Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang melalui jaras pada
otak ke lobus oksipital dimana rasa penglihatan ini diterima, maka yang di sebut tuna
netra adalah seseorang yang memiliki indera penglihatan yang tidak berfungsi atau
terganggu sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas
rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus.
Tunanetra umumnya disebabkan oleh penyakit dan malnutrisi. Menurut
perkiraan WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan yang paling sering diantaranya
adalah katarak (47,9%), glaukoma (12,3%), degenerasi makular akibat usia (8,7%),
opasitas kornea (5,1%), dan diabetes retinopati (4,8%).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyandang cacat ?
2. Bagaimana cara klasifikasi nya ?
3. Apa saja diagnosa yang muncul pada askep penyandang cacat?
4. Bagaimana cara membuat asuhan keperawatan penyandang cacat?

C. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya pasien yang mengalami
penyandang cacat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam
penglihatan ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat
mengakibatkan kebutaan (Quigley dan Broman, 2006).
2. Cacat Netra dalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang dikarenakan
oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran,
kecelakaan maupun penyakit (Marjuki, 2009)
3. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak dapat
melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang
dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan
dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan(Heward & Orlansky, 1988
cit Akbar 2011).

B. Etiologi
Dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal yaitu faktor keturunan atau genetik dan faktor yang erat
hubungannya selama bayi masih dalam kandungan seperti: kurang gizi, terkena
infeksi, keracunan, aborsi yang gagal, ataupun adanya penyakit kronis.
2. Faktor eksternal adalah faktor ketika lahir atau maupun faktor setelah lahir.
Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat
dilahirkan, kelahiran yang lama sehingga kehabisan cairan, kelahiran yang dibantu
alat yang mengenai syaraf, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma,
panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri
ataupun virus.

C. Klasifikasi Tuna Netra


Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for
Disability and Health (ICF) dalam Marjuki (2009), Penyandang Cacat
Penglihatan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

2
1. Tuna netra golongan buta (total blind), dimana terbagi lagi menjadi
3 kelompok yakni;
a) Mereka yang sama sekali tidak memiliki persepsi visual:
b) Mereka yang hanya memiliki persepsi cahaya dan
c) Mereka yang memiliki persepsi sumber cahaya. Pada golongan ini, mereka
memerlukan sistem Braille sebagai alat bantu.
2. Tuna netra golongan kurang lihat (low vision) yang terbagi lagi menjadi 3 kelompok
, yakni:
a) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda yang berukuran besar sehingga
mereka masih membutuhkan sistem Braille;
b) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran sedang dimana ada
diantaranya yang membutuhkan sistem Braille dan ada juga yang dapat
menggunakan huruf dan tanda visual yang diperbesar;
c) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran kecil dimana mereka
pada umunya mampu menggunakan huruf dan tanda visual sebagai media baca
dan pengajaran.
3. Tuna netra golongan ganguan Persepsi Cahaya (Light Perception) yaitu seseorang
hanya dapat membedakan terang dan gelap namun tidak dapat melihat benda
didepannya.

D. Dampak kondisi Tuna Netra


1. Secara kognitif:
a) Pengenalan/pengertian terhadap dunia luar tidak diperoleh secara lengkap dan
utuh, shg perkembangan kognitif cenderung terhambat dibandingkan orang
normal pada umumnya.
b) Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan
kecerdasan atau kemampuan inteligensi, tetapi juga kemampuan indera
penglihatan.
2. Secara Motorik:
a) Fungsi sistem neuromuskularnya tidak bermasalah tetapi fungsi psikis tidak
mendukung shg menjadi hambatan dalam perkembangan motorik.
b) Secara fisik, tuna netra biasanya: berjalan dengan posisi tegak, kaku, lamban, dan
penuh kehati-hatian dimana tangan mereka selalu berada di depan dan sedikit

3
tersendat pada saat berjalan
c) Segi intelegensi, anak-anak tunanetra hampir sama dengan anak normal pada
umumnya,dimana ada anak yang cerdas, ada yang rata-rata dan ada yang rendah.
Menurut Kirley (1975), berdasarkan tes intelegensi dengan menggunakan
Hayes-Binet Scale ditemukan bahwa rentang IQ anak tunanetra berkisar antara
45- 160, dengan distribusi12,5% memiliki IQ kurang dari 80, kemudian 37,5%
dengan IQ diatas 120 dan 50% dengan IQ antara 80-120.
d) Segi perkembangan emosi, anak tunanetra sedikit mengalami hambatan
dibandingkan dengan anak yang normal.
e) Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dalam
proses belajar. Pada awal masa kanak- kanak, akan melakukan proses belajar
untuk mencoba menyatakan emosinya, hal ini tetap dirasakan tidak efisien
karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungan
secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri sendiri maupun
lingkungannya
f) Segi perkembangan sosial, tunanetra memiliki lebih banyak hambatan.
g) Hal tersebut muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraannya.
h) Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas
atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu, sikap-sikap masyarakat yang
seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak acuh,
ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk
belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan
tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya amenjadi
terhambat.
i) Jadi, perkembangan sosial dari penderita tunanetra sangat tergantung pada
bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga
terhadap penderita tunanetra itu sendiri.

E. Kebutuhan Tuna netra


Kebutuhan sebagai manusia tidak berbeda dengan kebutuhan manusia pada
umumnya. Pada dasarnya setiap prilaku manusia tertuju pada motif pemenuhan

4
kebutuhan, yang berarti kebutuhan mempengaruhi prilaku manusia. Menurut teori
Maslow tentang motivasi atau perilaku yang dipengaruhi kebutuhan digambarkan seperti
piramida yang tersusun dari lima tingkat dan setiap tingkatnya mengandung satu unsur
kebutuhan.
1. Kebutuhan fisiologis
Kepuasan dari haus, lapar dan sex. Kepuasan Fisiologis ini harus terpenuhi lebih
dulu apabila menginginkan kebutuhan berikutnya terpenuhi.
2. Kebutuhan akan rasa aman
Bagi tunanetra perasaan aman sulit diperoleh. Kerusakan penglihatan menyebabkan
gangguan di dalam menerima informasi lewat mata, sedangkan indera lainnya
kurang memberikan kejelasan. Akibat ketidakjelasan ini tunanetra selalu
bertanya-tanya apa yang ada dihadapannya. Akibat ketidakpastian ini juga
menyebabkan tunanetra selalu ada rasa curiga.
3. Kebutuhan akan kasih sayang
Rasa memiliki dan rasa kasih sayang itu akan ada pada seseorang apabila seseorang
sudah merasakan kebutuhan fisiologisnya terpenuhi dan kebutuhan akan rasa
amannya juga terpenuhi.
Kecenderungan rasa kasih sayang pada seseorang timbul apabila kehadiran
seseorang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan.
Kehadiran seorang tunanetra di tengah keluarga dan lingkungan pasti tidak
diharapkan. Tidak ada orang tua yang mengharapkan kelahiran anaknya menderita
tunanetra. Karena itu kehadirannya menimbulkan kekecewaan. Biasanya
kekecewaan orang tua dan lingkungan dimunculkan dalam bentuk sikap tidak
menyayangi dan tidak memiliki.
4. Kebutuhan akan penghargaan
Setiap manusia membutuhkan penghargaan atau rasa dihargai oleh lingkungan.
Penghargaan tidak hanya berbentuk materi tapi juga berbentuk penghargaan
phsikologis. Seseorang akan dihargai apabila ia dapat berbuat sesuatu baik bagi
dirinya maupun pada lingkungan, begitu juga penderita tuna netra.
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Ketidaktergantungan pada pertolongan orang lain merupakan perwujudan dari
kemampuan tunanetra dalam mengaktualisasikan dirinya ditengah-tengah
lingkungannya. Seorang tunanetra yang mampu mewujudkan dan merealisasikan

5
aktualisasi dirinya, berarti ia telah memperoleh kebebasan. Kebebasan dan
kemandirian inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang termasuk tunanetra.

F. Kebutuhan Khusus Tuna netra


1. Fisiologis: Membutuhkan perawatan dan pemeriksaan medis, pengobatan dan
evaluasi medis secara umum. Sebagai kegiatan diperlukan latihan gerak dan ekspresi
tubuh.
2. Personal: Akibat ketunanetraan sebagai pengalaman personal, maka timbul
beberapa kebutuhan yang bersifat personal pula. Kebutuhan tersebut antara lain
adalah latihan Orientasi dan Mobilitas, minat untuk berinteraksi dengan lingkungan,
keterampilan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti menolong diri sendiri, serta
kebutuhan akan pendidikan dan bimbingan khusus.
3. Sosial: Dengan adanya pandangan ketunanetraan sebagai fenomena sosial, maka
kebutuhan dari segi social adalah adanya hubungan yang baik antar personal
(personal relationship), interaksi yang baik antar anggota keluarga, interaksi dan
hubungan dengan teman-temannya, dan membutuhkan pula untuk ikut berpartisipasi
dengan berbagai kegiatan dalam lingkungannya.

G. Kebutuhan Pengembangan Motorik Tuna netra


Tuna Netra memiliki keterbatasan, yaitu:
1. Keterbatasan dalam lingkup keaneka ragaman pengalaman.
2. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
3. Keterbatasan dalam mobilitas
4. Pengalaman yang diperoleh tuna netra sangat dibutuhkan untuk melakukan interaksi
dengan lingkungan.
5. Interaksi dapat berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara tunanetra dengan
lingkungannya.
6. Hubungan timbal balik akan aktif bila tunanetra memiliki sumber informasi didalam
mentalnya yang berbentuk konsep-konsep.
7. Konsep sesuatu akan dikuasai anak menjadi suatu data yang benar sesuai dengan
realitas bila strategi pengajaran dengan baik.

6
H. Cara membantu anak Tuna netra
Berikut beberapa cara untuk membantu anak tuna netra, antara lain:
1. Karena anak-anak yang buta tidak dapat menangkap informasi melalui penglihatan
mereka, guru harus menggunakan indra pendengar, peraba, pengecap, dan pembau
saat menyampaikan pelajaran. Guru harus semaksimal mungkin menggunakan
kesempatan mengajar melalui indera-indera tersebut. Guru harus dapat melibat
semua indera untuk membantu indera penglihatan.
2. Guru sebaiknya mengingat bahwa humor dan intonasi suara merupakan hal yang
penting ketika mengajar anak yang memiliki kelemahan pada penglihatan ini.
3. Penjelasan verbal yang diberikan guru harus jelas dan tidak berbelit-belit. Guru
harus spesifik dalam memberikan perintah atau meminta tanggapan. Hindarilah
penjelasan atau pertanyaan yang tidak jelas. Karena beberapa anak yang memiliki
kelemahan dalam penglihatan menggunakan braille, harus disediakan semua bahan
pembelajaran dalam bentuk braille.
4. Guru harus menggunakan musik yang dapat memberikan rasa aman, merangsang
pikiran, dan membantu murid yang buta untuk membangun konsep pebelajaran.
Musik juga dapat memberikan kesempatan pertumbuhan mental, spiritual, dan
sosial.
5. Krayon, kertas, pensil, tanah liat, dan cat air semuanya dapat membantu anak yang
memiliki kelemahan pada penglihatan untuk mengekspresikan emosi mereka.
Bantulah mereka untuk mengekspresikannya melalui seni dan keterampilan.
Meskipun untuk melakukannya mereka membutuhkan bimbingan yang lebih
daripada anak-anak lain.
6. Bermain peran membantu anak mengingat peristiwa, ide-ide, dan situasi. Kegiatan
ini juga dapat membantu mereka mengingat kejadian-kejadian di rumah mereka dan
situasi lainnya. Berbagai pengalaman dapat diperagakan, bahkan pengalaman-
pengalaman dari situasi nyata yang dialami oleh anak.

I. Alat Bantu Baca dan Tulis Anak Tuna netra


Tuna netra memiliki kelebihan berupa sensasi taktil dan pendengaran yang tajam.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat tunanetra umumnya menggunakan sistem
Braille untuk membaca informasi baru. Sistem Braille adalah salah satu metode yang
diperkenalkan secara luas bagi masyarakat tunanetra yang digunakan untuk membaca

7
dan menulis.
Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1821 oleh Louis Braille, seorang tunanetra
yang berasal dari Prancis. Setiap karakter atau sel didirikan dari 6 posisi titik, yang
disusun segitiga dan mencakup 2 kolom setiap tiga titik. Huruf Braille dibaca dari kiri
ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol
matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan
tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan vertikal antar titik dalam sel sebesar
2.5 mm.

Menurut Andriani (2014) kegiatan dalam bencana bagi penyandang cacat antara
lain:
a. Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana
antara lain:
 Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang cacat
terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana
 Membuat pemetaan kebutuhan panyandang cacat ada saat bencana alam.
 Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
b. Situasi Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain:
 Melakukan evakuasi bagi penyandang cacat untuk menjauh dari lokasi
bencana
 Mengevakuasi penyandang cacat yang ditinggal oleh keluarganya saat
terjadi bencana
 Menampung di pengungsian
 Membawa korban ke rumah sakit
 Melakukan pendataan dan penilaian
 Memberikan konseling
 Memberikan terapi.
c. Early Recovery
Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang cacat antara lain:
 Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana
 Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang cacat.

8
d. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain:
 Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi
dalam bidang ekonomi dan sarana prasaran
 Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma
 Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat.
 Asistensi pemberdayaan ekonomi.

9
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

LAPORAN KASUS
Pada hari Kamis Tanggal 21 April 2016, kami mengunjungi SLB Kota S, Hasil
pengamatan terhadap perilaku anak tuna netra dan cara bimbingan guru SLB terhadap siswa
dengan tunanetra. Pada saat berkunjung sedang di adakan kegiatan membuat sate dan cara
memanggang sate. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada anak dengan tunanetra, meliputi:
pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan, implementasi dan evaluasi.

A. Pengkajian
a. Identitas klien: Umur: 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki kelas: 5 SD.
b. Riwayat kesehatan: menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh ibunya, dia
menderita kelainan mata dimana kedua kelopak matanya tidak bisa membuka dan bola
mata kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak tidak mampu mnelihat apa-apa.
c. Keadaan umum: tampak berpenampilan gempal, tinggi 90 cmm dengan berat badan 40
kg dan berpakaian bersih.
d. Riwayat sosial: Kedua orang tua masih hidup dan hidup bersama dengan kedua orang
tuanya. Saat kesekolah di antar jemput oleh ibunya. Sejak kecil selalu di bantu ibunya
untuk melakukan aktifitas sehari hari, saat ini klien mampu mengganti pakaian sendiri,
dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi. Kebutuhan makan disediakan oleh ibunya,
klien mampu makan dan minum sendiri.
e. Kemampuan kemandirian: Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien bisa
memakai baju sendiri. Klien masih minta bantuan untuk mengenali tempat eliminasi
yang ada di samping kelas. klien mampu mengganti pakaian sendiri, dan mandiri
terhadap kebutuhan eliminasi.
f. Pada pemeriksaan berfocus pada mata: tampak kedua bola mata kecil, kelopak mata
atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan,
kedua kornea mata tampak keputihan, tidak bisa mengidentifikasi objek di depan
matanya.

10
B. Analisa data
DATA DIAGNOSA
DS: Menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh Gangguan (persepsi
ibunya, dia menderita kelainan mata dimana kedua sensori) penglihatan
kelopak matanya tidak bisa membuka dan bola mata total berhubungan
kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak tidak mampu dengan cacat sejak
mnelihat apa-apa. lahir

DO: Anak ber umur 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki


kelas: 5 SD tampak kedua bola mata kecil, kelopak mata
atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan, kedua kornea
mata tamak keputihan, tidak bisa mengidentifikasi objek di
depan matanya.
DS: Sejak kecil selalu di bantu ibunya untuk melakukan Defisit kemandirian
aktifitas sehari hari. Kebutuhan menuju tempat eliminasi berhubungan dengan

masih di bantu guru. keterbatasan aktifitas

DO: fisik.

Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien bisa


memakai baju sendiri.

klien mampu mengganti pakaian sendiri,

Klien masih minta bantuan untuk mengenali tempat


eliminasi yang ada di samping kelas, secara umum mandiri
terhadap kebutuhan eliminasi.

11
C. Rencana Asuhan Keperawatan (diagnosa)
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATA
N
1 Gangguan Vision compensation Pencapaian
persepsi behavior Komunikasi:
sensori: Defisit Penglihatan
Kriteria hasil:
ganguan
■ Kaji reaksi pasien
penglihatan ■ Memakai huruf
cacat lahir. terhadap gangguan
braile
penglihatan.
Memakai penyinaran/
Ajak pasien untuk
cahaya yang sesuai
menentukan tujuan dan
belajar melihat dengan
cara yang lain.
Deskripsikan
lingkungan disekitar
pasien.
■ Jangan
memindahkan sesuatu
di ruangan pasien tanpa
memberi informasi
pada pasien.
Sediakan huruf braile.
■ Informasikan
letak benda-benda yang
sering diperlukan
pasien. Manajemen
Lingkungan

■ Ciptakan
lingkungan yang aman
bagi pasien.
■ Pindahkan benda-

12
benda. berbahaya dari
lingkungan pasien
Tempatkan benda
+benda pada tempat
yang dapat dijangkau
pasien.
2 Defisit Mandiri dalam self care Self Care assistance :
kemandirian : Activity ADLs
berhubungan of Daily Living (ADLs)
■ Monitor
dengan
keterbatasan Kriteria Hasil : kemampuan klien

aktifitas fisik untuk perawatan diri


■ Menyatakan
yang mandiri.
kenyamanan terhadap
Monitor kebutuhan klien
kemampuan untuk
untuk alat-alat bantu
melakukan ADLs.
untuk kebersihan diri
Dapat melakukan ADLS
dengan bant

13
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam
penglihatan ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan
kebutaan (Quigley dan Broman, 2006).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak dapat
melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang
dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan dalam
penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan(Heward & Orlansky, 1988 cit Akbar
2011).

B. Saran
Makalah kecil ini mencoba mengupas konsep medis dan konsep keperawatan
tentang cacat ganda. Kelompok menyadari bahwa apa yang disajikan masih jauh dari
kesempurnaan, dan oleh karenya kelompok sangat mengharapkan masukan dari
rekan-rekan mahasiswa dan terlebih kepada Ibu dosen pembimbing mata kuliah ini,
sehingga apa yang dibahas diatas tidak hanya merupakan sesuatu yang sifatnya hanya
merupakan sebuah konseptual, melainkan dapat menjadi pijakan bagi mahasiswa
dalam konteks aplikatifnya.

14
Daftar Pustaka

Ramawati, D (2011) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan perawatan


diri anak tuna netra di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah.
Widiastuti, SH (2010) Pengaruh terapi kelompok suportif terhadap kemampuan keluarga
dalam melatih "self care" anak tunanetra ganda di SLB G Rawinala di Jakarta.
Tesis. Depok: UI.
Hallahan, DP., Kauffman, J.M. (1991). Exceptional Children: Introduction to Special
Education. Fifth Edition. New Prentice Hall International. Inc.
Irham Hosni. (1995). Buku Ajar Orientasi Mobilitas. Ditjen Dikti, Depdikbud. Ishartiwi.
(1991). Keefektifan Penggunaan Media Audio (Tolking Book) dalam
Knededler, Rebecca D. (1984). Special Education To Day. Prentice-Hall. Inc.
Engglewood.New Jersey.
Kirk Horton. (1986). Comunity-Based Rehabilitataition of the Rural Blind: a Trainingng
Guide for Field Workers. Helen Keller International. New York.
Sunardi (2000). Pengembangan PLB di Indonesia: Makalah Seminar Nasional.
Disampaikan dalam rangka Konaspi di Hotel Indonesia Jakarta, tangga 19-22
September 2000.
Sutjihati, T., Somantri (2006). Psikologi Anak luar Biasa. Refika Aditama. Bandung.

15

Anda mungkin juga menyukai