Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

SEJARAH NAHDLATUL ULAMA (NU)

Hari lahir NU diperingati dua kali: 16 Rajab dan 31 Januari. Pertama berdasar kalender Hijriyah,
kedua berdasar Masehi.Pada 16 Rajab 1438 Hijriyah, adalah hari lahir organisasi Islam terbesar di
Indonesia dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU). Tepat 94 tahun yang lalu dalam kelender hijriyah, dimotori
duo KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Madura berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya, menyepakati perkumpulan yang
sebenarnya sudah memiliki embrio jauh sebelum itu.Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kiai yang
kelak mendirikan NU telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah
Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya
(1914) juga mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka
pemikiran. Nahdlatul Ulama tak lain adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah
berdiri sebelumnya tersebut, namun dengan cakupan yang lebih luas.

Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat masih miskin dan bodoh,
karena sumber daya ekonomi dikuasai Belanda dan sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi
yang direncanakan dan didesain untuk menjadi ambtenaar Belanda. Di desa-desa, rakyat jelata
berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.

Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang didapat, kiai-kiai,
kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren untuk mendidik
orang-orang desa dari buta aksara dan tuna pengetahuan. Sebagian besar yang diajarkan nilai-nilai
agama, namun pada kenyataannya mereka yang nyantri belajar lebih dari itu. Dengan adanya pesantren,
banyak warga desa yang sebelumnya tidak 1ias baca tulis menjadi 1ias baca tulis, namun dalam bentuk
Arab pegon. Tapi dari situlah transformasi pengetahuan, wawasan dan literasi terjadi.

Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak.
Namun berbeda dengan kalangan pembaharu puritan yang mendorong pemurnian Islam dari tradisi-
tradisi 1ias1 yang dianggap bid’ah, kiai-kiai pesantren menerima dan mengasimilasikan tradisi 1ias1
dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi Jawa tidak merasa tercerabut dari akarnya ketika
memeluk dan mempraktekkan ajaran Islam.Namun tekanan kaum puritan yang mengatasnamakan
kembali kepada Qur’an dan Hadist membuat banyak kiai merasa tidak nyaman. Tekanan terbesar
terhadap kelompok pesantren terjadi ketika terjadi perubahan di Timur Tengah, yang mana Abdul Aziz
bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud menguasai Mekah-Madinah. Ibnu Saud yang
berpandangan Wahabi hendak menerapkan azas tunggal Wahabi dan memberangus madzhab-madzhab
lain di dua tempat suci orang Islam tersebut dan ingin menghancurkan situs-situs peninggalan Nabi yang
dianggap 1ias menyeret pada kemusyrikan.
Para kiai pesantren yang sebagian pernah belajar di Mekah-Madinah pun saling berkomunikasi
dan membahas persoalan tersebut. Setelah lewat proses komunikasi yang panjang, KH Wahab
Chasbullah beserta KH Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di Surabaya, di kediaman
Kiai Wahab. Di situ disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk mengajukan keberatan
kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz melahirkan sejumlah
tuntutan, diantaranya:

1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberikan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.

2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk
makam puteri-puteri Nabi.

3. Meminta agar biaya yang dikenakan kepada 2ias2l haji diumumkan ke 2ias2l dunia.

Namun untuk 2ias mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh 2ias2l organisasi.
Maka dari itulah, diikuti kesadaran tentang pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim
Asy’ari di Mukadimah Qanun Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi
dengan nama Nahdlatul Ulama. Meski pembahasan tentang keberatan terkait kebijakan Ibnu Saud
sudah dibahas saat pendirian NU pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, namun karena
berbagai kendala delegasi ke Arab Saudi yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah serta Syaikh Ahmad
Ghonaim Al-Mishri baru 2ias berangkat 7 Mei 1928 atau 5 Syawal 1346 Hijriyah, dua setengah tahun
setelah NU berdiri.

Komite Hijaz boleh dikata adalah produk politik pertama Nahdlatul Ulama, yang menunjukkan
semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermadzhab dalam Islam. Dalam
sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang mampu menerima
tradisi-tradisi 2ias2 serta beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah
“Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang lama yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik.”

NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan
keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinekaan yang ada, NU menerima Pancasila dan tak menuntut
syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru 2ias2l-
bangsa Indonesia.Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain karena
dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga karena NU memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh
(toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik 2ias2l, politik maupun
keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal
atau ekstrem (tathorruf).Di NU, perdebatan dan perbedaan menjadi sesuatu yang biasa dan diterima,
tak jarang dengan canda-tawa. Di forum-forum rapat atau bahtsul-masail NU, kiai-kiai 2ias berdebat
dengan sengit tapi ketika situasi sudah sangat panas maka ada saja yang melempar joke/guyonan yang
membuat jamaah forum tertawa bersama.NU memang unik. Hari lahir NU juga terbilang unik. Karena
tiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, 16 Rajab serta 31 Januari. Peringatan pertama berdasar
kalender hijriyah, peringatan kedua berdasar masehi. Berdasar dua penanggalan berbeda itu, umur NU
jadinya juga berbeda. Jika berdasar hijriyah umur NU sudah 94 tahun, sedang jika menurut perhitungan
masehi umur NU baru 91 tahun.
BAB 2
PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ASWAJA

Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah Islam sebagai agama samawi terakhir
memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling
menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti
yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan
menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-
Qur’an,

ََ‫سطا أ ُ َّمةَ َجعَ ْلنَا ُك َْم َو َكذَلِك‬


َ ‫علَى شُ َه َدا ََء ِلت َ ُكونُوا َو‬ َ ِ َّ‫ل َويَ ُكونََ الن‬
َ ‫اس‬ َُ ‫سو‬ َّ ‫علَ ْي ُك َْم‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ش ِهيدا‬
َ

“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu
menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-
Baqarah;143) Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata ‫سطا‬ َ ‫ َو‬dalam firman Allah di atas dengan
adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian
sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (‫ )ظلمين بين عدل‬atau kebenaran di antara dua
kebatilan (‫)باطلين بين حق‬, seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara
atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan.
Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham
monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros
dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar
seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya.

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara
rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani
saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam
tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya.

Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam
memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan
dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih
banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus
menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas
yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas.
Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi
normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama,
watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada
sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.

2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-
syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat
ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab
yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk
bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan
bermadzhab secara qauli.

3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi
mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.

4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis),
Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai
dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus
menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa

5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta
menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh
mereka kafir.

6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga
dari kesalahan dan dosa).

7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan.
Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan.
Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.

8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim,
ahlul qiblah.

9. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah


terhadap para pemeluk agama-agama lain.

10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali,
majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam
agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
BAB 3
KESIMPULAN

Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada 16 Rajab (Hijriyah) dan 31 Januari (Masehi) yang merupakan
oraganisasi islam terbesar di Indonesia dan dunia. NU berdiri dijawa dan dimotori oleh KH Hasyim
Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah. Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat
masih miskin dan bodoh Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang
didapat, kiai-kiai, kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren
untuk mendidik orang-orang desa dari buta aksara dan tuna pengetahuan, sehingga makin banyaknya
pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak. Namun kamu puritan meminta
memurnikan ajaran islam dari tradisi yang dianggap bid'ah, akhirnya kiai kiai pesantren
mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai nilai islam. Akan tetapi tekanan kaum puritan yang
mengatasnamakan kembali kepada Qur’an dan Hadist membuat banyak kiai merasa tidak nyaman.
Akhirnya diadakan pertemuan antara kamu puritan dengan KH Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy’ari
dikediaman nya di surabaya. Akhirnya disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk
mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz
melahirkan sejumlah tuntutan, diantaranya:

1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberikan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.

2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk
makam puteri-puteri Nabi.

3. Meminta agar biaya yang dikenakan kepada jemaah haji diumumkan ke publik dunia.Namun untuk
bisa mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh payung organisasi. Maka dari itulah, diikuti
kesadaran tentang pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim Asy’ari di Mukadimah Qanun
Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama.

Menurut NU An-Nahdhiyah Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas
(khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ungkapan Ciri khas Islam yang paling menonjol
adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun yang kemudian disatukan menjadi “wasathiyah”. Wasathiyyah
memiliki beberapa pengertian yaitu :

Pertama, keadilan diantara dua kedzaliman

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan.

Ketiga, realistis (wâqi’iyyah).


Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai
berikut:

1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada
sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.

2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-
syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi.

3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi
mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.

4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis),
Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai
dasarnya

5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi

6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga
dari kesalahan dan dosa).

7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan.

8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim,
ahlul qiblah.

9. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah


terhadap para pemeluk agama-agama lain.

10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali,
majelis-majelis dzikir, dan sholawat
DAFTAR PUSTAKA

https://www.nu.or.id/post/read/61776/inilah-penjelasan-mengenai-aswaja-perspektif-nu

https://islami.co/sejarah-singkat-nahdlatul-ulama/
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada
waktunya. Tak lupa pula saya sampaikan terima kasih kepada tutor agama dengan saudara Zaki Arita
karena telah membimbing saya dalam menyusun makalah ini.

Makalah ini diajukan untuk melaksanakan tugas dari tutor agama berupa ulasan Aswaja
Menurut Perspektif NU. Dengan mencari informasi melalui internet makalah ini bias selesai dalam
kurun waktu seminggu.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Jambi, 22 Oktober 2019

Dicky Irwanto
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ................................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................................... iii

BAB 1. SEJARAH NAHDLATUL ULAMA (NU) ............................................................................................ 1

BAB 2. PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ASWAJA ............................................................... 3

BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................................................................... 5

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................... 7


MAKALAH

PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ASWAJA

Tutor : Zaky Arita

Disusun Oleh :

Nama : Dicky Irwanto

NIM : B10019269

Prodi : Ilmu Hukum

Kelas : F

Anda mungkin juga menyukai