Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Pembimbing:
dr. Bambang Agus Soesanto, sp.THT

Oleh:
Ade Sovi Pohan 406181067
Indah Monica 406182072
Riffany Krisdiana 406181045

KEPANITERAAN STASE THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH K.M.R.T KETILENG
PERIODE 22 OKTOBER s/d 25 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh :

Ade Sovi Pohan 406181067


Indah Monica 406182072
Riffany Krisdiana 406181045

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase THT di RSUD K.M.R.T. Ketileng

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ketileng, November 2018

dr. Bambang Agus Soesanto,Sp.THT

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang
dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat dengan topik
“Karsinoma Nasopharing”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :

1. dr. Djoko Prasetyo A.N,Sp.THT


2. dr. Bambang Agus Soesanto,Sp.THT
3. dr. Hesti Dyah Palupi,Sp.THT

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus kepaniteraan THT
RSUD K.M.R.T. Ketileng sejak tanggal 22 Oktober 2018 – 25 November 2018.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Ketileng, November 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Cover .......................................................................................................................................... 1
Lembar Pengesahan ................................................................................................................... 2

Kata Pengantar ........................................................................................................................... 3

Daftar Isi .................................................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 6

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 29

4
BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas daerah kepala dan leher dan merupakan
suatu tumor ganas utama di nasofaring pada daerah endemis dan jarang ditemukan pada
penduduk non-mongloid. Karsinoma nasofaring dapat ditemukan diseluruh negara dari lima
benua dan insiden tertinggi diduduki oleh daerah cina bagian selatan khususnya di provinsi
Guang –dong(Kwantung) dan jarang ditemukan di Eropa dan Amerika utara. Insiden di
propinsi Guang-dong sebanyak 2.500 kasus atau prevalensinya sebanyak 39.84/100.000
penduduk. Ras mongloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring sehingga
cukup tinggi insidennya pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura dan Indonesia.1

Namun cukup banyak juga kasus-kasus ini ditemukan di Yunani, Afrika bagian Utara
seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga
penyebabnya karena memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet nitrosamin.Di indonesia sendiri frekuensi pasien karsinoma
nasofaring ini hampir merata di setiap daerah. Insiden kejadian karsinoma nasofaring
dihubungkan dengan faktor letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,
lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.1

Tindakan preventif untuk karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu permasalahan karena etiologi yang belum pasti, gejala klinis yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi sehingga diagnosis pasien karsinoma nasofaring telat dan
datang dengan stadium lanjut.8 karena itu, pengetahuan karsinoma nasofaring sangatlah
dibutuhkan agar pencegahan dapat dilakukan seperti menghindar dari faktor – faktor resiko
yang menyebab timbulnya karsinoma nasofaring.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI HIDUNG

Hidung dibagi menjadi 2 bagian superficial yaitu hidung luar dan rongga hidung.
Hidung luar terdiri dari beberapa bagian dari atas ke bawah :

- Pangkal hidung (bridge)


- Batang hidung (dorsum nasi)
- Puncak hidung (tip)
- Ala nasi
- Kolumela
- Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung.1

Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) processus frontalisos
maksila dan 3) processus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior 2)sepasang kartilago nasalis inferior atau disebut sebagai
kartilago alar mayor dan 4) tepi anterior kartilago septum. 1

Gambar 1. Bagian hidung luar 2

6
Sedangkan pada rongga hidung yang berbentuk seperti terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavym nasi dan nasofaring. 1

Bagian yanng letaknya dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum


dilapisi oleh kulit yang mempunyaibanyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. 1

Dinding medial hidung yaitu septum nasi. Dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan bagian luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian tulangnya yaitu 1) lamina
perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os
palatina. Sedangkan bagian tulang rawannya yaitu 1) kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan 2) kolumela.1

Dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka, yaitu konka inferior(letaknya paling
bawah), konka media(bentuk lebih kecil), konka superior(bentuknya lebih kecil lagi), konka
suprema(bentuk terkecil). Konka inferior merupakan bagian tulang sendiri yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirim etmoid. 1

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus ada 3 tergantung pada letaknya yaitu meatus inferior, medius, dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung dengan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Batas rongga hidung yaitu dinding inferior yang merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit
dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrsa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.
Dibagian posterior atay rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. Karotis interna. Bagian bawah rongga hidung diperdarahi
oleh cabang a.maksillaris interna yaitu a.palatina mayor dan a.sphenopalatina yang keluar
dari foramen sphenopalatina dan masuk ke rongga hidung melalui belakang ujung posterior
konka media. Sedangkan bagian depan hidung mendapat perdarahan oleh cabang-cabang

7
a.fasialis. bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sphenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little area). Pleksus Kiesselbach ini letaknya superficial dan mudah cedera oleh karena
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernsus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebarag infeksi sampai ke intrakranial.1

Gambar 2 bagian lateral cavum nasii 2

Anatomi Nasofaring

Nasofaring (post nasal space) merupakan bagian faring posterior dari cavum nasi.
Bagian superior dari kavum nasi. Bagian superior dari nasofaring dibentuk oleh bagian
mucoperiosteum yang terdapat pada bassis sphenoid. Bagian inferior dan anterior dari
nasofaring dibentuk oleh velum palatinum (soft palate) yang merupakan lanjutan dari dasar
kavum nasi, bagian posteriornya berhubungan langsung dengan orofaring melalui isthmus
pharyngeal. pada bagian lateral, terdapat struktur berbentuk J terbalik yang merupakan
proyeksi dari tuba eustachius disebut torus tubarius terdapat recessus pharyngeal (fossa of
resenmuller) yang merupakan proyeksi dari cartilage tuba. Bagian lateral dimulai dari
choana. Jadi nasofaring berhubungan secara anterior ke koana, inferior ke orofaring dan
ismus pharyngeal dan secara lateral ke telinga tengah.3,4

8
Gambar 3 anatomi nasofaring 4

Pada sistem aliran limfe pada leher terdapat beberapa bagian, yaitu superfisial dan deep.
Bagian superficialis ini akan menembus fascia servikal ke dalam. Pembuluh darah limfe yang
dalam berlokasi di dekat kondensasi fascia, artinya berdekatan dengan nervus, pembuluh
darah dan otot. Terdapat beberapa group yang terdiri dari :1,5,6

- Kelompok submental
Menerima aliran limfe dari dagu, bibir bawah tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian
depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Aliran ini akan membawa aliran limfe ke kelenjar
submandibular atau langsung ke kelenjar limfe jugularis interna.

- Kelompok submandibular
Menerima aliran limfe dari kelenjar submandibular, bibir atas, bagian lateral bibir awah,
rongga hidung dan bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum
molle dan 2/3 depan lidah.

- Kelompok jugularis
Terbagi menjadi 3 bagian : superior, media dan inferior. Kelompok jugularis superior
menerima aliran dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis accessorius, parotis, servikalis
superficial dan kelenjar limfa submandibular. Menerima aliran limfe dari daerah palatum
molle, tonsil, dasar lidah, bagian posterior lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring.
Kelompok jugularis ini akan mengalirkan limfe ke duktus torasikus.

9
- Kelompok nodus di posterior
Dibagi menjadi 2 bagian, yang berjalan searah dengan saraf accessorius spinal dan yang
berhubungan degan pembuluh limfe tiroservikal. Yang berjalan searah dengan saraf
accessorius spinal menerima aliran limfe dan nasofaring.

Letak penyebaran menurut Sloan Katterig Memorial Cancer center classification membagi
kelejar limfa leher menjadi 5 bagian : 1,5,6

I. IA : Kelompok submental

IB : Kelompok submandibular

II. Kelenjar yang terletak 1/3 atas termasuk kelenjar jugularis superior, kelenjar digasrtic
dan kelenjar servikal posterior superior. Dipisah oleh nervus accessorius spinal.

II A : Terdapat di anteroinferior dari nervus accessorius

II B : Terdapat di posterosuperior dari nervus accessorius

III. Nodus jugularis media, menerima aliran limfe dari laring dan faring. Terdapat pada
antara bifurkasio karotis dan persilangan m. Omohyoid dengan M.
Sternocleidomastoid.

IV. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula

V. Kelenjar yang ada di segitiga posterior servikal

Kebanyakan dari kanker nasofaring, terdapat massa tumor dibawah


m.Sternocleidomastoideus dan atau pada bagian superoposterior dari kelenjar servikalis.

Gambar 4. Pembagian letak limfe 6

10
HISTOLOGI

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian anterior, yang terdiri dari epitel
torak berlapis bersilia dengan sel goblet. Pada bagian posterior terdapat epitel gepeng berlapis
non keratinisasi dan berlanjut ke arah orofaring dan laringofaring. Pada zona transisi, yaitu
dimana kedua jenis epitel bertemu, terdapat epitel torak dengan microvili. Mukosa
mengalami invaginasi dan membentuk kripta yang sering diinfiltrasi oleh sel radang limfosit
sehingga membentuk reticulated pattern. Stroma kaya akan jaringan limfoid yang reaktif.
Kelenjar seromucinous juga dapat dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga
hidung. 4

FISIOLOGI

Terdapat beberapa fungsi nasofaring, yaitu : 5,7


- Fungsi respirasi
- Fungsi penghidu
- Fungsi fonetik
- Jalan udara ke tuba eustachius
- Tempat drainase sinus paranasal

DEFINISI KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah


nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya
diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur. 9

EPIDEMIOLOGI

- Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,


kanker leher rahim, dan kanker paru.
- Berdasarkan GLOBOCAN 2012:
o 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus
baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan).
o 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada
perempuan).
- KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan
wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.
- Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40
- 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat
jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar.9

11
FAKTOR RESIKO :
1. Jenis Kelamin
2. Ras Asia
3. Umur 30 – 50 tahun
4. Makanan yang diawetkan
5. Infeksi Virus Epstein-Barr
6. Riwayat keluarga
7. Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik
8. Merokok
9. Minum Alkohol.9

HISTOPATOLOGI :

Menurut 1991 WHO tahun, karsinoma nasofaring diklasifikasikan menjadi 2subtipe:9

- WHO 1: Well differentiated keratinizing Squamous Cell carcinoma.


Pulau-pulau karsinoma yang tidak teratur menyusup ke stroma desmoplastik
yang melimpah. Differensiasi dan keratinisasi jelas.5

- WHO 2: non keratinizing carcinoma: Differentiated and undifferentiated ( merupakan


jenis yang paling sering disebabkan oleh EBV, sel-sel malignan diinfiltrasi
oleh limfosit dan sel plasma, sehingga namanyalymphoepithelial carcinoma)5

ETIOLOGI

Penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien
didapatkan nasofaring dengan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, Titer ini lebih tinggi dari
titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dam kepala lainnya. Tetapi virus ini bukan satu-
satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan
timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, genetik, kebiasaan hidup, infeksi kuman
atau parasit.

12
Dan di daerah endemis, karsinoma nasofaring merupakan penyakit kompleks yang
disebabkan oleh interaksi antara infeksi virus Ebstein barr kronis, faktor genetik dan
lingkungan yang berperan dalam proses karsinogenik yang bertahap.12 Faktor-faktor non viral
seperti konsumsi ikan asin,kebiasaan merokok, pengawet makanan, asap kayubakar, obat
nyamuk bakar, infeksi saluran pernafasanatas berulang dan genetik dilaporkan
13
berhubungandengan kejadian karsinoma nasofaring.

1. Infeksi oleh Epstein-Barr Virus

Sejak 50 tahun yang lalu, virus Epstein-Barr dihubungkan dengan terbentuknya


kanker yang berasal dari limfoid maupun sel epitel. Pada penelitian yang dilakukan Old et
al, menyebutkan bahwa pada serum penderita Burkitt’s lymphomaterdapat antibody yang
sama dengan penderita karsinoma pada daerah post nasal.14 Pada awal infeksi, virus ini
menginfeksi limfosit B. agar menjadi kronis, virus ini berkolonisasi di limfosit B memori
dan mengekspresikan latent gene. Proses ini terjadi terutama di epitel orofaring dan di
kelenjar liur. Limfosit B dapat bertransformasi menjadi infected lymphoblastoid cell lines
(LCLs) secara permanen.15

2. Faktor Lingkungan
- Merokok
Hsu et al (2009), menyatakan bahwa pada banyak penelitian dikatakan bahwa
merokok berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring. Merokok meningkatkan
serum anti-EBV. Serum anti-EBV merupakan marker yang digunakan untuk menilai
adanya proses keganasan pada nasofaring. Peningkatan marker anti-EBV positif dapat
dimiliki pada orang-orang yang memiliki kebiasaan merokok aktif selama lebih dari 20
tahun.13 nitrosamine yang terdapatpada rokok menyebabkan kerusakan DNA
daninflammasi kronik di mukosa nasofaring.16

- Ikan asin
Konsumsi ikan yang diawetkan meningkatkan insidens karsinoma nasofaring.
Komposisi ikan asin mengandung nitrit dan nitrosamine. Nitrite sendiri bukan
merupakan senyawa karsinogenik, tetapi melalui proses endogenous nitrosation, senyawa
menjadi karsinogenik.17 Nitrosamin dapat berbagai bentuk senyawa kimia diantaranya
Nnitrosodimethylamine (NDMA), N-nitrosodiethylamine(NDEA), N-nitromorpholine
(NMOR), selain itu nitrosamine dapat juga berupa senyawa industri seperti N
nitrosodiisopropylamine (NDiPA), Nnitrosodibutylamine(NDPA), N-
nitrosopiperidine(NPip), N-nitrosopyrrolidine (NPyr), N nitrosomethylphenylamine
NEPhA). Sekitar 80%dari total nitrosamin terbanyak dalam bentuk
senyawanitrosodimethylamine (NDMA). NDMA terutamadiabsorpsi di saluran
pernafasan, saluran pencernaandan terkadang pada kulit. Proses keganasan dapatterjadi
akibat metabolisme nitrosamine yang diaktivasioleh mekanisme oksidasi sehingga
terjadi mutasiDNA.18

13
- Formaldehid
Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dalam penelitian
Pinkerton dan Marsh menyebutkan bahwa standar pajananmaksimal formaldehid yaitu 2
ppm dalam STEL ( Short Term Exposure Limit) dan standart pajanan maksimal 0,75
ppm dalam waktu 8 jam TWA ( Time Weight Average).Gas formaldehid dapat
menyebabkankanker pada rongga hidung, nasofaring, laring, mulutdan kelenjar
ludah.18,19

- Asap bakar
Debu kayu menyebabkan iritasi dan inflamasi pada epitel nasofaring sehingga
mengurangi bersihan mukosiliar dan perubahan sel epitel di nasofaring.Di dalam jurnal
Guo X, dkk (2009) menyatakan bahwa nasofaring merupakan daerah utama
terperangkapnya partikel berukuran menengah (5-10 µm) dari partikel-partikel inhalasi
sehingga memudahkan penyerapan zat kimiakarsinogen kedalam epitel nasofaring
sehingga menjadi faktor risiko timbulnya karsinoma nasofaring. Hal ini dibuktikan dari
studi paparan asap kayu hasil dari pembakaran kayu bakar untuk memasak selama lebih
dari 10 tahun dapat meningkatkan kejadian kanker nasofaring sekitar 6 kali lipat.20,21,22

3. Faktor Genetik

Chang et al (2006), menyatakan faktor genetik berperanan penting sebagai etiologi


karsinoma nasofaring.23 pada saudara kandung resiko relative untuk karsinoma adalah
8.012

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Paulio et al (2016) berasal dari deteksi virus nuklir Epstein-Barr (EBV)
dan DNA virus pada karsinoma nasofaring telah menunjukkan bahwa EBV dapat
menginfeksi sel epitel dan transformasi menjadi ganas.Salinan genom EBV telah ditemukan
di sel-sel lesi preinflamasi, menunjukkan bahwa hal itu berkaitan langsung dengan proses
transformasi.24

TANDA DAN GEJALA

Gejala karsinoma nasofaring dibagi 4 kelompok:

1. Gejala Nasofaring : berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dapat diperiksa dengan
nasofaringoskop. Karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor
tidak tampak karena masih terdapatn di bawah mukosa.

14
2. Gangguan Telinga : gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba
eustachius. Gangguan berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di
telinga.

3. Gejala mata dan saraf: karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum mengenai saraf otak ke III, IV, VI
dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala berupa diplopia,neuralgia trigeminal.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran
melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative jauh dari nasofaring. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat disertai dengan destruksi dari
tulang tengkorak dan jika sudah terjadi demikian, prognosis sudah buruk.

4. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk
diperiksa, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. 1

DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik:

Secara tradisional, pemeriksaaan rhinoskopi posterior dilakukan. Tetapi oleh karena pada
pemeriksaan iluminasi tidak adekuat dan terdapat gag reflex yang kuat dari pasien sehingga
membuat pemeriksaan ini sulit dilakukan. Saat ini dengan majunya teknologi, dapat
dilakukan pemeriksaan dengan antegrade nasopharyngoscope. Biasanya pasien yang akan
diperiksa akan diberi anestesi local dan vasokonstriktor.25

Hasil pemeriksaan menunjukkan tumor dengan kapiler abnormal serta ulserasi dan
mudah berdarah.25

Pemeriksaan penunjang:

1. Pemeriksaan lab:25
2. Pemeriksaan serologis EBV
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditunjang oleh beberapa pemeriksaan
tambahan yaitu pemeriksaan serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral capsid
antigen(Ig anti-VCA), Ig G anti-early antigen(EA) dan imunohistokimia. Saat ini
dapat juga diperiksa early antigen (EA) dan EBV nuclear antigen 1 (EBNA1) sebagai
tumor marker. EBV IgG dan IgM tidak berguna dalam pemeriksaan serologi untuk
skrining karsinoma nasofaring. Pemeriksaan EBV IGA VCA sensitive tetapi tidak
spesifik( sensitifitas 97,5% dan spesifisitas 91,8%) untuk skrining karsinoma
nasofaring. Tetapi, EBV IgA EA spesifik tetapi tidak sensitif (sensitifitas 100% dan

15
spesifisitas 30%). Sehingga jika kedua pemeriksaan ini digabung dapat meningkatkan
sensitifitas dan spesifitas mendeteksi karsinma nasofaring.7,25,26
- Pemeriksaan titre DNA EBV dalam plasma
Pada saat cell turnover (Proliferasi dan apoptosis) DNA EBV akan dikeluarkan ke
edaran darah. Semakin lanjut stadium karsinoma nasofaring, semakin besar pula
cell turnover dan tumor load. Sehingga, pemeriksaan DNA EBV dapat digunakan
sebagai tumour marker karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
polymerase chain reaction (PCR). Spesifitas dan sensitivitas untuk pemeriksaan ini
masing-masing 93% dan 96%. Semakin tinggi titer DNA EBV semakin besar
tumor load dan cell turnover.25

3. Pemeriksaan radiologis
- Foto polos
Foto polos untuk pemeriksaan nasofaring sendiri tidak sensitive maupun spesifik
untuk pemeriksaan karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan foto polos paru
dilakukan untuk skrining metastasis.25
- CT Scan
Walaupun untuk modalitas staging lebih sering menggunakan MRI. CT scan
biasanya digunakan untuk menilai reosi tulang yang disebabkan oleh karsinoma
nasofaring.
- MRI
MRI lebih sering digunakan untuk pemeriksaan metastasis karena MRI dapat
melihta jaringan lunak.25
- Ultrasound
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan pada
kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan
kontras.
- PET Scan
Karena PET scan merupakan scan untuk seluruh badan, pemeriksaan ini dapat
melihat metastasis jauh dan metastasis loco-regional.25

4. Pemeriksaan sitologi

Pemeriksaan biopsi ini dilakukan tanpa melihat tumornya (blind biopsy) maupun
biopsy melalui mulut. Sebelum pemeriksaan ini, pasien diberi anestesi local.7,25 dapat
jug adilakukan aspirasi jarum dari pembesaran nodus limfatikus untuk membedakan
metastasis sel karsinoma squamoosa dan undifferentiated carcinoma.25

16
17
STAGING

Klasifikasi TNM (AJCC, Edisi 7, 2010)5

Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping) 5

Gambar 1 klasifikasi KNF menurut AJCC10

18
Gambar 2 Gambaran Ca nasofaring menurut Cady(2007)11

19
Keterangan :

 Stage 0: In situ cancer before the tumor growth


 Stage I: Small tumor confined to nasopharynx
 Stage II: Tumor extending in the local area or any evidence of limited neck (nodal)
disease
 Stage III: A large tumor with or without neck disease, or a tumor with bilateral neck
disease
 Stage IV: Intracranial or infratemporal involvement of tumor, extensive neck disease, or
any distant metastasis

20
DIAGNOSIS BANDING :

1. Limfoma malignum
2. Proses keganasan (TB kelenjar)
3. Metastasis (tumor sekunder) 9
4. Penyakit inflammasi di kavum nasii: Rhinosinusitis atau polip nasal.
5. Hipertrofi adenoid: biasanya adenoid memiliki permukaan licin, alur longitudinal, dan
letaknya di tengah nasofaring.
6. Angiofibroma Juvenil: merupakan tumor yang sering pada remaja laki-laki. Tumor ini
terdiri dari 2 macam jaringan,yaitu jaringan vascular dan jaringan fibrosa. Pada
pemeriksaan rhinoskopi posterior didapatkan massa tumor yang konsistensinya kenyal,
warna bervariasi dari abu-abu sampai warna merah muda dan mudah berdarah.
Terkadang mukosa juga hipervaskularisasi dan terjadi ulserasi.7,25
7. T-NK Lymphoma (midline lethal granuloma) terlihat licin, eksofitik, submucosal,
nonulseratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat
daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan
munculnya penyakit otitis media serosa.27

TATALAKSANA

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan
terapi simptomatik sesuai dengan gejala. 5

21
A. Radioterapi
Pemberian radioterapi dalam bentuk IMRT lebih terpilih dibandingkan dengan 3D-
CRT. Pedoman pemberian dosis dan perencanaan organ yang berisiko dapat dilihat
pada lampiran. 5
B. Obat-obatan Simptomatik
- Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan-> obat
kumur yang mengandung antiseptik dan astringent (diberikan 3 – 4 sehari).
- Tanda-tanda moniliasis-> antimikotik
- Nyeri menelan -> anestesi lokal
- Nausea, anoreksia -> terapi simptomatik. 5
C. Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien dengan
T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum
based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum
dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm
sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada
kasus rekuren/metastatik. Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan
kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti
dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. 5
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik: 5
- Terapi Kombinasi
- Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
- Cisplatin/5-FU
- Carboplatin
- Cisplatin/gemcitabine
- Gemcitabine
- Taxans + Patinum +5FU
- Terapi Tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
- Docetaxel
- 5-FU

22
- Methotrexate
- Gemcitabine
- Capecitabine5

Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%) dan malnutrisi
berat (6,7%). 12 Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat
mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons terapi kualitas
hidup, dan kesintasan pasien. 13 Pasien KNF juga sering mengalami efek samping
terapi, berupa mukositis, xerostomia, mual, muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain.
Berbagai kondisi tersebut dapat meningkatkan meningkatkan stres metabolisme,
sehingga pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal. Pada anak
dengan karsinoma nasofaring, efek samping yang sering ditimbulkan ialah kehilangan
nafsu makan, perubahan indra perasa, penurunan sistim kekebalan, muntah, diare,
gangguan saluran cerna lainnya seringkali berakibat terhadap jumlah asupan
makronutrien dan mikronutrien yang diperlukan pada anak. Para penyintas perlu
mendapatkan edukasi dan terapi gizi untuk meningkatkan keluaran klinis dan kualitas
hidup pasien.5

Tatalaksana Nutrisi Khusus


Pasien kanker nasofaring dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa mukositis
oral, diare, konstipasi, atau mual-muntah akibat tindakan pembedahan serta kemo- dan
/atau radio-terapi. Tatalaksana khusus pada kondisi tersebut, diberikan sesuai dengan
kondisi pasien. 5

23
Rehabilitasi Medik Pasien Kanker Nasofaring
Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian kemampuan
fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan cara aman & efektif, sesuai kemampuan yang ada. Pendekatan rehabilitasi
medik dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan
dan dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan & pengobatan penyakit yang
disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker: preventif, restorasi,
suportif atau paliatif.

Edukasi
Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada pasien telah dibahas dalam subbab
sebelumnya. Berikut ini adalah rangkuman mengenai hal-hal yang penting untuk
diedukasikan kepada pasien.

24
Pada tatalaksana karsinoma locoregional tanpa metastasisi, dapat dilakukan radioterapi (stage
1 dan low risk stage 2). Tetapi jika sudah stage 2 sampai 4, harus dilakukan komninasi
chemoterapi dan radioterapi. Karena pada radioterapi, sel normal pasien ikut terekspos radiasi
sehingga komplikasi dari radioterapi dapat menyebabkan mucositis,xerostomia, neuropati
lobus temporalis, penurunan pendengaran sensorineural, trismus dan fibrosis leher, hal ini
dapat diperparah oleh penggunaan kemoterapi.50% dari pasien dapat mengalami disfagia
karena tatalaksana kemoradiasi sehingga 90% dari pasien membutuhkan pemasukan makanan
lewat NGT . Untuk dukungan nutrisi menurut Kementerian Kesehatan Indonesia (2017),
pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%) dan malnutrisi berat
(6,7%). Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat mencapai 67%.
Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons terapi kualitas hidup, dan kesintasan
pasien25,28.

25
FOLLOW UP

Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik:


Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
> 5 tahun : setiap 12 bulan

Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi:


a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang.

Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT Scan pada
siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor.5

PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok yang satu dengan
subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang dapat memengaruhi prognosis
masih terus berlangsung hingga saat ini. Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik
ataupun molekuler. klinik (pemeriksaan fisik maupun penunjang). 6 Sampai saat ini belum
ada uji meta analisis yang menggabungkan angka kesintasan dari berbagai studi yang telah
ada. Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5 tahun.
Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5-tahun pada pasien dengan KNF Stadium I
hingga IV secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.5

PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah beresiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan
atau penjelasan mengenai kebiasaan hidup yang salah, mengubah caramemasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya, penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal
yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik

26
IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.1

27
BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring
(area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi
skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur. Kanker ini banyak disebabkan oleh virus
Epstein-Barr tetapi dapat juga melibatkan oleh faktor-faktor lingkungan dan genetik dalam
proses pembentukan kanker. Kanker nasofaring stadium awal sangat sulit ditentukan karena
pasien bisa tidak mengeluh apa-apa ataupun datang dengan gejala yang tidak berhubungan
sama nasofaring seperti keluhan telinga, mata maupun saraf. Penatalaksanaanya tergantung
dari stadium kanker nasofaring yaitu: Radioterapi, kemoterapi dan diseksi leher. Prognosis
kanker nasofaring tergantung stadiumnya dan hasil terapi, sehingga sangat dibutuhkan follow
up berkala.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ketujuh. Badan penerbit FKUI.
Jakarta;2016.
2. Netter FH. Atlas of Human anatomy. 6th edition. Elsevier. Philadelphia.2014
3. Rahman S, Budiman BJ, Subroto H. Faktor resiko non viral pada kanker nasofaring.
Jurnal Kesehatan andalas; 2015.
4. Vlantis AC, Hasselt AV. Anatomy of the nasopharynx. In: Gleeson M,Burton MJ
(eds). Scott Brown’s Otorhinolaryngology.7th edition.London, 2008.
5. Gleeson M,Burton MJ (eds). Scott Brown’s Otorhinolaryngology.7th edition.London,
2008.
6. Deschler DG, Moore MG, Smith RV, eds. Quick Reference Guide to TNM Staging of
Head and Neck Cancer and Neck Dissection Classification, 4th ed. Alexandria, VA:
American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation, 2014
7. Herawati S, Sri R. Buku ajar ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok. Jakarta:
EGC;2004.
8. Arditawati Y.Analisis hubungan antara factor resiko dengan tipe histopatologik Pada
Karsinoma Nasofaring. Universitas Diponegoro. 2011
9. Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, eds. Panduan Penatalaksanaan Karsinoma
Nasofaring. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
10. Amin MB, Edge SB, Greene FL, et al.,(eds).AJCC Cancer staging Manual.8th ed.New
York:Springer;2017.
11. Cady J. Nutritional support during radiotherapy for head and neck cancer: the role of
prophylactic feeding tube placement. Oncology Nursing Society. December 2007;
11(6):2.
12. Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM (eds).Nasopharyngeal Carcinoma: a multidisciplinary
management.Brooklyn: Springer; 2010.
13. Hsu WL, Chen JY, Chien YC, Liu MY, You SL, Hsu MM et al. Independent effect of
ebv and cigarete smoking on nasopharyngeal carcinoma : a 20 – year follow up study
on 9,662 males without family history in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev
2009; 18(4):1218-26

29
14. Old LJ, Boyse EA, Oettgen E, et al. Precipitating antibody in human serum to an
antigen prersent in cultured Burkitt's lymphoma cells. Proc Natl Acad Sci U S A.
1966;56:1699–1704. [PMC free article] [PubMed]
15. Lawrence S. Young, Christopher W. Dawson.Chin J Cancer. 2014 Dec; 33(12): 581–
590. doi: 10.5732/cjc.014.10197
16. Yong SK, Ha TC, Yeo MCR, Gaborieau V, McKay JD, Wee J.Associations of
lifestyle and diet with the risk of nasopharyngeal carcinoma in Singapore: a case–
control study .Chinese Journal of Cancer.2017
17. M. H. Ward, W. H. Pan, Y. J. Cheng, F. H. Li, L. A. Brinton, C. J. Chen, M. M. Hsu,
I. H. Chen, P. H. Levine, C. S. Yang, et al. Dietary exposure to nitrite and
nitrosamines and risk of nasopharyngeal carcinoma in Taiwan. Int J Cancer. 2000 Jun
1; 86(5): 603–609.
18. Gaétan C, Marie C, Desrosiers AG. Cancer risk assessment for workers exposed to
nitrosamines in a warehouse of finished rubber products in the Eastern Townships.
(Québec public health institute). Canada. June 2011.
19. Pinkerton LE, Hein MJ, Stayner LT. Mortality among a cohort of garment workers
exposed to formaldehyde: an update. Occup Environ Med 2004;61:193-200.
20. Ma J, Cao S. The Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. In. Lu J.J, Cooper J.S
, Lee A.W.M, editors. Nasopharyngeal Carcinoma. Berlin Heidelberg; 2010. P 1-7.
21. Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, Armstrong MJ, Yu MC, Sani S. Nasopharyngeal
carcinoma in Malaysian Chinese: Occupational exposures to particles, formaldehyde
and heat. International Journal of Epidemiology 2000;29:991-8.
22. Guo X, Johnson RC, Deng H, Liao J, Guan L, Nelson GW, Tang M et al. Evaluation
of Nonviral Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in a High-Risk Population of
Southern China. Int.J.Cancer 2009;124:2942-7.
23. Chang ET, Adami HO. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma.
Cancer Epidemiologic Biomarkers Prev 2006;15(10):1765-77.

24. Paulino AC, Chystal UL, Mary LW, Steven KB, Cameron KT, Samuel G.
Nasopharyngeal cancer. Medscape. Nov 17 2016. Available : November 19 2017.
25. Watkinson JC, Clarke RW. Scott Brown’s Otorhinolaryngology.8th edition.Florida,
2015.

30
26. Li S, Deng Y, Li X, Chen QP, Liao XC, Qin X. Diagnostic value of epstein barr virus
capsid antigen igA in nasopharyngeal carcinoma: A meta analysis. Chin med J.
2010;123(9):1201-5.16.
27. Brady LW, Heilmann HP, Nieder C. Medical radiology - radiation oncology. Lu JJ,
Cooper JS, Lee AWM, editors. Nasopharyngeal cancer multidiciplinary management.
1 ed. Springer 2010. p. 245-70.
28. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan penatalaksanaan kanker
nasofaring. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.h.1-37.

31

Anda mungkin juga menyukai