Anda di halaman 1dari 36

Tugas Terstruktur Dosen Pembimbing

Ulumul Qur’an IV Muhammad Yasir, S.Th.I,MA.

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR QUR’AN

Oleh :

HAMIDA AKMAL 11432204714


SITI ZULAIKHA 11432206205
SISKA ARDIANTI 11432204728

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2016
KATA PENGANTAR

‫بسم ا الر حمن الر حيم‬


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan Rahmat, hidayah, dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ulumul Qur’an ini.
Adapun penyusunan makalah ini telah kami upayakan dengan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak. Namun tidak lepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi
penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Semua itu bukan unsur kesengajaan
kami, tetapi dikarenakan kurangnya ilmu dan pengetahuan kami dalam ilmu ini.
Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka, kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami,
sehingga kami dapat memperbaiki makalah ulumul Qur’an ini kedepannya agar
lebih baik lagi.

Pekanbaru, April 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 1
C. Tujuan Penulis................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A. Sekilas Lahirnya Tafsir Al-Qur’an.................................................. 2
B. Perkembangan dan Pertumbuhan Tafsri Al-Qur’an........................ 4
1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw. (tahun dari kenabian
hingga 11 H/610 M)..................................................................
2. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)
3. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )
4. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M -
Sekarang)

BAB III PENUTUP......................................................................................... 25


A. Kesimpulan..................................................................................... 25
B. Saran............................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah menjadi Sunnatullah bahwa dalam menurunkan kitab, Allah
SWT megutus seorang Nabi dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini
dijelaskan dalam ayat berikut.
     
     
      
  
Artinya: ‘Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang
kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia
kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS.Ibrahim:4)
Nabi Muhammad Saw. hidup di jazirah Arab dan Al-Qur’an di
turunkan kepadanya dengan menggunakan bahasa mereka, sebagaimana
terdapat dalam firman Allah SWT berikut.
   
  
Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”(QS.Yusuf:2)
Kelebihan bahasa al-Qur’an jauh diatas bahas mereka, baik dari segi
kosakata maupun maknanya. Dengan demikian. Meskipun mereka bertutur
dengan bahasa Arab, mereka tidak memiliki pemahaman yang saman akan al-
Qur’an. Menurut M.Nur Kholis Setiawan dalam Al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar. Kenyataan itu menunjukkan bahwa al-Qur’an bukanlah teks yang
dibuat oleh manusia melainkan teks Ilahi.
Sehubungan dengan pemahaman yang berbeda terhadapa al-Qur’an,
para sahabatpun memiliki pemahaman dan kemampuan menafsirkan yang
berbeda pula, meskipun mereka hidup semasa dengan Nabi.

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan


tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara
mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail.
Apalagi di zaman yang serba cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah
tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga
dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal
dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir).

Oleh karena itu, makalah ini akan menguraikan sejarah penafsiran al-
Qur’an dengan uraian yang panjang lebar atau meluas dan mendalam serta
rinci. baik sejarah tafsir zaman Rasulullah, mutaqaddimin. Mutaakhkhirin dan
kontemporer.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
a. Bagaimana sejarah dan perkembangan tafsir Al-Qur’an?
b. Bagaimana sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw.?
c. Bagaimana sejarah tafsir periode mutaqaddimin?
d. Bagaimana sejarah tafsir periode mutaakhkhirin?
e. Bagaimana sejarah tafsir periode kontemporer?

C. Tujuan Penulis
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan tafsir Al-Qur’an?
b. Untuk mengetahui sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw.?
c. Untuk mengetahui sejarah tafsir periode mutaqaddimin?
d. Untuk mengetahui sejarah tafsir periode mutaakhkhirin?
e. Untuk mengetahui sejarah tafsir periode kontemporer?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas lahirnya Tafsir Al-Qur’an

Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah pertumbuhan dan


perkembangan tafsir, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu tentang
lahirnya tafsir al-Qur’an itu sendiri. Kenyataan sejarah yang tidak
terbantahkan oleh siapapun baik dari Barat maupun Timur, muslim maupun
non-muslim bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an telah bersemai seiring
dengan perjalanan risalah dan kenabian Nabi Muhammad Saw. Hanya saja
kebutuhan masyarakat muslim secara spesifik belum terasa ketika itu, dan
tidak sebesar masa-masa berikutnya.1

Sebagai pembawa risalah, Nabi Muhammad Saw. memiliki otoritas


penuh terhadap penafsiran al-Qur’an. Keberadaannya sebagai penjelas dan
penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dan menjadi referensi sentral dalam
berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat pada zaman tersebut.
Apabila sahabat mendapatkan suatu kesulitan di dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an maka merekabisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah
Saw, lalu beliau menjelaskan apa yang masih samar pengertiannya bagi para
sahabat, sehingga tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para
sahabat. Misalnya ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami
isi dari suatu ayat al-Qur’an, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud,
beliau berkata: “Ketika diturunkan-Nya ayat:

   


   
   
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat

1 Ali Akbar. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir ( Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau :
2011) hal. 28
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.”

Para sahabat merasa sangat terbebani dan kesulitan untuk


menyesuaikan diri dengan keterangan yang ada dalam ayat tersebut.
Kemudian mereka bertanya dengan Nabi Saw: “Siapakah diantara kita yang
tidak berbuat zalim terhadap dirinya?. Beliau menjawab: “Kezaliman disini
bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang
diakatakan hamba yang shaleh (Luqman), sebagaimana yang di sinyalir
dalam ayat:    
"Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar". Yang dimaksud ‘Ladzulmun’ disini adalah ‘asy-syirka’
“perbuatan syirik”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari dan
Imam Muslim.2

Selain dari riwayat yang telah dikemukakan, masih banyak riwayat


lain yang datang dari Rasulullah Saw, adakalanya berupa sunnah qauliyah,
fi’liyah dan taqririyah dijadikan rujukan penting dalam memahami isi
kandungan al-Qur’an. Meskipun Rasulullah Saw tidak mengintrodusir suatu
metode yang baku untuk menjelaskan terhadap apa yang ditanyakan para
sahabat, namun upaya yang dilakukannya dinilai sebagai suatu penafsiran.
Dengan demikian ada yang menyebut diri Rasulullah Saw, sebagai al-
Mufassir al-awwal (penafsir pertama). Hal demikian ditegaskan Allah Swt
dalam firman-Nya:

    


    
     
Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang

2 Ibid. hal.29
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.”

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Al-Qur’an

Penafsiran al-Qur’an yang terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw.


(571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan di masa-
masa mendatang, sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang
dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu-
ilmu al-Qur’an khususnya tafsir. Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an
yang demikian panjang dan tersebar luas ddi segenap penjuru dunia Islam
tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya
secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba cepat dan instan
ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke
berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu
sendiri yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin
(penjenjangan para mufassir).3

Sebagian ahli tafsir, secara global membagi periodesasi penafsiran al-


Qur’an kedalam tiga fase, yaitu periode mutaqaddimin (abad ke-1-4 H),
periode mutaakhkhirin (abad 4-12 H), dan periode baru (abad ke-12-
sekarang). Adapula yang memilahnya kedalam beberapa fase yang lebih
banyak semisal Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1300-1371 H/1883-1925 M)
yang membedakan thabaqat al-mufassiriin kedalam tujuh tahapan, yakni: (1)
tafsir masa sahabat, (2) tafsir masa thabiin, (3) tafsir masa penghimpunan
pendapat para sahabat dan thabiin, (4) tafsir masa generasi ibnu Jarir dan
kawan-kawan yang memulai menuliskan penafsirannya, (5) tafsir masa
generasi mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan
rangkaian (sanad) periwayatan, (6) tafsir masa kemajuan kebudayaan dan
peradaban Islam, yang oleh al-Maraghi di sebut dengan ‘ashr al-ma’rifah al-

3 Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an (Jakarta:Rajawali Pers:2014) hal. 318


islamiyah, (7) tafsir pada masa penulisan, transliterasi (penyalinan) dan
penerjemahan al-Qur’an kedalam berbagai bahasa asing (non Arab).4

Berbeda dari al-Maraghi, Muhammad Husayn al-Dzahabi memilih


sejarah tafsir ketiga marhalah, yaitu: periode Nabi dan Sahabat, thabiin, dan
pembukuan tafsir. Namun dalam makalah ini penulis akan memilih fase-fase
perkembangan al-Qur’an kedalam empat periode besar, yakni periode Nabi
Saw, periode mutaqaddimin. Periode mutaakhkhirin, dan kontemporer
(modren).5

1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad Saw. (tahun dari kenabian hingga
11 H/610 M)

Seperti di tegaskan al-Qur’an, tugas utama dan pertama dari


kenabian /kerasulan dari Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menyampaikan
al-Qur’an. Namun, berbarengan dengan itu, berdasarkan al-Qur’an pula Nabi
Saw. diberi otoritas untuk meneragkan atau tepatnya menafsirkan al-Qur’an.
Sehubungan dengan itu, maka memang sungguh amat tepat penobatan Nabi
Saw. oleh para ahli tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an sebagai qari’, hafizh dan
terutama mufassir pertama (al-mufassir al-awwal/ the first interpreter) dalam
sejarah tafsri al-Qur’an.6

Tugas-tugas penyampaian, penghafalan, pembacaan, dan penafsiran


al-Qur’an yang di bebankan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. itu
dapat di simpulkan dari deretan ayat-ayat di bawah ini.

     


       
     
      
 

4 Ibid. hal. 319


5 Ibid
6 Ibid. hal. 320
Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”(QS.Al-
Ma’idah:67)

     


     
    
Artinya: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab
Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah
kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan
tempat berlindung selain dari padanya.”(QS.Al-Kahfi:27)

     


    
    
      
 
Artinya: “Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu,
yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-
Ankabut:45)

    


  
 
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami
Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”(QS.
Al-Qiyamah: 17-18)
   
    
   

Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan
supaya mereka memikirkan.”(QS. Al-Nahl: 44)

    


    
     
Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.”(QS. Al-Nahl: 64)

Ayat-ayat diatas jelas memerintahkan Nabi Muhammad Saw. supaya


menyampaikan, membaca, menghafal, dan menafsirkan Al-Qur’an. Nabi
telah melaksanakan tugas-tugas Qur’aniyyah itu dengan prima. Baik sebagai
pembaca dan penghafal al-Qur’an (qari’ dan hafiz), maupun sebagai
penyampai risalah (mubaligh al-risalah) dan penjelas (mubayyin) al-Qur’an.
Bahkan lebih dari itu, beliau telah menyelesaikan tugas sucinya (sacredd
mission) mengamalkan dan mempraktikkan ajaran-ajaran al-Qur’an selama
lebih kurang 23 tahun.7

Nabi mendapatkan pengajaran al-Qur’an berikut penjelasannya dari


Allah Swt. dan atau malaikat Jibril seperti dapat di ketahui dari ayat-ayat
berikut:

    


     

7 Ibid
Artinya: “ (Tuhan) yang Maha pemurah, Yang Telah mengajarkan Al Quran.
Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”(QS.Ar-
Rahman:1-4)

Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah


menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan
pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-
Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu
Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali
Hadis Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-
ayat al-Qur’an.8

Selanjutnya, timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan


dengan ayat-ayat al-Qur’an yang di tafsirkan oleh Rasulullah Saw. perbedaan
tersebut di kelompokkan menjadi dua:9

1. Rasulullah menjelaskan tentang makna al-Qur’an sebagaimana beliau


menjelaskan kosakata al-Qur’an. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah
dalam muqaddimah berdasarkan Surah Al-Nahl:44. Alasan pokok yang
menjadi argumen mereka adalah sebagai berikut:

a. Surah al-Nahl:44, penjelasan harus mencakup kosakata dan makna.


b. Hadis Abu Abdurrahman As-Sulami yang menjelaskan bahwa ketika
mereka belajar sepuluh ayat, mereka harus mengamalkannya terlebih
dahulu.
c. Hadis Anas bin Malik yang menyatakan bahwa setiap lelaki apabila
membaca al-Baqarah dan Ali-Imran, menjadi agung diantara kami.
d. Muqaddimah karya Ibnu Taimiyah , maksud dari setiap kalam adalah
mngetahui makna-maknanya, bukan sekedar tahu kosakata.

2. Rasulullah hanya sedikit menjelaskan makna al-Qur’an kepada para


sahabat. Demikian pendapat al-Khuwayyi dan as-Suyuthi. Alasan pokok
yang menjadi argumen mereka adalah sebagai berikut:

8 Ibid. hal.322
9 Samsurrohman. Pengantar Ilmu Tafir. (Jakarta:Amzah.2014) hal. 48
a. Riwayat dari Aisyah yang menyataan bahwa Nabi Saw. hanya
menjelaskan dan menafsirkan beberapa ayat yang di ajarkan Jibril.
b. Allah memerintahkan manusia untuk berfikir, mengerti maksud
kalam-kalam-Nya, dan melakukan istinbath, yaitu berupaya
menemukan penafsiran baru serta makna yang lebih sesuai dengan
kondisi masanya.
c. Apabila Nabi menjelaskan seluruh makna al-Qur’an, do’a beliau
kepada Ibnu Abbas tidak ada gunanya, karena manusia memiliki
batasan pengetahuan yang sama.

Mendapatkan perbedaan pendapat dua kubu tersebut, kita dapat


pastikan bahwa Rasulullah Saw. tidak menafsirkan seluruh makna ayat al-
Qur’an. Kesimpulan tersebut berdasarkan beberapa alasan berikut.10

1. ada sebagian ayat yang pemahamannya didasarkan pada pengetahuan


tentang kebahasaan. Hal ini tidak membutuhkan penjelasan dari
Rasulullah. Contonya, ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata ya’mahuna (al-
Baqarah:15), ia berkata, “Yataraddaduna (mereka terombang-ambing).”

2. Sebagian ayat ada yang mudah untuk di pahami sehingga tidak


membutuhkan penjelasan Nabi. Misalnya, ayat berikut ini.

   


Artinya: “ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu..... (QS. An-
Nisa’:23)

3. Sebagian ayat ada yang penjelasannya hanya di ketahui oleh Allah, seperti
terjadinya hari kiamat. Oleh sebab itu, setiap Nabi di tanya kapan terjadi
kiamat, beliau hanya menjelaskan tanda-tanda datangnya. Dalam Surah
Luqman (31) ayat 34 dikemukakan bahwa hanya Allah yang mengetahui
tentang hari kiamat.

4. Ada sebagian ayat yang tidak bermanfaat untuk diketahui lebih jauh,
seperti warna anjing Ashabul Al-Kahfi dan bentuk tongkat Nabi Musa.
10 Ibid. hal. 50
Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan
hingga akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah
merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara
yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal
yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.11

Sehubungan dengan itu, berikut ini contoh-contoh tafsir yang


dilakukan oleh Nabi Saw.12

1. menjelaskan hal yang sulit. Misalnya, riwayat dari Ibnu Abbas yang
berkata, “Ada seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.
‘Bagaimana pendapat engkau tentang firman Allah kama anzalna ‘ala al-
muqtasimin (sebagaimana [kami telah memberi peringatan], kami telah
menurunkan [azab] kepada orang yang memilah-milah [Kitab Allah].
(QS. Al-Hijr:90)? Nabi menjawab, ‘(Mereka adalah) kaum yahudi dan
Nasrani.’ Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Alladzi ja’alu al-qur’an ‘idhin
([yaitu]orang-orang yang telah menjadikan al-qur’an itu terbagi-bagi).
(QS. Al-Hijr : 91). Apa ‘idhin itu? Nabi menjawab, ‘Orang-orang yang
beriman dengan sebagian dan kufur dengan sebagian lainnya.’”
Contohnya lainnya adalah penjelasan Nabi tentang benang putih dan
benang hitam sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat
187. Nabi menjelaskan bahwa maksudnya adalah terang siang dan
gelapnya malam.

2. Memberikan batasan. Misalnya firman Allah potonglah tangan keduanya


(QS. Al-Ma’idah:38), Nabi memberikan batasan dengan memotong tangan
kanan.

3. Memberikan suri tauladan. Misalnya, Nabi memerintahkan untuk


mencontoh cara shalat yang dilakukannya sebagaimana dalam hadis
berikut.

11 Ibid. hal. 51
12 Ibid
‫ارجعوا يال يأهليكم يفعلموهم يومروهم يوصلوا يكما يرأيتمون يأصلى‬
Pulanglah kepada keluarga kalian, ajarilah dan perintahkan mereka, dan
shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR. Al-Bukhari)
Nabi sebagai pembawa risalah banyak memberikan kesempatan untuk
menjelaskan makna-makna al-Qur’an yang belum dipahami secara memadai
oleh sahabat dalam berbagai kondisi, seperti dalam perjalanan, mukim.
Perang, atau damai. Sementara itu, tafsir pada masa beliau belum di bukukan
sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, tetapi baru disampaikan melalui
riwayat.13

B. Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Periode mutaqaddimin ( Abad ke – 1 hingga abad ke - 4 Hijrah )


meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ al – tabi’in. Sepeninggal Nabi
Muhammad Saw. ( 11 H / 632 M ) selaku mufassir pertama ( al – mufassir al
– awwal ) dan mufasir tunggal di zamannya, penafsiran Al – Qur’an
dilakukan oleh sahabat – sahabat Nabi. Terutama kalangan sahabat senior
( kibar al – shahabah ).14

a. Tafsir Pada Masa Sahabat

1. Keberadaan Sahabat Berkaitan dengan Pengetahuan

Berkaitan dengan peristiwa turunnya ayat, tidak semua sahabat


menyaksikannya. Oleh sebab itu pemahaman mereka berbeda-beda yang
kemudian menimbulkan tingkatan yang berbeda-beda pula dalam memahami
makna kosakata al-Qur’an. Misalnya makna kata takhawwuf (takut) dalam
surah an-Nahl (16) ayat 47. Sementara itu, seseorang dari suku Hudzil
menjelaskan, “Takhawwuf dalam bahasa kami adalah berangsur-angsur
(sampai binasa).” Contoh lainnya adalah riwayat mengenai Ibnu Abbas yang
tidak mengetahui makna fathir as-samawat sampai akhirnya ia mendapati dua

13 Ibid
14 Muhammad Amin Suma. Loc.cit
orang Badui yang sedang berdebat mengenai sebuah sumur, siapa diantara
keduanya yang lebih dahulu menggali. Berdasarkan perdebatan tersebut,
akhirnya Ibnu Abbas menegaskan bahwa maksud fatih as-samawat adalah dia
yang awal mula menciptakan langit.15

Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidak. Demi zat yang
membelah biji dan membuat keturunan, kami tidak mengetahuinya melainkan
pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang mengenai al-Qur’an.
Dari pendapat Ali tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:16

a. Para sahabat memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda dan banyak


makna al-Qur’an yang samar bagi mereka.
b. Kebanyakan mereka merasa cukup dengan makna global.
c. Di antara mereka ada yang memahami dengan pemahaman yang kurang
tepat.
d. Sebagian generasi tua tidak memahami isyarat al-Qur’an seperti Ibnu
Abbas yang merupakan generasi muda.

2. Perbedaan Pemahaman Para Sahabat Mengenai al-Qur’an

Kenyataan menjelaskan bahwa Nabi Saw. tidak menjelaskan seluruh


ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, ijtihad para sahabat memegang peran yang
sangat penting. Meskipun demikian, tingkatan tafsir mereka berbeda-beda.
Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut.17

a. Perbedaan tingkat pemahaman dan kemampuan dalam menguasai bahasa.


b. Perbedaan dalam intensitas dalam menyertai Nabi Saw.
c. Perbedaan pemahaman tentang asbab an-nuzul yang membantu dalam
memahami makna ayat.
d. Perbedaan pengetahuan mengenai syariat.
e. Perbedaan tingkat kecerdasan karena mereka seperti manusia lain pada
umumnya.

15 Samsurrohman. Op.cit. hal. 52


16 Ibid
17 Ibid. hal. 53
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun
banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan sahabat, al-Qur’an tetap
dapat dipahami secara selaras seiring dengan tingkat perkembangan
pengetahuan.

3. Ciri Khusus Tafsir Sahabat

a. Hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyat karena Nabi merasa cukup


dengan sumber Islam yang murni. Oleh sebab itu, tafsir sahabat tidak
dikeruhkan oleh hawa nafsu serta terhindar dari perselisihan dan
kedustaan.
b. Belum mencakup keseluruhan al-Qur’an karena banyak ayat yang telah
jelas bagi mereka.
c. Hanya sedikit perbedaan pendapat dalam penafsiran karena mereka
hidup semasa dengan turunnya wahyu dan memahami bahasa Arab.
d. Tidak memaksakan untuk menjelaskan makna secara detail sehingga
menjadi berlebihan dan tidak bermanfaat.
e. Kebanyakan masih berkisar tentang kebahasaan yang dipahami sesuai
kalimat yang terpendek.
f. Belum terpengaruh mazhab manapun, tetapi tafsir mereka merupakan
hasil istinbath hukum fiqh.
g. Tafsir belum dibukukan sehingga penyampaian dilakukan melaui
riwayat dari mulut ke mulut.
h. Tafsir belum dipisahkan dari Hadis dan masih terpencar.18

4. Sumber Rujukan Tafsir Sahabat

Pada masa Nabi Saw. sumber penafsiran adalah al-Qur’an dan ijtihad
beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada masa sahabat adalah
sebagai berikut:19

a. Al-Qur’an dengan mencakup kalimat yang panjang dan pendek, global dan
terperinci, muthlaq dan muqayyad, serta umum dan khusus. Oleh sebab
itu, bagi orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an, sebelumnya harus

18 Ibid. hal. 54
19 Ibid. hal.55
meneliti lalu mengumpulkan ayat-ayat berdasarkan kesamaan topik dan
membandingkannya.
b. penjelasan Nabi Saw. ketika beliau masih hidup, sahabat langsung
menanyakan segala persoalan kepada beliau.
c. Ijtihad dan kemampuan untuk ber-istinbath. Hal ini dilakukan apabila
didalam dua sumber diatas tidak ditemukan jawaban. Akan tetapi orang
ingin berijtihad harus memenuhi syarat-syarat berikut.
1) mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab.
2) mengetahui kebiasaan kaum Arab.
3) mengetahui perilaku Ahli Kitab pada masa turunnya al-Qur’an.
4) mengetahui asbab an-nuzul.
5) memiliki pemahaman yang kuat karena kebanyakan ayat al-Qur’an
maknanya halus dan maksudnya samar.
d. Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dikarenakan sebagian al-
Qur’an sesuai dengan kitab Taurat dan Injil (yang asli), seperti kisah para
Nabi dan umat-umat terdahulu. Begitu juga dengan al-Qur’an yang
mencakup ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Injil, seperti kisah
kelahiran Nabi Isa, hanya saja metode dan tujuan yang dipakai al-Qur’an
berbeda.
5. Sahabat yang Terkenal dalam Bidang Ilmu Tafsir
Dari kalangan para sahabat, minimal tercatat sepuluh orang mufassir
terkenal, yaitu :20
1) Abu Bakar al – Shiddiq ( w. 13 H / 634 M )
2) Umar Ibn Al – Khathtab ( w.23 H / 644 M )
3) Utsman bin Affan ( w.35 H / 656 M )
4) Ali bin Abi Thalib ( w. 40 H / 661 M )
5) Ibn Mas’ud ( w. 32 H / 652 M )
6) Zaid bin Tsabit ( w. 45 H / 665 M )
7) Ubay bin Ka’ab ( w. 20 H / 640 M )
8) Abu Musa al – asy’ari ( w. 44 H / 664 M )
9) Abdullah bin Zubair ( w. 73 H / 692 M )
10) Abdullah bin Abbas ( w. 68 H / 687 M )
Dari kalangan khulafa’ al – Rasyidin, Ali bin Thalib-lah yang dikenal
paling banyak menafsirkan Al – qur’an. Sedangkan tiga lainnya, terutama
Abu Bakar, di samping Umar dan Utsman, relatif tidak banyak dengan
kegiatan menafsirkan Al – Qur’an. Selain karena Utsman, Umar dan terutama
Abu Bakar yang secara berturut – turut terlihat langsung dengan kegiatan

20 Muhammad Amin Suma. Loc.cit


dunia politik praktis denga jabatannya sebagai khalifah ( kepala negara ) ;
juga terutama disebabkan usia mereka terutama Abu Bakar yang tidak lama
masa hidupnya dari kematian Nabi Muhammad saw. Seperti diketahui,
setelah Nabi berpulang ke rahmat Allah, Abu Bakar secara aklamasi,
meskipun didahului dengan perdebatan yang cukup memans, dibaiat untuk
menggantikan posisi Nabi selaku pemimpin umat dan negara ( khalifah ).
Tapi dua tahun kemudian, Abu bakar berpulang ke rahmat Allah. Meskipun
sedikit lebih panjang dari masa kekhalifahan Abu Bakar, namun Umar dan
Utsman yang masing – masing menjadi khalifah selama empat puluh tahun
dan dua belas tahun, juga kemudian meninggal dunia lebih dulu dibandingkan
dengan Ali bin Abi Thalib.21
6. Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa adanya tingkat pengetahuan yang
berbeda dikalangan sahabat berimbas pada hasil penafsiran. Hal ini kemudian
secara otomatis diikuti oleh para muridnya. Dari sinilah muncul tiga
madrasah tafsir yaitu, Mekah, Madinah dan Kufah.22
a. Mekah
madrasah tafsir Mekah dipelopori oleh Abdullah bin Abbas yang
dikenal dengan Ibnu Abbas. Ia sangat pandai dan memiliki ilmu yang
melimpah tentang kitab Allah. Oleh sebab itu, Ibnu Abbas disebut sebagai
sebaik-baik penerjemah al-Qur’an. Sementara itu, Ibnu Umar menyatakan
bahwa Ibnu Abbas adalah seorang yang paling alim mengenai kitab yang
diturunkan kepada Nabi Saw.23
ibnu Abbas merupakan sahabat muda yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Oleh sebab itu, ia mampu menguasai ilmu bahasa Arab dan
sastra. Disamping itu ia memliki hafalan yang sangat kuat. Dengan
kemampuannya, Ibnu Abbas menjelaskan kosakata yang sulit dengan
penjelasan yang memadai. Misalnya, Firman Allah Swt berikut:
    
‫ ي‬ 

21 Ibid. hal. 323


22 Samsurrohman. Op.cit. hal. 56
23 Ibid
Artinya: “dan kamu Telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan
kamu menjadi kaum yang binasa.(QS.Al-Fath:12)
Kata buran ditafsirkan dengan halaka (binasa). Contoh lainnya adalah firman
dibawah ini.
    

Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang Penyantun
lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.”(QS.Hud:75)
Halimun awwahun munibun, ditafsirkan dengan muqin yang dalam bahasa
Habasyah artinya orang yang yakin.
Disisi lain, Ibnu Abbas juga mencoba menafsirkan kosakata yang sulit
dengan syair Arab. Misalnya, ketika ditanya tentang makna syir’atan wa
minhajan, ia menjawab bahwa syir’ah adalah agama dan minhaj adalah jalan.
Sementara itu, Ibnu Abbas berusaha untuk menjelaskan makna-makna
al-Qur’an dengan pendapat yang sesuai dengan Hadis.
Penafsiran yang dilakukan Ibnu Abbas menunjukkan bahwa
pengetahuannya luas. Selanjutnya, metode ini disebut dengan tafsir filologi,
yaitu penafsiran kosakata yang sulit dengan mengunakan perangkat bahasa.24
b. Madinah
Madrasah tafsir Madinah dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab, seseorang
ahli qira’ah serta salah satu penulis wahyu. Pada suatu hari, ia diminta untuk
membacakan al-Qur’an kepada Nabi Saw. dan hal itu menjadi keistimewaan
tersendiri baginya.25
Ubay tidak begitu senang dengan peristiwa-peristiwa baru serta tidak
suka menyibukkan diri dengan kejadian yang belum pernah terjadi.
Pada masa sahabat, ia menjadi pelopor madrasah tafsir Madinah.
Penafsirannya menggunakan riwayat karena ia mendengarnya langsung dari
Rasulullah dan menyaksikan proses turunnya ayat. Pada masa kekhalifaan
Umar bin Khaththab, terdapat larangan untuk meninggalkan Madinah kecuali
terpaksa atau ada permintaan untuk berdakwah diwilayah lain.
Berikut ini bebrapa contoh penafsiran yang dihasilkan oleh madrasah
tafsir Madinah.26

24 Ibid. hal. 57
25 Ibid. hal. 59
26 Ibid. hal. 60
1. Menafsirkan ayat dengan asbab an-nuzul. Ubay bi Ka’ab meriwayatkan,
“Tatkala ayat tentang iddah turun, yaitu surah al-Baqarah ayat 228 dan
234, para sahabat berkata, ‘Masih ada kelompok perempuan yang belum
dijelaskan, yaitu perempuan yang msih kecil, perempuan yang telah
monopause, dan perempuan yang mengandung.’” Oleh sebab itu turunlah
firman Allah Swt.
    
   
     
   
      
    

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di


antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.”(QS.Ath-Thalaq:4)
2. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Hadis. Misalnya, riwayat dari Ubay
bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang li alladzina ahsanu al-husna
wa ziyadah (QS.Yunus:26). Nabi bersabda: “Orang-orang yang berbuat
kebajikan adalah mereka yang merupakan ahli tauhid, sedangkan al-husna
adalah surga dan ziyadah adalah melihat zat Allah.” (HR.Ibnu Jarir Ath-
Thabari).
3. menafsirkan al-Qur’an dengan penjelasan umum yang terkandung didalam
al-Qur’an itu sendiri serta petunjuk yang mudah dipahami. Misalnya, Ubay
menyatakan bahwa hanya umat Islam yang do’anya banyak dikabulkan.
Pernyataan tersebut dilandaskan pada ayat ini.
    
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia,”(QS.Ali-Imran:110)
c. Kufah
madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia adalah
orang kedua yang membacakan al-Qur’an secara terang-terangan di Mekah
setelah Nabi. Ia selalu menyediakan air wudhu’ untuk Nabi, siwak, dan
sandal. Selain itu, ia yang memberri penutup ketika Nabi mandi serta
membangunkan beliau dari tidur.27
Ibnu Mas’ud pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan Umar karena
diminta untuk berdakwah dan mengajar disana. Ibnu Mas’ud termasuk
sahabat yang paling hafal al-Qur’an hingga Nabi sendiri senang
mendengarkan bacaan al-Qur’an darinya.
Adapun contoh penafsiran yang dilakukan Ibnu Mas’ud dengan
menggunakan keumuman ayat adalah ketika menafsirkan Firman Allah Swt.
      
    
     
    

Artinya: ‘Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam
keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan
mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam
keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain
Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya Aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim."
Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa keadaan yang sangat gelap adalah kegelapan
di dalam perut, kegelapan di dalam lautan, dan kegelapan malam.
7. Nilai Tafsir Sahabat
Berkaitan dengan hasil interpretasi sahabat terhadap al-Qur’an , ulama
mengelompokkannya sebagai berikut:28
a. apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab turun ayat, di
hukumi marfu kepada Nabi dan termasuk Hadis Nabi yang memiliki
kekuatan hukum seperti hadis lain selama sanadnya sahih.
b. Apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab turun ayat lalu
dikembalikan kepada ijtihad sahabat, hukumnya mauquf selama tidak
disandarkan kepada Nabi Saw. akan tetapi, sebagian ulama wajib
27 Ibid. hal. 62
28 Ibid. hal. 64
berpegang dengan hadis mauquf sahabat karena mereka lebih tahu. Hadis
ini dapat menjadi hujjah, jika sanadnya sahih.
c. Ibnu Taymiyah dalam muqaddimah berpendapat, “Apabila tidak
ditemukan jawaban di dalam al-Qur’an dan Hadis, dapat merujuk tafsir
sahabat karena mereka lebih mengetahuinya. Akan tetapi, apabila tafsir
sahabat tidak berkaitan dengan hal dimaksudkan, kekuatan hukumnya
sama seperti tafsir-tafsir generasi setelahnya.

b. Tafsir Masa Tabi’in

Ketika penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat


terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu
masing-masing. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar
dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai madzhab dan
perguruan tafsir29.

1. Pembukuan Pertama Kali

Meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat non-


Arab yang masuk Islam menyebabkan kebutuhan akan tafsir menungkat. Di
sisi lain, generasi yang menerima penjelasan langsung dari Nabi semakin
sedikit dan mereka terpencar-pencar di sejumlah wilayah kekuasaan Islam
yang baru.30

Oleh sebab itu apabila segala ilmu yang bersinggungan dengan al-
Qur’an tidak segera dibukukan, akan menghambat kemajuan Islam. Dengan
demikian, pada akhirnya ilmu al-Qur’an di bukukan.

2. Metode yang Digunakan Tabi’in

29 Syaikh Manna Al-Qaththan.. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta:Pustaka Al-


Kautsar.2005) hal:426
30 Samsurrohman. Op.cit. hal. 65
Tidak banyak perbedaan antara metode yang digunakan sahabat dan
tabi’in. Mereka cendrung sama dalam menggunakan metode yang
fundamental. Metode yang digunakan tabi’in adalah sebagai berikut:31
a. menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
b. menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis Nabi Saw.
c. menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir sahabat.
d. ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di dalam al-Qur’an, Hadis,
dan tafsir sahabat, mereka berijtihad.
Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa
talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah benyak Ahli Kitab masuk
Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang
kemudian dimasukkan kedalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik
bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang
pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena
banyaknya pendapat-pendapat mereka. namun demikian pendapat-pendapat
tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu
dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan
perbedaan yang bersifat kontradiktif.32
3. Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.
Di Mekah, misalnya, berdiri perguruan tinggi Ibnu Abbas. Diantara
muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula
Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. 33
Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari orang
lain. Pendapat-pendapatannya tentang tafsir banyak di nukil generasi
sesudahnya. Diantara muridnya dikalangan tabi’in, ialah Zaid bin Aslam, Abu
‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.
Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak
dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur diantaranya adalah ‘Alqamah bin
Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hazani, ‘Amir Asy-Sya’bi,
Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.

31 Ibid. hal. 67
32 Syaikh Manna Al-Qaththan.opcit. hal:428
33 Ibid. hal. 427
4. Hukum dari Tafsir Tabi’in
Ulama berbeda pendapat tentang tafsir tabi’in. Mereka baru
berpedoman pada tafsir tabi’in ini jika tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah
Saw. dan sahabat.34
a. sebagian kelpmpok, seperti Ibnu Aqil, dan berdasarkan riwayat dari Imam
Ahmad dan Syu’bah menyatakan bahwa tidak wajib berpegang pada tafsir
tabi’in karena hal-hal berikut ini.
1) mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah.
2) mereka tidak menyaksikan ketika al-Qur’an diturunkan sehingga ada
kemungkinan salah paham.
3) Sifat adil tabi’in tidak di tetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis seperti
halnya sifat adil sahabat.
b. Sebagian kelompok lainnya, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Abi
Mulaikah, dan al-A’masy. Kelompok ini merupakan kelompok mayoritas
yang menyatakan bahwa tafsir tabi’in dapat di pegang jika tidak di
temukan tafsir Rasulullah Saw. dan sahabat. Hal itu, karena tabi’in
menerima tafsir sahabat, menghadiri majelis mereka, dan melihat tata cara
ibadah mereka.

5. Nilai Tafsir Tabi’in

Sehubungan dengan hasil ijtihad tabi’in, ulama memberikan penilaian


mengenai hal tersebut:35

a. Apabila penafsiran tabi’in mencakup asbab an-nuzul dan hal-hal yang


ghaib, memiliki kekuatan hukum marfu, seperti tafsir Mujahid.
b. Apabila penafsiran tabi’in merujuk pada Ahli Kitab, hukumnya seperti
penafsiran isra’iliyat (maksudnya hadis isra’iliyat).
c. Apa yang di sepakati oleh tabi’in dapat menjadi hujjah.
d. Jika terdapat perbedaan pendapat, pendapat yangs atu tidak dapat
mengalahkan pendapat lainnya.
e. Jika tafsir tabi’in tidak ada yang menentang, tafsir ini lebih rendah
daripada tafsir sahabat. Akan tetapi, nilainya lebih berharga apabila
dibandingkan dengan tafsir generasi setelah mereka.

34 Samsurrohman. Op.cit. hal. 69


35 Ibid
6. Menyikapi Tafsir Tabi’in

Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam meneliti tafsir


tabi’in.36

a. Harus dilakukan penelitian lebih seksama berkaitan dengan sahih atau


tidaknya sanad.
b. Harus mengumpulkan metode-metode tafsir sahabat dan tabi’in sehingga
dapat diketahui perbedaan riwayat mereka.
c. Apabila ada dua pendapat yang sahih yang berbeda dari seorang sahabat
atau tabi’in lalu tidak dapat di kompromikan, harus dianggap sebagai dua
pendapat yang berbeda, kecuali di ketahui bahwa yang bersangkutan
meralatnya.
d. Mengompromikan riwayat dari sahabat dan tabi’in untuk menunjukkan
maksud ayat.
e. tidak semua perbedaan pendapat di nilai sebagai perbedaan.
f. Memperbaharui suatu pendapat setelah adanya kesepakatan berikut.
a. Apabila tidak beretentangan, pendapat itu dapat diterima.
b. Apabila bertentangan , pendapat itu harus dipertimbangkan terlebih
dahulu, dan apabila telah jelas bertentangan, harus ditolak.

c. Tafsir Masa Tabi’ Tabi’in

1. Pembukuan Tafsir

Pada masa tabi’ tabi’in, pembukuan tafsir mengalami perkembangan


yang cukup berarti sehingga ilmu tafsir mulai dibubukan dalam kitab-kitab
kecil dan kitab-kitab besar. Dengan demikian, kitab-kitab tersebut mencakup
pengetahuan yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kitab-kitab
generasi sebelumnya.37

2. Mufassir yang Termasyhur Pada Masa Tabi’ Tabi’in

Proses pembukuan tafsir tentu erat kaitannya dengan para mufassir


yang menyusunnya. Berikut ini mufasir-mufasir yang termasyhur pada masa

36 Ibid. hal. 70
37 Ibid. hal. 71
tabi’ tabi’in. Muqatil bin Sulaiman (w. 150H), Syu’bah bin Al-Hajaj (w. 160
H), Sufyan bi Sa’id Ats-Tsauri (w.161 H ), Waqi’ bin Al-Jarah (w. 197 H),
Sufyan bin Uyaynah (w. 198H), Yazid bin Harun (w.206 H), Rauh bin
Ubadah (w.207 H), Abdurrazaq bin Hamam bin Ash-Shan’ani, Imam Al-
Bukhari (w. 211 H).38

3. Ciri Khusus Tafsir Tabi’ Tabi’in

Penafsiran yang dilakukan oleh tabi’ tabi’in memiliki corak yang


menonjol jika dibandingkan dengan tafsir tabi’in. Berikut ini ciri khusus tafsir
tabi’ tabi’in.39

a. Fokus pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, Sahabat maupun Tabi’in.
b. Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan
disiplin ilmu hadis.
c. Tidak hanya fokus pada tafsir yang marfu’ kepada Nabi, tetapi juga
mencakup tafsir sahabat dan tabi’in.

Pada masa ini, para mufassir mulai menekankan tafsir bi al-


ma’tsurdan tafsir bi al-ra’yi sehingga tidak begitu terpengaruh dengan adanya
tiga madrasah tafsir pada masa sebelumnya, yaitu madrasah Mekah, Madinah
dan Kufah.

Pada masa ini pula, mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara


kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri. Model
penafsiran seperti ini kemudian lebih dikenal dengan sebuatan “al-Qur’an
menafsirkan bagian lainnya” (al-qur’an yufassiru ba’dhuhu badhan). Salah
satu mufassir yang melakukan model seperti ini Muqatil bin Sulaiman. Ia
seringkali menyatakan, “Ayat ini seperti ayat yang lain.” Contohnya:

     




38 Ibid. hal. 72
39 Ibid. hal. 73
Artinya: “dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu,
tentang dosa-dosa mereka.”(QS.Al-Qasash:78)

Muqatil berkomentar, ayat ini selaras dengan surah ar-Rahman ayat 41.

  


   

Artinya: “Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandannya, lalu


dipegang ubun-ubun dan kaki mereka.”(QS. Ar-Rahman:41)

C. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )

Ekspansi Islam ke berbagai daerah Jazirah Arab maupun luar Arab,


pada masa – masa Tabi’in dan tabi’ al – tabi’in semakin berkembang
demikian luas. Dan pergaulan umat Islam pun dengan dunia luar yang
notabene pada umumnya nonmuslimin / muslihat, meskipun kemudian
banyak juga yang memeluk agama Islam , kian waktu semakin kompleks.
Pada zaman itu, Islam telah menguasai daerah – daerah lain yang memiliki
kebudayaan lama ( kuno ) seperti Persia, Asia Tengah, India, Siria, Turki,
Mesir, Etiopia, dan Afrika Selatan bahkan Islam berkembang pua di Asia
tenggara terutama Indonseia di samping Malaysia, Brunei Darussalam dan
lain – lain.40
Sejak masa itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari penegtahuan –
pengetahuan yang dimiliki oleh penganut – penganut kebudayaan tersebut.
Karena itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat,
ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban dan sebagainya, sehingga dalam
beberapa waktu saja telah dapat dimiliki dan dibukukan ilmu – ilmu gaya
bahasa, ilmu keindhan bahasa, dan segala hal yang berhubungan dengan
bahasa.
Bersamaan dengan perluasan Islam ke segenap daerah / wilayah di
berbagai penjuru benua itu, peradaban dan kebudayaan Islam pun semakin
mengalami kemajuan yang sungguh berarti. Termasuk di dalamnya dunia

40 Muhammad Amin Suma. Opcit. Hal. 327


tafsir. Para ahli tafsir, dalam menafisrkan Al – Qur’an tidak lagi merasa
cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya mengahafal riwayat dari
generasi sahabat, tabi’in, tabi al – tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini,
akan tetapi telah juga mulai berorientasi pada penafsiran Al – Qur’an yang
didasarkan pada pendekatan ilmu – ilmu bahasa pada khususnya dan
penalaran – penalaran ilmiah yang lain pada umumnya. Dalam kalimat lain,
tafsir Al – Qur’an pada periode mutaakhkhirin ini tidak lagi hanya
mengandalkan pada kekuatan tafsir bi al – matsur yang telah lama mereka
warisi, akan tetapi mereka juga telah siap untuk mengembangkan tafsir bi al –
dirayah dengan segala macam implikasinya.
Akibatnya, tafsir Al – Qur’an pun kemudiannya berkembang
demikian rupa dengan menitikberatkan pembahasan dari aspek – aspeknya
yang tertentu sesuai dengan kecenderungan kelompok – kelompok mufasir itu
sendiri.41 Misalnya :
a. Ada mufassirin yang lebih menekankan penafsiran Al – Qur’an dari segi
bahasa terutama keindahan ( balaghahnya ). Di antaranya tercatat nam Al –
Zamakhsyari ( 4670 – 538 H/1074-1143 M ) dengan karyanya al –
kasysyaf dan kemudian al – Baydhawi dengan kitabnya Anwar al – Tanzil
wa Asrar al – Takil ( sinar Al – Qur’an dan Rahasia – rahasia
Penakwilannya ).
b. Ada golongan yang semata – mata meninjau dan menafsirkan Al – Qur’an
dari segi tata bahasa, kadang – kadang mereka menggunakan syair – syair
Arab jahili untuk mengukuhkan pendapat mereka , seperti al – Zajjaj
dalam tafsirnya ma’ani Al – Qur’an ( Makna – Makna Al – Qur’an ); al –
Wahidi dalam tafsirnya al – Basith ( pemaparan ); Abu Hayyab
Muhammad bin Yusuf al – Andalusi ( 654 – 754 H/ 1256 – 1353 M )
dalam tafsirnya al – Bahr al – muhith ( Lautan yang sangat luas ).
c. Ada golongan yang menitik beratkan pembahasan mereka dari segi kisah-
kisah dan cerita-cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan cerita-
cerita yang berasal dari orang yahudi dan nasrani, bahkan kadang-kadang
berasa dari kaum Zindik yang ingin merusak agama islam. Dalam

41 Ibid. hal. 328


menghadapi tafsir yang seperti ini sangat diperlukan penelitian dan
pemeriksaan oleh kaum muslimin sendiri. Yang tekenal menafsirkan Al-
Qur’an dengan sistem ini adalah al-Tsa’labi dan ‘Alauddin bin Muhammad
al-Baghdadi (w.741 H/1340 M0, termasuk juga tafsir al Khayin (w.741
H/1340 M).
d. Ada yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum: menetapkan hukum-hukum fiqih. Penafsiran yang seperti ini telah
dilakukan oleh al-Qurtubi (w.671 H/1272 M) dengan tafsirnya al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur’an; Ibn al-‘Arabi (561-638 H/1165-1240 M) dengan
tafsirnya Ahkam Al-Qur’an Jashshash dengan tafsirnya Ahkam Al-Qur’an;
Hasan Shiddiq Khan (1248-1307) dengan tafsirnya Nail al-Maram.
e. Ada golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah. Ayat ini seakan-akan berlawanan dengan sifat-
sifat kesucian dan ketinggian Alah. Lalu dengan penafsiran itu teranglah
bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat allah. Seperti
Imam al-Razy (w.610 H1213 M) dengan tafsirnya Mafatih al-Ghaib.
f. Ada golongan menitik beratkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat al-
qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawuf, seperti tafsir al-
Tasturi susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tasturi.
g. Ada golongan yang hanya memperhatikan lafal-lafal Al-Qur’an yang
gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti KItab
Mu’jam Gharaib al-Qur’an nukilan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dari
Shahih al-Bukhari.
D. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M -
Sekarang)
Periode ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat
ini dan mendatang. Penganut agama islam setelah sekian lama ditindas dan
dijajah bangsa barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat islam
telah merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta
kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.42
Maka terkenallah periode modrenisasi Islam yang antara lain
dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam terkenal semisal Jamal al-din al-

42 Ibid. hal. 330


Afghani ( 1254 – 1315 H / 1838 – 1897 M ), Syekh Muhammad Abduh
( 1265 – 1323 H / 1849 – 1905 M ) dan Muhammad rasyid Ridha ( 1282 –
1354 H / 1865 – 1935 M ). Dua orang yang disebutkan terakhir, yakni Abduh
dan Rasyid Ridha, berhasil menafsirkan Al – Qur’an ( Tafsir al – Qur’an al –
Hakim / Tafsir al Manar ) meskipun tidak sampai tamat. Kesungguhan tafsir
ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan tafsir baik bagi kitab – kitab tafsir Al – Qur’an yang semasa
dengannya dan terutama kitab – kitab tafsir yang terbit pada masa – masa
sesudahnya hingga sekarang. Cikal – cikal tafsir Al – Qur’an yang lahir abad
ke – 20 dan 21 banyak yang mendpatkan inspirasi dari Tafsir al – Manar. Di
antara contohnya ialah, Tafsir l – Maraghi, Tafsir al – Qasimi dan Tafsir al –
Jawahir karya Thanthawi jauhari.43
Shah Waliyullah ( 1701 – 1762 ), seorang pembaharu dari Delhi, telah
berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir modern. Dua karyanya yang
monumental, yaitu Hujjah Al – Balighah dan Ta’wil Al – Hadis fi Rumaz
Qishash Al – Anbiya, memuat pokok – pokok pemikiran modernya. Ia tidak
sia – sia, usahanya merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat serupa,
maka muncullah di Mesir tafsir Muhammad Abduh, tafsir Rasyid Ridha,
Ahmad Khalaf Allah, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo –
Pakistan, kita mengenal tokoh Abu Kalam Azad, Al – Msriqi, dan G.A.
Parwez, tentu saja masih banyak tokoh lainnya.44
Para ahli tafsir Indonesia lainnya baik yang sudah wafat maupun yang
masih hidup antara lain : Dr. T.M. Hassbi Ash – Shiddiqiey ( 1322 – 1395 H /
1904 – 1975 M ) dengan karyanya Tafsir al – Nur dan Tafsir al – Bayan; Prof.
Dr. Mahmud Yunus ( 1317 – 1403 H / 1899 – 1982 M ), A. Hassan ( 1301 –
1378 H / 1883 – 1958 M ), Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. terutama
dengan karyanya Tafsir al – Misbah di samping Tafsir al – Fatihah, dan lain –
lain.
Satu hal penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran Al
–Qur’an sebelum periode kontemporer, hampir semua kitab – kitab tafsir
ditulis oleh orang – orang Muslim berkebangsaan Arab dan dalam bahasa
43 Ibid
44 Rosihon Anwar. Pengantar Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia. 2009) hal.283
Arab. Penafsiran Al – Qur’an ke dalam bahasa non Arab, umum terjadi pada
akhir – akhir abad ke 19 Masehi dan terutama pada abad ke – 20. Khusus
untuk tafsir Al – Qur’an di kawasan Asia Tenggara, justru dipelopori oleh
para mufassir Indonesia semisal Abdur – Rauf singkel, buya Hamka, dan lain
– lain.
Berangkat dari tujuan untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai
Hudan Linnaas, metode yang digunakan oleh mufassir kontemporerpun
sedikit banyak berlainan dengan metode yang digunakan oleh para mufassir
klasik. Kalau mufassir klasik cendrung menggunakan metode lahlily
(analitis), maka masa penafsiran kontemporer penafsiran dilakukan dengan
metode ijmali (glonal) dan maudu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat
tertentu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modren seperti
semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika, dan sebagainya.
Dari rangkaian uraian tentang sejarah ringkas tafsir Al – Qur’an sejak
zaman Nabi Muhammad saw. Hingga sekarang yang tersebar di berbagai
negara Islam atau negara yang berpenduduk Muslim termasuk di Indonesia,
terdapat jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus.
Kesinambungan mata rantai penafsiran Al – Qur’an ini semakin memperkuat
bukti keaslian kitab suci Al – Qur’an. Kecuali itu, rangkaian penafsiran Al –
Qur’an yang tidak pernah terputus ini seyogianya disadari benar oleh para
mufassir zaman sekarang bahwa dalam menafsirkan al – Qur’an ini
hendaknya kita merasa diawasi oleh Rasul Allah ( Muhammad saw.) yang
menjuluki para ulama sebagai pewaris para Nabi.
‫النعةلييمانء ييويرثيةة يانلينبيياء‬

“ Sesungguhnya para ulama itu adalah para ahli waris para Nabi.” ( HR. Al
– Turmizi )
Perkembangan tafsir Al – Qur’an pada abad ke – 15 H = 21 M, kini
semakin deras dan mengalir ke dalam berbagi bahasa di seluruh dunia seiring
dengan perkembangan para ilmuan Muslim yang tersebar di seluruh pelosok
dunia. Meskipun terkadang diwarnai dengan sedikit polemik terhadap
penafsirannya mengingat ada beberapa orang yang boleh jadi asal ikut – ikut
menafsirkan Al – Qur’an yang jelas tafsir Al – Qur’an kini telah merata ke
seluruh penjuru dunia dan meliputi semua bahasa.45

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Tafsir Periode Nabi SAW

Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah


menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan
pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-
Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu
Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali
Hadis Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-
ayat al-Qur’an. Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari
batasan hingga akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir
Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global,
menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan
batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.

b. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Masa Sahabat Masa Tabi’in Masa Tabi’ Tabi’in


Al-Qur’an belum Tafsir telah mencakup Tafsir telah mencakup
ditafsirkan secara sebagian besar ayat al- seluruh ayat al-Qur’an.

45 Muhammad Amin Suma. Opcit. Hal. 331


menyeluruh. Qur’an.
Perbedaan pemahaman Perbedaan pemahaman Telah banyak diwarnai
tidak banyak terjadi. semakin banyak. perbedaan dan
perdebatan pendapat
baik dalam bidang
teologi maupun fiqh.
Merasa cukup hanya Muncul penafsiran Mayoritas mufassir
dengan makna ayat terhadap setiap ayat dan menafsirkan al-Qur’an
secara global. kosakata. secara kata perkata agar
dapat memahaminya
melalui al-Qur’an itu
sendiri.
Belum terjadi Banyak terjadi Banyak terjadi
perbedaan mazhab. perbedaan mazhab. perbedaan mazhab.
Tafsir belum di Tafsir sudah mulai di Tafsir sudah mulai
bukukan. bukukan dibukukan dalam kitab-
kitab kecil dan besar.
Tafsir masih dalam Tafsir sudah menjadi di Tafsir al-Qur’an belum
bentuk hadis dan siplin ilmu tersendiri, berdiri sendiri, tetapi
riwayat. meskipun masih masih menyatu dengan
berbentuk riwayat. disipin ilmu Hadis.
Hanya sedikit dimasuki Banyak merujuk kepada Tafsir al-Qur’an telah
riwayat israiliyat riwayat israiliyat dan banyak di susupi oleh
ahli kitab. kisah-kisah isra’iliyyat.
c. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )

adapun perkembangan tafsir pada masa ini sebagai berikut:

a. Sebagian mufassir lebih menekankan penafsiran al-Qur’an dari segi


bahasa terutama keindahan balaghahnya. Dan sebagian yang lain,
menafsirkan al-Qur’an dari segi tata bahasa, kadang menggunakan sya’ir-
sya’ir Arab Jahili..
b. Ada yang megutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum.
c. Sebagian ada yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah. Serta sebagian menitikberatkan penafsirannya
kepada isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan
tasawwuf.
d. Pembukuan tafsir sangat berkembang pesat, hingga kitab-kitab tafsir
dibukukan berdasarkan aliran masing-masing suatu golongan. Sepeti, tafsir
aliran Mu’tazilah, tafsir aliran Syi’ah.
d. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M - Sekarang)

pada periode ini tafsir al-Qur’an semakin banyak terlahir dengan


dipengaruhi berkembangnyaberbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Pada
periode ini pula tafsir al-Qur’an banyak dilakukan para mufassir dengan
menggunakan metode ijlami (global) dan metode maudhu’iy (tematik).

B. Saran

Sebagai umat Islam, dan sebagai mahasiswa/i Ilmu Al-Qur’an dan


Tafsir, kita sebaiknya memahami apa yang dimaksud dengan Tafsir dan
bagaimana historis sejarahnya. Karena untuk menjadi seorang mufassir itu
tentu tidaklah mudah, kita perlu ilmu yang sangat luas dan rujukan dari semua
aspek tafsir Qur’an. Walaupun kita sebagai manusia biasa tidak akan bisa
memahami Al-Qur’an secara sempurna, namun setidaknya kita bisa
mengaplikasikannya sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, janganlah
pernah puas dalam mencari ilmu. Semoga makalah ini memberi manfaat bagi
kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ali, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Pekanbaru: Yayasan


PusakaRiau, 2011

Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar, 2005

Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafir, Jakarta: Amzah, 2014

Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014

Anda mungkin juga menyukai