Akar Pembaharuan
Islam ialah risalah Allah yang terakhir, yang diturunkan ke
bumi. Sebagai risalah terakhir, Islam memiliki dua
komponen prinsip. Pertama, sebagai risalah terakhir,
mencakup seluruh agama sebelumnya; Islam berfungsi
sebagai pelengkap dan penyempurna (QS. 5: 3). Kedua,
sebagai risalah terakhir, ajarannya telah sedemikian rupa
dipersiapkan untuk bisa menjawab pelbagai problem
kehidupan manusia dan kemanusiaan serta tetap mampu
hadir di tengah-tengah kehidupan umat manusia kapanpun
dan dimanapun. Karena Islam merupakan rahmatan lil
‘alamin (QS. 21: 107). Dengan kata lain, Islam diturunkan
pada suatu masa di mana perkembangan budaya dan
perubahan manusia telah sampai pada tingkat yang paling
tinggi dan kompleks.
Dalam perspektif sejarah, Islam telah hadir dalam konteks
perkembangan budaya yang semakin hari semakin
berkembang. Dalam kaitan ini umat Islam dituntut untuk
tetap eksis merealisasikan ajaran-ajarannya, dalam kondisi
ruang dan waktu serta menurut kondisi dan kemampuan
manusia itu sendiri (QS. 2: 286).
Islam hadir di pelbagai tempat untuk merubah budaya yang
ada dengan nilai-nilai ilahiyah, yang terkandung dalam
ajaran Islam. Budaya masyarakat (kehidupan, kondisi,
situasi dan budaya) setempat juga mempengaruhi pola
pelaksanaan ajaran Islam bagi pemeluknya itu. Hal tersebut
terjadi karena Islam mempunyai prinsip-prinsip
perkembangan yang dilandasi ijtihad dan terbuka
(moderat).
Kontak dengan budaya dan perdaban Barat dan non Islam,
bagaimanapun keadaannya “memaksa” umat Islam untuk
berinteraksi dan beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Lantas terjadilah akumulasi budaya keislaman.
Hasil perkawinan dari budaya setempat dengan nilai-nilai
keislaman yang terserap.
Kontak budaya inilah salah satu sebab munculnya
pembaharuan Islam. Namun pembaharuan Islam lebih
berorientasi pada tuntutan maju –karena menyaksikan, dan
atau ajaran serta kondisi sebaliknya stagnasi sosial-- agar
mampu menjawab tantangan zaman.
Di Mesir, waktu itu, pembaharuan Islam tergugah oleh
kedatangan Napoleon Bonaparte. Para penguasa Mesir lalu
mengadakan reformasi dan modernisasi di pelbagai bidang.
Tokoh penguasa Mesir, seperti Ali Pasha, mulai
mengadakan reformasi dan modernisasi dalam pelbagai
bidang; seperti mendirikan Sekolah Tinggi Militer, Sekolah
Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Pertanian, dan Sekolah
Tinggi Pertambangan. Hal itu dilakukan dalam usaha agar
Mesir mampu mengejar ketertinggalan dari dunia Barat.
Namun analisis secara keseluruhan, pembaharuan
dilakukan sebagai respons terhadap kekalahan Mesir dari
Napoleon. Agar pengalaman pahit, kekalahan, tidak
terulang.
Pasha menyadari bahwa salah satu penyebab utama
kekalahan mesir dari Perancis karena persenjataan yang
tidak seimbang. Di samping, bala tentara dan teknologi
militer Perancis jauh lebih modern.
Rekonstruksi pendidikan yang dilakukan oleh Pasha dan
para penerusnya ternyata sangat labil. Konsep itu tidak
mampu bertahan terhadap pergantian dari pola pendidikan
Islam ke pola pendidikan Perancis dan Eropa (Nadvi, 1984:
143).
Kontak dengan peradaan Barat semakin berlanjut setelah
dikirimkan mahasiswa-mahasiswa Mesir untuk belajar di
Perancis. Kontak budaya antara mahasiswa Mesir yang
islami dengan perdaban Barat yang sekuler dan modernis,
melahirkan goncangan-goncangan psikologis di kalangan
mahasiswa Mesir yang berada di Perancis.
Banyak mahasiswa Mesir yang terpengaruh oleh kebiasaan
buruk budaya Barat, karenanya Ali Pasha berusaha
mengatasinya dengan jalan mengirimkan seorang ulama
besar yang bernama Rifaah Badawi al-Tahtawi ke Perancis
sebagai pembimbing rohani mahasiswa asal Mesir.
Berhadapan dengan kekuataan pengaruh Barat yang
menembus dan mencerap, kaum muslimin harus bangkit
bertindak (Gibb, 1961: 143). Pada tahap bangkit bidang
keagamaan ada dua jalan untuk melayani tantangan Barat
itu.
Pertama, mulai dari pokok-pokok dasar Islam dan
mengeluarkan pernyataan-pernyataan baru melalui ijtihad
yang kondisional, dewasa ini.
Kedua, ialah mulai dari filsafat Barat yang terpilih namun
meresahkan. Lalu, mencoba itikad Islam dengan berfilsafat
sesuai dengan konsep dasar filsafat Barat itu tadi (Gibb,
1961: 144).
Di dalam ajaran Islam, konsep-konsep perubahan,
perkembangan dan kemajuan menunjukkan gerak kembali
pada Islam murni. Seperti yang disampaikan dan
dipraktikkan oleh Nabi Saw beserta para sahabat dan
pengikut beliau (al-Tafgauhar, 1983: 66).
Salah satu aspek Islam yang penting dalam kehidupan
kontemporer, orang-orang Arab misalnya, adalah
kemunculan gerakan yang menghendaki syariat ditegakkan
kembali secara sempurna sebagai hukum yang mengatur
kehidupan sehari-hari kaum muslimin (Nasr, 1983: 149).
Perkembangan Islam di dunia modern secara keseluruhan,
dengan munculnya ide-ide pembaharuan, diakibatkan oleh
faktor intern dan faktor ekstern (seperti telah diulas pada
Bab I).
Penyebab pembaharuan secara singkat ialah: faktor intern
disebabkan ajaran Islam sebagai ajaran terbuka untuk
adanya pembaharuan (ijtihad); di samping itu, kondisi
umat Islam sendiri dalam keadaan miskin, bodoh,
terbelakang dan masalah integritas keislaman yang pudar
akibat penjajahan. Faktor ekstern adalah adanya penetrasi
peradaban Barat dalam bentuk modernisasi dan
sekularisasi, zionisme dan kristenisasi (QS. 2: 120).
Asal kelahiran
Sayid Jamaluddin Al-Afghani dilahirkkan di Desa As’ad,
Kabul tahun 1839 M, dan meningggal di Istambul pada
tanggal 9 Maret 1987 M. Ayahnya bernama Sayid Saftar,
seorang pengusaha asal Desa Kanar Afganistan, yang
mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat Kanar.
Gelar Sayid menunjukan bahwa Dia berasal dari keturunan
Nabi Muhammad Saw, yaitu keturunan Husen bin ‘Ali
Thâlib. Dia lebih dikenal dengan nama al-Afghani karena
dari daerah Afganistan.
Sayid Jamaluddin Al-Afghani lahir dan tumbuh dalam
kondisi masyarakat Islam yang penuh dengan kemiskinan,
kebodohan, dan perpecahan; kebid’ahan dan kekhurafatan
bercampur dengan ajaran Islam; serta hampir seluruh
negara Islam terjajah oleh Inggris, Perancis, Belanda dan
bangsa Barat lainnya.
Di Afganistan pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan di
antara putera-putera Raja Ahmad Syah Durani.
Sesungguhnya di pihak lain tentara Inggris di India telah
bersiap-siap melebarkan ekspansi ke Afganistan. Sehingga
Sayid Saftar beserta keluarganya hijrah ke Kabul. Di sinilah
Jamaluddin dilahirkan.
Pan Islamisme
Sayid Jamaluddin al-Afghani ialah salah seorang tokoh
pembaharuan Islam di Mesir yang memiliki watak yang
keras, dedikasi yang baik, dan memiliki rasa solidaritas
yang tinggi, dalam rangka mencapai cita-citanya yang
tinggi. Dia berjuang secara sungguh-sungguh di beberapa
negara. Dia memandang seluruh negara Islam sebagai
tanah airnya. Karena itu ia merasa tertarik untuk turut
membantu menghadapi kesulitannya. Untuk itu, dengan
melalui ceramah-ceramahnya, dia menganjurkan umat
Islam supaya berjihad melakukan perlawanan terhadap
kaum imperialis. Ide-idenya ia sebarluaskan ke seluruh
penjuru dunia, maka gerakannya itu disebut gerakan “Pan
Islamisme”.
Pan Islamisme dalam pengertian luas ialah rasa solidaritas
antara seluruh mukmin (Soaddard, 1966: 46). Solidaritas,
yang dimaksud adalah solidaritas yang diikat dengan
keyakinan. Dan ini merupakan satu-satunya alat yang dapat
dijadikan alat untuk mempersatukan umat Islam. Prinsip
solidaritas ini telah tertanam semenjak kemunculan Islam
pada masa Rasulullah Saw.
Terdapat pula dua lembaga yang digunakan oleh Pan
Islamisme sebagai media untuk membina rasa solidaritas
ialah ibadah haji dan khilafah. Ibadah haji mengandung
implikasi politik sebagai muktamar abadi umat Islam,
dimana segala urusan agama dibicarakan oleh delegasi-
delegasi Islam dari tiap penjuru dunia. Sedangkan khilafah
memainkan peranan penting dalam mengendalikan
percaturan sejarah, dimana terhimpun segala sektor
kekuatan yang dapat mewujudkan cita-cita Pan Islamisme.
Di antara tokoh Pan Islamisme adalah Sayid Muhammad al-
Sanusi dan Sayid Jamaluddin al-Afghani. Sanusi bergerak
melalui tarekat. Sedang Jamaluddin melalui jalur politik.
Tarekat ini besar pengaruhnya dikalangan umat Islam.
Usaha kaum Sanusiah diarahkan dalam urusan pendidikan
kerohanian di samping berusaha memajukan bidang
material. Mereka terkenal karena semangat dakwahnya.
Dengan penuh semangat mengajarkan “keluarbiasaan”
Islam. Dalam berpolitik mereka lebih hati-hati dan sangat
dipikirkan matang-matang, sehingga tidak pernah
mengambil resiko petualang seperti Jamaluddin Al-Afghani.
Akan tetapi gerakan ini cukup menakjubkan, karena dalam
waktu yang relatif singkat telah menjadi kekuatan yang
besar.
Berbeda dari Sanusi, Jamaluddin hanya sedikit
mempersoalkan agama, dia lebih tertarik dibidang politik.
Dia menerjunkan diri ke lapangan politik karena dia
menyadari akan bahaya imprealisme yang semakin kuat.
Perjuangannya dikhususkan untuk menentang penjajahan
dengan segala paham yang disebarkannya serta
mencarikan jalan untuk menghadapinya, di antaranya
membuka kembali pintu jihad, dari Al-Qurân dan As-Sunah;
menghindari dari perbuatan-perbuatan bid’ah dan taqlid;
menganjurkan untuk berjihad, mendorong umat Islam
untuk memerdekakan diri dari penjajahan Barat. Karena
itu, gerakan politiknya dianggap sebagai gerakan yang
sangat membahayakan bagi kelangsungan ekspansi
imprealisme Barat.
Daftar Rujukan
Abul Hasan Ali al-Nadwi, Pertarungan antara Alam Pikiran
Islam dengan Alam Pikiran Barat, Alma’arif,
Bandung, 1983.
Asmuni, Yusran, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Al-
Ikhlas, Surabaya, 1982.
Djarnawi, Hadikusumo, Aliran Pembaharuam Islam,
Persaan, Yogyakarta, Tt.
Harun, Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1982.
Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr.Harun Nasution, tentang Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek, Bulan Bintang, Jakarta,
1982.
Rahman, Fazlur, Islam, Pustaka, Bandung, 1984.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Tp, Jakarta, 1968.
2. Kemasyarakatan
Yang dimaksud dengan kemasyarakatan ini adalah
nasionalisme Islam. Nasionalisme Islam dikedepankan oleh
‘Abduh dikarenakan adanya kemunduran umat Islam
Mesir, akibat lemahnya rasa nasionalisme. Lemahya
nasionalisme akibat kebodohan mutlak atau karena salah
memahami Islam dan kehidupan ini.
Dalam menilai keadaan kehidupan masyarakat, Muhammad
‘Abduh memberikan jalan keluar, sebagai obat penyembuh
kemerosotan rasa nasionalisme itu, tidak lain hanyalah
dengan jalan pendidikan yang berdasarkan Islam.
Sebagaimana beliau mengatakan: “Jiwa bersama isme
dalam suatu umat harus diperkuat. Sebaliknya jiwa
individual dan separatisme harus dikikis habis. Jalannya
tidak lain hanyalah dengan pendidikan yang didasarkan
atas ajaran Islam. Sebagai pendidikan yang benar (Hanafi,
1980: 183). Tapi ‘Abduh tidak menghendaki apabila
pendidikan hanya pelajaran agama saja. Perlu juga
ditunjang oleh pelajaran umum lainnya.
3. Aqidah
Dalam membahas aqidah, yang menjadi sebab kelemahan
umat Islam menurut Muhammad ‘Abduh adalah dominasi
umat Islam pada paham Jabariyah. Sebagaimana
dikatakannya: “Akibat aqidah jabariah, bukan saja
seseorang dirinya merasa lemah di depan Tuhan, tetapi
juga lemah di depan orang lain” (Hanafi, 1980: 186).
Untuk mengatasi dominasi jabariah, yang akan menjadi
jalan keluar dari bahaya ini, beliau membenarkan atas
penggunaan kemampuan akal yang tinggi. Tentang
keyakinan ‘Abduh pada kemampuan akal ini, diulas oleh
Harun Nasution dalam tulisannya, sebagai berikut:
Bagi Muhammad ‘Abduh, akal mempunyai
kedudukan yang tinggi. Wahyu tak dapat
membawa pada hal-hal yang bertentangan dengan
akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal,
haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu
sesuai dengan pendapat akal. Kepercayaan pada
kepercayaan akal adalah dasar peradaban suatu
bangsa (Nasution, 1982: 65).
Daftar Rujukan
Djarnawi, Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam dari
Jamaluddin al-Afghani sampai K.H Ahmad Dahlan,
Penerbit Persatuan, Yogyakarta, Tt.
Esposito, Jhon L dan Jhon J Donohue, Islam dan
Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah,
Rajawali, Jakarta, 1984.
Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Al-Husna, Jakarta, 1980.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1982.
Grunebaum, G. E Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman,
Yayasan Perhidmatan, Jakarta, 1975.
III. Rasyid Ridha
1. Aspek Keagamaan
Fokus pembaharuan Rasyid Ridha ialah pada aspek
keagamaan, tuntunan adanya kemurnian ajaran Islam; baik
dari aqidahnya atau segi alamiahnya.
Menurut analisa Rasyid Ridha, ajaran Islam yang murni
itulah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itu
sebabnya segala macam khurafat, bid’ah dan ajaran-ajaran
yang menyeleweng dari ajaran murni harus disingkirkan
dari agama Islam. Selanjutnya, salah satu sebab yang
membawa masyarakat Eropa kepada kamajuan ialah
paham dinamisme yang terdapat di kalangan mereka. Islam
sebetulnya dinamis. Orang Islam disuruh aktif, dinamis dan
kreatif. Aktif itu terkandung dalam arti jihad. Jihad dalam
arti berusaha keras, dan sedia berkorban harta, bahkan
jiwa untuk mancapai tujuan perjuangan. Paham jihad
serupa inilah yang menyebabkan umat Islam di zaman
klasik dapat menguasai dunia (Nasution, 1975: 69).
Mengenai masalah mazhab dalam fiqhiyah, beliau sangat
menganjurkan adanya toleransi mazhab. Tetapi harus
diusahakan adanya persamaan dalam masalah -masalah
fundamental atau pokok. Artinya, masalah yang bersifat
pokok hendaklah umat Islam satu “irama”, sedangkan
masalah yang furuiyah atau cabang, terserah masing-
masing untuk menggunakan akalnya dalam berijtihad.
2. Aspek Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Rasyid Ridha menginginkan
pembaharuan kurikulum dengan penambahan
pengetahuan modern, di samping pengetahuan agama.
Lebih lengkap penjelasan ini diungkapkan oleh Harun
Nasution, sebagai berikut:
Rasyid Ridha juga merasa perlunya dilaksanakan ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu, ia
melihat perlu ditambah ke dalam kurikulum mata
pelajaran berikut: Teologi, Pendidikan Moral,
Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah Ekonomi, Ilmu Hitung,
Ilmu Kesehatan, Bahasa Asing, dan Ilmu Mengatur
Rumah Tangga (kesejahteraan keluarga), di samping
fiqh, tafsir, hadis, dan lain-lain; yang biasa diberikan
di madrasah-madrasah modern (Nasution, 1975: 69).
Masih pada aspek pendidikan, salah satu aktivitas dan
sebagai realisasi dari adanya pendidikan yang perlu
diperbaharui, ialah mendirikan satu lembaga pendidikan
formal. Lembaga itu sebuah madrasah yang modern, yang
diberi nama Madrasah al Dakwah wal Irsyad, pada tahun
1912 M di Kairo. Mula-mula beliau menginginkan pendirian
madrasah tersebut di Konstantinopel dengan bantuan
pemerintah setempat, akan tetapi gagal.
Karena dukungan yang didapatkan minim, hampir saja
rencana gagal. Walaupun demikian, madrasah tersebut
akhirnya dapat juga terwujud di Kairo. Tujuan pendirian
madrasah tersebut adalah untuk memenuhi keluhan-
keluhan umat Islam dunia, di antaranya dari Indonesia,
tentang aktivitas missionaris Kristen yang mendirikan
sekolah-sekolah bernuansa keagamaan.
Adapun para lulusan dari madrasah yang didirikan Rasyid
Ridha tersebut nantinya dikirim ke negeri-negeri Islam.
Akan tetapi umur madrasah ini tidak terlalu panjang, sebab
ada beberapa faktor yang menghambat.
Bagaimanapun realitas perjuangan Muhammad Rasyid
Ridha, tokoh ini berhasil membentuk suatu komunitas
besar –big community— antar umat Islam antar negara di
hamparan persada dunia ini (Grunebaum, 1975: 394) dan
dalam arti yang lebih luas Rasyid Ridha merupakan salah
seorang pencetus pembaharuan yang idenya
mempengaruhi kepada berbagai reformasi di negara-
negara yang berpenduduk Islam. Salah satunya reformasi
Magribi.
Daftar Rujukan
Asmuni, Isran, Aliran Modern dalam Islam, Al-Ikhlas
Surabaya, 1982.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keagamaan, Yayasan
Perhidmatan, Jakarta, 1975.
IV. Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi
Daftar Rujukan
Daftar Rujukan
Gauhar, Altaf, Tantangan Islam, Pustaka, Bandung, 1985.
Smith, Donald E., Religion and Political Development, Litte
Brown and Company, Boston, 1970.
Esposito, John L., Dinamika Kebangunan Islam, Rajawali,
Jakarta, 1984.
Esposito, John L. dan John J. Donohue, Islam dan
Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah,
Rajawali, Jakarta, 1984.
Nadvi, Syed ‘Abdul Haq, Dinamika Islam, Risalah, Bandung,
1982.
Grunebaum, G.E. Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman,
Yayasan Perhidmatan, Jakarta, 1975.
VI. Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab
Daftar Rujukan
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Esposito, John L., Islam dan Perubahan Sosial Politik di
Negara sedang Berkembang, PLP2M, Jakarta, 1985.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,
1975.
Nadvi, Syed ‘Abdul Haq, Dinamika Islam, Risalah, Bandung,
1982.
Bab IV
Pembaharuan Islam di Turki
Pendahuluan
1. Tanzimat
Istilah tanzimat ini berasal dari bahasa Arab, dari kalimat
“tanzim” yang berarti pengaturan. Secara terminologi
tanzimat dimaksudkan sebagai suatu usaha pembaharuan
yang mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur
organisasi pemerintah, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Secara khusus untuk menyebut pergerakan pembaharuan
khas yang muncul di Turki, terjadi antara tahun 1839
sampai dengan tahun 1971 (Asmuni, 1982: 18).
Tokoh-tokoh tanzimat antara lain ialah Mahmed Sadik
Rif’at Pasya, Mustafa Sami Pasya, Mustafa Rasyid Pasya, Ali
Pasya dan Fu’ad Pasya. Pada tulisan kali ini akan dijelaskan
secara singkat latar belakang pengalaman hidup, peranan
dan aktivitas upaya pembaharuan tokoh itu.
Rasyid Pasya
Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858) berpendidikan
Madrasah. Kemudian menjadi pegawai pemerintah. Tahun
1834 diangkat menjadi Duta Besar di Perancis. Setelah itu,
ia dipanggil pulang oleh negara menjadi Menteri Luar
Negeri. Akhir karirnya ia diangkat menjadi Perdana
Menteri (Asmuni, 1982: 20).
Usaha pembaharuan yang Rasyid lakukan, yang terpenting
adalah Hat-I-Sherif (1839). Yaitu sentralisasi pemerintahan,
modernisasi angkatan bersenjata (militer), dan
pembenahan ketentuan pajak (Nasution, 1979: 103). Ide
pembaharuan Rasyid diperkuat oleh tokoh berikutnya
(setelah dia), Ali Pasya dalam hatt-I-humayun pada tahun
1856.
Ali Pasya
Ali Pasya (1815-1871), dilahirkan di Istambul. Ia anak
seorang pelayan toko. Pada usia 14 tahun Ali Pasya sudah
diangkat menjadi pegawai. Tahun 1841 diangkat menjadi
Duta Besar di London. Tahun 1845 menjadi menteri luar
negeri Turki, dan pada tahun 1852 ia dipilih menjadi
perdana menteri.
Hatt-I-humayun (piagam humayun) adalah ide
pembaharuan Ali Pasya. Piagam Humayun, memuat pokok-
pokok tentang pengakuan terhadap semua aliran spiritual
yang ada pada masa itu. Meliputi: jaminan melaksanakan
ibadahnya masing-masing, larangan memfitnah karena
agama, suku dan bangsa; jaminan kesempatan belajar,
sistem peradilan dan lain-lain. (Asmuni, 182: 20).
Seperti halnya Sadik Rif’at dan Rasyid, dua tokoh
sebelumnya, tokoh Ali Pasya juga banyak dipengaruhi oleh
ide-ide yang muncul dari Revolusi Perancis. Terutama ide
tentang perlu diwujudkannya suasana damai dalam
hubungan internasional, keamanan dalam negeri, dan sikap
toleransi dalam kehidupan berbangsa.
Kendatipun tidak menutup kemungkinan sikap toleransi
tersebut berdasarkan Islam (awalnya), namun dengan
melihat latar belakang pengalamannya yang banyak
dipengaruhi kebudayaan Barat, Piagam Humayun kurang
menguntungkan bagi perkembangann Islam masa itu.
Adanya jaminan persamaan antara dua aliran yang berbeda
paham dan keyakinan, berarti tidak adanya usaha untuk
mengubah satu aliran menuju kesatuan dan atau
kesempurnaan (seperti alirannya).
Pada umumnya gerakan-gerakan yang diusahakan oleh
Tanzimat, untuk mewujudkan pembaharuan Islam berhasil
pada penciptaan kemajuan Kerajaan Usmani. Pola
pembaharuan Tanzimat didasarkan pada pemikiran
liberalisme Barat. Inilah salah satu penyebab yang utama
gagalnya gerakan pembaharuan Tanzimat menurut Y.
Asmuni (1982: 21).
2. Usmani Muda
Usmani Muda penerus gerakan Tanzimat. Karena, usaha
pembaharuan Tanzimat belum mendapat hasil yang
diharapkan. Upaya Tanzimat dapat dikatakan mengalami
kegagalan, menurut kritikan dari para cendikiawan
(Asmuni, 1982: 21).
Kegagalan Tanzimat terutama dalam mengganti konstitusi
yang absolut. Kegagalan itu merupakan cambuk untuk
usaha-usaha selanjutnya. Akhirnya, timbullah gerakan dari
para cendikiawan, khususnya mengusahakan perubahan
konstitusi yang absolut kepada konstitusional. Gerakan ini
dinamai Usmani Muda (Nasution, 1979: 103).
Tokoh-tokoh gerakan Usmani Muda, sebenarnya banyak,
namun di antara pemuka-pemuka Usmani Muda yang
populer di antaranya ialah Midat Pasya dan Namik Kemal.
Perjuangan Usamni Muda diawali dari peristiwa heboh.
Para tokoh mengalami perjuangan yang hebat dan berat
dengan pemuka-pemuka kerajaan. Mereka bentrok. Pada
tanggal 23 Desember 1876, tercapailah persetujuan
tentang konstitusi sebagai Undang-undang Dasar yang baru
bagi Turki. Tetapi isinya belum sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh Usmani Muda. Masih semi otokrasi
(Asmuni, 1982: 23).
Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun konstitusi
yang baru ini masih semi otokrasi, tetap saja dilanggar juga
oleh Sultan ‘Abdul Hamid II. Pelanggaran terhadap
konstitusi itu antara lain yang sangat pokok. Hamid II
membubarkan parlemen, para pemuka-pemukanya
ditangkap. Dengan demikian, berakhirlah riwayat dan
perjuangan Usmani Muda.
Midat Pasya
Midat Pasya memiliki nama lengkap Hafidh Ahmad Syafiq
Midat Pasya (1822-1884). Lahir di Istambul. Pendidikan
agama diperloeh dari ayahnya sendiri. Pada usia 10 tahun,
ia telah hafal al-Qurân. Itu sebabnya, ia digelari Hafidh.
Pendidikan formal ia dapatkan dari dua perguruan tinggi,
pada Universitas al-Hafidh dan Universitas al-Fatih. Tapi,
selain itu ia belajar sendiri yang merupakan kegemarannya.
Jabatan-jabatan penting yang pernah dipegangnya antara
lain ialah gubernur di Balkan dan Baghdad. Kemudian
menjadi menteri kehakiman (1872) dan menjadi perdana
menteri (Nasution, 1979: 112).
Sebagai tokoh Usmani Muda, oleh kawan-kawnanya
seperjuangannya, ia dipercaya untuk memegang
pemerintahan dan sekaligus memperjuangkan cita-cita
organisasinya. Tugas ini sekaligus memperjuangkan cita-
cita organisasi, dilaksanakannya dengan penuh rasa
tanggung jawab, walaupun dirinya sendiri dan keluarganya
menjadi “tumbal” perjuangan.
Tatkala pecah Perang Rusia, Sultan ‘Abdul Hamid II
membubarkan parlemen dengan alasan darurat perang.
Hamid II menangkap Midat Pasya dan pemimpin-pemimpin
Usmani Muda lainnya. Lalu membuang mereka ke luar
negeri.
Kegagalan Usmani Muda, yaitu dalam mewujudkan
pemerintah konstitusional. Kegagalannya terutama
disebabkan dalam konstitusi 1876 terdapat pasal-pasal
yang memberi kekuatan kepada sultan (menguntungkan
suktan) untuk membubarkan parlemen, memberhentikan
menteri-menteri, mengumumkan perang, mengumumkan
keadaan darurat, dan menangkap serta mengasingkan
orang-orang yang dianggapnya membahayakan bagi
keamanan negara. Atas dasar pasal-pasal itulah Sultan
‘Abdul Hamid II menangkap Midat Pasya pada tahun 1877,
lalu membubarkan parlemen pada tahun 1878 (Nasution,
1979:104).
Pola gerakan Usmani Muda, khususnya dalam perjuangan
membentuk parlemen di tengah-tengah kekuasaan tangan
besi seorang Sultan, terlihat adanya perbedaan paham yang
sangat prinsipil. Satu sisi paham Midat Pasya yang sesuai
dengan kehendak rakyat pada umumnya, didasari dengan
syariat agama dan bertujuan untuk menegakkan kemajuan
bangsa ditengah-tengah dunia modern; tapi di sisi lain
Sultan ‘Abdul Hamid II yang absolut dalam memerintahnya
bertujuan mencari aman, status quo, dan keuntungan
pribadi dengan dalih untuk keamanan negaranya.
Namik Kemal
Namik Kemal (1840-1888) lahir di Rhobosto pada tahun
1840. Ia berasal dari keluarga mampu secara ekonomi.
Kemal belajar di rumahnya berbagai ragam bahasa asing,
seperti bahasa Arab, Persi dan Prancis. Pada usia 17 tahun
telah memegang suatu jabatan pemerintahan (Al-Nadwi, tt.:
45).
Ia dibuang ke Eropa. Selama dalam pembuangan (1865-
1871) ia banyak membaca karangan-karangan Montesque,
Rousseau dan ahli-ahli pikir Perancis lainnya.
Dari hasil racikan pemikirannya, ia berpendapat bahwa
pemerintah harus didasarkan atas persetujuan rakyat.
Dalam arti, rakyatlah yang mempunyai kedaulatan. Paham
kedaulatan ada dalam Islam dan terkandung dalam sistem
bay’ah (penyertaan setiap rakyat kepada khalifah yang
baru diangkat). Kekuasaan legislatif harus dipisahkan dari
kekuasaan eksekutif. Prinsip syura’ (musyawarah) dalam
Islam menggambarkan pemisahan yang dimaksud.
Pemerintahan konstitusional juga terdapat dalam Islam,
karena kekuasaan khalifah atau sultan, sebenarnya dibatasi
oleh syari’ah. Kemal menganjurkan supaya didirikan tiga
lembaga, yaitu Dewan Negara yang bertugas merancang
undang-undang, Dewan Nasional untuk membuat undang-
undang dan Senat yang bertugas menjadi pengantara antar
badan legislatif dan badan eksekutif (Nasution, 1979: 103).
Pemikiran pembaharuan seperti itu, menurut Kemal
memiliki kepentingan pragmatis mengadakan konstitusi
untuk Kerajaan Usmani. Sebagai respons terhadap piagam-
piagam yang dihasilkan pemikir Sadik Rif’at sebelumnya,
yang belum merupakan konstitusi.
Dalam perjuangannya, Namik Kemal mengibarkan panji-
panji ajaran Islam, mempertahankan nilai-nilai dan
keutamaan serta jasa-jasa Islam; sebagai jawaban terhadap
orang-orang yang meremehkan Islam. Namik juga
mengecam pemikir-pemikir sebelumnya yang mencap
Turki sebagai negara sekuler yang atheistis ala Barat.
Bagi internal Turki, ia mengajak bangsa dan negaranya agar
mengambil manfaat dari Barat itu, ialah pada bidang-
bidang tertentu yang menyebabkan kejayaan dan
keunggulan bangsa Barat. Yakni yang merupakan sebab
langsung ketinggian peradaban Barat di mata dunia.
Ia menganjurkan ide persatuan Islam seluruh dunia,
dengan Turki Usmani sebagai pimpiannya. Karena menurut
keyakinannya jika gerakan ini tersebar di Asia dan Afrika,
dan mendapat dukungan luas, pastilah akan menjadi suatu
perpaduan yang tangguh dalam menghadapi persatuan
Barat. Dengan demikian, terjadilah keseimbangan kekuatan
di atas dunia: antara Barat dan Timur.
Dalam bidang keagamaan, ia mengemukakan bentuk-
bentuk ideal bagi teori-teori keagamaan, akhlak dan
perundang-undangan yang bersumber pada Islam. Ia yakin
bahwa Islam telah menyiapkan pokok-pokok akhlak dan
perundang-undangan bagi masyarakat. Oleh karena itu ia
adalah seorang tokoh yang ikhlas dan bersemangat tinggi
dalam memperjuangkan kemajuan dunia Islam. Usaha
Namik Kemal itu digambarkan oleh Bernard Lewis sebagai
berikut:
Namik Kemal adalah seorang muslim yang baik dan
berani disertai dengan pikiran dan semangat
kebangsaannya … sepanjang hayatnya ia selalu
terikat erat dan secara ikhlas dengan nilai-nilai
keislaman dan kepercayaan–kepercayaan yang
mereka pusakai (al-Nadwi, tt.: 46).
Daftar Rujukan
Al-Nadwi, Abul Hasan, Assira bainal Fikratul Islamiyah wa
Fikratul Garbiyah, terjemahan Mahyuddin Dyaf, Al-
Ma’arif, Bandung, 1970.
Asmuni, Yusran, Aliran Modern dalam Islam, al-Ikhlas,
Surbaya, 1983.
Jameelah, Maryam, Islam dan Modernisme, Alih Bahasa A.
Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Usaha Nasional,
Surabaya, 1982.
Munawir, Imam, Kebangkitan Islam dari Masa ke Masa,
Pustaka Progressif, Surabaya, 1980.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Tp., Jakarta, 1966.
Ward, Barbara, Lima Pokok Pikiran yang Mengubah Dunia,
Pustaka Jaya, Jakarta, 1983.
Mustafa Kemal Attaturk
Pendahuluan
Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) adalah prajurit Turki
yang ternama. Ia seorang modernis dan negarawan yang
besar. Beliau pendiri negara Republik Turki pada tahun
1923, sekaligus menjadi presiden pertamanya. Dia berhasil
dalam memperjuangkan kemerdekaan Turki menentang
kekuatan aliansi (Inggris, Perancis dan Rusia), padahal
Turki baru bangkit dari kekalahan dalam Perang Dunia
Pertama (1914). Azkarmin Zaini menerangkan
ketangguhan Turki sebagai berikut:
Ketika bala tentara kesultanan Ottoman terpaksa
menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia
pertama, seorang perwira tentara Ottoman bernama
Mustafa Kemal bertekad untuk menyelamatkan
bangsanya dari cengkraman penjajah, … karena itu,
Mustafa Kemal memimpin pasukannya berjuang
mati-matian menghalau penjajah, seraya
mengorbankan patriotisme rakyat Turki untuk
bangkit kembali merebut kemerdekaan (Zaini, 1984:
1).
Dalam buku The New Encyclopedia Britanica disebutkan
bahwa Mustafa Kemal Attaturk dilahirkan pada tahun 1881
di Salonica. Ayahnya Ali Reza adalah pegawai rendah dalam
pemerintahan Turki. Ibunya bernama Zubaida Hanim
(Benton, 1974: 255).
Pada usia 12 tahun, Mustafa Attaturk memasuki Sekolah
Persiapan Militer di Salonica. Seorang gurunya
menambahkan namanya dengan “Kemal,” karena
kecerdasannya dalam bidang ilmu matematika (Gibb, 1960:
734). Pada tahun 1899 Mustafa Kemal masuk ke
akademinya dan mengambil bagian kelembaga staf umum
dengan pangkat kapten. Lalu ia ditugaskan di Batalion
Kavaleri di Damaskus.
1. Weternisasi
Menurut Sidi Gazalba, westernisasi ialah suatu sikap
pembaratan yang mencakup aspek kebudayaan,
pandangan, sikap hidup, cita-cita, dan lain sebagainya
(Gazalba, 1973: 20).
Pada pertengahan abad ke-19 M, dunia Islam mengahadapi
suatu masalah yang amat pelik dan berbahaya. Masalah
tersebut berkenaan dengan munculnya peradaban Barat,
yang dimotivasi dengan semangat hidup dan aktivitas
modern. Konsekuensinya, pada tahun 1925 pemakaian
tarbus (peci, kopiah tinggi, dan atau kerudung) dilarang
oleh pemerintah Turki. Sebagai gantinya dianjurkan
memakai topi barat. Pakaian keagamaan juga dilarang dan
diharuskan mengenakan pakaian ala Barat. Hal itu
diperjelas oleh ungkapan yang ditulis oleh Azkarim Zaini:
Tarbus, kupiah tinggi khas Turki, tidak boleh dipakai
karena dianggap sebagai lambang keterbelakangan.
Attaturk sendiri memberi contoh cara berpakaian
gaya Barat: setelan jas dan dasi (Zaini, 1984: 5).
‘Abdul Hasan Ali al-Husain memberikan komentar, tentang
proses werternisasi di Turki, bahwa dengan adanya
westernisasi bagi Mustafa Kemal bertujuan agar dalam
waktu relatif singkat bangsa Turki dapat berubah coraknya
jadi bangsa Barat. Berasimilasi penuh dengan mereka,
hingga percis sama. Tak ada sedikitpun perbedaan lagi (al-
Nadwi, 1970: 54).
2. Sekularisasi
Semenjak menjadi orang yang paling berkuasa di Turki,
Mustafa Kemal melancarkan pembaharuan atas dasar
sekularisasi. Menjadi Barat sebagai model modernisasi.
Oleh karena itu, sekularisasi menjadi prinsif negara di
samping nasionalisme Republik Turki. Turki, lengkap jadi
sekuler yang memisahkan urusan agama dengan non
agama. Tidak ada keterkaitan antara keduanya. Padahal
perbandingan pemeluk agama Islam mencapai jumlah 99%
dari penduduk Turki.
3. Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh
sejumlah besar manusia perorangan (Turki). Mereka
membentuk suatu kebangsaan (Turki). Singkat kata,
nasionaslisme adalah rasa kebersamaan segolongan (a
sense of belongin together), sebagai suatu “bangsa.”
Burhanuddin (1983: 43) menyatakan bahwa nasionalisme
yaitu rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan dan
kelestarian bangsa.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka wajarlah Mustafa
Kemal Attaturk dan teman-temannya mempunyai dan
menerapkan semangat nasionalisme terhadap bangsanya,
demi untuk membebaskan Turki dari cengkraman bangsa
penjajah.
Ide nasionalisme hanya terbatas pada daerah berdasarkan
geografisnya saja. Bukan dalam arti nasionalisme secara
luas. Hal ini dipertegas lagi dalam Piagam Nasional tahun
1920, bahwa Turki melepaskan diri dari tuntutan teritorial
daerah yang dahulu di bawah kekuasaan Usmani. Kecuali
daerah yang di dalamnya terdapat mayoritas bangsa Turki
(Nasution, 1979: 152).
Aspek pemerintahan
Setelah kemenangan golongan nasionalis dalam pemilihan,
mereka menginginkan kedaulatan di tangan rakyat, dan
menghendaki negara berbentuk republik (sesuai dengan
konstitusi 1921).
Pada tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasionalis Agung
memutuskan penghapusan jabatan khalifah. Oleh karena
itu, ‘Abdul Madjid diperintahkan untuk meninggalkan
Turki. Madjid akhirnya pergi ke Swiss. Tetapi kejadian ini
mendapat reaksi keras dari bangsa Turki. Sebab jabatan
khalifah masih dipandang tinggi dalam Islam. Bahkan
reaksi dunia Islam pun sangat keras atas tindakan tersebut.
Karena pada waktu itu kekhalifahan menjadi simbol
persatuan Islam (Munir, 1915: 20).
Aspek hukum
Dalam upaya pembentukan hukum yang baru ini, hukum
syari’at (Islam) dan adat-istiadat setempat ditinggalkan.
Sebagai modelnya, dipilih dengan gantinya hukum baru.
Hukum baru itu berupa hukum tatanegara ala Barat (tahun
1924). Mustafa Kemal Attaturk memerintahkan untuk
mengoperasikan hukum dagang dari Jerman, hukum sipil
dari Swiss dan hukum pidana dari Italia. Kaum wanita yang
kedudukannya terpencil dari pergaulan masyarakat,
menjadi warga masyarakat yang sama kedudukannya
dalam pemerintahan. Kerudung dihapuskan. Kondisi ini
dilukiskan oleh Azkarmin Zaini (1984: v), sebagai berikut:
Attaturk menyuruh kaum wanita mencopot
kerudung dan cadar yang menyembunyikan wajah
mereka. Kaum wanita disemangati untuk
menegakkan kepala, melihat dunia dengan mata
talanjang, dan diberi hak-hak yang sama dengan
pria.
Aspek pendidikan dan kebudayaan
Pada tahun 1924 undang-undang pendidikan menyebutkan
bahwa seluruh sekolah di bawah pengawasan kementrian
pendidikan. Itu sebabnya sistem pendidikan tradisional
(lama) yang pada waktu itu dipraktikkan pada kurang lebih
30.000 surau, dan berorientasi kepada kepentingan agama
dihapuskan. Pengganti sistem baru ialah orientasi sistem
barat (Suwirjadi, 1952: 98).
Aspek pembaharuan dalam bidang kebudayaan, Mustafa
Kemal mengharuskan bangsa Turki memakai pakaian barat
tarbus. Tarbus ialah peci atau kopiah khas Turki yang
sebenarnya berasal dari Yunani, diganti dengan topi (model
Barat). Musik klasik Eropa pun ala Bethoven terus
dipopulerkan di Turki, untuk menggantikan musik Islam
yang dinilai tradisional (Benton, 1984: 255).
Daftar Rujukan
Zaini, Azkarmin, “Attaturk, Sekularisme dan al-Aqsa”, dalam
Kompas, Selasa 29 Mei 1984.
Benton, William, Encycopedia Britanica, Vol. II, Chicago-
London, 1974.
Gibb, Mantan, Kremers, The Encyclopedia of Islam, Vol. I.
London, 196.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Swirjadi, Pembina Turki Muda Mustafa Kemal, Penerbit
Jembatan, Jakarta, 1952.
Lewis, Bernard, The Emergence of Turkey, Oxford
University, London, 1957.
Gazalba, Sidi, Modernisasi Dalam persoalan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1973.
Al-Nadwi, Abul Hasan, Assira bainal Fikratul Islamiyah wa
Fikratul Garbiyah, terjemahan Mahyuddin Dyaf, Al-
Ma’arif, Bandung, 1970.
Burhanuddin, “Peranan Pendidikan dalam Menunjang
Ketahanan Nasional Indonesia”, dalam Media
Pembinaan, Nomor 7, Bandung, 1983.
Muir, W., The Caliphate, its Rise, Decline and Fall, Edinburg,
London, 1915.