KELOMPOK 3
Pemegang saham dan para pemangku lainnya menaruh harapan besar terhadap bisnis,
direksi, eksekutif dan akuntan profesional tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara
mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan tempat bisnis beroperasi semakin
komplek sehingga hal tersebut menjadi tantangan etika bagi mereka. Jika mereka sampai
melakukan tindakan yang melanggar etika, maka hal tersebut bisa menimbulkan resko yang
besar dan akan berpengaruh buruk bagi reputasi dan pencapaian tujuan perusahaan secara
keseluruhan. Jadi, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan
serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang saham dan semua pemangku
kepentingan lainnya.
Kasus pelanggaran etika yang berujung pada kegagalan bisnis, audit, tata kelola
perusahaan berskala besar seperti Enron, Arthur Andersen dan WordCom telah mengakibatkan
hilangnya kepercayaan investor terhadap perusahaa di Amerika. Hal ini merupakan suatu
bencana besar di lingkungan bisnis, dan telah menjadi pemicu harapan baru dalam tata kelola
dan akuntabilitas baru yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang bertujuan untuk
memulihkan kembali kepercayaan investor dan memfokuskan kembali tata kelola perusahaan
pada tanggungjawab direksi terhadap kewajiban fidusia mereka, yakni tanggungjawab
terhadap kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.
3. Konflik Kepentingan
Seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari
konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika penilaian independen seseorang
menjadi goyah, atau ada kemungkinan goyah dalam membuat keputusan terkait dengan
kepentingan terbaik lainnya yang bergantung pada penilaian tersebut. Hal ini bisa saja terjadi
karena karyawan dan pimpinan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung
memiliki kepentingan pribadi dalam mengambil suatu keputusan yang seharusnya diambil
secara objektif, bebas dari keragu-raguan, dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan.
Konflik kepentingan ini lebih dari sekedar bias, dimana dapat diukur dan disesuaikan. Jadi
karena ketidakjelasan sifat dan besarnya pegaruh, perhatian harus benar-benar diberikan pada
setiap kecenderungan yang menuju kepada bias.
3. Kepemimpinan Etika
Salah satu unsur penting dari tata kelola dan akuntabilitas perusahaan adalah “tone at the top”
dan peran pimpinan dalam membangun, membina, melaksanakan, dan memantau budaya
perusahaan yang diharapkan. Jika para pemimpin senior atau junior hanya bersuara untuk
menyatakan nilai-nilai yang diinginkan di dalam perusahaan, maka karyawan akan
mempertimbangkan hal tersebut sebagai suatu yang tidak patut diperhatikan. Meskipun budaya
formal organisasi menetapkan nilai tersebut, namun jika tidak didukung oleh budaya informal
maka hal tersebut hanya akan diangap sebagai suatu ocehan atau istilah lainnya “window
dressing”.
Tata kelola etika dan akuntabilitas perusahaan bukan hanya sekedar bisnis yang bagus,
namun merupakan suatu hukum. SOX Seksi 404 mengharuskan perusahaan meneliti
efektivitas sistem pengendalian internal mereka terkait dengan pelaporan keuangan. CEO,
CFO, dan auditor harus melaporkan dan menyatakan efektivitas tersebut. Pendekatan COSO
terkait dengan sistem pengendalian internal menjelaskan bagaimana cara suatu perusahaan
mencapai tujuannnya melalui 4 dimensi, yaitu strategi, operasi, pelaporan, dan kepatuhan.
Melalui 4 dimensi tersebut, kerangka manajemen etika melibatkan 8 unsur yang saling terkait
mengenai cara manajemen menjalankan perusahaan dan bagaimana mereka terintegrasi dengan
proses manajemen yang meliputi lingkungan internal, penetapan tujuan, identifikasi kejadian,
penilaian risiko, tanggapan terhadap risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi,
dan pemantauan (monitoring).
Etika dan budaya etis perusahaan memainkan peran penting dalam penetapan
pengendalian lingkungan, dan juga dalam menciptakan manajemen risiko etika yang efektif
yang berorientasi pada sistem pengendalian internal dan perilaku yang dihasilkan. Oleh karena
itu, hal tersebut dapat menentukan “tone at the top”, kode etik, kepedulian pegawai, tekanan
untuk memperoleh tujuan yang tidak realistis, kesediaan manajemen untuk mengabaikan
pengendalian, kepatuhan dalam penilaian kinerja, pemantauan terhadap efektivitas
pengendalian internal, program “whistle-blowing”, dan tindakan perbaikan dalam menanggapi
pelanggaran kode etik.
1. Tahap Persiapan
Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama: 1) awareness building, 2) GCG assessment, dan 3)
GCG manual building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun
kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini
dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk
kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok. GCG Assessment
merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam
penetapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG
dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan infrastruktur dan
struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain, GCG
assessment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspekaspek apa yang perlu mendapatkan
perhatian terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya.
GCG manual building, adalah langkah berikut setelah GCG assessment dilakukan.
Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas
penerapannya, penyusunan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun.
Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar
perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan
manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek seperti:
a. Kebijakan GCG perusahaan
b. Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan
c. Pedoman perilaku
d. Audit commitee ch\arter
e. Kebijakan disclosure dan transparansi
f. Kebijakan dan kerangka manajemen resiko
g. Roadmap implementasi
2. Tahap Implementasi
Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah selanjutnya adalah memulai
implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni:
a. Sosialisasi,
diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan berbagai aspek yang
terkait dengan implementasi GCG khususnya mengenai pedoman penerapan GCG.
Upaya sosialisasi perlu dilakukan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu,
langsung berada di bawah pengawasan direktur utama atau salah satu direktur yang
ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan.
b. Implementasi
yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman GCG yang ada, berdasar
roadmap yang telah disusun. Implementasi harus bersifat top down approach yang
melibatkan dewan komisaris dan direksi perusahaan. Implementasi hendaknya
mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management) guna mengawal
proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG.
c. Internalisasi
yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi. Internalisasi mencakup upaya-upaya
untuk memperkenalkan GCG di dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja, dan
berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan
GCG bukan sekedar dipermukaan atau sekedar suatu kepatuhan yang bersifat
superficial, tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan.
3. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu
untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakukan dengan meminta
pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada.
Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat memberikan jasa audit yang demikian, dan
di Indonesia ada beberapa perusahaan yang melakukan scoring. Evaluasi dalam bentuk
assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatory misalnya seperti yang
diterapkan di lingkungan BUMN. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan kembali
kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat
mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.
Hal tersebut menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi"
terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat
sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin
pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Menurut Murphy, tiga pendekatan yang dapat diterapkan untuk menanamkan prinsip-
prinsip etika ke dalam bisnis, yaitu:
1. Credo perusahaan yang mendefinisikan dan mengarahkan kepada nilai-nilai
perusahaan. Credo adalah pernyataan ringkas dari penyerapan nilai-nilai suatu
perusahaan, Credo dapat diinterpretasikan dengan simple sebagai sebuah pernyataan
misi dari organisasional, bukan sebagai sebuah dokumen, Credo tidak dapat
didudukkan dalam waktu yang cukup lama sehingga belum dapat dinilai.
2. Program etika dimana perusahaan berfokus pada isu-isu etika. Program etika
menyediakan petunjuk yang lebih detail untuk menyelesaikan masalah etika yang
potensial daripada credo umum.
Kode etik yang memberikan panduan spesifik untuk karyawan di area bisnis fungsional.
Kode etika adalah mekanisme structural perusahaan yang digunakan sebagai tanda komitmen
mereka terhadap prinsip-prinsip etika. Mekanisme dirasakan sebagai cara yang paling efektif
untuk mendukung kebiasaan etika bisnis. Kode etika biasanya membahas isu-isu seperti
konflik kepentingan, kompetitor, privasi, pemberian dan penerimaan pemberian, dan
kontribusi politik.