Anda di halaman 1dari 101

Bab I

Islam, Modernisasi dan Sekularisasi

Islam adalah agama universal, yang bermakna luas.


Universalitas Islam, ditinjau dari segi ajaran, artinya Islam
mempunyai ajaran yang berlandaskan pada prinsip-prinsip
tertentu yang meliputi kurun waktu —dulu, kini dan nanti--
- dan ruang lingkup persoalan, mencakup manusia dan
kemanusiaan. Prinsip-prinsip ajaran Islam mempunyai
kesesuaian dengan kondisi fitrah manusia.
Universalitas sisi objeknya (peruntukkannya), ajaran Islam
ditujukan untuk segala bangsa. Artinya, Islam
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia; apakah ia
berkulit hitam, putih pun coklat. Tidak terikat oleh
lingkungan etnis atau kebangsaan apapun. Islam juga
diperuntukkan bagi umat manusia di mana saja mereka
berada. Dan dalam kondisi apapun. Ringkasnya, Islam
dipersiapkan dengan perangkat ajaran yang universal dan
abadi, yang bersumber pada kitab suci al-Qurân.
Al-Qurân adalah sumber hukum yang mengatur kehidupan
manusia sehari-hari. Kitab suci orang Islam itu menjadi
sumber pengetahuan bagi manusia. Al-Qurân memberi
petunjuk pola jalinan kehidupan hubungan alamiah dan
sosial manusia (Nasr, 1981: 38).
Dalam babak perkembangan kehidupan sosial manusia,
umat Islam mengalami (yang disebut oleh para ahli) masa
modern. Klaim modern karena ada proses praktik-praktik
yang lain daripada pengalaman sebelumnya. Modernisasi
itu mencuat karena beberap penyebab dan konteks sejarah
yang melingkupinya. Untuk pembahasan masalah itu akan
dijelaskan secara singkat.
Cakupan pengertian modernisasi dapat mengenai berbagai
hal. Tidak saja cakupannya mengenai perubahan, juga
meliputi efisiensi hubungan sosial antara manusia dan
lingkungan.
Pembentukan istilah “modernisasi” berasal dari kata
“modo” artinya baru saja, atau berarti juga terbaru, atau
(se)cara baru, mutakhir. Dalam bahasa Inggris kata modern
bermakna “of the present or recent time” berarti juga
“pertaining to recent of present time,” yang artinya
berkenaan dengan masa kini atau saat ini. Sebagai kata
benda, modernisasi berarti “a person or thinks of modern
times and thought” (manusia atau segala sesuatu pada
zaman dan pemikiran modern). Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, modernisasi diartikan “model baru”.
Modernisasi pada proses selanjutnya ternyata berimplikasi
pada berbagai dampak negatif, misalkan pada keberadaan
agama. Peter Berger (1982) menyebutkan, bahwa proses
modernisasi ternyata tidak membawa hasil yang diidam-
idamkan, malah banyak menimbulkan masalah baru. Akibat
yang paling buruk adalah proses menyusutnya kebudayaan
(cultural lose) yang berlangsung di mana-mana. Dengan
demikian, modernisasi berdampak pada semakin banyak
orang yang kehilangan makna terhadap pegangan
hidupnya. Arnold Toynbee dalam hubungannya dengan
modernisasi, menuliskan bahwa ada konsep radiasi
budaya, yaitu tentang bagaimana suatu sistem kebudayaan
masuk ke sistem kebudayaan lain. Lebih jelasnya proses
radiasi budaya itu ialah sebagai berikut:
Pertama, aspek budaya selalu masuk tidak secara
kelompok, melainkan secara individual. Kedua, kekuatan
menembus dari suatu aspek budaya berdinding terbalik
dengan nilai budayanya. Makin dalam suatu budaya, akan
semakin tinggi pula nilai budaya, dan makin sulit diterima.
Ketiga, suatu aspek budaya akan menarik aspek lain.
Keempat, aspek budaya yang ada di tanah asalnya semula
dianggap tidak berbahaya, bisa menjadi bahaya di
masyarakat yang didatangi (menerima kemudian).
Tetapi pada sisi lain modernisasi mempunyai manfaat,
karena mengambil pendekatan sistemik terhadap
perubahan sosial, menekankan kesalingtergantungan
lembaga-lembaga. Modernisasi juga menguatkan perhatian
pada fakta bahwa perubahan yang prinsip, sesungguhnya
terjadi di seluruh dunia.
Dunia modern dengan teknologi dan sains yang semakin
berkembang, mempunyai imbas positif, membuat
hubungan antar manusia semakin mudah dan pertukaran
kebudayaan menjadi semakin cepat dan kompleks.
Perkembangan komunikasi membuat ruang semakin
sempit dan mudah terjangkau. Hubungan internasional
dengan berbagai dimensinya, semakin cepat dan efeknya
segera terasa dalam kurun waktu yang cepat dan singkat
pula.
Dampak modernisasi dengan perubahan sosialnya itu
memerlukan kajian yang cermat dan sungguh-sungguh,
bagaimana dan seberapa jauh akibatnya terhadap
eksistensi agama. Ellisrivkin membuat tesis bahwa,
“Perkembangan agama Yahudi menjamin generalisasi,
bahwa tidak ada ajaran yang berlangsung utuh dalam
‘dunia’ perubahan, perkembangan dan pertumbuhan.”
Untuk pengkajian, tentu tesis itu perlu mendapat perhatian
dari pandangan islami, bila ditarik pada tataran ajaran yang
universal dan abadi.
Dari kedua sisi yang ada –positif dan negatif-- timbul
masalah baru, yakni keadaan bangsa-bangsa Barat
sekarang ini yang mencapai kemajuan telah melewati
proses sekularisasi. Seolah jalan yang mesti ditempuh oleh
bangsa-bangsa lainnya, yang mendambakan kemajuan, juga
harus melalui sekularisasi, sebagai suatu ciri terpenting
dari modernisasi, masih harus dipertanyakan.
Modernisasi hakikatnya ialah pemberontakan radikal
dalam melawan agama dan nilai-nilai spiritual yang
terkandung di dalamnya. Pemberontakan itu muncul dalam
bentuk serta tingkatan yang berbeda-beda: Komunisme,
Sosialisme, Positivisme, Fasisme, Naziisme, Zionisme,
Kamalisme dan Nasionalisme Arab.
Tahapan sekularisasi untuk mencapai kemajuan,
didasarkan pada asumsi umum bahwa dengan mekarnya
modernisasi dan perkembangan politik, ketertarikan orang
modern terhadap agama akan memudar.
Sementara itu, Sekularisme dibagi ke dalam dua jenis, yaitu
sekularisme moderat dan sekularisme radikal. Sekularisme
moderat melihat agama sebagai urusan pribadi yang
berkaitan dengan masalah-masalah rohani manusia dan
karena itu tidak boleh mencampuri urusan publik yang
bersifat politis dan menyangkut dunia material. Sedangkan
sekularisme radikal memusuhi agama yang dianggap
sebagai perintang kemajuan. Pandangan tentang
sekularisasi itu dapat diteringai dari pendapat Talcott
Person yang menyatakan sekularisasi sebagai suatu
revolutionary universal dan Donald E. Smith yang
menyatakan bahwa sekularisasi menyangkut pemisahan
kegiatan politik dan masyarakat politik dari agama. Smith
menunjukkan ciri-ciri sekularisasi, sebagai berikut:
1. separasi/pemisahan politik dari ideologi-ideologi
agama dan struktur ekleksiatikal atau struktur
gerejani;
2. ekspansi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi
pengaturan dalam bidang sosio-ekonomi, yang
semula dijalankan (didominasi) oleh agama atau
gereja;
3. transvaluasi kultur politik yang menggarisbawahi
pentingnya nilai-nilai rasional, pragmatikal, dan non
transendental.
Dalam konteks dunia modern yang dihadapi umat Islam
bukan hanya konsep modernisasi dan sekularisasi yang
selama ini dianggap produk peradaban Barat, tetapi juga
filsafat hidup lainnya. Salah satunya yang merujuk pada ide
Karl Marx, yaitu Komunisme. Suatu kenyataan yang
mengherankan, belakangan ini kita melihat ada negara
yang berpenduduk muslim, justru memilih Sosialisme
Marxis sebagai alternatif dasar negara. Bukannya Islam.
Sidney Hook menjelaskan bahwa banyak pengikut di masa
modern ini yang setia pada Marxisme. Demikian beliau
menulis pada karya pertamanya. Marxisme adalah teori
yang monistik, lanjut Hook, yang memegang kunci
penjelasan mengenai segala sesuatu yang penting dalam
organisasi masyarakat; dan mengenai segala sesuatu yang
mungkin terjadi dalam sejarah. Orang yang dibingungkan
oleh berbagai peristiwa sejarah terbantu oleh penemuan
doktrin yang memegang kunci sejarah. Dalam sekian
bentuk teori-teorinya, terkandung suatu ekspresi harapan
mereka (kaum marxis) yang percaya pada kebebasan.
Konsep Marx percaya sepenuhnya pada teori Materialisme
Historis yang menyatakan bahwa sekalipun segala sesuatu
dalam masyarakat saling berhubungan dan berbagai hal
saling pengaruh-mempengaruhi, kunci atau basis
(prundage) sesuatu masyarakat adalah cara memproduksi
ekonomi. Semua sejarah, hakikatnya adalah sejarah
perjuangan antara kelas-kelas ekonomi. Selanjutnya kaum
marxis melandaskan pandangannya pada teori nilai lebih,
yaitu bahwa nilai setiap objek ditentukan oleh jumlah
kekuatan buruh yang dibutuhkan masyarakat.
Perlu digarisbawahi pensikapan terhadap Marxisme,
ternyata betapa kita perlu waspada terhadapnya. Terutama
pada teori Komunisme yang menyatakan bahwa
“Penyelamatan umat manusia tergantung pada
kediktatoran proletar; kediktatoran tergantung pada
kediktatoran partai; dan kediktatoran partai tergantung
pada kediktatoran politik biro”.
Bila kita melihat permasalahan-permasalahan di atas, akan
muncul kesan bahwa timbulnya gerakan modern dalam
Islam adalah sebagai reaksi terhadap perembesan dan
penetrasi peradaban Barat, terutama pada filsafat
Marxisme.
Masalah pembaharuan dalam Islam sebenarnya telah
dimulai jauh sebelum munculnya ide-ide Barat.
Pembaharuan Islam sesungguhnya telah dimulai oleh
mujtahid-mujtahid muslim yang besar serta genius seperti
Ibnu Taymiyah dan al- Ghazali. Untuk membuktikan hal ini,
kita perlu menelusuri tapak-tapak sejarah yang telah
terjadi.
Sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa, melainkan tafsiran
terhadap peristiwa-peristiwa itu. Pengertian mengenai
hubungan nyata dan tidak nyata, menjalin seluruh bagian,
serta memberinya dinamisme dalam waktu yang tepat ialah
sejarah secara teori.
Sejarah Islam pada abad kesembilan belas dan dua puluh
Masehi ialah dimulainya babak hidup “baru” dan usaha
untuk menyesuaikan diri dibawah dua dorongan: yaitu
tantangan dari dalam dan tekanan (bahaya) dari luar.
Tantangan dari dalam ialah kebutuhan untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang signifikan. Umat Islam, saat itu
sedang dalam kemunduran, keterbelakangan, kebodohan,
kemiskinan dan lain sebagainya. Berbagai permasalahan
perlu dianalisa dengan cermat dalam memahami
bagaimana dan seberapa jauh usaha-usaha umat Islam,
baik perseorangan maupun kelompok, terorganisasi
ataupun tidak, dalam mempertahankan eksistensi Islam, di
panggung sejarah.
Sedangkan tekanan yang datang dari luar, artinya
menunjuk pada berbagai tantangan yang merembes ke
dalam pemikiran dan ke dalam dunia kaum muslimin, baik
dari filsafat Barat maupun itu dari Timur yang dengan gigih
berusaha merintangi eksistensi Islam sebagai agama.
Lebih jelas, faktor-faktor baik internal maupun eksternal,
yang mendorong timbulnya gerakan modernisasi –
pembaharuan— Islam antara lain:
1. Faktor intern, yaitu faktor yang timbul dari kalangan
umat Islam sendiri, yaitu:
a. timbulnya kesadaran untuk meningkatkan
kembali kesadaran dan semangat, pada hal-
hal berikut:
1). Jihad fisabilillah, agar semangat juang
untuk menegakkan dan memperthankan
Islam tetap bergelora dalam dada umat
Islam;
2) Ijtihad, agar hukum-hukum atau kaidah
keislaman yang beku dan kaku, dapat
berkembang; dan atau dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman; tanpa meninggalkan
sifat agama Islam yang universal;
3) Fanatik; agar umat Islam tetap berpegang
teguh dan berkeyakinan kuat akan kebenaran
kaidah-kaidah Islam; sehingga mereka tidak
akan mudah luntur iman dan kepribadiannya
sebagai seorang mukmin dan muslim; tidak
terbawa oleh arus dan gelombang paham dan
ajaran-ajaran yang menyesatkan, yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
b. adanya kesadaran para tokoh dan pemimpin
Islam, bahwa kaum muslimin ketinggalan
dari dunia Barat (Kristen), dalam bidang
politik militer, sosial ekonomi, teknik dan
ilmu pengetahuan modern lainnya; sehingga
timbul usaha-usaha untuk mengejar
ketinggalan tersebut.
2. Faktor ekstern, yaitu faktor yang datangnnya dari
luar umat Islam, yaitu:
a. pengaruh kebudayaan Barat (Kristen) yang
membahayakan iman dan keyakinan umat
Islam;
b. Timbulnya ide tentang pemerintahan
parlementer, demokrasi, nasionalisme,
sosialiame, dan industrialisme yang
merupakan produk import dari Barat;
c. Desakan dan tekanan agresi dan kristenisasi
dari dunia Barat, yang tak henti-hentinya
dilancarkan terhadap umat (dan dunia)
Islam.
Adanya kemunduran dan penderitaan umat dan dunia
Islam serta faktor-faktor lain yang mendorong umat Islam
bangkit, memotivasi para ulama dan pemimpin Islam yang
memiliki kesadaran tinggi, waktu itu berusaha keras untuk
menghadapi dan mengatasi tantangan, baik dari dalam
maupun dari luar Islam. Usaha para ulama dan pemimpin
Islam itu, di antaranya sebagai berikut:
1. menghadapi tantangan dari dalam tubuh Islam:
a. membersihkan dan membebaskan umat
Islam dari pengaruh khurafat, takhayul dan
perbuatan bid’ah yang menyesatkan mereka;
dengan jalan mengembalikan dasar-dasar
kepercayaan kepada kemurnian ajaran Islam
sesuai dengan al-Qurân dan Sunnah Rasul;
b. membangkitkan kembali semangat berjihad,
ijtihad dan fanatisme terhadap kaidah-kaidah
Islam;
c. meningkatkan kecerdasan umat Islam,
mengadakan perluasan dan modernisasi
pendidikan, sesuai dengan keadaan dan
tuntutan zaman;
d. berusaha keras untuk menghilangkan sebab-
sebab yang membawa perpecahan dan
perselisihan di kalangan Islam.
2. menghadapi tantangan dari luar tubuh Islam
(Barat):
a. mengadopsi fasilitas produk Barat yang
positif untuk mempertahankan, memperkuat
dan meresapkan kepercayaan Islam;
b. menghidangkan ajaran-ajaran Islam dengan
menggunakan cara-cara modern, sehingga
mudah diterima oleh masyarakat modern;
c. berusaha untuk mempersatukan umat Islam
dengan membentuk persatuan Islam sedunia
(Pan Islamisme);
Secara operasional usaha-usaha yang dilakukan oleh para
ulama Islam dapat diketahui dari kegiatan-kegiatan yang
telah dilakukan oleh para tokoh modernis (pembaharu)
Islam yang terkenal pada masa itu.
Peranan, pengalaman hidup singkat dan pokok-pokok
usaha pergerakan dan pemikiran para tokoh pembaharu
Islam sesuai masanya itu akan disajikan pada bab-bab
berikut.
DAFTAR PUSTAKA
Nasr, SH. Islam dalam Cita dan Fakta, terjemahan Abdul
Rahman Wahid dan Hasyim Wahid, Lappenas,
Jakarta, 1981.
Ginsburg, Norton, dalam Myron Weiner, Modernisasi dan
Dinamika Pertumbuhan, Gama University Press,
Yogyakarta, 1981.
Fowler, HW., The Concise Oxford Dictionary, the Clarendom
Press, New York, 1973.
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1987.
Hornby, E.V.A, The Advenced Learner’s Dictionary, The
University Press, Oxford, Britain, 1973.
Lewis, M. Adam. et all, Webster’s Illustrated Dictionary,
Books Inc Publisher, Washington DC, 1965.
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Islam Indonesia, Salahudin
Press, Yogyakarta, 1965.
Hasan, Riaz, Islam dan Konservatisme sampai
Fundamentalisme, Rajawali, Jakarta, 1985.
Jameelah, Maryam, Islam dan Modernisme, al-Ikhlas,
Surabaya, 1982.
Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisme Politik,
Rajawali, Jakarta, 1985.
Esposito, John L. dan John J. Donohue, Islam dan
Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah,
Rajawali, Jakarta, 1984.
Rais, Amien, Agama dan Modernisasi Politik, Rajawali,
Jakarta, 1985.
Bachtiar, Harsya, Percakapan dengan Sidney Hook,
Djambatan, Jakarta, 1984.
Qutb, Sayyid, Konsepsi Sejarah dalam Islam, alih bahasa Nhn
Husein, Yayasan Alamiah, Jakarta, tt.
Gibb, HAR., Islam dan Lintasan Sejarah, terjemahan Abu
Salamah, Ghatara, Jakarta, 1961.
Departemen Agama RI, Tarikh Tasyri’, Jakarta, 19984/1985.
Bab II
Menelusuri Akar Pembaharuan Islam di Mesir

Akar Pembaharuan
Islam ialah risalah Allah yang terakhir, yang diturunkan ke
bumi. Sebagai risalah terakhir, Islam memiliki dua
komponen prinsip. Pertama, sebagai risalah terakhir,
mencakup seluruh agama sebelumnya; Islam berfungsi
sebagai pelengkap dan penyempurna (QS. 5: 3). Kedua,
sebagai risalah terakhir, ajarannya telah sedemikian rupa
dipersiapkan untuk bisa menjawab pelbagai problem
kehidupan manusia dan kemanusiaan serta tetap mampu
hadir di tengah-tengah kehidupan umat manusia kapanpun
dan dimanapun. Karena Islam merupakan rahmatan lil
‘alamin (QS. 21: 107). Dengan kata lain, Islam diturunkan
pada suatu masa di mana perkembangan budaya dan
perubahan manusia telah sampai pada tingkat yang paling
tinggi dan kompleks.
Dalam perspektif sejarah, Islam telah hadir dalam konteks
perkembangan budaya yang semakin hari semakin
berkembang. Dalam kaitan ini umat Islam dituntut untuk
tetap eksis merealisasikan ajaran-ajarannya, dalam kondisi
ruang dan waktu serta menurut kondisi dan kemampuan
manusia itu sendiri (QS. 2: 286).
Islam hadir di pelbagai tempat untuk merubah budaya yang
ada dengan nilai-nilai ilahiyah, yang terkandung dalam
ajaran Islam. Budaya masyarakat (kehidupan, kondisi,
situasi dan budaya) setempat juga mempengaruhi pola
pelaksanaan ajaran Islam bagi pemeluknya itu. Hal tersebut
terjadi karena Islam mempunyai prinsip-prinsip
perkembangan yang dilandasi ijtihad dan terbuka
(moderat).
Kontak dengan budaya dan perdaban Barat dan non Islam,
bagaimanapun keadaannya “memaksa” umat Islam untuk
berinteraksi dan beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Lantas terjadilah akumulasi budaya keislaman.
Hasil perkawinan dari budaya setempat dengan nilai-nilai
keislaman yang terserap.
Kontak budaya inilah salah satu sebab munculnya
pembaharuan Islam. Namun pembaharuan Islam lebih
berorientasi pada tuntutan maju –karena menyaksikan, dan
atau ajaran serta kondisi sebaliknya stagnasi sosial-- agar
mampu menjawab tantangan zaman.
Di Mesir, waktu itu, pembaharuan Islam tergugah oleh
kedatangan Napoleon Bonaparte. Para penguasa Mesir lalu
mengadakan reformasi dan modernisasi di pelbagai bidang.
Tokoh penguasa Mesir, seperti Ali Pasha, mulai
mengadakan reformasi dan modernisasi dalam pelbagai
bidang; seperti mendirikan Sekolah Tinggi Militer, Sekolah
Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Pertanian, dan Sekolah
Tinggi Pertambangan. Hal itu dilakukan dalam usaha agar
Mesir mampu mengejar ketertinggalan dari dunia Barat.
Namun analisis secara keseluruhan, pembaharuan
dilakukan sebagai respons terhadap kekalahan Mesir dari
Napoleon. Agar pengalaman pahit, kekalahan, tidak
terulang.
Pasha menyadari bahwa salah satu penyebab utama
kekalahan mesir dari Perancis karena persenjataan yang
tidak seimbang. Di samping, bala tentara dan teknologi
militer Perancis jauh lebih modern.
Rekonstruksi pendidikan yang dilakukan oleh Pasha dan
para penerusnya ternyata sangat labil. Konsep itu tidak
mampu bertahan terhadap pergantian dari pola pendidikan
Islam ke pola pendidikan Perancis dan Eropa (Nadvi, 1984:
143).
Kontak dengan peradaan Barat semakin berlanjut setelah
dikirimkan mahasiswa-mahasiswa Mesir untuk belajar di
Perancis. Kontak budaya antara mahasiswa Mesir yang
islami dengan perdaban Barat yang sekuler dan modernis,
melahirkan goncangan-goncangan psikologis di kalangan
mahasiswa Mesir yang berada di Perancis.
Banyak mahasiswa Mesir yang terpengaruh oleh kebiasaan
buruk budaya Barat, karenanya Ali Pasha berusaha
mengatasinya dengan jalan mengirimkan seorang ulama
besar yang bernama Rifaah Badawi al-Tahtawi ke Perancis
sebagai pembimbing rohani mahasiswa asal Mesir.
Berhadapan dengan kekuataan pengaruh Barat yang
menembus dan mencerap, kaum muslimin harus bangkit
bertindak (Gibb, 1961: 143). Pada tahap bangkit bidang
keagamaan ada dua jalan untuk melayani tantangan Barat
itu.
Pertama, mulai dari pokok-pokok dasar Islam dan
mengeluarkan pernyataan-pernyataan baru melalui ijtihad
yang kondisional, dewasa ini.
Kedua, ialah mulai dari filsafat Barat yang terpilih namun
meresahkan. Lalu, mencoba itikad Islam dengan berfilsafat
sesuai dengan konsep dasar filsafat Barat itu tadi (Gibb,
1961: 144).
Di dalam ajaran Islam, konsep-konsep perubahan,
perkembangan dan kemajuan menunjukkan gerak kembali
pada Islam murni. Seperti yang disampaikan dan
dipraktikkan oleh Nabi Saw beserta para sahabat dan
pengikut beliau (al-Tafgauhar, 1983: 66).
Salah satu aspek Islam yang penting dalam kehidupan
kontemporer, orang-orang Arab misalnya, adalah
kemunculan gerakan yang menghendaki syariat ditegakkan
kembali secara sempurna sebagai hukum yang mengatur
kehidupan sehari-hari kaum muslimin (Nasr, 1983: 149).
Perkembangan Islam di dunia modern secara keseluruhan,
dengan munculnya ide-ide pembaharuan, diakibatkan oleh
faktor intern dan faktor ekstern (seperti telah diulas pada
Bab I).
Penyebab pembaharuan secara singkat ialah: faktor intern
disebabkan ajaran Islam sebagai ajaran terbuka untuk
adanya pembaharuan (ijtihad); di samping itu, kondisi
umat Islam sendiri dalam keadaan miskin, bodoh,
terbelakang dan masalah integritas keislaman yang pudar
akibat penjajahan. Faktor ekstern adalah adanya penetrasi
peradaban Barat dalam bentuk modernisasi dan
sekularisasi, zionisme dan kristenisasi (QS. 2: 120).

Pola dan Tokoh Pembaharuan di Mesir


Bentuk pembaharuan Islam di Mesir terkait erat dengan
faktor penyebabnya. Karena itu, pembaharuan dalam Islam
bentuknya bermacam-macam. Sesuai dengan faktor teknis
penyebabnya. Di antarnya, berbentuk: reformasi
(pembaharuan), puritanisme (pemurnian), revival
(kebangkitan) dan fundamentalisme. Singkat kata, bentuk
tradisi pembaharuan dalam Islam merupakan gaya atau
cara khusus dalam mengungkapkan kenyakinan terutama
bila mengenai kehidupan sang menganut di dalam
masyarakat muslim. Kesinambungan jangka panjang dari
cara Islam ini dapat dilihat dengan menyelidiki tiga tema
yang muncul dalam manifestasi-manifestasi tajdid, ialah
pada masa utama sejarah Islam, maupun masa modern.
Yaitu:
1. Seruan untuk kembali (penerapan secara ketat) kepada
al-Qurân dan Sunnah Nabi Saw.;
2. Penegasan akan hak untuk analisa yang mandiri
(ijtihad) tentang al-Qurân dan Sunnah, ketimbang harus
bersandar dan meniru pendapat dari para tokoh
terdahulu, kendatipun mereka berpengetahuan tinggi
tentang Islam, yang disebut taqlid.
3. Penegasan kembali pada keaslian dan keunikan al-
Qurân, yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan
keterbukaan pada tradisi Islam lainnya (Esposito, 1987:
14).

Bentuk puritanisme ialah pemurnian ajaran Islam yang


berusaha membersihkan umat Islam dari pengaruh
khurafat da bid’ah. Tokoh gerakan ini adalah Muhammad
ibn Abdul Wahab (1703-1792). Kemudian gerakannya
terkenal dengan Wahabiah.
Gerakan wahabi ini ditujukan untuk menghadapi
kemunduran tata susial dan kemerosotan agama (terutama
masalah tauhid) di daerah pedusunan dan suku-suku;
mengutuk pemujaan pada orang suci, dan bid’ah lain dari
kaum sufi sebagai penyelewengan dan kekufuran juga
menyerang madhab-madhab lain karena koprominya
dengan bid’ah-bid’ah yang dibencinya (Gibb, 1961: 138).
Hal paling penting dari Wahabisme adalah motivasinya
yang normal; Wahabi adalah reaksi yang keras terhadap
degradasi moral umat yang berabad-abad berkuasa (yaitu
kelompok Sufisme). Gerakan Wahabisme menentang
kemewahan dan kemegahan, hal ini masih merupakan
tantangan besar bagi para pemimpin dan penguasa di
Timur Tengah (Nadvi, 1964: 160).
Abad ke-15 H., dipandang sebagai awal kebangkitan Islam.
Suatu abad yang diramalkan akan menjadi abad
kemunculan kembali Islam. Islam akan membimbing dunia.
Kemunculan Islam kembali itu diproyeksikan dari
beberapa hasil identifikasi berikut, seperti:
1. adanya krisis identitas yang ditimbulkan
ketidakberdayaan, kekecewaan, dan kehilangan rasa
harga diri;
2. kekecewaan terhadap Barat yang menguasai kekuasaan
sejak lama; sebagai konsekuansi dari kegagalan
masyarakat pribumi untuk bereaksi melawan
pendatang (penjajah); sebagai pernyataan akan
kebutuhan politik dan sosial ekonomi masyarakat;
3. tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan
kekuatan sendiri akibat sukses militer (Arab-Israel) dan
ekonomi (embargo minyak) pada tahun 1973 (Esposito,
1987: 14).
Bila ditelusuri pada rangkaian sejarah Islam, aspek yang
diprogramkan untuk kebangkitan Islam, ialah sebagai
berikut:
1. diagnosa penyakit-penyakit zaman; penelaahan
cakupan dan kondisi, secara teliti dan dipastikan secara
tepat: dimana, bagaimana dan sejauhmana kejahilan
telah merajalela, apa dan dimana akarnya dan
bagaimana kedudukan Islam pada saat itu;
2. rencana pembaharuan; mengambil keputusan yang
pasti di mana harus melakukan serangan untuk
melumpuhkan kekuatan non Islam dan memungkinkan
Islam menguasai seluruh kehidupan;
3. perkiraan keterbatasan-keterbatasan dan sumber daya-
sumber daya yang ada; mempertimbangkan dan
memperkirakan kekuatan yang ada pada seseorang
serta menentukan garis langkah pembaharuan;
4. revolusi intelektual; memebntuk ide iman dan
pandangan moral masyarakat ke dalam bentuk yang
islami. Memperbaharui sistem pendidikan dan
menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan sikap-
sikap islami secara umum;
5. pembaharuan dalam praktik; memberantas semua
kebiasaan buruk, mensucikan moral, mewariskan
semangat melaksanakan syariah dan mempersiapkan
orang-orang yang mampu melaksanakan
kepemimpinan Islam;
6. ijtihad memahami azas-azas yang mendasar dalam
agama, menilai kebudayaan yang dianut saat itu, serta
pelbagai kecenderungan dari sudut pandang Islam; lalu
menentukan perubahan-perubahan yang ingin
dihasilkan sesuai dengan pola-pola kehidupan sosial
yang berlaku berdasarkan syariah untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dan agar Islam mampu
memimpin dunia dalam tatanan masyarakat “baru”,
kelak;
7. pertahanan Islam; mengimbangi kekuatan-kekuatan
politik yang menekan dan menghancurkan Islam,
mematahkan kekuasaan mereka agar Islam menjadi
suatu kekuatan yang hidup;
8. menghidupkan kembali sistem Islam; mencabut
kekuasaan atau wewenang dari tujuan-tujuan di luar
Islam dan secara praktis mendirikan kembali
pemerintahan berdasarkan sistem yang telah disebut
sebagai khilâfah yang mengikuti pola kerasulan.
9. revolusi semesta; tidak merasa puas dengan mendirikan
sistem pemerintahan Islam pada sebuah atau beberapa
negara yang berpenduduk muslim (al-Maududi, 1984:
45-46).

Bentuk lain dari gerakan pembaharuan dalam Islam adalah


Fundamentalisme. Fundamentalisme ialah suatu ideologi
lengkap yang bermaksud membangun kembali dunia Islam,
sesuai dengan nilai-nilai Islam awal (terdahulu), dan
mengusahakan agar ia kembali ke kemurnian asli nilai-nilai
keagamaan (Islam).
Ideologi ini menawarkan kepada dunia Islam suatu
perangkat lengkap, sebagai jawaban untuk masalah-
masalah yang timbul akibat krisis modernisasi dan gejolak-
gejolak yang menyertainya (Dipoyudo, Suara Karya, 15
Pebruari 1985).
Dipuyodo menjelaskan lebih lanjut bahwa,
Fundamentalisme terbagi pada dua jenis, yaitu:
Fundamentalis Konservatif dan Fundamentalis
Revolusioner. Fundamentalisme Konservatif berusaha
mengadakan perubahan-perubahan sosial dan politik
terutama, melalui pembaharuan berangsur-berangsur dan
pendidikan. Sedangkan Fundamentalisme (radikal)
Revolusioner memperjuangkan perubahan sosial yang
radikal dan pembentukan suatu masyarakat yang
berdasarkan iman yang kokoh, melalui revolusi dan atau
kekerasan.
Akhir-akhir ini fundamentalis menunjukan tanda-tanda
muncul dipelbagai negeri. Baik dalam bentuk konservatif
maupun dalam bentuk radikal revolusioner. Bahkan kalau
dikaitkan dengan berbagai kejadian pemboman di
beberapa negara di dunia ini, hampir selalu dikaitkan
dengan gerakan Fundamentalisme.
Menurut analisa Fazlur Rahman, Fundamentalisme dapat
hidup dengan kuat karena beberapa faktor. Pertama, kaum
fundamentalis merupakan pewaris langsung dari gerakan-
gerakan pembaharuan pra Modernisme; mereka tegak di
atas tradisi yang telah bersumber dari dalam Islam sendiri
dan bersifat original (pribumi ) dalam Islam (Rahman,
1964: 326).
Dus, akibat adanya bahaya yang mengancam integritas
umat, dari luar dan dari dalam itulah seperti dijelaskan
tadi; merekonstruksi sikap yang kohesif dan ukhuwwah
dalam satu rasa. Fundamentalismelah yang mampu
mengejawantahkan rasa itu.
Pembaharuan dalam Islam yang mengambil bentuk evolusi,
adalah pembaharuan melalui jalur pendidikan. Tokoh
terkenalnya adalah Muhammad Abduh (1849-1905).
Muhammad Abduh merupakan tokoh modernis. Beliau
menganjurkan pembaharuan, menurut pikiran modern. Ia
berkeyakinan bahwa dengan berpikir modernlah kita dapat
membumikan “kebenaran” agama Islam (Gibb, 1961: 145).
Bagaimana gagasan-gagasan Muhammad Abduh dalam
memahami Islam dan bagaimana peranannya? Gibb
menjelaskan bahwa Abduh memiliki sejumlah program
pembaharuan, seperti berikut ini:
1. pemurnian Islam dari pengaruh-pengaruh dan praktik-
praktik yang menyesatkan;
2. pembaharuan pendidikan tinggi Islam;
3. perumusan kembali ajaran-ajaran Islam sesuai dengan
keadaan pengaruh-pengaruh Barat dan mensikapi
serangan-serangan Kristen;
Muhammad Abduh memiliki pemahaman bahwa perlu
mengadakan pemisahan antara pembaharuan bidang
politik dengan pembaharuan bidang keagamaan serta
dengan hal-hal tauhidiyah. Sedangkan guru Muhammad
Abduh, yakni sayid Jamaluddin al-Afghâni (1839-1897)
mengambil jalan politik dalam reformasi Islam.
Jamaluddin al-Afghâni terkenal dengan Pan-Islamnya. Ia
berusaha mempersatukan dunia Islam untuk mengatasi
disintegrasi dan untuk melawan kolonialisme. Al-Afghâni
adalah pencetus ide mengenai pembaharuan politik (Fazlur
Rahman, 1984: 333).
Dalam pembahasan mengenai gerakan pembaharuan Islam
di Mesir orang akan mengacu pada tokoh Muhammad
Abduh, yang berusaha mengadakan pembaharuan dalam
Islam, yang komitmen dengan Islam sebagai suatu sistem
kehidupan. Namun di antara murid-murid Muhammad
Abduh ada yang tergolong menyimpang dari paham Abduh.
Seperti Qasim Amin (1865-1908), Thâha Husain dan ‘Ali
‘Abdul al-Râziq.
Perjalanan pembaharuan murid Abduh sangat variatif.
Dapat ditoleh dari peran serta masing-masing. Qasim Amin
ialah salah seorang ulama Mesir yang terkemuka dan yang
pertama melawan Purda dalam bukunya yang terkenal The
New Woman. Pada karyanya itu, ia menerangkan bahwa
kehidupan wanita di Mesir seperti menjadi budak lelaki. Ia
menganjurkan agar wanita meniru wanita-wanita lain,
seperti di Barat. Pembaharuan, menurut Amin adalah
pembaharuan rumah tanggga muslim, mengikuti gaya
Barat. Hal itu merupakan obat paling mujarab untuk
mengembalikan problematika sosial di dunia Islam, saat itu
(Maryam Jameelah, 1981: 189).
Qasim Amin yang menggelindingkan ide emansipasi
wanita, dengan mencoba meniru gaya Barat, ditentang oleh
Farid Wajdi. Wajdi ialah penulis The Muslim Woman. Wajdi
menyatakan bahwa di antara bahaya dari pemikiran Qasim
Amin adalah menyeret kaum muslimin pada pola hidup
Liberalisme. Karena itu, lantas Wajdi menghimbau untuk
mempertahankan sopan santun pergaulan dan norma-
norma keislaman, untuk mempertahankan (dan
meningkatkan) derajat, nilai dan citra masyarakat (Nadvi,
1984: 149).
Murid Abduh yang lain adalah Thâha Husain. Husain
berpendirian bahwa Mesir selamanya menjadi bagian
integral dari Eropa. Dilihat dari sudut intelektual dan
kebudayaan, semua komponennya, menurut Thaha Husain,
adalah tiruan Barat. Ia mengatakan, “Meskipun mesir
beragama Islam dan berbahasa Arab, Mesir tidak lebih:
corak Timur mitasi Eropa. Eropa berpendidikan Kristen.
Cita-cita untuk masa depan Mesir bukanlah menuju
orientasi keislaman. Cita-cita Mesir dalam kehidupan
praktis, menurut pendapatnya haruslah merupakan cita-
cita Eropa (Nadvi, 1984: 151).
Pada tahun 1926 Thâha Husain meluncurkan pemikirannya
pada buku yang berjudul On-Pra Islamic Poetri. Karyanya
itu, berisi pemikiran yang sangat pesimistik. Ia meragukan
otentisitas al-Qurân dan Hadits. Bahkan ia menandaskan
pendapatnya yang kontroversial, bahwa Nabi Musa As tidak
pernah hidup. Cerita Ibrâhim dan Ismâil dalam al-Qurân
diambil dari dunia mitologi (tidak betul-betul ada, hanya
mitos semata).
Murid lain dari Abduh adalah ‘Ali ‘Abdul al-Râziq terkenal
dengan gagasannya tentang negara Islam. Menurut Râziq
tidak ada sistem kenegaraan dalam Islam. Alasannya bahwa
tidak ada satu ayat pun dalam al-Qurân yang menunjukan
kepada pentingnya negara. Nabi Muhammad saw. sendiri
kepemimpinannya tidak bersifat politik, tetapi bersifat
kerohanian. Râziq lebih lanjut menyatakan, bahwa agama
tidak ada hubungannya dengan suatu bentuk pemerintahan
(Kartimer, 1984: 224).
Itulah antara lain beberapa contoh pembaharuan yang
dilakukan oleh perseorangan, tokoh. Selain perseorangan,
ada juga gerakan pembaharuan Islam yang dilaksanakan
oleh kelompok, organisasi atau perserikatan. Kendatipun
demikian, sesungguhnya kelompok juga tidak lepas dari
peranan para tokohnya. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa kelompok yang engadakan gerakan
pembaharuan. Seperti Ikhwanul Muslimin, dan kelompok
keras lainnya.
Pembaharuan pemikiran di Mesir, dihentakkan juga oleh
peristiwa terbunuhnya Anwar Sadat. Konon terbunuhnya
oleh kelompok fundamentalis yang ada kaitannya dengan
gerakan radikal. Indikasi itu, karena ada tanda ‘pesan’, yang
berbunyi sebagai berikut:
1. penegakkan dârul Islam;
2. pemeliharaan syari’ah Islam;
3. memupuk persaudaraan Islam. (Nadvi, 1984: 156).
Di antara organisasi yang digolongkan fudamentalis adalah
Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini didirikan di Ismailiyah
pada bulan Maret 1928. Organisasi itu bertujuan
melaksanakan perintah agama yang hakiki, menjelaskan
pesan al-Qurân, dan berkeyakinan Islam yang benar (Al-
Husaini, 1983: 17).
Misi Ikhwanul Muslimin secara lebih jelas, terlihat pada
seruannya. Mereka menyerukan enam hal:
Pertama, melengkapi program pendidikan yang tegas dan
sekaligus meningkatkan mutunya; mengkoordinasikan
pelbagai tema pendidikan yang punya tujuan sama;
menjamin bahwa pendidikan tingkat pertama sebagai
pembangkitan semangat nasional dan moral yang luhur;
Kedua, memahami ajaran Islam, sejarah nasional,
ketatanegaraan dan peradaban Islam;
Ketiga, memantapkan pelajaran agama sebagai dasar ilmu
pengetahuan di segala macam dan tingkatan sekolah dan
universitas;
Keempat, meninjau kembali program pendidikan anak
perempuan dan perlunya membedakan program itu
dengan program pendidikan anak laki-laki, di segala
tingkatan;
Kelima, menyingkirkan dari dunia pendidikan siapa saja
yang tak beriman, tak bermoral dan palsu patriotismenya;
Keenam, mendorong ilmu dan pengetahuan praktis, yang
menyumbangkan pelbagai penemuan kepada bangsa dan
negara (Al-Husaeni, 1983: 62).
Dalam perjalanan sejarahnya Ikhwanul Muslimin berhasil
beberapa hal, terutama pada beberapa indikasi:
1. gerakan ini telah menjernihkan ajaran-ajaran Islam dari
noda kejumudan (kebekuan) yang ditanamkan oleh
penjajah. Menyingkirkan perang konsepsi yang telah
banyak meracuni jalan pikiran para cendikiawan
muslim;
2. gerakan Ikhwanul Muslimin telah memulihkan
perasaan cinta terhadap Islam bagi pemeluknya;
berhasrat kuat bergabung di bawah bendera Islam
sebagai umat yang baik di antara segenap manusia;
3. Ikhwanul Muslimin mampu mencetak generasi muslim
dan muslimat yang konsekuen dengan Islamnya,
meliputi: aqidah, ibadah, pemikiran, perilaku, dakwah,
dan perjuangan (jihad);
4. gerakan Ikhwanul Muslimin dapat menghimpun opini
umum tentang Islam, sehingga dapat memperkuat
kedudukan Islam dan dakwah Islam;
5. Ikhwun Muslimin memberi andil yang cukup besar
dalam kebangkitan Islam saat ini.
6. gerakan Ikhwanul Muslimin berperan dalam usaha
mendirikan bank Islam dan lembaga-lembaga ekonomi
lainnya; berhasil pula dalam penyebaran buku-buku,
sehingga menduduki ranking teratas dalam pemasaran
buku-buku (Qardhawi, 1987: 123-126).
Selain keberhasilan yang banyak dipuji, Ikhwanul Muslimin
juga dinilai gagal dalam beberapa hal. Penyebab
kegagalannya, antara lain: aktivitas politik yang terlalu dini
dan bangkitnya para pemimpin sosialis dan komunis yang
bertekad menghancurkan Islam (Nadvi, 1984: 157).
Tokoh Ikhwanul Muslimin, al-Bana menggelindingkan
gerakan ini untuk efektivitas perjuangan. Perlu perjuangan
di Mesir, karena saat itu al-Bana melihat bentuk pengaruh
sekularisasi Barat pada kehidupan keislaman sangat
merebak, sementara pemerintah lemah. Penguasa kurang
tanggap menghadapi kesenjangan sosio ekonomi
masyarakat Mesir. Lalu, Ikhwanul Muslimin tampil ke
muka.
Hampir bersamaan, baik waktu maupun perjuangan,
dengan gerakan-gerakan kebangkitan kembali (tajdid)
Islam sebelumnya, al-Bana menyatakan awal penyakit
masyarakat ialah penyimpangan umat dari cita-cita Islam
semasa Nabi dan sahabat hidup. Karena itu, ia
menganjurkan agar kembali kepada sumber Islam, al-
Qurân dan Sunnah (Esposito, 1987: 11).
Pembaharuan pada perkembangan berikutnya, tidak hanya
berjalan di Mesir, tapi mampu juga membuka mata
beberapa negara tetangganya. Seperti Arab, Timur Tengah
secara keseluruhan, Libanon, dan lain-lain. Kendati,
mungkin saja berjalan secara bersamaan. Namun spiritnya
ternyata saling memperkuat satu sama lainnya.
Di Timur Tengah, secara keseluruhan (tidak hanya sebatas
Mesir), pemikiran tentang pembaharuan dipakai untuk
menyemangati penglepasan diri dari pengaruh penjajahan.
Lantas, lahirlah gagasan Nasionalisme Arab, di antaranya.
Gerakan Nasionalisme di dunia arab muncul pertama kali di
Libanon. Pelopornya adalah Nâsir Yazeji dan Butrus
Bustâni dengan mottonya yang terkenal “Cinta Tanah Air
sebagian dari Iman” (Maryam Jameelah, 1982: 22). Dalam
kenyataanya, gagasan Nasionalisme mampu melindungi
mereka yang lemah dan yang tidak mampu dengan menjadi
anggota. Mereka dalam keseluruhan yang besar menjadi
merasa kuat. Saham mereka terparti dalam harga diri yang
terhimpun kukuh dari patriotisme (Brinton, 1981: 370).
Tapi, ada juga realitas lain, Nasionalisme Arab meskipun
muncul dan berkembang di kalangan umat Islam di Timur
Tengah, ternyata nilai-nilai Islam tidak serta merta
berpengaruh terhadap Nasionalisme Arab.
Realitas terakhir itu dapat kita temukan pada pernyataan
mereka. Seperti ada orang Arab menyatakan, “Nasionalisme
Arab yang kami yakini dan kami perjuangkan, dilandasi
oleh kesamaan bangsa. Tidak dikaitkan dengan
kepentingan rasial, melainkan dengan ikatan-ikatan atau
kesamaan bahasa, sejarah, budaya dan kejiwaan, serta
kepentingan-kepentingan vital yang mendasar lainnya
(Esposito, 1984: 141).
Dari kenyataan itu dapat kita kelompokkan pola
nasionalisme yang mereka bangun. Terdapat dua macam
“tali” dalam Nasionalisme Arab. Pertama, sekuler, yang
menekankan persaudaraan pada semua orang yang
berbicara dalam bahasa Arab apapun agama mereka.
Kedua, ikatan Islam, yang memandang orang-orang Arab
sebagai pemimpin alamiah dan sah (Mortimar, 1984: 216).
Sepertinya, Nasionalisme Arab seolah-olah berkaitan
dengan kebangkitan kembali Islam, tetapi pada
kenyataannya, nasionalisme mereka merupakan ideologi
sekularisasi yang kuat dalam Islam. Idiologi sekularisasinya
dilakukan dengan cara menghilangkan sama sekali “tali”
ikatan yang menyatukan agama dan negara (Esposito,
1985: 135).
Dengan demikian, nasionalisme di dunia muslim
merupakan sarana tipuan yang tergantung kepada
kelompok masa. Akibatnya, sebagaimana terjadi di
Pakistan, dimana setelah Pakistan terbentuk, Islam
menguap dan nasionalisme menancapkan akarnya tanpa
nilai-nilai keislaman (Sardar, 1986: 80-81).
Lontaran gagasan selanjutnya dari nasionalisme dapat kita
saksikan dari Muamar Khadafi, misalnya. Khadafi
memunculkan teori internasional ketiga. Menurutnya, teori
internasional ketiga didasarkan atas agama dan
nasionalisme. Agama apapun dan nasionalisme manapun.
Ia tidak mengklaim Islam sebagai agamanya dalam teori ke
tiga, karena jika Khadafi melakukan itu, seluruh orang non
muslim tidak masuk pada internasiona ketiga ini. “Sesuatu
yang jelas tidak kami kehendaki” katanya. Dalam teorinya
itu, Khadafi menunjukkan bahwa penerapan Islam dapat
bermanfaat bagi manusia karena ia adalah bagian dari
agama (Martimer, 1984: 262).
Pembaharu dari pemikiran Muamar Khadafi, ialah Naser.
Naser menggunakan nasionalisme sebagai alat dan Islam
dijadikan legalisasi gagasan Nasionalisme Arab. Pada masa
Naser, Islam bertahan dalam posisi sebagai “terdakwa” atau
korban. Ia memberi status agama bagi Nasionalisme Arab
dan Komunisme. Semuia pranata relijius di negara
merupakan sekuler (Nadvi, 1984: 152).
Karena Nasionalisme terakhir itu telah ngaco. Di mana-
mana orang-orang Arab terjebak dalam ide nasionalisme
dan sosialisme, yang melupakan Islam; maka konferensi
Pemuda Islam Internasional di Tripoli tahun 1973,
menyatakan beberapa argumentasi menentang
nasionalisme dan sosialisme.
Secara lebih jelas argumentasinya itu adalah sebagai
berikut:
Pertama, argumentasi-argumentasi menentang
nasionalisme:
1. Nasionalisme menuntut dan mempertahankan, kalau
perlu dengan kekerasan; kesetiaan penuh dan tak boleh
ditawar lagi dari rakyat pada bangsanya; Nasionalisme
tidak mengakui adanya sesuatu pun yang melebihi unit
bangsa; Islam di lain pihak, menuntut kesetiaan,
kepatuhan dan bakti kepada Tuhan Yang Esa dan tidak
mengakui adanya kesetiaan lain.
2. Nasionalisme adalah suatu bentuk kesukuan yang
didandani, sehingga tampak indah; Islam menentang
kesukuan, sesungguhnya perjuangan yang dilakukan
sepanjang hidup Nabi Muhammad, terutama adalah
untuk melawan ajaran kesukuan yang merajalela di
Arabia pada zaman beliau.
3. Nasionalisme telah meningkatkan jumlah negara-
bangsa yang menuntut kemajuan demi kepentingannya
sendiri dengan mengesampingkan dan mengorbankan
kepentingan pihak lain; inilah penyebab utama semua
konflik dan perang modern dan keadaan yang dipenuhi
oleh teror tanpa henti antara bangsa, antara manusia.
4. Nasionalisme hidup dengan ditunjang oleh pelbagai
faktor seperti teritorial, bahasa, budaya, dan
keunggulan ras; Islam sebaliknya, tidak mengakui
adanya halangan geografis, bahasa, budaya maupun ras.
5. Nasionalisme merupakan suatu produk istimewa dari
sejarah umat Kristen, sejarah Eropa dan sejarah
peradaban Barat. Agama Kristen telah menghapuskan
ajaran kesukuan dan menyatukan Eropa di bawah
Gereja. Transisi antara abad Pertengahan dengan masa
Modern ditandai oleh renaisance dan reformasi, yang
kebangkitannya melahirkan nasionalisme yang sekuler
dan picik, dan yang telah memindahkan kekuasaan dari
seorang paus ke tangan sejumlah raja. Dengan begitu,
maka peran nasionalisme dalam sejarah adalah
menghapuskan gagasan universal mengenai gereja.
6. Begitu nasionalisme dan negara-negara bangsa berhasil
menggabungkan diri mereka di Eropa, gagasan
mengenai nasionalisme menjangkau daerah
pemukiman umat muslim di Asia Utara, Timur Tengah
dan Timur Dekat. Di situ meningkatnya nasionalisme
menandai perpecahan final dari dunia Islam ke dalam
negara-negara bangsa.
7. Sejarah telah mencatat fakta bahwa para pencetus
gagasan dan pemimpin pertama Nasionalisme Arab
adalah orang-orang Kristen dan Arab Yahudi yang
berkepentingan untuk memecah belah dunia Islam dan
agar mereka bertikai satu sama lainnya. Inilah
kesimpulan sejarah modern dan mutakhir dari dunia
Arab. Nasionalisme arab telah menyebabkan orang-
orang Arab menjadi asing dengan Islam dan
nasionalisme-nasionalisme picik lainnya seperti yang
ada di Pakistan, Iran, Afghanistan dan Indonesia; telah
menghalangi umat muslim secara keseluruhan; sampai
pada kebersamaan atas dasar Islam.
8. Nasionalisme di dunia muslim telah membuat dâr al-
islam terpecah belah, lemah dan berada di bawah belas
kasihan kapitalisme, penjajah, zionisme dan
komunisme.
Kedua, argumentasi menentang sosialisme:
1. Sosialisme merupakan suatu istilah yang digunakan
dalam Filsafat Marxisme yang bagi Islam sama asingnya
dengan Filsafat Kapitalisme.
2. Islam menyatakan perang melawan Kapitalisme dan
Feodalisme sebelum adanya Sosialisme; Sosialisme
menyatakan hal yang sama dengan Kapitalisme dan
Feodalisme.
3. Filsafat Sosialisme semata-mata merupakan pengganti
dari ajaran kesukuan dan kelas-kelas ekonominya dan
didasarkan atas asumsi bahwa manusia bertindak
sesuai dengan kepentingan kelasnya; Islam di lain
pihak, menciptakan aturan sosial di mana kelas-kelas
yang ditandakan oleh peran-peran ekonomi mereka,
tidak diakui.
4. Filsafat Sosialisme didasarkan atas suatu pertentangan
kelas yang tak henti-hentinya; di dalamnya ke kelas-
kelas tersebut secara terus-menerus saling bertukar
posisi sebagai yang terkuat. Sosialisme secara tak
langsung menyetujui pandangan filsafat yang
menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya buruk,
kejam dan mementingkan diri sendiri. Prasangka
Filsafat Sosialisme ini berasal dari pengaruh Kristen dan
Yahudi yang di dalamnya akar pemikiran marxis
tertanam. Ini juga, bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.
5. Secara historis, Sosialisme merupakan suatu reaksi
melawan kekejaman sistem kapitalis; sementara Islam
merupakan suatu kekuatan positif yang mendahului
gerak pertumbuhan Kapitalisme.
6. Baik Kapitalisme maupun Sosialisme harus dipaksakan
dan dipertahankan lewat kekuatan bersenjata yang
dipegang oleh golongan borjuis, atau sesudah terjadi
apa yang disebut sebagai revolusi golongan proletar.
Dalam praktiknya, Sosialisme hanya akan mengarah
kepada Kapitalisme.
7. Tidak terdapat perbedaan nilai antara Kapitalisme
pribadi di negara borjuis dan Kapitalisme negara di
negara yang disebut sosialis. Kedua sistem itu sama-
sama bersifat memeras dan menghalalkan kekerasan.
Islam di lain pihak, mendorong manusia dalam tindakan
sosial dan ekonominya, dengan cara sebegitu rupa
sehingga mereka tidak menjadi serakah dan tamak.
Islam memerintahkan pencarian kolektif dalam suatu
kerangka kolektif, yang di dalamnya cita-cita individu
dapat dicapai tanpa mengorbankan kepentingan sosial.
Islam menyatukan aturan sosial lewat rasa
persaudaraan antara manusia yang lebih memberikan
jaminan, ketimbang sistem kenegaraan atau sistem
sosial manapun, sehingga anggota masyarakat yang
paling lemah, kalau ada, akan mendapatkan
perlindungan (Sardar, 1979: 86-88).
Bab III
Tokoh Pembaharu Islam di Mesir dan Turki

Berikut ini akan dijelaskan beberapa pembaharu Islam di


Mesir dan Turki. Namun tokoh pembaharu yang akan
dijelaskan hanya beberapa tokoh yang populer saja.
Terutama popularitas mereka yang memiliki andil relatif
besar dan memberi pengaruh keagamaan dan kenegaraan.

I. Sayid Jamaluddin al-Afghani

Asal kelahiran
Sayid Jamaluddin Al-Afghani dilahirkkan di Desa As’ad,
Kabul tahun 1839 M, dan meningggal di Istambul pada
tanggal 9 Maret 1987 M. Ayahnya bernama Sayid Saftar,
seorang pengusaha asal Desa Kanar Afganistan, yang
mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat Kanar.
Gelar Sayid menunjukan bahwa Dia berasal dari keturunan
Nabi Muhammad Saw, yaitu keturunan Husen bin ‘Ali
Thâlib. Dia lebih dikenal dengan nama al-Afghani karena
dari daerah Afganistan.
Sayid Jamaluddin Al-Afghani lahir dan tumbuh dalam
kondisi masyarakat Islam yang penuh dengan kemiskinan,
kebodohan, dan perpecahan; kebid’ahan dan kekhurafatan
bercampur dengan ajaran Islam; serta hampir seluruh
negara Islam terjajah oleh Inggris, Perancis, Belanda dan
bangsa Barat lainnya.
Di Afganistan pada saat itu terjadi perebutan kekuasaan di
antara putera-putera Raja Ahmad Syah Durani.
Sesungguhnya di pihak lain tentara Inggris di India telah
bersiap-siap melebarkan ekspansi ke Afganistan. Sehingga
Sayid Saftar beserta keluarganya hijrah ke Kabul. Di sinilah
Jamaluddin dilahirkan.

Pendidikan Jamaluddin al-Afghani


Jamaluddin Al-Afghani mendapat pendidikan langsung dari
ayahnya. Dia diajari ngaji al-Qurân, Bahasa Arab, Ilmu Fiqih,
Tauhid, Hadist, Tafsir, dan Akhlak. Pada usia 16 tahun,
ayahnya mengirimkan Jamaluddin ke Delhi pada seorang
ulama terkenal. Ia belajar kepada ulama itu segala cabang
ilmu agama, bahasa arab, ilmu pasti, ilmu alam, serta
beberapa cabang ilmu kamasyarakatan (Djarnawi, Tt: 4).
Pada usia 18 tahun, yaitu tepatnya tahun 1857, dia pergi
menunaikan ibadah haji. Sewaktu diperjalanan menuju
tanah suci, di India sedang terjadi pemberontakan besar
melawan tentara Inggris.
Usai melaksanakan ibadah haji, Jamaluddin Al-Afghani
langsung menghambakan diri kepada Sultan Dust
Muhammad Khan, waktu itu ia berusia 22 tahun. Dia telah
menjadi pembantu Sultan Dust Muhammad Khan. Beberapa
tahun kemudian, dia telah diangkat oleh Muhammad A’zan
Khan menjadi Perdana Menteri.

Petualang Jamaluddin Al-Afghani


Sayid Jamaluddin Al-Afghani lahir dan dibesarkan dalam
kancah perjuangan umat Islam. Latar belakang
pendidikannya merupakan bekal baginya, sehingga
berkembang menjadi seorang pribadi muslim yang
memiliki cita-cita dan semangat yang tinggi, yang mampu
membentuk menjadi seorang pejuang yang tahu harga diri
dan berpandangan jauh.
Dia memandang bahwa seluruh negara Islam sebagai tanah
air yang perlu dipertahankan. Hal ini terbukti selama
hidupnya penuh dengan pengembaraan, seperti ke India,
Mesir, Turki, Iran, Inggris, Perancis, Jerman, dan
sebagainya. Dengan ikut serta berpolitik, dia bergerak
untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan kesabaran
yang tinggi. Mengembalikan masyarakat kepada ajaran
tauhid yang murni, dari segala bentuk khurafat dan bid’ah.
Segala kesempatan dia pergunakan untuk membangkitkan
semangat jihad, yaitu untuk memerdekakan umat dari
cengkraman musuh-musuh Islam.
Setelah Inggris menduduki Afganistan, dia pergi menuju ke
Mesir pada tahun 1869 M. Kedatangan di Mesir, dia
mendapatkan sambutan dari para ulama. Maka kesempatan
ini dipergunakannya untuk menyampaikan ide-idenya. Dia
memasuki Universitas Al-Azhar serta bertindak sebagai
pengajar. Selanjutnya Jamaluddin memperbaharui metode
pendidikan. Tapi tak lama ia pindah ke Turki, setelah
tinggal kurang dari satu bulan.
Kedatangan Jamaluddin al-Afghani di Turki disambut
dengan baik oleh masyarakat maupun pejabat, khususnya
Perdana Mentri Der Pasya sehingga tidak lama kemudian
pemerintah Turki mengangkat menjadi Dewan Pengajar
Kerajaan. Kesempatan ini pun ia pergunakan untuk
menginsyafkan masyarakat tentang ajaran Islam yang
murni. Di antaranya, tentang jihad dan peningkatan ilmu
dan amal untuk pembangunan negara dalam segala bidang.
Demikian pula tentang bahaya imprealisme terhadap
negara Islam (Djarnawi, tt.: 8). Tetapi hal ini tidak berjalan
lama karena terjadi perbedaan pendapat dengan Saikhul
Islam di Turki sehingga dia diberhentikan dari jabatannya.
Pada tahun 1870, Sayid Jamaluddin pergi ke tanah suci
Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Sewaktu di Mekah
dia teringat kembali ke Mesir. Maka ia pun langsung ke
Mesir untuk melakukan usaha-usaha pembaharuan seperti
di Mesir yang lampau. Penduduk Mesir senang menerima
kehadirannya. Dia diberi kebebasan untuk menyampaikan
pikirannya, serta dia dilindungi keselamatannya. Namun
setelah pangeran Taufik menggantikan ayahnya naik tahta,
Jamaluddin Al-Afghani ditangkap dan diusir dari negeri
Mesir, tahun 1879 M. Jamaluddin Al-Afghani
diberangkatkan dari Mesir dengan sebuah kapal Inggris
menuju India untuk selanjutnya ditempatkan di
Heiderabad.
Di Heiderabad, Jamaluddin Al-Afghani memperhatikan
umat Islam keseluruhan di India. Dia menyadari akan
bahaya westernisasi yang dilakukan Inggris di sana. Apalagi
setelah menerima surat dari Mauvi Muhammad, yang isinya
mengatakan bahwa Mauvi mengkhawatirkan atas beberapa
pemuda muslim keluaran sekolah Barat menyebarkan
paham materialisme. Lalu, meminta kepada Jamaluddin
untuk menulis buku dalam bahasa Persia yang
menerangkan kebatilan, atheisme dan kebenaran Islam.
Hasil tulisannya itu diterjemahkan oleh Muhammad ‘Abduh
ke dalam bahasa Arab dengan judul al-Roddu ‘ala Dahyairin
atau Bantahan terhadap Kaum Atheis (Djarnawi, tt.: 17).
Pada tahun 1883 Jamaluddin al-Afghani bersama-sama
dengan Muhammad ‘Abduh, muridnya, menerbitkan
majalah al-‘Urawtul Wustqo yang diterbitkan dari Paris.
Penerbitan itu bertujuan agar umat Islam, bersatu dan
membentuk negara nasionalisme yang dipimpin umat
Islam. Serta mengungkapkan rahasia siasat penjajahan
Inggris, yaitu siasat adu domba antara sesama umat Islam.
Tetapi, sayang majalah ini hanya dapat terbit delapan belas
nomor. Karena terpaksa berhenti, sebab pemasarannya di
Mesir dan di India ditutup oleh Inggris dan orang yang
kedapatan memiliki atau membacanya diancam hukuman.
Setelah penerbitan majalah berhenti, Muhammad ‘Abduh
pergi ke Beirut dan Jamaluddin Al-Afghani ke Iran. Pada
tahun 1885, Jamaluddin diangkat menjadi Menteri
Pertahanan Iran. Sebagai menteri pertahanan, dia bekerja
sungguh-sungguh dan berorientasi atas kepentingan
kesejahteraan rakyat. Lagi-lagi, tidak lama dia menjabat, ia
difitnah oleh Perdana Menteri Ali Aqsar Khan, sehingga
menimbulkan kemarahan Sultan Nasrudin, Jamaluddin al-
Afghani kembali diberhentikan dari jabatannya.
Jamaluddin al-Afghani meneruskan petualangannya ke
Rusia, Jerman, dan Turki. Akhirnya, ia menetap di Istambul
sampai beliau meninggal pada tanggal 9 Maret 1987.

Pan Islamisme
Sayid Jamaluddin al-Afghani ialah salah seorang tokoh
pembaharuan Islam di Mesir yang memiliki watak yang
keras, dedikasi yang baik, dan memiliki rasa solidaritas
yang tinggi, dalam rangka mencapai cita-citanya yang
tinggi. Dia berjuang secara sungguh-sungguh di beberapa
negara. Dia memandang seluruh negara Islam sebagai
tanah airnya. Karena itu ia merasa tertarik untuk turut
membantu menghadapi kesulitannya. Untuk itu, dengan
melalui ceramah-ceramahnya, dia menganjurkan umat
Islam supaya berjihad melakukan perlawanan terhadap
kaum imperialis. Ide-idenya ia sebarluaskan ke seluruh
penjuru dunia, maka gerakannya itu disebut gerakan “Pan
Islamisme”.
Pan Islamisme dalam pengertian luas ialah rasa solidaritas
antara seluruh mukmin (Soaddard, 1966: 46). Solidaritas,
yang dimaksud adalah solidaritas yang diikat dengan
keyakinan. Dan ini merupakan satu-satunya alat yang dapat
dijadikan alat untuk mempersatukan umat Islam. Prinsip
solidaritas ini telah tertanam semenjak kemunculan Islam
pada masa Rasulullah Saw.
Terdapat pula dua lembaga yang digunakan oleh Pan
Islamisme sebagai media untuk membina rasa solidaritas
ialah ibadah haji dan khilafah. Ibadah haji mengandung
implikasi politik sebagai muktamar abadi umat Islam,
dimana segala urusan agama dibicarakan oleh delegasi-
delegasi Islam dari tiap penjuru dunia. Sedangkan khilafah
memainkan peranan penting dalam mengendalikan
percaturan sejarah, dimana terhimpun segala sektor
kekuatan yang dapat mewujudkan cita-cita Pan Islamisme.
Di antara tokoh Pan Islamisme adalah Sayid Muhammad al-
Sanusi dan Sayid Jamaluddin al-Afghani. Sanusi bergerak
melalui tarekat. Sedang Jamaluddin melalui jalur politik.
Tarekat ini besar pengaruhnya dikalangan umat Islam.
Usaha kaum Sanusiah diarahkan dalam urusan pendidikan
kerohanian di samping berusaha memajukan bidang
material. Mereka terkenal karena semangat dakwahnya.
Dengan penuh semangat mengajarkan “keluarbiasaan”
Islam. Dalam berpolitik mereka lebih hati-hati dan sangat
dipikirkan matang-matang, sehingga tidak pernah
mengambil resiko petualang seperti Jamaluddin Al-Afghani.
Akan tetapi gerakan ini cukup menakjubkan, karena dalam
waktu yang relatif singkat telah menjadi kekuatan yang
besar.
Berbeda dari Sanusi, Jamaluddin hanya sedikit
mempersoalkan agama, dia lebih tertarik dibidang politik.
Dia menerjunkan diri ke lapangan politik karena dia
menyadari akan bahaya imprealisme yang semakin kuat.
Perjuangannya dikhususkan untuk menentang penjajahan
dengan segala paham yang disebarkannya serta
mencarikan jalan untuk menghadapinya, di antaranya
membuka kembali pintu jihad, dari Al-Qurân dan As-Sunah;
menghindari dari perbuatan-perbuatan bid’ah dan taqlid;
menganjurkan untuk berjihad, mendorong umat Islam
untuk memerdekakan diri dari penjajahan Barat. Karena
itu, gerakan politiknya dianggap sebagai gerakan yang
sangat membahayakan bagi kelangsungan ekspansi
imprealisme Barat.

Pemikiran Jamaluddin al-Afghani


Sebagaimana telah diketahui, Jamaluddin al-Afghani adalah
seorang pembaharu dalam ajaran Islam yang bergerak
melalui jalur politik yang konfrontatif. Dia adalah seorang
mujahid yang memiliki wawasan luas dan semangat yang
tinggi. Perjuangannya bersifat konfrontatif. Sebagaimana
pendapat Abdul Hasan al- Nadwi sebagai berikut:
“Jamaluddin adalah seorang tokoh terkemuka yang sangat
diharapkan pada waktu itu untuk tampil dan mengecam
peradaban Barat dan Filsafat Materialisme, membela Timur
dari kekuasaan dan pengaruh berpikirnya” (Nadwi, 1983:
105).
Jamaluddin juga memandang bahwa “Dunia Nasrani,
sekalipun mereka berbeda-beda dalam keturunan dan
kebangsaan, manakala menghadapi Timur khususnya
Islam, mereka bersatu akan menghancurkan negara Islam”
(Stoddard, 1966: 62). Segala usahanya ditujukan untuk
membangkitkan negara-negara Islam dari kelemahan dan
memperingatkan agar mengatur diri hingga umat dan
negara menjadi kuat (Nasution, 1979: 55).
Menurut Jamaluddin kemunduran Islam disebabkan
adanya kebodohan, kemiskinan, kepicikan dan perpecahan;
pemegang pimpinan yang tidak ahli; serta tidak adanya
keadilan. Karena itu, dia menganjurkan kepada seluruh
umat Islam untuk meninggalkan kekolotan, mencerdasakan
akal pikiran mereka dengan menuntut ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum, membuang jauh-jauh akan taqlid dan
menganjurkan untuk berijtihad; memulihkan fungsi ulama
kepada yang semestinya yaitu sebagai pewaris rasul,
pembela kebenaran, dan menegakkan keadilan;
menganjurkan untuk memperjuangkan tatalaksana sosial,
ekonomi, dan politik, yang didasarkan tanggung jawab
kepada rakyat. Penafsiran yang salah terhadap qadla dan
qadar mengakibatkan kepicikan di antara umat Islam. Maka
dia memberikan pengertian lain tentang itu. Bahwa qadla
dan qadar ialah segala sesuatu yang terjadi, menurut
sebab-musabab” (Nasution, 1979: 55), sehingga umat Islam
dituntun agar selalu berpikir dan bersikap kritis dan
dinamis dalam melakukan perjuangan.

Perjuangan Jamaluddin al-Afghani di Mesir


Meskipun Jamaluddin al-Afghani bukan kelahiran Mesir,
tetapi dia lama tinggal di Mesir, hingga sebagian besar
perjuangannya dilakukan di Mesir. Maka bukanlah suatu
yang heran manakala dia termasuk salah satu tokoh
pembaharu Islam di Mesir.
Selama di Mesir itu, ia mengajukan konsep-konsep
pembaharuan, di antaranya sebagai berikut:
1. Musuh utama umat Islam adalah penjajah Barat. Hal ini
tidak lain dari lanjutan Perang Salib;
2. Untuk Islam, wajib menentang penjajahan di mana dan
kapan saja;
3. Untuk mencapai tujuan itu, umat Islam harus bersatu.
Persatuan Islam, menurut al-Afghani hanya dapat dicapai
apabila umat Islam berada dalam kesatuan pandangan dan
kembali kepada ajaran Islam yang murni (al-Qurân dan
Hadits). Dengan kata lain, pemurnian ajaran agama Islam
(Ka’bah, 1984:163).
Untuk pelaksanaan teknis usaha-usaha itu, Jamaluddin al-
Afghani juga mengajukan beberapa persyaratan. Antara
lain ia berpendapat:
1. rakyat harus bersih dari kepercayaan ketakhayulan;
2. orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai
tingkat/derajat budi luhur;
3. rukun iman harus betul-betul menjadi pegangan
hidup dan kehidupan manusia;
4. setiap generasi umat harus ada yang tergolong
lapisan istimewa, untuk memberikan pendidikan dan
pengajaran pada manusia-manusia yang bodoh, dan
juga memerangi hawa nafsu jahat dan menjadi
penegak disiplin;
5. umat harus memiliki teknik-teknik kemajuan Barat
dan mempelajari rahasia kekuasaan Eropa
(Djarnawi, tt.: 8).
Setelah 8 tahun di Mesir ia pergi ke Paris. Di Paris ia sempat
mendirikan perkumpulan yang bernama al-Urwatul Wusqo.
Tujuan dari perkumpulan ini untuk memajukan
persaudaraan dan membela umat Islam. Untuk tujuan ini
diterbitkan majalah al-Urwatul Wusqo. Pada akhir hayatnya
ia menetap di Istambul.
Selama tidak kurang dari delapan tahun Jamaluddin terus-
menerus membina masyarakat Mesir. Ia menyadarkan
rakyat atas kekeliruannya dalam memahami dan
mempraktikkan ajaran Islam. Al-Afghani juga
menganjurkan mereka supaya berjuang untuk
memperbaiki nasib sendiri, baik di bidang politik, sosial,
ekonomi, maupun kemasyarakatan lainnya.
Jamaluddin al-Afghani adalah pencetus pertama mengenai
pembaharuan politik. (Fazlur Rahman, 1984, 333). Pada
tahun 1876, Jamaluddin al-Afghani mendirikan suatu
organisasi politik yang dinamai Hizbul Wathan. Tujuan
pendirian organisasi itu adalah untuk memperbaiki nasib
rakyat dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan
pendidikan; meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan;
serta menentang kelaliman yang sedang memuncak,
sementara putra Mesir sangat dikhawatirkan oleh raja dan
pejabat-pejabat tinggi yang berketurunan Turki (Yusran,
1932: 43).
Rakyat semakin bertambah insap berkat adanya ceramah-
ceramah dari Jamaluddin. Pangeran Taufiq yang ingin
menggantikan ayahnya mendekati Jamaluddin dan
menjanjikan akan memperbaiki nasib rakyat serta
memberikan demokrasi penuh bila ia telah naik tahta.
Dengan bantuan Jamaluddin al-Afghani pangeran Taufiq
menggantikan ayahnya Kadevi Ismail Pasya pada tanggal
26 Juni 1879. Tetapi setelah dia naik tahta, Jamaluddin al-
Afghani ditangkap dan diusir dari Mesir.

Pengaruh Pan Islam terhadap Kebangkitan Dunia Islam


Gerakan Pan Islam menimbulkan banyak pengaruh positif
bagi kebangkitan dunia Islam. Negara-negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam, bergerak
mengadakan pemberontakan–pemberontakan terhadap
pemerintah imprialis. Di Mesir, al-Afghani sangat besar
pengaruhnya terhadap kebangkitan Mesir. Seperti
timbulnya gerakan berpikir, cita-cita Pan Islamisme telah
merata pada masyarakat Mesir, sehingga perjuangannya
terus berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Di
antara pengikut setia Jamaluddin al-Afghani di Mesir adalah
Muhammad ‘Abduh, Saad Zaglul Pasya, Ibrahim al-Laqoni,
Adib Ishak, dan sebagainya.
Seperti juga di Mesir, di Istambul gerakan pembaharuan
terus berkobar. ‘Abdul Hamid terus-menerus
menyebarluaskan cita-cita Pan Islamisme. Walaupun dia
lebih menonjolkan sifat otokrasi dan gaya politik yang
berbelit-belit, tetapi dia memegang peranan penting dalam
menyebarkan ajaran Pan Islamisme ke seluruh dunia Islam.
Seperti dengan timbulnya revolusi Turki Muda yang sangat
meruwetkan situasi pada tahun 1908, peristiwa itu tiba-
tiba melahirkan tenaga-tenaga besar yang penting, seperti
gerakan konstitusi-nasionalisme. Bahkan juga pergolakan
sosial yang sudah lama terbenam dan jadi benih, yang
secara tidak terang-terang dalam Islam (Nasution, 1979:
65).
Tindakan kasar yang dilakukan Inggris terhadap Parsi
menimbulkan kemarahan umat Islam. Ketika berita tentang
kejatuhan Turki tersiar, semangat jihad umat Islam
melonjak. Sebagaimana tercermin dari pernyataan seorang
Muslim India yang terkenal dalam tulisannya, “Raja Yunani
memerintah perang salib baru, …. maka adalah kewajiban
tiap mukmin untuk menggabungkan diri di bawah panji-
panji khalifah dan mengorbankan jiwa untuk membela
agama (Djarnawi, tt.: 17).
Pemberontakan-pemberontakan lain timbul di hampir tiap
negara Islam seperti Aljajair, Tripoli, Lybia dan sebagainya.
Semuanya itu merupakan pernyataan sentimen Islam
memperjuangkan, yang ditujukan kepada dunia Barat.

Daftar Rujukan
Abul Hasan Ali al-Nadwi, Pertarungan antara Alam Pikiran
Islam dengan Alam Pikiran Barat, Alma’arif,
Bandung, 1983.
Asmuni, Yusran, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Al-
Ikhlas, Surabaya, 1982.
Djarnawi, Hadikusumo, Aliran Pembaharuam Islam,
Persaan, Yogyakarta, Tt.
Harun, Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1982.
Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr.Harun Nasution, tentang Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek, Bulan Bintang, Jakarta,
1982.
Rahman, Fazlur, Islam, Pustaka, Bandung, 1984.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Tp, Jakarta, 1968.

II. Muhammad ‘Abduh


Syekh Muhammad ‘Abduh adalah seorang putra asli Mesir.
Lahir di sebuah pedesaan Mesir hilir pada tahun 1849.
Wafat pada tahun 1905. ‘Abduh terlahir dari pasangan
‘Abdullah bin Kasan Khaerullah, seorang ayah asal Turki
dan Ibunya mempunyai silsilah keturunan dari khalifah
kedua, ‘Umar bin Khattab.
Berkat otaknya yang cemerlang, dalam waktu dua tahun,
‘Abduh telah hafal al-Qurân seluruhnya. Ketika itu telah
berusia 12 tahun. Kemudian meneruskan pelajarannya
pada perguruan agama di Desa Tanta. Usai dari situ, ia
mengakhiri studinya di Al-Azhar, pada tahun 1827 dengan
predikat terpuji.
Syekh Muhammad ‘Abduh adalah murid dan kawan akrab
Sayid Jamaluddin al-Afghani. Beliau adalah pembaharu
yang berhasil melalui jalan pendidikan. Kecerdasan otak,
alim, gigih dan berani dalam menyampaikan kebenaran
abadi, membuat ide dan gerakannya dikagumi dunia. Baik
oleh kawan maupun lawan. Tidak sedikit karena idenya,
membuat dunia Islam bangkit menuju kemajuan.

Ide dan Gerakan Muhammad ‘Abduh


Syekh Muhammad ‘Abduh adalah seorang pembaharu
Mesir yang mempunyai pengaruh besar terhadap
kebangkitan kembali dunia Islam pada abad ke-20 ini. Ide
dan gerakannya banyak diikuti oleh negara-negara Islam
yang rata-rata (waktu itu) sedang berada di bawah
penjajahan. Atas pengaruh ide dan gerakan ‘Abduh yang
didukung oleh muridnya, negara-negara Islam bangkit satu
persatu dapat membebaskan diri dari belenggu penjajahan
dunia.
Untuk membedakan tentang pembahasan ide-ide Syekh
Muhammad ‘Abduh, dan gerakannya, ada baiknya
pembahasan kita pisahkan. Hal ini agar mendapat
kemudahan dalam menganalisa.

Ide-Ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh


Kalau diklasifikasikan ide-ide pembaharuan yang dilakukan
al-Afghani terbagi kepada 4 kelompok, yaitu:
1. Politik dan tanah air
2. Kemasyarakatan.
3. Aqidah.
4. Pendidikan dan bidang umum.

1. Politik dan tanah air


Dalam masalah politik, Muhammad ‘Abduh memberikan
prinsip demokrasi dalam pemerintahan dan pertalian
antara undang-undang negara dengan keadaan negeri.
Menurutnya, prinsip demokrasi harus dipegangi bersama,
baik oleh penguasa maupun rakyat biasa. Dalam persoalan
undang-undang, maka orang (lembaga) yang membuat
undang-undang hendaklah memperhatikan perbedaan di
kalangan rakyat.
Tentang masalah tanah air, Muhammad ‘Abduh
menggariskan bahwa hubungan tanah air (negara) dengan
warganya, berkonsekuensi (fungsi) negara menjadi terbagi
pada tiga kedudukan. Yaitu:
1. Sebagai tempat kediaman, yang memberikan makanan,
perlindungan dan tempat tinggal keluarga dan sanak
keluarga.
2. Sebagai tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban;
yang kedua-duanya menjadi poros (dasar) kehidupan
politik.
3. Tempat mempertalikan diri dimana seorang akan
bangga atau terhina karenanya (Hanafi, 1980: 150).
Tiga prinsip di atas, yaitu demokrasi, pembuatan undang-
undang dan tanah air, hendaknya, menurut ‘Abduh dibela
dan diperjuangkan selama-lamanya.

2. Kemasyarakatan
Yang dimaksud dengan kemasyarakatan ini adalah
nasionalisme Islam. Nasionalisme Islam dikedepankan oleh
‘Abduh dikarenakan adanya kemunduran umat Islam
Mesir, akibat lemahnya rasa nasionalisme. Lemahya
nasionalisme akibat kebodohan mutlak atau karena salah
memahami Islam dan kehidupan ini.
Dalam menilai keadaan kehidupan masyarakat, Muhammad
‘Abduh memberikan jalan keluar, sebagai obat penyembuh
kemerosotan rasa nasionalisme itu, tidak lain hanyalah
dengan jalan pendidikan yang berdasarkan Islam.
Sebagaimana beliau mengatakan: “Jiwa bersama isme
dalam suatu umat harus diperkuat. Sebaliknya jiwa
individual dan separatisme harus dikikis habis. Jalannya
tidak lain hanyalah dengan pendidikan yang didasarkan
atas ajaran Islam. Sebagai pendidikan yang benar (Hanafi,
1980: 183). Tapi ‘Abduh tidak menghendaki apabila
pendidikan hanya pelajaran agama saja. Perlu juga
ditunjang oleh pelajaran umum lainnya.

3. Aqidah
Dalam membahas aqidah, yang menjadi sebab kelemahan
umat Islam menurut Muhammad ‘Abduh adalah dominasi
umat Islam pada paham Jabariyah. Sebagaimana
dikatakannya: “Akibat aqidah jabariah, bukan saja
seseorang dirinya merasa lemah di depan Tuhan, tetapi
juga lemah di depan orang lain” (Hanafi, 1980: 186).
Untuk mengatasi dominasi jabariah, yang akan menjadi
jalan keluar dari bahaya ini, beliau membenarkan atas
penggunaan kemampuan akal yang tinggi. Tentang
keyakinan ‘Abduh pada kemampuan akal ini, diulas oleh
Harun Nasution dalam tulisannya, sebagai berikut:
Bagi Muhammad ‘Abduh, akal mempunyai
kedudukan yang tinggi. Wahyu tak dapat
membawa pada hal-hal yang bertentangan dengan
akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal,
haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu
sesuai dengan pendapat akal. Kepercayaan pada
kepercayaan akal adalah dasar peradaban suatu
bangsa (Nasution, 1982: 65).

4. Pendidikan dan bidang umum.


Dalam masalah pendidikan, Muhammad ‘Abduh paling
banyak memberikan idenya. Karena menurut ‘Abduh
pendidikan sebagai satu-satunya sebab yang membawa
umat bisa memberi arti kepada Islam dan kehidupan.
Keyakinan dia juga menyatakan kejumudan di kalangan
Islam disebabkan oleh taqlid buta. Masih bertalian dengan
itu, kemunduran Islam pun salah satunya disebabkan oleh
praktik-praktik pemuja yang berlebih-lebihan. Pemujaan
kepada syeh, wali atau patuh (berlebihan) kepada ulama.
Karena itu, ia ingin membebaskan dari pensikapan
sebagian umat itu, dengan jalan menggalakkan “otonomi”
pemikiran dan perjuangan. “Abduh memberikan gambaran
tentang kedudukan ijtihad dalam menginterpretasikan ayat
al-Qurân, sebagai berikut:
Ijtihad menurut pendapatnya bukan hanya boleh,
malah penting dan perlu diadakan… yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya, harus mengikutinya
pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya.
Lapangan ijtihad sebenarnya adalah mengenai soal-
soal muamalah yang ayat-ayatnya dan hadits yang
bersifat umum. Jumlahnya pun sedikit (Nasution,
1982: 64).
Walaupun pada dasarnya tidak boleh taqlid, bagi yang tidak
mampu berijtihad diberi kemudahan untuk bertaqlid.
Lapangan ijtihad saran beliau dibatasi pada persoalan
muamalah.
A. Hanafi mengomentari perjalanan ‘Abduh. Menurut
Hanafi (1980: 179), ‘Abduh mempunyai ide menghidupkan
kembali kitab-kitab lama dan memperkenalkan gaya baru
dalam menafsirkan al-Qurân.
Perhatian pada lembaga pendidikan, di antaranya
mengenai nasib Al-Azhar, beliau mulai dari memperbaiki
metode belajar bahasa. Awalnya metode pembelajaran
dengan cara menghafal. Lalu ‘Abduh mengganti dengan
sistem penguasaan dan penghayatan materi. Selain itu,
kurikulum pengetahuan umum juga disajikan kepada
murid, untuk menjawab tantangan dunia yang semakin
modern.
Kalau kita simak dari perjuangan Muhammad ‘Abduh, baik
gerakan yang berbau politis maupun pendidikan secara
akumulatif peranan beliau tersimpul berikut ini: beliau
adalah nasionalis Islam yang betul-betul mempunyai rasa
tanggung jawab atas bangsanya, membenci adanya
penjajahan terhadap dunia Islam, menciptakan pemerintah
demokrasi, pembuatan aturan hukum atas dasar Islam,
meluruskan kembali aqidah dan ajaran Islam sesuai dengan
al-Qurân dan sunnah, menciptakan pendidikan yang
seimbang antara kebutuhan dunia dan akhirat atas dasar
ajaran Islam, dan memakai metode dan sistem pendidikan
yang tepat dengan tuntutan zaman.

Gerakan Muhammad ‘Abduh


“Abduh sosok yang lengkap dalam berjuang untuk
kemajuan umat Islam. Bukan hanya ide, gerakan real pun
menjadi bagian dari perjuangan Muhammad ‘Abduh.
Kalau digolongkan tentang pola-pola perjuangan
Muhammad ‘Abduh, setidaknya dapat dibagi pada dua
kegiatan besar, yaitu kegiatan yang bersifat politik praktis
dan yang bersifat pendidikan.
Pertama, bidang politik. Dilakukan secara bersama-
bersama dengan gurunya Sayid Jamaluddin al-Afghani,
kedua tokoh pembaharu ini bekerja sama menentang
pemerintah melalui parlemen. Dua tahun setelah
menamatkan studinya di Al-Azhar, ‘Abduh dituduh ikut
dalam gerakan menentang Khedwi Taufik. Ia dibuang
keluar Kairo. Setahun kemudian, ia diijinkan kembali ke
Kairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi
pemerintahan Mesir yang bernama al-Waqai al-Misriyah.
Tapi ‘Abduh cerdik, dimanfaatkannya surat kabar ini untuk
menyiarkan paham nasionalisme Mesir.
Ide nasionalisme yang disiarkan Muhammad ‘Abduh
ternyata membawa hasil. Penyaiarannya mampu
mempengaruhi perwira-perwira Mesir. Tak lama dari itu,
para perwira yang dipimpin oleh Urabi Pasya melancarkan
pemberontakan, yang dikenal Peristiwa Revolusi Urabi
Pasya. Sayang, revolusi itu membuat kekalahan di pihak
nasionalis Mesir.
Setelah dipenjarakan, pada tahun 1882 Muhammad ‘Abduh
dibuang untuk pertama kalinya ke Beirut, kemudian ke
Paris. Pada tahun 1884 ia bertemu dengan Jamaluddin dan
bersama-sama menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa.
Majalah ini hanya berumur delapan bulan karena dilarang
beredar di beberapa daerah. Tahun 1885 Muhammad
‘Abduh kembali ke Mesir.
Kedua, bidang pendidikan. Muhammad ‘Abduh melakukan
perjuangan memilih pendidikan setelah merasakan
ketidakberhasilannya melalui jalur politik. Sebagaimana
dilansir oleh Hadikusuma (Tt.: 35): “Muhammad ‘Abduh
menghentikan perjuangannya dalam bidang politik, lantas
seluruh energinya dipusatkan untuk pembentukan kader.
Kemudian mengajak umat untuk memahami agama secara
rasional”. Perjuangan pendidikan ‘Abduh lakukan setelah
berpisah dengan Jamaluddin.
Beliau pernah menjadi anggota Majelis A’la dari Al-Azhar.
Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Jabatan
tinggi inilah yang pegangi sampai akhir hayatnya.
Tidak mengherankan apabila setelah ia menjabat mufti ini
Muhammad ‘Abduh lebih leluasa bergerak di bidang
pendidikan. Perbaikan terhadap tubuh Al-Azhar terus
dilakukan dan tidak putus-putus, mengadakan bimbingan
Masyarakat. Beliau masih sering memberikan kuliah-kuliah
kepada Mahasiswa al-Azhar.
Apabila dibandingkan dengan kegiatan politik, jelas jalur
pendidikanlah yang menghantarkan ia pada keberhasilan
(dalam pembaharuannya) yang cukup gemilang.

Pengaruh Perjuangan ‘Abduh terhadap Dunia Islam


Pengaruh ide dan gerakan Muhammad ‘Abduh bukan hanya
di Mesir saja, melainkan hampir ke seluruh negara-negara
Islam, seperti India, Pakistan, dan Indonesia. Ide ini
tersebar luas atas murid-muridnya yang menerbitkan buku
dan majalah dengan memuat pemikiran Muhammad
‘Abduh. Salah satu contoh, majalah Al-Azhar sampai juga ke
Indonesia, dan banyak dibaca oleh kaum terpelajar
Indonesia.
Muhammad ‘Abduh merupakan tokoh modernis, dalam
pengertian bahwa beliau menganjurkan umat untuk
mengikuti hasil cerna pikiran modern. Pola inilah yang
dapat membenarkan “kebenaran agama Islam” (Gibb, 1961:
145).

Daftar Rujukan
Djarnawi, Hadikusuma, Aliran Pembaharuan Islam dari
Jamaluddin al-Afghani sampai K.H Ahmad Dahlan,
Penerbit Persatuan, Yogyakarta, Tt.
Esposito, Jhon L dan Jhon J Donohue, Islam dan
Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah,
Rajawali, Jakarta, 1984.
Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Al-Husna, Jakarta, 1980.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1982.
Grunebaum, G. E Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman,
Yayasan Perhidmatan, Jakarta, 1975.
III. Rasyid Ridha

Rasyid Ridha adalah salah seorang murid dari sekian


banyak murid Syeh Muhammad ‘Abduh. Ridha adalah
seorang murid yang paling dekat dan akrab dengan
Muhammad ‘Abduh. Ridha juga ialah seorang pembuka
pintu pembaratan (westernisasi) bagi generasi sesudahnya,
Qosim Amin, Ali Abdu al-Raziq, Muhammad Qurdi dan
Thoha Khusaen. Semua murid itu ialah pembawa aliran-
aliran liberal, untuk mendukung logika-logika mereka.
Sangat menyedihkan, hanya ada satu di antara teman-
teman Muhammad ‘Abduh yang tidak percaya terhadap
pemikiran ‘Abduh. Yaitu kawan akrab dan kawan setianya,
yakni Rasyid Ridha. Untuk membuktikan kekeliruan
gurunya, Ridha memulai kariernya dengan mengedit dan
mengulas tulisan dan pemikiran ‘Abduh. Setelah beberapa
tahun berlalu, kekeliruan pada argumentasi gurunya
ditemukan oleh dia. Jelas baginya, ia menyatakan beda
dengan Muhammad ‘Abduh. Rasyid Ridha tidak
(terlampau) merindukan peradaban Barat modern. Seluruh
hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya, beliau mencari
konsepsi Islam yang tegas dan utuh (Jamelah, Tt.).
Untuk memahami secara lengkap, kendatipun suingkat,
bagaimana hubungan antara Rasyid Ridha dengan
perjuangan pembaharuan akan dijelaskan riwayat hidup
beliau. Berikut ini akan diuraikan riwayat hidup singkat,
ide-ide dan pokok pikiran penerus perjuangan gurunya,
Syekh Jamaluddin al-Afghani.
Kehidupan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha dilahirkan pada bulan Jumadil Ula 1282 H
bersamaam dengan Oktober 1865 M. Nama lengkapnya
ialah Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Ia terlahir di sebuah
dusun kecil yang bernama Alqolamun, yaitu desa dekat
Kota Tripoli (Suria). Gelar al-sayid yang diletakan di depan
namanya menandakan, menurut satu keterangan sebagai
keturunan dari Husain, cucu dari Rasulullah Saw.
Pendidikan yang ditempuhnya, ketika ia kecil adalah
madrasah tradisional di Alqolamun. Di sekolah tersebut ia
belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kemudian beliau
meneruskan pelajarannya di sekolah yang bernama al-
Madrasah al-Wathaniyah (Sekolah Nasional Islam) di
Tripoli. Pada madrasah inilah beliau belajar bahasa Arab,
bahasa Turki, bahasa Perancis dan ilmu pengetahuan
agama. Di samping itupun pada madrasah ini pula beliau
mulai mempelajari ilmu pengetahuan modern.
Pendiri dari Madrasah tersebut adalah al-Syaikh Husein al-
Jirs, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-
ide modern; sehingga dalam metode pengajarannya dan
juga cara berpikirnya sudah tidak ortodoks lagi, tapi telah
berpikirkan modern. Pendirian sekolah atau Madrasah itu
pun bertujuan mengimbangi sekolah-sekolah yang
didirikan oleh zending-zending misionaris Kristen, yang
terlebih dahulu telah modern, baik dari segi kurikulum
ataupun dari segi metode penyampaian, sampai sarana pun
telah modern. Sehingga, para orang tua banyak yang
tertarik untuk memasukan anak-anak pada sekolah
tersebut (Asmuni, 1982: 51). Tetapi walaupun demikian
adanya, Syaikh Husein tidak begitu saja melepaskan
muridnya yang cerdas, seperti Rasyid Ridha. Ia tetap
menjalin hubungan yang akrab. Malahan beliaulah yang
membimbing Rasyid Ridha hingga mencapai
kedewasaannya.
Selanjutnya, Ridha meneruskan studinya ke Tripoli. Di
sinilah beliau mengenal Muhammad ‘Abduh dan Syaikh
Jamaluddin al-Afghani yang kemudian banyak
mempengaruhi ide-idenya semasa perjuangannya. Sebagai
salah seorang reformis Islam yang mempunyai banyak
pengaruh. Menurut Nadjib Achjad, organisasi-organisasi
Islam modern (seperti organisasi Muhammadiyah
Yogyakarta, al-Ishlah wal Irsyad di Jakarta, organisasi
Persatuan Islam di Bandung) semua terpengaruhi pula oleh
gerakan Wahabi, Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha.
Selain itu, Rasyid Ridha pun memperoleh tambahan ilmu
keagamaan melalui membaca kitab-kitab. Kitab paling
mungkin mempengaruhi pemikirannya ialah hasil karya al-
Ghazali, Ihya Ulumudin. Maha karya hujjatul Islam itu
sangat besar pengaruhnya terhadap hidup dan kehidupan
beliau. Terutama sikap patuh pada hukum dan
kebaktiannya terhadap agama (Yusran, 1982: 52).
Pada masa remaja, Ridha menyebarkan ide-idenya melalui
penerbitan majalah al-Manar. Tujuan dari penerbitan
majalah tersebut adalah: mengadakan pembaharuan dalam
bidang agama, sosial dan ekonomi; memberantas takhayul
dan bid’ah-bid’ah yang masuk dalam tubuh Islam;
menghilangkan paham fatalisme yang terdapat pada
sebagian umat Islam; serta paham yang salah pengaruh
tarekat-tarekat dan tasawuf; dan meningkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan
politik negara-negara Barat (Asmuni, 1982: 52).
Pada suatu kesempatan lain, Ridha berhasil mendesak
gurunya untuk menafsirkan Al-Qurân secara modern. Lalu
ia menyusunnya dalam sebuah tafsir yang dibukukan.
Terkenal dengan nama tafsir al-Manar. Tapi sebelum
penafsiran Muhammad ‘Abduh usai ia lebih dahulu wafat,
maka penafsiran al-Qurân dilanjutkan oleh Ridha sampai
juz yang terakhir. Tak lama, Rasyid Ridha meninggal dunia,
pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H/22 Agustus 1935 M.
Pada bidang pendidikan, Rasyid Ridha pernah pula
mendirikan sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah
al-Dakwah wa al-Irsyad. Madrasah ini merupakan jawaban
dari Rasyid Ridha atas keluhan para orang tua muslim atas
sekolah-sekolah yang didirikan oleh Missionaris Kristen di
beberapa negara. Para alumni dari madrasah ini dikirim ke
negara-negara yang memerlukannya. Tapi, madrasah ini
pun tak lama umurnya, karena dunia sedang perang.

Pokok-pokok Pikiran Rasyid Ridha


Sebagaimana telah diuraikan bahwa Rasyid Ridha adalah
salah seorang murid Muhammad ‘Abduh. Murid yang paling
dekat, sekaligus teman akrabnya. Ridha adalah penerus
perjuangan ‘Abduh. Dengan sendirinya, pokok-pokok
pikiran Ridha tak terlampau jauh dari pemikiran
Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Di antara
pokok-pokok pikiran Sayid Muhammad Rasyid Ridha
adalah sebagai berikut:

1. Aspek Keagamaan
Fokus pembaharuan Rasyid Ridha ialah pada aspek
keagamaan, tuntunan adanya kemurnian ajaran Islam; baik
dari aqidahnya atau segi alamiahnya.
Menurut analisa Rasyid Ridha, ajaran Islam yang murni
itulah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itu
sebabnya segala macam khurafat, bid’ah dan ajaran-ajaran
yang menyeleweng dari ajaran murni harus disingkirkan
dari agama Islam. Selanjutnya, salah satu sebab yang
membawa masyarakat Eropa kepada kamajuan ialah
paham dinamisme yang terdapat di kalangan mereka. Islam
sebetulnya dinamis. Orang Islam disuruh aktif, dinamis dan
kreatif. Aktif itu terkandung dalam arti jihad. Jihad dalam
arti berusaha keras, dan sedia berkorban harta, bahkan
jiwa untuk mancapai tujuan perjuangan. Paham jihad
serupa inilah yang menyebabkan umat Islam di zaman
klasik dapat menguasai dunia (Nasution, 1975: 69).
Mengenai masalah mazhab dalam fiqhiyah, beliau sangat
menganjurkan adanya toleransi mazhab. Tetapi harus
diusahakan adanya persamaan dalam masalah -masalah
fundamental atau pokok. Artinya, masalah yang bersifat
pokok hendaklah umat Islam satu “irama”, sedangkan
masalah yang furuiyah atau cabang, terserah masing-
masing untuk menggunakan akalnya dalam berijtihad.

2. Aspek Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Rasyid Ridha menginginkan
pembaharuan kurikulum dengan penambahan
pengetahuan modern, di samping pengetahuan agama.
Lebih lengkap penjelasan ini diungkapkan oleh Harun
Nasution, sebagai berikut:
Rasyid Ridha juga merasa perlunya dilaksanakan ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu, ia
melihat perlu ditambah ke dalam kurikulum mata
pelajaran berikut: Teologi, Pendidikan Moral,
Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah Ekonomi, Ilmu Hitung,
Ilmu Kesehatan, Bahasa Asing, dan Ilmu Mengatur
Rumah Tangga (kesejahteraan keluarga), di samping
fiqh, tafsir, hadis, dan lain-lain; yang biasa diberikan
di madrasah-madrasah modern (Nasution, 1975: 69).
Masih pada aspek pendidikan, salah satu aktivitas dan
sebagai realisasi dari adanya pendidikan yang perlu
diperbaharui, ialah mendirikan satu lembaga pendidikan
formal. Lembaga itu sebuah madrasah yang modern, yang
diberi nama Madrasah al Dakwah wal Irsyad, pada tahun
1912 M di Kairo. Mula-mula beliau menginginkan pendirian
madrasah tersebut di Konstantinopel dengan bantuan
pemerintah setempat, akan tetapi gagal.
Karena dukungan yang didapatkan minim, hampir saja
rencana gagal. Walaupun demikian, madrasah tersebut
akhirnya dapat juga terwujud di Kairo. Tujuan pendirian
madrasah tersebut adalah untuk memenuhi keluhan-
keluhan umat Islam dunia, di antaranya dari Indonesia,
tentang aktivitas missionaris Kristen yang mendirikan
sekolah-sekolah bernuansa keagamaan.
Adapun para lulusan dari madrasah yang didirikan Rasyid
Ridha tersebut nantinya dikirim ke negeri-negeri Islam.
Akan tetapi umur madrasah ini tidak terlalu panjang, sebab
ada beberapa faktor yang menghambat.
Bagaimanapun realitas perjuangan Muhammad Rasyid
Ridha, tokoh ini berhasil membentuk suatu komunitas
besar –big community— antar umat Islam antar negara di
hamparan persada dunia ini (Grunebaum, 1975: 394) dan
dalam arti yang lebih luas Rasyid Ridha merupakan salah
seorang pencetus pembaharuan yang idenya
mempengaruhi kepada berbagai reformasi di negara-
negara yang berpenduduk Islam. Salah satunya reformasi
Magribi.
Daftar Rujukan
Asmuni, Isran, Aliran Modern dalam Islam, Al-Ikhlas
Surabaya, 1982.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keagamaan, Yayasan
Perhidmatan, Jakarta, 1975.
IV. Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi

Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1871), lebih dikenal


dengan nama al-Tahtawi. Rafi’ merupakan salah seorang
tokoh pembaharuan Islam di Timur Tengah. Tokoh ini lahir
pada masa gerakan pembaharuan di Mesir dilakukan di
bawah kendali Muhammad Ali Pasya.
Rafi’ lahir pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang tak
terletak di Mesir bagian selatan. Meninggal di Kairo pada
tahun 1871. Ketika Muhammad Ali Pasya, penguasa Mesir,
mengambil alih seluruh kekayaannya di Mesir, harta orang
tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang
diambilalihkan itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya
dengan bantuan keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun,
ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah 5 tahun
menuntut ilmu, ia selesai dari studinya di al-Azhar
(Nasution, 1975: 42).
Pada saat pembaharuan yang dicanangkan oleh Ali Pasya,
salah satu kendala yang dihadapi adalah kurangnya tenaga-
tenaga terdidik lulusan universitas. Untuk itu, Muhamamd
Ali Pasya mengirimkan mahasiswa-mahasiswa Mesir untuk
belajar ke Perancis (seperti telah diulas pada Bab II). Dalam
program pengiriman mahasiswa Mesir ke Perancis inilah
al-Tahtawi ditunjuk oleh Muhamamd Ali Pasya sebagai
Imam bagi mahasiswa-mahasiswa Mesir yang berada di
Perancis.
Ketika berada di Paris dalam kedudukannya sebagai imam
mahasiswa, beliau tidak menyia-nyiakan kesempatannya
untuk belajar tentang seluk-beluk peradaban Barat. Dalam
kajiannya tentang peradaban Barat, beliau mengatakan
bahwa ilmu pengetahuan Eropa bermula dari Arab; dan
bahwa kemajuan Eropa sangat tergantung pada prestasi
Islam Spanyol (Turner, 1984: 278). Lebih lanjut beliau
mengatakan, dengan menerima ilmu pengetahuan modern,
orang-orang muslim hakikatnya, hanya sekedar mengambil
apa yang semula adalah milik mereka.
Pemikiran al-Tahtawi sangat konsisten pada syari’at Islam.
Beliau menyatakan bahwa peraturan-peraturan syari’ tidak
bertentangan dengan kebanyakan hukum-hukum alam ini.
Peraturan-peraturan itu mencerminkan watak alami yang
diciptakan Tuhan pada diri manusia (Esposito, 1984: 14).
Sebagai tokoh pembaharu Islam yang mempunyai wawasan
luas karena pengalaman-pengalamannya, dan komitmen
dengan Islam, al-Tahtawi telah memberikan sumbangan
gagasan-gagasan tentang pembaharuan Islam. Di antara
gagasan-gagasannya adalah:
1. Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal akhirat
tetapi juga soal hidup di dunia. Umat Islam harus
mementingkan hidup duniawinya.
2. Kekuasaan absolut raja harus dibatasi oleh syari’at, dan
raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum
terpelajar seperti: dokter, ekonom, dan lain-lain.
3. Syari’at harus disesuaikan dengan perkembangan
modern.
4. Para ulama hendaknya mempelajari filsafat dan ilmu-
ilmu pengetahuan modern agar dapat menyesuaikan
syari’at dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
modern.
5. Pendidikan harus bersifat universal, dan sama
bentuknya untuk semua golongan. Wanita harus
memperoleh pendidikan yang sama dengan pria. Isteri
harus menjadi teman suami dalam hidup intelektual
dan sosialnya; bukan hanya untuk tinggal di dapur.
6. Umat Islam harus bersifat dinamis dan meninggalkan
sifat statisnya (Nasution, 1974: 98-99).

Daftar Rujukan

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,


Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah,
Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,
1975.
Esposito, John L dan Donohue, Islam dan Pembaharuan,
Ensiklopedi Masalah-masalah, Rajawali, Jakarta,
1984.
Turner, Bryan S, Sosiologi Islam, Suatu Telaah Analisis atas
Thesa Sosiologi Weber, terjemahan G.A. Ticoalu,
Rajawali, Jakarta, 1984.
V. Hasan al-Bana

Hasan al-Bana (1906-1949) adalah pendiri Gerakan


Ikhwanul Muslimin. Gerakan itu, merupakan gerakan
pembaharuan Islam yang bercorak radikal-revolusioner.
Hasan al-Bana adalah seorang sufi. Ia lulusan Darul Ulum
Kairo dan salah seorang sahabat Rasyid Ridha (Nadvi,
1984: 155).
Hasan al-Bana lahir pada tahun 1906 di sebuah desa kecil
di Provinsi Gharbia. Ia berasal dari suatu kalangan “khas”
Islam. Ayahnya ialah seorang tukang jam, dan pada waktu
yang sama, ayahnya menjadi imam dan khatib masjid desa
itu. Di malam hari, al-Bana mempelajari himpunan-
himpunan hadits dan karya-karya musnad. Ia pun pernah
menulis tentang soal-soal tersebut. Al-Bana kecil
dibesarkan dengan al-Qurân, hafal di luar kepala.
Sementara imajinasinya dinyalakan terus oleh “kayu bakar”
kisah–kisah rakyat Mesir.
Riwayat pendidikan yang ia lakoni dimulai di sekolah
persiapan (I’dadiyyah). Pada usia 14 tahun (1920), ia
masuk sekolah pendidikan guru di Damanhur. Tahun 1923
ia diterima pada Dâr al-’Ulum di Kairo (Gruenbaum, 1975:
36).
Gerakan pembaharuan Islam dari Hasan al-Bana melalui
gerakan Ikhwanul Muslimin, dilihat oleh Smith, sebagai
gerakan Islam yang paling dinamik untuk saat itu (Smith,
1970: 268). Dinamikanya disupport oleh dasar pendirian
Ikhwanul Muslimun yang timbul dari kepentingan al-Bana
melihat bentuk pengaruh modernisasi sekuler Barat pada
kehidupan umat sudah membabi buta (Esposito, 1984:11).
Dalam pernyataannya kepada orang Barat, al-Bana menulis
uraian tentang kenyataan bahwa Islam unggul secara
konsep, tentang kehidupan bermasyarakat, yang hingga
sekarang tak ada tandingannya. Ajaran-ajaran yang unggul,
menurut al-Bana itu adalah:
1. Rasa persaudaraan: Islam menolak permusuhan dan
fanatisme;
2. Perdamaian: pikiran yang membenarkan perang suci
adalah tidak benar;
3. Kemerdekaan: mereka yang mencurigai Islam sebagai
suatu agama yang memberikan kesempatan hidupnya
perbudakan dan penjajahan, adalah tidak benar;
4. Keadilan sosial: sebagai ciri utama ajaran Islam tentang
(pembatasan kekuasaan dan struktur masyarakat);
5. Kebahagiaan: rasa puas dengan penyataan kemiskinan
adalah tidak dibenarkan;
6. Keluarga: hal–hal yang berkaitan dengan hak-hak
wanita, jumlah isteri dan hak waris-mewaris sudah
jelas;
7. Ilmu pengetahuan: mereka yang menuduh Islam
menghendaki kebodohan dan sikap acuh tak acuh
adalah keliru;
8. Pengaturan dan penetapan kewajiban: mereka yang
berpendapat bahwa pada dasarnya Islam merupakan
sumber kesewenangan-wenangan dan ketidakaktifan
adalah tidak benar;
9. Kepatuhan: jaminan idiologi terhadap kenyataan agama
dan perbuatan baik serta pahala atas kepatuhan itu;
Selain keunggulan konsep, dilengkapi pula oleh adanya
dukungan realitas (kenyataan) pada fakta-fakta berikut ini:
1. Untuk kebaikan manusia pada umumya, kaum muslimin
harus berbalik haluan untuk kembali kepada agama
mereka. Sebagai hasilnya Islam akan menemukan
kekuatannya yang tangguh di muka bumi ini;
2. Walaupun tanpa dukungan dari fanatisme yang
membabi-buta, namun gerakan (Ikhwanul Muslimin) ini
akan dilandasi oleh keyakinan yang teguh terhadap
nilai-nilai Islam, yang secara mutlak sejalan dengan
penemuan yang dihasilkan berdasarkan pikiran-pikiran
modern; sebagai satu-satunya nilai yang paling luhur,
cocok dan tahan uji di dalam masyarakat. Allah jualah
yang menunjukkan yang benar dan yang menunjukkan
jalan lurus itu (Esposito, 1984: 136-138).
Gagasan al-Bana yang termanifestasikan dalam gerakan
Ikhwanul Muslimin dinilai sebagai gerakan radikal dan
fundamentalis, karena beberapa alasan:
1. Penegakan Darul Islam;
2. Pemeliharaan syari’at Islam;
3. Memupuk persaudaraan Islam (Nadvi, 1984: 156).
Meskipun Hasan al-Bana dinilai oleh kebanyakan orang
sebagai aktivis yang radikal, sebetulnya Hasan al-Bana
mementingkan aspek-aspek kepentingan Islamiyah yang
mencita-citakan persaudaraan kaum muslimin se dunia
(Gauhar, 1983: 133).

Daftar Rujukan
Gauhar, Altaf, Tantangan Islam, Pustaka, Bandung, 1985.
Smith, Donald E., Religion and Political Development, Litte
Brown and Company, Boston, 1970.
Esposito, John L., Dinamika Kebangunan Islam, Rajawali,
Jakarta, 1984.
Esposito, John L. dan John J. Donohue, Islam dan
Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah,
Rajawali, Jakarta, 1984.
Nadvi, Syed ‘Abdul Haq, Dinamika Islam, Risalah, Bandung,
1982.
Grunebaum, G.E. Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman,
Yayasan Perhidmatan, Jakarta, 1975.
VI. Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab

Pada periode modern eksistensi gerakan Wahhabi sangat


populer. Gerakan ini merupakan gerakan pembaharuan
yang puritan. Yaitu pemurnian terhadap ajaran Islam. Di
samping itu, gerakan Wahhabi menolak setiap pengaruh
Barat. Gerakan yang dikenal dengan nama Wahhabiah
menisbatkan kepada nama Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
Dalam tradisi literatur Islam lebih dikenal dengan nama al-
Muwahhidun. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1703-
1787), tokoh gerakan itu memang mementingkan tauhid,
memperjuangkan kebangkitan Islam dengan menolak
setiap pengaruh Eropa (Gauhar, 1983: 133).
Kemurnian paham tauhid mereka telah dirusak oleh
kebiasaan-kebiasaan yang datang di bawah pengaruh
tarekat-tarekat, seperti pemujaan dan kepatuhan yang
berlebih-lebihan pada syekh-syekh tarekat, ziarah ke
kuburan-kuburan wali dengan maksud meminta syafa’ah
(pertolongan) dari mereka, dan sebagainya. Menurut
Muhammad bin ‘Abdul Wahab kebiasaan-kebiasaan itu
mengandung arti syirik atau politheisme, dan harus
diberantas. Semua itu adalah bid’ah (sesuatu yang asing)
yang dibawa orang dari luar (Islam) masuk ke dalam Islam.
Bid’ah itu mestinya dibuang dan orang harus kembali
kepada tauhid dan Islam yang sebenar-benarnya. Tauhid
dan Islam yang murni terdapat pertama-tama pada masa
Nabi Muhammad Saw, kemudian pada sahabat, lalu para
iman-iman dan ulama-ulama besar, dan selanjutnya.
Mereka ini disebut salaf. Islam sesudah zaman salaf banyak
terkontaminasi oleh bid’ah. Untuk memurnikan Islam
semua bid’ah itu mesti dibuang (Nasution, 1974: 95).
Muhammad Ibn ‘Abdul Wahab telah menjadikan Islam
menjadi satu kesatuan yang terpadu antara segi-segi
spiritual dan hal-hal duniawi, berwujud dalam satu gerakan
politik religius (Esposito, 1985: 21). Persoalan tauhid
merupakan ajaran paling mendasar dalam Islam, oleh
karena itu tidak mengherankan jikalau Muhammad bin
‘Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada soal-soal ini.
Dapat kita teringai dari beberapa pendapatnya, sebagai
berikut:
1. Dzat yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan.
Orang yang menyembah selain Tuhan telah menjadi
musyrik dan bolah dibunuh;
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham
tauhid yang sejati, karena mereka meminta pertolongan
bukan lagi kepada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali
dan dari kekuatan gaib lain. Orang Islam demikian itu
juga telah menjadi musyrik;
3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai
pengantar dalam do’a juga merupakan syirik;
4. Meminta syafa’at selain kepada Tuhan adalah syirik;
5. Bernazdar kepada selain Tuhan adalah syirik;
6. Memperoleh pengetahuan selain dari al-Qurân, hadits
dan qias (analogi) merupakan kekufuran;
7. Tidak percaya kepada qadla dan qadar Tuhan juga
merupakan kekufuran;
8. Demikian pula menafsirkan al-Qurân dengan ta’wil
(interpretasi bebas) adalah kufur (Nasution, 1975: 24-
25).
Gerakan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sangat
berpengaruh ke berbagai negeri Islam. Di Indonesi gerakan
yang mirip dengan gerakan al-Muwahhiddun yang puritan
adalah Persatuan Islam (persis). Apakah hal itu ada kaitan
langsung atau tidak, perlu diteliti lebih lanjut.
Pemikiran-pemikiran Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yang
mempunyai pengaruh besar pada perkembangan
pemikiran pembaharuan pada abad ke sembilan belas
Masehi, di antaranya berikut ini:
1. Hanya al-Qurân dan Hadits-lah yang merupakan
sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat para
ulama tidak merupakan sumber asli;
2. Taqlid kepada ulama tidak dibenarkan;
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup (Nasution,
1975: 26).

Daftar Rujukan
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Esposito, John L., Islam dan Perubahan Sosial Politik di
Negara sedang Berkembang, PLP2M, Jakarta, 1985.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,
1975.
Nadvi, Syed ‘Abdul Haq, Dinamika Islam, Risalah, Bandung,
1982.
Bab IV
Pembaharuan Islam di Turki

Pendahuluan

Sebelum Islam masuk ke Turki, bangsa Turki memeluk


agama Majusi, Budha dan agama lainnya. Bangsa Turki
termasuk bangsa campuran antara bangsa mongol dan
bangsa lainnya di Asia Tenggara. (Stoddard, 1966: 19).
Menurut Stoddard, ketika bangsa Arab mengembangkan
panji Islam ke Persia, terjadilah kontak pertama antara
orang Arab dengan orang Turki. Sejak itu, masuklah ajaran
Islam ke Turki. Akhirnya, Islam berkembang dengan
suburnya di daerah itu, waktu itu.
Pada tahun 1037 sultan Turki Saljuk dapat menguasai
Kekhalifahan Abbasiyah. Akan tetapi, kemudian tenggelam
dilumpuhkan oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan
Djengis Khan (Stoddard, 1966: 22). Bangsa Turki yang
dipimpin oleh Ertghril, selanjutnya menjelma menjadi
Turki Utsmani yang kekuasaannya pada puncak kemegahan
antara tahun 1520-1566, di bawah pemerintahan Sulaiman
I. Walaupun demikian, akhirnya bangsa ini juga mengalami
keruntuhan pada abad ke-19. Bangsa Turki yang semula
bersifat keras itu, akhirnya jatuh amblas menjadi masa
bodoh dan kurang mengembangkan teknik perang. Tenaga
militernya pun di akhir kejayaannya hampir lenyap
(Stoddard, 1966:26).
Walau Turki mengalami kemunduran, namun kemudian di
lain masa bisa bangkit kembali. Kebangkitannya, berkat
ketekunan tokoh-tokohnya dengan mengadakan
modernisasi pada beberapa aspek kehidupan. Kendatipun
ada yang disayangkan, tidak semua modernisasi
menunjang bagi perkembangan Islam.
Gelombang kebangkitan yang dinamis, dimotori oleh
golongan-golongan masyarakat yang ada di Turki. Secara
singkat golongan-golongan yang muncul di Turki dengan
ide pembaharuannya, antara lain:
1. Tanzimat; yang berarti usaha pembaharuan yang
mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur
organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan;
2. Usmani Muda; yang bergerak dalam bidang pendidikan,
bank nasional, hukum dan undang-undang dasar;
3. Turki Muda (1898-1988) yang bertujuan untuk:
reorganisasi negara-negara secara modern;
nasionalisme Turki; dan kesatuan bangsa, negara dan
bangsa.
Ide-ide pembaharuan yang mengilhami mereka itu
bermacam-macam, tetapi ada juga di antara mereka yang
idenya saling mendukung satu sama lain. Untuk lebih
jelasnya marilah kita ikuti uraian berikut ini.

1. Tanzimat
Istilah tanzimat ini berasal dari bahasa Arab, dari kalimat
“tanzim” yang berarti pengaturan. Secara terminologi
tanzimat dimaksudkan sebagai suatu usaha pembaharuan
yang mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur
organisasi pemerintah, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Secara khusus untuk menyebut pergerakan pembaharuan
khas yang muncul di Turki, terjadi antara tahun 1839
sampai dengan tahun 1971 (Asmuni, 1982: 18).
Tokoh-tokoh tanzimat antara lain ialah Mahmed Sadik
Rif’at Pasya, Mustafa Sami Pasya, Mustafa Rasyid Pasya, Ali
Pasya dan Fu’ad Pasya. Pada tulisan kali ini akan dijelaskan
secara singkat latar belakang pengalaman hidup, peranan
dan aktivitas upaya pembaharuan tokoh itu.

Mahmed Sadik Rif’at Pasya


Mahmed Sadik Rif’at Pasya (1807-1856) menyelesaikan
pendidikan dasarnya di Madrasah. Ia melanjutkan belajar
di Sekolah Sastra.
Pengalaman dalam bidang kepegawaian-politik, tak lama
lulus dari sekolah, ia menjadi pegawai istana. Akhirnya,
tahun 1834 menjadi Pembantu Menteri Luar Negeri. Tahun
1837 menjadi Duta Besar di Wina (Nasution, 1979:102).
Sadik banyak dipengaruhi oleh ide egalite’ (persamaan),
fraternite’ (persaudaraan) dan liberte’ (kebebasan); yang
ditimbulkan oleh Revolusi Perancis. Sadik berkeinginan
memasukan paham-paham itu ke dalam praktik
pemerintahan pada masyarakat Utsmani. Menurut
pendapatnya, pemerintahan harus didasarkan atas prinsif
memerintah untuk kepentingan rakyat dan bukan rakyat
dikorbankan untuk kepentingan pemerintah. Penguasa
(sultan) harus tunduk pada undang-undang. Negara harus
tunduk pada berbagai perundang-undangan tentang:
hukum dan administrasi, pengaturan hak dan kewajiban,
reorganisasi angkatan bersenjata, pendidikan keterampilan
pegawai dan bank modern (Asmuni, 1982: 19).
Sebagai orang yang berpengalaman menjadi menteri luar
negeri dan menjadi duta besar di Wina, ide-ide Sadik
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dan peradaban Barat.
Khususnya tentang persamaan, persaudaraan, dan
kebebasan tadi. Walaupun pada dasarnya, gagasannya ingin
membangkitkan bangsa Turki dari keruntuhan, namun
arah pembaharuan yang dibawa oleh Rif’at Pasya ini adalah
kebarat-baratan.

Mustafa Sami Pasya


Mustafa Sami Pasya (wafat tahun 1955). Pengalaman ia
berada di luar negeri cukup lama. Antara lain di Roma,
Wina, Brussel, London, Paris, dan negara lainnya, sebagai
duta negara (Nasution, 1979: 102).
Menurut Sami, kemajuan bangsa Eropa terletak pada
keunggulan mereka dalam ilmu pengetahun dan teknologi.
Sisi keunggulan lain mereka, disebabkan mereka dapat
melepaskan diri dari ikatan agama. Pendapat yang terakhir
inilah yang menyebabkan dia dianggap kafir oleh golongan
konservasif (Nasution, 1975: 97).
Ide pembaharuan Mustafa Sami Pasya ini tampaknya lebih
bersifat kebarat-baratan lagi, jika dibandingkan dengan
gagasan Mahfud Sadik Pasya. Mustafa Sami Pasya telah
menyalahgunakan prinsif pembaharuan dalam agama
(Islam), sehingga dia berani mengemukakan bahwa salah
satu cara untuk mencapai kemajuan adalah meninggalkan
ajaran agama, seperti halnya yang dilakukan oleh orang-
orang Barat.
Menurut Sami Pasya, praktik pembaharuan yang
bertentangan dengan prinsip keagamaan, dianggap olehnya
lebih baik. Dan itu yang semestinya dilakukan dalam agama
(Islam). Berbeda dengan praktik pembaharuan dalam Islam
yang konservatif. Secara konservatif pembaharuan
bukanlah meninggalkan ajaran agama, melainkan kembali
kepada ajaran Islam yang murni, sesuai dengan apa yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad Saw.; memperbaharui
pola berpikir terhadap ajaran agama itu sendiri, bukan
agama yang diperbaharui.
Keterkaitan pendirian konservatif dengan ide
pembaharuan Sami Pasya ialah pada praktik bernegara.
Dalam hal pokok kepercayaan, konservatif perlu
dipertahankan. Konsevatisme dalam agama memerlukan
pemeliharaan-pemeliharaan, dengan jalan menambah ilmu
pengetahuan dan memperluas pandangan terhadap
keseluruhan soal kehidupan yang dapat melapangkan
pikiran. Oleh karena itu, perubahan dalam berpikir dan tata
kerja perlu disesuaikan dengan tuntutan kehidupan, yang
sesuai dengan kemajuan dunia.

Rasyid Pasya
Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858) berpendidikan
Madrasah. Kemudian menjadi pegawai pemerintah. Tahun
1834 diangkat menjadi Duta Besar di Perancis. Setelah itu,
ia dipanggil pulang oleh negara menjadi Menteri Luar
Negeri. Akhir karirnya ia diangkat menjadi Perdana
Menteri (Asmuni, 1982: 20).
Usaha pembaharuan yang Rasyid lakukan, yang terpenting
adalah Hat-I-Sherif (1839). Yaitu sentralisasi pemerintahan,
modernisasi angkatan bersenjata (militer), dan
pembenahan ketentuan pajak (Nasution, 1979: 103). Ide
pembaharuan Rasyid diperkuat oleh tokoh berikutnya
(setelah dia), Ali Pasya dalam hatt-I-humayun pada tahun
1856.
Ali Pasya
Ali Pasya (1815-1871), dilahirkan di Istambul. Ia anak
seorang pelayan toko. Pada usia 14 tahun Ali Pasya sudah
diangkat menjadi pegawai. Tahun 1841 diangkat menjadi
Duta Besar di London. Tahun 1845 menjadi menteri luar
negeri Turki, dan pada tahun 1852 ia dipilih menjadi
perdana menteri.
Hatt-I-humayun (piagam humayun) adalah ide
pembaharuan Ali Pasya. Piagam Humayun, memuat pokok-
pokok tentang pengakuan terhadap semua aliran spiritual
yang ada pada masa itu. Meliputi: jaminan melaksanakan
ibadahnya masing-masing, larangan memfitnah karena
agama, suku dan bangsa; jaminan kesempatan belajar,
sistem peradilan dan lain-lain. (Asmuni, 182: 20).
Seperti halnya Sadik Rif’at dan Rasyid, dua tokoh
sebelumnya, tokoh Ali Pasya juga banyak dipengaruhi oleh
ide-ide yang muncul dari Revolusi Perancis. Terutama ide
tentang perlu diwujudkannya suasana damai dalam
hubungan internasional, keamanan dalam negeri, dan sikap
toleransi dalam kehidupan berbangsa.
Kendatipun tidak menutup kemungkinan sikap toleransi
tersebut berdasarkan Islam (awalnya), namun dengan
melihat latar belakang pengalamannya yang banyak
dipengaruhi kebudayaan Barat, Piagam Humayun kurang
menguntungkan bagi perkembangann Islam masa itu.
Adanya jaminan persamaan antara dua aliran yang berbeda
paham dan keyakinan, berarti tidak adanya usaha untuk
mengubah satu aliran menuju kesatuan dan atau
kesempurnaan (seperti alirannya).
Pada umumnya gerakan-gerakan yang diusahakan oleh
Tanzimat, untuk mewujudkan pembaharuan Islam berhasil
pada penciptaan kemajuan Kerajaan Usmani. Pola
pembaharuan Tanzimat didasarkan pada pemikiran
liberalisme Barat. Inilah salah satu penyebab yang utama
gagalnya gerakan pembaharuan Tanzimat menurut Y.
Asmuni (1982: 21).

2. Usmani Muda
Usmani Muda penerus gerakan Tanzimat. Karena, usaha
pembaharuan Tanzimat belum mendapat hasil yang
diharapkan. Upaya Tanzimat dapat dikatakan mengalami
kegagalan, menurut kritikan dari para cendikiawan
(Asmuni, 1982: 21).
Kegagalan Tanzimat terutama dalam mengganti konstitusi
yang absolut. Kegagalan itu merupakan cambuk untuk
usaha-usaha selanjutnya. Akhirnya, timbullah gerakan dari
para cendikiawan, khususnya mengusahakan perubahan
konstitusi yang absolut kepada konstitusional. Gerakan ini
dinamai Usmani Muda (Nasution, 1979: 103).
Tokoh-tokoh gerakan Usmani Muda, sebenarnya banyak,
namun di antara pemuka-pemuka Usmani Muda yang
populer di antaranya ialah Midat Pasya dan Namik Kemal.
Perjuangan Usamni Muda diawali dari peristiwa heboh.
Para tokoh mengalami perjuangan yang hebat dan berat
dengan pemuka-pemuka kerajaan. Mereka bentrok. Pada
tanggal 23 Desember 1876, tercapailah persetujuan
tentang konstitusi sebagai Undang-undang Dasar yang baru
bagi Turki. Tetapi isinya belum sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh Usmani Muda. Masih semi otokrasi
(Asmuni, 1982: 23).
Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun konstitusi
yang baru ini masih semi otokrasi, tetap saja dilanggar juga
oleh Sultan ‘Abdul Hamid II. Pelanggaran terhadap
konstitusi itu antara lain yang sangat pokok. Hamid II
membubarkan parlemen, para pemuka-pemukanya
ditangkap. Dengan demikian, berakhirlah riwayat dan
perjuangan Usmani Muda.

Midat Pasya
Midat Pasya memiliki nama lengkap Hafidh Ahmad Syafiq
Midat Pasya (1822-1884). Lahir di Istambul. Pendidikan
agama diperloeh dari ayahnya sendiri. Pada usia 10 tahun,
ia telah hafal al-Qurân. Itu sebabnya, ia digelari Hafidh.
Pendidikan formal ia dapatkan dari dua perguruan tinggi,
pada Universitas al-Hafidh dan Universitas al-Fatih. Tapi,
selain itu ia belajar sendiri yang merupakan kegemarannya.
Jabatan-jabatan penting yang pernah dipegangnya antara
lain ialah gubernur di Balkan dan Baghdad. Kemudian
menjadi menteri kehakiman (1872) dan menjadi perdana
menteri (Nasution, 1979: 112).
Sebagai tokoh Usmani Muda, oleh kawan-kawnanya
seperjuangannya, ia dipercaya untuk memegang
pemerintahan dan sekaligus memperjuangkan cita-cita
organisasinya. Tugas ini sekaligus memperjuangkan cita-
cita organisasi, dilaksanakannya dengan penuh rasa
tanggung jawab, walaupun dirinya sendiri dan keluarganya
menjadi “tumbal” perjuangan.
Tatkala pecah Perang Rusia, Sultan ‘Abdul Hamid II
membubarkan parlemen dengan alasan darurat perang.
Hamid II menangkap Midat Pasya dan pemimpin-pemimpin
Usmani Muda lainnya. Lalu membuang mereka ke luar
negeri.
Kegagalan Usmani Muda, yaitu dalam mewujudkan
pemerintah konstitusional. Kegagalannya terutama
disebabkan dalam konstitusi 1876 terdapat pasal-pasal
yang memberi kekuatan kepada sultan (menguntungkan
suktan) untuk membubarkan parlemen, memberhentikan
menteri-menteri, mengumumkan perang, mengumumkan
keadaan darurat, dan menangkap serta mengasingkan
orang-orang yang dianggapnya membahayakan bagi
keamanan negara. Atas dasar pasal-pasal itulah Sultan
‘Abdul Hamid II menangkap Midat Pasya pada tahun 1877,
lalu membubarkan parlemen pada tahun 1878 (Nasution,
1979:104).
Pola gerakan Usmani Muda, khususnya dalam perjuangan
membentuk parlemen di tengah-tengah kekuasaan tangan
besi seorang Sultan, terlihat adanya perbedaan paham yang
sangat prinsipil. Satu sisi paham Midat Pasya yang sesuai
dengan kehendak rakyat pada umumnya, didasari dengan
syariat agama dan bertujuan untuk menegakkan kemajuan
bangsa ditengah-tengah dunia modern; tapi di sisi lain
Sultan ‘Abdul Hamid II yang absolut dalam memerintahnya
bertujuan mencari aman, status quo, dan keuntungan
pribadi dengan dalih untuk keamanan negaranya.

Namik Kemal
Namik Kemal (1840-1888) lahir di Rhobosto pada tahun
1840. Ia berasal dari keluarga mampu secara ekonomi.
Kemal belajar di rumahnya berbagai ragam bahasa asing,
seperti bahasa Arab, Persi dan Prancis. Pada usia 17 tahun
telah memegang suatu jabatan pemerintahan (Al-Nadwi, tt.:
45).
Ia dibuang ke Eropa. Selama dalam pembuangan (1865-
1871) ia banyak membaca karangan-karangan Montesque,
Rousseau dan ahli-ahli pikir Perancis lainnya.
Dari hasil racikan pemikirannya, ia berpendapat bahwa
pemerintah harus didasarkan atas persetujuan rakyat.
Dalam arti, rakyatlah yang mempunyai kedaulatan. Paham
kedaulatan ada dalam Islam dan terkandung dalam sistem
bay’ah (penyertaan setiap rakyat kepada khalifah yang
baru diangkat). Kekuasaan legislatif harus dipisahkan dari
kekuasaan eksekutif. Prinsip syura’ (musyawarah) dalam
Islam menggambarkan pemisahan yang dimaksud.
Pemerintahan konstitusional juga terdapat dalam Islam,
karena kekuasaan khalifah atau sultan, sebenarnya dibatasi
oleh syari’ah. Kemal menganjurkan supaya didirikan tiga
lembaga, yaitu Dewan Negara yang bertugas merancang
undang-undang, Dewan Nasional untuk membuat undang-
undang dan Senat yang bertugas menjadi pengantara antar
badan legislatif dan badan eksekutif (Nasution, 1979: 103).
Pemikiran pembaharuan seperti itu, menurut Kemal
memiliki kepentingan pragmatis mengadakan konstitusi
untuk Kerajaan Usmani. Sebagai respons terhadap piagam-
piagam yang dihasilkan pemikir Sadik Rif’at sebelumnya,
yang belum merupakan konstitusi.
Dalam perjuangannya, Namik Kemal mengibarkan panji-
panji ajaran Islam, mempertahankan nilai-nilai dan
keutamaan serta jasa-jasa Islam; sebagai jawaban terhadap
orang-orang yang meremehkan Islam. Namik juga
mengecam pemikir-pemikir sebelumnya yang mencap
Turki sebagai negara sekuler yang atheistis ala Barat.
Bagi internal Turki, ia mengajak bangsa dan negaranya agar
mengambil manfaat dari Barat itu, ialah pada bidang-
bidang tertentu yang menyebabkan kejayaan dan
keunggulan bangsa Barat. Yakni yang merupakan sebab
langsung ketinggian peradaban Barat di mata dunia.
Ia menganjurkan ide persatuan Islam seluruh dunia,
dengan Turki Usmani sebagai pimpiannya. Karena menurut
keyakinannya jika gerakan ini tersebar di Asia dan Afrika,
dan mendapat dukungan luas, pastilah akan menjadi suatu
perpaduan yang tangguh dalam menghadapi persatuan
Barat. Dengan demikian, terjadilah keseimbangan kekuatan
di atas dunia: antara Barat dan Timur.
Dalam bidang keagamaan, ia mengemukakan bentuk-
bentuk ideal bagi teori-teori keagamaan, akhlak dan
perundang-undangan yang bersumber pada Islam. Ia yakin
bahwa Islam telah menyiapkan pokok-pokok akhlak dan
perundang-undangan bagi masyarakat. Oleh karena itu ia
adalah seorang tokoh yang ikhlas dan bersemangat tinggi
dalam memperjuangkan kemajuan dunia Islam. Usaha
Namik Kemal itu digambarkan oleh Bernard Lewis sebagai
berikut:
Namik Kemal adalah seorang muslim yang baik dan
berani disertai dengan pikiran dan semangat
kebangsaannya … sepanjang hayatnya ia selalu
terikat erat dan secara ikhlas dengan nilai-nilai
keislaman dan kepercayaan–kepercayaan yang
mereka pusakai (al-Nadwi, tt.: 46).

Namik Kemal termasuk tokoh pembaharu yang ingin


menjungjung tinggi ajaran Islam, memelihara
kemurniannya, dan mengubah pola pikir dan sistem kerja
lama yang tidak rasional kepada pola pikir dan sistem kerja
baru yang rasional. Dasar-dasar modernisasi adalah suatu
hal yang mutlak dalam pembangunan negara, karena
modernisasi pada hakikatnya untuk mencapai yang lebih
baik dan lebih sempurna. Karena itu pula dia temasuk
kaum ortodoks (menganjurkan kembali kepada al-Qurân
dan al-Hadits), dan modernis dalam agama, dan dalam
masalah-masalah lain yang dianggap perlu diperbaharui
untuk mencapai kesempurnaan.
Kembali pada pendapatnya tentang pembentukan
parlemen yang terdiri tiga dewa (Dewan Negara, Dewan
Nasional, dan Senat), tampaknya dia dipengaruhi oleh Trias
Politica-nya Montesque dari Perancis atau Treatises on
Civil Goverment, John Locke dari Inggris. Tapi lepas dari itu
semua, tentang idenya tiga dewan itu, ia tidak menjelaskan
pada dewan manakah tugas bidang peradilan.
Pendapatnya yang lain ialah tentang “Persatuan Islam
seluruh dunia dengan pimpinan Turki” perlu
dipertanyakan. Apakah ide yang demikian itu untuk
kepentingan umat, bernegara, ataukah hanya untuk
kepentingan dinasti (Usmaniyah) seperti halnya Umayah
dan Abbasiyah. Jawaban menjadi serba mungkin, mungkin
untuk kepentingan dinasti, sama mungkinnya dengan
untuk kemajuan umat.

3. Turki Muda dan Nasionalisme


Perjuangan Usmani Muda yang menghasilkan parlemen,
yang terdiri tiga dewan kandas, karena dibubarkan oleh
Sultan Absolut ‘Abdul Hamid II pada tahun 1878 (Nasution,
1979: 104). Karenanya, itu pula Turki Muda, kelompok
yang datang berikutnya, semakin mengukuhkan dirinya
sebagai kelompok oposisi.
Oposisi Turki Muda berhasil menggulingkan Sultan ‘Abdul
Hamid II pada tahun 1908. Pemerintahan di kerajaan
Usmani selanjutnya dipengaruhi oleh perkumpulan ini dan
untuk kepala negara mereka angkat Mahmud Resyad
sebagai “sultan boneka”.
Sementara itu seiring dengan gerakan Turki Muda, di Turki
muncul gerakan dari golongan Nasionalisme, yang
berpandangan nasionalismelah yang harus dijadikan dasar
negara. Tujuannya ialah men-Turkikan segala-galanya yang
merupakan paduan dari bangsa yang sebenarnya yang
terdiri dari berbagai adat kebiasaan dan keturunan,
menjadi bangsa Turki yang berbicara dengan bahasa Turki
dan dijiwai oleh semangat patriotik Turki (Stoddard, 1966:
144).
Ide Nasionalisme Turki dicetuskan pertama kali oleh Yusuf
Akcura (1876-1933). Ia melihat bahwa berragam
kepentingan merongrong Turki. Golongan Islam, Turki, dan
golongan bukan Islam-bukan Turki sudah tidak sejalan.
Masing-masing golongan mempunyai cita-cita nasional
masing-masing. Dalam keadaan serupa ini, golongan Turki
harus memikirkan kepentingan nasionalnya sendiri.
Gagasan Yusuf tentang Ide Nasionalisme Turki ini,
kemudian diperkuat oleh Zia Gokalp. Zia dilahirkan di
Diarbekir tahun 1875. Keluarganya menjabat beberapa
kedudukan tinggi dalam pemerintahan. Ia memasuki
sekolah lanjutan di Diarbekir setelah keluar dari sekolah
ketentaraan (al-Nadwi, tt.: 38).
Menurut Gokalp, bahasalah dasar nasionalisme yang
terkuat. Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting
dalam penyebaran ide dan aspirasi. Antara nasionalisme
Turki dan Islam tidak terdapat pertentangan, karena yang
pertama menggambarkan nationalism, sedang yang kedua
menggambarkan internationalism. Pembaharuan
nasionalisme dan internasionalisme, bagi Turki sebenarnya
juga tidak bertentangan. Karena untuk pembaharuan
nasionalisme (maupun internasionalisme) yang perlu
diambil hanyalah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi Barat (Nasution, 1979: 105).
Bagi Zia, agama dan peradaban itu dua hal yang berlainan.
Karena itu salah sekali menyebut peradaban Islam. Agama
terbatas pada persoalan keyakinan dan upacara ibadat,
yang tak ada hubungannya dengan kepandaian dan ilmu
pengetahuan (al-Nadwi, tt.: 41).
Zia mengharapkan nasionalisme Turki menjadi basis
negara sekuler, yang menurut pandagannya akan dapat
menggantikan khilafah. Dalam menerima peradaban Barat,
ia berbeda dengan orang-orang seangkatannya. Zia tidak
membedakan antara yang baik dan yang buruk, tetapi terus
meniru dan mengambail semuanya. Dia mengecam kepada
para pemimpin Tanzimat yang mengambil/meniru
kebudayaan Barat hanya hal-hal tertentu saja. Dia
mengatakan:
Kekeliruan besar pada pemimpin Tanzimat adalah
usahanya untuk menciptakan mental campuran
antara Barat dan Timur. Mereka tidak melihat
bahwa dasar budaya yang bertentangan itu tidak
bisa dipadukan. Dalam susunan politik kita, yaitu
sistem pemerintahan rangkap, dua jenis sekolah,
dua sistem pajak, dua bugdet, dua perangkat hukum,
semuanya menghasilkan kegagalan … peradaban
yang berbeda tidak bisa dicampurkan dengan begitu
saja satu sama lainnya … jika suatu masyarakat tidak
mengambil suatu sistem peradaban tertentu secara
keseluruhan, sebagai suatu sistem, maka akan gagal.
Bahkan jika mengambil beberapa bagian, akan gagal
dalam menceranakan serta mengasimilasikannya.
Para pembaharu Tanzimat kita yang tidak
memahami pandangan ini, selalu mengambil
tindakan setengah-setengah terhadap apa yang
mereka lakukan (Jameelah, 1982: 155).
Dengan gigih dan secara terus terang Zia mnganjurkan agar
Turki meninggalkan masa lalunya yang belum lama
berselang. Lalu membentuknya ala Barat, jadi nasionalis
murni. Dan supaya mementingkan kebudayaan Barat dan
peradabannya, dengan alasan bahwa sebetulnya peradaban
itu merupakan lanjutan dari peradaban lama yang bangsa
Turki juga turut memberikan saham dalam membentuk
dan memeliharanya.
Tidak puas dengan mempropagandakan nasionalisme, Zia
Gokalp malah ingin mengubah Islam itu sendiri. Tak
seorang pun kaum nasionalis yang simpatik, dalam
mempertahankan keinginan nasionalisasi bahasa Turki
dalam mengganti semua kata yang berasal dari bahasa
Arab dan Parsia. Akibat dari nasionalisasai bahasa ini,
bahasa Turki yang dipakai untuk menulis dan membaca
seabad yang lalu tidak bisa dipakai untuk menulis dan
membaca abad kini, lantas tidak bisa dipahami oleh orang
Turki sekarang. Akibat berikutnya, seluruh perpustakaan
Manuskrip Turki yang berharga serta buku-buku yang
ditulis dalam naskah bahasa Arab kuno yang memuat
karya-karya terbaik, yang tak bisa dinilaikan harganya itu,
sekarang sudah menghilang dalam arsip, dilupakan di
Istambul serta kota lainnya di Turki. Karena itu, generasi
yang lebih tua tidak akan bisa membaca dan memahami
bahasa. Jadi, jelaslah bahwa bahasa pembaharuan
memotong Turki modern dari warisan Islam. Itulah
tampaknya yang diinginkan oleh Zia Gokalp dan para
pengikutnya (Jameelah, 1982: 157).
Para pemuka aliran dan gerakan pembaratan pimpinan Zia
Gokalp ini layak mendapat penghargaan dan pujian dari
ahli-ahli sejarah yang mengerti pentolan-pentolan
kebebasan dunia Islam, karena Turki menempati
kedudukan penting dalam Peta Alam Islami. Mengenai
siasat, kebudayaan dan sosial. Mampukah mereka merubah
“jalan sejarah”, seandainya ia dapat menguasai peradaban
Barat. Memegang, membawa dan mengendalikannya ke
arah yang direncanakan? Bertindak sebagai seorang
pengemudi bebas yang menguasai kemauannya. Atau
sebagai seorang ‘alim mujtahid yang berpikir dengan
otaknya sendiri. Hingga, ia akan menjadi teladan bagi umat
Islam di dunia Timur yang sedang menghadapi peradaban
modern secara terbuka? Turki sebagai imam dan
pemimpin, sebagai pelopor pertama terbakar oleh api
pertarungan antara Barat dan Timur. Turki terancam oleh
penyerbuan peradaban Barat dan filsafat hidup Barat.
Sayang! Impian Turki demikian itu tak pernah terjadi. Yang
ada hanyalah Turki jiplakan peradaban Barat. Turki hanya
berpegang kepada beberapa slogan dan lapisan kulit luar.
Perbaikan-perbaikannya pun dangkal, yang tak ada artinya
sama sekali terhadap kemajuan atau kemunduran suatu
negara, bangsa, masyarakat serta peradaban. Tak ada
hubungan kekuatan sejati dan kebebasan politik. Perbaikan
yang telah memisah Turki dari masa lampaunya yang
belum lama berselang, dari pusaka pengetahuan dan
keahlian yang dalam, ikut mencampuradukan beberapa
generasi dan ahli-ahli pikir ulung. Memisahkan Turki yang
sebelumnya menjadi pemimpin dunia Islam dari negara-
negara lain. Turki yang dulu pernah mengagumkan dan
menakjubkan dunia disebabkan kekuatan dan gejolak
perjuangannya dan sanggup menghadapi bangsa Eropa,
menghalau serangan musuh yang dahsat dan terus
menerus, sekarang lemah.
Usaha Zia Gokalp dalam pembaharuan di Turki tiada lain,
hanya jiplakan peradaban dan kebudayan Barat semata.

Daftar Rujukan
Al-Nadwi, Abul Hasan, Assira bainal Fikratul Islamiyah wa
Fikratul Garbiyah, terjemahan Mahyuddin Dyaf, Al-
Ma’arif, Bandung, 1970.
Asmuni, Yusran, Aliran Modern dalam Islam, al-Ikhlas,
Surbaya, 1983.
Jameelah, Maryam, Islam dan Modernisme, Alih Bahasa A.
Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Usaha Nasional,
Surabaya, 1982.
Munawir, Imam, Kebangkitan Islam dari Masa ke Masa,
Pustaka Progressif, Surabaya, 1980.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Tp., Jakarta, 1966.
Ward, Barbara, Lima Pokok Pikiran yang Mengubah Dunia,
Pustaka Jaya, Jakarta, 1983.
Mustafa Kemal Attaturk

Pendahuluan
Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) adalah prajurit Turki
yang ternama. Ia seorang modernis dan negarawan yang
besar. Beliau pendiri negara Republik Turki pada tahun
1923, sekaligus menjadi presiden pertamanya. Dia berhasil
dalam memperjuangkan kemerdekaan Turki menentang
kekuatan aliansi (Inggris, Perancis dan Rusia), padahal
Turki baru bangkit dari kekalahan dalam Perang Dunia
Pertama (1914). Azkarmin Zaini menerangkan
ketangguhan Turki sebagai berikut:
Ketika bala tentara kesultanan Ottoman terpaksa
menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia
pertama, seorang perwira tentara Ottoman bernama
Mustafa Kemal bertekad untuk menyelamatkan
bangsanya dari cengkraman penjajah, … karena itu,
Mustafa Kemal memimpin pasukannya berjuang
mati-matian menghalau penjajah, seraya
mengorbankan patriotisme rakyat Turki untuk
bangkit kembali merebut kemerdekaan (Zaini, 1984:
1).
Dalam buku The New Encyclopedia Britanica disebutkan
bahwa Mustafa Kemal Attaturk dilahirkan pada tahun 1881
di Salonica. Ayahnya Ali Reza adalah pegawai rendah dalam
pemerintahan Turki. Ibunya bernama Zubaida Hanim
(Benton, 1974: 255).
Pada usia 12 tahun, Mustafa Attaturk memasuki Sekolah
Persiapan Militer di Salonica. Seorang gurunya
menambahkan namanya dengan “Kemal,” karena
kecerdasannya dalam bidang ilmu matematika (Gibb, 1960:
734). Pada tahun 1899 Mustafa Kemal masuk ke
akademinya dan mengambil bagian kelembaga staf umum
dengan pangkat kapten. Lalu ia ditugaskan di Batalion
Kavaleri di Damaskus.

Masa Pergerakan Kemal


Turki di bawah pemerintahan Sultan ‘Abdul Hamid sangat
tertindas. Hamid berperangai absolut, otoriter, dan
demokrasi tertutup; sehingga menimbulkan tumbuhnya
gerakan-gerakan yang menetangnya.
Salah satu gerakan yang menentang adalah Al-Watan
(tanah air). Al-Watan dimotori oleh para pemuda, yang
bertujuan mematahkan kekuasan sultan. Namun,
pergerakan ini hanya eksis dalam waktu relatif singkat.
Akhirnya, muncul lagi pergerakan yang lebih agresif yaitu
pergerakan “Persatuan dan Kemajuan” (Nasution, 1975:
147).
Persatuan dan Kemajuan bertujuan ingin kembali kepada
pemerintahan konstitusional yang berdasarkan undang-
undang 1878, seperti diusulkan oleh Midhat Pasya. Tahun
1908, Mustafa Kemal melontarkan banyak kritikan
terhadap kebijaksanaan yang dilakukan oleh gerakan
Persatuan dan Kemajuan. Alasan kritik itu disampaikan,
adalah:
1. Beliau berkeberatan melihat orang asing duduk dalam
pergerakan yang cita-citanya mewujudkan Turki baru.
2. Beliau tidak puas dengan rencana usaha yang kalut dan
sekali-kali tak berdaya.
3. Wataknya yang keras, yang ingin selalu memerintah;
bukan orang yang senang diperintah (Suwirjadi, 1952:
9).

Perang Dunia Pertama Awal Popularitasnya


Pada waktu Perang Dunia pertama beliau berhasil dengan
gemilang memukul mundur pasukan sekutu, tahun 1915 di
Gallipoli (Dardanella) dan perbatasan Kaukasus, Izmir dan
Smyrna. Atas keberhasilannya itu, ia dinaikkan pangkatnya
menjadi Jendral, dan ditambah dengan gelar kehormatan
“Pasha” (Suwirjadi, 1952: 21).
Dalam perang Attaturk boleh menang, tetapi karir politik
lain lagi. Politik yang dijalankan oleh Mustafa Kemal sering
bentrok dengan Enver. Seperti dalam masalah reorganisasi
angkatan perang. Enver memanggil opsir-opsir Jerman
dengan maksud memperoleh kedudukan di Timur Tengah,
untuk menyaingi hubungan Inggris dengan India. Datanglah
40 opsir dari Jerman di bawah pimpinan Liman Von
Sandres. Dimulailah pengaturan tentara Ottoman, praktis
peranan Mustafa Kemal tidak diperhitungkan lagi
(Suwirjadi, 1952: 21).
Akibat tindakan Enver tersebut, maka Mustafa Kemal
bersama-sama temannya tokoh nasionalis (Ali Fuad, Rauf
dan Refat) menentang keras perintah atasannya, termasuk
perintah dari sultan yang datang dari pusat (Istambul).
Sebagai tindak lanjutnya, mereka (Kemal, dkk)
mengadakan pemerintahan tandingan di Antolia. Lalu,
mengeluarkan maklumat sebagai berikut:
1. Kemerdekaan negara (tanah air) dalam keadaan
terancam;
2. Pemerintah Ibu Kota tunduk di bawah pemerintahan
sekutu. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak dapat
menjalankan tugas;
3. Rakyat Turki harus berusaha untuk membebaskan
tanah air dari kekuasaan pihak asing;
4. Gerakan pembela tanah air yang sudah ada harus
dikoordinir oleh suatu panitia pusat;
5. Untuk itu, perlu diadakan kongres (Nasution, 1979:
149).
Akhirnya, disepakatilah penyelenggaraan kongres di Sivas
antara golongan Attaturk dengan pemerintahan, yang
menghasilkan beberapa keputusan. Keputusan itu antara
lain bahwa Turki harus bebas dan merdeka. Usul itu
diterima secara aklamasi dan Mustafa Kemal diangkat
menjadi ketuanya. Namun, kabinet “Farid Pasya”
menganggap bahwa keputusan tersebut merupakan
pemberontakan dan non konstitusional.
Pada kesempatan lain, saat pemilihan parlemen di
Istambul, golongan nasionalis memperoleh suara
mayoritas. Sehingga, memudahkan bagi Mustafa Kemal dan
teman-temannya membentuk Majelis Nasional Agung
tahun 1920.
Majelis telah banyak bersidang untuk mengambil
keputusan. Di anatara keputusan hasil persidangan majelis
antara lain:
1. Kekuasaan tertinggi terletak di tangan Turki;
2. Majelis Nasional Agung (MNA) merupakan perwakilan
rakyat yang tertinggi;
3. MNA bertugas sebagai badan legislatif dan eksekutif;
4. Majelis negara yang anggotanya dipilih dari MNA, akan
menjalankan tugas pemerintahan;
5. Ketua MNA merangkap jabatan ketua majelis negara
(Nasution, 1979: 150).
Pada tahun 1923 (tepatnya tanggal 23 Juli) ditandatangani
perjanjian Lausanue antar Turki dan pihak Sekutu.
Pemerintah Mustafa Kemal sebagai penguasa de facto dan
de jure di Turki, mendapat dukungan dan pengakuan
internasional.
Pada bulan oktober 1983, Majelis Nasional Agung
mengambil keputusan bahwa Turki adalah “Tenaga
Republik” dan memilih presiden pertamanya Mustafa
Kemal. Selanjutnya, Mustafa Kemal lebih dikenal dengan
sebutan Attaturk. Attaturk artinya, Bapak Turki.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pada Republik itu,
Mustafa Kemal Attaturk terpilih menjadi Presiden sampai
empat kali. Pertama, ia terpilih pada tanggal 1 Nopember
1927. Kedua kalinya pada tanggal 4 Mei 1931, dan ketiga
kalinya ia diangkat kembali pada tanggal 1 Maret 1935.
Jabatan presiden keempat juga, sesungguhnya masih
dipangkunya namun beliau lebih dahulu meninggal dunia,
pada tanggal 10 Nopember 1938, sebelum masa
kepresidenannya berakhir (Benton, 1974: 256).

Ide dan Dasar Pembaharuan Attaturk


Dalam suatu pidato yang disampaikan dalam Majelis
Nasional Agung pada tanggal 1 Maret 1924, Mustafa Kemal
Attaturk menyampaikan tiga pokok gagasannya dalam
pemerintahan.
1. Menjamin stabilitas republik;
2. Menciptakan suatu kesatuan sistem nasional;
3. Memurnikan dan memperbaharui ajaran Islam dengan
membebaskan diri dari politik yang sudah berlaku
berabad-abad sebelumnya (Lewis, 1968: 264).
Oleh karena itu, beliau berpendapat, untuk merealisasikan
ide tersebut Turki harus berorientasi ke Barat. Hal
semacam ini memang wajar, karena Mustafa Kemal sendiri
banyak dipengaruhi oleh ide Barat. Terutama sekali dalam
bidang institusi, kebudayaan, dan adat-istiadat (Smith,
1957: 172).
Lebih lanjut Kemal Attaturk, menggolongkan ide tersebut
ke dalam 3 (tiga) thema yang sangat mendasar:

1. Weternisasi
Menurut Sidi Gazalba, westernisasi ialah suatu sikap
pembaratan yang mencakup aspek kebudayaan,
pandangan, sikap hidup, cita-cita, dan lain sebagainya
(Gazalba, 1973: 20).
Pada pertengahan abad ke-19 M, dunia Islam mengahadapi
suatu masalah yang amat pelik dan berbahaya. Masalah
tersebut berkenaan dengan munculnya peradaban Barat,
yang dimotivasi dengan semangat hidup dan aktivitas
modern. Konsekuensinya, pada tahun 1925 pemakaian
tarbus (peci, kopiah tinggi, dan atau kerudung) dilarang
oleh pemerintah Turki. Sebagai gantinya dianjurkan
memakai topi barat. Pakaian keagamaan juga dilarang dan
diharuskan mengenakan pakaian ala Barat. Hal itu
diperjelas oleh ungkapan yang ditulis oleh Azkarim Zaini:
Tarbus, kupiah tinggi khas Turki, tidak boleh dipakai
karena dianggap sebagai lambang keterbelakangan.
Attaturk sendiri memberi contoh cara berpakaian
gaya Barat: setelan jas dan dasi (Zaini, 1984: 5).
‘Abdul Hasan Ali al-Husain memberikan komentar, tentang
proses werternisasi di Turki, bahwa dengan adanya
westernisasi bagi Mustafa Kemal bertujuan agar dalam
waktu relatif singkat bangsa Turki dapat berubah coraknya
jadi bangsa Barat. Berasimilasi penuh dengan mereka,
hingga percis sama. Tak ada sedikitpun perbedaan lagi (al-
Nadwi, 1970: 54).

2. Sekularisasi
Semenjak menjadi orang yang paling berkuasa di Turki,
Mustafa Kemal melancarkan pembaharuan atas dasar
sekularisasi. Menjadi Barat sebagai model modernisasi.
Oleh karena itu, sekularisasi menjadi prinsif negara di
samping nasionalisme Republik Turki. Turki, lengkap jadi
sekuler yang memisahkan urusan agama dengan non
agama. Tidak ada keterkaitan antara keduanya. Padahal
perbandingan pemeluk agama Islam mencapai jumlah 99%
dari penduduk Turki.

3. Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh
sejumlah besar manusia perorangan (Turki). Mereka
membentuk suatu kebangsaan (Turki). Singkat kata,
nasionaslisme adalah rasa kebersamaan segolongan (a
sense of belongin together), sebagai suatu “bangsa.”
Burhanuddin (1983: 43) menyatakan bahwa nasionalisme
yaitu rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan dan
kelestarian bangsa.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka wajarlah Mustafa
Kemal Attaturk dan teman-temannya mempunyai dan
menerapkan semangat nasionalisme terhadap bangsanya,
demi untuk membebaskan Turki dari cengkraman bangsa
penjajah.
Ide nasionalisme hanya terbatas pada daerah berdasarkan
geografisnya saja. Bukan dalam arti nasionalisme secara
luas. Hal ini dipertegas lagi dalam Piagam Nasional tahun
1920, bahwa Turki melepaskan diri dari tuntutan teritorial
daerah yang dahulu di bawah kekuasaan Usmani. Kecuali
daerah yang di dalamnya terdapat mayoritas bangsa Turki
(Nasution, 1979: 152).

Aspek-aspek Pembaharuan Attaturk

Aspek pemerintahan
Setelah kemenangan golongan nasionalis dalam pemilihan,
mereka menginginkan kedaulatan di tangan rakyat, dan
menghendaki negara berbentuk republik (sesuai dengan
konstitusi 1921).
Pada tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasionalis Agung
memutuskan penghapusan jabatan khalifah. Oleh karena
itu, ‘Abdul Madjid diperintahkan untuk meninggalkan
Turki. Madjid akhirnya pergi ke Swiss. Tetapi kejadian ini
mendapat reaksi keras dari bangsa Turki. Sebab jabatan
khalifah masih dipandang tinggi dalam Islam. Bahkan
reaksi dunia Islam pun sangat keras atas tindakan tersebut.
Karena pada waktu itu kekhalifahan menjadi simbol
persatuan Islam (Munir, 1915: 20).
Aspek hukum
Dalam upaya pembentukan hukum yang baru ini, hukum
syari’at (Islam) dan adat-istiadat setempat ditinggalkan.
Sebagai modelnya, dipilih dengan gantinya hukum baru.
Hukum baru itu berupa hukum tatanegara ala Barat (tahun
1924). Mustafa Kemal Attaturk memerintahkan untuk
mengoperasikan hukum dagang dari Jerman, hukum sipil
dari Swiss dan hukum pidana dari Italia. Kaum wanita yang
kedudukannya terpencil dari pergaulan masyarakat,
menjadi warga masyarakat yang sama kedudukannya
dalam pemerintahan. Kerudung dihapuskan. Kondisi ini
dilukiskan oleh Azkarmin Zaini (1984: v), sebagai berikut:
Attaturk menyuruh kaum wanita mencopot
kerudung dan cadar yang menyembunyikan wajah
mereka. Kaum wanita disemangati untuk
menegakkan kepala, melihat dunia dengan mata
talanjang, dan diberi hak-hak yang sama dengan
pria.
Aspek pendidikan dan kebudayaan
Pada tahun 1924 undang-undang pendidikan menyebutkan
bahwa seluruh sekolah di bawah pengawasan kementrian
pendidikan. Itu sebabnya sistem pendidikan tradisional
(lama) yang pada waktu itu dipraktikkan pada kurang lebih
30.000 surau, dan berorientasi kepada kepentingan agama
dihapuskan. Pengganti sistem baru ialah orientasi sistem
barat (Suwirjadi, 1952: 98).
Aspek pembaharuan dalam bidang kebudayaan, Mustafa
Kemal mengharuskan bangsa Turki memakai pakaian barat
tarbus. Tarbus ialah peci atau kopiah khas Turki yang
sebenarnya berasal dari Yunani, diganti dengan topi (model
Barat). Musik klasik Eropa pun ala Bethoven terus
dipopulerkan di Turki, untuk menggantikan musik Islam
yang dinilai tradisional (Benton, 1984: 255).

Daftar Rujukan
Zaini, Azkarmin, “Attaturk, Sekularisme dan al-Aqsa”, dalam
Kompas, Selasa 29 Mei 1984.
Benton, William, Encycopedia Britanica, Vol. II, Chicago-
London, 1974.
Gibb, Mantan, Kremers, The Encyclopedia of Islam, Vol. I.
London, 196.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975.
Swirjadi, Pembina Turki Muda Mustafa Kemal, Penerbit
Jembatan, Jakarta, 1952.
Lewis, Bernard, The Emergence of Turkey, Oxford
University, London, 1957.
Gazalba, Sidi, Modernisasi Dalam persoalan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1973.
Al-Nadwi, Abul Hasan, Assira bainal Fikratul Islamiyah wa
Fikratul Garbiyah, terjemahan Mahyuddin Dyaf, Al-
Ma’arif, Bandung, 1970.
Burhanuddin, “Peranan Pendidikan dalam Menunjang
Ketahanan Nasional Indonesia”, dalam Media
Pembinaan, Nomor 7, Bandung, 1983.
Muir, W., The Caliphate, its Rise, Decline and Fall, Edinburg,
London, 1915.

Anda mungkin juga menyukai