Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

HIV DAN TB PARU

Disusun Oleh:

Meriana (406181087)

Pembimbing :

dr.Cristina Tarigan Sp.Pd,FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 18 NOVEMBER 2019 – 26 JANUARI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Nama Mahasiswa : Meriana

Tanggal : 13 Januari 2019

Dokter Pembimbing : dr. Cristina Tarigan Sp.Pd FINASIM

I. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny.YBAS
• Umur : 28 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Alamat : Kp. Legok Nyenang
• Pekerjaan : Ibu rumah tangga

• Agama : Islam
• Suku bangsa : Sunda
• Kewarganegaraan : Indonesia
• Status pernikahan : Menikah
• Dikirim oleh : IGD
• Dirawat di ruang : Bangsal Teratai C Kamar 4.3
• Status perawatan : BPJS PBI
• Masuk IGD : 1 Januari 2020, Pukul 16:35 WIB
• Masuk bangsal : 1 Januari 2020, Pukul 19:45 WIB

2
II. ANAMNESIS

STATUS UMUM

Dilakukan secara autoanamnesa dari pasien beserta alloanamnesa dari keluarga pasien
pada tanggal 9 Januari 2019 bangsal Teratai C kamar 4.3 RSUD Ciawi.

1. Keluhan utama : BAB Cair sejak 1 bulan SMRS

2. Keluhan tambahan : Bat uk sejak 3 mi nggu

3. Riwayat penyakit sekarang :


• Onset dan Kronologis
Pasien datang ke IGD RSUD Ciawi pada tanggal 1 Januari 2020 pukul
16:35 WIB dengan keluhan utama B A B C ai r sej a k 1 b ul an S MR S

• Kualitas
BAB Cair dalam 1 hari mencapai 4x/hari hingga pasien menjadi lemas.

• Faktor memperberat
Nyeri Perut dirasakan melilit

• Faktor yang memperingan


Tidak ada faktor yang memperingan.

• Gejala penyerta
Pasien mengeluh adanya Batuk sudah 3 bulan SMRS

• Kronologis
Pasien datang ke IGD RSUD Ciawi pada tanggal 1 Januari 2020 pukul
16.35 WIB dengan keluhan utama BAB cair sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan ini
membuat pasien menjadi lemas dan tidak dapat beraktifitas. Pasien mengatakan
BAB cair diraskan setiap hari dan dalam satu hari bias BAB 2 – 4 kali dengan
warna kuning tanpa diserai lendir dan darah. Pasien sudah pernah dirawat
dirumah sakit dengan keluhan BAB Cair dan dirawat di RS selama 2 minggu
namun pasien pulang atas permintaan sendiri. Pasien juga mengeluh batuk sejak

3
3 minggu SMRS. Batuk dirasakan berdahak namun sulit keluar. Batuk diserai
keringat malam hari dan kadang tubuh terasa hangat namun tidak diukur suhunya.
Menurut pasien BB semakin menurun dalam 1 bulan terakhir ini namun tidak
diketahui berapa banyak, namun pakaian dirasakan semkain longgar. Pasien juga
memiliki rasa mual namun tidak muntah. Pasien menyangkal adanya sariawan,
dan gangguan berkemih maupun gatal didaerah kelamin.
Keluhan saat ini masih ada batuk namun sudah jarang dan keluhan mencret dan
demam sudah tidak dirasakan. Pasien sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat
Selama 9 hari di RS.

4. Riwayat penyakit dahulu :


• Riwayat penyakit serupa : disangkal
• Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
• Riwayat kencing manis : disangkal
• Riwayat maag : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal
• Riwayat penyakit paru : disangkal
• Riwayat penyakit ginjal : disangkal
• Riwayat penyakit hati : disangkal
• Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga :


• Riwayat penyakit serupa : Suami Meninggal Karena AIDS
Sua :
• Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
• Riwayat kencing manis : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal
• Riwayat penyakit paru : disangkal
• Riwayat penyakit ginjal : disangkal
• Riwayat penyakit hati : disangkal

4
6. Riwayat pengobatan :
• Pasien tidak pernah mengalami serupa dan belum mengobatinya.

7. Riwayat kebiasaan :

• Nafsu makan pasien menurun semenjak sakit


• Riwayat merokok (-)
• Riwayat konsumsi alkohol (-)
• Riwayat konsumsi obat tradisional (-)
• Riwayat mengkonsumsi obat pereda nyeri yang dijual bebas (-)

8. Riwayat sosial, ekonomi :


• Pasien merupakan Seorang Ibu rumah tangga
 Pasien Memiliki 4 anak, anak pertama dari suami pertama, anak kedua dari suami
kedua dan anak ketiga dan keempat dari suami ketiga.
• Pasien berobat menggunakan BPJS

5
III. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

• Kesadaran : Compos mentis, GCS 15


• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Tanda Vital
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 82 x/menit, isi dan tekanan cukup, regular
- Pernapasan : 2 0 x/menit
- Suhu : 36,5°C
• Tinggi Badan : 158 cm
• Berat Badan : 40 kg
• IMT : 16,32 (Underweight)
• Kepala : Bentuk normochepali, tidak teraba benjolan, rambut
hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, tidak
mudah patah. Kulit kepala tidak ada kelainan.
• Mata : Palpebra superior et inferior dextra tidak tampak
edema/cekung. Palpebra superior et inferior dextra et
sinistra tidak normal. Kornea jernih, conjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi konjungtiva (-/-). Pupil
bulat, isokor, diameter 3 mm. Refleks cahaya langsung
dan tidak langsung (+/+).
• Telinga : Bentuk normal, serumen (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), KGB pre-retro
aurikuler dextra et sinistra tidak teraba membesar, liang
telinga dextra et sinistra lapang.
• Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-), mukosa
hidung tidak pucat dan tidak hiperemis, epistaksis (-).
• Mulut : Sulcus nasolabialis simetris, bibir sianosis (-), faring
hiperemis (-), deviasi lidah (-), uvula ditengah, tonsil
T1/T1 tidak hiperemis.

6
• Leher : JVP 5+2 cm H2O. Trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak
teraba membesar. KGB submandibula dan servikal dextra
et sinistra tidak teraba membesar.

• Thoraks :
a. Paru
Dada Bagian Belakang

- Inspeksi : Bentuk dan ukuran dada bagian belakang normal, simetris


saat statis dan dinamis. Bentuk skapula simetris, tidak
ditemukan bekas luka atau benjolan. Retraksi sela iga (-),
sela iga melebar (-)
- Palpasi : Perbandingan gerakan nafas dan stem fremitus kanan kiri
sama kuat
- Perkusi : Pada dada bagian belakang terdengar bunyi sonor pada
kedua lapang paru atas kanan kiri
- Auskultasi : Terdengar bunyi Ronki (+/+), wheezing (-/-)

Dada Bagian Depan

- Inspeksi : Bentuk dan ukuran dada bagian depan normal, simetris saat
statis dan dinamis. Tidak ditemukan bekas luka ataupun
benjolan. Retraksi suprasternal (-), deviasi trakea (-).
- Palpasi : Perbandingan gerakan nafas dan stem fremitus kanan kiri
sama kuat.
- Perkusi : Pada dada bagian depan terdengar bunyi sonor pada kedua
lapang paru atas kanan kiri.
- Auskultasi : Terdengar bunyi bronkovesikuler (+/+), ronki
(+/+), wheezing (-/-)

b. Jantung :
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
– Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra kuat angkat

7
– Perkusi : Redup
Batas jantung kanan sepanjang garis dari ICS IV PSL dextra

Batas jantung atas ICS III PSL sinistra

Batas jantung kiri ICS V MCL sinistra

- Auskultasi : BJ I dan II normal regular, gallop (-), murmur (-)

• Abdomen :
- Inspeksi : Perut flat, warna kulit tampak sawo matang, tidak terdapat
kelainan pada kulit.
- Auskultasi : Bising usus (+) 10 x/menit, tidak terdengar bruit maupun friction
rub.
- Perkusi : Didapatkan bunyi timpani pada keempat kuadran, nyeri ketok
ginjal (-).
- Palpasi : Perut supel, nyeri tekan (+) pada regio epigastrik, turgor kulit
baik. Hepar, lien, ginjal tidak teraba.
• Anus dan genitalia : Tidak dilakukan
• Ekstremitas : Akral teraba hangat, tidak terdapat edema dan sianosis
pada kedua ekstremitas, CRT < 2 detik.
• Kulit : Tampak lesi purpura pada regio pedis, turgor kulit baik
• KGB : Tidak teraba membesar pada aksila, supraklavikula,
infraklavikula
• Pemeriksaan Saraf : Tidak dilakukan

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium darah (1 Januari 2020 Pukul 18:00 WIB)

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Angka Normal


Hematologi
Hemoglobin 11,5 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 31,5 % 45-52
Jumlah Lekosit 4,5 103/ul 4-11
Jumlah Trombosit 526 103/ul 150 – 440
Kimia Klinik
Ureum 36,8 mg/dL 8,0 – 20,0
Creatinin 1,0 mg/dL 0,6 – 1,1
GD sewaktu 105 mg/dL 80 – 120
SGOT 52 U/L 0 – 35
SGPT 68 U/L 0 – 35
Natrium 123 mmol/L 135 – 145
Kalium 2,9 mmol/L 3,5 – 5,3
Clorida 10 mmol/L 95 – 106
5

Laboratorium darah (20 Desember 2019 Pukul 14:06 WIB)

Serologi/imunologi
HIV Rapid POSITIF mmol/L NEGATIF

Laboratorium darah (3 Januari 2020 Pukul 18:52 WIB)

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Angka Normal


Hematologi
Hemoglobin 7,3 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 20 % 45-52
Jumlah Lekosit 2,7 103/ul 4-11
Jumlah Trombosit 260 103/ul 150 – 440

9
Hitung jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 2-4
Netrofil 76 % 40-72
Lymposit 16 % 25-40
Monosit 8 % 2-8
MCV 84 fL 80-100
MCH 30 pg 26-34
MCHC 36 g/dL 32-36
LED 96 mm/jam 0-10
Albumin 2,11 g/dl 3,5 – 5,50
Natrium 135 Meq/l 135-145
Kalium 3,0 Meq/l 3,5 – 5,3
Clorida 113 Meq/l 95 –
106

Laboratorium darah (4 Januari 2020 Pukul 18:29 WIB)

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Angka Normal


Hematologi
Hemoglobin 7,3 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 20,2 % 45-52
Jumlah Lekosit 1,6 103/ul 4-11
Jumlah Trombosit 232 103/ul 150 – 440
Golongan Darah O A/B/O/AB
Rhesus Positif Positif

Laboratorium (5 Januari 2020 Pukul 15:02 WIB)

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan


D.PCR
TB (Genexpert)
MTB Tdk terdeteksi Tdk terdeteksi
Laboratorium darah (6 Januari 2020 Pukul 06:32 WIB)

Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Angka Normal


Hematologi
Hemoglobin 12,1 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 33,0 % 45-52
Jumlah Lekosit 1,6 103/ul 4-11
Jumlah Trombosit 208 103/ul 150 – 440

USG Abdomen (7 Januari 2020 Pukul 10:07 WIB)


Hepar : ukuran tidak membesar, tepi rata, sudut tajam, intensitas echoparenkim
meningkat homogen,n V aorta, V hepatica, tampak normal, IHBD/EHBD tak melebar,
tak tampak nodul, kita atau abses.
GB : Ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu.
Pancreas: intensitas echoparenkim homogen normal, tak tampak nodul , kista maupun
kalsifkasi.
Lien : ukuran normal, intensitas echoparenkim homogen normal, nodul (-).
Ren dextra : ukuran normal , intensitas echocortex baik, batas sinus cortex jelas, tak
tampak ectasis pelviocalyceal system, batu (-) kista (-).
Ren sinistra : ukuran normal , intensitas echocortex baik, batas sinus cortex jelas, tak
tampak ectasis pelviocalyceal system, batu (-) kista (-).
Buli – Buli : ukuran normal, dinding tak menebal, tidak tampak batu.
Uterus : ukuran tak membesar, intensitas echoparenkim homogen, kalsifikasi/nodul (-).
Tampak cairan bebas minimal di cavum pelvis.
Tampak fluid collection di cavum douglas
Usus : gambaran dilatsi ringan usus disertai penebalan dindingnya.
Kesan : fatty liver, ascites, dan sub ileus dd tb usus.
Foto thorax AP (26 Desember 2019 Pukul 14:29 WIB)

Cor : Ukuran kesan tidak membesar


Pulmo : Tampak gambaran infiltrate interstitial bilateral difuse pada perihilar
kalsifikasi di paracardial kiri, bronchovascular pattern meningkat, hilus menebal.
Sinus phrenicocostalis kanan dan kiri tajam
Diafragma baik.

Kesan : Pneumocystis carinii pneumonia dd Tb Paru , kalsifikasi di paracardial


kiri.

11
V. RESUME

Telah diperiksa seorang wanita berusia 28 tahun, pasien datang ke IGD


RSUD Ciawi pada tanggal 1 Januari jam 16:35 WIB dengan keluhan utama BAB
cair selama 1 bulan disertai batuk selama 3 minggu SMRS, mual dirasakan
namun tidak muntah. Selama 1 bulan pasien mnegalami demam namun naik
turun namun suhu tidak diukur. Keluhan pada saat ini sudah pernah dirasakan
sebelumnya dan pernah dirawat selama 1 minggu namun pulang atas
permintaan sendiri. Pasien juga memiliki Suami yang menderita penyakit
serupa dengan pasien. BAB dan BAK tidak terdapat keluhan. Pasien juga
mengalami penurunan berat badan selama 1 bulan ini. Selama dirawat pasien
pernah mengeluh bengkak namun hanya pada perut kemudian dilakukan
pemeriksaan USG. Riwayat pernah pengobatan paru dan sariawan disangkal.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

- Terdengar Ronkhi basah halus pada kedua lapang paru terutama dibagian
apex.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan :


- Hematologi : peningkatan fungsi hati berupa peningkatan SGOT dan
SGPT, Anemia.
- Albumin : Hipoalbumin.
- Elektrolit : Hipokalemia
- USG abdomen : Asites, Sub ileus dd Tb Paru, Fatty Liver.
- Rontgen : pneumocystis Carinii pneumonia dd Tb paru, kalsifiksi di
paracardial kiri.

12
VI. DIAGNOSA KERJA

- HIV/AIDS
- Tb Paru
- GE Kronik
- Anemia
- Asites
- Hipokalemia
- Hypoalbuminemia

VII.RENCANA PENGELOLAAN

Initial plan diagnostik :


- Pemeriksaan BTA 3x
- Kultur dahak
- Total lymphosit count sebagai optional CD 4
- CT Scan Abdomen

Initial plan treatment :


- Diatab 2tab tiap diare
- Loperamide 3x1
- Cotrimoxazole 1x960
- Zinc 3x1
- KSR 2x1
- VIP Albumin 3x2
- Rifampisin 1x300mg
- INH 1x300mg
- Etambutol 1 x 750
- Ranitidine 2x50mg
- Ondansetron 2x4mg
- Ceftriaxone ST 1x2 gr

13
Prognosis :

• Ad vitam : Dubia ad Malam


• Ad functionam : Dubia ad Bonam
• Ad sanationam : Dubia ad Malam

14
TINJAUAN PUSTAKA
HIV/AIDS dan TB PARU

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. AIDS


menggambarkan sebuah sindrom dengan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan
menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS sendiri disebabkan oleh virus yang sebut HIV,
Human Immunodeficiency Virus. Human Immunodeficiency Virus merupakan virus
sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili
retrovirus yang merupakan virus RNA (Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7
kilobases (kb). Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur
Paris tahun 1983 disebut HIV-1.4 Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV
memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus yaitu
glikoprotein (gp) 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Glikoprotein
120 memiliki afinititas tinggi terutama regon V3 terhadap reseptor CD4 sehingga
bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41 bertanggung
jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi.
Diantara sel tubuh yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel
limfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada reseptor CD4 limfosit-T
setelah penempelan terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh
komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4
GEJALA KLINIS HIV
Gejala klinis HIV merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan
asimptomatis berkepanjangan hinggga manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat
dibagi menjadi 4 tahap yaitu :4
1. Tahap pertama Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala tapi tidak
spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa
letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran kelenjar getah bening.
2. Tahap kedua Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala dan keluhan
menghilang. Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun
setelah infeksi tetapi penderita masih normal.
3. Tahap ketiga Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih spesifik dengan
gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput

15
mulut terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran napas atas, namun penderita
dapat melakukan aktifitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat tidur.
4. Tahap keempat Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang muncul berupa
berat badan turun lebih 10%, diare lebih 1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya
berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB paru. Penderita
hanya berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir. Dapat
terjadi berbagai macam infeksi berupa pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis otak,
penyakit sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis pada esofagus, trakea, bronkus,
paru, infeksi jamur seperti histoplasmosis. Dapat juga ditemukan keganasan termasuk
keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma kaposi. Derajat dan berat penyakit ditentukan
sesuai ketentuan WHO melalui stadium klinik pada orang dewasa.
Diagnosis AIDS di Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positif dan sekurang-kurangnya
didapatkan satu gejala mayor dan satu gejala minor.

Sumber : DICTIO.COM

TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi paru akibat kuman mikrobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis pada pasien ODHA merupakan penyakit oportunistik. TB telah
menjadi penyebab kematian tersering pada ODHA diakibatkan keterlambatan pengobatan.
Sebagian besar oran dengan imunitas baik tidak langsung sakit bila terpapar dengan
kuman TB disebut sebagai TB laten. Namun pada ODHa TB laten ini mudah berkembang
menjadi TB aktif.
Gambaran klinis TB pada pasien HIV tidak hanya berbeda dengan gambaran TB
secara umum, namun juga dapat berbeda tergantung pada kekebalan tubuh pasien HIV.
Pada tahap awal infeksi HIV, gambaran klinis sering menyerupai pasca-TB paru primer,
dengan hasil pemeriksaan dahak yang seringkali positif, dan gambaran radiologis umumnya
berupa kavitas. Pada tahap lanjut, gambaran klinis lebih sering menyerupai TB paru primer,

16
dengan hasil pemeriksaan dahak yang lebih sering negatif, dan gambaran radiologis yang
seringnya tanpa kavitas.

PATOGENESIS TB-HIV
Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali interaksi gp 120 pada
selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang
mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit, mikroglia, monosit-makrofag,
limfosit, Langerhan’s dan dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan CD4.
Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor kedua yang memungkinkan gp 41
menjalankan fungsinya sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor
lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan chemokine reseptor 4 (CXCR4).4
Proses internalisasi limfosit T oleh HIV selain terjadi perubahan melalui aktivasi limfosit
T-CD4 maupun HIV juga membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock
protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan limfosit T terpacu sehingga
mengalami stres dengan berbagai perubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor
CD43 (sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang terekspresi tersebut
menjadi aktivator baik terhadap limfosit T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan
aktivitas limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV akan menginduksi T-helper 1 (Th-1)
mensekresi Interleukin (IL)-1â, IL-2, Tumor necrosis factor (TNF)-á dan Interferon (IFN)-
ã sehingga kadar didalam darah meningkat.4 Human immunodefisiency virus yang berada
di dalam limfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43 dan akan
menginduksi pembentukan kompleks T-cell reseptor (TCR) CD43 kemudian bersama-sama
CD28 mempengaruhi HIV menjadi lebih aktif. Produksi HIV selama infeksi mencapai 109
-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upaya pengobatan dapat meningkatkan
jumlah virus mencapai 500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus
meningkat akan berusaha menyerang limfosit T-CD4 berikutnya. Fase akut akan terjadi
penurunan dramatis kadar CD4 sampai kurang dari 1000/mm3 dan naik kembali saat
serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/ìl setiap tahunnya. Bila jumlah CD4
mencapai atau melampaui batas kritis d” 200 sel/mm3 berarti telah memasuki stadium
AIDS dengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinik dapat terjadi pada jumlah
limfosit T-CD4 relatif normal (CD4 e” 500 sel/mm3 ) atau terjadi penurunan sedang (CD4
d” 200 sel/mm3 ). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari waktu ke waktu jumlah
limfosit T-CD4 akan semakin rendah membuka peluang infeksi sekunder dan muncul
manifestasi klinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4

17
Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb yang akan mengekspresikan
TNF-á bersamaan dengan Monocyte Chemotactic Protein 1 (MCP- 1) yang mengaktifkan
replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat (LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-á
menginduksi replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB di sel
mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit
dan monosit. M. tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T limfosit yang
terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-
1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat menyebabkan berkembang
menjadi infeksi laten HIV-1 (Gambar 3).

DIAGNOSIS
Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB paru termasuk dengan
menanyakan tentang kombinasi dari gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya
18
menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan obat anti retrovirus dan terapi
preventif dengan izoniazid dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala, namun
pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16
a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI) Semua pasien yang didiagnosis
HIV sebaiknya diperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBI
menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/ µL) dan tanpa indikasi
pemberian terapi empiris LTBI seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai
terapi ART dan kadar CD4+ e 200 cell/µL. Pada umumnya uji rutin untuk LTBI
direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV yang termasuk kategori resiko tinggi
untuk berulang atau terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan
faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor risiko sosial
demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV dan uji LTBI positif seharusnya
dilakukan foto toraks dan evaluasi klinik untuk TB aktif.8 Diagnosis LTBI dapat
dilakukan dengan satu atau dua pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji
Mantoux, dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan indurasi e” 5
mm yang timbul setelah 48–72 jam setelah penyuntikan secara intradermal 0,1 mL.
Sekarang ini penggunaan metoda in vitro dengan mendeteksi IFN-” dilepaskan
untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides telah dikembangkan untuk
mendiagnosis LTBI.9

19
Penelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron Gamma Relation Assay (IGRA)
lebih konsisten dan tinggi spesifitasnya (92–97%) dibandingkan dengan Tuberculin
Sensitiviti Ujit (TST) sebesar 56–95%, hubungan korelasi yang baik akan menggantikan
pengukuran terpajannya M. tb dan kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus
Calmette-Guerin (BCG) atau terpajan nontuberculous mycobacteria lainnya dibandingkan
dengan TST.11,15 Pada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut TST dan IGRAs dapat
menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensi terjadinya negatif palsu dan tidak dapat
digunakannya hasil IGRA meningkat secara paralel dengan berlanjutnya imunodefisiensi.13

Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadang secara insidental ditemukan pada
gambaran foto toraks. Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji diagnosis
LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada keadaan yang telah diketahui sebelumnya
telah mendapat terapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur seharusnya
diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan gejala. Pada pasien HIV dengan CD4+

20
positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum halus, biopsi jaringan) mewakili
beberapa bentuk penyakit mikobakterium namun tidak selalu TB.16
Tujuan utama algoritma diagnosis adalah membantu keputusan klinik di daerah
dengan prevalensi HIV tinggi dan mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.
Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada diagnosis TB paru dengan
HIV/AIDS dan akan membantu penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan
pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 2–3 minggu dan berdasarkan kondisi
pasien.19

Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk ke pusat rujukan atau yang
memiliki fasilitas lebih lengkap. Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera
maka pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan pemeriksaan dahak segera
dikerjakan. Apabila hasil pemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan
apabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi HIV yang tinggi maka
dilanjutkan penegakan diagnosis sesuai dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala
klinik dan pasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi maka penegakan
diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19

21
a. Diagnosis TB
Diagnosis TB pada ODHA berbeda dengan diagnosis TB umumnya. Gejala TB
secara umum pada bukan ODHA adalah diduga TB apabila batuk 2 minggu atau lebih,
sedangkan pada ODHA diduga TB apabila terdapat salah satu gejala berikut : batuk saat ini
walaupun kurang dari 2 minggu, berat badan turun secara drastis, demam atau keringat
malam.
Deteksi dini HIV pada pasien TB harus dilaksanakan sedini mungkin sebagaimana
terdapat dalam international standards for tuberculosis care (ISTC) yaitu tes dan konseling
HIV harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang diduga
menderita TB. Hal ini telah diperkuat dengan peraturan menteri kesehatan nomor 21 tahun
2013. Hal yang sama tercantum pada standar ISTC edisi ke 3. Apabila pasien tidak bersedia
dilakukan uji HIV, maka pasien tersebut harus menandatangani surat penolakan uji HIV.
Baik deteksi dini TB pada pasien HIV maupun deteksi dini HIV pada pasien TB
keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini ko-infeksi TB-HIV, sehingga dapat
memulai pengobatan lebih cepat dan keberhasilan pengobatan akan lebih baik.
1) Diagnosis TB paru
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:
22
a) Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosis TB paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis (basil tahan asam), tes cepat molekular TB (TCM) dan biakan. Pada ODHA
sering memberikan hasil negatif pada pemeriksaan mikroskopis dahak, maka diperlukan
penegakan diagnosis TB dengan menggunakan TCM yang dilakukan dalam waktu yang
bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan sediaan dahak Sewaktu pertama di fasyankes yang
mempunyai fasilitas TCM.
Pemeriksaan TCM dilakukan dengan pemeriksaan MTB/RIF menggunakan alat
GenXpert®. Pemeriksaan ini sangat membantu diagnosis TB (termasuk TB-MDR) secara
cepat (1 jam 45 menit). Selain ditemukan adanya Mycobacterium tuberculosis juga
menentukan apakah M.tuberculosis tersebut sensitif atau resisten terhadap rifampisin.

b) Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis


Pada ODHA tidak direkomendasikan lagi Penggunaan antibiotik dengan maksud
sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat
menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko
kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak
direkomendasikan lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan infeksi oportunistik (IO)
yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi,
maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi
sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan
fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu
terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.

c) Pemeriksaan foto toraks


Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB
pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks
pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut. Pada pemeriksaan foto
toraks infiltrat umumnya terdapat di apeks, namun pada pasien TB-HIV infiltrat seringkali
ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut. Pada HIV stadium awal gambaran
foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks pada pasien TB umumnya. Pada pasien
TB-HIV tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.

23
2) Diagnosis TB ekstraparu
a) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB, penurunan tajam penglihatan pada TB okuler, dan lain-lainnya.
b) Diagnosis pasti pada pasien TB ekstraparu ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis, dan atau histopatologi dari spesimen atau jaringan tubuh yang terkena.
c) Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan kemungkinan TB
paru
d) Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstraparu dilakukan dengan contoh
uji cairan serebrospinal (CSS) pada kecurigaan meningitis TB, contoh uji kelenjar getah
bening (KGB) melalui pemeriksaan biopsi aspirasi Jarum Halus/BAJAH (fine needle
aspirate biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji jaringan
pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan lainnya. Pada suatu penelitian di Afrika Selatan
didapatkan sensitivitas keseluruhan TCM untuk pemeriksaan TB ekstraparu adalah sebesar
59% (IK 95% 53%-65%) dan spesifisitas 92% (IK 95%, 90%-94%).
Pemeriksaan PCR non-TCM dapat dilakukan untuk pemeriksaan spesimen lain seperti
cairan intraokuler, sendi, asites, dan lain-lain. Rekomendasi Tes cepat molekular harus
digunakan sebagai tes diagnostik awal pada pasien yang dicurigai dengan HIV ko-infeksi
TB atau TB-MDR dibandingkan mikroskop konvensional, kultur, dan uji tuberkulin (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti tinggi).
b. Pengobatan
Berdasarkan ISTC prinsip tata laksana pengobatan TB pada ODHA sama seperti pasien TB
umumnya. Obat TB pada ODHA sama efektifnya dengan pasien TB pada umumnya. Pasien
TB-HIV mempunyai sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan adanya infeksi
hepatitis kronis dan lainnya, sehingga sering timbul efek samping dan interaksi obat yang
berakibat pada perburukan kondisi pasien. Pada keadaan tersebut sebagian obat harus
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut menyebabkan durasi pengobatan yang
lebih panjang yang dapat berdampak pada kepatuhan pasien.

1) Paduan OAT pada pasien TB HIV


Semua pasien TB (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi
paduan OAT lini pertama yang disepakati secara internasional, hal ini sesuai ISTC
(standar8):
a) Fase awal : 2 bulan isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA), dan etambutol
(EMB), diberikan setiap hari.
24
b) Fase lanjutan : 4 bulan INH dan RIF, diberikan setiap hari. Bila tidak memungkinkan
karena tidak ada persediaan, maka dapat diberikan 3 kali dalam seminggu (obat program
untuk fase lanjutan setiap hari masih dalam persiapan)
c) Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak direkomendasi
untuk pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi kegagalan pengobatan atau
kambuh.

Pada pasien TB-HIV yang pernah diobati dan dinyatakan gagal terapi atau putus obat, maka
diberikan paduan OAT kategori 2 seperti yang diberikan pada pasien TB tanpa HIV, yaitu:
a) Fase awal : 2 bulan streptomisin injeksi, INH, RIF, PZA, dan EMB, diberikan setiap
hari, selanjutnya 1bulan INH, RIF, PZA dan EMB diberikan setiap hari.
b) Fase lanjutan : 5 bulan INH, RIF dan EMB, diberikan setiap hari.

Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan
sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT).
Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB dimulai terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 8 minggu pertama
pengobatan TB. Efavirenz mewakili golongan NNRTI yang baik digunakan untuk
pemberian ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena
mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibanding nevirapin.
Pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV dengan indikasi ARV lini 2 (berbasis
LPV/r) dan OAT lini 1, maka pemberian OAT tetap dengan rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol pada fase awal (2 bulan pertama) dan rifampisin, isoniazid untuk
fase lanjutan (4 bulan selanjutnya). Sehubungan rifampisin mengaktifkan enzim yang
meningkatkan metabolisme boost inhibitor sehingga menurunkan kadar plasma lebih
rendah dari minimum inhibitory concentration (MIC), maka dianjurkan meningkatkan dosis
LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal. Namun karena keduanya bersifat hepatotoksik,
maka diperlukan pemantauan fungsi hati dengan lebih intensif. Apabila pasien memiliki
kelainan hati kronis, maka pemberian kombinasi tersebut tidak direkomendasikan.
Pada pengobatan pasien dengan ko-infeksi TB-HIV perlu diperhatikan
kemungkinan interaksi antar obatobat yang digunakan, overlap efek samping obat, IRIS dan
masalah kepatuhan pengobatan. Oleh karena itu pengobatan ARV harus diberikan oleh
dokter yang telah dilatih khusus tata laksana HIV.

25
c. TB ekstraparu
TB ekstraparu lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV dibandingkan pasien
tanpa HIV sehingga penemuan TB ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV.
TB ekstraparu sering ditemukan pada kelenjar getah bening leher atau aksila, abdomen,
mediastinum, mata, susunan saraf pusat, tulang dan sendi, hepar, ginjal, alat reproduksi,
urogenital, dan lain-lain, serta dapat menyebabkan timbulnya cairan pleura, perikardial, dan
peritoneal.

1) Tata laksana TB ekstraparu


Pasien dengan TB ekstraparu, paduan OAT diberikan paling sedikit 9 bulan (2 bulan
INH, RIF, PZA, dan EMB diikuti dengan 7 bulan INH dan RIF). Pada TB ekstraparu pada
sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang/sendi, direkomendasikan
paling sedikit selama 12 bulan. Terapi bedah dilakukan pada komplikasi lanjut seperti
hidrosefalus, uropati obstruktif, perikarditis konstriktif, dan keterlibatan neurologis akibat
penyakit Pott (TB spinal). Apabila terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang cukup
banyak maka drainase aspirasi maupun insisi dapat membantu.
Untuk pasien TB ekstraparu, pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai
kemajuan hasil pengobatan dengan penilaian sesuai lokasi TB.

d. TB resisten obat
Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan masalah kesehatan global.
Tuberkulosis resisten obat ganda atau TBMDR (multi drug resistant tuberculosis) adalah
infeksi oleh M. tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan
atau tanpa resisten terhadap OAT lini pertama lainnya. Semua pasien ko-infeksi TB-HIV
merupakan kelompok terduga pasien TB-MDR.
Extensively drug resistance (TB-XDR) adalah TB-MDR yang disertai resistensi
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin). PreXDR adalah TB-MDR ditambah resistensi
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu obat injeksi lini kedua.
Tuberkulosis resisten rifampisin (TB-RR) ialah M. tuberculosis yang resisten
terhadap rifampisin (monoresisten, poliresisten, TB-MDR dan TB-XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resisten OAT lainnya.

1) Diagnosis
Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M.
tuberculosis menggunakan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tes cepat
26
molekular atau kultur resistensi dengan menggunakan media Lowenstein Jensen (LJ) dan
MGIT.
2) Tata laksana TB-MDR pada HIV
Obat anti-tuberkulosis dikelompokkan menjadi dua yaitu OAT lini 1 dan lini 2. Obat
anti-tuberkulosis lini 1 terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid (Z), etambutol (E) dan
streptomisin (S). Berdasarkan pedoman TB-MDR WHO tahun 2016, OAT lini 2 dibagi atas
empat golongan yaitu golongan fluorokuinolon (grup A), obat injeksi lini 2 (grup B), obat
bakteriostatik lini 2 (grup C) dan golongan obat yang belum termasuk paduan standar TB-
MDR (grup D1-3)
Fase pengobatan dibagi atas dua yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
a) Paduan pengobatan standar
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan lima macam OAT yang
efektif yaitu pirazinamid ditambah empat OAT lini 2 yang terdiri dari satu macam OAT
grup A, satu macam OAT grup B dan minimal 2 macam OAT grup C. Jika jumlah minimal
OAT efektif seperti paduan di atas tidak dapat digunakan, maka obat dari grup D2 atau D3
dapat ditambahkan sehingga jumlah OAT yang digunakan pada fase intensif menjadi lima
macam obat. Pada pasien TB-MDR juga direkomendasikan penambahan isoniazid dosis
tinggi atau etambutol untuk memperkuat paduan terapi.
Fase lanjutan adalah fase pengobatan setelah selesai menggunakan obat injeksi.
Obat yang dapat diberikan pada panduan standar adalah sebagai berikut:

Durasi terapi TB-MDR yang diberikan pada fase intensif adalah minimal selama 8
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan sputum. Berdasarkan penelitian meta-
analisis didapatkan bahwa penggunaan obat injeksi lebih dari 8 bulan tidak menunjukkan
manfaat yang berarti dan kriteria gagal pengobatan perlu dipertimbangkan pada pasien yang
tidak mengalami konversi setelah mendapat terapi fase intensif selama 8 bulan.
Total durasi pengobatan TB-MDR yang direkomendasikan WHO adalah selama 20
bulan dan WHO tidak menentukan total durasi terapi berdasarkan waktu konversi biakan.
b) Paduan bedaquilin pada TB-MDR
Pada beberapa kondisi khusus seperti pasien dengan reaksi efek samping, intoleran,
atau memiliki kontraindikasi penggunaan OAT TB-MDR dengan paduan standar serta tidak

27
tersedianya OAT yang digunakan pada paduan standar, direkomendasikan penggunaan
bedaquilin (Bdq) bersama dengan empat OAT lainnya.
Bedaquilin juga dapat digunakan pada pasien TB-MDR dengan hasil biakan
menunjukkan resistensi terhadap golongan fluorokuionolon dan/atau obat injeksi lini 2
(pre-XDR/XDR). Dosis yang digunakan adalah 400 mg setiap hari pada dua minggu
pertama diikuti dengan 200 mg sebanyak tiga kali dalam seminggu pada 22 minggu
berikutnya.
Paduan pengobatan dengan Bdq adalah sebagai berikut:
(1) Pasien TB-MDR yang alergi terhadap fluorokuinolon atau pasien TB pre-XDR yang
resisten terhadap fluorokuinolon, maka paduan yang diberikan adalah kanamisin,
etionamid, sikloserin, asam p-aminosalisilat (PAS), pirazinamid, etambutol dan bedaquilin
pada fase intensif, dilanjutkan dengan etionamid, sikloserin, PAS, pirazinamid dan
etambutol pada fase lanjutan.
Paduan tersebut dituliskan sebagai berikut:

(2) Pasien TB-MDR yang alergi terhadap obat injeksi lini 2 atau pasien TB pre-XDR yang
resisten terhadap obat injeksi lini 2, maka paduan yang diberikan pada fase intensif terdiri
dari levofloksasin, etionamid, sikloserin, PAS, pirazinamid, etambutol dan bedaquline.
Pada fase lanjutan diberikan levofloksasin, etionamid, sikloserin, PAS, pirazinamid dan
etambutol.
Penulisan paduan tersebut adalah sebagai berikut:

(3) Pasien TB-MDR yang alergi atau dengan efek samping berat terhadap dua atau lebih
OAT etionamid, sikloserin dan PAS, maka dapat diberikan kanamisin, levofloksasin,
etionamid/sikloserin/PAS, pirazinamid, etambutol, bedaquilin dan linezolid
(Lnz)/klofazimin (Cfz) pada fase intensif. Pada fase lanjutan diberikan levofloksasin,
etionamid/sikloserin/PAS, pirazinamid, etambutol dan linezolid/klofazimin.
Paduan tersebut dituliskan sebagai berikut:

(4) Paduan pada pasien TB XDR terdiri dari etionamid, sikloserin, PAS, pirazinamid,
etambutol, bedaquline, linezolid dan klofazimin pada fase intensif. Fase lanjutan diberikan
28
etionamid, sikloserin, PAS, pirazinamid, etambutol, linezolid dan klofazimin. Penulisan
paduan tersebut adalah sebagai berikut:

Durasi pengobatan TB-MDR dengan paduan bedaquilin adalah 20 bulan, dengan fase
intensif selama 8 bulan, dan fase lanjutan selama 12 bulan. Bedaquilin diberikan pada enam
bulan pertama pengobatan.
c) Paduan jangka pendek pada TB-MDR
Pada pasien yang terbukti tidak resisten terhadap OAT TB-MDR jangka pendek
(kecuali resisten isoniazid) dan tidak terpajan dengan OAT lini 2 selama >1 bulan,
direkomendasikan pemberian terapi TB-MDR jangka pendek selama 9-12 bulan.
Durasi fase intensif adalah selama 4-6 bulan dan fase lanjutan selama lima
bulan.Paduan terapi TB-MDR jangka pendek ini dapat diberikan pada pasien dewasa
maupun anak-anak serta pasien dengan infeksi HIV.

Obat anti-tuberkulosis yang diberikan pada paduan terapi jangka pendek adalah
kanamisin, moksifloksasin (Mfx), protionamid (Pto), klofazimin, pirazinamid, isoniazid
dosis tinggi (Hh) dan etambutol pada fase intensif dan dilanjutkan dengan moksifloksasin,
klofazimin, pirazinamid dan etambutol pada fase lanjutan.
Paduan terapi jangka pendek dapat dituliskan sebagai berikut:

e. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV


Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering yang ditemukan pada anak
terinfeksi HIV. Ko-infeksi tuberkulosis pada infeksi HIV meningkatkan risiko mortalitas
dan morbiditas. Angka pasti ko-infeksi TB pada anak terinfeksi HIV di Indonesia tidak
diketahui dengan pasti. World Health Organization memperkirakan sebesar 10-60% anak
dengan TB di negara endemis TB memiliki ko-infeksi dengan infeksi HIV.
Tuberkulosis dan HIV memiliki manifestasi klinis yang saling menyerupai sehingga
menyebabkan penegakan diagnosis yang terlambat atau bahkan salah. Beberapa aspek ko-
infeksi TB-HIV pada anak yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah aspek
diagnosis, tata laksana dan pemantauan terapi.
1) Diagnosis tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV

29
Berbeda dengan tuberkulosis pada dewasa, TB pada anak memiliki gejala yang tidak
spesifik. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah kuman TB pada anak yang lebih sedikit
(pausibasiler) dibandingkan dengan dewasa.
Kesulitan diagnosis penyakit TB pada anak terinfeksi HIV antara lain disebabkan
oleh manifestasi klinis TB dan infeksi HIV pada anak yang saling menyerupai, sementara
tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis penyakit TB secara
langsung.
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik atau sesuai organ terkait.
Gejala klinis umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan
turun atau gagal tumbuh, serta demam lama. Gejala klinis tersebut dapat menetap lebih dari
2 minggu walaupun sudah diberikan terapi adekuat. Tanda klinis yang khas pada penyakit
TB adalah dijumpainya gibbus terutama dengan awitan akut. Tanda klinis khas lainnya
adalah pembesaran kelenjar getah bening leher yang disertai dengan fistula. Evaluasi
pembuktian bakteriologis harus selalu diupayakan pada setiap anak yang memiliki
manifestasi klinis TB atau dicurigai menderita penyakit TB.
Pemeriksaan TCM memiliki nilai performa diagnostik yang lebih baik
dibandingkan dengan pulasan sputum BTA konvensional, namun masih lebih rendah
dibandingkan dengan uji biakan. Hasil negatif pada pemeriksaan TCM tidak dapat
menyingkirkan diagnosis TB secara mutlak.
Salah satu kendala pemeriksaan bakteriologis TB pada anak adalah sulitnya mendapatan
sampel yang representatif terutama pada bayi dan anak yang berusia lebih muda. Beberapa
teknik pengambilan sampel sputum pada anak dapat dilakukan melalui berdahak, bilas
lambung dan induksi sputum. Uji klinis yang membandingkan teknik pengambilan sampel
melalui bilasan lambung dan induksi sputum mendapatkan kedua metode tersebut cukup
efektif dan aman dilakukan pada bayi atau anak berusia muda.
Pemeriksaan penunjang lain yang sudah dikenal lebih dahulu untuk membantu
penegakan diagnosis TB adalah uji tuberkulin. Uji tuberkulin dengan indurasi ≥5 mm pada
anak teinfeksi HIV didefinisikan sebagai hasil positif. Hasil uji tuberkulin positif tidak serta
merta menyatakan keadaan penyakit TB. Uji tuberkulin positif hanya menyatakan pasien
mengalami infeksi TB.
Secara umum diagnosis TB pada anak dapat dipikirkan pada 4 keadaan yaitu (1)
memiliki riwayat kontak TB; (2) terdapat manifestasi klinis khas TB; (3) adanya bukti
infeksi TB, dan (4) terdapat konfirmasi bukti bakteriologis TB.
Mengingat gejala TB yang tidak khas, maka untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak di Indonesia dibuatlah suatu sistem skoring berdasarkan
manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks dan uji tuberkulin.
30
Pada tempat yang memiliki keterbatasan pemeriksaan penunjang TCM, foto toraks
dan uji tuberkulin, diagnosis TB pada anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem
skoring seperti pada alur diagnosis TB anak. Mengingat manifestasi klinis infeksi HIV dan
penyakit TB dapat saling menyerupai maka penapisan TB harus dilakukan pada semua anak
terinfeksi HIV sebelum memulai terapi dan diulang berkala apabila mengalami manifestasi
klinis TB.

2) Tata laksana tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV


Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal,
mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Prinsip terapi TB pada anak
terinfeksi HIV sama dengan anak yang tidak terinfeksi HIV. Terapi TB pada anak terinfeksi
HIV harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan baik pada anak yang sudah dalam
terapi ARV, maupun yang belum memulai terapi ARV. Dibandingkan dengan anak tanpa
infeksi HIV, anak dengan infeksi HIV memiliki kecenderungan untuk relaps dan
mengalami mortalitas yang lebih tinggi karena banyaknya ko-infeksi dengan patogen lain.
Terapi ARV pada anak terinfeksi HIV yang belum memulai terapi dapat dipertimbangkan
setelah 2-8 minggu OAT diberikan.
Telaah sistematik pada pasien dewasa terinfeksi HIV dalam terapi TB
menyimpulkan inisiasi terapi ARV dini (2-8 minggu) memiliki angka mortalitas yang lebih
kecil dibandingkan dengan inisiasi terapi lambat.
World Health Organization merekomendasikan paduan terapi OAT pada anak
terinfeksi HIV dengan TB adalah paduan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
selama 2 bulan pertama fase intensif dilanjutkan dengan 4 bulan fase lanjutan dengan
paduan isoniazid dan rifampisin.
Tuberkulosis paru maupun ekstraparu harus diterapi dengan paduan yang sama.
Terapi OAT untuk meningitis TB dan tulang dan sendi diberikan selama 12 bulan
mengingat tingginya risiko disabilitas, morbiditas dan mortalitas. Terapi kortikosteroid
ajuvan direkomendasikan untuk meningitis TB dan perikarditis, selama tidak ada
kecurigaan resistensi OAT.
Beberapa revisi dilakukan oleh WHO pada Panduan TB tahun 2014 mengenai dosis
paduan OAT anak. Perubahan tersebut didasari oleh studi farmakokinetik yang
mendapatkan bahwa laju metabolisme OAT pada anak lebih cepat dibandingkan dewasa,
terutama pada anak berusia <2 tahun. Dosis revisi tersebut aman diberikan pada pasien anak
apapun status infeksi HIV-nya.
Pemberian terapi isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin yang
bermanifestasi sebagai neuropati, terutama pada anak dengan gizi buruk dan anak terinfeksi
31
HIV dalam terapi ARV. Dosis suplementasi piridoksin yang direkomendasikan untuk anak
terinfeksi HIV adalah 5-10 mg/hari.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), American Thoracic Society and
Infectious Diseases Society of America, Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep
2003; 52(RR-11):p.1-77
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in tuberculosis incidence—
United Stauji, 2006. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50.
3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent tuberculosis infection in the United
Stauji. N Engl J Med 2004; 350(20): p.2060-7. 29 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8
4. Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinik dan sosial. Airlangga
University Press 2007; p.1-309.
5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutations of Pneumocystis jiroveci
dihydrofolate reductase associated with failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and
chemotherapy 2004; 48:4301-5.
6. Batungwanayo J, Taelman H, Hote R. Pulmonary tuberculosis in Kigali, Rwanda. Impact
of human immunodeficiency virus infection on clinical and radiographic presentation. Am
Rev Respir Dis,
7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in HIV-infected patients. Clin
Infect Dis 2004; 38(8):p.1159-66.
8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: Epidemiology, diagnosis &
management. Indian J Med Res 2005; 121, pp 550-567
9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculosis.
Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1): p.103-10.
10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latent tuberculosis infection. N
Engl J Med 2002; 347(23): p.1860-6.
11. Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujits for the diagnosis of latent
tuberculosis infection: Areas of uncertainty and recommendations for research. Ann Intern
Med 2007; 146(5): p. 340-54.
12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using the QuantiFERON-TB Gold ujit
for detecting Mycobacterium tuberculosis infection, United Stauji. MMWR Recomm Rep
2005; 54(RR-15):p.49-55.
13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIV positive, diagnosed by
the M. tuberculosis specific interferon-gamma ujit. Respir Res 2006; p.1;7:56.
14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays for tuberculosis: is anergy the
Achilles’ heel?Am J Respir Crit Care Med 2005; 172(5):p.519-21.
33
15. Luetkemeyer AF, Charlebois ED, Flores LL. Comparison of an interferon-gamma
release assay with tuberculin skin ujiting in HIV-infected individuals. Am J Respir Crit
Care Med 2007; 175(7): p.737-42.
16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral tuberculous lymphadenitis
in adults: current clinical and diagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82.
17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. An Algorithm for Tuberculosis
Screening and Diagnosis in People with HIV. N Engl J Med 2010;362:707-16.
18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama, Departemen Kesehatan RI,
2007.

34

Anda mungkin juga menyukai