Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN TENTANG PLASENTA PREVIA

A. Definisi Plasenta Previa


Plasenta previa merupakan implantasi plasenta di bagian bawah sehingga
menutupi ostium uteri internum, serta menimbulkan perdarahan saat pembentukan
segmen bawah rahim. (Cunningham, 2006).
Plasenta Previa adalah plasenta berimplantasi, baik parsial atau total pada
sekmen bawah uteri dan terletak di bawah (previa) bagian presentasi bawah janin
.(Lewellyn, 2001)
Plasenta previa plasenta yang letaknya apnormal, pada sekme uterus sehingga
dapat menutupi sebagian atau seluruh pada jalanlahir (Mansjoer, 2001).
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir
(FKUI, 2000).

B. Etiologi

Penyebab plasenta previa belum diketahui dengan pasti, namun bermacam-


macam teori dan faktor-faktor dikemukakan sebagai etiologi.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian plasenta previa :
1. Umur penderita
a. Umur muda karena endometrium masih belum sempurna.
b. Umur diatas 35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.
2. Paritas
Pada paritas yang tinggi kejadian plasenta previa makin besar karena
endometrium belum sempat tumbuh.
3. Endometrium yang cacat
a. Bekas persalinan berulang dengan jarak pendek.
b. Bekas operasi, bekas kuretase atau plasentamanual.
c. Pertumbuhan tumor endometrium seperti pada mioma uteri atau polip
endometrium.
d. Gestasi ganda.
e. Endometriosis puerperal.
4. Hipoplasia endometrium
Bila kawin dan hamil pada umur muda
Menurut Manuaba (2003), penyebab terjadinya plasenta previa diantaranya
adalah mencakup :
a. Perdarahan (hemorrhaging).
b. Usia lebih dari 35 tahun.
c. Multiparitas.
d. Pengobatan infertilitas.
e. Multiple gestation.
f. Erythroblastosis.
g. Riwayat operasi/pembedahan uterus sebelumnya.
h. Keguguran berulang.
i. Status sosial ekonomi yang rendah.
j. Jarak antar kehamilan yang pendek.
k. Merokok.

Penyebab plasenta previa secara pasti sulit ditentukan, tetapi ada beberapa
faktor yang meningkatkan risiko terjadinya plasenta previa, misalnya bekas operasi
rahim (bekas cesar atau operasi mioma), sering mengalami infeksi rahim (radang
panggul), kehamilan ganda, pernah plasenta previa, atau kelainan bawaan rahim.
Sedangkan menurut Kloosterman(1973), Plasenta bertumbuh pada segmen
bawah uterus tidak selalu dapat dengan jelas diterangkan. Vaskularisasi yang
berkurang atau perubahan atropi akibat persalinan yang lalu dapat menyebabkan
plasenta previa, tidak selalu benar. Memang apabila aliran darah ke plasenta tidak
cukup seperti pada kehamilan kembar maka plasenta yang letaknya normal sekalipun
akan memperluas permukaannya sehingga mendekati atau menutupi pembukaan jalan
lahir. Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih 35 tahun kira-
kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari
25 tahun . Pada grandemultipara yang berumur lebih dari 30 tahun kira-kira 4 kali
lebih sering dari grandemultipara yang berumur kurang dari 25 tahun.

C. Faktor Predisposisi dan Presipitasi

Menurut Mochtar (1998), faktor predisposisi dan presipitasi yang dapat


mengakibatkan terjadinya plasenta previa adalah :
1. Melebarnya pertumbuhan plasenta :
a. Kehamilan kembar (gamelli).
b. Tumbuh kembang plasenta tipis.
2. Kurang suburnya endometrium :
a. Malnutrisi ibu hamil.
b. Melebarnya plasenta karena gamelli.
c. Bekas seksio sesarea.
d. Sering dijumpai pada grandemultipara.
3. Terlambat implantasi :
a. Endometrium fundus kurang subur.
b. Terlambatnya tumbuh kembang hasil konsepsi dalam bentuk blastula yang
siap untuk nidasi.

D. Tanda dan Gejala

Menurut FKUI (2000), tanda dan gejala plasenta previa di antaranya adalah:
1. Pendarahan tanpa sebab dan tanpa rasa nyeri dari biasanya serta berulang.
2. Darah biasanya berwarna merah segar.
3. Terjadi pada saat tidur atau saat melakukan aktivitas.
4. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak janin.
5. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya. Tetapi perdarahan
berikutnya (reccurent bleeding) biasanya lebih banyak.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1996) :
1. Gejala Utama :
Perdarahan yang terjadi bisa sedikit atau banyak. Perdarahan yang berwarna
merah segar, tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri.
2. Gejala Klinik :
a. Perdarahan yang terjadi bisa sedikit atau banyak. Perdarahan yang terjadi
pertama kali biasanya tidak banyak dan tidak berakibat fatal. Perdarahan
berikutnya hampir selalu lebih banyak dari sebelumnya. Perdarahan
pertama sering terjadi pada triwulan ketiga.
b. Pasien yang datang dengan perdarahan karena plasenta previa tidak
mengeluh adanya rasa sakit.
c. Pada uterus tidak teraba keras dan tidak tegang.
d. Bagian terbanyak janin biasanya belum masuk pintu atas panggul dan
tidak jarang terjadi letak janin lintang atau letak sungsang.
e. Janin mungkin masih hidup atau sudah mati, tergantung banyaknya
perdarahan, sebagian besar kasus, janinnya masih hidup.

Perdarahan adalah gejala primer dari placenta previa dan terjadi pada
mayoritas (70%-80%) dari wanita-wanita dengan kondisi ini. Perdarahan vagina
setelah minggu ke 20 kehamilan adalah karakteristik dari placenta previa. Biasanya
perdarahan tidak menyakitkan, namun ia dapat dihubungkan dengan kontraksi-
kontraksi kandungan dan nyeri perut. Perdarahan mungkin mencakup dalam
keparahan dari ringan sampai parah.
Pemeriksaan ultrasound digunakan untuk menegakan diagnosis dari placenta
previa. Evaluasi ultrasound transabdominal (menggunakan probe pada dinding perut)
atau transvaginal (dengan probe yang dimasukan ke dalam vagina namun jauh dari
mulut serviks) mungkin dilakukan, tergantung pada lokasi dari placenta. Adakalanya
kedua tipe-tipe dari pemeriksaan ultrasound adalah perlu. Adalah penting bahwa
pemeriksaan ultrasound dilakukan sebelum pemeriksaan fisik dari pelvis pada wanita-
wanita dengan placenta previa yang dicurigai, karena pemeriksaan fisik pelvic
mungkin menjurus pada perdarahan yang lebih jauh.
Gejala paling khas dari plasenta previa adalah perdarahan pervaginam (yang
keluar melalui vagina) tanpa nyeri yang pada umumnya terjadi pada akhir triwulan
kedua. Ibu dengan plasenta previa pada umumnya asimptomatik (tidak memiliki
gejala) sampai terjadi perdarahan pervaginam. Biasanya perdarahan tersebut tidak
terlalu banyak dan berwarna merah segar. Pada umumnya perdarahan pertama terjadi
tanpa faktor pencetus, meskipun latihan fisik dan hubungan seksual dapat menjadi
faktor pencetus. Perdarahan terjadi karena pembesaran dari rahim sehingga
menyebabkan robeknya perlekatan dari plasenta dengan dinding rahim. Koagulapati
jarang terjadi pada plasenta previa. Jika didapatkan kecurigaan terjadinya plasenta
previa pada ibu hamil, maka pemeriksaan Vaginal Tousche (pemeriksaaan dalam
vagina) oleh dokter tidak boleh dilakukan kecuali di meja operasi mengingat risiko
perdarahan hebat yang mungkin terjadi.

E. Klasifikasi
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu atau derajat abnormalitas tertentu :
1. Placenta previa totalis
Bila plasenta menutupi ostium internum servisis seluruh pembukaan jalan
lahir. Pada posisi ini, jelas tidak mungkin bayi dilahirkan per-vaginam
(normal/spontan/biasa), karena risiko perdarahan sangat hebat.
2. Placenta previa partialis
Bila hanya sebagian/separuh plasenta yang menutupi ostium internum
pembukaan jalan lahir. Pada posisi inipun risiko perdarahan masih besar, dan
biasanya tetap tidak dilahirkan melalui per-vaginam.
3. Placenta previa marginalis
Bila hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir. Bisa dilahirkan per-
vaginam tetapi risiko perdarahan tetap besar.
4. Low-lying placenta
(Plasenta letak rendah, lateralis placenta atau kadang disebut juga dangerous
placenta). Yaitu posisi plasenta beberapa mm atau cm dari tepi jalan lahir
sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir. Risiko perdarahan
tetap ada, namun bisa dibilang kecil, dan bisa dilahirkan per-vaginam dengan
aman, asal hati-hati.
Derajat plasenta previa akan tergantung kepada luasnya ukuran dilatasi
serviks saat dilakukan pemeriksaan. Perlu ditegaskan bahwa palpasi digital untuk
mencoba memastikan hubungan yang selalu berubah antara tepi plasenta dan ostium
internum ketika serviks berdilatasi, dapat memicu terjadinya perdarahan hebat.

F. Patofisiologi

Menurut Chalik (2002), pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada
trisemester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya
segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana
diketahui tapak plasenta terbentuknya dari jaringan maternal yaitu bagian desidua
basalis yang tumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya istmus uteri
menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta yang berimplantasi disitu sedikit
banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada tapaknya. Demikian pula pada
waktu servik mendatar dan membuka ada bagian tapak plasenta yang lepas. Pada
tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu
ruang intervillus dari plasenta. Oleh sebab itu, perdarahan pada plasenta previa
betapapun pasti akan terjadi oleh karena segmen bawah rahim senantiasa terbentuk
Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20 minggu saat
segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan. Pelebaran segmen bawah
uterus dan servik menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari
dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan tidak
dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk
berkontraksi seperti pada plasenta letak normal (Mansjoer, 2001).
WOC
G. Komplikasi
1. Plasenta abruptio. Pemisahan plasenta dari dinding rahim.
2. Perdarahan sebelum atau selama melahirkan yang dapat menyebabkan
histerektomi (operasi pengangkatan rahim).
3. Plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.
4. Prematur atau kelahiran bayi sebelum waktunya (< 37 minggu).
5. Kecacatan pada bayi.
Menurut Roeshadi (2004), kemungkinan komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
adanya plasenta previa adalah sebagai berikut :
1. Pada ibu dapat terjadi :
a. Perdarahan hingga syok akibat perdarahan.
b. Anemia karena perdarahan.
c. Plasentitis
d. Endometritis pasca persalinan
2. Pada janin dapat terjadi :
a. Persalinan premature.
b. Asfiksia berat.

H. Pemeriksaaan Penunjang dan Laboratorium


1. USG : biometri janin, indeks cairan amnion, kelainan congenital, letak dan
derajat maturasi plasenta. Lokasi plasenta sangat penting karena hal ini
berkaitan dengan teknik operasi yang akan dilakukan.
2. Kardiotokografi (KTG) : dilakukan pada kehamilan > 28 minggu.
3. Laboratorium : darah perifer lengkap. Bila akan dilakukan PDMO atau
operasi, perlu diperiksa faktor waktu pembekuan darah, waktu perdarahan dan
gula darah sewaktu.
4. Sinar X : Menampakkan kepadatan jaringan lembut untuk menampakkan
bagian-bagian tubuh janin.
5. Pengkajian vaginal : Pengkajian ini akan mendiagnosa placenta previa tapi
seharusnya ditunda jika memungkinkan hingga kelangsungan hidup tercapai
(lebih baik sesuadah 34 minggu). Pemeriksaan ini disebut pula prosedur
susunan ganda (double setup procedure). Double setup adalah pemeriksaan
steril pada vagina yang dilakukan di ruang operasi dengan kesiapan staf dan
alat untuk efek kelahiran secara cesar.
6. Isotop Scanning : Atau lokasi penempatan placenta.
7. Amniocentesis : Jika 35 – 36 minggu kehamilan tercapai, panduan ultrasound
pada amniocentesis untuk menaksir kematangan paru-paru (rasio lecithin /
spingomyelin [LS] atau kehadiran phosphatidygliserol) yang dijamin.
Kelahiran segera dengan operasi direkomendasikan jika paru-paru fetal sudah
mature.

I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Episode pendarahan signifikan yang pertama biasanya terjadi di rumah pasien,
dan biasanya tidak berat. Pasien harus dirawat di rumah sakit dan
tidak dilakukan pemeriksaan vagina, karena akan mencetuskan perdarahan
yang sangat berat. Di rumah sakit TTV pasien diperiksa, dinilai jumlah darah
yang keluar, dan dilakukan close match. Kehilangan darah yang banyak
memerlukan transfusi. Dilakukan palpasi abdomen untuk menentukan umur
kehamilan janin, presentasi, dan posisinya.
Pemeriksaan Ultrasonografi dilakukan segara setelah masuk, untuk
mengkonfirmasi diagnosis Penatalaksanaan selajutnya tergantung pada
perdarahan dan umur kehamilan janin. Dalam kasus perdarahan hebat,
diperlukan tindakan darurat untuk melahirkan bayi (dan plasenta) tanpa
memperhitungkan umur kehamilan janin. Jika perdarahan tidak hebat,
perawatan kehamilan dapat dibenarkan jika umur kehamilan janin kurang dari
36 minggu. Karena perdarahan ini cenderung berulang, ibu harus tetap
dirawat di RS. Episode perdarahan berat mungkin mengharuskan pengeluaran
janin darurat, namum pada kebanyakan kasus kehamilan dapat dilanjutkan
hingga 36 minggu, kemudian pilihan melahirkan bergantung pada apakah
derajat plasenta previanya minor atau mayor. Wanita yang memiliki
derajat plasenta previa minor dapat memilih menunggu kelahiran sampai term
atau dengan induksi persalinan, asalkan kondisinya sesuai. Plasenta previa
derajat mayor ditangani dengan seksio seksarae pada waktu yang ditentukan
oleh pasien atau dokter, meskipun biasanya dilakukan sebelum tanggal yang
disepakati, karena perdarahan berat dapat terjadi setiap saat.
Menurut Wiknjosastro (2005), penatalaksanaan yang diberikan untuk penanganan
plasenta previa tergantung dari jenis plasenta previanya yaitu:
a. Kaji kondisi fisik klien.
b. Menganjurkan klien untuk tidak coitus.
c. Menganjurkan klien istirahat.
d. Mengobservasi perdarahan.
e. Memeriksa tanda vital.
f. Memeriksa kadar Hb.
g. Berikan cairan pengganti intravena RL.
h. Berikan betametason untuk pematangan paru bila perlu dan bila fetus masih
premature.
i. Lanjutkan terapi ekspektatif bila KU baik, janin hidup dan umur kehamilan <
37 minggu.
 Penanganan konservatif bila :
a. Kehamilan kurang 37 minggu.
b. Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal).
c. Tempat tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh perjalanan
selama 15 menit).
 Penanganan konservatif berupa :
a. Istirahat.
b. Memberikan hematinik dan spasmolitik unntuk mengatasi anemia.
c. Memberikan antibiotik bila ada indikasii.
d. Pemeriksaan USG, Hb, dan hematokrit.
Bila selama 3 hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan perawatan
konservatif maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap
tidak ada perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan
tidak boleh melakukan senggama.
 Penanganan aktif bila :
a. Perdarahan banyak tanpa memandang usia kehamilan.
b. Umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
c. Anak mati.
 Penanganan aktif berupa :
a. Persalinan per vaginam.
b. Persalinan per abdominal.
Penderita disiapkan untuk pemeriksaan dalam di atas meja operasi
(double set up) yakni dalam keadaan siap operasi. Bila pada pemeriksaan dalam
didapatkan :
a. Plasenta previa marginalis.
b. Plasenta previa letak rendah.
c. Plasenta lateralis atau marginalis dimana janin mati dan serviks sudah matang,
kepala sudah masuk pintu atas panggul dan tidak ada perdarahan atau hanya
sedikit perdarahan maka lakukan amniotomi yang diikuti dengan drips
oksitosin pada partus per vaginam bila gagal drips (sesuai dengan protap
terminasi kehamilan). Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesar.
 Penanganan (pasif)
a. Tiap perdarahan triwulan III yang lebih dari show harus segera dikirim ke
Rumah sakit tanpa dilakukan suatu manipulasi/UT.
b. Apabila perdarahan sedikit, janin masih hidup, belum inpartus, kehamila
n belum cukup 37
minggu/berat badan janin kurang dari 2.500 gram persalinan dapat ditun
da dengan istirahat, obat-obatan; spasmolitik, progestin/progesterone,
observasi teliti.
c. Siapkan darah untuk transfusi darah, kehamilan dipertahankan setua mun
gkin supaya tidak prematur.
d. Bila ada anemia; transfusi dan obat-obatan penambah darah.

Penatalaksanaan kehamilan yang disertai komplikasi plasenta previa dan janin


prematur tetapi tanpa perdarahan aktif, terdiri atas penundaan persalinan dengan
menciptakan suasana yang memberikan keamanan sebesar-besarnya bagi ibu maupun
janin. Perawatan di rumah sakit yang memungkinkan pengawasan ketat, pengurangan
aktivitas fisik, penghindaran setiap manipulasi intravaginal dan tersedianya segera
terapi yang tepat merupakan tindakan yang ideal. Terapi yang diberikan mencangkup
infus larutan elektrolit, tranfusi darah, persalinan sesarea dan perawatan neonatus
oleh ahlinya sejak saat dilahirkan.
Pada penundaan persalinan, salah satu keuntungan yang kadang kala dapat
diperoleh meskipun relatif terjadi kemudian dalam kehamilan, adalah migrasi
plasenta yang cukup jauh dari serviks, sehingga plasenta previa tidak lagi menjadi
permasalahan utama. Arias (1988) melaporkan hasil-hasil yang luar biasa pada
cerclage serviks yang dilakukan antara usia kehamilan 24 dan 30 minggu pada pasien
perdarahan yang disebabkan oleh plasenta previa.
Prosedur yang dapat dilakukan untuk melahirkan janin bisa digolongkan ke
dalam dua kategori, yaitu persalinan sesarea atau per vaginam. Logika untuk
melahirkan lewat bedah sesarea ada dua :
a. Persalinan segera janin serta plasenta yang memungkinakan uterus untuk
berkontraksi sehingga perdarahan berhenti
b. Persalinan searea akan meniadakan kemungkinan terjadinya laserasi serviks
yang merupakan komplikasi serius persalinan per vaginam pada plasenta
previa totalis serta parsial.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Sebelum dirujuk anjurkan pasien untuk tirah baring total dengan menghadap
ke kiri, tidak melakukan senggama, menghindari peningkatan tekanan rongga perut
(misal batuk, mengedan karena sulit buang air besar). Pasang infus NaCl fisiologis.
Bila tidak memungkinkan, beri cairal peroral, pantau tekanan darah dan frekuensi
nadi pasien secara teratur tiap 15 menit untuk mendeteksi adanya hipotensi atau syok
akibat perdarahan. Pantau pula BJJ dan pergerakan janin. Bila terjadi renjatan, segera
lakukan resusitasi cairan dan transfusi darah bila tidak teratasi, upaya penyelamatan
optimal, bila teratasi, perhatikan usia kehamilan.Penanganan di RS dilakukan
berdasarkan usia kehamilan. Bila terdapat renjatan, usia gestasi kurang dari 37
minggu, taksiran Berat Janin kurang dari 2500g, maka :
 Bila perdarahan sedikit, rawat sampai usia kehamilan 37 minggu, lalu lakukan
mobilisasi bertahap, beri kortikosteroid 12 mg IV/hari selama 3 hari.
 Bila perdarahan berulang, lakukan PDMO kolaborasi (Pemeriksaan Dalam Di
atas Meja Operasi), bila ada kontraksi tangani seperti kehamilan preterm. Bila
tidak ada renjatan usia gestasi 37 minggu atau lebih, taksiran berat janin
2500g atau lebih lakukan PDMO, bila ternyata plasenta previa lakukan
persalinan perabdominam, bila bukan usahakan partus pervaginam.
Cara menyelesaikan persalinan dengan placenta previa adalah :
a. Seksio Cesaria (SC)
 Prinsip utama dalam melakukan SC adalah untuk menyelamatkan ibu,
sehingga walaupun janin meninggal atau tak punya harapan hidup tindakan ini
tetap dilakukan.
 Tujuan SC antara lain :
a) Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi
dan menghentikan perdarahan.
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada cervik uteri, jika
janin dilahirkan pervaginam.
 Tempat implantasi plasenta previa terdapat banyak vaskularisasi sehingga
cervik uteri dan segmen bawah rahim menjadi tipis dan mudah robek. Selain
itu, bekas tempat implantasi placenta sering menjadi sumber perdarahan
karena adanya perbedaan vaskularisasi dan susunan serabut otot dengan
korpus uteri.
 Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.
 Lakukan perawatan lanjut pascabedah termasuk pemantauan
perdarahan, infeksi, dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Melahirkan pervaginam
Perdarahan akan berhenti jika ada penekanan pada placenta. Penekanan tersebut
dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a) Amniotomi dan akselerasi Umumnya dilakukan pada placenta previa lateralis
/ marginalis dengan pembukaan > 3cm serta presentasi kepala. Dengan
memecah ketuban, placent akan mengikuti segmen bawah rahim dan ditekan
oleh kepala janin. Jika kontraksi uterus belum ada atau masih lemah akselerasi
dengan infus oksitosin.
b) Versi Braxton Hicks Tujuan melakukan versi Braxton Hicks adalah
mengadakan tamponade placenta dengan bokong (dan kaki) janin. Versi
Braxton Hicks tidak dilakukan pada janin yang masih hidup.
c) Traksi dengan Cunam Willet Kulit kepala janin dijepit dengan Cunam Willet,
kemudian diberi beban secukupnya sampai perdarahan berhenti. Tindakan ini
kurang efektif untuk menekan placentadan seringkali menyebabkan
perdarahan pada kulit kepala. Tindakan ini biasanya dikerjakan pada janin
yang telah meninggal dan perdarahan yang tidak aktif.
Asuhan keperawataan pada plasenta plevia

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas klien: Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan,
alamat, medicalrecord dll.
b. Keluhan utama : Gejala pertama; perdarahan pada kehamilan setelah 28
minggu/trimester III.
 Sifat perdarahan; tanpa sebab, tanpa nyeri, berulang
 Sebab perdarahan; placenta dan pembuluh darah yang robek; terbentuknya
SBR, terbukanya osteum/ manspulasi intravaginal/rectal.
 Sedikit banyaknya perdarahan; tergantung besar atau kecilnya robekan
pembuluh darah dan placenta.
c. Inspeksi

 Dapat dilihat perdarahan pervaginam banyak atau sedikit.


 Jika perdarahan lebih banyak; ibu tampak anemia.

d. Palpasi abdomen
 Janin sering belum cukup bulan; TFU masih rendah.
 Sering dijumpai kesalahan letak
 Bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala biasanya kepala
masih goyang/floating

2. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Obstetri
Memberikan imformasi yang penting mengenai kehamilan
sebelumnyaagar perawat dapat menentukan kemungkinan masalah pada
kehamilansekarang. Riwayat obstetri meliputi:
 Gravida, para abortus, dan anak hidup (GPAH)
 Berat badan bayi waktu lahir dan usia gestasi
 Pengalaman persalinan, jenis persalinan, tempat persalinan, dan penolong
persalinan
 Jenis anetesi dan kesulitan persalinan
 Komplikasi maternal seperti diabetes, hipertensi, infeksi, dan perdarahan.
 Komplikasi pada bayi
 Rencana menyusui bayi
b. Riwayat mensturasi
Riwayat yang lengkap di perlukan untuk menetukan taksiran persalinan(TP).
TP ditentukan berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT). Untuk
menentukan TP berdasarkan HPHt dapat digunakan rumus naegle, yaitu hari
ditambah tujuh, bulan dikurangi tiga, tahun disesuaikan.

c. Riwayat Kontrasepsi
Beberapa bentuk kontrasepsi dapat berakibat buruk pada janin,
ibu,ataukeduanya. Riwayat kontrasepsi yang lengkap harus didapatkan pada
saat kunjungan pertama. Penggunaan kontrasepsi oral sebelum kelahiran dan
berlanjut pada kehamilan yang tidak diketahui dapat berakibat buruk pada
pembentukan organ seksual pada janin.
d. Riwayat penyakit dan operasi:
Kondisi kronis seperti dibetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal bisa
berefek buruk pada kehamilan. Oleh karena itu, adanya riwayat infeksi,
prosedur operasi, dan trauma pada persalinan sebelumnya harus di
dokumentasikan

3. Pemeriksaan fisik
a. Rambut dan kulit

 Terjadi peningkatan pigmentasi pada areola, putting susu dan linea nigra.
 Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan paha.
 Laju pertumbuhan rambut berkurang.Wajah

b. Mata : pucat, anemis


c. Hidung
d. Gigi dan mulut
e. Leher
f. Buah dada / payudara

 Peningkatan pigmentasi areola putting susu


 Bertambahnya ukuran dan noduler

g. Jantung dan paru

 Volume darah meningkat


 Peningkatan frekuensi nadi
 Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembulu darah
pulmonal.
 Terjadi hiperventilasi selama kehamilan.
 Peningkatan volume tidal, penurunan resistensi jalan nafas.
 Diafragma meninggi
 Perubahan pernapasan abdomen menjadi pernapasan dada.

h. Abdomen

 Menentukan letak janin


 Menentukan tinggi fundus uteri

i. Vagina

 Peningkatan vaskularisasi yang menimbulkan warna kebiruan ( tanda


Chandwick)
 Hipertropi epithelium

j. System musculoskeletal

 Persendian tulang pinggul yang mengendur


 Gaya berjalan yang canggung
 Terjadi pemisahan otot rectum abdominalis dinamakan dengan diastasis
rectal

4. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d terputusnya kontinuitas jaringan


2. Resiko infeksi b.d insisi luka operasi
3. Resiko fetal distress b.d terlepasnya placenta
4. Ansietas b.d kurangnya pengetahuan terhadap tindakan yang akan dilakukan
5. Resti konstipasi b.d penurunan peristaltik usus
6. Perubahan pola peran b.d adanya anggota keluarga baru
5. Intervensi

SDKI SLKI SIKI


Nyeri akut Luaran utama: manajemen  Kaji karakristik, skala, lokasi,
nyeri intensitas, dan frekuensi nyeri.
Kriteria Hasil :  Monitor tanda vital pasien.
 Klien tidak gelisah,  Ajarkan teknik relaksasi dan
 skala nyeri berkurang distraksi.
 tanda vital normal.  Anjurkan tirah baring dengan
posisi datar berbaring.
 Lakukan latihan nafas dalam
 Ciptakan lingkungan yang nyaman.
 Kolaborasi dengan dokter
pemberian analgesik

Resiko Luaran utama: tingkat  Kaji lokasi dan luas luka.


infeksi infeksi  Pantau jika terdapat tanda infeksi
Kriteria Hasil: (rubor, dolor, kolor, dan perubahan
 Limfosit dalam batas fungsi).
normal,  Pantau tanda vital klien.
 tanda vital normal dan  Kolaborasi pemberian antibiotik.
tidak  Ganti balut dengan prinsip steril.
 ditemukan tanda infek  Awasi pemeriksaan laboratorium
(lekosit)

Resiko fetal Kriteria Hasil:  Kaji DJJ, perhatikan frekuensi dan


distress Tidak terjadi distress janin regularitas. Biarkan pasien
memantau gerakan janin.
 Kaji adanya kontraksi uterus
preterm, yang mungkin ataupun
tidak disertai dengan dilatasi cervik
 Pantau kemajuan persalinan dan
kecepatan turunnya janin
 Siapkan klien atau tinjau ulang seri
tes USG
 Siapkan dan bantu dengan
terminasi kehamilan dengan
pervaginam atau SC sesuai dengan
indikasi.
Ansietas Luaran utama: tingkat  Jelaskan prosedur, intervensi dan
ansietas tindakan yang dilakukan pada
Kriteria Hasil: pasien.
 Pertahankan komunikasi terbuka,
 Ansietas berkurang diskusikan kemungkinan efek
 dapat diatasi samping dan hasil, pertahankan
sikap optimis.
 Anjurkan pasien untuk
mengungkapkan perasaannya.
 Libatkan pasangan / keluarga untuk
mendampingi pasien.
 Kolaborasi dengan dokter
pemberian sedatif bila tindakan lain
tidak berhasil
DAFTAR PUSTAKA

FKUI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.


Cunningham, FG, Norman, F, Kenneth, J, Larry, C & Katharine, D 2006, Obstetri
williams, Edisi ke 21, EGC, Jakarta.
Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian pasien, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Hanafiah, TM 2004, Plasenta previa, diakses tanggal 24 november 2019,
http://library.usu.ac.id
Manuaba, IBG 2003, Ilmu kebidanan, penyakit kandungan, dan keluarga berencana
untuk pendidikan bidan, EGC, Jakarta.
Mochtar, R 1998, Sinopsis obstetri: Obstetri fisiologi, obstetri patologi, Edisi ke 2,
EGC, Jakarta.
NANDA 2005. “Nursing diagnosis definitions & classification”. Philadelphia. Locust
Street.
Prawirohardjo. S, Ilmu Kebidanan, Ed. III, cet.II, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1992,hal.365-376.
Roeshadi, RH 2004, Gangguan dan penyulit pada masa kehamilan, diakses tanggal 24
november 2019, http://library.usu.ac.id

Anda mungkin juga menyukai