Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Asia Timur

“Filsafat Cina”

Disusun oleh
Nama : Zulkifli Pelana
NIM : 4415120305
Prodi : Pendidikan Sejarah (A)
Pendahuluan
Secara etimologis, istilah “filsafat”, yang merupakan padanan kata falsafah (bahasa
Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), berasal dari bahasa Yunani: philosophia.1 Secara
harfiah, filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya yang mendasari suatu pemikiran.2
Terkait konteks filsafat secara umumnya, perkembangan pemikiran di Cina dalam
perjalanan sejarahnya memiliki berbagai aliran yang kelak nantinya berpengaruh terhadap
berbagai aspek, seperti politik, moral, budaya, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam kehidupan masyarakat Cina.
Filsafat Cina merupakan filsafat yang ditulis dalam tradisi pemikiran Cina. Sejarah
pemikiran Cina telah berlangsung selama beberapa ribu tahun; sering dianggap bermula dari I
Ching (Buku Perubahan), sebuah ringkasan ramalan kuno yang muncul setidaknya tertanggal
672 SM.3 Kemudian, berbagai jenis atau aliran filsafat pun bermunculan dalam perjalanan
sejarah masyarakat Cina akan dibahas pada bagian isi makalah ini.

1. Konfusianisme
Konfusianisme merupakan ajaran filsafat yang diajarkan oleh Konfusius (Kong Fu Tse)
yang dilahirkan pada tahun 551 SM dan dia hidup sampai tahun 479 SM.4 Ajaran konfusius
ini berkembang dari pengajaran para guru yang terkumpul dalam sebuah sekolah filsafat,
catatan mengenai ajaran ini terdapat dalam Analects of Confucius. Konfusianisme adalah
sistem moral, sosial, politik, pemikiran religi yang berpengaruh sangat besar terhadap sejarah,
pemikiran, dan kebudayaan bangsa Cina hingga abad ke-21. Pengaruhnya juga tersebar ke
Korea dan Jepang.5
Konsep pokok ajaran konfusius mencakup rén (perikemanusiaan), zhèngmíng
(pengoreksian nama; misalnya: seorang penguasa yang berkuasa dengan tidak adil akan
lengser dari kursi kekuasaannya), zhōng (kesetiaan), xiào (berbakti pada orang tua), dan lǐ
(ritual). Ajaran konfusius mencakup versi positif dan negatif yang terkonsep pada Yin dan
Yang. Konsep Yin (kegelapan, dingin, perempuan, negatif) dan Yang (cahaya, panas, laki-
laki, positif) mewakili dua kekuatan berlawanan yang secara permanen berkonflik satu sama
lain, memimpin pertentangan dan perubahan terus-menerus. Gagasan konfusianisme juga

1
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 14
2
<http://kbbi.web.id/filsafat>, diakses 8-2-2014, pukul 20.08 WIB
3
Ian McGreal, Great Thinkers of the Eastern World (London: Harper Collins, 1995), hlm. 60
4
<http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism>, diakses 8-2-2014, pukul 22.44 WIB
5
<http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_philosophy>, diakses 8-2-2014, pukul 20.12 WIB
memakai suatu cara mendamaikan pertentangan, dengan cara memadukan keduanya dan
mengambil jalan tengah yang terbaik.
Selain itu, Kong Fu Tse pun menemukan sebuah sistem etika dan pemerintahan yang
mempromosikan kebaikan. Dia mengajarkan bahwa setiap orang harus melihat dengan jelas
tempatnya dalam dunia hierarki, dari raja sampai orang biasa, dan memenuhi tanggung jawab
mereka kepada mereka yang ada di atas dan di bawah mereka, melaksanakan kepatuhan,
kesalehan, hormat kepada orang tua, dan penuh kebaikan. Ini adalah cara untuk mendapatkan
perkenan Tuhan, cara penguasa untuk mendapatkan dan memelihara Mandat Langit. Jadi, inti
dari ajaran Kong Fu Tse yaitu pada dasarnya manusia adalah bagian dari sebuah keluarga
besar, yang diatur oleh kebajikan keluarga.6
2. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (”guru tua”) yang hidup sekitar 550 SM. Taoisme
adalah sebuah filosofi dan kemudian berkembang menjadi agama yang berdasarkan pada teks
Dao Te Ching (Dào Dé Jīng; dianggap berasal dari Lao Zi / Lao Tse) and the Zhuangzi

(sebagian dianggap berasal dari Zhuangzi). Huruf Dao 道 (Dao) secara harfiah berarti “jalan”

atau “cara”. Bagaimanapun dalam Taoisme lebih sering mengarah pada suatu istilah metafisis
yang digambarkan sebagai kekuatan yang meliputi seluruh alam semesta tetapi tak bisa
digambarkan atau dirasakan.
Semua sekolah filsafat Cina yang besar telah menginvestigasi cara yang benar tentang
moral kehidupan, tapi hal itu dalam Taoisme menjadi bermakna lebih abstrak. Ajaran ini
menyokong sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam (wu wei), kekuatan dari
kelembutan, spontanitas, relativisme.
Ajaran Lao Tse ini melawan ajaran Konfusius. Lao Tse menekankan ajarannya pada
metafisika, sedangkan Konfusius pada etika. Kebanyakan fokus ajaran Taoisme adalah pada
fakta yang tak dapat disangkal bahwa usaha manusia untuk membuat dunia lebih baik
ternyata membuat dunia lebih buruk. Oleh karenanya, adalah lebih baik berjuang untuk
keselerasan (harmony), memperkecil campur tangan yang berpotensi bahaya dengan alam
atau dengan hubungan manusia.7
3. Legalisme

6
John Man, The Terracotta Army: Kisah Misterius tentang Pasukan Penjaga Makam Keramat Kaisar Pertama
China (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), hlm. 35
7
Wing-tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy (New Jersey: Princeton University Press, 1963), hlm.
137
Legalisme merupakan ajaran filsafat yang terkait dengan aspek politik dalam masyarakat
Cina. Legalisme dikemukakan oleh seorang cendekiawan muda bernama Shang Yang, yang
lahir di negara Wei sekitar tahun 400 SM.8 Ajaran ini dilatarbelakangi di antaranya oleh
percekcokan terus-menerus dalam Negara-Negara Perang (Warring States)9, yang mana pada
masa ini perdamaian bukanlah kondisi yang dapat diraih dalam jangka lama. Dalam
pandangan ajaran legalisme, tujuan dari mengusahakan seni perdamaian hanya akan
mempunyai arti jika dilakukan secara efektif dalam perang dan damai. Dalam damai,
pemerintah yang bijaksana mempersiapkan perang; dia harus menjamin kemenangan; dalam
kemenangan, dia memelihara perdamaian dan mempersiapkan perang lagi. Intinya, ajaran ini
menekankan pada stabilitas, di mana stabilitas adalah segala-galanya, dan stabilitas hanya
bisa dijamin di bawah kepemimpinan yang kuat.10
Adapun menurut ajaran legalisme, seorang penguasa harus memerintah warganya dengan
trinitas sebagai berikut:

a. Fa (法 fa): hukum atau prinsip.

b. Shu (術 shù): cara, taktik, seni, atau tata negara.

c. Shi (勢 shì): legitimasi, kekuatan, atau karisma.

Legalisme merupakan kebalikan dari ajaran Kong Fu Tse. Menurut ajaran legalisme,
gagasan Kong Fu Tse yang memberikan jawaban yang baik untuk perlakuan yang baik
dianggap naif. Satu-satunya cara memerintah adalah dengan membujuk, menakut-nakuti,
memberi imbalan, dan menghukum. Perlakuan ini tidak sewenang-wenang, tetapi didasarkan
pada aturan hukum yang keras, yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
“Hukum,” tulis Shang, “adalah dasar pemerintahan. Hukum itulah yang membentuk orang.”11
Oleh sebab itu, kepatuhan mutlak untuk penegakan hukum diterapkan secara ketat, sesuai
motto utama ajaran ini adalah: “Terapkan hukum yang ketat dan jelas, atau beri hukuman
berat”.
Tugas pertama raja adalah merencanakan, menuliskan, kemudian menjamin hukum
diberlakukan secara jujur melalui para pejabat dengan benar-benar patuh pada lembaga

8
John Man, op. cit., hlm. 40
9
Ada tujuh negara besar yang saling bermusuhan satu sama lain, yaitu: Qin, Chu, Han, Qi, Zhao, Wei, dan Yan.
Periode Negara-Negara Perang berlangsung sekitar tahun 475 SM - 221 SM, yang merupakan sebuah zaman di
penghujung Dinasti Zhou (<http://id.wikipedia.org/wiki/Periode_Negara_Perang>, diakses 9-2-2014, pukul
10.11 WIB)
10
John Man, op. cit., hlm. 38
11
ibid., hlm. 40
negara. Penguasa sendirilah yang akan berwenang untuk memberi imbalan dan hukuman.
Menteri hanya diberi imbalan jika kata-kata mereka cocok dengan hasil dari proposal mereka,
dan dihukum jika kata-kata mereka tidak cocok dengan hasil proposal mereka, tak peduli
apakah hasilnya lebih buruk atau lebih baik dari klaim.
Legalisme inilah merupakan filsafat yang dipilih oleh Dinasti Qin guna menegakkan
hukum sekaligus kekuasaan dinasti. Filsafat itu memicu masyarakat totaliter, dan sesuai
dengan interpretasi Han Fei, legalisme bisa mendorong negara untuk menjadi autarki
militeristik.12
4. Mohisme

Mohisme adalah ajaran filsafat yang didirikan oleh Mozi (墨 子) atau Mo Tse antara

500-400 SM, mempromosikan cinta universal (Chien Ai) dengan tujuan saling
menguntungkan. Setiap orang harus saling mencintai, setara dan tidak memihak untuk
menghindari konflik dan perang.
Mozi sangat menentang ritual konfusius, sebagai gantinya, dia menekankan
kelangsungan hidup yang pragmatis melalui pertanian, perbentengan, dan tata negara.
Panduan moral harus mendorong perilaku sosial yang memaksimalkan manfaat umum.
Karena sifatnya yang pragmatis, ajaran filsafat ini langsung terarah kepada hal yang berguna.
Oleh sebab itu, segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Sebagai motivasi untuk
teorinya, Mozi membawa Will of Heaven (Keinginan Langit).13
5. Neo-Konfusianisme
Dari tahun 1000 M, konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting.
Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina.
Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang
merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sama sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam
Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
6. Masuknya Pengaruh Filsafat Barat
Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh
pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke
dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang
lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan

12
<http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_philosophy>, diakses 9-2-2014, pukul 19.43 WIB
13
<http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_philosophy>, diakses 9-2-2014, pukul 19.43 WIB
kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx,
Lenin dan Mao Tse Tung.

Daftar Pustaka
Chan, Wing-tsit. 1963. A Source Book in Chinese Philosophy. New Jersey: Princeton
University Press
Creel, Herrlee Glessner. 1971. Chinese Thought; from Confucius to Mao Zedong. London:
The University of Chicago Press
Fung Yu-Lan (ed. Derk Bodde). 1948. A Short History of Chinese Philosophy. New York:
Macmillan
Man, John. 2010. The Terracotta Army: Kisah Misterius tentang Pasukan Penjaga Makam
Keramat Kaisar Pertama China. Jakarta: Pustaka Alvabet
McGreal, Ian. 1995. Great Thinkers of the Eastern World. London: Harper Collins
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
<http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_philosophy>, diakses 9-2-2014, pukul 19.43 WIB
<http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism>, diakses 8-2-2014, pukul 22.44 WIB
<http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Cina>, diakses 8-2-2014, pukul 20.13 WIB
<http://id.wikipedia.org/wiki/Periode_Negara_Perang>, diakses 9-2-2014, pukul 10.11 WIB
<http://kbbi.web.id/filsafat>, diakses 8-2-2014, pukul 20.08 WIB

Anda mungkin juga menyukai