Anda di halaman 1dari 24

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Disusun oleh:

Ervina Rahadia Rizki 175020301111054


Dania Syafira 175020301111055
Ainayah Bismi Anjani 175020307111057
Adrian Samuel 175020307111046

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
I. Pengertian, Unsur, Prinsip, Hakikat dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia

Hukum Ketenagakerjaan itu adalah seluruh peraturan-peraturan yang dibuat


oleh pihak atau Instansi yang berwenang, mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.

Terdapat beberapa Pendapat dari ahli hukum mengenai Pengertian Hukum


Ketenagakerjaan di Indonesia :

a. Menurut Soetiksno, Pengertian Hukum Ketenagakerjaan merupakan


Keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang
mengakibatkan seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan
(perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung
bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut.

b. Menurut Prof. Imam Soepomo, pengertian Hukum Ketenagakerjaan diartikan


sebagai himpunan dari Peraturan-peraturan, baik peraturan tertulis maupun
tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada
orang lain dengan menerima upah.

c. Menurut Molenaar Pengertian dari Hukum Ketenagakerjaan ialah bagian dari


hukum yang berlaku di suatu negara, yang pada pokoknya mengatur hubungan
antara buruh dengan buruh dan antara buruh dan Penguasa.

d. Menurut NEH Van Asveld, beliau menegaskan bahwa pengertian Hukum


ketenagakerjaan adalah hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di dalam
hubungan kerja dan di luar hubungan kerja.

e. Menurut UU No. 13 Tahun 2003, Pengertian Tenaga Kerja adalah setiap


orang yang dapat dan mampu untuk melakukan pekerjaan untuk menghasilkan
barang dan atau jasa; baik itu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun
untuk masyarakat.
Hukum Ketenagarkerjaan semakin lama semakin berkembang seiring
perkembangan Lapangan kerja dan kesempatan kerja. Awalnya, Lapangan pekerjaan
terbatas pada sektor pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian, namun secara
perlahan sektor pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah Industri dan
Perdagangan, dan akhirnya kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan
sektor industri dan perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-
perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut
dengan tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (Hubungan antara pemberi
kerja dengan pekerjanya atau calon pekerja). Dengan demikian diperlukan adanya suatu
Hukum yang dapat mengontrol hubungan tersebut, jika suatu saat terjadi perselisihan
dalam hubungan kerja tersebut.

Adapun Unsur-Unsur Hukum Ketenagakerjaan, yaitu meliputi :


a. Adanya aturan yang berkembang di dalam bentuk lisan maupun tulisan.
b. Adanya aturan yang mengatur hubungan pekerja dengan pemilik perusahaan.
c. Adanya tingkatan di dalam pekerjaan, yang pada akhirnya dapat diperoleh balas
jasa.
d. Adanya aturan mengenai perlindungan pekerja (buruh), yang meliputi masalah
keadaan sakit, hamil, melahirkan dan lain sebagainya.

Prinsip Kerja Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia Hukum


perburuhan/ketenagakerjaan barulah dapat dimengerti setelah membaca atau
mempelajari semua aturan perburuhan. Dalam kepustakaan hukum selama ini selalu
menyebutkan dengan istilah hukum perburuhan. Mengingat istilah tenaga kerja
mengandung pengertian yang sangat luas dan untuk menghindari adanya kesalahan
persepsi terhadap penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan
perkembangan hubungan industrial, penulis berpendapat bahwa istilah hukum
ketenagakerjaan lebih tepat dibandingkan dengan istilah hukum perburuhan.
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan
dengna tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Berdasarkan
pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan pengertian hukum
ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja
biak sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja dan sesudah hubungan
bekerja.

Hakikat dan Sifat Hukum Kerja Secara yuridis hubungan antara pekerja dan
pengusaha adalah bebas, seseorang tidak boleh diperbudak, diperulur maupun
diperhambakan, karena memang tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945, namun
secara sosiologis pekerja/buruh tidkalah bebas, karena bermodal tenaganya saja
kadangkala seorang pekerja terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha
meskipun hubungan itu memberatkan pekerja sendiri, lebih-lebih lapangan kerja
sekarang tidak sebanding dengna banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan, ada
juga bpjs ketenagakerjaan.
Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk turut serta
melindungi pihak yang lemah pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha, guna
menempatkan pada kedudukan yang layak sesuai harkat martabat manusia. Pada
hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan perundang-udnangan bertujuan
melaksanakan keadilan sosial dengan memberikan perlindungan kepada buruh terhadap
kekuasaan pengusaha, dengan sifat pertauran yang memaksa dan memberikan sanksi
tegas kepada pengusaha yang melanggar. Dengan sifatnya yang memaksa ikut campur
pemerintah, membuat hukum kerja menjadi hukum publik dan privat sekaligus.

II. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan


Asal mula adanya Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa
fase jika kita lihat pada abad 120 SM. Ketika bangsa Indonesia ini mulai ada sudah
dikenal adanya system gotong royong , antara anggota masyarakat . dimana gotong
royong merupakan suatu system pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan
keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga, pada masa sibuk dengan
tidak mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi . Sifat gotong royong ini memiliki
nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan kebaikan ,
kebijakan, dan hikmah bagi semua orang gotong royong ini nantinya menjadi sumber
terbentuknya hokum ketanaga kerjaan adat dimana walaupun peraturannya tidak secara
tertulis , namun hukum ketenagakerjaan adat ini merupakan identitas bangsa yang
mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan merupakan penjelmaan dari jiwa
bantgsa Indonesia dari abad kea bad
Setelah memasuki abad masehi , ketika sudah mulai berdiri suatu kerajaan di
Indonesia hubungan kerja berdasarkan perbudakan , seperi saat jaman kerajaan hindia
belanda pada zaman ini terdapat suatu system pengkastaan . antara lain : brahmana,
ksatria, waisya, sudra, dan paria , dimana kasta sudra merupakan kasta paling rendah
golongan sudra & paria ini menjadi budakdari kasta brahmana , ksatria , dan waisya
mereka hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para
majikan.
Sama halnya dengan islam walaupun tidak secara tegas adanya system
pengangkatan namun sebenarnya sama saja . pada masa ini kaum bangsawan (raden)
memiliki hak penuh atas para tukang nya. Nilai-nilai keislaman tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh didnding budaya bangsa yang sudah
berlaku 6 abad –abad sebelumnya.
Pada saat masa pendudukan hindia belanda di Indonesia kasus perbudakan
semakin meningkat perlakuan terhadap budak sangat keji & tidak berprikemanusiaan .
Satu-satunya penyelesaiannya adalah mendudukan para budak pada kedudukan
manusia merdeka. Baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis
Tindakan belanda dalam mengatasi kasus perbudakan ini dengan mengeluarkan
staatblad 1817 no. 42 yang berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke pulau
jawa . kemudian thn. 1818 di tetapkan pada suatu UUD HB (regeling reglement) 1818
berdasarkan pasal 115 RR menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1-06-1960
perbudakan dihapuskan.

III. ASAS DAN TUJUAN KETENAGAKERJAAN

1. Asas pembangunan ketenagakerjaan

Pembangunan nasional di laksanakan dalam rangka pembangunan manusia indonesia


seutuhnya dan pembangunan masyarakat indonesia seluruhnya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera,adil,makmur,yang merata, baik materil maupun sepritual
berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Dalam pelaksanan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan


kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.
Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, di perlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peranan sertanya dalam
pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusian.
Untuk itulah di perlukan adanya perlindungan terhadap tenaga kerja di maksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesaman dan kesempatan serta
perlakuan tampa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja
dan keluarganya dan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No.13 Tahun 2003 yaitu, pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal3 UU
No.13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan diselengarakan atas asas keterpaduan melalui
kordinasi fungsional lintas sektor pusat dan daerah.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 4 UU no.13 tahun 2003 pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan:

a. memperdayakan dan mendayagunakan tenaga kerjaan secara obtimal dan manusiawi.


b. mewujutkan pemerataan kesempatan kerja dan penyedian tenaga kerja yang sesai
dengan pembangunan nasional dan daerah.
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan


nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan
menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah,
pengusaha dan pekerja. Pembangunan ketenagakerjaan di lakukan secara terpadu dalam bentuk
kerjasama yang saling mendukung.

IV. HUBUNGAN KERJA

A. Pengertian Hubungan Kerja


Dalam sebuah negara hukum, pemerintah selalu bercita-cita ideal, masyarakat akan patuh,
taat dan menghormati hukum sehingga segala sendi kehidupan Bangsa dan Negara dapat
berjalan dengan tertib dan teratur. Proses dan kondisi hukum di Indonesia sampai saat ini masih
menjadi persoalan yang cukup pelik, setiap hari dapat kita saksikan sejumlah kasus hukum
yang menjadi pemberitaan dengan frekuensi cukup tinggi yang disampaikan melalui media
massa. Sepertinya persoalan hukum di Indonesia telah merasuk hingga ke sendi-sendi
kehidupan dan mungkin telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar di negeri ini.

Sebagaimana halnya hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi dan
tujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat, khususnya hubungan antara pengusaha dengan
pekerja dalam kegiatan proses produksi barang dan jasa, yang mengandung serta
mencerminkan nilai kepastian hukum, nilai kegunaan (manfaat), dan nilai keadilan. Di sini
ketiga nilai tersebut sebagai pilar-pilar yang melandasi tegaknya hukum ketenagakerjaan, dan
sekaligus sebagai tujuan hukum ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
elemen negara hukum adanya hak asasi manusia sebagai hak dasar, yang secara alamiah telah
melekat pada diri manusia sejak ia lahir dan tidak dapat dicabut sedemikian rupa, jika dicabut
hak tersebut maka kehadirannya dalam ranah sosial akan hilang eksistensinya sebagai
manusia.

Hukum ketenagakerjaan yang berperan mengatur kebijakan hubungan kerja, selain


pengaturannya melalui peraturan perundang-undangan terbit pula melalui bentuk peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, dan perjanjian kerja.Pada dasarnya ketentuan hukum
ini, berlandaskan pada asas kepastian, keadilan, manfaat, keseimbangan kepentingan,
musyawarah-mufakat, serta persamaan kedudukan dalam hukum. Asas-asas ini mempunyai
nilai sebagai cita hukum ketenagakerjaan dalam memberikan landasan bagi perlindungan dan
penegakan hukum bidang ketenagakerjaan.

Ketenagakerjaan adalah Segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Sedangkan Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun kebutuhan masyarakat.

Pengertian hubungan kerja sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 15 UU.13
Tahun 2003 menyebutkan :

1. “Hubungan kerja adalah Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja
atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur-unsur pekerjaan, upah dan
perintah.”

2. “ Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian
kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yangtidak tertentu.”

Sebagaimana diketahui bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, telah
terjalin dalam rangkaian sejarah yang cukup panjang, di mana pada waktu itu dikenal dengan
istilah, hubungan kerja antara majikan dengan buruh (budak, hamba, ulur). Jalinan kerja lebih
mengarah kepada penguasaan budak sebagai hak milik. Hal ini dapat ditelusuri dari pelbagai
peristiwa, di mana budak/ hamba/ ulur sebagai insan yang tidak memiliki hak, melainkan hanya
melaksanakan kewajiban atas perintah pemiliknya seperti peristiwa pada Tahun 1877 di
Sumba, seratus budak dibunuh semata untuk mengiringi seorang raja yang meninggal dunia
dan keberadaan budak sebagai pelayan di alam baka.

B. Sejarah Lahirnya Aturan Hubungan Kerja


Pada awal kemerdekaan hubungan kerja diatur dalam ketentuan Buku III bab 7A
KUHPerdata tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan, serta ketentuan
Buku II KUHD Bab Kesatu, Bab Kedua, Bab Ketiga tentang hak, dan kewajiban yang terbit
dari pelayaran (pengangkutan laut) di mana pada dasarnya hubungan kerja yang
dimaksud dalam ketentuan Buku III bab. 7A KUHPdt, yang diterbitkan tanggal 1 januari 1927,
bersifat formal (Juridis), bahwa kedudukan pekerja dan majikan sama dihadapan hukum,
walaupun secara faktual (sosial dan ekonomi) tidaklah demikian. Hubungan kerja antara
pekerja dan pengusaha lebih diwarnai aspek politis untuk kepentingan pemerintah Hindia
Belanda.

Paham liberal mewarnai berlakunya ketentuan hukum tersebut, yang berimplikasi terhadap
hubungan kerja dan merupakan konsekuensi dari asas konkordasi, bahwa hukum Indonesia
berlaku sama dengan hukum Belanda (Pasal 131 Indonesische Staatsregeling), terbitnya
hukum tersebut merupakan ironis bagi bangsa Indonesia.

Dalam rangka untuk memberikan perlindungan hukum bagi kaum lemah, kebijakan
pembangunan ketenagakerjaan yang dibuat Pemerintah bersama DPR, melahirkan produk
hukum ketenagakerjaan sebagaimana yang digariskan dalam ketentuan UUD, yakni untuk
mewujudkan hak serta perlindungan tenaga kerja. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 28 D ayat
(2) UUD 1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
C. Unsur-Unsur Hubungan Kerja
Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (Pengusaha dan pekerja/buruh),
perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Berikut penjabaran unsur-unsur dari
hubungan kerja :
1. Unsur adanya pekerjaan
Adanya Pekerja atau buruh sebagai pekerjaan adalah hanya jika ia bekerja dibawah
pimpinan pihak lainnya dan adanya pengusaha hanya, jika dia memimpin pekerjaan yang
dilakukan oleh pihak kesatu. Hubungan pekerja/buruh dan pengusaha tidak juga terdapat pada
perjanjian pemborongan pekerjaan, yang ditunjukan kepada hasil pekerjaan.
Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1603a yang
berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia
dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Menurut hukumpun jika pekerja meninggal
dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

2. Unsur adanya upah


Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”) pada Bab 10 mengatur tentang Pengupahan. Menurut Pasal 88 ayat (1)
UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh meliputi:
a). upah minimum;

b). upah kerja lembur;

c). upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d). upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e). upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;


f). bentuk dan cara pembayaran upah

g). denda dan potongan upah;

h). hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i). struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j). upah untuk pembayaran pesangon; dan


k). upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa upah minimum ditetapkan pemerintah


berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota. Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap,
maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah
upah pokok dan tunjangan tetap.

Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya


dapat dikenakan denda. Kemudian, pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya
mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah diatur oleh Pemerintah.

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pembayarannya.

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluarsa, setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan,
kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan, penetapan upah minimum, dan
pengenaan denda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Unsur adanya Perintah

Adanya unsur perintah menunjukkan bahwa salah satu pihak berhak untuk memberikan
perintah dan pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah tersebut. Hubungan kerja
tidak lepas dari adanya perjanjian antara pengusahadan pekerja/buruh karena perjanjian inilah
yang mengikat antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam pelaksanaan hak dan kewajiban.
Perjanjian ini dapat dilakukan secara tertulis ataupun lisan (pasal 51ayat (1) UUK), dalam
pasal 1 angka 14 UUK dijelaskan perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban para pihak.
Jadi yang menjadi titik ukur dalam hubungan kerja adalah adanya perjanjian yang saling
mengikat/saling merelakan antar hak dan kewajiban antara penguasa dan pekerja/buruh untuk
saling menerima danpemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

4. Unsur waktu tertentu

Waktu kerja dalam satu minggu adalah 40 jam/ minggu. Untuk 6 hari hari bekerja
perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam lima hari dan 5 jam dalam 1 hari. Adapun untuk 5
hari kerja perminggu kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila kebutuhan proses
produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maksimal 3 jam perhari
atau 14 jam perminggu. Kenyatannya lembur yang terjadi didalam praktik melebihi batas
maksimal tersebut.

V. Penyelesaian Perselisihan Kerja

Penyelesaian Perselisihan Melalui Negosiasi Bipartit

Selama negosiasi bipartit, risalah pertemuan harus dibuatkan dan memuat:

a. nama lengkap dan alamat pada pihak


b. tempat dan tanggal perundingan
c. pokok masalah atau alasan perselisihan
d. pendapat masing-masing pihak
e. kesimpulan atau hasil perundingan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan

Jika dalam waktu 30 hari, para pihak tidak dapat menegosiasikan penyelesaian atau salah satu
pihak menolak untuk melanjutkan negosiasi, salah satu atau kedua pihak dapat mengajukan
sengketa kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
(misalkan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten atau Kotamadya), dengan bukti bahwa perundingan
telah gagal.
Perianal Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi beserta Instansi Terkait

Jika negosiasi bipartit telah gagal, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau instansi
yang berwenang di bidang ketenagakerjaan setempat akan menawarkan penyelesaian melalui:

Arbitrase: penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja
dalam satu perusahaan. Ini dilakukan di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final

Konsiliasi: penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja


atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Ini dilakukan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Jika tidak satu pun opsi di atas dipilih oleh para pihak dalam waktu 7 hari, perselisihan
tersebut akan diselesaikan melalui proses mediasi yaitu penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih mediator yang netral yang juga adalah pegawai pemerintah.

Dinas ketenagakerjaan menyusun dan memelihara daftar arbiter, daftar konsiliator dan daftar
mediator yang telah ditetapkan menangani perselisihan hubungan industrial di daerahnya.

Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi dan Konsiliasi

Mediator maupun konsiliator memiliki tujuh hari kerja semenjak menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan untuk mengadakan penelitian atau investigasi tentang duduk perkara.
Segera setelah investigasi, sidang mediasi ataupun sidang konsiliasi harus diadakan selambat-
lambatnya pada hari kerja kedelapan setelah permintaan diterima.

Mediator atau konsiliator dapat memanggil saksi untuk menghadiri sidang dan memberikan
bukti.

Jika kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tersebut tercapai, para pihak harus membuat
dan menandatangani Perjanjian Bersama, yang disaksikan oleh mediator atau konsiliator dan
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial untuk menerima akta pendaftaran.

Jika tidak tercapai kesepakatan, mediator atau konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis
dalam waktu sepuluh hari setelah sidang pertama. Para pihak harus memberikan jawaban
tertulis yang menyatakan apakah mereka menerima atau menolak anjuran tersebut dalam waktu
sepuluh hari sejak menerimanya. Tidak ada respon yang dianggap penolakan.

Apabila para pihak menerima anjuran itu, dalam waktu tiga hari kerja dari penerimaan mereka,
mediator atau konsiliator harus membantu para pihak untuk menyusun Perjanjian Bersama dan
mendaftarkannya di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan akta pendaftaran.

Jika salah satu atau kedua pihak menolak rekomendasi tersebut, mereka dapat mendaftarkan
sengketa tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial setempat.

Mediator atau konsiliator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 hari dari saat mereka
diminta untuk menyelesaikan sengketa.

Penyelesaian Perselisihan Melalui Arbitrase

Perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan dapat
diselesaikan melalui arbitrase. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase
dilakukan atas dasar kesepakatan tertulis para pihak yang berselisih yang tertuang secara
tertulis dalam surat perjanjian arbitrase rangkap tiga dan memuat:

a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada
arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan
c. jumlah arbiter yang disepakati
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan
arbitrase
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih.

Setelah para pihak menandatangani surat perjanjian arbitrase, mereka dapat memilih arbiter
dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Para pihak dapat menunjuk arbiter tunggal
atau beberapa/majelis arbiter. Panel harus berisi jumlah arbiter yang ganjil (minimal 3).
Apabila para pihak tidak dapat menyepakati penunjukan arbiter tunggal atau majelis arbiter,
maka Ketua Pengadilan akan menunjuk mereka.

Arbitrase dilakukan secara tertutup kecuali jika para pihak yang berselisih berkehendak lain.
Masing-masing pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang diberi kewenangan dengan surat
kuasa khusus.
Proses arbitrase harus dimulai dengan upaya untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Apabila para pihak mencapai penyelesaian, perjanjian tersebut harus tercermin dalam
perbuatan pemukiman, yang harus didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat.

Ketika mempertimbangkan permasalahan yang disengketakan, arbiter harus memberikan


kesempatan masing-masing pihak untuk menjelaskan pendapat mereka dan mengajukan bukti.
Arbiter juga dapat memanggil saksi untuk memberikan informasi.

Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 hari, yang dapat diperpanjang
selama 14 hari disepakati masing-masing pihak.

Keputusan arbitrase bersifat mengikat dan final. Sengketa yang telah diselesaikan melalui
arbitrase tidak dapat kembali diajukan di Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, salah satu
pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial jika keputusan tersebut
tidak dilaksanakan oleh pihak lainnya.

Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan


pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial.

Majelis Hakim harus memberikan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 50 hari kerja
semenjak sidang pertama.

Penutupan Perusahaan (Lock-Out)

Pengusaha berhak menolak pekerja untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya
perundingan dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja dan/atau serikat pekerja, serta
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7
(tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan dilaksanakan. Pemberitahuan tertulis tersebut
memuat sekurang-kurangnya:

- waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan

- alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan

- ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan


Namun, pengusaha tidak boleh menutup perusahaan sebagai tindakan balasan akibat dari
tuntutan normatif dari pekerja dan/atau serikat pekerja.

Setidaknya 7 hari sebelum penutupan perusahaan, pengusaha harus memberitahukan instansi


ketenagakerjaan setempat dan para pekerja dan/atau serikat pekerja berkenaan dengan durasi,
waktu dan alasan untuk penutupan perusahaan.

VI. Perjanjian Kerja

Menurut Pasal 1 (14) UU No 13 Tahun 2003 : Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.

Syarat Perjanjian Kerja :

 Kesepakatan kedua belah pihak


 Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.
 Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
 Pekerjaan yang diperjanjiakan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jenis-jenis Perjanjian kerja :

 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004


tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh diperpanjang atau diperbarui satu kali untuk
jangka waktu paling lama satu tahun.

Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,


paling lama tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama
dua tahun.

 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan
pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka
klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah
klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.

PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama
masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih
rendah dari upah minimum yang berlaku.

1. PERATURAN PERUSAHAAN

Menurut PERMENKERTRANS No 28 Tahun 2004 Pasal 1 (1) : Peraturan Perusahaan


yang selanjutnya disingkat PP adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

Pengusaha yang memiliki sedikit-dikitnya 10 orang karyawan diwajibkan untuk membuat


PP . selain mengatur syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan, Peraturan Perusahaan
juga merinci lebih lanjut ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan Ketenagakerjaan. Dalam hal Peraturan Perusahaan mengatur kembali (menegaskan)
ketentuan peraturan perundang-undangan, maka ketentuan itu kondisinya harus lebih baik dari
peraturan perundang-undangan.

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PP yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan baik PKWT maupun PKWTT. Cabang/unit
kerja/kantor perwakilan perusahaan dapat membuat PP turunan yang berlaku di masing-masing
cabang/unit kerja/perwakilan perusahaan

2. PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Menurut PERMENKERTRANS No 28 Tahun 2004 Pasal 1 (2) : Perjanjian Kerja Bersama


yang selanjutnya disingkat PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.

PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 124
ayat (3) UU No. 13/2003 mengatur bahwa apabila isi PKB bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Apabila perusahaan memiliki cabang
maka dibuat PKB induk yang berlaku di semua cabang perusahaan atau dapat dibuat PKB
turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan.

PKB induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang


perusahaan dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan dengan
kondisi cabang perusahaan masing-masing. Dalam hal PKB induk telah berlaku di perusahaan
namun dikehendaki adanya PKB turunan di cabang perusahaan, maka selama PKB turunan
belum disepakati tetap berlaku PKB induk.

VII. Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK )

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal yang paling ditakuti oleh pekerja akan tetapi
sangat lazim dan sering ditemui di Indonesia. Apa pun penyebab berakhirnya hubungan kerja
antara perusahaan dan karyawannya disebut dengan PHK.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh
perusahaan atau habis kontrak.

Menurut Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 25,
pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan
pengusaha.

Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberika
beberapa pengertian:

1) Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja
yang telah disepakati.

2) Dismissal, putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan pelanggaran


disiplin yang telah ditetapkan.

3) Redundancy, karena perusahaan melakukan pengembangan engan menggunakan


mesin-mesin teknologi baru, seperti: penggunaan robot-robot indrustri dalam proses
produksi, penggunaan alat berat yang cukup dioprasikan oleh satu atau dua orang untuk
menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berakibatpada pengurangan tenaga kerja.

4) Retrentchment, yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi


ekonomi yang membuat perusahaan tidak mampu memberikan upah kepada karyawannya.

Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang juga
dapat disebut dengan Pemberhentian. Pemisahan memiliki pengertian sebagai sebuah
pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan
kewajiban pekerja dan perusahaan.

Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian
kerja dapat berakhir apabila :

 pekerja meninggal dunia


 jangka waktu kontak kerja telah berakhir
 adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
 adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Larangan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja

Pemerintah tidak mengharapkan perusahaan melakukan PHK tercantun dalam Pasal


153 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Thaun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan
pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan:

a) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.

b) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban


terhadap Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

c) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.

d) Pekerja/buruh menikah.

e) Pekerja/burh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

f) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkakwinan dengan


pekerja/buruh lainnya di dalam 1 perusahaan, kecali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau PKB.

g) Pekeerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat


buruh melakukan kegiatan serikat/pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
h) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.

i) Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.

j) Pekerja. Buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibar kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penembuhannya belum dapat dipastikan.

Permberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik
dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang
pemberhentian terkadang terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar
(2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:

1. Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.


2. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.
4. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.
5. Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.

Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah
tidak dapat dihindari maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun
1964. Perusahaan yang ingin memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D
(Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan
lebih dari sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian
Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan
hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.

Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi
dengan:

 Mengurangi shift kerja


 Menghapuskan kerja lembur
 Mengurangi jam kerja
 Mempercepat pension
 Meliburkan atau merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara

Pasal 156 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabila terjadi PHK pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh. Perhitungan uanga pesangon yang seharusnya
diterima oleh pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:

1. masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;


2. masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
3. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
4. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
5. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
6. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
7. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
8. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 tahun, 8 bulan upah;
9. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja yang seharusnya diterima oleh


pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:

1. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
2. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
3. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
4. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
5. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
6. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
7. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
8. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh meliputi:

1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
3. pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan
dengan segala konsekuensinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup
pengaturan swapekerja (kerja dengan tanggung jawab/ risiko sendiri), kerja yang dilakukan
untuk orang atas dasar kesukarelaan, dan kerja seseorang pengurus atau wakil suatu
organisasi/perkumpulan. Perlu diingat bahwa ruang lingkup ketenagakerjaan tidak sempit,
terbatas, dan sederhana.

Saran

1. Bagi perusahaan hak-hak pekerja/buruh haruslah dapat dipertimbangkan mengenai


loyalitas kerja pekerja/buruh terhadap perusahaan, masa kerja pekerja/buruh, serta
tanggungan dari pekerja/buruh dan adanya kreditur preferens lainnya harus ikut
dipertimbangkan.
2. Daerah harus Memiliki Perda yang khusus Mengakomodir Tentang Pemutusan Hubungan
Kerja
DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5520d2d38c81f/langkah-hukum-jika-mediator-
ketenagakerjaan-belum-memberikan-anjuran

http://luckysetiawidodo.blogspot.co.id/2016/03/pengertian-hubungan-kerja-pada-hukum.html

http://www.hukumtenagakerja.com/pemutusan-hubungan-kerja/pemutusan-hubungan-kerja-
dan-konsekuensinya/

http://qhypengki.blogspot.co.id/2014/10/asas-dan-tujuan-ketenagakerjaan.html

https://perdata.com/main/pekerjaan-yanglayak/kontrak-kerja/pemutusan-hubungan-kerja

https://media.neliti.com/media/publications/42654-ID-pemutusan-hubungan-kerja-ditinjau-
dari-segi-hukum-studi-kasus-ptmedco-lestari-pa.pdf

http://artonang.blogspot.co.id/2015/12/badan-hukum.html

2. Peraturan – peraturan
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Indonesia,
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang
Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial

Anda mungkin juga menyukai