Anda di halaman 1dari 11

ETIKA BISNIS DAN PROFSI

TATA KELOLA ETIS PERUSAHAAN DAN


AKUNTABILITAS

PRODI AKUNTANSI A1/2012

KELOMPOK 3

1. ASTRI AFRIANA (1262012)


2. IRMA DESI SRIWAHYUNI (1262060)
3. ROSIDATUL INAYAH (1262105)
4. SEPTY DWI RATNASARI (1262108)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PGRI DEWANTARA JOMBANG

Jl. Prof. M. Yamin No.77 Jombang


“TATA KELOLA ETIS PERUSAHAAN DAN AKUNTABILITAS”

Pemegang saham dan para pemangku lainnya menaruh harapan besar terhadap bisnis,
direksi, eksekutif dan akuntan profesional tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara
mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan tempat bisnis beroperasi semakin
komplek sehingga hal tersebut menjadi tantangan etika bagi mereka. Jika mereka sampai
melakukan tindakan yang melanggar etika, maka hal tersebut bisa menimbulkan resko yang
besar dan akan berpengaruh buruk bagi reputasi dan pencapaian tujuan perusahaan secara
keseluruhan. Jadi, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan
serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang saham dan semua pemangku
kepentingan lainnya.
Kasus pelanggaran etika yang berujung pada kegagalan bisnis, audit, tata kelola
perusahaan berskala besar seperti Enron, Arthur Andersen dan WordCom telah mengakibatkan
hilangnya kepercayaan investor terhadap perusahaa di Amerika. Hal ini merupakan suatu
bencana besar di lingkungan bisnis, dan telah menjadi pemicu harapan baru dalam tata kelola
dan akuntabilitas baru yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang bertujuan untuk
memulihkan kembali kepercayaan investor dan memfokuskan kembali tata kelola perusahaan
pada tanggungjawab direksi terhadap kewajiban fidusia mereka, yakni tanggungjawab
terhadap kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.

 Ancaman Bagi Tata Kelola dan Akuntabilitas yang Baik


Dalam menanggapi ancaman-ancaman yang terkait dengan tata kelola dan akuntabilitas
yang baik, maka suatu pedoman yang jelas sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan
mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Tiga ancaman yang signifikan meliputi:

1. Salah mengartikan tujuan dan kewajiban fidusia.


Misalnya pada kasus Enron, banyak direksi dan karyawannya percaya bahwa tujuan
perusahaan terpenuhi dengan baik oleh tindakan-tindakan yang membawa keuntungan jangka
pendek, sehingga perusahaan melakukan manipulasi untuk memperoleh keuntungan tersebut
yang ternyata berujung pada kehancuran perusahan tersebut.
2. Kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko etika.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas, volatilitas, dan risiko yang melekat pada
kepentingan dan operasi perusahaan, maka risiko harus dapat diidentifikasi, dinilai, dan
dikelola dengan hati-hati. Prinsipnya yaitu, risiko etika terjadi ketika terdapat kemungkinan
harapan stakeholder tidak terpenuhi. Menemukan dan memperbaikinya adalah sangat penting
untuk menghindari krisis atau kehilangan dukungan dari para pemangku kepentingan. Hal itu
dapat dilakukan dengan menetapkan tanggung jawab, mengembangkan proses tahunan, dan
tinjauan dari dewan organisasi.

3. Konflik Kepentingan
Seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari
konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika penilaian independen seseorang
menjadi goyah, atau ada kemungkinan goyah dalam membuat keputusan terkait dengan
kepentingan terbaik lainnya yang bergantung pada penilaian tersebut. Hal ini bisa saja terjadi
karena karyawan dan pimpinan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung
memiliki kepentingan pribadi dalam mengambil suatu keputusan yang seharusnya diambil
secara objektif, bebas dari keragu-raguan, dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan.
Konflik kepentingan ini lebih dari sekedar bias, dimana dapat diukur dan disesuaikan. Jadi
karena ketidakjelasan sifat dan besarnya pegaruh, perhatian harus benar-benar diberikan pada
setiap kecenderungan yang menuju kepada bias.

 Elemen Kunci dari Tata Kelola Perusahaan dan Akuntabilitas.


1. Mengembangkan, Menerapkan, dan Mengelola Budaya Perusahaan Secara Etis
Direksi, pemilik, manajemen senior, dan karyawan semuanya harus memahami bahwa
suatu organisasi akan lebih bernilai jika mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku
kepentingannya, tidak hanya pemegang saham, dan dalam membuat keputusan
mempertimbangkan nilai-nilai etika yang tepat. Direksi dan para eksekutif harus cermat dalam
mengatur bisnis dan risiko etika perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis
telah berjalan dengan efektif dalam perusahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan
kode etik sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat mengenai perilaku-perilaku etis,
memperkuat perilaku-perilaku tersebut, dan memastikan bahwa nilai-nilai yang mendasarinya
melekat pada strategi dan operasi perusahaan. Hal-hal seperti konflik kepentingan, pelecehan
seksual, dan hal-hal serupa lainnya harus segera diatasi dengan pengawasan yang memadai
untuk menjaga agar budaya perusahaan tetap sejalan dengan harapan saat ini.
2. Kode Etik Perusahaan
Kode etik dalam tingkah laku bisnis di perusahaan merupakan implementasi salah satu
prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Kode etik dapat didefinisikan sebagai mekanisme
struktural perusahaan yang digunakan sebagai tanda komitmen mereka terhadap prinsip-
prinsip etika. Mekanisme tersebut dipandang sebagai suatu cara yang efektif untuk mendukung
kebiasaan etika dalam menjalankan bisnis. Kode etik menuntut karyawan dan pimpinan
perusahaan untuk melakukan praktik-praktik etika bisnis terbaik dalam semua hal yang
dilakukan atas nama perusahaan. Jika prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya
perusahaan, maka seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan
berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas
bisnis perusahaan. Pelanggaran kode etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

3. Kepemimpinan Etika
Salah satu unsur penting dari tata kelola dan akuntabilitas perusahaan adalah “tone at the top”
dan peran pimpinan dalam membangun, membina, melaksanakan, dan memantau budaya
perusahaan yang diharapkan. Jika para pemimpin senior atau junior hanya bersuara untuk
menyatakan nilai-nilai yang diinginkan di dalam perusahaan, maka karyawan akan
mempertimbangkan hal tersebut sebagai suatu yang tidak patut diperhatikan. Meskipun budaya
formal organisasi menetapkan nilai tersebut, namun jika tidak didukung oleh budaya informal
maka hal tersebut hanya akan diangap sebagai suatu ocehan atau istilah lainnya “window
dressing”.

 Kewajiban Direksi dan Pekerja

Tata kelola etika dan akuntabilitas perusahaan bukan hanya sekedar bisnis yang bagus,
namun merupakan suatu hukum. SOX Seksi 404 mengharuskan perusahaan meneliti
efektivitas sistem pengendalian internal mereka terkait dengan pelaporan keuangan. CEO,
CFO, dan auditor harus melaporkan dan menyatakan efektivitas tersebut. Pendekatan COSO
terkait dengan sistem pengendalian internal menjelaskan bagaimana cara suatu perusahaan
mencapai tujuannnya melalui 4 dimensi, yaitu strategi, operasi, pelaporan, dan kepatuhan.
Melalui 4 dimensi tersebut, kerangka manajemen etika melibatkan 8 unsur yang saling terkait
mengenai cara manajemen menjalankan perusahaan dan bagaimana mereka terintegrasi dengan
proses manajemen yang meliputi lingkungan internal, penetapan tujuan, identifikasi kejadian,
penilaian risiko, tanggapan terhadap risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi,
dan pemantauan (monitoring).
Etika dan budaya etis perusahaan memainkan peran penting dalam penetapan
pengendalian lingkungan, dan juga dalam menciptakan manajemen risiko etika yang efektif
yang berorientasi pada sistem pengendalian internal dan perilaku yang dihasilkan. Oleh karena
itu, hal tersebut dapat menentukan “tone at the top”, kode etik, kepedulian pegawai, tekanan
untuk memperoleh tujuan yang tidak realistis, kesediaan manajemen untuk mengabaikan
pengendalian, kepatuhan dalam penilaian kinerja, pemantauan terhadap efektivitas
pengendalian internal, program “whistle-blowing”, dan tindakan perbaikan dalam menanggapi
pelanggaran kode etik.

 Tolak Ukur Akuntabilitas Publik


Salah satu perkembangan terkini yang perlu dipertimbangkan oleh dewan direksi dan
manajemen ketika mengembangkan nilai-nilai, kebijakan, dan prinsip-prinsip yang mendasari
budaya perusahaan dan tindakan karyawan mereka adalah gelombang baru dalam pengawasan
pemangku kepentingan dan kebutuhan untuk transparansi dan akuntabilitas publik. Jika direksi
mampu mengenali dan mempersiapkan perusahaan mereka di era baru dimana akan
berhadapan dengan akuntabilitas para pemangku kepentingan yang efektif dan juga sistem tata
kelola yang beretika, mereka tidak hanya akan mengurangi risiko, tapi juga akan menghasilkan
keuntungan kompetitif dari perlanggan, karyawan, mitra, lingkungan, dan para stakeholder
lainnya yang tentunya menarik bagi pemegang saham. Intinya, direksi, eksekutif, dan akuntan
profesional harus fokus sepenuhnya terhadap pengembangan dan pemeliharaan budaya
integritas jika mereka ingin memuaskan harapan seluruh pemangku kepentingannya.
GOOD GOVERNANCE
Good corporate governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur
dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua
stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama,
pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada
waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure)
secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan stakeholder. Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep
good corporate governance, (Kaen, 2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency,
accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan
prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas
laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang
mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Konsep good corporate governance baru populer di Asia. Konsep ini relatif berkembang
sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru dikenal di Inggris pada tahun
1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok OECD (kelompok Negara-negara
maju di Eropa Barat dan Amerika Utara) mempraktikkan pada tahun 1999.

 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance


Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance yaitu:
1. Transparency
(keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai
perusahaan.
2. Accountability (akuntabilitas),
yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
3. Responsibility (pertanggungjawaban),
yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi
yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
4. Independency (kemandirian)
yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan
dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Fairness (kesetaraan da kewajaran)
yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui
supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.

 Tahap-tahap Penerapan Good Corporate Governance


Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi perusahaan untuk
melaku kan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi perusahaan,
dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan
dukungan dari seluruh unsur di dalam perusahaan.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan GCG
menggunakan tahapan berikut (Chinn, 2000; Shaw,2003).

1. Tahap Persiapan
Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama: 1) awareness building, 2) GCG assessment, dan 3)
GCG manual building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun
kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini
dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk
kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok. GCG Assessment
merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam
penetapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG
dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan infrastruktur dan
struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain, GCG
assessment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspekaspek apa yang perlu mendapatkan
perhatian terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya.
GCG manual building, adalah langkah berikut setelah GCG assessment dilakukan.
Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas
penerapannya, penyusunan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun.
Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar
perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan
manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek seperti:
a. Kebijakan GCG perusahaan
b. Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan
c. Pedoman perilaku
d. Audit commitee ch\arter
e. Kebijakan disclosure dan transparansi
f. Kebijakan dan kerangka manajemen resiko
g. Roadmap implementasi

2. Tahap Implementasi
Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah selanjutnya adalah memulai
implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni:
a. Sosialisasi,
diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan berbagai aspek yang
terkait dengan implementasi GCG khususnya mengenai pedoman penerapan GCG.
Upaya sosialisasi perlu dilakukan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu,
langsung berada di bawah pengawasan direktur utama atau salah satu direktur yang
ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan.
b. Implementasi
yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman GCG yang ada, berdasar
roadmap yang telah disusun. Implementasi harus bersifat top down approach yang
melibatkan dewan komisaris dan direksi perusahaan. Implementasi hendaknya
mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management) guna mengawal
proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG.
c. Internalisasi
yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi. Internalisasi mencakup upaya-upaya
untuk memperkenalkan GCG di dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja, dan
berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan
GCG bukan sekedar dipermukaan atau sekedar suatu kepatuhan yang bersifat
superficial, tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan.

3. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu
untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakukan dengan meminta
pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada.
Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat memberikan jasa audit yang demikian, dan
di Indonesia ada beberapa perusahaan yang melakukan scoring. Evaluasi dalam bentuk
assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatory misalnya seperti yang
diterapkan di lingkungan BUMN. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan kembali
kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat
mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.

PENGEMBANGAN PROGRAM ETIKA


Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah:
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
6. Menghindari sifat curang
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan
pengusaha kebawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang
berupa peraturan perundang-undangan

Hal tersebut menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi"
terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat
sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin
pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.

Menurut Murphy, tiga pendekatan yang dapat diterapkan untuk menanamkan prinsip-
prinsip etika ke dalam bisnis, yaitu:
1. Credo perusahaan yang mendefinisikan dan mengarahkan kepada nilai-nilai
perusahaan. Credo adalah pernyataan ringkas dari penyerapan nilai-nilai suatu
perusahaan, Credo dapat diinterpretasikan dengan simple sebagai sebuah pernyataan
misi dari organisasional, bukan sebagai sebuah dokumen, Credo tidak dapat
didudukkan dalam waktu yang cukup lama sehingga belum dapat dinilai.
2. Program etika dimana perusahaan berfokus pada isu-isu etika. Program etika
menyediakan petunjuk yang lebih detail untuk menyelesaikan masalah etika yang
potensial daripada credo umum.

Kode etik yang memberikan panduan spesifik untuk karyawan di area bisnis fungsional.
Kode etika adalah mekanisme structural perusahaan yang digunakan sebagai tanda komitmen
mereka terhadap prinsip-prinsip etika. Mekanisme dirasakan sebagai cara yang paling efektif
untuk mendukung kebiasaan etika bisnis. Kode etika biasanya membahas isu-isu seperti
konflik kepentingan, kompetitor, privasi, pemberian dan penerimaan pemberian, dan
kontribusi politik.

Anda mungkin juga menyukai