Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kulit adalah merupakan bagian organ terbesar dari manusia dan memiliki
berbagai fungsi. Kulit merupakan salah satu proteksi awal yang ada didalam
tubuh manusia. Oleh karena itu, kerusakan kulit menyebabkan terbentuknya
luka. Luka didefinisikan sebagai gangguan seluler, anatomi, dan kontinuitas
fungsional dari jaringan hidup. Luka dapat disebabkan oleh trauma akibat
tekanan fisik, kimia, termal, mikroba, atau hal lain yang merusak jaringan.
Jenis luka seperti luka bakar dapat disebabkan oleh api, panas, radiasi, bahan
kimia, listrik, atau sengatan sinar matahari. Dengan kata lain luka adalah
rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang (Shrimanker et al, 2013).
Kulit terdiri atas epidermis, yaitu lapisan epitel yang berasal dari
ektoderm, dan dermis, yaitu suatu lapisan jaringan ikat yang berasal dari
mesoderm (Junqueira 2012). Dermis pada kulit memiliki subpopulasi sel
punca. Fibroblas asal dermis dapat diperoleh, diperbanyak serta dapat
disimpan dengan mudah (Hadi et al, 2014). Di samping itu, Human Dermal
Fibroblast (HDF) adalah komponen penting dari kulit, sel ini tidak hanya
memproduksi dan mengatur matriks ektraseluler dari dermis tetapi juga
berkomunikasi dengan sel lainnya yang terutama memainkan peran penting
dalam mengatur fisiologi kulit (Sorrell & Caplan, 2004).
Pada saat ini sudah banyak sekali pengobatan herbal yang dikembangkan,
salah satunya ialah madu. Madu berpotensi sebagai antioksidan, aksi stimulasi
dari madu sangat bermanfaat dalam mempercepat proses perbaikan kerusakan
jaringan. Karena efek yang menguntungkan ini, dilaporkan madu dapat
mencegah infeksi, menghilangkan bau tak sedap, mengurangi peradangan dan
nyeri, mengurangi edema, dan meningkatkan tingkat penyembuhan dengan
stimulasi angiogenesis, granulasi, dan epitelisasi (Anyanechi & Saheeb, 2015).
Maka dari itu, madu perlu dilakukan uji sitotoksisitasnya untuk mengetahui
seberapa kadar toksik madu terhadap sel HDF.

1
Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel
yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu
senyawa. Sistem ini merupakan uji kuantitatif dengan cara menetapkan
kematian sel (Freshney, 1987).
Parameter yang digunakan untuk uji sitotoksik yaitu nilai IC50.
Nilai IC50 menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan
proliferasi sel sebesar 50% dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu
senyawa terhadap sel. Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ target
memberikan informasi langsung tentang perubahan yang terjadi pada fungsi
sel secara spesifik (Djajanegara & Wahyudi, 2009).
Dua metode umum yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah metode
perhitungan langsung (direct counting) dengan menggunakan biru tripan
(trypan blue) dan metode MTT assay. Uji MTT assay merupakan salah satu
metode yang digunakan dalam uji sitotoksik. Metode ini merupakan metode
kolorimetrik, dimana pereaksi MTT ini merupakan garam tetrazolium yang
dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh sistem suksinat tetrazolium
reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif
pada sel yang masih hidup. Kristal formazan ini memberi warna ungu yang
dapat dibaca absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader (Junaidi,
2005).
Setiap manusia berhak untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan guna mewujudkan cita-cita kebersamaan dalam
meningkatkan kualitas kesehatan yang lebih terjamin sesuai perkembangan
zaman. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan hukum islam dalam
memelihara jiwa manusia agar dapat mewujudkan kebaikan hidup yang
hakiki, maka semua kelangsungan hidup manusia wajib diperhatikan. Karena
sesungguhnya Allah SWT menyerukan untuk berobat bagi setiap muslim,
sebab berobat termasuk upaya memelihara jiwa dan raga, hal ini termasuk
salah satu Tujuan Syari’at Islam ditegakkan (Ali, 2012).
Seperti yang kita ketahui bahwa Allah memberikan cobaan kepada
manusia berupa sakit dan tentunya Allah SWT pun memberikan obatnya.

2
Sudah dijelaskan dengan jelas didalam Al-Qur’an dalam surat An-Nahl ayat
68 dan 69 bahwa madu memiliki banyak manfaat dan kandungan obat yang
dapat menyembuhkan bagi manusia (Abdullah, 2008).

1.2. Perumusan Masalah


Luka merupakan kerusakan jaringan yang mudah saja terjadi. Proses
penyembuhan luka berkaitan erat dengan lapisan dermis yang ada di kulit. Sel
Human Dermal Fibroblast (HDF) merupakan sel fibroblas asal dermis yang
dapat dikultur. Sel HDF untuk terapi harus memiliki sifat sebagai stem cell.
Madu sudah dikenal sejak lama digunakan untuk obat herbal dan madu
dikenal sebagai obat antimikroba dan dapat digunakan untuk mempercepat
penyembuhan luka. Maka dari itu, madu perlu dilakukan uji sitotoksisitas
untuk mengetahui seberapa kadar toksik madu terhadap sel HDF. Parameter
yang digunakan untuk uji sitotoksik yaitu nilai IC50.

1.3.Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
Berapakah nilai IC50 madu terhadap sel Human Dermal Fibroblast (HDF)?

1.4.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum, tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui uji
sitotoksisitas madu terhadap Human Dermal Fibroblast (HDF) dan
tinjauannya dari sudut pandang Islam.
2. Tujuan Khusus
A. Untuk mengetahui pengaruh berbagai dosis madu terhadap
viabilitas sel.
B. Untuk mengetahui nilai IC50 madu terhadap sel Human Dermal
Fibroblast (HDF).

3
C. Untuk mengetahui manfaat madu terhadap sel Human Dermal
Fibroblast (HDF) ditinjau dari sudut pandang Islam.

1.5.Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat :
A. Menghasilkan informasi mengenai uji sitotoksisitas madu terhadap sel
Human Dermal Fibroblast (HDF).
B. Membuka wawasan mengenai sel punca yang dapat dikembangkan
sebagai alternatif pengobatan.
C. Menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan bidang
kedokteran.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka yang Telah Dilakukan
2.1.1. Stem Cell / Sel Punca
Sel punca merupakan induk dari semua organ dan jaringan dalam
tubuh manusia yang terbentuk setelah proses fertilisasi dan secara terus
menerus menunjang kehidupan sel untuk menjadi sel yang matur.
Sepanjang hidup manusia, sel punca memiliki peranan terkait dengan
penggantian kulit yang terluka, ataupun sel yang mati setiap harinya,
misalnya sel kulit, rambut, darah, dan sel-sel yang melapisi organ
pencernaan manusia. Sel punca memiliki 2 properti penting:
kemampuannya untuk memperbaharui diri, yaitu kemampuan untuk
membelah dan menggandakan jumlahnya, dan kemampuannya untuk
berdiferensiasi, artinya sel mengalami maturasi sehingga dapat
membentuk organ ataupun jaringan. Kemampuan sel punca untuk
memperbarui dirinya sendiri dan berdiferensiasi menjadikan suatu
inovasi terapi di bidang medis yang telah terbukti efektivitas dan
keamanannya (ISCCR, 2011).
Stem cell/sel punca memiliki 2 sifat, yaitu pluripoten dan
multipoten. Sel punca bersifat pluripoten bila mampu berdiferensiasi
menjadi sel tubuh apapun, yaitu yang berasal dari ketiga lapisan
embrional (ektoderm, mesoderm, dan endoderm); dan sel punca
bersifat multipoten bila hanya mampu berdiferensiasi menjadi
beberapa jenis sel, yang biasanya berada dari suatu golongan serupa,
seperti sel-sel sistem hematopoetik, ataupun sistem saraf. Sel punca
terdiri dari 2 jenis, yaitu sel punca embrionik dan sel punca dewasa.
Sel punca embrionik memiliki dasar sifatnya berupa pluripoten,
sedangkan stem cell dewasa memiliki dasar sifat multipoten (Halim et
al, 2010).

5
2.1.2. Wound Healing/Penyembuhan Luka
Kulit adalah merupakan bagian organ terbesar dari manusia dan
memiliki berbagai fungsi. Kulit merupakan salah satu proteksi awal
yang ada didalam tubuh manusia. Luka didefinisikan sebagai
gangguan seluler, anatomi, dan kontinuitas fungsional dari jaringan
hidup. Luka dapat disebabkan oleh trauma akibat tekanan fisik, kimia,
termal, mikroba, atau hal lain yang merusak jaringan. Jenis luka seperti
luka bakar dapat disebabkan oleh api, panas, radiasi, bahan kimia,
listrik, atau sengatan sinar matahari. Dengan kata lain luka adalah
rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang (Shrimanker et al, 2013).
Penyembuhan luka yang normal adalah proses yang dinamis dan
kompleks yang melibatkan serangkaian koordinasi perdarahan dan
koagulasi, peradangan akut, migrasi sel, proliferasi, diferensiasi,
angiogenesis, re-epitelisasi, sintesis dan remodelling matriks
ekstraselular. Peristiwa yang kompleks terjadi pada tiga fase: (a)
inflamasi, (b) proliferatif, dan (c) remodeling (Maxson et al, 2012).
Pertama ialah fase inflamasi yang ditandai dengan akumulasi
trombosit, koagulasi dan migrasi leukosit. Kedua, fase proliferatif yang
ditandai dengan kembalinya epiteliasasi, angiogenesis, fibroplasia dan
kontraksi luka. Dan terakhir ialah tahap remodelling, dermis merespon
cedera dengan memproduksi kolagen dan matriks protein (Kirsner &
Eaglstein, 1993).
Infeksi luka merupakan faktor penting yang dapat menghambat
penyembuhan luka. Penyembuhan luka membutuhkan lingkungan
yang sehat dan baik sehingga akan menghasilkan proses penyembuhan
yang normal dengan pembentukan bekas luka minimal. Salah satu
strategi yang paling penting untuk menjaga proses penyembuhan
berlangsung adalah untuk mensterilkan jaringan yang rusak dari
infeksi mikroba (Al-Waili et al, 2011).

6
2.1.3. Human Dermal Fibroblast (HDF)
Fibroblas menyintesis protein seperti kolagen, retikulin, elastin,
serta glikosaminoglikan, proteoglikan dan glikoprotein. Selain itu,
fibroblas bertugas menyintesis komponen matriks ekstrasel. Fibroblas
aktif memiliki banyak sitoplasma yang bercabang-cabang. Intinya
lonjong, besar, terpulas pucat, dengan kromatin halus dan anak inti
yang nyata. Fibroblas terlibat dalam produksi faktor pertumbuhan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel (Junqueira, 2012).
Dermal fibroblas merupakan sel pertama diantara jenis sel yang
tumbuh secara in vitro. Pendapat umum menyatakan bahwa fibroblas
mewakili populasi sel yang hanya menambahkan matriks ekstraselular
ke stroma (Takahashi & Yamanaka, 2006).
Dermal fibroblas adalah jenis sel utama yang bertanggung jawab
untuk produksi, pemeliharaan, dan remodeling matriks ekstraselular
(ECM) pada kulit manusia. ECM dari jaringan ikat terdiri dari
sejumlah besar komponen makromolekul, yang melayani khusus
fungsi dalam memberikan sifat biofisik ke kulit, seperti intregitas
struktural dan pemenuhan properti untuk jaringan (Kim et al, 2014).
Dermal fibroblas merupakan metabolik sel aktif yang memiliki
keterkaitan dalam sintesis dan sekresi kolagen, proteoglikan,
fibronektin dan metalloprotease. Selain itu, berperan dalam proses
fisiopatologis yang berbeda di kulit, termasuk fibrosis dan
penyembuhan luka (Palazzo et al, 2011).
Selama tahun terakhir, terdapat laporan dari populasi sel induk
dewasa yang diisolasi dari jaringan ikat pada beberapa bagian tubuh.
Salah satunya, laporan pluripotensi dari dermal fibroblas di mana sel
induk populasi diisolasi dari dermis tikus dan dibedakan menjadi
neuron, glia, sel otot polos dan adiposit. Beberapa laporan
mengkonfirmasi dermal fibroblas sebagai sumber stem cell/sel punca
(Lorenz et al, 2008; Toma et al, 2001).

7
Human Dermal Fibroblast (HDF) adalah komponen penting dari
kulit, sel ini tidak hanya memproduksi dan mengatur matriks
ekstraselular dari dermis tetapi juga berkomunikasi dengan sel lainnya
yang terutama memainkan peran penting dalam fisiologi kulit (Sorrell
& Caplan, 2004).

2.1.4. Madu
Menurut deskripsi fakta nutrisional, madu tersusun atas 17,1% air,
82,4% karbohidrat total, 0,5% protein, asam amino, vitamin dan
mineral. Madu memiliki empat karakteristik yaitu: tinggi kandungan
gula, kadar kelembaban rendah, asam glukonik (lingkungan asam pH
3,2-4,5) dan hidrogen peroksida. Madu juga mengandung enzim
invertase untuk katalisator sukrosa, glukosa dan fruktosa. Selain itu,
madu juga memiliki kandungan zat antioksidan berupa flavanoid,
polyphenol, phenol, dan volatin. Kadar gula yang tinggi dan kadar
kelembaban yang rendah akan membuat madu memiliki osmolaritas
yang tinggi dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Rembulan,
2015).
Beberapa kandungan dari madu meliputi: gula terutama fruktosa
dan glukosa; protein dan asam amino; vitamin seperti asam askorbat,
biotin, asam nikotinat, asam pantotenat, piridoksin, dan thiamin; enzim
seperti diastase, invertase, glukosa oksidase, dan katalase; mineral,
sebagian besar potasium, magnesium, fosfor, kalsium, zat besi,
tembaga, dan beberapa komponen kecil lainnya (Burlando & Cornara,
2013).
Madu bertindak sebagai media hiperosmolar dan mencegah
pertumbuhan bakteri, karena viskositas yang tinggi, dapat membentuk
penghalang fisik, dan adanya enzim katalase memberikan madu
kandungan antioksidan. Nutrisi yang terdapat pada madu
meningkatkan substrat di lingkungan setempat mempercepat proses
epitelisasi dan angiogenesis (Rembulan, 2015).

8
Madu juga berpotensi sebagai antioksidan, aksi stimulasi dari
madu sangat bermanfaat dalam mempercepat proses perbaikan
kerusakan jaringan. Karena efek yang menguntungkan ini, dilaporkan
madu dapat mencegah infeksi, menghilangkan bau tak sedap,
mengurangi peradangan dan nyeri, mengurangi edema, dan
meningkatkan tingkat penyembuhan dengan stimulasi angiogenesis,
granulasi, dan epitelisasi (Anyanechi & Saheeb, 2015).

2.1.5. Uji Sitotoksisitas


Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan
kultur sel yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas
antineoplastik dari suatu senyawa. Penggunaan uji sitotoksisitas pada
kultur sel merupakan salah satu cara penetapan in vitro untuk
mendapatkan obat-obat sitotoksik. Sistem ini merupakan uji kuantitatif
dengan cara menetapkan kematian sel (Freshney, 1987).
Parameter yang digunakan untuk uji sitotoksik yaitu nilai IC50.
Nilai IC50 menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan
hambatan proliferasi sel sebesar 50% dan menunjukkan potensi
ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Nilai ini merupakan tolak ukur
untuk melakukan uji pengamatan kinetika sel. Nilai IC50 dapat
menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai sitotoksik. Akhir dari uji
sitotoksisitas pada organ target memberikan informasi langsung
tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik
(Djajanegara & Wahyudi, 2009).
Dua metode umum yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah
metode perhitungan langsung (direct counting) dengan menggunakan
biru tripan (trypan blue) dan metode MTT assay. Uji MTT
assay merupakan salah satu metode yang digunakan dalam uji
sitotoksik (Junaidi, 2005).

9
2.1.6. MTT Assay
MTT assay telah menjadi penentuan baku emas dalam menentukan
viabilitas dan proliferasi sel. MTT assay ini mengukur viabilitas sel
dalam hal aktivitas reduktif sebagai konversi enzimatik dari senyawa
tetrazolium untuk larut dalam air dengan dehydrogenase menjadi
kristal formazan yang terjadi didalam mitokondria dan retikulum
endoplasma sel hidup. Konversi ke kristal formazan tergantung pada
tingkat metabolisme dan jumlah mitokondria yang terjadi gangguan.
Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Van Tonder menunjukan
bahwa MTT assay lebih ditujukan untuk uji sitotoksisitas ( Van
Tonder, et al. 2015). MTT Assay merupakan uji yang sering digunakan
untuk menyelidiki sitotoksisitas yang disebabkan oleh tanaman-
tanaman obat (Shoeb et al, 2012; Talib & Mahasneh, 2010).

2.2. Kerangka Teori

PENYEMBUHAN HDF
MADU
LUKA

PENGHITUNGAN
LANGSUNG : TRYPAN BLUE
UJI
SITOTOKSISITAS
MTT ASSAY

NILAI IC50
MADU

Gambar 2.1. Kerangka Teori Uji Sitotoksisitas Madu Terhadap Human


Dermal Fibroblast.

10
2.3. Kerangka Konsep

THAWING KULTUR
SEL HDF SEL HDF

MADU

UJI
SITOTOKSISITAS
DENGAN METODE
MTT ASSAY

NILAI IC50 MADU


TERHADAP SEL
HDF

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Uji Sitotoksisitas Madu Terhadap Human


Dermal Fibroblas

2.4. Perumusan Hipotesis


Hipotesis nol (H0) :Madu dapat meningkatkan viabilitas sel
dengan dosis madu optimum.

Hipotesis alternatif (H1) : Madu tidak dapat meningkatkan viabilitas


sel dengan dosis madu optimum.

11
2.5. Definisi Operasional
No. Istilah Pengertian
1. Sel Human Sel HDF yang diperoleh dari hasil isolasi dermal
Dermal yang sudah tersimpan di biorepository
Fibroblast laboratorium terpadu Universitas YARSI.
(HDF)
2. Madu Senyawa yang dihasilkan oleh lebah, merupakan
cairan kental seperti sirup bewarna cokelat kuning
muda sampai cokelat merah yang dikumpulkan
dalam indung madu oleh lebah dan sumbernya
didapat dari Madu Apiari Pramuka.
3. Uji Menggunakan metode MTT assay yang digunakan
Sitotoksisitas untuk mengetahui kadar toksik madu.
4. IC50 Parameter yang digunakan untuk uji sitotoksik
yaitu nilai IC50. Nilai IC50 menunjukkan nilai
konsentrasi yang menghasilkan hambatan
proliferasi sel sebesar 50% dan menunjukkan
potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel.

Tabel 2.1 Definisi operasional Uji Sitotoksik Madu Terhadap Sel Human
Dermal Fibroblast (HDF)

12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di
laboratorium Universitas Yarsi secara in vitro.

3.2. Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di
laboratorium terpadu Universitas YARSI.

3.3. Populasi
Human Dermal Fibroblast (HDF) dari biorepository laboratorium terpadu
Universitas YARSI.

3.4. Sampel
Sel HDF yang diperoleh dari biorepository laboratorium terpadu Universitas
YARSI dan ditanam dalam multi well plate 96 sumuran dengan kepadatan
20.000 sel/well.

3.5. Cara Penetapan Sampel


Sampel berupa sel HDF yang diperoleh dari biorepository laboratorium
terpadu Universitas YARSI dan ditanam di dalam multi plate well 96
sumuran hingga konfluens dan sampel dihitung untuk diuji toksisitasnya
terhadap madu dengan metode MTT assay.

3.6. Penetapan Besar Sampel


Perlakuan dengan berbagai kelompok yang diawali dengan kontrol DMEM
non serum, DMEM + 10% FBS (sebagai serum), selanjutnya dengan variasi
dosis madu yaitu 0,5%, 1%, 2%, 4%, 5%, 10%, 15%, dan 20% selama 24
jam. Lalu diberi reagen MTT sebanyak 20µL dan diinkubasi selama 2-4 jam,
dengan plate dibungkus dengan kertas alumunium foil (tanpa terpapar

13
cahaya) dan diinkubasi pada suhu ruangan. Setelah itu dilihat adanya kristal
formazan yang terbentuk, apabila sudah terlihat kristal formazan diberi
stopper berupa DMSO sebanyak 100 µL. Selanjutnya plate
digoyang/diguncangkan selama 15 menit. Setelah itu dibaca menggunakan
ELISA reader.

3.7. Jenis Data


Kuantitatif: Dengan cara menghitung nilai IC50 madu terhadap sel HDF.

3.8. Cara Pengumpulan dan Pengukuran Data


a. Sel HDF mendapat perlakuan masing-masing. Diinkubasi selama
24 jam. Selanjutnya medium dibuang dan di beri reagen MTT.
b. Ke dalam setiap well diberi 20 µl reagen MTT.
c. Selanjutnya diinkubasi selama 2-4 jam tanpa terkena cahaya pada
suhu ruangan (37°C).
d. Apabila sudah terbentuk kristal formazan, selanjutnya diberi
stopper berupa DMSO
e. Ke dalam setiap well diberi 100 µl DMSO.
f. Setelah itu DMSO dilarutkan dan plate diguncangkan selama ±15
menit.
g. Diperiksa dengan ELISA reader dan diperoleh data berupa nilai
absorbansi dengan panjang gelombang 570 nm.

3.9. Instrumen Pengumpulan Data


Dilakukan dengan menggunakan ELISA reader

3.10. Analisis Data


Data dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung nilai IC50 dengan
rumus y=bx+a menggunakan Microsoft Excel.

14
3.11. Alur Penelitian

Thawing HDF

Kultur HDF pada Multi


Well Plate 96 Sumuran

24 Jam Madu

Kelompok Perlakuan

Uji Sitotoksisitas dengan


Metode MTT Assay

Analisis Data

Gambar 3.1. Alur Penelitian Uji Sitotoksisitas Madu Terhadap Human


Dermal Fibroblast.

Kelompok Perlakuan:
 Kontrol Non Serum  Kelompok Madu dengan
 Kontrol Serum Dosis 4%
 Kelompok Madu dengan  Kelompok Madu dengan
Dosis 0,5% Dosis 5%
 Kelompok Madu dengan  Kelompok Madu dengan
Dosis 1% Dosis 10%
 Kelompok Madu dengan  Kelompok Madu dengan
Dosis 2% Dosis 15%
 Kelompok Madu dengan
Dosis 20%

15
3.12. Jadwal Penelitian
No Kegiatan Waktu
1. Bimbingan proposal dengan dosen Oktober 2015 – Januari
pembimbing 2016
2. Pendaftaran Ujian Proposal Skripsi Desember 2015 – Januari
2016
3. Ujian Proposal Skripsi Januari 2016 – Februari
2016
4. Revisi Proposal Skripsi Februari 2016 – Maret
2016
5. Pelaksanaan Penelitian Maret 2016 – Agustus
2016
6. Penyusunan Laporan Hasil Agustus 2016 –
Penelitian September 2016
7. Pendaftaran Ujian Skripsi September 2016 –
Oktober 2016
8. Ujian Skripsi Oktober 2016 –
November 2016
9. Revisi Skripsi November 2016 –
Desember 2016

Tabel 3.1 Jadwal penelitian Uji Sitotoksisitas Madu terhadap Sel Human
Dermal Fibroblast (HDF)

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Pada studi ini, sel Human Dermal Fibroblast (HDF) yang sudah di
thawing selanjutnya dikultur pada multi plate well 96 sumuran dengan
masing-masing well berisi 20.000 sel dan setiap wellnya juga sudah diberi
medium DMEM Komplit. Setelah itu sel di inkubasi didalam inkubator
dengan suhu 37o C dan dengan kadar CO2 5% .

Gambar 4.1 Sel HDF saat H-0 setelah ditanam di masing-masing well

Gambar 4.2 Sel HDF saat H-1 setelah ditanam di masing-masing well

17
Gambar 4.3 Sel HDF saat H-6 setelah ditanam di masing-masing well

Pada hari ke-6 sel yang sudah dikultur tersebut sudah menunjukan
konfluens ±70%, selanjutnya dilakukan perlakuan. Perlakuan yaitu: Kontrol
Non Serum, Kontrol Serum, dan variasi dosis Madu 0,5%, 1%, 2%, 4%, 5%,
10%, 15%, dan 20%. Sel yang sudah diberi perlakuan kemudian diinkubasi
selama 24 jam didalam inkubator dengan suhu 37o C dan dengan kadar CO2
5% .
Pada hari ke-7 sel yang sudah diberi perlakuan, mediumnya diganti dengan
reagen MTT yang masing-masing diberikan 20µL tiap well. Setelah itu
diinkubasi selama 2 jam dengan suhu ruangan dan tanpa terpapar cahaya.
Setelah inkubasi selama 2 jam, sel akan membentuk sebuah kristal formazan
yang diamati menggunakan mikroskop. Apabila sudah terbentuk kristal
formazan, selanjutnya diberi stopper berupa DMSO dengan masing-masing
diberikan 100 µL tiap well. DMSO dilarutkan dan plate diguncangkan ±10
menit. Setelah itu, diperiksa dengan ELISA reader diperoleh data berupa nilai
absorbansi dengan panjang gelombang 570 nm.

18
Gambar 4.4 Kristal formazan
Hasil nilai absorbansi dari rata-rata perlakuan kemudian dihitung menjadi
nilai presentase sel hidup yang dapat dilihat pada Gambar 4.5 pada penelitian
ini, variasi dosis madu dengan kontrol serum menunjukan hasil yang cukup
signifikan dibandingan dengan kontrol non serum. Dan terlihat bahwa
persentase sel yang hidup tertinggi terlihat pada kontrol dengan serum,
sedangkan persentase sel yang hidup terendah terlihat pada perlakuan madu
dosis 20%. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa dosis madu yang paling
optimal untuk viabilitas sel Human Dermal Fibroblast (HDF) adalah 1%.
Sedangkan pada perlakuan dosis madu 2% dan 4% terjadi penurunan
viabilitas sel HDF. Dan pada perlakuan dosis madu 5% terjadi kematian sel
sebanyak lebih dari 50% dari total sel seluruhnya. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi dosis madu (di atas 5%), maka madu menjadi toksik
bahkan menyebabkan kematian sel HDF. Pada penelitian ini menunjukan
bahwa serum dan madu dengan dosis tertentu dapat meningkatkan viabilitas
sel.

19
160
140
120
% Sel
100
yang
Hidup 80
60
40
20
0

Perlakuan

Gambar 4.5 Grafik presentase sel yang hidup pada perlakuan kontrol non
serum, kontrol serum, perlakuan madu dosis 0,5%, 1%, 2%, 4%, 5%, 10%,
15%, dan 20% dibandingkan dengan kontrol serum.

Pada penelitian ini untuk mengetahui nilai IC50 madu dilakukan dengan
penghitungan rumus Y = - 10,09 x + 100,29 dengan menggunakan Microsoft
Excel, yang dapat dilihat pada Gambar 4.6. Jika dimasukkan ke dalam rumus
Y = - 10,09 x + 100,29, dengan Y = 50, maka akan ditemukan nilai IC50 pada
penelitian ini adalah 4,98% yang berarti bahwa dosis madu yang
menyebabkan 50% kematian sel adalah 4,98%. Maka dari itu nilai IC50 madu
terhadap sel HDF ialah 4,98% dan pada grafik dapat dijelaskan bahwa pada
dosis lebih dari 1% sudah dapat menurunkan perkembangan dan pertumbuhan
sel dengan batas dosis maksimum ialah 4%, dan pada dosis 5% sel mulai
mengalami kematian lebih dari 50 % dari jumlah keseluruhan sel.

20
100
90
80
70 y = -10.09x + 100.29
R² = 0.8123
60
% Sel
yang 50
Hidup 40
30
20
10
0
0.5 1 2 4 5 10 15 20

Perlakuan

Gambar 4.6 Grafik penghitungan Nilai IC50.

4.2. Pembahasan
Kulit terdiri dari dua lapisan: epidermis dan dermis. Epidermis, lapisan
luar, terdiri dari berlapis epitel dan keratinosit. Di bawah epidermis terletak
dermis, mengandung populasi heterogen sel, termasuk fibroblas dan sel
endotel, yang didalamnya terdapat matriks ekstraselular (ECM). Tidak hanya
itu saja, kulit adalah pertahanan pertama apabila terjadi kerusakan jaringan.
Terapi menggunakan stem cell merupakan teknik baru yang dapat membantu
dan meningkatkan penyembuhan luka (Lam et al, 2013). Selama beberapa
tahun terakhir, terdapat laporan dari populasi sel induk dewasa yang diisolasi
dari jaringan ikat pada beberapa bagian tubuh. Salah satunya, laporan
pluripotensi dari dermal fibroblas di mana sel induk populasi diisolasi dari
dermis tikus dan dibedakan menjadi neuron, glia, sel otot polos dan adiposit.
Beberapa laporan mengkonfirmasi dermal fibroblas sebagai sumber stem
cell/sel punca (Lorenz et al, 2008; Toma et al, 2001). Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan sel Human Dermal Fibroblast dikarenakan sel HDF

21
cukup mudah didapat dan sel HDF yang didapatkan berasal dari preputium,
seperti yang sudah diketahui bahwa sel HDF dapat dijadikan sumber stem
cell.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, menunjukan bahwa penggunaan
serum dapat meningkatkan viabilitas sel. Sesuai dengan Gambar 4.5
menunjukan bahwa pada kontrol serum memiliki presentase sel hidup yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol non serum. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Chabaud et al, 2016) bahwa serum digunakan
sebagai suplemen pertumbuhan sel dan dapat memicu sel untuk
menghasilkan, mendeposit, dan merakit matriks ekstraselular yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel.
Madu sudah dikenal lama sebagai obat herbal yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat, di samping itu, para peneliti telah mengungkapkan bahwa
madu dapat digunakan sebagai antioksidan untuk melindungi berbagai organ
termasuk otak dan jantung dari kerusakan oksidatif tidak hanya itu saja, madu
berperan dalam mengurangi kematian sel akibat stres oksidatif, serta
pengurangan apoptosis, selain itu madu dapat menghambat kerusakan pada
membran sel dengan menetralisir radikal bebas (Anarkooli et al, 2014).
Apabila dikaitkan dengan hasil dari penelitian ini, bahwa madu dengan dosis
yang optimum dapat meningkatkan viabilitas sel. Hal ini sesuai dengan
Gambar 4.5 madu dengan dosis 0,5%, 1%, 2%, 4%, 5% menunjukan hasil
presentase sel hidup yang lebih tinggi dari kontrol non serum.
Madu merupakan produk alami yang menunjukkan efek berpotensi
menghambat atau menekan pengembangan dan perkembangan tumor dan
kanker. Seperti antiproliferatif, antitumor, antimetastik dan antikanker dengan
efek yang dimediasi melalui mekanisme yang beragam, termasuk aktivasi
jalur mitokondria, induksi permeabilisasi membran mitokondria, induksi
apoptosis, modulasi stres oksidatif, dan penghambatan angiogenesis pada sel
kanker. Menurut beberapa penelitian mengatakan bahwa madu sangat
sitotoksik terhadap sel tumor kanker. Data menunjukkan bahwa madu dapat
menghambat karsinogenesis oleh modulasi molekul pada tahap proses

22
inisiasi, promosi, dan tahapan perkembangan. Dengan demikian, madu dapat
berfungsi sebagai potensi dan agen antikanker. Sementara itu madu non-
sitotoksik untuk sel-sel normal (Erejuwa et al, 2014).
Menurut hasil dari penelitian ini, madu memiliki dosis toksik sebesar
4,98% terhadap sel HDF. Hal ini sesuai dengan Gambar 4.6 bahwa nilai IC50
yang didapatkan dari rumus rumus Y = - 10,09 x + 100,29, dengan Y = 50
menunjukan bahwa dosis madu yang menyebabkan 50% kematian sel adalah
4,98%. Dan pada dosis lebih dari 1% sudah dapat menurunkan perkembangan
dan pertumbuhan sel dengan batas dosis maksimum ialah 4%, dan pada dosis
5% sel mulai mengalami kematian lebih dari 50 % dari jumlah keseluruhan
sel. Hasil dari nilai IC50 ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh (Portokalakis et al, 2016) bahwa nilai IC50 dari madu ialah 4%-5%
pengan paparan madu 24 jam sampai 72 jam.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa madu dengan dosis tertentu
dapat meningkatkan viabilitas sel. Dosis optimum yang digunakan ialah madu
dengan dosis 1%. Sedangkan untuk kadar toksis madu terhadap sel HDF ialah
madu dengan dosis 5%, dikarenakan pada dosis 5% sudah terjadi kematian
sel sebanyak 50%.

23
BAB V
UJI SITOTOKSITAS MADU TERHADAP SEL HUMAN DERMAL
FIBROBLAST (HDF) DAN TINJAUANNYA DARI
SUDUT PANDANG ISLAM
5.1. Penggunaan Organ Tubuh Untuk Kepentingan Obat-obatan
Kemajuan dalam bidang Iptek dan tuntutan pembangunan yang telah
menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai
kemudahan, juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan
baru, banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal,
bahkan tidak pernah dibayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain
kesadaran keberagaman umat Islam di bumi Nusantara ini semakin tumbuh
subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika
setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan jawaban (fatwa) yang tepat
dari pandangan ajaran Islam. Pendapat fatwa harus senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari'ah.
Dasar penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut :
(Majelis Ulama Indonesia, 2014)
1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan
sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana
ditemukan dalam pasal 2 agar berdasarkan keputusan sidang komisi fatwa
MUI, keputusan fatwa hendaknya tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas,
dan mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain seperti : istihsan, maslahah
mursalah dan sadd az-zari’ah.
3. Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga
yang dinamakan “komisi fatwa”
4. Sebelum mengambil keputusan fatwa hendaknya ditinjau
pendapatpendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan
dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang
dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

24
5. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil
keputusan fatwanya dipertimbangkan.
6. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi fatwa hendaknya
terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau
tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
7. Mengenai masalah yang telah hukumnya (qaht’iy) hendaknya komisi
menyampaikan sebagaimana adanya dan fatwa menjadi gugur setelah
diketahui ada nash-nya dari al-Qur'an dan sunnah.
8. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan madzhab, maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran
(perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran
yang berhubungan dengan pentarjihan.
9. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan
madzhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jamain (kolektif)
melalui metode bayani, ta’lili (qiasi, istihsani, Ilhaqi) istislahi(maslahah
mursalah). (Din Syamsudin. 2001)
Berkaitan dengan masalah yang sudah dibahas yaitu mengenai
penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika. Maka
komisi Fatwa MUI setelah menimbang dan memperhatikan dari berbagai
sudut pandang. Bahwasanya penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-
obatan dan kosmetika hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat, dan
keputusan tersebut berdasarkan pada sidang komisi fatwa MUI yang
berlangsung pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 1421 H / 30 Juli 2000 M yang
membahas tentang penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan
dan kosmetika.

Dasar atau sumber yang digunakan adalah:


a. Firman Allah swt

25
Artinya:
“…Maka, barang siapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs.
Al-Maidah [5] : 3)

b. Hadits Nabi saw yang menyatakan , antara lain :

Artinya:
“Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula
obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun”

Artinya:
“Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat
bagisetiap penyakit; oleh karena itu, berobatlah dan janganlah berobat
dengan benda yang haram” (HR. Abu Daud)

Artinya:
“Sekelompok orang dari suku Ukl atau ‘Urainah datang dan mereka tidak
cocok dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit), maka Nabi
memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan meminum air kencing
dan susu unta tersebut..” (HR. Al-Bukhari)

26
c. Pendapat sebagian ulama menegaskan

Artinya:
Imam Zuhri (w.124 H) berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia
karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis, Allah
berfirman: “…Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik…” (QS. Al-Ma’idah
[5]: 5}”; dan Ibnu Mas’ud (w.32) berkata tentang sakar (minuman keras),
“Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu”
(Riwayat Al-Bukhari)

d. Kaidah Fiqh menegaskan

Artinya:
“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan)”

Beberapa ketentuan penggunaan obat-obatan dalam Islam, antara lain:


1.) Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan,
bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni
adalah meminumnya sebagai obat;
2.) Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar
tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau menjadi
baik dan indah.
3.) Dharurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan
maka dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.
a. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian
organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram.

27
b. Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada
butir a.2.) hukumnya adalah haram.
c. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian
organ manusia hukumnya adalah haram. e. Hal-hal tersebut pada butir
b, c, dan d di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat syari'ah.
Seperti yang dijelaskan bahwa penggunaan obat-obatan yang
mengandung atau berasal dari bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya
adalah haram. Tetapi apabila dalam keadaan darurat maka hukum haramnya
tersebut dapat digugurkan. Karena sesungguhnya Allah SWT menyerukan
untuk berobat bagi setiap muslim, sebab berobat termasuk upaya memelihara
jiwa dan raga, hal ini termasuk salah satu Tujuan Syari’at Islam ditegakkan
(Ali, 2012).
Dalam ajaran Islam, tidak hanya ditetapkan tentang dianjurkannya
berobat, tetapi juga ditegaskan bahwa berobat tidak boleh dengan sesuatu
yang diharamkan oleh Allah SWT (Zuhroni, 2003). Rasulullah SAW
bersabda:

Artinya:
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia
jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan
berobat dengan yang haram” (HR. Abu Dawud).

Islam mengajarkan bahwa dalam berobat hendaklah mencari obat


yang dihalalkan, menjauh dari obat yang diharamkan karena obat yang haram
belum tentu sebagai penyembuh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

28
Artinya:
“Bahwa Allah tidak menjadikan penyembuhan kalian dari sesuatu yang
diharamkan” (HR. Thabrani).

5.2. Stem cell Menurut Pandangan Islam


Penelitian menggunakan stem cell merupakan metode terbaru dalam
bidang kedokteran dan biologi yang pada dasarnya dilakukan untuk
menemukan solusi terbaik dalam mengobati berbagai penyakit yang sulit
dicari obatnya seperti leukemia, Alzheimer, diabetes, antiaging, cedera
medulla spinalis, stroke dan Parkinson. Namun karena penggunaan stem cell
menggunakan bagian dari manusia sebagai bahan dasarnya maka metode
tersebut menimbulkan pro dan kontra terutama dalam segi moral dan etika.
Islam sebagai agama yang berlandaskan pada moral dan etika yang tinggi
tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari perbedaan pandangan tersebut
(Zuhroni, 2010).
Terdapat dua kelompok utama stem cell menurut sumbernya, yaitu
embryonic stem cell yang diisolasi dari inner cell mass embrio, dan adult stem
cell yang diisolasi dari jaringan dewasa. Seperti telah diperkirakan
sebelumnya, dewasa ini semakin banyak bukti mendukung dugaan kehadiran
stem cell pada organ dan jaringan, dan bahwa sel-sel jenis ini memiliki
kemampuan untuk berkembang jauh melebihi yang terdahulu dibayangkan.
Sejauh mana potensi sel ini dapat dikembangkan untuk kepentingan terapi
manusia masih belum jelas, namun pertanyaan-pertanyaan tersebut membuka
kemungkinan untuk pemanfaatan stem cell di masa mendatang (National
Institue of Health, 2007).
Berdasarkan cara pengambilannya jelas bahwa stem cell yang berasal dari
embrio sangat bertentangan dengan moral dan etika karena untuk mengambil
itu harus merusak dan membunuh embrio (jabang bayi). Oleh karena itu
tindakan ini adalah tindakan pembunuhan seperti dijelaskan pada:

29
Artinya:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
dimuka bumi.” (QS. Al-Maidah (5):32)

Dan pada ayat lain, Allah SWT berfirman:

Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi

30
kekuasaan kepada ahli warisnya, teteapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan.” (QS. Al-Isra’ (17):33)

Berdasarkan kedua firman Allah S.W.T diatas, maka sebenarnya dalam


hukum Islam, stem cell dilarang tetapi disini masalahnya adalah stem cell
bermanfaat besar dalam bidang kedokteran. Pengobatan yang satu-satunya
menggunakan stem cell mempunyai potensi penerapan dalam mengatasi
berbagai penyakit. Ada kelompok yang pro dan adapula yang kontra dengan
stem cell research, karena mereka memiliki pandangan masing-masing.
Adapun kelompok pro dengan stem cell research terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu:
1) Kelompok yang mendukung stem cell secara total tetapi menilai bahwa
penggunaan stem cell tidak mempunyai nilai moral.
2) Kelompok yang mendukung dan memberikan nilai moral kepada
penggunaan stem cell karena menganggap manfaat yang didapatkan dari stem
cell jauh lebih besar dari pengorbanan yang dilakukan (Zuhroni, 2010).
Kloning (klonasi) adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik
yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa
tumbuhan, hewan, maupun manusia. Kloning manusia adalah teknik
membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang
berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh
(sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selny (nukleus), dan
selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita-yang telah dihilangkan
inti selnya- dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau
inseminasi buatan. Dengan metode semacam itu, kloning manusia
dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu
dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Setelah
proses penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti
sel tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat

31
memperbanyak diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin
sempurna.
Berdasarkan dalil-dalil itulah proses kloning manusia diharamkan menurut
hukum Islam dan tidak boleh dilaksanakan Allah SWT berfirman mengenai
perkataan Iblis terkutuk, yang mengatakan:

Artinya:
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga
binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, akan aku suruh
mereka (merubah ciptaan Allah SWT.) lalu benar-benar mereka akan
merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung
selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS.
An-Nisaa’ (4):119)

Yang dimaksud dengan ciptaan Allah (khalqullah) dalam ayat tersebut


adalah suatu fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Dan fitrah
dalam kelahiran dan berkembang biak pada manusia adalah dengan adanya
laki-laki dan perempuan, serta melalui jalan pembuahan sel sperma laki-laki
pada sel telur perempuan. Sementara itu Allah SWT telah menetapkan bahwa
proses pembuahan tersebut wajib terjadi antara seorang laki-laki dan
perempuan yang diikat dengan akad nikah yang sah.
Permasalahan yang terdapat dalam praktek stem cell dilihat dari sudut
pandang hukum islam adalah adanya sumber sel induk berupa embrio dari
hasil abortus, zigot sisa, dan hasil pengklonan. Tindakan dengan sengaja

32
mematikan embrio klon, sama dengan pengguran atau tidak?. Apakah fase
setelah terjadi konsepsi yang dilakukan secara in vitro fertilization sudah
termasuk masa perkembangan kehidupan manusia yang harus dihormati?.
Apakah penelitian yang menyebabkan kematian embrio itu melanggar hukum
islam yang berarti berkurangnya penghormatan terhadap manusia? (Tazkiyah,
2008).
Dengan demikian bahwa dalam stem cell asal embrio diharamkan atau
tidak diperbolehkan dalam islam. Karena ada beberapa aspek yang ditinjau,
salah satunya ialah dalam prakteknya untuk mendapatkan sumber sel
induknya.
Namun ada beberapa jenis stem cell yang diperbolehkan menurut etika agama
islam, diantaranya adalah stem cell yang berasal dari umbilical cord (tali
pusat), sumsum tulang, dan IPS (induced pluripotent stem cell), karena jenis-
jenis stem cell tersebut tidak merusak atau membunuh makhluk hidup dan
tidak melanggar hal-hal yang telah digariskan oleh Allah SWT (Tazkiyah,
2008).
Diantara pengabdian manusia kepada Allah SWT berkaitan dengan bidang
kedokteran adalah mengupayakan perkembangan ilmu pengetahuan yang
akan diterapkan untuk mengobati penyakit-penyakit. Dengan perkembangan
zaman kemudian diterapkan terapi berdasarkan stem cell, dalam hal ini
difokuskan kepada adult stem cell.
Penggunaan adult stem cell sebagai bahan stem cell research tidak
menimbulkan kontroversi karena prosos pengambilan dari adult stem cell
tersebut tidak bertentangan dengan moral dan etika kemanusiaan. Dari segi
pengobatan, adult stem cell dianggap lebih baik karena umumnya diambil
dari penderita sendiri sehingga tidak akan menimbulkan permasalahan
dengan penolakan ketika ditransplantasikan ke tubuh penderita tersebut (Tim
Dosen PAI Universitas Negeri Malang, 2009).

33
5.3. Madu dan Manfaatnya dalam Islam
Dalam bahasa Arab, madu juga disebut dengan berbagai nama, banyak
orang beranggapan bahwa nama-nama tersebut adalah sebuah persamaan kata
belaka. Padahal, sebenarnya tidak demikian, setiap nama yang digunakan
memiliki maksud-maksud tertentu dan menunjukan karakteristik serta sifat
masing-masing. Ketika kita mendengar kata madu, pikiran kita akan langsung
tertuju kepada madu lebah, sedangkan ketika penyebutan tersebut dimaksud
untuk menyebutkan benda selainnya, haruslah dengan menyebutkan jenisnya,
seperti madu tebu, madu kurma, madu Ruthab (kurma matang yang masih
basah), dan madu kentang (Abdullah,2008).
Al-‘Asl adalah nama yang berarti sesuatu yang bersih yang dikeluarkan
dari perut-perut lebah. Adapun lafal Adz-Dzub digunakan untuk menyebutkan
madu yang sudah bersih dari berbagai kotorannya. Adapun kaya Al-Ury
digunakan untuk menyebut kerja lebah, yaitu aktifitas kebah dalam
menghasilkan madu. Lafal Al-Ury juga digunakan untuk menyebut madu itu
sendiri. Selain itu, madu juga disebut dengan Rahiqun-Nahl yang berarti
sesuatu yang bersih dari hasil-hasil yang dikeluarkan lebah (Abdullah, 2008).

Dalam Al-Qur’an Al-Karim, Allah SWT berfirman:

Artinya:
“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat
manusia.’ Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). (QS. An-Nahl
(16):68)

34
Dari ayat tersebut dapat diartikan bahwa Allah SWT telah memerintahkan
kepada lebah untuk memakan buah-buahan yaitu dengan cara menghisap
nektar atau sari bunga dari tanaman tersebut dan Allah SWT pun tidak
membatasi dengan satu jenis buah saja. Lalu dilanjutkan lagi dengan ayat
selanjutnya:

Artinya:
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah
jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.” (QS. An-Nahl (16):69)

Ayat diatas menyebutkan cairan yang keluar dari perut lebah adalah madu
yang bermacam-macam warna, cita rasa, bentuk fisik, dan berkhasiat dapat
menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu bagi manusia. Hal tersebut
menarik perhatian bagi kalangan tenaga medis maupun pada peneliti untuk
meneliti lebih jauh mengenai kandungan yang dimiliki madu serta khasiatnya
dalam menyembuhkan penyakit, yang nantinya dapat mengembangkan
pengobatan yang berbahan dasar madu.

Adapun dalam As-Sunnah, Nabi Muhammad saw bersabda:


“Berobatlah kalian dengan dua penawar; madu dan Al-Qur’an.” (HR. Ibnu
Majah dan Al Hakim)

35
Dalam hadis tersebut disebutkan dua penawar yaitu madu dan Al-
Qur’an yang tersirat makna untuk memperoleh kesehatan fisik dapat dengan
meminum madu sedangkan untuk kesehatan rohani dan spiritual dapat dengan
membaca Al-Qur’an. Begitu pula kegunaan penawar ini yang tidak
dikhususkan bagi segolongan manusia tertentu saja. Karena ia merupakan
penyembuh untuk semua manusia secara umum, yang berarti bahwa dalam
madu tersebut terdapat obat penawar bagi semua manusia (Abdullah, 2008).

Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri menyebutkan bahwa seorang lelaki


telah datang kepada Nabi Muhammad saw dan berkata:
“Sesunnguhnya saudaraku senantiasa mengeluhkan perutnya yang sakit
(dalam sebuah riwayat dikatakan perutnya kembung dan mual).” Kemudian,
Nabi Muhammad saw bersabda “Suruh ia minum madu!” Laki-laki itu pun
pulang. Kemudian setelah itu, ia kembali dan berkata, “Saya telah
memberukannya minum madu, tetapi tidak ada perubahan sedikitpun (dan
dalam riwayat lain justru dengan lafadz, ‘tidak ada perubahan dan justru
semakin parah’).” Ia berkata seperti itu sebanyak dua atau tiga kali. Setiap
kali itu pula Rasulullah saw menjawab, “Berilah dia minum madu.” Sampai
pada kali yang ketiga atau keempat beliau bersabda, Maha benar Allah dan
perut saudaramu itu telah berdusta. Kemudian orang tersebut memberikan
madu kepada saudaranya dan dia pun sembuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(Bahren, 2015).

Nabi Muhammad saw telah menyatakan hadis tersebut lebih dari 14


abad yang lalu, kemudian ilmu kedokteran modern menyingkapkan hikmah
yang tinggi dalam sabda Rasullulah tersebut. Telah dinyatakan bahwa madu
dapat membunuh berbagai kuman dalam beberapa saat saja dan
menyembuhkan beberapa macam penyakit yang sulit diobati. Pernyataan
tersebut berdasarkan penelitian-penelitian yang telah di uji coba baik secara
in vitro dan in vivo serta uji klinis yang menunjukan hasil yang baik.

36
Karenanya, tidak mengherankan jika madu dalam ayat Al-Qur’an dan
bahkan ada satu surat yang diberi nama dengan An-Nahl (lebah), yakni
hewan penghasil madu. Begitupula Rasulullah saw sering berwasiat agar
berobat dengan madu (Abdullah, 2008).

Selain itu juga disebutkan bahwa nama lain untuk madu adalah Sanut,
Kasfud dan Sanur. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits
Nabi:
"Konsumsilah Sana (nama sejenis tumbuhan obat-obatan) dan Sanut (madu)."
(HR. Ibnu Muiah)

Berikut ini kajian tentang manfaat madu dalam beberapa penyakit dan
gejala-gejala penyakit: (Abdullah, 2008)
 Madu sebagai antibiotik dan pencegah pembusukan
 Madu untuk obat luar dan luka
 Madu sebagai suplementasi untuk anak-anak
 Madu dapar membantu pertumbuhan gigi susu
 Madu untuk mengatasi insomnia
 Madu sebagai pengobatan beragam penyakit sistem pernafasan

Berdasarkan uraian diatas maka dari beberapa penyakit dan gejela dari
suatu penyakit yang dapat diobat dengan madu terbukti sesuai dengan firman
Allah AWT:

Artinya:
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah
jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar

37
minuman (madu) yang bermacm-macam warnanya, di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.” (QS. An-Nahl (16):69)

Adapun madu bermanfaat sebagai berikut:


Sebagian Ulama mengatakan, bahwa ayat tentang berobat dengan
madu ini bersifat khusus. Yaitu sebagai penyembuh untuk sebagian penyakit
dan untuk sebagian orang, dan penyakit orang itu termasuk yang dapat di
sembuhkan oleh madu. Ayat ini tidak menyebutkan bahwa madu itu
merupakan penyembuh atau obat untuk segala macam penyakit, akan tetapi
Nabi SAW mengetahui bahwa penyakit orang tersebut termasuk yang dapat
disembuhkan dengan madu. (Imam An-Nawawi, 2010)
al-Khathtabi mengatakan dalam kitab fathul baari, “secara garis besar
hadits tentang pengobatan dengan tiga cara ini mencakup apa yang bisa
digunakan oleh manusia, Adapun madu itu menetralisir racun-racun yang ada
di dalam tubuh manusia (toksin). Madu berfungsi untuk menjaga kekuatan
dan mengeluarkan racun-racun dari badan.”
Dalam kitab fathul bari, Ibnu Hajar mengatakan, pada dasarnya Nabi
itu tidak pernah membatasi pengobatan dengan tiga hal itu, karena
kesembuhan bisa saja terjadi melalui selain dari ketiganya tadi. Karena setiap
penyakit itu memiliki cara pengobatan yang berbeda pula.
Ibnu Qoyyim dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad, mengatakan,
“Sesungguhnya madu adalah gizi dari segala gizi, obat dari segala obat,
minuman dari segala minuman, manis dari segala yang manis, obat gosok
(salep) dari segala obat gosok, yang menyegarkan dari segala yang
menyegarkan. Tidaklah Allah menciptakan sesuatu yang lebih baik atau
sebaik atau hampir mendekati baik dari madu.” (Al-Jauziyah,2000).
Kemudian Ibnu Sina juga mengatakan dalam bukunya yang berjudul
Al-Qanun fi Ath-Thibi, Ibnu sina mengatakan bahwa madu yang manis
rasanya, harum baunya, kental dan tidak cair dan lengket yang dihasilkan

38
pada musim bunga di musim panas dan dingin. Disini disebutkan juga
keisimewaan madu yaitu memeberikan kekuatan lewat lubang otot, membawa
kotoran dan membawanya keluar dari tubuh.

5.5. Uji Sitotoksisitas Madu Terhadap Human Dermal Fibroblas Ditinjau


Menurut Perspektif Islam.
Penelitian menggunakan stem cell merupakan metode terbaru dalam
bidang kedokteran dan biologi yang pada dasarnya dilakukan untuk
menemukan solusi terbaik dalam mengobati berbagai penyakit yang sulit
dicari obatnya. Namun karena penggunaan stem cell menggunakan bagian
dari manusia sebagai bahan dasarnya maka metode tersebut menimbulkan pro
dan kontra terutama dalam segi moral dan etika. Islam sebagai agama yang
berlandaskan pada moral dan etika yang tinggi tentu saja tidak dapat
melepaskan diri dari perbedaan pandangan tersebut.
Sebenarnya hukum islam mengenai stem cell dilarang tetapi disini
masalahnya adalah stem cell bermanfaat besar dalam bidang kedokteran.
Pengobatan yang satu-satunya menggunakan stem cell mempunyai potensi
penerapan dalam mengatasi berbagai penyakit.
Diantara pengabdian manusia kepada Allah SWT berkaitan dengan bidang
kedokteran adalah mengupayakan perkembangan ilmu pengetahuan yang
akan diterapkan untuk mengobati penyakit-penyakit. Salah satu yang
dibolehkan dalam stem cell research ialah dengan menggunaan adult stem
cell sebagai bahan stem cell research karena proses pengambilan dari adult
stem cell tersebut tidak bertentangan dengan moral dan etika kemanusiaan.
Pada penelitian ini bahan untuk stem cell research adalah sel Human Dermal
Fibroblast (HDF), dimana sel tersebut didapatkan dari preputium/kulup bekas
sunat. Seperti yang kita ketahui bahwa preputium bekas sunat ini merupakan
jaringan yang nantinya tidak dipergunakan kembali. Tentunya pengambilan
bahan atau jaringan ini sesuai dengan moral dan etika sesuai ajaran Islam,
bahkan sunat merupakan salah satu kewajiban setiap umat laki-laki muslim.

39
Pada dasarnya stem cell menggunakan bahan yang berasal dari jaringan
atau organ manusia. Lalu bagaimana pandangan islam mengenai penggunaan
organ tubuh manusia untuk kepentingan obat-obatan. Dijelaskan dalam fatwa
MUI bahwa penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari
bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram. Tetapi apabila
dalam keadaan darurat maka hukum haramnya tersebut dapat digugurkan.
Madu seperti yang kita ketahui memiliki berbagai macam khasiat,
terutama untuk kesehatan tubuh manusia. Menurut penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, madu sangat bermanfaat untuk
penyembuhan beberapa macam penyakit serta dapat digunakan sebagai
antibakteri. Seperti yang kita ketahui bahwa Allah memberikan cobaan
kepada manusia berupa sakit dan tentunya Allah SWT pun memberikan
obatnya. Sudah dijelaskan dengan jelas didalam Al-Qur’an dalam surat An-
Nahl ayat 68 dan 69 bahwa madu memiliki kandungan obat yang dapat
menyembuhkan bagi manusia.
Pada penelitian ini, peneliti mencari dosis toksik madu terhadap sel HDF
yang nantinya hasil dari penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian-
penelitian berikutnya agar khasiat madu dapat lebih ditinjau dari beberapa
aspek sehingga khasiat madu nantinya akan lebih meluas.

40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Penggunaan serum dan madu dengan dosis optimum dapat meningkatkan
viabilitas sel. Madu dengan dosis 1% merupakan dosis yang optimum
dalam meningkatkan viabilitas sel.
2. Nilai IC50 sitotoksisitas madu terhadap sel Human Dermal Fibroblast
(HDF) sebesar 4,98%
3. Dari sudut pandang Islam, penggunaan madu dalam terapi sel Human
Dermal Fibroblast sesuai dengan nilai dan prinsip ajaran Islam,
dikarenakan Allah SWT menyerukan kepada seluruh umatnya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan madu sebagai
obat untuk menyembuhkan penyakit, namun harus sesuai dengan kadar
tertentu.

6.2. Saran
Diperlukannya penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaaatan dan peranan
lain dari madu, mengingat bahwa pengobatan herbal sudah banyak digunakan
pada saat sekarang ini.

41
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahannya. 2008. Jakarta: Departemen Agama Republik


Indonesia.

Abdullah, M. M. 2008. Rahasia Sehat Bersama Madu Lebah. Insan Kamil,


Surakarta.

Ali M. 2012. Hukum Berobat dengan Khamr. Jakarta: Republika.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari. Darul Fikr.

Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim. 2000. Zadul Ma’ad. Jakarta: Pustaka Azzam.

Anyanechi, C. & Saheeb, B., 2015. Honey and wound dehiscence: a study of
surgical wounds in the mandibular bed, Nigerian Journal Of Clinical
Practice, 18, 2, pp. 251-255.

Burlando, B. & Cornara, L., 2013. Honey in dermatology and skin care: a review,
Journal Of Cosmetic Dermatology, 12, 4, pp. 306-313.

Chabaud, S. et al., 2016. Origin of Serum Affects Quality of Engineered Tissues


Produced by the Self-Assembly Approach. , 2016.

Din Syamsudin, et al. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama


Indonesia. MUI Pusat, Jakarta.

Djajanegara, I. and Wahyudi, P., 2009. Pemakaian Sel Hela dalam Uji
Sitotoksisitas Fraksi Ethanol Biji Mimba (Azadirachta
indica). Biosfera, 26(2), pp.59-64.

Erejuwa, O, Sulaiman, S, & Wahab, M 2014, 'Effects of honey and its


mechanisms of action on the development and progression of
cancer', Molecules (Basel, Switzerland), 19, 2, pp. 2497-2522.

Freshney, R.I. ed., 1986. Animal cell culture: a practical approach (Vol. 8).
Oxford:: IRL press.

Hadi, R.S., Kusuma, I. & Sandra, Y., 2014. Allogeneic human dermal fibroblasts
are viable in peripheral blood mononuclear co-culture. , 33(2), pp.91–99.

Halim D. 2010 Stem Cell Dasar Teori & Aplikasi Klinis. Penerbit Erlangga,
Jakarta.

42
Imam An-Nawawi. 2010. Syarah Shahih Muslim. Kairo: Pustaka Azzam. Jafari
Anarkooli, I, Barzegar Ganji, H, & Pourheidar, M 2014, 'The protective
effects of insulin and natural honey against hippocampal cell death in
streptozotocin-induced diabetic rats', Journal Of Diabetes Research, 2014,
p. 491571.

Junaidi, S., 2005, Isolasi dan Uji Sitotoksisitas Senyawa Alkaloid dari Spon
Koleksi no MD-02 Cyang, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta

Junqueira, Luiz C. 2012. Histologi Dasar Teks & Atlas Ed. 12. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Khan, S. et al., 2016. Fibroblast growth factor and vascular endothelial growth
factor play a critical role in endotheliogenesis from human adipose-derived
stem cells. Journal of vascular surgery, pp.1–10.

Kim, M. et al., 2014. Comparative study of various growth factors and cytokines
on type collagen and hyaluronan production in human dermal fibroblasts. ,
pp.44–52.

Kirsner, R.S. and Eaglstein, W.H., 1993. The wound healing


process. Dermatologic clinics, 11(4), pp.629-640.

Lam, M.T., Nauta, A., Meyer, N.P., Wu, J.C. and Longaker, M.T., 2012. Effective
delivery of stem cells using an extracellular matrix patch results in
increased cell survival and proliferation and reduced scarring in skin
wound healing. Tissue Engineering Part A, 19(5-6), pp.738-747.

Lorenz, K., Sicker, M., Schmelzer, E., Rupf, T., Salvetter, J., Schulz-Siegmund,
M., & Bader, A., 2008. Multilineage differentiation potential of human
dermal skin-derived fibroblasts, Experimental Dermatology, 17, 11, pp.
925-932.

Maxson, S., Lopez, E.A., Yoo, D., Danilkovitch-Miagkova, A. and LeRoux, M.A.
2012. Concise review: role of mesenchymal stem cells in wound
repair. Stem cells translational medicine, 1(2), pp.142-149.

National Institutes of Health. 2007. Stem cell Basic. Diunduh dari


http://www.stemcelle.nich.gov/info/basics/PDF. Diakses pada tanggal 26
November 2016.

Palazzo, E., Marconi, A., Truzzi, F., Dallaglio, K., Petrachi, T., Humbert, P.,
Schnebert, S., Perrier, E., Dumas, M., & Pincelli, C., 2012. Role of
neurotrophins on dermal fibroblast survival and differentiation, Journal Of
Cellular Physiology, 227, 3, pp. 1017-1025.

43
Portokalakis, I., Yusof, H.M., Ghanotakis, D.F., Nigam, P.S. and Owusu-Apenten,
R., 2016. Manuka Honey-induced cytotoxicity against MCF7 breast
cancer cells is correlated to total phenol content and antioxidant power. J.
Adv. Biol. Biotech, 8(2), pp.1-10.

Raehanul Bahraen. 2015. Hadits Mengenai Menyembuhkan Diare dengan Minum


Madu. Diunduh dari https://muslimafiyah.com/hadits-mengenai-
menyembuhkan-diare-dengan-minum-madu.html. Diakeses pada tanggal
26 November 2016.

Rembulan, V., 2015. Potency of honey in treatment of burn wounds. , 4, pp.105–


112.

Shoeb, M., Thoo-Lin, P.K. and Nahar, N., 2012. Anti-colon cancer activity of
endophytic fungal strains from Terminalia chebula Rezt. Bangladesh
Journal of Pharmacology, 7(1), pp.47-49.

Shrimanker, M., Patel, N., Modi, H., & Dave, R. (2013). A Review : Screening
Models for Wound Healing Activity in Animals, 3(May).

Sorrell, J., & Caplan, A., 2004. Fibroblast heterogeneity: more than skin deep,
Journal Of Cell Science, 117, Pt 5, pp. 667-675.

Takahashi, K. & Yamanaka, S., 2006. Induction of pluripotent stem cells from
mouse embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors, Cell,
126, 4, pp. 663-676.

Talib, W.H. and Mahasneh, A.M., 2010. Antiproliferative activity of plant


extracts used against cancer in traditional medicine. Scientia
pharmaceutica, 78(1), p.33.

Tazkiyah. 2008. Diunduh dari http://tazymaniandevil.multiply.com/journal/.


Diakses pada tanggal 26 November 2016.

Tim Dosen PAI Universitas Negeri Malang. 2009. Aktualisasi Pendidikan Islam:
Respon Terhadap Problematika Kontemporer. Surabaya: Hilal Pustaka.

Toma, J., Akhavan, M., Fernandes, K., Barnabé-Heider, F., Sadikot, A., Kaplan,
D. & Miller, F., 2001. Isolation of multipotent adult stem cells from the
dermis of mammalian skin, Nature Cell Biology, 3, 9, pp. 778-784.

Van Tonder, A., Joubert, A.M. and Cromarty, A.D., 2015. Limitations of the 3-(4,
5-dimethylthiazol-2-yl)-2, 5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide (MTT)
assay when compared to three commonly used cell enumeration
assays. BMC research notes, 8(1), p.1.

44
Zuhroni dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan Dan Kedokteran 2.
Departemen Agama, Jakarta.

Zuhroni. 2010. Pandangan Islam Terhadap Masalah Kedokteran dan Kesehatan.


Jakarta: Bagian Agama Islam Universitas YARSI.

45
ANGGARAN PENELITIAN

Kegunaan Deskripsi Barang Harga Harga Persen


Dalam satuan Keseluruhan Jumlah
Penelitian (Rp) (Rp) (%)

Pipet Tip 100 ul 400.000 400.000


TC 25 Flask (1 pak) 1.322.500 1.322.500
Plate 96 (50 buah) 12.000 600.000
Peralatan (Thermo Scientific) 47,2
Penunjang Cell proliferative 3.000.000 3.000.000
assay kit WST-1
(Roche)
Cryo Tube 437.500 437.500
HDF cell 2.670.000 2.670.000
Dulbecco’s Modified 850.000 1.700.000
Eagle’s Medium
Bahan (DMEM) 48,2
Habis Pakai Fetal Bovine Serum 1.320.000 1.320.000
Madu 330.000 330.000
Perjalanan Presentasi Laporan 300.000 300.000 2,4
Akhir
Lain-lain ATK dan 280.000 280.000 2,2
Dokumentasi
Total 12.500.000 100

46
BIODATA PENELITI

A. Identitas Diri

1 Nama Lengkap Oktaviani Meiliza


2 Nomor Induk Mahasiswa 1102013222
3 Tempat/Tanggal Lahir Jakarta, 17 Oktober 1995
4 Jenis Kelamin Perempuan
5 Fakultas/Program Studi Kedokteran Umum
6 Alamat Rumah Tebet Barat XD No. 19, Jakarta Selatan

B. Riwayat Pendidikan
SD SMP SMA
SDS
Muhammadiyah
Nama Institusi 06 Jakarta SMP Yasporbi 1 Jakarta SMAN 26 Jakarta

Jurusan - - -
Tahun Masuk- 2001-2007 2007-2010 2010-2014
Lulus

47
Lampiran 1

Cara Kerja
Bahan dan Reagen:
1. Sel HDF
2. DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle Medium)
3. FBS (Fetal Bovine Serum)
4. PBS (Phospate Buffered Saline)
5. Reagen MTT
6. DMSO (Dimethyl Sulfoxide)
7. Madu
Alat:
1. Multi plate well 96 sumuran
2. Pipet tip 100ul
3. Incubator culture cell
Software :
1. SPSS
2. Microsoft Excel
Prosedur :
1. Kultur ekspansi HDF
HDF ditanam pada Flask T-25 dan diinkubasi selama 6 hari dengan kadar
CO2 5% dan suhu 370 C. Diganti medium setiap 2-3 kali per minggu.

2. Panen sel
a. Menggoyangkan Flask T-25 (wadah kultur) secara perlahan-lahan,
dan membuang medium kemudian membilas wadah kultur dengan
PBS 5ml sebanyak 3 x.
b. Berikan Trypsin 9 ml ke dalam wadah kultur. Setelah itu
menginkubasi dalam inkubator CO2 selama 15 menit.
c. Observasi pertumbuhan sel pada Flask T-25 dibawah mikroskop.
d. Masukan DMEM High Glucose dan FBS 5ml ke dalam Flask T-

48
25.
e. Pindahkan isi medium Flask T-25 ke dalam tube 15 ml.
f. Sentrifugasi pada 1500 RPM dengan suhu 220 C selama 7 menit.
g. Menghitung sel

3. Penghitungan sel (Cell Enumeration)


a. Letakan parafilm dalam BSC
b. Teteskan 20 μl PBS
c. Teteskan 20 μl trypan blue
d. Teteskan 10 μl suspensi sel
e. Lakukan up-down pipetting dan ambil 20 μl droplet dan letakkan
pada kamar hemasitometer
f. Observasi kamar hemasitometer dibawah mikroskop

4. Penanaman sel (Cell Seeding)


HDF yang berasal dari biorepository Universitas YARSI ditanam pada
well yang berisi DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium), FBS
(Fetal Bovine Serum) 10%, 100 μg /mL penicillin, dan 100 μg/mL
streptomycin. Ditanam hingga konfluens.

5. Perlakuan
Apabila sel yang ditanam sudah konfluens, selanjutnya diberi perlakuan
diawali dengan kontrol DMEM non serum, kontrol dengan DMEM + 10%
FBS sebagai serum, dan perlakuan variasi madu dengan dosis 0,5%, 1%,
2%, 4%, 5%, 10%, 15%, dan 20% (pemberian madu selama 24 jam).

6. Pembuatan dosis madu


𝑉1 𝑉2
a. Pengenceran madu digunakan rumus pengenceran yaitu 𝑀1 = 𝑀2

b. Diawali dengan pengenceran madu dengan dosis 50%. Madu


diambil sebanyak 5mL kemudian dimasukan kedalam tube 15mL.

49
Selanjutnya, masukan DMEM Standar sebanyak 5mL kedalam
tube. Dicampurkan lalu di saring.
c. Pengenceran madu 20%, dengan rumus pengenceran:
𝑉1 𝑉2
= 𝑀2
𝑀1
20% 50%
=
𝑋 10

X = 4 mL
Maka masukan madu sebanyak 4 mL (dari madu pengenceran
50%), DMEM sebanyak 6 mL, dan antibiotik sebanyak 100 μl.
Campurkan kemudian disaring.

d. Untuk pengenceran madu 15%,10%,5%,4%,2%,1%, dan 0,5%


dengan cara yang sama seperti diatas.

7. Setelah diinkubasi selama 24 jam, selanjutnya diberi reagen MTT


sebanyak 20µL setiap well dan diinkubasi selama 2-4 jam, dengan plate
dibungkus dengan kertas alumunium foil (tanpa terpapar cahaya) dan
diinkubasi pada suhu ruangan.
8. Setelah diinkubasi, dilihat terbentuknya Kristal formazan.
9. Apabila Kristal formazan telah terbentuk, selanjutnya diberi stopper
berupa DMSO sebanyak 100 µL setiap well.
10. Plate digoyang/diguncangkan selama ±15 menit.
11. Setelah itu dibaca menggunakan ELISA reader. Lalu diperoleh data
berupa nilai absorbansi yang dihitung berdasarkan OD.
12. Sel dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel atau SPSS.

50
Lampiran 2

51

Anda mungkin juga menyukai