Anda di halaman 1dari 27

Pertemuan 1

Senin, 14 Januari 2013

Imunisasi

Seorang ibu membawa anak perempuannya yang berusia 1 tahun untuk imunisasi di
puskesmas. Anak lahir cukup bulan dengan BB lahir 3000 gram dan panjang 45 cm. saat ini
terjadi pertambahan BB : 8 kg, TB : 80 cm. ibu membawa ke puskesmas karena di
lingkungan sekitar terdapat anak penderita lumpuh layu.

STEP 1

Imunisasi : Adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan


seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila kelak ia terpapar
penyakit, tidak akan sakit atau sakit ringan.

Lumpuh layu : Sering disebut acute flaccid paralysis adalah kelumpuhan atau paralisis
secara fokal yang onsetnya akut tanpa penyebab lain yang nyata seperti
trauma

STEP 2

1. Status gizi pada saat lahir dan saat anak berusia 1 tahun
2. Imunisasi yang seharusnya sudah didapat pada anak usia 1 tahun
3. Perkembangan yang seharusnya sudah dicapai pada anak usia 1 tahun
4. Apa itu imunisasi ? cara imunisasi , cara pemberian imunisasi , pykt yg dpt dicegah ,
penyimpanannya

STEP 3

1. Status gizi anak


 Pada saat lahir BB = 3 kg, PB = 45 cm
Diukur status gizinya menggunakan Z score
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑙−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
BB/U = 𝑆𝐷 𝑢𝑝𝑝𝑒𝑟/𝑙𝑜𝑤𝑒𝑟
3−3,2
= 0,5

1
= -0,4 SD (gizi normal, BB normal)
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑙−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
PB/U = 𝑆𝐷 𝑢𝑝𝑝𝑒𝑟/𝑙𝑜𝑤𝑒𝑟
45−49,9
= 2,2

= -2,2 SD (normal)
Saat usia 1 tahun, BB = 8 kg TB = 80 cm
Diukur status gizinya menggunakan Z score
8−9,5
BB/U = 1

= -1,5 SD (gizi normal, BB normal)


80−74,3
TB/U = 2,8

= 2,03 SD (jangkung)
8−10,6
BB/TB = 0,9

= -2,8 SD (kurus)
Perkiraan berat badan pada anak usia 1 tahun
𝑈𝑚𝑢𝑟 (𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛)+ 9
BB = 2
12+9
= 2

= 10,5 kg

Pada kasus ini, BB anak 8 kg, berat badan anak ini kurang dari rata-rata.

Perkiraan tinggi badan anak pada usia 1 tahun

TB = 1,5 x TB lahir
= 1,5 x 45 cm
= 67,5 cm
Pada kasus ini, TB anak tersebut 80 cm. sehinggan termasuk jangkung

2. Imunisasi yang seharusnya sudah didapat pada anak usia 1 tahun


Imunisasi wajib :
- BCG : 1x. pada usia 2-3 bulan
- Hepatitis B : 3x. pada usia 0, 1,6 bulan
- Polio : 4x. pada usia 0, 2, 4, 6 bulan
- DPT : 3x. pada usia 2,4, 6 bulan
- Campak : 1x pada usia 9 bulan
2
Pada kasus ini, anak tidak mendapat imunisasi lengkap dan terlambat. Tapi sebaiknya
tetap diberikan. Misalnya anak sudah di imunisasi hepatitis B pertama lalu putus,
sebaiknya langsung diberikan yang kedua. Lalu untuk imunisasi hepatitis B yang
ketiga, diberikan dengan interval 2 bulan. Apabila bertabrakan dengan imunisasi lain
pada bulan yang sama, sebaiknya diberikan interval 1-2 hari.

3. Perkembangan yang seharusnya sudah dicapai pada anak usia 1 tahun


Umur Kemampuan perkembangan

0-1 bulan Menatap ke ibu, mengeluarkan suara, tersenyum, dll

1-3 bulan Mengangkat kepala tegak ketika tengkurap, tertawa, mengamati


tangannya, dll

3-6 bulan Meniru bunyi, meraih benda, tengkurap sendiri, dll

6-9 bulan Duduk sendiri,mengucapkan ma..ma..ma, da..da….da…, pegang


biskuit, dll

9-12 bulan Bermain CI LUK BA, menjimpit benda kecil, berdiri dan berjalan
berpegangan, dll

1-2 tahun Menunjukkan dan menyebut nama bagian tubuh, naik tangga,
corat-coret, dll

2-3 tahun Berdiri di atas satu kaki tanpa berpegangan, bicara domengerti,
makan sendiri, memeluk dan mencium orang yang terdekat, dll

3-5 tahun Melompat-lompat,menggambar, cerita, pakai pakaian, dll

Pada perkembangan anak terdapat 4 parameter yaitu motorik halus, motorik kasar, bahasa,
dan social. Pada anak usia 1 tahun, seharusnya sudah tercapai :

- Motorik kasar : berdiri dan mampu berpegangan


- Motorik halus : bias mengambil dengan ibu jari dan telunjuk, bias menunjuk
sesuatu

3
- Bahasa : bias bicara satu kata atau lebih
- Social : mulai mempunyai teman, memberikan mainan kepada orang
tua
4. Anak belum bias berkata mama-papa dan belum bias berdiri sendiri dan hubungannya
anak tersebut sering mengalami infeksi saluran nafas.

Imunisasi terlambat dan tidak lengkap  imunitas belum terbentuk sempurna 


bakteri masuk  mudah terkena infeksi.

Karena pada lingkungan anak tersebut banyak yang menderita lumpuh layu, anak
tersebut juga sering mengalami infeksi saluran nafas dan juga belum bias berdiri
sendiri, serta imunisasi yang belum lengkap, maka kemungkinannya anak tersebut
terinfeksi virus poliomyelitis

Virus polio  ada pada makanan, air  masuk melalui hidung, mulut  berkembang
biak di orofaring menuju GIT diserap oleh plak peyeri diedarkan melalui
vaskuler dan limfe menyerang antibody antibodi>virus  poliomyelitis
- Anak belum bias bicara
Virus polio menyerang system syaraf terutama pada medulla spinalis kornu
anterior, yaitu system motorik. Serta pada area broca, sehingga menyebabkan
gangguan berbicara
- Anak belum bias berdiri
Merupakan manifestasi poliomyelitis yaitu flaccid paralysis.

5. Hubungan penyakit anak dengan lingkungan dan pengetahuan ibu


Ibu belum mengetahui jadwal imunisasi, jauh dari puskesmas imunisasi kurang
lengkap imunitas belum sempurna mudah infeksi
Namun, tidak hanya memandang dari sudut pengetahuan ibu, tetapi peran puskesmas,
pemerintah, dan dokter keluarga juga penting dalam promosi kesehatan. Sehingga
dalam mewujudkan program kesehatan perlu kerja sama antara masyarakat,
pemerintah, puskesmas, dan dokter keluarga.

STEP 4

Ibu & An .perempuan 1 th puskesmas


4

anamnesis BB lahir 3000 gr, PB 45 cm 1 th


STEP 5

Sasaran belajar

1. Imunisasi
2. Epidemiologi
3. Tumbuh kembang anak usia 0-12 bulan
4. Intervensi dini tumbuh kembang anak
5. Peran dokter keluarga

5
Pertemuan 2

Kamis, 17 januari 2013

STEP 7

1. Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak
terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu
kekebaln pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari
luar tubuh, bukan dibuat oleh tubuh itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin
yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan
immunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme
oleh tubuh.

Keberhasilan imunisasi, tergantung pada faktor:

(1) Status imun pejamu


Keberhasilan imunisasi perlu maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi
makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pad neonatus akan memberikan hasil
yang kurang dibandingkan pada anak. Maka apabila imunisasi diberikan sebelum bayi
berumur 2 bulan, jangan lupa berikan ulangan.

(2) Faktor genetik pejamu


Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara
genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup dan rendah
terhadap antigen tertentu.
(3) Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat
antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan
keberhasilan vaksinasi, seperti:

6
(a) Cara pemberian
(b) Dosis vaksin
(c) Frekuensi pemberian
(d) Ajuvan
(e) Jenis vaksin

Jenis vaksin:

(1) Vaksin live attenuated


- Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin live attenuated harus
mengadakan replikasi di dalam tubuh resipien. Dosis kecil virus atau bakteri yang
diberikan mengadakan replikasi di dalam tubuh sehingga jumlah meningkat cukup
besar untuk beri rangsangan suatu respons imun.
- Apapun yang merusak organisme hidup di dalm botol (misal: panas, cahaya) atau
pengaruh luar terhadap replikasi organisme di dalam tubuh (antibodi yang
beredar) dapat menyebabkan vaksin live attenuated tidak efektif.
- Dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibanding dengan
penyakit alamiah dan dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons
imun terhadap vaksin live attenuated pada umunya sama dengan yang diakibatkan
infeksi alamiah.
- Secara teoritis, dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hanya
terjadi pada vaksin polio hidup.
- Imunitas vaksin live attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh dari
antibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat
memengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak ada
respons. Campak merupakan mikroorganisme paling sensitif terhadap antibodi
yang beredar dalam tubuh. Polio, rotavirus merupakan yang sedikit terkena
pengaruh.
- Bersifat labil, dapat rusak bila kena panas, sinar, harus dilakukan pengelolaan dan
penyimpanan dengan baik dan hati-hati.
- Vaksin live attenuated yang tersedia:
Dari virus hidup: campak, parotitis, rubella, polio, rotavirus, yellow fever
Dari bakteri: BCG dan demam tifoid oral
(2) Vaksin inactivated

7
- Dihasilkan daengan membiakkan bakteri/virus dalam media pembiakan, kemudian
dibuat inaktif dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin
komponen, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya
yang dimasukkan ke dalam vaksin.
- Tidak hidup dan tidak dapat tumbuh sehingga seluruh dosis dimasukkan dalam
suntikan
- Tidak menyebabkan penyakit
- Tidak dapat mengalami mutasi menjadi patogenik
- Umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar, dapat diberikan saat
antibodi beredar di dalam sirkulasi darah
- Selalu membutuhkan dosis multipel
- Vaksin inactivated yang saat ini tersedia berasal dari:
Seluruh sel virus yang inactivated : influenza, polio injeksi, rabies, hepatitis A
Seluruh bakteri yang inactivated : pertusis, tifoid, kolera, lepra
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit : Hepatitis B, influenza, pertusis-aseluler,
tifoid vi, lyme disease
Toksoid : difteria, tetanus, botulinum
Polisakarida murni : pneumokokus, meningokokus, Haemophillus influenza tipe
b/Hib
Gabungan polisakarida : (Hib dan pneumokokus)

 Imunisasi wajib

BCG (Bacillus Calmette Guerin)


Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC).
BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin disuntikkan secara
intrakutan di insertio m.deltoideus lengan kanan dengan dosis 0,05 ml untuk bayi
dibawah usia 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak usia 1 tahun atau lebih. Jika diberikan pada
usia lebih dari 2 bulan maka uji mantoux terlebih dahulu, jika uji mantoux (+)  maka
tidak perlu diimunisasi.

8
Vaksin BCG ulangan tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya diragukan mengingat :
1. efektivitas perlindungan hanya 40%
2. sekitar 70% kasus TBC berat ternyata mempunyai parut BCG
3. kasus dewasa dengan BTA positif di Indonesia cukup tinggi (25-36%) walaupun
mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau pada
pasien HIV).

Reaksi yang mungkin terjadi:


o Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul
kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah
menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka
terbuka (ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12
minggu dengan meninggalkan jaringan parut.
o Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa
disertai nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6
bulan.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah:
o abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu
dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat
penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan
abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.
o Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau
dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.
DPT

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan
tetanus.
- vaksin difteri ; toksin kuman yang dilemahkan (toksoid)
- vaksin tetanus ; toksoid
- vaksin pertusis ; kuman B. pertusis yang dimatikan
Imunisasi DPT ataupun DT diberikan Intramuskular atau subkutan dalam. Imunisasi
dasar diberikan sebanyak 3x, dimulai pada usia 3 bulan dengan dosis masing-masing 0,5

9
ml dengan selang 4 minggu (1 bulan ), kemudian diperkuat dengan imunisasi keempat
yang diberikan 1 tahun setelah imunisasi ketiga. Ulangan imunisasi berikutnya dilakukan
pada usia 5 tahun (usia masuk sekolah) masih menggunakan DPT. Selanjutnya ulangan
imunisasi dilakukan setiap 5 tahun dengan menggunakan DT saja tanpa pertusis karena
vaksin tersebut tidak dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun karena reaksi dapat
lebih hebat.
DPT sering menyebabkan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri
di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya
komponen pertusis di dalam vaksin. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa
diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan
juga bisa dilakukan kompres hangat atau lebih sering menggerak-gerakkan lengan
maupun tungkai yang bersangkutan.

DTP menyebabkan komplikasi berikut:


 demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius)
 kejang
 kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah
mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)
 syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi DPT
bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang, penyakit otak atau
perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya
membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.
Kontraindikasi : riwayat anafilaksis, ensefalopati, hiperpireksia.

Polio
Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis.
Terdapat 2 macam vaksin polio:
 IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah
dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
 OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah
dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV)

10
efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan
1 jenis polio.
Polio-0 diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik polio.
Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat bayi
meninggalkan rumah sakit agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat
diekskresikan melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif.
- Polio-1,2,3 dapat diberikan bersama dengan DPT 1,2,3.
- Polio-4 diberikan satu tahun setelah polio 3 atau diberikan bersamaan DPT 4.
- Polio-5 diberikan pada umur 5 tahun atau diberikan bersamaan DPT 5.
Di Indonesia umumnya diberikan OPV. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 mL)
langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. Manfaat
vaksin Salk dan Sabin sebenarnya sama, namun untuk negara yang sedang berkembang
vaksin Sabin (OPV) lebih menguntungkan karena lebih murah (tanpa suntikan), mudah
didistribusikan dan mudah diberikan kepada anak.
Kontra indikasi pemberian vaksin polio:
 Diare berat
 Penyakit akut atau demam
 Hipersensitif yang berlebihan terutama pada neomisin, polimiksin, streptomisin)
 Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)
 Kehamilan

Campak
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak
(tampek). Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL, pada umur 9
bulan. Pada bayi yang baru lahir mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak
dari ibunya yang pernah terinfeksi morbili dan kekebalan pasif tersebut bertahan selama ±
6 bulan. Apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 15-18 bulan ulangan campak
pada umur 5 tahun tidak diperlukan. Tetapi bila anak baru datang pada usia diatas 12
bulan dan ia belum pernah menderita penyakit campak maka sebaiknya vaksinasi segera
dilakukan.
Kontra indikasi pemberian vaksin campak:
 infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38° Celsius
 gangguan sistem kekebalan

11
 pemakaian obat imunosupresan
 alergi terhadap protein telur
 kehamilan
Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis dan
kejang yang ringan, serta ensefalitis dalam waktu 30 hari setelah imunisasi (kejadian 1
diantara satu juta suntikan).

Hepatitis B

Imunisasi bertujuan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B.


Lokasi penyuntikan di daerah deltoid secara intramuskular, dengan dosis 0,5 ml.

 Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling


tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi
maternal sebesar 45%
 Hepatitis B II diberikan dengan interval 1 bulan dari hepatitis B I (saat bayi
berumur 1 bulan)
 Hepatitis B III diberikan dengan interval 2-5 bulan setelah hepatitis B II (saat bayi
umur 3-6 bulan)
Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa HbsAg ibu positif maka masih dapat diberikan HBIg 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari. Vaksinasi hepatitis B dapat diberikan kepada ibu hamil
dengan aman dan tidak membahayakan janin,

Apabila sampai umur 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B,
maka secepatnya diberikan. Ulangan imunisasi hepatitis B (hep B IV) dapat
dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun.

Reaksi imunisasi : segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada
tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri rasa mual dan nyeri sendi.
Imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat. Efek samping
yang berarti tidak pernah dilaporkan.

 Imunisasi yang dianjurkan

12
Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi / anak namun belum masuk ke dalam
program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, Tifoid, Hepatitis A, Varisela, dan
influenza.

MMR (Measles, mumps, rubella)

Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap measles, mumps dan rubella, vaksin
MMR mengandung ketiga virus tersebut yang telah dilemahkan. Vaksin MMR diberikan
pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan. MMR diberikan
minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikkan imunisasi lainnya.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan,
imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan diberikan pada
umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun (sebelum pubertas).
Reaksi imunisasi : kadang-kadang timbul kenaikan suhu ringan pada hari ke-5 atau ke-7
atau rasa nyeri dan kemerahan pada tempat suntikan.
Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih. Imunisasi MMR
sebaiknya tidak diberikan kepada:
 Alergi yang berat (gelatin atau neomisin)
 anak dengan demam akut
 anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin
 anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia, limfoma
maupun akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi penyinaran atau obati
imunosupresan.
 wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil

Hib (Haemophylus influenza type B)


Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b.
Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan berat
yang bisa menyebabkan anak tersedak.
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu PRP-T
dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex).

13
Jadwal imunisasi :
 Vaksin PRP-T diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan
 Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan
 Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DPT dalam bentuk vaksin
kombinasi dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
 Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan
 Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.
Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.
Efek samping yang serius tidak pernah dilaporkan, namun dapat terjadi reaksi lokal
berupa pembengkakan, nyeri, dan kemerahan kulit atau reaksi umum berupa ruam kulit,
demam dan urtikaria.

Demam Tifoid
Imunisasi ini diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif terhadap penyakit
demam tifoid. Terdapat 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral.
Vaksin capsular Vi polysaccharida diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan
setiap 3 tahun. Sedangkan vaksin oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas
dalam 3 dosis dengan interval selang hari (hari 1, 3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan
setiap 3-5 tahun.
Vaksin demam tifoid oral :
 Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan karena kuman dapat
dimatikan oleh asam lambung.
 Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau
antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
Vaksin polisakarida parenteral :
 Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman salmonella typhi,
polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.
 Kontraindikasi ; alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, juga pada saat
demam, penyakit akut maupun kronik progresif.
Reaksi imunisasi pada pemberian vaksin oral dapat dijumpai demam, mencret,
muntah dan kemerahan kulit, sedangkan vaksin suntikan hanya nyeri ringan,
kemerahan, dan pembengkakan pada tempat suntikan.

14
Efek samping yang berbahaya jarang sekali terjadi.

Hepatitis A
Imunisasi ini bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
hepatitis A. di Indonesia telah beredar kombinasi hepatitis B/hepatitis A.

 Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun


 Vaksin kombinasi tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin
kombinasi ini diindikasikan terutama untuk mengejar imunisasi pada anak yang
belum pernah mendapat imunisasi hep B sebelumnya atau vaksinasi hep B yang
tidak lengkap.
Dosis pemberian :

 Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di


daerah deltoid.
 Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mg dan hepA 720µ) dalam kemasan
prefilled syringe 0,5 ml intramuskular

Reaksi imunisasi biasanya berupa kemerahan dan pembengkakan pada daerah


suntikkan, kadang-kadang demam, lesu, mual, muntah dan hilang nafsu makan.

Varisela

Vaksin varisela berisi virus varisela zoster strain OKA hidup yang telah dilemahkan,
kemasan dalam bentuk beku-kering. Direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang
belum terpajan

Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi dapat
mencegah apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak.

 Dosis 0,5 ml, subkutan, 1 kali.


 Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8
minggu.
Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit
1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun seluler seperti selama pengobatan induksi
penyakit keganasan atau 3 tahun fase radioterapi, pasien dalam pengobatan
kortikosteroid, dan pasien yang alergi terhadap neomisin.

15
Jadwal imunisasi

- Menurut IDAI 2011-2012

1. Bayi : setiap bayi sebelum umur 1 tahun harus mendapat imunisasi dasar lengkap
- BCG 1x
- DTP 3x
- Polio 4x
- Campak 1x
- Hepatitis B 4x
2. Anak SD: kelas 1 imunisasi DT dan kelas IV imunisasi TT untuk anak perempuan.
Sekarang disebut BIAS(Bulan Imunisasi Anak Sekolah) kelas 1 imunisasi DT dan
kelas II-VI imunisasi TT(putri-putra)
3. Calon pengantin: imunisasi TT 2x dengan interval 1 bulan sebelum akan nikah
4. Wanita usia subur: imunisasi TT 5 dosis(5x)
5. Ibu hamil: imunisasi TT 2x pada kehamilan trimester 1 interval 1 bulan
6. Balita (0-59 bulan) mengikuti PIN(Pekan Imunisasi Nasional) Polio dan Campak

16
- Menurut DEPKES RI 2009

 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1
bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai
masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi
virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan
polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non
imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Etiologi

17
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata
tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI
diperlukan keterangan mengenai:

 besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu


 sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
 derajat sakit resipien
 apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
 apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan
produksi, atau kesalahan prosedur

KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut


klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:

1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik


pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan,
dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai
tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

 Dosis antigen (terlalu banyak)


 Lokasi dan cara menyuntik
 Sterilisasi semprit dan jarum suntik
 Jarum bekas pakai
 Tindakan aseptik dan antiseptik
 Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
 Penyimpanan vaksin
 Pemakaian sisa vaksin
 Jenis dan jumlah pelarut vaksin
 Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat


kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

 Reaksi suntikan

18
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat
suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing,
mual, sampai sinkope.

 Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis
biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti
reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh
produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau
vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh
pelaksana imunisasi.

 Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi
setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

 Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan


kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Gejala KIPI

Reaksi KIPI Gejala KIPI

19
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat,
misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
G Ensefalitis
g Meningitis
e Kejang
j Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria,
a dermatitis, edema
l Reaksi anafilaksis
a Syok anafilaksis
Artralgia
k Demam tinggi >38,5°C
l Episode hipotensif-hiporesponsif
i Osteomielitis
n Menangis menjerit yang terus
i menerus (3jam)
s Sindrom syok septik

KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal,
sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat
KIPI terjadi makin cepat gejalanya.

Dikutip dari RT Chen, 1999

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping,
maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa
saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat).

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI


Toksoid Tetanus (DPT, Syok anafilaksis 4 jam
DT, TT) Neuritis brakhial 2-18 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan tidak tercatat

20
dan kematian
Pertusis whole Syok anafilaksis 4 jam
cell(DPwT) Ensefalopati 72 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan tidak tercatat
dan kematian
Campak Syok anafilaksis 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan tidak tercatat
dan kematian
Trombositopenia 7-30 hari
Klinis campak pada resipien 6 bulan
imunokompromais tidak tercatat
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
Polio hidup (OPV) Polio paralisis 30 hari
Polio paralisis pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
Hepatitis B Syok anafilaksis 4 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan tidak tercatat
dan kematian
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999

Angka Kejadian KIPI

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka
kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang
benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih
besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat.
Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi
4-24 jam setelah imunisasi.

21
Pencegahan KIPI

a. Pemberian harus seimbang protap


b. Bila panas beri paracetamol 1/8 – 1/4 tablet
c. Penyuluhan kepada masyarakat. Imunisasi sampai 12 jam diamati
d. Petugas dapat mengatasi syok anafilaktik
e. Laporan segera berjenjang dari orang tua kepada kader puskemas ke kabupaten
lalu ke provinsi

2. Epidemiologi

Tujuan :

- Untuk mengidentifikasi faktor etiologi


- Menggambarkan distribusi dan luas maslah penyakit
- Memberikan data dan informasi untuk pencegahan, pemberantasan dan pengobatan
penyakit.

Pengukuran frekuensi penyakit :

- Incident Rate :
Jml penderita penyakit tertentu/kasus baru X 1000
Population at risk

a. Time of onset  waktu mulai sakit


b. Period of observation :
 Biasanya dilakukan pada periode waktu tertentu
 Penyakit secara mendadak sering digunakan “attack rate”
 Attack rate = jumlah orang sakit / population at risk
c. Nemurator  apakah betul-betul kasus baru oleh karena dapat berulang kali
timbul.
d. Denumerator  jumlah populasi yang mempunyai resiko (population at risk)
tidak selalu konstan

3. Tumbuh kembang anak usia 0-12 bulan

Usia Motor behavior Adaptive Language Social personal


4 minggu Kepala merebah Melihat sekitarnya Bersuara Melihat muka
Tonic neck reflex Mata mengikuti Memperhatikan orang
Tangan mengepal gerak-gerik tapi bel
terbatas
16 Kepala tak Mengikuti gerak- Tertawa Bermain dengan

22
minggu merebah lagi gerik Membuat dan tangan dan pakaian
Letaknya simetrik Melihat rammelaar mendengarkan Mengenal botol
Tangan terbuka dan memegangnya suara Bersiap-siap untuk
bila diberikan makan
28 Duduk dengan Memindahkan kubus Berteriak dan Bermain dengan
minggu sokongan kedua dari satu tangan ke senagng membuat kaki
tangan tangan lain suara Bersiap untuk
Memgang kubus Mendengarkan makan
Melihat dan suaranya sendiri
menyentuh
kancing
40 Duduk tanpa Bermain dengan 2 Mengucapkan satu Dapat bermain
minggu sokongan kubus, yang satu perkataan yang mudah
Merangkak disentuhkan yang Memperhatikan Dapat makan
Mengangkat badan lain namanya biscuit sendiri
dengan kaki
1 tahun Berjalan dengan Memindahkan kubus Dapat Membantu waktu
bantuan ke dalam cangkir mengucapkan dua berpakaian
Duduk bersila atau lebih Memberikan
Mengetahui arti perkataan mainan bila diminta
kancing
Memasukkan dan
mengambilnya
dari botol

4. Intervensi dini perkembangan anak

Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang

Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak umur 0 – 6


tahun agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Setiap anak perlu mendapat
stimulasi rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Stimulasi
tumbuh kembang anak dapat dilakukan oleh ibu, ayah, pengganti orang tua/pengasuh

23
anak, anggota keluarga lain atau kelompok masyarakat di lingkungan rumah tangga
masing-masing dan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang anak, ada beberapa prinsip


dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.

2. Selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena akan meniru tingkah laku
orang-orang yang terdekat dengannya.

3. Berikan stimulasi sesuai dengan kelompok umur anak.

4. Lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi,


menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman.

5. Lakukan stimulasi secara bertahap dan berkelanjutan sesuai umur anak , terhadap
ke 4 aspek kemampuan dasar anak.

6. Gunakan alat bantu/permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar anak.

7. Berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.

8. Anak selalu diberi pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.

Ada 3 jenis deteksi dini tumbuh kembang yang dapat dikerjakan oleh tenaga
kesehatan di puskesmas dan jaringannya, berupa:

o Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan,yaitu untuk mengetahui/menemukan


status gizi kurang/buruk dan mikrosefali/makrosefali. dilakukan dengan
pengukuran Berat Badan terhadap Tinggi Badan dengan tujuan untuk
memnetukan status gizi anak, normal, kurus, kurus sekali atau gemuk. Selain
itu, juga dilakukan pengukuran Lingkar Kepala Anak (LKA) dengan tujuan

24
untuk mengetahui lingkar kepala anak dalam batas normal atau diluar batas
normal.

o Deteksi dini penyimpangan perkembangan yaitu untuk mengetahui gangguan


perkembangan anak (Keterlambatan), gangguan daya lihat, gangguan daya
dengar. dilakukan dengan :

• Skrining/Pemeriksaan perkembangan anak menggunakan Kuisioner Pra


Skrining Perkembangan (KPSP) dengan tujuan untuk mengetahui
perkembangan anak normal atau ada penyimpangan.

• Tes Daya Dengar (TDD) dengan tujuan untuk menemukan gangguan


pendengaran sejak dini, agar dapat segera ditindak lanjuti untuk
meningkatkan kemampuan daya dengar dan bicara anak.

• Tes daya Lihat (TDL) dengan tujuan untuk mendeteksi secara dini kelainan
daya dengar agar segera dapat dilakukan tindakan lanjutan sehingga
kesempatan untuk memperoleh ketajaman daya lihat menjadi lebih besar.

o Deteksi dini penyimpangan mental emosional, yaitu untuk mengetahui adanya


masalah mental emosional, autisme dan gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas. Ada beberapa jenis alat yang digunakan untuk mendeteksi
secara dini adanya penyimpangan mental emosional pada anak, yaitu;
 Kuisioner Masalah Mental Emosional (KMME) bagi anak umur 36
bulan sampai72 bulan. Tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya
penyimpangan/masalah mental emosional pada anak prasekolah.
 Ceklist Autis anak praseolah (Checklist for Autism in Toddler/CATT)
bagi anak umur 18 bulan samapai 36 bulan.
Tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya Autis pada anak umur 18
bulan – 36 bulan.
 Formulir deteksi dini Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH) menggunakan Abreviated Conner Rating Scale
bagi anak umur 36 bulan ke atas. Tujuan untuk mendeteksi secara dini
adanya gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas pada anak
umur 36 bulan ke atas.

25
5. Peran dokter keluarga
A. Pencegahan
1) Melakukan cakupan imunisasi yang tinggi dan menyeluruh.
2) Pemberian imunisasi polio yang sesuai dengan rekomendasi WHO sebanyak 4
kali dengan interval 6-8 minggu, usia 1½ tahun, 5 tahun dan 15 tahun.
3) Penemuan penderita yang dicurigai lumpuh layu pada usia ≤ 15 tahun harus
diperiksa tinjanya untuk memastikan polio atau bukan.
4) Mapping up,pemberian vaksinasi massal didaerah yang ditemukan penderita
polio terhadap anak dibawah 3 tahun tanpa melihat status imunisasi sebelumnya.

B. Edukasi
1) Melakukan imunisasi aktif dan melengkapi imunisasi yang belum lengkap pada
anak.
2) Menghindari aktifitas fisik yang berlebihan.
3) Tetap memperhatikan dan memberikan nutrisi yang seimbang untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan anak.
4) Melakukan tes lanjutan untuk mengetahui dan memastikan apakah anak
mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan atau tidak dan untuk
memastikan terapi selanjutnya pada anak.
5) Orang tua dan keluarga tetap mendukung dengan memberikan stimulasi untuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
6) Orang tua dan keluarga berusaha untuk menjaga higiene sanoitasi dan
lingkungan sekitar anak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ranuh IGN,
Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting. Edisi ke-2, IDAI : Balai
Penerbit, 2005. h. 1-256.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Pediatri Pencegahan. Dalam : Hassan R,
Alatas H, Latief A, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-1, Jakarta :
Balai Penerbit, 1985. h. 1-22.

26
3. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
4. Staf pengajar FK UI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak jilid I. Jakarta: Info Medica

27

Anda mungkin juga menyukai