Anda di halaman 1dari 5

IMUNOMODULATOR

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme

pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non spesifik

baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan non spesifik terhadap

antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan dengan penginduksi disebut

paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, akan

tetapi sebagian besar bekerja sebagai mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang

berperan pada imunitas.

Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor

paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapat

bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit,

melalui produksi interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan

makro (Gambar 1). Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling

berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi,

hingga mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek.

Aktivitas suatu senyawa yang dapat merangsang sistem imun tidak tergantung pada

ukuran molekul tertentu. Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan berat molekul

yang kecil maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk mencari senyawa

semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji imunbiologi saja.Metode pengujian

yang dapat dilakukan adalah metode in vitro dan in vivo, yang akan mengukur pengaruh

senyawa kimia terhadap fungsi dan kemampuan sistem mononuklear, demikian pula

kemampuan terstimulasi dari limfosit B dan T.

1
Gambar 1.mekanisme stimulant imun non spesifik

Metode uji aktivitas imunomoduator yang dapat digunakan,yaitu:

1. Metode bersihan karbon ("Carbon-Clearance")

Pengukuran secara spektrofluorometrik laju eliminasi partikel karbon dari daerah hewan. Ini

merupakan ukuran aktivitas fagositosis.

2. Uji granulosit

Percobaan in vitro dengan mengukur jumlah sel ragi atau bakteri yang difagositir oleh fraksi

granulosit yang diperoleh dari serum manusia. Percobaan ini dilakukan di bawah mikroskop.

3. Bioluminisensi radikal

Jumlah radikal 02 yang dibebaskan akibat kontak mitogen dengan granulosit atau makrofag,

merupakan ukuran besarnya stimulasi yang dicapai.

4. Uji transformasi limfosit T

2
Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu mitogen. Timidin bertanda ( 3 H) akan

masuk ke dalam asam nukleat limfosit 1. Dengan mengukur laju permbentukan dapat ditentukan

besarnya stimulasi dibandingkan dengan fitohemaglutinin A (PHA) atau konkanavalin A (Con A).

Persyaratan imunomodulator :

Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi persyaratan berikut:

 Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.

 Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.

 Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.

 Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek samping farmakologik

yang merugikan.

 Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.

Dasar fungsional paramunitas

1. Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasanmediator.

2. Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik terhadap antigen

tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan aktivitaslimfosit.

3. Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.

4. Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.

5. Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya sistemkomplemen properdin-

opsonin).

6. Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atauaktivator lain.

7. Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.

Immunomodulator membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh atau menenangkan

sistem kekebalan yang over aktif. Namun immonomodulator tidak meningkatkan sistem kekebalan

3
seperti yang dilakukan oleh immunostimulant (seperti contohnya Echinacea). Immunomodulator

direkomendasikan untuk orang-orang dengan penyakit autoimun dan secara luas digunakan pada

penyakit-penyakit kronik untuk mengembalikan sistem kekebalan dalam rangka membantu orang-

orang yang mengkonsumsi antibiotik atau terapi anti virus jangka panjang (termasuk terapi

antiretroviral untuk pengobatan HIV). Immunomodulator bekerja dengan cara menstimulasi sistem

pertahanan natural atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan sitokin yang secara alamiah akan

membantu tubuh dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh.

Golongan sterol dan sterolin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah immunomodulator

yang sangat baik. Jenis ini bisa dengan mudah didapatkan dalam segala macam buah-buahan dan

sayuran segar. Namun kandungannya akan hilang setelah dimasak. Ada beberapa nama obat atau

produk (seperti Moducare) yang sangat kaya dengan sterol dan sterolin. Immunomodulator alamiah

lainnya termasuk ginseng, chamomile tea, minuman lemon atau zaitun, ekstrak jamur resihi dan

esktrak daun zaitun. Berbagai obat yang mengandung immunomodulator jenis ini antara lain

Biobran, AHCC, Noxylane-4 dan MGN 3.

Pengobatan dengan immunomodulator sintetis, seperti azathioprine, 6-mercaptopurine,

methotrexate, and mycophenolate mofetil, akan bekerja dengan cara mensupresi sistem imun dan

menurunkan inflamasi di saluranpencernaan pada orang-orang dengan inflammatory bowel disease,

ulcerative colitis, dan Crohn’s disease. Tacrolimus juga dapat digunakan pada Crohn’s disease pada

saat penyakit tersebut sudah tidak efektif lagi terhadap pemberian kortikosteroid. Pada anak-anak,

immunomodulator lebih jarang menimbulkan gagal pertumbuhan (jika dibandingkan dengan

pemberian kortikosteroid)

4
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapi , Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 757-766.
Mohamed Labib Salem.2005.Review: Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella
sativa L. seed. International Immunopharmacology 5 (2005) 1749–1770
Swamy S.M.K dan B.K.H. Tan. 2000.Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella
sativa L. seed. Journal of Ethnopharmacology 70 (2000) 1–7
Widianto B Matildha. 1987. Immnomodulator. Jurusan Farmasi Institute Teknologi Bandung.
Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Halaman 44-46
Varalakshmi Ch,et al. 2008. Immunomodulatory effects of curcumin: In-vivo. International
Immunopharmacology (2008) 8, 688–700

Anda mungkin juga menyukai