winata. 2000. Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan.
PT. Elex Media Komputindo: Jakarta. Hal. 2.
6
Frans Hendra Winata. 2000. Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk
Memperoleh Bantuan Hukum. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta. Hal.9
dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang
tidak mampu di Indonesia.7
Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan
pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat
mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya
sendi-sendi negara hukum.8 Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai
pada saat dimulainya era Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution,
sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, menulis sebagai berikut: “… Periode
ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno.
Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali
untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur
berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya
usahausaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga
kebebasan mimbar pada universitas. Independensi pengadilan mulai dijalankan
dan respek kepada hukum tumbuh kembali.”
Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya Undang-
Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali
menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-
pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan.9
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk
pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan
hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-
ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan
hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana
berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat
dilakukan penangkapan atau penahanan.10

7
Abdurrahman, Op.Cit, Hal..43
8
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusi, CV.
Mandar Maju: Bandung, Hal.1
9
Ibid, Hal.15
10
Abdurrahman, Op. cit., Hal. 48.
Bersamaan dengan itu, berkembang pula pemikiran-pemikiran untuk
mendirikan suatu organisasi bagi para advokat, pada awalnya perkumpulan-
perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan
organisasi advokat nasional. Usaha pembentukan wadah kesatuan yang
sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I
PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di
Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai
peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum
Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat
sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang
kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan
ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan
mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I /
Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh
perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30
Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia
(PERADIN).11 Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga
Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan
Adnan Buyung Nasution,12 yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan
mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970.13 Pada tahun 1980, Lembaga
Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI).14
Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di
daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan
Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa
kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta

11
Frans Hendra Winata, Op. cit., Hal. 26
12
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit.
13
Abdurrahman, Op. cit., Hal. 50.
14
Frans Hendra Winata, Op. cit. Hal. 50.
untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta
dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.
Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya
tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting disini adalah adanya
keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin
yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak
diarahkan kepada penanganan perkara (pidana, perdata, subversi) dan
sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan konsultasi).
Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasan, baik
yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan
organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk
para pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif
kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan
serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan
diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari
penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan
penataran hukum (non-litigasi).15 Selama era Orde Baru, masalah bantuan
hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Sejak tahun 1978, banyak
didirikan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada
Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan
Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa,
ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.16
Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga
banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan
Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara
Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan
Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
disebutkan dalam Pasal 32 Ayat (4) perintah untuk membentuk suatu organisasi
15
T. Mulya Lubis, 1986, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, LP3ES: Jakarta. Hal. 71
16
Abdurrahman, Op. cit., Hal. 52.
advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka
waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan
perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI).
PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal organisasi
advokat Indonesia. Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan
untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur
dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai
bantuan hukum, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya Undang-
Undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang
pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini
memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan
TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya
disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang
tidak mampu secara ekonomis.17
Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan
hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang
tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia lebih menjamin kepastian
hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh
keadilan dan persamaan di muka hukum.

2.Pengertian Bantuan Hukum


A. Pengertian Bantuan Hukum berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Bantuan Hukum adalah

17
Lampiran 7 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma
kepada Penerima Bantuan Hukum. UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat, Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. Sedangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Pemberian Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa
menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum,
menjalankan kuasa, mewakilkan mendampingi, membela dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
B. Pengertian bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda, yaitu:
1. Legal aid
Bantuan hukum, sistem nasional yang diatur secara lokal dimana bantuan
hukum ditunjukan bagi mereka yang kurang keuangannya dan tidak mampu
membayar penasehat hukum pribadi. Dari pengertian ini jelas bahwa
bantuan hukum yang dapat membantu mereka yang tidak mampu menyewa
jasa penasehat hukum. Jadi Legal aid berarti pemberian jasa di bidang
hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara
dimana dalam hal ini:
a. Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-Cuma.
b. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak
mampu dalam lapisan masyarakat miskin
c. Degan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah
menegakkan hukum dengan jalan berbeda kepentingan dan hak asasi
rakyat kecil yang tidak punya dan buta hukum.
2. Legal assistance
Pengertian legal assistance menjelaskan makna dan tujuan dari bantuan
hukum lebih luas dari legal aid. Legal assistance lebih memaparkan profesi
dari penasehat hukum sebagai ahli hukum, sehingga dalam pengertian itu
sebagai ahli hukum, legal assistance dapat menyediakan jasa bantuan
hukum untuk siapa saja tanpa terkecuali. Artinya, keahlian seorang ahli
hukum dalam memberikan bantuan hukum tersebut tidak terbatas pada
masyarakat miskin saja, tetapi juga bagi yang mampu membayar prestasi.
Bila diterjemahkan secara bebas, arti dari legal service adalah pelayanan
hukum, sehingga dalam pengertian legal service, bantuan hukum yang
dimaksud sebagai gejala bentuk pemberian pelayanan oleh kaum profesi
hukum kepada khalayak di dalam masyarakat dengan maksud untuk
menjamin agar tidak ada seorang pun di dalam masyarakat yang terampas
haknya untuk memperoleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukannya
hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber daya finansial yang
cukup.18
C. Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk
mendapatkan akses keadilan
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip
persamaan kedudukan di dalam hukum
c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan
secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangannya maka adanya program bantuan hukum juga
merupakan bagian yang terpenting dari rekognisi dan perlindungan hak asasi
manusia. Pemberian bantuan hukum yang dimaksud disini adalah yang khusus
diberikan kepada kaum miskin dan buta huruf. Adapun tujuan yang ingin
dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin dan buta huruf
adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to justice) yang merata.
Salah satu bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan atau
pendampingan dari seorang advokat (access to legal counsel).19
Adapun LBH didirikan dengan konsep awal melindungi masyarakat dari
penindasan hukum yang kefrap menimpa mereka. Konsep ini kemudian
dituangkan dalam Anggaran Dasar LBH yang didalamnya disebutkan bahwa
tujuan LBH adalah :
a. Memberi pelayanan hukum kepada rakyat miskin

18
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung:
CV. Mandar Maju), 1994, hlm 9.
19
Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga), 2011, hal 4-5.
b. Mengembangkan dan meningkatkan kesadaran hukum rakyat, terutama
mengenai hak-haknya sebagai subjek hokum.
c. Mengusahakan perubahan dan perbaikan hukum untuk mengisi kebutuhan
baru dari masyarakat yang berkembang20
3.Tugas Dan Ruang Lingkup
Berdasarkan Undang-undang Bantuan Hukum No 16 Tahun 2011 Pasal
6 ayat 2, memeberikan Tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Menyusun dan menetapkan kebijakan penyelengaraan Bantuan Hukum.
b.Menyusun dan menetapkan standar Bantuan Hukum berdasarkan asasasas
pemberian bantuan hukum.
c. Menyususn anggaran bantuan Hukum.
d.Mengelolah bantuan hukum secara efektif efesien, transparan, dan
akuntabel.
e. Menyusun dan menyampaikan laporan penyelengaraan bantuan hukum
kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.21
Selain tugas, menteri juga memberi beberapa wewenang bedasarkan
pasal 7 undang-undang bantuan hukum, mentri memberikan wewenang yaitu
mengawasi dan memastikan penyelengaraan bantuan hukum dan pemberian
bantuan hukum dijalankan sesuai dengan asas dan tujuan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini. Dan melakukan verifikasi dan akreditasi terhadaap
lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan memenuhi kelayakan
sebagai lembaga bantuan hukum.22
Berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum No 16 Tahun 2011
Pasal 4 dan Pasal 5, mengatur mengenai Ruang Lingkup sebagai berikut:
a. Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang
menghadapi masalah hukum.
b.bantuan hukum meliputi masalah hukum pidana, perdata, dan tatausaha
Negara baik secara litigasi maupun nonlitigasi.

20
Binziat Kadafi, dkk., Advokat Indonesia mencari Legitimasi Studi tentang Tanggung Jawab
Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum & KebijakanIndonesia, 2002), hal 163.
21
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
22
Ibid, h.3
c. Bantuan hukum yang dimaksud adalah menjalankan kuasa hukum,
mendampingi, mewakili, membela, dan melakukan tindakan bantuan hukum
lain untuk penerima bantuan hukum.23

4.Peran dan Fungsi Lembaga Bantuan Hukum (LBH)


Fungsi dan Peranan lembaga bantuan hukum adalah sebagai berikut:
a. Public service
Sehubungan dengan kondisi sosial ekonomi karena sebagian besar dari
masyarakat kita tergolong tidak mampu atau kurang mampu untuk
menggunakan dan membayar jasa advokat, maka Lembaga Bantuan Hukum
memberikan jasa-jasanya dengan Cuma-cuma.
b. Social education
Sehubungan dengan kondisi social cultural, dimana lembaga dengan suatu
perencanaan yang matang dan sistematis serta metode kerja yang praktis
harus memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-petunjuk untuk
mendidik masyarakat agar lebih sadar dan mengerti hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya menurut hukum.
c. Perbaikan tertib hukum
Sehubungan dengan kondisi social politic, dimana peranan lembaga tidak
hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang peradilan pada umumnya
pada profesi pembelaan khususnya, akan tetapi juga dapat melakukan
pekerjaan-pekerjaan Ombudsman selaku partisipasi masyarakat dalam
bentuk kontrol dengan kritik-kritik dan saran-sarannya untuk memperbaiki
kepincangan-kepincangan/mengoreksi tindakan-tindakan penguasa yang
merugikan masyarakat
d. Pembaharuan hukum
Dari pengalaman-pengalaman praktis dalam melaksanakan fungsinya
lembaga menemukan banyak sekali peraturan-peraturan hukum yang sudah
usang tidak memenuhi kebutuhan baru, bahkan kadang-kadang bertentangan
atau menghambat perkembangan keadaan. Lembaga dapat mempelopori
usul-usul perubahan undang-undang.

23
Ibid
e. Pembukaan lapangan kerja
Berdasarkan kenyataan bahwa dewasa ini tidak terdapat banyak
pengangguran sarjana-sarjana hukum yang tidak atau belum dimanfaatkan
atau dikerahkan pada pekerjaan – pekerjaan yang relevan dengan bidangnya
dalam rangka pembangunan nasional. Lembaga Bantuan Hukum jika saja
dapat didirikan di seluruh Indonesia misalnya satu kantor Lembaga Bantuan
Hukum, di setiap ibu kota kabupaten, maka banyak sekali tenaga sarjana-
sarjana hukum dapat ditampung dan di manfaatkan.
f. Practical training
Fungsi terakhir yang tidak kurang pentingnya bahkan diperlukan oleh
lembaga dalam mendekatkan dirinya dan menjaga hubungan baik dengan
sentrum – sentrum ilmu pengetahuan adalah kerjasama antara lembaga dan
fakultas-fakultas hukum setempat. Kerjasama ini dapat memberikan
keuntungan kepada kedua belah pihak. Bagi fakultas-fakultas hukum
lembaga dapat dijadikan tempat lahan praktek bagi para mahasiswa-
mahasiswa hukum dalam rangka mempersiapkan dirinya menjadi sarjana
hukum dimana para mahasiswa dapat menguji teori-teori yang dipelajari
dengan kenyataan-kenyataan dan kebutuhan-kebutuhan dalam praktek dan
dengan demikian sekaligus mendapatkan pengalaman.24

METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan “suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari
suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya”.25
1.Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier. Bahan - bahan hukum tersebut disusun secara
24
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Parsaoran, ” Fungsi dan Peranan lembaga bantuan
hukum”, diakses dari https://www.facebook.com/AdvokatParsaoran/posts/fungsi-dan-peranan-
lembaga-bantuan-hukum-adalah-sebagai-berikut1-public-services/1785736424977251/, pada
tanggal 14 Januari 2020 pukul 13.07 WIB
25
Khudzaifah Dimyati, 2014, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Hal. 3
sistematis , dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti.26
2.Metode pendekatan yang digunakan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis
normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara
mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.27
3.Lokasi penelitian
Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
penulisan penelitian ini, penulis memilih data dari media internet karena
dimudahkan dalam memperoleh data, dimana media tersebut mampu
memberikan informasi dan mudah dijangkau masyarakat secara luas.
4.Jenis Data
a) Data Sekunder
Data Sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, dan media.
1. Metode pengumpulan data
Studi Kepustakaan
Meliputi penelurusan terhadap buku-buku, peraturan perundang-
undangan, serta dokumen-dokumen yang terkait dengan objek penelitian.
2. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan penulis adalah kualitatif, yakni
penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.

HASIL PENELITIAN
TABEL PERKARA MASUK KE LEMBAGA BANTUAN HUKUM(LBH)
DI INDONESIA PADA TAHUN 2018-2019

26
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hal. 52
27
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Jakarta: Rajawali Pers, hal. 13-14.
PERKARA TAHUN PERKARA TAHUN
NO NAMA
2018 2019
1. LBH JAKARTA 1.148 1.496
2. LBH MAKASAR 85 237
3. LBH SURABAYA 436 594
4. LBH JOGJAKARTA 202 200
GRAFIK JUMLAH PERKARA MASUK TAHUN 2018-2019 DI LBH DI
INDONESIA

PERKARA MASUK
3000

2500

2000

1500

1000

500

0
LBH JAKARTA LBH MAKASAR LBH SURABAYA LBH JOGJAKARTA

2018-2019

TABEL PERKARA MASUK DI LBH MEGA BINTANG PADA TAHUN


2018-2019
No Tahun Perkara Pidana Perkara Perdata
1 2018 3 15
2 2019 3 9

GRAFIK PERKARA MASUK DI LBH MEGA BINTANG PADA TAHUN


2018-2019
Perkara Masuk Tahun 2018-2019
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
2018 2019

Perkara Pidana Perkara Perdata Column1

PEMBAHASAN
1. Hak Dan Kewajiban Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan
Bantuan Hukum kepada Masyarakat Kurang Mampu
Advokat sebagai salah satu profesi penegak hukum sudah seharusnya
melaksanakan aturan-aturan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Salah
satu persoalan yaitu mengenai keterbukaan pengadilan, yang bertanggung
jawab untuk mewujudkan keterbukaan informasi-informasi dalam persidangan
bukan hanya hakim, jaksa, dan polisi tetapi juga advokat harus mampu
memberikan informasi-informasi yang benar mengenai proses peradilan
kepada masyarakat.
Sedangkan mengenai hak dan kewajiban Pemberi dan Penerima Bantuan
Hukum, diatur juga dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum, Pasal 9-12.
Pasal 9 berbunyi
Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a. Melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa
fakultas hukum;
b. Melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. Menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program
kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. Menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum
berdasarkan Undang-Undang ini;
e. Mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. Mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain,
untuk kepentingan pembelaan perkara; dan
g. Mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan
selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.

Pasal 10 berbunyi
Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk:
a. Melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum;
b. Melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk
pemberian Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi
advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a;
d. Menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh
dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang
ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; dan
e. Memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum
berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini
sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum.
Dari aturan-aturan diatas yang mengatur mengenai hak dan kewajiban
pemberi bantuan hukum dapat dikatakan ketentuan tersebut sudah cukup
efektif untuk diterapkan. Dari pasal 9 poin a UU No.16 Tahun 2011 yang
dapat berperan dalam pemberian jasa bantuan hukum bukan hanya dapat
dilakukan oleh para advokat saja melainkan bisa juga dilakukan oleh dosen,
paralegal dan mahasiswa.
Advokat sebagai pemberi bantuan hukum berhak melakukan praktek
hukumnya kapan dan dimanapun dalam wilayah kerja advokatseperti
dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
adalah meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam hal
litigasi maupun nonlitigasi pengadilan (di dalam dan luar Pengadilan);
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.18 Tahun 2003.
Dengan kata lain bila disebut di pengadilan berarti disemua pengadilan
manapun yang terletak diwilayah Republik Indonesia. Dan bila disebut d luar
pengadilan berarti di semua tempat wilayah negara Republik Indonesia. Ini
berarti wilayah kerja advokat sangatlah luas melebihi seorang Polisi, jaksa
atau hakim atau suatu pengadilan yang terikat kompetensi yuridiksinya
masing-masing.28

2. Optimalisasi Peran LBH Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap


Masyarakat Yang Kurang Mampu
Penerapan mengenai pemberian bantuan hukum kepada masyarakat
dalam praktiknya kurang optimal. Hal ini dikarenakan masih banyaknya
persoalan yang bersifat sistematis sehingga berdampak pada belum
terwujudnya access to law and justice bagi masyarakat kurang mampu. Oleh
karena itu, maka dibutuhkan suatu gagasan yang mampu menyeleseikan
persoalan dalam penerapan pemberian bantuan hukum bagi masyarakat
kurang mampu tersebut, sehingga terciptanlah access to law and justice.29
Pihak yang berperan untuk mewujudkan optimalisasi layanan bantuan
hukum tidak hanya terbatas pada Organisasi Bantuan Hukum sebagai Pemberi
Bantuan Hukum dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai penyelenggara
bantuan hukum. Namun juga diperlukan peran dari berbagai institusi, lembaga
negara dan kementerian. Yang mana seluruh komponen tersebut memiliki
andil besar dalam mewujudkan optimalisasi layanan bantuan hukum.
Peran institusi/lembaga negara tersebut dapat terlihat antara lain :

28
Ricko Mamahit, 2013, Kedudukan Dan Fungsi Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan
Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Yang Kurang Mampu, Lex CrimenVol. II/No.
4/Agustus/2013, Hal. 76-77
29
Suyogi Imam Fauzi & Inge Puspita Ningtyas, 2018, Optimalisasi Pemberian Bantuan Hukum
Demi Terwujudnya Access to Law and Justice Bagi Rakyat Miskin Optimization of Legal
Assistance to the Fullest Access to Law and Justice for Poor People. Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman
a) Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan)
berwenang membuka akses bantuan hukum khususnya bagi orang yang
berhadapan dengan hukum.
b) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional berwenang dalam
Pembuatan perencanaan program nasional bantuan hukum.
c) Kementerian Riset dan Teknologi berkewenang dalam dhal peningkatan
sumber daya manusia pemberi bantuan hukum khususnya bagi para calon
sarjana hukum
d) Kementerian Dalam Negeri memiliki kewenangan dalam hal mendorong
Pemerintah Daerah untuk membuat dan menganggarkan progam bantuan
hukum pada tingkat daerah,
e) Kementerian Desa PDTT yang memiliki sumber daya masyarakat guna
peningkatan peran Paralegal di setiap pedesaan.
Terhadap peran dari para lembaga/institusi pemangku kepentingan
utama tersebut, maka diperlukan sinergi guna mengoptimalkan layanan
bantuan hukum untuk Masyarakat kurang mampu. Untuk mewujudkan
integrasi, konsolidasinya dan sinergi kebijakan dan pelaksanaan program
bantuan hukum diantara Institusi/Lembaga Negara sebagai pemangku
kepentingan utama, maka perlu dibentuk suatu Forum Khusus Antar
Kementerian/Lembaga dalam bentuk rapat kordinasi (High Level Meeting)
guna membicarakan Deklarasi Layanan Bantuan Hukum serta komitmen
implementasi terhadap Deklarasi dimaksud30.
Berpedoman pada terciptanya access to law and justice, maka harus
dilakukan berbagai upaya untuk mengoptimalisasi penerapan pemberian
bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu. Berikut beberapa upaya
dalam pengoptimalisasian penerapan pemberian bantuan hukum, yaitu sebagai
berikut31 :
1.Stimulant Untuk Advokat / LBH Dalam Memberikan Bantuan Hukum

Perluasan akses keadilan melalui optimalisasi layanan bantuan hukum yang


30

berkuaitas. diakses pada Selasa, 14 Januari 2020, Pukul 20.31.


https://bantuanhukumlampung.or.id/berita_lbhbandarlampung.php?judul_berita=Konfrensi%20Na
sional%20Bantuan%20Hukum:%20Perluasan%20Akses%20Keadilan%20Melalui%20Optimalisas
i%20Layanan%20Bantuan%20Hukum%20Yang%20Berkualitas,
31
Suyogi Imam Fauzi & Inge Puspita Ningtyas, Op.Cit
Menurut BAR Association (Organisasi Advokat se-Dunia), stimulant
merupakan salah satu cara untuk membuat advokat secara sadar mau untuk
memberikan bantuan hukum, karena cara yang bersifat represif tidaklah
efektif untuk menyadarkan advokat dalam memberikan bantuan hukum.
Cara yang bersifat stimulan ini dilakukan seperti mengadakan suatu award /
penghargaan agar para advokat terinspirasi untuk memberikan bantuan
hukum kepada masyarakat kurang mampu.
2.Bantuan Hukum yang Bersifat Aktif, Responsif dan Struktural.
Urgensi dalam merubah orientasi bantuan hukum agar bersifat aktif,
responsif dan struktural sangat diperlukan karena suatu keterbatasan dari
masyarakat kurang mampu yang buta akan pengetahuan dan kesadaran
hukum dan anggaran yang disediakan pengadilan maupun negara. Bersifat
aktif-responsif artinya advokat harus lebih mengetahui kebutuhan klien
(masyarakat kurang mampu) ketika bermasalah hukum tanpa harus
menunggu permintaan klien, aparat penegak hukum, maupun pengadilan.
Bersifat struktural artinya advokat dalam memberikan bantuan hukum tidak
hanya untuk menyelesaikan masalah di dalam pengadilan saja (penasihat
hukum), akan tetapi advokat/LBH lebih membuat si klien mengerti akan
hukum sehingga terciptalah suatu kesadaran hukum secara struktural, hal ini
menempatkan advokat selain sebagai penasihat hukum juga sebagai mentor
hukum.
3.Terjamahnya Seluruh Akses Menuju Peradilan.
Ketika para advokat/LBH sudah menyepakati orientasi bantuan hukum itu
harus bersifat aktif, responsif dan struktrual, maka akan menjadi suatu
niscaya terjamahnya seluruh akses menuju peradilan (seperti pengadilan
tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali), artinya klien
dapat menggunakan haknya secara penuh untuk mengakses hukum dan
keadilan.
4.Memurnikan Makna Gratis dalam Pemberian Bantuan Hukum.
Pemberian bantuan hukum secara gratis bukan suatu hal yang mustahil,
ketika suatu kebijakan dan mekanisme prosedur dapat dirubah agar lebih
mudah penyerapan dana bantuan hukum, baik berasal dari APBN, APBD
maupun pengadilan (Mahkamah Agung). Ketika prosedur akreditasi dan
mekanisme penyerapan dana bantuan hukum sudah dipermudah, maka
terwujudnya makna gratis dalam pemberian bantuan hukum bagi masyarakat
kurang mampu bukanlah suatu hal yang mustahil. Artinya para
advokat/LBH tidak akan ragu dalam memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma, karena dari penyerapan dana dapat membantu menghidupkan
aktivitas pekerjaannya.
5.Pengawasan dalam Penerapan Pemberian Bantuan Hukum
Dalam penerapan bantuan hukum diperlukan suatu sistem pengawasan baik
secara normative maupun implementasi untuk mengawasi beberapa
komponen dari penerapan bantuan hukum tersebut. Setelah materi dalam
pengawasan telah diketahui maka yang tidak kalah penting adalah
pengawasnya, yang dapat terdiri dari pemerintah, organisasi advokat dan
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, apabila gagasan mengenai 5 (lima)
upaya dalam mengoptimalkan pemberian bantuan hukum bagi masyarakat
kurang mampu telah diterima dan dilakukan, maka bukan suatu hal yang
mustahil akan terwujudnya access to law and justice bagi masyarakat
kurang mampu.

PENUTUP
Kesimpulan
1. Advokat sebagai Penegak Hukum harus mampu menjalankan seluruh aturan-
aturan yang menjadi ranahnya secara bertanggung jawab. Salah satu aturan
yang harus dijalankan oleh seorang advokat adalah keterbukaan peradilan,
disini Advokat dituntut untuk menyampaikan seluruh informasi hukum terkait
seluruh proses yang ada di pengadilan terhadap masyarakat. Terkait hak dan
kewajiban Pemberi dan Penerima Bantuan Hukum, diatur dalam Pasal 9
sampai Pasal 12 Undang-Undang No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
2. Penerapan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat dalam praktiknya
kurang optimal. Hal ini dikarenakan masih banyaknya persoalan yang bersifat
sistematis sehingga berdampak pada belum terwujudnya access to law and
justice bagi masyarakat kurang mampu. Untuk mewujudkan optimalisasi
layanan bantuan hukum tidak hanya LBH yang berperan aktif, namun juga
diperlukan peran dari seluruh institusi, lembaga Negara, dan kementerian yang
terkait. Terhadap seluruh komponen ini diperlukan sinergi untuk
mengoptimalkan layanan bantuan hukum kepada masyarakat, khususnya
masyarakat kurang mampu.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani Tri Astuti. 2015. Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu
Dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat. Refleksi Hukum. Vol 9 No 1
Hariyanto. 2017. Peran Lbh Kampus Di Ptkin Dalam Bantuan Hukum Terhadap
Masyarakat Miskin. Jurnal Al-‘Adl. Vol. 10 No. 1. Januari 2017.
Yunus Nirwan, Djafar Lucyana. 2008. Eksistensi Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) dalam Memberikan Layanan Hukm kepada Masyarakat di
Kabupaten Gorontal., Mimbar Hukum. Vol. 20, No. 3
Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta :
Cendana Press.
Winata Frans Hendra. 2000. Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan
Belas Kasihan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Frans Hendra Winata. 2000. Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin
Untuk Memperoleh Bantuan Hukum. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Sunggono Bambang, Harianto Aries. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju.
Lubis T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural. Jakarta :
LP3ES
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
Sinaga Harlen. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga. 2011
Kadafi Binziat, dkk. Advokat Indonesia mencari Legitimasi Studi tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum
& KebijakanIndonesia. 2002
Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bnatuan Hukum
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Parsaoran. ” Fungsi dan Peranan lembaga
bantuan hukum”.diakses dari
https://www.facebook.com/AdvokatParsaoran/posts/fungsi-dan-peranan-
lembaga-bantuan-hukum-adalah-sebagai-berikut1-public-
services/1785736424977251/, pada tanggal 14 Januari 2020 pukul 13.07
WIB
Dimyati Khudzaifah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Soekanto Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Soekanto Soerjono, Mamudji Sri. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers
Mamahit Ricko. 2013. Kedudukan Dan Fungsi Lembaga Bantuan Hukum Dalam
Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Yang Kurang Mampu.
Lex CrimenVol. II/No. 4/Agustus/2013
Fauzi Suyogi Imam, Ningtyas Inge Puspita. 2018. Optimalisasi Pemberian
Bantuan Hukum Demi Terwujudnya Access to Law and Justice Bagi Rakyat
Miskin Optimization of Legal Assistance to the Fullest Access to Law and
Justice for Poor People. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Perluasan akses keadilan melalui optimalisasi layanan bantuan hukum yang
berkuaitas. Diakses pada Selasa, 14 Januari 2020, Pukul 20.31.
https://bantuanhukumlampung.or.id/berita_lbhbandarlampung.php?judul_be
rita=Konfrensi%20Nasional%20Bantuan%20Hukum:%20Perluasan%20Aks
es%20Keadilan%20Melalui%20Optimalisasi%20Layanan%20Bantuan%20
Hukum%20Yang%20Berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai