Pada Agustus 1997, mata uang rupiah mulai bergerak di luar pakem normal. Rupiah
tidak saja bergeliat negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah bergerak sempoyongan.
Kemudian September 1997, Bursa Efek Jakarta (saat ini Bursa Efek Indonesia)
bersujud di titik terendahnya. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus
menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk membayar utang.
Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah
terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak pada
Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp 11.000. Kemudian pada Juli 1998,
rupiah terus merosot , US$1 setara dengan Rp 14.150. Pada 31 Desember 1998,
rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu meningkat hingga Rp 8.000 untuk
US$1.
Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih jauh dari krisis.
Karena beberapa pandangan ketika itu menyatakan bahwa Indonesia berbeda
dengan Thailand. Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus neraca
perdagangan lebih dari US$900 juta, cadangan devisa cukup besar, lebih dari
US$20 miliar, dan sektor perbankan masih baik-baik saja. Walaupun sebenarnya di
tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak perusahaan Indonesia yang meminjam
dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang tercatat bahwa rupiah menguat
atas dolar Amerika. Jadi, pinjaman dalam bentuk dolar dianggap jauh lebih murah.
Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya
kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soeharto
saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga melahirnya
ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak kalah penting
adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kondisi tersebut
berkelindan dengan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi
perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina
yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 miliar dolar
AS, sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka
pendek, di mana sekitar 20 miliar dolar AS akan jatuh tempo pada 1998. Sementara
pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 miliar dolar AS. Terpuruknya
kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS
pada 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dolar AS pada 22
Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut
diambangkan 14 Agustus 1997.
Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga
konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di
pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor konstruksi,
manufaktur, dan perbankan adalah sektor yang terpukul cukup parah. Sehingga
risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar pemutusan hubungan kerja
(PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-
an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai sekitar 50
persen dari total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155
dolar/kapita pada 1996 dan 1.088 dolar/kapita pada 1997 menciut menjadi 610
dollar/kapita pada 1998. Dua dari tiga penduduk Indonesia, sebagaimana dicatat
oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada dalam kondisi yang sangat miskin
pada 1999 jika ekonomi tak segera diperbaiki.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat
pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah menjadi nol
persen kuartal terakhir 1997. Angkanya terus menciut tajam menjadi kontraksi
sebesar 7,9 persen pada kuartal I/1998, kontraksi 16,5 persen kuartal II/1998, dan
terus terkontraksi 17,9 persen kuartal III/1998. Demikian pula laju inflasi hingga
Agustus 1998 sudah mencapai 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari
mencapai 12,67 persen.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis,
ternyata sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi
rupiah. Karena dunia bisnis sudah tercekik akibat beban utang, ketergantungan
besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di
pasar global. Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1
persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya
tumbuh 5,36 persen.
Kini, tak terasa sudah 20 tahun masa itu berlalu. Telah berlangsung beberapa kali
pergantian kepemimpinan nasional. Secara umum, semuanya berjalan baik. Pelan-
pelan kondisi ekonomi juga mulai tenang. Setiap pemerintahan baru yang terbentuk
juga mendapati tantangan dan peluangnya masing-masing. Oleh karena itu, yang
dibutuhkan dari kepemimpinan baru Jokowi-JK pun sama, yakni terobosan yang
berani yang tidak hanya berhenti di zona gembar-gembor infrastruktur.
Faktanya, Jokowi-JK tidak lagi kebagian booming commodity sebagaimana era
SBY-JK dan SBY-Boediono. Karena booming commodity yang diprogresifkan oleh
lonjakan harga komoditas dunia tersebut menggenapkan rata-rata pertumbuhan
ekonomi di era SBY menjadi tercatat lebih baik. Jika tidak, maka rerata pertumbuhan
ekonomi sejak 1997 akan tergerus sekira 1,5 persen per tahun.
Rata-rata pertubuhan PDB Indonesia dari 1997 sampai 2013 hanyalah 3,8 persen.
Jika kita tidak memasukkan krisis keuangan Asia alias memulai analisis dari tahun
2000, rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia hanyalah 4,5 sampai 2006. Nah,
peningkatan harga komoditas (commodity boom) menambah 1,5 terhadap
pertumbuhan PDB Nasional. Setelah peningkatan harga komoditas menggandakan
nilai ekspor Indonesia alias peningkatan sekira USD 100 miliar, barulah rata-rata
pertumbuhan PDB Indonesia menjadi 6 persen.
Jadi, sebagaimana dicatat dengan apik oleh Gustav Papanek (2014), sebagian
peningkatan tersebut terjadi karena peningkatan harga-harga barang yang secara
tak terduga mewakili sekitar 5 persen pertumbuhan PDB. Meskipun sebagian dari
harga yang tak terduga tersebut terdiri dari keuntungan yang dikirimkan ke luar
negeri, sebagian lagi masih berada di dalam negeri dan dianggap telah berhasil
memberikan efek pengganda.
Pendeknya, ledakan harga komoditas menambah 1,5 persen per tahun kepada
pertumbuhan PDB Nasional dari 2006 hingga 2011. Tanpa itu, pertumbuhan
ekonomi hanya akan mampu tercatatkan angka sekira di bawah 5 persen. Dan
celakanya, kemungkinan terjadinya lonjakan harga komoditas seperti itu lagi
sangatlah kecil, bahkan sangat mustahil dalam rentang beberapa tahun mendatang
Oleh karena itu, memori krisis moneter 1997/1998 harus tetap kita jadikan
sebagai reminder penting bahwa apapun alasannya, pemerintah harus mengambil
semua jalan yang mungkin untuk menambal kerapuhan ekonomi yang bisa berakibat
krisis. Sebab, apapun alasannya, kerapuhan ekonomi yang bisa berujung pada krisis
pada akhirnya akan mempersempit peluang rakyat banyak untuk mendapatkan "hak
untuk hidup sejahtera". Semoga.