Disusun oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
I. Pengertian, Unsur, Prinsip, Hakikat dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia
Hakikat dan Sifat Hukum Kerja Secara yuridis hubungan antara pekerja dan
pengusaha adalah bebas, seseorang tidak boleh diperbudak, diperulur maupun
diperhambakan, karena memang tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945, namun
secara sosiologis pekerja/buruh tidkalah bebas, karena bermodal tenaganya saja
kadangkala seorang pekerja terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha
meskipun hubungan itu memberatkan pekerja sendiri, lebih-lebih lapangan kerja
sekarang tidak sebanding dengna banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan, ada
juga bpjs ketenagakerjaan.
Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk turut serta
melindungi pihak yang lemah pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha, guna
menempatkan pada kedudukan yang layak sesuai harkat martabat manusia. Pada
hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan perundang-udnangan bertujuan
melaksanakan keadilan sosial dengan memberikan perlindungan kepada buruh terhadap
kekuasaan pengusaha, dengan sifat pertauran yang memaksa dan memberikan sanksi
tegas kepada pengusaha yang melanggar. Dengan sifatnya yang memaksa ikut campur
pemerintah, membuat hukum kerja menjadi hukum publik dan privat sekaligus.
Sebagaimana halnya hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi dan
tujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat, khususnya hubungan antara pengusaha dengan
pekerja dalam kegiatan proses produksi barang dan jasa, yang mengandung serta
mencerminkan nilai kepastian hukum, nilai kegunaan (manfaat), dan nilai keadilan. Di sini
ketiga nilai tersebut sebagai pilar-pilar yang melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan, dan
sekaligus sebagai tujuan hukum ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
elemen negara hukum adanya hak asasi manusia sebagai hak dasar, yang secara alamiah telah
melekat pada diri manusia sejak ia lahir dan tidak dapat dicabut sedemikian rupa, jika dicabut
hak tersebut maka kehadirannya dalam ranah sosial akan hilang eksistensinya sebagai
manusia.
Ketenagakerjaan adalah Segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Sedangkan Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun kebutuhan masyarakat.
Pengertian hubungan kerja sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 15 UU.13
Tahun 2003 menyebutkan :
1. “Hubungan kerja adalah Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja
atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur-unsur pekerjaan, upah dan
perintah.”
2. “ Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian
kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yangtidak tertentu.”
Sebagaimana diketahui bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, telah
terjalin dalam rangkaian sejarah yang cukup panjang, di mana pada waktu itu dikenal dengan
istilah, hubungan kerja antara majikan dengan buruh (budak, hamba, ulur). Jalinan kerja lebih
mengarah kepada penguasaan budak sebagai hak milik. Hal ini dapat ditelusuri dari pelbagai
peristiwa, di mana budak/ hamba/ ulur sebagai insan yang tidak memiliki hak, melainkan hanya
melaksanakan kewajiban atas perintah pemiliknya seperti peristiwa pada Tahun 1877 di
Sumba, seratus budak dibunuh semata untuk mengiringi seorang raja yang meninggal dunia
dan keberadaan budak sebagai pelayan di alam baka.
Paham liberal mewarnai berlakunya ketentuan hukum tersebut, yang berimplikasi terhadap
hubungan kerja dan merupakan konsekuensi dari asas konkordasi, bahwa hukum Indonesia
berlaku sama dengan hukum Belanda (Pasal 131 Indonesische Staatsregeling), terbitnya
hukum tersebut merupakan ironis bagi bangsa Indonesia.
Dalam rangka untuk memberikan perlindungan hukum bagi kaum lemah, kebijakan
pembangunan ketenagakerjaan yang dibuat Pemerintah bersama DPR, melahirkan produk
hukum ketenagakerjaan sebagaimana yang digariskan dalam ketentuan UUD, yakni untuk
mewujudkan hak serta perlindungan tenaga kerja. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 28 D ayat
(2) UUD 1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
C. Unsur-Unsur Hubungan Kerja
Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (Pengusaha dan pekerja/buruh),
perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Berikut penjabaran unsur-unsur dari
hubungan kerja :
1. Unsur adanya pekerjaan
Adanya Pekerja atau buruh sebagai pekerjaan adalah hanya jika ia bekerja dibawah
pimpinan pihak lainnya dan adanya pengusaha hanya, jika dia memimpin pekerjaan yang
dilakukan oleh pihak kesatu. Hubungan pekerja/buruh dan pengusaha tidak juga terdapat pada
perjanjian pemborongan pekerjaan, yang ditunjukan kepada hasil pekerjaan.
Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1603a yang
berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia
dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Menurut hukumpun jika pekerja meninggal
dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
d). upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pembayarannya.
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluarsa, setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan,
kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan, penetapan upah minimum, dan
pengenaan denda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Adanya unsur perintah menunjukkan bahwa salah satu pihak berhak untuk memberikan
perintah dan pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah tersebut. Hubungan kerja
tidak lepas dari adanya perjanjian antara pengusahadan pekerja/buruh karena perjanjian inilah
yang mengikat antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Perjanjian ini dapat dilakukan secara tertulis ataupun lisan (pasal 51ayat (1) UUK), dalam
pasal 1 angka 14 UUK dijelaskan perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban para pihak.
Jadi yang menjadi titik ukur dalam hubungan kerja adalah adanya perjanjian yang saling
mengikat/saling merelakan antar hak dan kewajiban antara penguasa dan pekerja/buruh untuk
saling menerima danpemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Waktu kerja dalam satu minggu adalah 40 jam/ minggu. Untuk 6 hari hari bekerja
perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam lima hari dan 5 jam dalam 1 hari. Adapun untuk 5
hari kerja perminggu kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila kebutuhan proses
produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maksimal 3 jam perhari
atau 14 jam perminggu. Kenyatannya lembur yang terjadi didalam praktik melebihi batas
maksimal tersebut.
Jika dalam waktu 30 hari, para pihak tidak dapat menegosiasikan penyelesaian atau salah satu
pihak menolak untuk melanjutkan negosiasi, salah satu atau kedua pihak dapat mengajukan
sengketa kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
(misalkan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten atau Kotamadya), dengan bukti bahwa perundingan
telah gagal.
Perianal Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi beserta Instansi Terkait
Jika negosiasi bipartit telah gagal, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau instansi
yang berwenang di bidang ketenagakerjaan setempat akan menawarkan penyelesaian melalui:
Arbitrase: penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja
dalam satu perusahaan. Ini dilakukan di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final
Jika tidak satu pun opsi di atas dipilih oleh para pihak dalam waktu 7 hari, perselisihan
tersebut akan diselesaikan melalui proses mediasi yaitu penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih mediator yang netral yang juga adalah pegawai pemerintah.
Dinas ketenagakerjaan menyusun dan memelihara daftar arbiter, daftar konsiliator dan daftar
mediator yang telah ditetapkan menangani perselisihan hubungan industrial di daerahnya.
Mediator maupun konsiliator memiliki tujuh hari kerja semenjak menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan untuk mengadakan penelitian atau investigasi tentang duduk perkara.
Segera setelah investigasi, sidang mediasi ataupun sidang konsiliasi harus diadakan selambat-
lambatnya pada hari kerja kedelapan setelah permintaan diterima.
Mediator atau konsiliator dapat memanggil saksi untuk menghadiri sidang dan memberikan
bukti.
Jika kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tersebut tercapai, para pihak harus membuat
dan menandatangani Perjanjian Bersama, yang disaksikan oleh mediator atau konsiliator dan
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial untuk menerima akta pendaftaran.
Jika tidak tercapai kesepakatan, mediator atau konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis
dalam waktu sepuluh hari setelah sidang pertama. Para pihak harus memberikan jawaban
tertulis yang menyatakan apakah mereka menerima atau menolak anjuran tersebut dalam waktu
sepuluh hari sejak menerimanya. Tidak ada respon yang dianggap penolakan.
Apabila para pihak menerima anjuran itu, dalam waktu tiga hari kerja dari penerimaan mereka,
mediator atau konsiliator harus membantu para pihak untuk menyusun Perjanjian Bersama dan
mendaftarkannya di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan akta pendaftaran.
Jika salah satu atau kedua pihak menolak rekomendasi tersebut, mereka dapat mendaftarkan
sengketa tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
Mediator atau konsiliator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 hari dari saat mereka
diminta untuk menyelesaikan sengketa.
Perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan dapat
diselesaikan melalui arbitrase. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase
dilakukan atas dasar kesepakatan tertulis para pihak yang berselisih yang tertuang secara
tertulis dalam surat perjanjian arbitrase rangkap tiga dan memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan
c. jumlah arbiter yang disepakati
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan
arbitrase
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih.
Setelah para pihak menandatangani surat perjanjian arbitrase, mereka dapat memilih arbiter
dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Para pihak dapat menunjuk arbiter tunggal
atau beberapa/majelis arbiter. Panel harus berisi jumlah arbiter yang ganjil (minimal 3).
Apabila para pihak tidak dapat menyepakati penunjukan arbiter tunggal atau majelis arbiter,
maka Ketua Pengadilan akan menunjuk mereka.
Arbitrase dilakukan secara tertutup kecuali jika para pihak yang berselisih berkehendak lain.
Masing-masing pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang diberi kewenangan dengan surat
kuasa khusus.
Proses arbitrase harus dimulai dengan upaya untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Apabila para pihak mencapai penyelesaian, perjanjian tersebut harus tercermin dalam
perbuatan pemukiman, yang harus didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 hari, yang dapat diperpanjang
selama 14 hari disepakati masing-masing pihak.
Keputusan arbitrase bersifat mengikat dan final. Sengketa yang telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat kembali diajukan di Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, salah satu
pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial jika keputusan tersebut
tidak dilaksanakan oleh pihak lainnya.
Majelis Hakim harus memberikan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 50 hari kerja
semenjak sidang pertama.
Pengusaha berhak menolak pekerja untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya
perundingan dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja dan/atau serikat pekerja, serta
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7
(tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan dilaksanakan. Pemberitahuan tertulis tersebut
memuat sekurang-kurangnya:
- waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan
Menurut Pasal 1 (14) UU No 13 Tahun 2003 : Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh diperpanjang atau diperbarui satu kali untuk
jangka waktu paling lama satu tahun.
PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan
pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka
klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah
klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama
masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih
rendah dari upah minimum yang berlaku.
1. PERATURAN PERUSAHAAN
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PP yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan baik PKWT maupun PKWTT. Cabang/unit
kerja/kantor perwakilan perusahaan dapat membuat PP turunan yang berlaku di masing-masing
cabang/unit kerja/perwakilan perusahaan
PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 124
ayat (3) UU No. 13/2003 mengatur bahwa apabila isi PKB bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Apabila perusahaan memiliki cabang
maka dibuat PKB induk yang berlaku di semua cabang perusahaan atau dapat dibuat PKB
turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal yang paling ditakuti oleh pekerja akan tetapi
sangat lazim dan sering ditemui di Indonesia. Apa pun penyebab berakhirnya hubungan kerja
antara perusahaan dan karyawannya disebut dengan PHK.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh
perusahaan atau habis kontrak.
Menurut Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 25,
pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan
pengusaha.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberika
beberapa pengertian:
1) Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja
yang telah disepakati.
Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang juga
dapat disebut dengan Pemberhentian. Pemisahan memiliki pengertian sebagai sebuah
pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan
kewajiban pekerja dan perusahaan.
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian
kerja dapat berakhir apabila :
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
a) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
d) Pekerja/buruh menikah.
i) Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.
j) Pekerja. Buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibar kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penembuhannya belum dapat dipastikan.
Permberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik
dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang
pemberhentian terkadang terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar
(2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah
tidak dapat dihindari maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun
1964. Perusahaan yang ingin memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D
(Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan
lebih dari sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian
Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan
hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.
Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi
dengan:
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabila terjadi PHK pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh. Perhitungan uanga pesangon yang seharusnya
diterima oleh pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:
1. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
2. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
3. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
4. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
5. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
6. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
7. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
8. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Kesimpulan
Hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan
dengan segala konsekuensinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup
pengaturan swapekerja (kerja dengan tanggung jawab/ risiko sendiri), kerja yang dilakukan
untuk orang atas dasar kesukarelaan, dan kerja seseorang pengurus atau wakil suatu
organisasi/perkumpulan. Perlu diingat bahwa ruang lingkup ketenagakerjaan tidak sempit,
terbatas, dan sederhana.
Saran
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5520d2d38c81f/langkah-hukum-jika-mediator-
ketenagakerjaan-belum-memberikan-anjuran
http://luckysetiawidodo.blogspot.co.id/2016/03/pengertian-hubungan-kerja-pada-hukum.html
http://www.hukumtenagakerja.com/pemutusan-hubungan-kerja/pemutusan-hubungan-kerja-
dan-konsekuensinya/
http://qhypengki.blogspot.co.id/2014/10/asas-dan-tujuan-ketenagakerjaan.html
https://perdata.com/main/pekerjaan-yanglayak/kontrak-kerja/pemutusan-hubungan-kerja
https://media.neliti.com/media/publications/42654-ID-pemutusan-hubungan-kerja-ditinjau-
dari-segi-hukum-studi-kasus-ptmedco-lestari-pa.pdf
http://artonang.blogspot.co.id/2015/12/badan-hukum.html
2. Peraturan – peraturan
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Indonesia,
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang
Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial