Anda di halaman 1dari 8

Akhlak Terhadap Allah SWT

Dalam bukunya Etika Islam, Miftah Faridl menyatakan bahwa manusia sebagai hamba
dan makhluk, harus memiliki akhlak kepada Sang Kholik. Diantara akhlak yang harus dimiliki
manusia terhadap Sang Kholik sesuai dengan syariat Islam adalah :

1. Taqwa

Definisi taqwa yang paling populer adalah menjalankan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya (imtitsalul awaamir wajtinabun nawaahii). Lebih lanjut
Thabbarah mengatakan bahwa makna asal dari taqwa adalah pemeliharaan diri. Diri tidak perlu
pemeliharaan kecuali terhadap apa yang dia takuti. Yang paling dia takuti adalah Allah SWT.
Sedangkan orang-orang yang bertaqwa disebut muttaqiin.

Buah dari Taqwa :

a) Mendapatkan sikap furqon yaitu sikap tegas membedakan antara yang bathil dan yang
haq, yang terpuji dan tercela.
b) Mendapat limpahan berkah dari langit dan bumi
c) Mendapatkan jalan keluar dari kesulitan
d) Mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga
e) Mendapatkan kemudahan dalam urusannya
f) Mendapatkan penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar

2. Cinta dan Ridha

Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan
seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan kasih sayang.
Cinta dengan pengertian demikian sudah merupakan fitrah yang dimiliki semua manusia, islam
tidak hanya mengakui keberadaan cinta itu pada diri manusia, tetapi juga mengaturnya sehingga
terwujud dengan mulia, bagi seorang mukmin, cinta pertama dan yang paling utama adalah cinta
yang diberikan kepada Allah SWT. Allah lebih dicintainya daripada segala-galanya. Sejalan
dengan cintanya kepada Allah, seorang muslim akan mencintai Rasul dan jihad pada jalan-Nya.
Inilah yang disebut dengan cinta utama. Sedangkan cinta kepada orang tua, anak-anak, sanak
saudara, harta benda dan lain-lain adalah cinta menengah yang harus berada dibawah cinta
utama. Apabila cinta menengah melebihi cinta utama, maka cintanya jatuh menjadi hina. Inilah
yang disebut dengan cinta paling rendah. Seperti contoh : berdagang merupakan perwujudan dari
cinta harta benda, tapi, apabila seseorang dalam berdagang tidak lagi memperdulikan halal dan
haram, menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan atau tidak lagi mengindahkan aturan
Allah dan Rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda seperti itu yang semula termasuk cinta
menengah jatuh menjadi cinta paling rendah karena melebihi cinta utama.
Sejalan dengan cinta, seorang muslim haruslah dapat bersikap ridha terhadap segala
aturan dan keputusan Allah SWT. Artinya dia harus menerima dengan sepenuh hati, tanpa
penolakan sedikitpun segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, baik itu berupa
perintah, larangan, ataupun petunjuk-petunjuk lainnya. Seorang muslim dapat ridha karena dia
mencintai Allah dan yakin bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang Maha
mengetahui segala-galanya, yang Maha Bijaksana tentunya tidak akan membuat suatu aturan
yang tidak sesuai atau yang merugikan umat manusia makhluk ciptaan-Nya. Dengan keyakinan
seperti ini, dia juga rela menerima segala Qadha dan Qadhar-Nya Allah terhadap dirinya. Dia
akan bersyukur atas segala kenikmatan, dan akan bersabar atas segala cobaan.

3. Ikhlas

Secara etimologis, kata ikhlas berasal dari bahasa arab yaitu dari kata khalasha yang
berarti bersih, jernih, murni. Misalnya maul khaalish artinya air bening atau putih, tidak
bercampur dengan teh, kopi, sirup, atau yang lainnya. Setelah dibentuk menjadi ikhlash
(masdhar dari fi’il muta’addi khallasha) berarti membersihkan atau memurnikan. Sedangkan
secara terminologis, yang dimaksud dengan ikhlas adalah beramal semata-mata mengharapkan
ridha Allah SWT.

Tiga Unsur Keikhlasan

a) Niat yang Ikhlas (Iklhas an-niyyah)

Dalam islam faktor niat sangat penting. Apa saja yang dilakukan oleh seorang Muslim haruslah
berdasarkan niat mencari ridha Allah SWT, bukan berdasarkan motivasi lain.

b) Beramal dengan Sebaik-baiknya (itqon al-‘amal)

Niat yang ikhlas haruslah diikuti dengan amal yang sebaik-baiknya, seorang muslim yang
mengaku ikhlas melakukan sesuatu harus membuktikannya dengan melakukan perbuatan itu
sebaik-baiknya.

c) Pemanfaatan hasil usaha dengan tepat (jaudah al-ada’)

Unsur ketiga dari keikhlasan menyangkut pemanfaatan hasil yang diperoleh. Misalnya menuntut
ilmu, setelah seorang muslim berhasil melalui dua tahap keikhlasan, yaitu niat ikhlas karena
Allah dan belajar dengan rajin, tekun dan disiplin, maka setelah berhasil mendapatkan ilmunya,
yang ditandai dengan keberhasilannya meraih gelar kesarjanaan, bagaimana dia memanfaatkan
ilmunya atau kesrjanaannya dengan tepat.
4. Khauf dan Raja’

Khauf dan raja’ atau takut dan harap adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki
secara seimbang oleh setiap Muslim. Bila salah satu dominan dari yang lainnya akan melahirkan
pribadi yang tidak seimbang,. Dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa,
sementara dominasi raja’ menyebabkan seorang lalai dan lupa diri serta merasa aman dari adzab
Allah. Yang pertama adalah sikap orang kafir dan yang kedua sikap orang-orang yang merugi.

Khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya,
atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukai. Dalam Islam semua rasa takut harus
bersumber dari rasa takut kepada Allah. Hanya Allah-lah yang paling berhak ditakuti oleh setiap
orang yang mengaku beriman kepada-Nya.

Menurut Sayyid Sabiq, ada dua sebab kenapa seseorang takut kepada Allah :

- Karena dia mengenal Allah (ma’rifatullah) takut seperti ini dinamai dengan khau al-
arifiin. Semakin sempurna pengetahuannya terhadap Allah semakin bertambah pula
takutnya kepada Allah.
- Karena dosa-dosa yang dilakukannya, dia takut akan adzab Allah SWT.

Raja’ adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang.
Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-
angan kosong (tamanni). Hidup didunia ibaratkan bercocok tanam yang panennya nanti diakhir
vat. Barang siapa yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan
mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, barang siapa yang
harapannya hanya berupa angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah
kemaksiatan, maka harapannya itu sia-sia dan percuma. Seorang mukmin haruslah memiliki sifat
raja’. Bila beribadah dan beramal, dia penuh harap ibadah dan semua amalannya akan diterima
dan dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat ganda. Bila berbuat maksiat, kemudian
menyadarinya, dia segera minta ampun dan penuh harap Allah akan mengampuninya. Dia yakin
Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya.

5. Tawakkal

Tawakkal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan
menyerahkan keputusan segala sesuatu kepada-Nya. Seorang Muslim hanya boleh bertawakkal
kepada Allah semata. Tawakkal adalah salah satu buah keimanan, setiap orang yang beriman
bahwa semua urusan kehidupan, dan semua manfaat dan madharat ada ditangan Allah, akan
menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya dan akan ridha dengan segala kehendak-Nya. Dia
tidak takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya tenang dan
tentram, karena yakin akan keadilan dan Rahmat Allah. Oleh sebab itu, islam menetapkan bahwa
iman harus diikuti oleh sikap tawakkal.
Sikap tawakkal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan bathin. Sebab apabila
seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu; mengerahkan segala
tenaga dan dana, membuat perencanaan dengan sangat cermat dan detail, melaksanakannya
dengan penuh disiplin, dan melakukan pengawasan dengan ketat; kalau kemudian masih
mengalami kegagalan, dia tidak akan berputus asa. Dia menerimanya sebagai musibah, ujian dari
Allah SWT yang harus dihadapi dengan sabar. Sebaliknya jika berhasil dengan baik, dia
bersyukur kepada Allah SWT, tidak sombong dan membanggakan diri, karena dia yakin semua
usahanya tidak akan berhasil tanpa izin Allah SWT.

6. Syukur

Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya.
Syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal, yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka
tidaklah dinamakan bersyukur, yaitu : mengakui nikmat dalam bathin, membicarakannya secara
lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk ta’at kepada Allah. Jadi syukur itu berkaitan
dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati untuk ma’rifah dan mahabbah, lisan untuk memuja
dan menyebut nama Allah, dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sabagai
sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
Seperti yang sudah disinggung diatas, syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu lisan, hati dan
anggota badan. bila seorang muslim misalnya, bersyukur kepada Allah atas kekayaan harta
benda yang didapatnya, maka yang pertama sekali harus dilakukannya mengetahui dan mengakui
bahwa semua kekayaan yang didapatnya itu adalah karunia dari Allah. Usaha yang dilakukan
hanyalah sebab atau ikhtiar semata. Ikhtiar tanpa taufiq dari Allah tidak akan menghasilkan apa
yang diinginkan. Oleh sebab itu dia harus bersyukur kepada Allah yang Maha Pemurah dan
Maha Pemberi Rezeki. Setelah itu baru dia mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji-
pujian. Kemudian dia buktikan rasa syukurnya itu dengan amal perbuatan yang nyata yaitu
memnfaatkan harta kekayaan itu pada jalan yang diridhai Allah, baik untuk keperluannya sendiri
maupun untuk keperluan keluarga, umat atau untuk fii sabilillah lainnya. Allah memerintahkan
kepada kaum muslimin untuk bersyukur kepada-Nya. Manusia diperintahkan bersyukur kepada
Allah bukanlah untuk kepentingan Allah itu sendiri, Karena Allah ghaniyyun ‘anil ‘alamiin
(tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta), tapi justru untuk kepentingan manusia sendiri.

7. Muraqabah

Muraqabah berakar dari kata raqaba yang berarti menjaga, mengawal, menanti dan mengamati.
Muraqabah adalah kesadaran seorang muslim bahwa dia selalu berada dalam pengawasan Allah.
Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah dengan sifat ‘ilmu, bashar, dan kalam-Nya
mengetahui apa saja yang dia lakukan kapan dan dimana saja. Allah mengetahui apa yang dia
pikirkan dan rasakan. Tidak ada satupun yang luput dari pengawasan-Nya.menurut Rasulullah
muraqabah yang paling tinggi yaitu apabila seseorang dalam beribadah kepada Allah bersikap
seolah-olah dia dapat melihat-Nya, sekalipun dia tidak dapat melihat-Nya, tapi dia yakin bahwa
Allah pasti melihatnya.
Kesadaran akan pengawasan Allah akan mendorong seorang muslim untuk melakukan
muhasabah terhadap amal perbuatan, tingkah laku, dan sikap hatinya sendiri. Dalam hal ini
muraqabah berfungsi sebagai jalan menuju muhasabah. Dijelaskan oleh Raid Abdul Hadi dalam
bukunya mamarat al-haq bahwa muhasabah dapat dilakukan sebelum dan sesudah amal,
sebelum melakukan sesuatu seseorang harus menghitung dan mempertimbangkan terlebih
dahulu baik buruknya dan manfaat dari perbuatan itu. Dalam hal ini Beliau mengutip ucapan
Hasan Rahimahullah “Allah mengasihi seorang hamba yang berhenti sebelum melakukan
sesuatu, jika memang karena Allah, dia akan terus melangkah, tapi kalau bukan karena-Nya dia
akan mundur.

8. Taubat

Secara bahasa, kata taubat berasal dari kata taaba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat
kepada Allah adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu, kembali dari sifat-sifat
tercela menuju sifat-sifat terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah Allah. Searti
dengan kata taaba adalah anaaba dan aaba. Orang yang taubat karena takut akan adzab Allah
disebut taaib, bila Karen amalu disebut muniib, dan bila karena mengagungkan Allah disebut
awwab. Apabila seorang muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dia wajib segera taubat
kepada Allah. Yang dimaksud dengan kesalahan atau kemaksiatan disini adalah semua perbuatan
yang melanggar ketentuan syariat islam, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban atau
melanggar larangan, baik yang termasuk dosa kecil atau dosa besar.

Lima dimensi taubat :

 Menyadari kesalahan yang diperbuat.


 Kenyesali kesalahan yang diperbuat.
 Memohon ampun kepada Allah SWT.
 Berjanji tidak akan mengulanginya.
 Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh.

Akhlak Terhadap Rasulullah

1. Ridha Dalam Beriman Kepada Rasul

Iman kepada Rasulallah merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan akan
terasa menjadi nikmat dan lezat manakala kita memiliki rasa ridha dalam keimanan sehingga
membuktikan konsekuensi iman merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan. Karenanya
membuktikan keimanan dengan amal yang shaleh merupakan bukan suatu beban yang
memberatkan, begitulah memang bila sudah ridha. Ridha dalam beriman kepada Rasul inilah
sesuatu yang harus kita nyatakan.

2. Mencintai dan Memuliakan Rasul


Keharusan yang harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada Rasul adalah
mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt. Penegasan bahwa urutan kecintaan
kepada Rasul setelah kecintaan kepada Allah. disebutkan dalam firman Allah yang artinya:

Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan


yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dasn (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS 9:24).

Disamping itu, manakala seseorang yang telah mengaku beriman tapi lebih mencintai yang lain
selain Allah dan Rasul-Nya, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakuinya sebagai orang yang
beriman, beliau bersabda:

Tidak beriman seseorang diantara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri,
orang tuanya, anaknya dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).

3. Mengikuti dan Mentaati Rasul

Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan sesuatu yang bersifat mutlak bagi orang-orang
yang beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian penting dari akhlak kepada Rasul,
bahkan Allah Swt akan menempatkan orang yang mentaati Allah dan Rasul ke dalam derajat
yang tinggi dan mulia. Disamping itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw,
Allah Swt akan mencintai kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari
Allah manakala kita melakukan kesalahan.

Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati, Allah Swt
berfirman yang artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan
izin Allah (QS 4:64).

Manakala manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan mentaatinya,
maka ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah Swt. Dengan demikian,
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh dan
tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman yang artinya: Barangsiapa mentaati rasul,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80).

4. Mengucapkan Shawalat dan Salam Kepada Rasul

Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a, istighfar dan rahmah.
Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti Allah memberi ampunan dan rahmat kepada
Nabi, inilah salah satu makna dari firman Allah yang artinya: Sesungguhnya Allah dan para
Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu
untuk Nabi dan Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS 33:56).
Adapun, bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan bagi
kita sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasullah.

Barangsiapa bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan
bershalawat kepadanya sepuluh kali (HR. Ahmad).

Manakala seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak mengucapkan
shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai orang yang paling utama
kepadanya pada hari kiamat, beliau bersabda:

Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang
paling banyak bershalawat kepadaku (HR. Tirmidzi).

Adapun orang yang tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang kikir atau
bakhil, hal ini dinyatakan oleh Rasul Saw:

Yang benar-benar bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia tidak
mengucapkan shalawat kepadaku (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

5. Menghidupkan Sunnah Rasul

Kepada umatnya, Rasulullah Saw tidak mewariskan harta yang banyak, tapi yang beliau
wariskan adalah Al-Qur’an dan sunnah, karena itu kaum muslimin yang berakhlak baik
kepadanya akan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits) agar tidak sesat,
beliau bersabda:

Aku tinggalkan kepadamu dua pusaka, kamu tidak akan tersesat selamanya bila berpegang teguh
kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku (HR. Hakim).

Selain itu, Rasul SAW juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah dengan segala
bahayanya, beliau bersabda:

Sesungguhnya, siapa yang hidup sesudahku, akan terjadi banyak pertentangan. Oleh karena itu,.
Kamu semua agar berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para penggantiku. Berpegang
teguhlah kepada petunjuk-petunjuk tersebut dan waspadalah kamu kepada sesuatu yang baru,
karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka
(HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim, Baihaki dan Tirmidzi).

Dengan demikian, menghidupkan sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting sehingga
begitu ditekankan oleh Rasulullah Saw.

6. Menghormati Pewaris Rasul

Berakhlak baik kepada Rasul Saw juga berarti harus menghormati para pewarisnya, yakni
para ulama yang konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni yang takut
kepada Allah dengan sebab ilmu yang dimilikinya. Kedudukan ulama sebagai pewaris Nabi
dinyatakan oleh Rasulullah Saw:

Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak tidak mewariskan uang
dinar atau dirham, sesungguhnya Nabi hanya mewariskan ilmui kepada mereka, maka
barangsiapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil mbagian yang besar (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi).

Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak hanya
memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan kepribadian
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati.
Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak
mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu bukanlah ulama yang berarti tidak ada
kewajiban kita untuk menghormatinya.

7. Melanjutkan Misi Rasulullah

Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Tugas yang mulia
ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena Rasulullah telah wafat dan Allah tidak akan
mengutus lagi seorang Rasul. Meskipun demikian, menyampaikan nilai-nilai harus dengan
kehati-hatian agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari Rasulullah
Saw. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini ditegaskan oleh Rasulullah:

Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, dan berceritalah tentang Bani Israil tidak ada
larangan. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mempersiapkan tempat duduknya di neraka (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu
Umar).

Demikian beberapa hal yang harus kita tunjukkan agar kita termasuk orang yang memiliki
akhlak yang baik kepada Nabi Muhammad Saw.

Anda mungkin juga menyukai