Anda di halaman 1dari 13

SOAL UAS PEMIKIRAN ILMU EKONOMI SYARIAH

1. Menurut anda, lebih baik mana antara sistem kapitalis dan sosialis dalam usaha
mensejahterakan umat? Jelaskan disertai alasan-alasannya!
2. Menurut anda, sistem ekonomi Islam lebih dekat kepada sistem sosialis atau kapitalis?
Jelaskan disertai alasan-alasannya!
3. Jelaskan peta pemikiran ekonomi kontemporer!
4. Jelaskan pemikiran ekonomi Imam Mawardi secara lengkap!
5. Jelaskan pemikiran ekonomi Dawam Rahardjo secara lengkap!
6. Menurut anda, Indonesia menganut sistem ekonomi apa? Jelaskan disertai alasan-
alasannya!
7. Jelaskan cara Islam untuk mengatasi inflasi dan deflasi dalam sebuah negara!

KETERANGAN: Dalam lembar jawaban, sertakan Nama, NIM, dan Kelas.

Selamat Menjawab!
Nama : Ilham Bayu Sholihin
NIM : 17131110022
Prody : ESY 2017 A
Makul : Pemikiran Ilmu Ekonomi Syariah
Tanggal : Rabu, 07 Februari 2020

1. Menurut saya lebih baik sistem kapitalis dari pada sistem sosialis karena sistem kapitalis
dimana manusia memiliki derajat yang sama dalam artian memiliki hak dan peluang untuk
menjadi sukses dan besar. Semakin keras upaya kita maka akan semakin besar pula upaya yang
kita berikan. Dan didalam sistem kapitalis ini kita bebas memilih pekerjaan yang kita inginkan
walaupun itu bertolak belakang dengan pendidikan sedangkan didalam sistem sosialis
walaupun ada pemerataan didalamnya tetapi individu tidak bisa bebas dalam mengembangkan
inovasi serta kreatifitas nya karena didalam sistem ini dikendalikan oleh pemerintah.
2. Menurut saya, sistem ekonomi islam tidak bisa dikatakan lebih dekat dengan sistem kapitalis
dan juga tidak bisa dikatakan lebih dekat dengan sistem sosialis.
karena sistem ekonomi islam memiliki semua kelebihan yang ada pada kedua sistem tersebut,
Tetapi sistem ekonomi islam tidak memiliki kelemahan sebagai mana kelemahan yang dimiliki
oleh kedua sistem tersebut. Jadi dapat disimpulkan, bahwa sistem ekonomi islam berada pada
titik keseimbangan anatar kedua sistem tersebut. Karena sistem ekonomi islam
menyeimbangkan tujuan kemaslahatan hidup antara duniawi dan ukhrawi yang dalam kapitalis
dan sosialis hanya ditujukan untuk kemakmuran hidup didunia semata.
3. Pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim
pada abad ke-20 Masehi. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3 fase,
maka pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu
aliran Iqtishādunā, aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga aliran
ini memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.
1. Aliran Iqtishādunā
Corak utama dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul karena
adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi yang
membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena keserakahan
manusia yang tidak terbatas.
Aliran ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh
adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia
jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).
Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama
karyanya Iqtishādunā. Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh
Islam untuk dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan
masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak
mengurusi hukum permintaan dan penawaran … (tidak pula) hubungan antara laba dan bunga
bank … (tidak pula) fenomena diminishing returns di dalam produksi, yang baginya merupakan
”ilmu ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan
semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai
keadilan sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan
”apa yang seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil dari
Al-Qur’an dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati posisi sentral,
sehingga menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output ekonomi.
2. Aliran Mainstream
Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam
memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang
dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala
kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan
semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad
Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and
Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah
”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat.
Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi
oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan
sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang
mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan
demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke
arah distribusi yang lebih adil.
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in
Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi
Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada
zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik
sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme
ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik
dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di
samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri
utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain,
menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan
ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia
mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk
mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai
perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi pemikiran
Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya
manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip
etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti
bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor
etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua,
melalui prinsip Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat
dalam kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias
tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan sebagai
egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia tekankan dalam tulisannya.
Dan ketiga adalah diperlukannya suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara
tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier)
kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar
barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai pengontrol sistem
perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala
ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.
d. Monzer Kahf.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of The
Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi
”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku
manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat
dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma
(yakni aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan
ekonomi Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam
tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras
perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan
antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang
digunakan. Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-
asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang
mecoba menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya,
telah menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan
saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori
produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka
atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai
seginya seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.
3. Aliran Alternatif
Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai
ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya.
Aliran Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang
sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik
sebagai jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba
serta memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini.
Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga
telah dikritik.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa
ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary
Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East
Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary
Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in
Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of
Social Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.
Ia adalah seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia.
Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in
Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic,
Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of
Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.
4. Secara sederhana pemikiran Al-Mawardi ter fokus pada tiga persoalan besar, yaitu; peran
negara dalam aktifitas ekonomi, perpajakan dan bayt al-mal.
1) Negara dan Aktivitas Ekonomi
Penulis al Ahkam al Sulthaniyah, adalah pakar dari Syafi’iyah yang menyatakan bahwa
institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau
urusan spiritual dan temporal.
Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran negara dalam kehidupan ekonomi. Negara
dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan korelatif seluruh warga negaranya.
Permasalahannya ini pun tidak luput dari perhatian Islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa
pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaaan) merupakan kekuasaan
mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharannya
agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki peran
aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi
penguasa dalam membantu merealisasikannya kebaikan bersama, yaitu memelihara
kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, seperti para pemikir Muslim sebelumnya, Al-Mawardi memandang
bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga
moral dan agama.
Dengan pernyataan al Mawardi tersebut menunjukkan bahwa pemikiran beliau masih
bersifat klasik karena al mawardi menekankan pada pertumbuahan ekonomi karena
pemikiran klasik slalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi beda halnya dengan
pemikiraan konteporer yang menekankan pada pemerataan ekonomi.
Selanjutkan, Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan infrastruktur yang
diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum, Menurutnya, “Jika hidup
di kota menjadi mungkin karena atau tidak berfungsinya fasilitas sumber mata air minum
atau rusaknya tembok kota, maka negara bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan
jika memiliki dana negara harus menemukan jalan untuk memperolehnya.[8]” Maksudnya
adalah bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh
layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan itu. Dengan
demikian, layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar. Untuk
membiayai berbagai barang dan jasa yang disewa oleh negara dalam kerangka mandatory
Fungtions. Sebagai gambaran, Al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban
negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya
pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan
negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi, negara dapat
melakukan pinjaman kepada publik untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.
Tentang pendapat al mawardi diatas menunjukkan pendapatnya masih normatif dimana
anggapan perekonomian tidak akan berjalan jika pemerintahnya lemah.
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman publik dilakukan
jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan
konsumtif. Disamping itu, kebijakan pinjaman publik merupakan solusi terakhir yang
dilakukan oleh negara dalam defisit anggaran.
2) Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-
Mawardi. Menurutnya, penilaian atas kharaj (pajak) harus bervariasi sesuai denagn faktor-
faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah,
jenis tanaman dan sistem irigasi. Al-Mawardi menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal
tersebut sebagai faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj (pajak)
karena sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga turut
berpengaruh terhadap penilain kharaj berbagai jenis tanaman karena mempunyai variasi
harga yang berbeda-beda. Begitupun pula halnya denan sistem irigasi. Tanaman yang
menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama
dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.
Disamping ketiga faktor tersebut al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain, yaitu
jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Faktor terakhir ini juga sangat
relevan karena tinggi rendahnya harga berbagai macam jenis barang tergantung pada jarak
tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan Al-Mawardi keadilan baru terwujud
terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan
setidaknya empat faktor dalam melakukan penilaian suatu objek kharaj (pajak), yaitu
kesuburan tanah, jenis tanaman, sistem irigasi dan jarak tanah ke pasar.
Tentang metode penetapan kharaj, al-Mawardi menyarankan menggunakan salah satu dari
tiga metode yang pernah ditetapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
a. Metode Misahah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah metode ini
merupakan ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau
tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b. Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode
ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak termasuk dalam penilaian objek kharaj.
c. Metode Musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil
produksi . Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Sehingga dapat disimpulkan, Tentang penetapan kharaj al Mmawardi sependapat dengan
metode Misahah yang dipakai oleh abu ubaid, selain itu al mawardi menambah satu faktor
yang harus diperhitungkan dalam pebetapan kharaj yaitu jarak antara tanah yang menjadi
objek kharaj dengan pasar.
Secara kronologis metode pertama yang digunakan islam dalam penetapan kharaj, adalah
metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab
berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survei. Pada masa ini, pajak yang
ditetapkan ada pada fixed ( tingkatan) atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan
memiliki akses air, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh negara
dari jenis pajak ini pun bersifat Fixed. Melalui pengguanaan metode ini, Khalifah ingin
menjamin pendapatan negara pada setiap tahunya demi kepentingan ekspansi, sekaligus
memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah ditetapkan pada masa Khalifah Umar. Pengenaan pajak
dengan menggunakan metode ini dilakukan pada wilayah tertentu saja, terutama di Syria.
Metode yang terakhir Muqasamah, pertama kali ditetapkan pada masa Dinasti Abbasiyah,
khususnya pada pemerintahan Al-Mahdi dan Harun at-Rasyid.
3) Baitul Mal
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar setiap negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya,
negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara
permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negara dari berbagai sumber akan disimpan
dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasi masing-masing.
Berkaitan dengan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pos tertentu
tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah meminjam
uang belanja tersebut ke pos lain. Setiap pendapatan Baitul Mal provinsi digunakan untuk
memenuhi pembiayaan kebutuhan untuk memenuhi pembiayaaan kebutuhan publiknya
masing-masing. Jika terdapat surplus, gubernur mengirim sisa dana tersebut kepada
pemerintah pusat. Sebaliknya pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh surplus
harus mengalihkan sebagian harta Baitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami defisit.
Al-Mawardi menegaskan bahwa tanggung jawab Baitul Mal yaitu untuk memenuhi
kebutuhan publik. Tanggung jawab baitul Mal diklasifikasikan di dalam dua hal:
a. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul
Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset
kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari
tanggung jawab Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari sedekah.
Karena pendapatan sedekah yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu tersebut
telah ditentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, negara hanya diberi
kewenangan untuk mengatur pendapatan itu sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
ajaran Islam. Dengan demikian, kategori tanggung jawab Baitul Mal yang pertama ini
merupakan pembelanjaan publik yang telah tetap dan minimum.
Sementara kategori yang kedua dari tanggung jawab Baitul Mal terkait dengan pendapatan
negara yang berasal dari fai yang diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin tersebut
merupakan bagian harta dari harta Baitul Mal.Lebih jauh lagi Al-Mawardi
mengklasifikasikan kategori tanggung jawab Baitul Mal yang kedua ini ke dalam dua hal.
Pertama tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal),
seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Karena tanggung
jawab ini ada seiring dengan yang diterima, negara harus menetapkan tuntutannya.
Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan
pemerintah.
Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan. Al-Mawardi
menyatakan bahwa pelaksaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana
Baitul Mal. Jika terdapat dana yang cukup di Baitul Mal tanggung jawab negara atas
kepentingan publik harus dipenuhi. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada dana yang cukup di
Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial
seluruh kaum Muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab negara, uraian Al-Mawardi tersebut juga
menunjukkan bahwa dasar pembelanjaan publik dalam negara Islam adalah
maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti negara hanya mempunyai wewenang untuk
membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaaan maslahah dan
kemajuannya. Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa
kewajiban negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin
hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan
jumlah tertentu untuk membantu mereka karena pemenuhan kebutuhan merupakan istilah
yang relatif. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga terbebas dari kemiskinan.
Disamping itu al-Mawardi juga berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan di wilayah
tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila
seluruh golongan mustahik zakat di wilayah tersebut telah menerimanya secara memadai.
Kalau terdapat surplus, maka wilayah ylayah yang terdekat dengan yang paling berhak
menerimanya adalah wilayah tempat zakat tersebut diambil. Lebih jauh lagi Al-Mawardi
menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal berjalan lancar dan
tepat sasaran, negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam
hal ini, salah satu fungsi muhtasib adalah memperhatikan kebutuhan publik serta
merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteraan bagi masyarakat umum. Al-Mawardi
menegaskan:
“Jika mekanisme pengadaan air minum ke kota mengalami kerusakan atau dinding sekitar
bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air,
maka muhtasib (petugas hisbah) harus memperbaiki sistem air minum, merekomendasikan
dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini
adalah kewajiban baitul Mal dan bukan kewajiban masyarakat”.
Disamping itu Al-Mawardi menguraikan teori tentang pembelanjaan Publik dan dampak
ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan publik. Al- Mawardi berpendapat bahwa
setiap penurunan dalam kekayaan publik adalah peningkatan kekayaan negara dan setiap
penurunan dalam kekayaan negara adalah peningkatan dalam kekayaan publik. Dengan
demikian pembelanjaan publik seperti halnya perpajakan merupakan alat yang efektif untuk
mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan Al-mawardi tersebut mengisyaratkan
bahwa pembelanjaan publik akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
5. Menurut Dawam, sebagaimana dituangkan dalam buku Arsitektur Ekonomi Islam (2015),
ekonomi Islam saat ini masih dianggap terlalu berfokus pada wacana mengenai keuangan dan
perbankan dengan merek dagang syariah.
Kehadiran keuangan syariah atau bank syariah memang menjadi simbol kebangkitan ekonomi
Islam. Pada abad ke-21, persepsi mengenai kebangkitan ekonomi Islam bisa dibilang naik
signifikan. Hal itu dipicu minat dan rasa ingin tahu yang besar di negara-negara Barat.
Hanya saja, ada dilema dalam perkembangan industri keuangan syariah. Di antaranya adalah
kebutuhan modal, karena sumber permodalan kebanyakan berasal dari modal asing atau non-
Muslim. Selain itu, bank syariah juga cenderung mengadopsi teknik perbankan konvensional,
dan melonggarkan prinsip dasar hukum syariah. Ini dilakukan lantaran untuk berdaya saing,
bank syariah harus melirik proyek-proyek besar yang tinggi risiko. Untuk itu, sistem ekonomi
Islam idealnya dikembangkan dengan epistemologi ekonomi kelembagaan. Dengan
epistemologi, konsep ekonomi Islam yang operasional tidak lagi hanya terbatas di sektor
keuangan. Alquran menggambarkan bahwa lembaga riba harus digantikan dengan lembaga
zakat dan tijarah. Sedangkan Hadis juga mengatur adanya lembaga wakaf yang langsung
berkaitan dengan sektor riil. Menurut Dawam, zakat dan wakaf sebenarnya merupakan
instrumen untuk memecahkan masalah kemiskinan. Sayang, praktik ekonomi Islam masih
terbatas pada sektor keuangan, sehingga hakikat ekonomi islam sebagai ekonomi kelembagaan
masih belum tercapai. Selain mendorong pengembangan lembaga zakat dan wakaf, Dawam
juga menilai koperasi menjadi solusi yang cocok untuk mewujudkan misi ekonomi Islam.
Koperasi dianggap mampu memberantas kemiskinan dan membangun ekonomi rakyat yang
mandiri atas dasar swadaya. Bagi Dawam, wacana ekonomi Islam sangat memungkinkan untuk
terwujud di negara-negara demokrasi seperti Indonesia. Dikembangkannya lembaga
pengumpul zakat, infak, sedekah, dan wakaf dan koperasi bisa menjadi modal penting menuju
penguatan ekonomi Islam.
6. Menurut saya, indonesia memakai sistem ekonomi kerakyatan. Karena pada dasarnya sistem
diindonesia ini berdasarkan pada ideologi bangsanya sendiri. Suatu negara biasanya akan
menerapkan sistem ekonomi sesuai dengan ideologinya. Dan juga sistem ini dikembalikan lagi
pada usaha yang dilakukan oleh rakyat yang mengelola sumber daya ekonomi dengan swadaya,
menurut apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya.
7. Ada beberapa cara mengatasi inflasi dan deflasi menurut para ahlinya :
- Menurut al-Ghazali membolehkan penggunaan uang yang bukan berasal dari logam mulia
seperti dinar dan dirham, tetapi dengan syarat pemerintah wajib menjaga stabilitas nilai
tukarnya dan pemerintah memastikan tidak ada spekulasi dalam bentuk perdagangan uang.
- Menurut Ibnu Taimiyah Ia berpendapat pemerintah seharusnya mencetak uang harus sesui
dengan nilai yang adil atas transaksi masyarakat, tidak memunculkan kezaliman terhadap
mereka. Ini berarti Ibnu Taimiyah menekankan bahwa percetakan uang harus seimbang
dengan trasnsaksi pada sector riil. Uang sebaiknya dicetak hanya pada tingkat minimal yang
dibutuhkan untuk bertransaksi dan dalam pecahan yang mempunyai nilai nominal yang kecil.
Di samping itu ia juga menyatakan bahwa nilai intrinsic mata uang harus sesuai dengan daya
beli masyarakat. Penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar dari pada nilai
intrinsiknya akan menyebabkan penurunan nilai mata uang serta akan memunculkan inflasi.
Ini berarti akibat dari rendahnya nilai intrinsic uang menjadi salah satu terjadinya inflasi.
Begitu juga pemalsuan mata uang dan perdagangan mata uang di nilai ibn Taimiyah sebagai
bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum.
- Menurut Husain Shahathah :
1) Reformasi terhadap system moneter yang ada sekarang dan menghubungkan antara
kuantitas uang dengan kuantitas produksi.
2) Mengarahkan belanja dan melarang sikap berlebihan dan belanja yang tidak bermanfaat.
3) Larangan menyimpan (menimbun) harta dan mendorong untuk menginvestasikannya.
4) Meningkatkan produksi dengan memberikan dorongan kepada masyarakat secara materil
dan moral. Menjaga pasokan barang kebutuhan pokok merupakan yang krusial untuk bias
mengendalikan inflasi.

Anda mungkin juga menyukai