Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Krisis Hipertensi

Harun Gani – 112016359

Dr. Pembimbing

dr. Krisma Kurnia, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 17 JULI – 23 SEPTEMBER 2017
RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA LEMPUYANGWANGI
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi berasal dari dua kata, hiper = tinggi dan tensi = tekanan darah. Menurut
American Society of Hipertension ( ASH ), hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan
gejala kardiovasculer yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Preasure (JNC7) dari Amerika serikat dan badan dunia
WHO dengan Internasional Society of Hipertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila
tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90
mmHg. 1

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg atau
lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50
tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih
memastikan keadaan tersebut.1

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat
tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Hipertensi
biasanya merupakan peningkatan kronis dari tekanan darah yang lebih dari 140/90 mmHg,
etiologinya 90 – 95 % tidak diketahui (Hipertensi essensial) .Walaupun Hipertensi merupakan
penyakit yang lazim, gawat darurat pada hipertensi jarang terjadi, ini akibat dari perbaikan dalam
terapi obat yang telah dipertahankan dalam tekanan tertentu (maintenance drug therapy).
Pengobatan gawat darurat menjadi penting bila tekanan arterial sistemik yang menetap tinggi
merusak target organ (end organ), misalnya encefalopati, beban jantung berlebihan (cardiac
overload ) atau memperburuk masalah yang mendasarinya. Faktor resiko kardiovaskular antara
lain, merokok, obesitas (BMI > 30), inaktivitas fisik, dislipidemia, diabetes mellitus,
mikroalbuminuria, usia (laki >55 tahun, perempuan > 65 tahun), riwayat keluarga dengan
penyakit kardiovaskular.1,2

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita hipertensi ringan, 20% hipertensi
sedang dan 10% hipertensi berat. Pada setiap jenis hipertensi ini dapat timbul krisis hipertensi
dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg yang
merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis hipertensi menurut laporan dari hasil
penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi hipertensi, terutama pada
usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi
lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan hipertensi,
seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di
Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Krisis Hipertensi secara umum adalah terjadinya peningkatan tekanan darah
diastolik (TDD) >120 mmHg. Istilah “krisis” seolah-olah menggambarkan diperlukannya suatu
tindakan yang segera harus dilakukan, menurunkan tekanan darah (TD) dengan cepat merupakan
kontra indikasi, sehingga ada yang mengusulkan agar terminology krisis tersebut ditinjau
kembali.2

Kelainan yang terjadi pada hipertensi emergensi secara keseluruhan berhubungan dengan
tekanan darah diastole >120 mmHg, walaupun demikian tidak semua pasien yang dating dengan
hipertensi berat merupakan hipertensi emergensi. Penting bagi seorang dokter untuk dapat
mengenal perbedaan antara hipertensi emergensi dan hipertensi berat sehingga penurunan
tekanan darah yang terlalu cepat bahkan sampai mencapai TD normal terutama bila tidak disertai
kerusakan organ target (KOT) yang akut malahan akan berakibat fatal. Perlu dipahami pula pada
pasien yang menderita hipertensi kronis tidak terkontrol dalam jangka lama akan juga menderita
KOT yang kronis. Pasien hipertensi yang sebelumnya tidak pernah diobati atau pengelolaannya
tidak baik cenderung untuk mengalami kenaikan TD yang mendadak menjadi tinggi. Pasien-
pasien dengan hipertensi sekunder juga merupakan pasien-pasien yang memiliki resiko lebih
tinggi untuk terjadi peningkatan TD yang mendadak apabila dibandingkan dengan pasien-pasien
hipertensi esensial.2

Hipertensi emergensi adalah terjadinya hipertensi dengan TDD >120 mmHg yang disertai
KOT yang akut (system saraf pusat, jantung atau ginjal). Pada keadaan ini diperlukan penurunan
TD dalam hitungan menit sampai jam menggunakan obat-obat parenteral dan memerlukan
pemgelolaan di ICU.2

Hipertensi urgensi adalah terjadinya hipertensi dengan TDD >120mmHg tapa disertai
KOT akut. Ciri khas hipertensi urgensi adalah adanya hipertensi yang berat dapat disertai atau
tanpa disertai keluhan-keluhan sakit kepala hebat, rasa cemas atau sesak nafas. Pada pemeriksaan
fisik tidak menggambarkan adanya ancaman KOT. Pada keadaan ini diperlukan penurunan TD
dalam waktu 24-48 jam menggunakan obat oral dan tidak memerlukan perawatan intensif.
Definisi ini masih menjadi masalah oleh karena pada keadaan ini tidak terjadi KOT yang akut
dan masih dipertanyakan apakah penurunan tekanan darah memang harus dilakukan dalam 24-48
jam. Kata urgensi sebenarnya hanya pemikiran dokter semata untuk menurunkan TD segera dan
bukan merupakan keluhan yang sebenarnya terjadi pada pasien.3

Hipertensi berat didefinisikan sebagai TD sistolik >180mmHg dan TDD >110mmHg.


Seperti pada hipertensi urgensi kuncinya adalah tidak terdapat KOT yang akut dan memerlukan
penurunan TD secara bertahap menggunakan terapi kombinasi obat anti hipertensi oral dalam
jangka waktu tertentu. Pasien-pasien dalam kategori ini harus dievaluasi dengan baik terhadap
kemungkinan adanya kelainan jantung, ginjal atau penyebab hipertensi lainnya.3

Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan
pasien.3
Hipertensi akselerasi adalah keadaan yang menghubungkan kenaikan TD dengan
retinopati Keit-Wagener-Barker stadium III (perdarahan retina, eksudasi retina dan papiledema).
Klasifikasi retinopati Keith-Wagener-Barker tidak menggambarkan secara akurat dari beratnya
kenaikan TD sehingga terminologi tersebut sudah jarang dipergunakan lagi.3

Hipertensi maligna adalah terminologi yang tua dan tidak dipergunakan lagi. Keadaan ini
menghubungkan kenaikan TD dengan retinopati Keith-Wagener-Barker stadium IV (papiledema,
perdarahan retina dan eksudasi retina). Istilah diatas biasa dipergunakan untuk menggambarkan
hipertensi emergensi dengan kelainan sistem saraf pusat.3,4

Epidemiologi
Hipertensi merupakan penyakit yang lazim, tapi gawat darurat pada hipertensi jarang
terjadi, ini akibat dari perbaikan dalam terapi obat yang telah dipertahankan (maintenance drug
therapy). Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan
10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan darah (TD)
diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik
dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka
kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 –
7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur
selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena
kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta
penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian
ini.4

Etiologi

Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi endotel,
remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat
disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan
menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular,
deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.4

Klasifikasi

Krisis hipertensi meliputi 2 kelompok:4

a. Hipertensi darurat ( emergency hipertensi)


Dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainan/ kerusakan target organ
yang progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit
sampai jam) agar dapat mencegah/ membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
b. Hipertensi mendesak( urgency hipertensi)
Dimana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan
organ target yang progresif, sehingga pe nurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih
lambat (dalam hitungan jam sampai hari)

Tabel I : Hipertensi Emergensi ( darurat )


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut
 perdarahan intra cranial, atau perdarahan subarakhnoid.
 hipertensi encefalopati
 diseksi aorta akut
 oedema paru akut
 Eklampsia
 Feokhromositoma
 funduskopi KW III atau IV
 insufisiensi ginjal akut
 infark miokard akut, angina unstabelsindroma, kelebihan kathekolamin yang lain :
 sindrome withdrawal obat anti hipertensi
 cedera kepala hebat
 perdarahan setelah operasi pembuluh darah
 interaksi obat

Tabel II : hipertensi urgensi ( mendadak )


Hipertensi berat dengan tekanan diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel
 KW I atau II pada funduskopi
 hipertensi post operasi
 hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif
 hipertensi maligna
 tromboemboli serebri
 rebound hypertension setelah pengobatan dengan anti hipertensi
 penderita pasca transplantasi ginjal
 luka bakar yang luas.

Patofisiologi

Patofisiologi krisis hipertensi hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas.
Diperkirakan, krisis hipertensi diakibatkan kegagalan fungsi autoregulasi dan peningkatan
resistensi vaskuler sistemik yang mendadak dan cepat. Peningkatan tekanan darah menyebabkan
stress mekanik dan jejas endotel sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Hal tersebut
juga memicu kaskade koagulasi dan deposisi fibrin. Hal tersebut menyebabkan iskemia serta
hipoperfusi yang menyebabkan gangguan fungsi. Siklus tersebut berlangsung dalam sebuah
lingkaran yang berkelanjutan sehingga disfungsi organ target bersifat progresif.5

Mekanisme autoregulasi

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan


pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka
akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen
lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini
gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan
dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada
tekanan darah yang lebih tinggi.5

Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung
menggeser autoregulasi ke arah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang
normotensi maupun hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah
kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis,
penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah
emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun
edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat
lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan
tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun perdarahan
intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar
tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.5
Peran mediator endokrin dan parakrin

Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA)


memegang peran penting dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin
dalam darah akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula
meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam sehingga
volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas bersamaan pula dengan
terjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah yang akan meningkatkan TD. Apabila
TD meningkat terus maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan
akan merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II sehingga
terjadi iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau krisis hipertensi.5,6

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi
krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat
kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada
pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan
dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri
akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa
saja terjadi.6
Faktor predisposisi

Krisis hipertensi dapat terjadi pada hipertensi primer atau hipertensi sekunder. Faktor
predisposisi terjadinya krisis hipertensi yaitu:6

1. Hipertensi yang tidak terkontrol


2. Hipetensi yang tidak terobati. Penderita hipertensi yang minum obat: MAO inhibitor,
dekongestan, kokain.
3. Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial (tersering)
4. Hipertensi renovaskular
5. Glomerulonefritis akut.
6. Eklampsia
7. Feokromositoma
8. Sindroma putus obat antihipertensi
9. Trauma kepala berat
10. Tumor yang mengeksresikan urine

Pendekatan diagnosis

Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat


dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin
diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine.
Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi.
Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran,
hemiparesis dan kejang. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis,
elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting
diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis.
Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu
dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:6
Diagnosis, Prinsip-prinsip penegakan diagnosis Hipertensi emergency dan Hipertensi
Urgency tidak berbeda dengan penyakit lainnya ;7
1. Amamnesis :
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah rata-rata,
riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat
penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan penglihatan.

2. Pemeriksaan fisik:
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi
o’;perifer (raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya selisih
dengannadi femoral, radial femoral pulse leg
b. Mata: Lihat a d a n ya papil edema, pendarahan dan eksudat,
p e n ye m p i t a n yang hebat arteriol.
c. Jantung: Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi jantungS3 dan S4
serta adanya murmur.
d. Paru: perhatikan adanya ronki basah yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologic: pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologisdan patologis.

3. Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit


dasarnya, penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara
lain ; pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis., hitung
jeniskomponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen
toraks, EKG dan CT Scan.

Penatalaksanaan

1. Hipertensi Urgensi8

A. Penatalaksanaan Umum

Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi
manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP)
dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah
dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral
maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose
obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan
pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi Captopril adalah golongan angiotensin-


converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat
diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120
menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema,
dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral). Nicardipine
adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien dengan
hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi
secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai
tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
berkeringat dan sakit kepala.

Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar
sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien,
setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara
oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan.
Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat
diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.

Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor


agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis
awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya
tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Nifedipine adalah golongan
calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20 menit.

Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi
karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan
sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi

A. Penatalaksanaan Umum8

Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan
organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat
dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih
belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15%
pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.

B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi8,9

Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi


emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intrakranial dan stroke iskemik akut.
American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg
pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130
mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam
awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-
menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.

Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut
pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-
obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah
sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit.

Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau
tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida
akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.

Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-


obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat
dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV
(ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai
tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang
terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan
penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.

Prognosis

Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantun
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.9

Kesimpulan

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskular yang


sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya
terhadap organ target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi.
Daftar pustaka

1. Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013.h. 43-50.


2. Devicaesaria A. Krisis hipertensi. 2014.h. 3-9.
3. Alatas Husein, Taralan Tambunan, dkk.2010. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
4. Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing.
5. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can FamPhysician.
2011.57:1137-41.
6. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. 2011.
7. Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013. pp. 43-50.
8. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8.
9. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's Principles
ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008.
10. Soto-Ruiz K, Peacock W, Varon J. Perioperative hypertension: Diagnosis and treatment.
Netherlands Journal of Critical Care. 2011;15(3):6.

Anda mungkin juga menyukai