1) Buat kelompok (masing-masing kelas 10 kelompok, pembagian
kelompok berdasarkan digit terakhir angka NIM masing-masing; kelompok 1-10) 2) Tolong dibaca dan didiskusikan tulisan terlampir dengan memfokuskan pada pertanyaan di bawah: a. Bagaimana pendapat para orientalis (ahli ketimuran dari Barat) tentang hadis secara umum? b. Bagaimana pendapat-pendapat yang muncul terkait dengan sanad/isnad? c. Bagaimana pandangan para ahli tentang “perkembangan hadis”? d. Apakah perbedaan mendasar alasan mereka yang meragukan otentisitas (keaslian) hadis dan mereka yang meyakini keasliannya? e. Setelah membaca tulisan ini, rumuskan pendapat saudara sendiri tentang otentisitas hadis! 3) Tugas diketik, atau ditulis tangan kemudian di-scan/difoto, kemudian dikirim ke email: saptoni@gmail.com dengan subject: TUGAS STUDI ISLAM.
Terima kasih, saptoni
OTENTISITAS HADIS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS: TEORI SISTEM ISNĀD, EVOLUSI HISTORISITAS HADIS, DAN PROBLEM VALIDITAS HADIS A. Pendahuluan Studi seputar relasi antara Islam dan orientalisme termasuk studi prestisius. Hampir setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan orientalisme, baik itu tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat Islam. Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karya-karya mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka. Sebagai bukti, dalam bidang hadis, mereka meracik sebuah kamus besar guna melacak keberadaan sebuah hadis berdasarkan teks utama dari hadis tersebut dalam enam buku koleksi hadis kanonik, plus Sunan al-Dārimī, Muwaṭṭa’ Mālik, dan Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal dengan judul Concordance Et Indices De La Tradition Musulmane (al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al- Nabawī) dalam tujuh jilid tebal. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini, A. J. Wensinck meracik kamus hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Miftāh Kunūz al-Sunnah. Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para orientalis jelek, bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput dari motivasi sentimen keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya saja, dari masa ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari subyektivisme yang dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual. Dalam makalah ini, fokus kajian penulis adalah studi hadis yang dilakukan sebagian orientalis lintas generasi. Idealnya, kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis, tetapi karena alasan tertentu penulis hanya akan menitiberatkan pada studi hadis garapan sebagian orientalis tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis. Secara metodologis, pembatasan kajian pada sebagian orientalis ini masih bisa dipertanyakan, karena tidak akan menghasilkan pemahaman utuh terhadap sikap dan pandangan mereka terhadap hadis, terutama tentang tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis. Tetapi sependek penelitian penulis, ide-ide sebagian orientalis cukup merepresentasikan hasil studi hadis orientalis lainnya dan cukup menggemparkan jagad pemikiran Islam modern-kontemporer. Selain alasan ini, referensi signifikan yang ada seputar studi hadis mereka sangat terbatas. Di antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan studi hadis adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905), Ignaz Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens (1862-1937), Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani (1869-1926), Josef Horovitz (1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred Guillaume (1888- ), James Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902- 1969), G. Weil, R. P. A. Dozy, Michael A. Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T. Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson, Charles J. Adams, Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John Wansbrough, Burton, Hinds, Hawting, Uri Rubin, J. Fück, H. A. R. Gibb, W. M. Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan Harald Motzki. Dengan mencermati ide-ide utama mereka, penulis berkesimpulan bahwa mereka seakan-akan terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat; saling mewarisi ide, mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya habis-habisan. Sayangnya, sebagian sarjana Muslim kontemporer terpengaruh oleh ide-ide mereka, seperti Maḥmūd Abū Rayyah pengarang dua buku kontroversial Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah aw Difā’ ‘an al-Ḥadīṡ dan Syaikh al-Muḍīrah: Abū Hurayrah, Aḥmad Amīn pengarang trilogi buku Fajr al-Islām, Ḍuḥā al-Islām, dan Yawm al-Islām, dan Kassim Ahmad pengarang I’ādah Taqyīm al-Ḥadīṡ: al-‘Awdah ilā al-Qur’ān. Karya para orientalis dan sebagian sarjana Muslim kontemporer tersebut disanggah oleh sebagian sarjana Muslim lain seperti Muḥammad Musṭafā al-A‘ẓamī dalam Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih, Fuat M. Sezgin dalam Geschichte der Arabischen Schrifttummms, Musṭafā al- Sibā’ī dalam al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī‘, Muḥammad ‘Ajjāj al- Khaṭīb dalam Abū Hurairah: Rāwiyah al-Islām, ‘Abd al-Raḥmān ibn Yaḥyā al- Mu’alimī al-Yamānī dalam al-Anwār al-Kāsyifah li mā fī Kitāb Aḍwā’ ‘alā al- Sunnah min al-Ḍalāl wa al-Taḍlīl wa al-Mujāzafah, Muḥammad Muḥammad Abū Syuhbah dalam Difā’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqīn wa al-Kuttāb al-Mu’aṣirīn, dan Nūr al-Dīn ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al- Ḥadīṡ.
B. Teori Sistem Isnād
Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun kontemporer tentang persamaan atau perbedaan antara isnād dan sanad, posisi isnād dan sanad sangat urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan menisbatkan kepada empunya, terutama dalam bidang hadis. Berkaitan dengan relasi antara isnād dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnād bersamaan dengan proses periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isnād, sebuah sistem periwayatan hadis handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Mubārak merupakan bagian dari Islam. Bahkan mereka berbeda pendapat secara tajam. Sebelum membahas perbedaan pendapat para orientalis tentang teori sistem isnād, hasil penelitian Muḥammad Ḥamzah perlu diungkap terlebih dahulu. Menurutnya, banyak peneliti berpendapat bahwa isnād bermula setelah terjadinya “fitnah” berdasarkan pada perkataan Ibn Sīrīn: “Mereka tidak biasa bertanya tentang isnād. Ketika terjadi fitnah mereka berkata, “Berilah nama orang-orang kalian!” Bila Ahli Sunnah, maka hadis mereka diterima dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka tidak diterima.” Hanya saja menentukan sejarah permulaan isnād dengan kejadian fitnah ini menyisakan permasalahan: fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn Sīrīn? Sebagaimana dinukil oleh Muḥammad Ḥamzah, Joseph Schacht (1902-1969), orientalis Jerman, dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence berpendapat bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Sīrīn adalah fitnah pembunuhan al-Walīd ibn Yazīd ibn ‘Abd al-Malik ibn Marwān (w. 126 H) berdasarkan pada persamaan penggunaan kata “fitnah” antara perkataan Ibn Sīrīn dan apa yang disebutkan al-Ṭabarī dalam Tārīkh-nya, bahwa dalam kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwān kacau-balau dan terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn Sīrīn sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum terjadinya fitnah. Berbeda dengan Schacht, James Robson (1890- ) mengajukan interpretasi lain mengenai fitnah tersebut. Menurutnya, fitnah itu adalah fitnah ‘Abd Allāh ibn al-Zubayr pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan dirinya sebagai khalifah. Orientalis ini mendasarkan pendapatnya pada perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Mālik ibn Anas atas gerakan Ibn al- Zubayr. Berdasarkan itu, isnād muncul setengah abad lebih awal dari penentuan Schacht karena ini sesuai dengan umur Ibn Sīrīn. Ia juga mengilustrasikan kepada kita kemungkinan menerima keterlibatan dan pengetahuan Ibn Sīrīn tentang apa yang terjadi pada saat itu. Pada gilirannya, sebagaimana akan terlihat dalam pembahasan berikutnya, interpretasi fitnah Schacht dan Robson memengaruhi pandangan mereka tentang teori permulaan penggunaan isnād, evolusi historitas hadis, dan problem validitas hadis. Bila mereka berdua mendasarkan teori permulaan isnād-nya pada penentuan penanggalan fitnah di kalangan umat Islam, maka Sprenger, Caetani, dan Horovitz mendasarkan teori kemunculan isnād pada tulisan-tulisan ‘Urwah, sosok yang dianggap sebagai penghimpun hadis pertama. Alois Sprenger (1813-1893), orientalis Jerman generasi pertama yang mula-mula skeptis terhadap orisinalitas hadis, sependapat dengan Leone Caetani (1869-1926), orientalis Italia. Dengan nada skeptis, sebagaimana dinukil oleh Muḥammad Bahā’ al-Dīn, Sprenger mengemukakan argumentasinya bahwa tulisan-tulisan ‘Urwah kepada ‘Abd al-Mālik tidak disertai dengan sanad-sanad. Oleh sebab itu, apa pun yang dinisbatkan kepada ‘Urwah berupa penggunaan sanad-sanad pasti muncul relatif lebih akhir. Sementara itu Caetani, sebagaimana menurut Muḥammad Musṭafā al- A’ẓami, meyakini bahwa penggunaan isnād untuk hadis-hadis Nabi belum dikenal pada masa ‘Abd al-Mālik (80 H) atau lebih dari enam puluh tahun paska Nabi saw. wafat, karena ‘Urwah (w. 94 H), penghimpun hadis pertama, tidak menggunakan isnād dan tidak menyebutkan referensi pembicaraannya selain al-Qur’an sebagaimana tampak dengan jelas dalam penukilan- penukilan al-Ṭabarī darinya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa penggunaan sanad-sanad bagi hadis dimulai antara ‘Urwah dan Ibn ‘Isḥāq (151 H), sehingga sebagian besar sanad yang ada dalam buku-buku sunnah pastilah kreasi para sarjana hadis pada abad kedua hijriah, bahkan begitu juga pada abad ketiga. Di pihak berseberangan, Josef Horovitz (1873-1931), orientalis Jerman, membantah keras pendapat Sprenger dan Caetani. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pihak yang menafikan penggunaan ‘Urwah terhadap isnād tidaklah mengkaji tulisan-tulisan dan sanad-sanadnya dengan sempurna. Ia sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan isnād untuk hadis bermula sejak sepertiga akhir dari abad pertama hijriah. Menurut Muḥammad Bahā’ al-Dīn, Horovitz menuangkan kritik ini dalam bukunya Alter and Ursprung des Isnad Der Islam VIII pada tahun 1918. Akram al-‘Umrī menyebutkan dua pendapat Horovitz. Pertama, Robson menarik kesimpulan bahwa Horovitz sependapat dengan Caetani yang berpendapat bahwa sanad belum ada sebelum tahun 74 H. Kedua, isnād pada masa sebelum al-Zuhrī merupakan kebiasaan, bukan sesuatu yang telah paten. Jauh berbeda dengan tiga orientalis di atas, Ignaz Goldziher (1850- 1921) melangkah lebih ekstrem. Menurut orientalis Hungaria ini, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, isnād adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi Islam awal. Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph Schacht. Orientalis spesialis hadis-hadis fikih ini, sebagaimana dikutip oleh Muḥammad Bahā’ al-Dīn, berpendapat bahwa isnād diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana dan mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak isnād yang tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan pendapat-pendapatnya kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimūn), maka mereka memilih figur-figur itu lalu meletakkannya ke dalam isnād. Masih menurut Schacht, sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, isnād memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Isnād berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Dengan kata lain, isnād merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan antara aliran fikih klasik dan ahli hadis. Pendapat terakhir Schacht ini dikenal dengan nama projecting back theory. Pendapat senada diutarakan oleh Noel J. Coulson. Sebagaimana dikutip oleh Muḥammad Bahā’ al-Dīn, ia berpendapat bahwa demi mengukuhkan mazhab dalam mengikuti apa yang sudah ditetapkan dari hukum-hukum al-Qur’an, ahli hadis mulai menisbatkan banyak kaidah dan hukum secara salah kepada Rasulullah saw. Mereka menciptakannya dalam bentuk cerita-cerita dan informasi-informasi tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Muhammad dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Itu adalah akibat kepercayaan kokoh mereka bahwa Nabi saw. akan memutuskan secara tegas dengan hukum-hukum yang dinisbatkan kepadanya ketika ia menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi. Jika dibandingkan dengan pendapat Goldziher, Schacht, dan Coulson, maka pendapat Robson lebih lunak. Menurut orientalis Inggris ini, sebagaimana dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, pada pertengahan abad pertama hijriah mungkin sudah ada suatu metode semacam sanad. Sebab pada pada masa itu sejumlah sahabat sudah wafat, sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi saw. mulai meriwayatkan hadis- hadisnya. Dengan sendirinya mereka akan ditanya oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis-hadis itu. Hanya saja metode sanad secara detail tentulah berkembang sedikit demi sedikit setelah itu. Setelah itu Robson menarik kesimpulan, sebagaimana dinukil oleh Muḥammad Musṭafā al-A’ẓamī, dengan berkata sebagai berikut: Sesungguhnya kita tahu bahwa Ibn Isḥāq pada paruh kedua dari abad kedua hijriah memberikan informasi-informasinya tanpa sanad. Sebagian besar yang tersisa darinya tanpa sanad utuh dan para pendahulunya pasti lebih sedikit memperhatikan sanad-sanad dibanding dirinya. Tetapi tidak tepat [kalau] kita berkata, “Sesungguhnya isnād berasal dari masa al-Zuhrī dan tidak diketahui pada masa ‘Urwah, sementara sistem isnād yang mencapai kesempurnaannya memakan waktu lama dan berkembang dengan lambat. Sebagian orang mungkin bisa menerima bahwa sebagian sanad bermula sejak dulu sebagaimana yang diklaim orang.” Masih berkaitan dengan posisi Ibn Isḥāq dalam persoalan permulaan isnād, W. Montgomery Watt, orientalis Inggris, berpendapat bahwa sanad bermula dari bentuk tidak sempurna. Ia berargumentasi dengan apa yang terdapat dalam buku Ibn Isḥāq pada paruh pertama dari abad kedua hijriah dan dengan al-Wāqidī, seorang juru tulis Ibn Sa’ad yang kira-kira dua puluh tahun lebih muda darinya, yang berusaha menyebutkan silsilah para periwayat (ruwāt) dengan sempurna. Orang yang memaksakan diri menyebutkan silsilah para periwayat dengan sempurna adalah al-Syāfi’ī, orang yang sezaman dengan al-Wāqidi. Sehingga bila penyebutan sanad yang sempurna sudah tersebar luas, maka para sarjana hadis terdorong untuk menisbatkan sanad kepada orang-orang yang sezaman dengan Muḥammad saw., sehingga ketika mereka menisbatkan kepada para periwayat, maka penisbatan mereka akan menjadi benar karena mereka mengetahui dari mana para pendahulu mereka mendapatkan informasi-informasinya. Pendapat yang bertolak belakang dengan para orientalis di atas dikemukakan oleh Nabia Abbot. Sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, ia menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan “berkesinambungan”. Kata “sejak awal” di sini mengandung arti bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis, sementara kata “berkesinambungan” berarti bahwa sebagian besar hadis memang diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan, hingga akhirnya hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik. C. Evolusi Historisitas Hadis Teori sistem isnād sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena isnād tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnād, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis; apakah kemunculan isnād bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis. Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan, sebab, menurut Muḥammad Musṭafā al-A’ẓamī, buku ini ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bī (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis- hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bī. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qāḍī) yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Keputusan-keputusan yang diberikan para qāḍī ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw. Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di tangan para qāḍī yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya. Tidak jauh dari pendapat Schacht, salah seorang orientalis yang banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Goldziher dan Schacht dan memusatkan perhatiannya pada kajian hadis selama puluhan tahun, G. H. A. Juynboll, mengatakan bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah hadis Nabi tidak mendapatkan perlakuan seperti generasi-generasi Muslim belakangan. Ia berargumentasi dengan informasi dari buku-buku koleksi hadis empat khalifah: Abū Bakar, ‘Umar, ‘Uṡmān, dan ‘Alī. Khusus khalifah pertama, jarang sekali ia menemukan dalam karangan-karangan terdahulu seperti Ṭabaqāt karya Ibn Sa’ad hadis-hadis dari lisan khalifah ini. Mālik tidak meriwayatkannya dalam al-Muwaṭṭa’-nya kecuali empat puluh empat hadis. Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isnād tidak terputus. Dalam Musnad al-Ṭayālisī ia menemukan sembilan hadis milik Abū Bakar. Tujuh di antaranya tentang al-targhīb dan al-tarhīb. Sedangkan Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan pengulangan, sisanya tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum haram-halal. Berkaitan dengan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, ia menemukan lima hadis yang diriwayatkan oleh Abū Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu perbandingan koleksi hadis yang beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak mungkin memasukkan Abū Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat terbanyak dan bahwa hadis-hadis tidak berperan penting sepanjang kekhalifahannya. Pendapat Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh. Kalau kita merujuk pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abū Bakar al-Ṣiddīq (w. 13 H) dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan data serupa yaitu mereka bertiga tidak termasuk para periwayat hadis dengan koleksi hadis terbanyak seperti Abū Hurairah (w. 59 H). Secara tidak langsung, itu juga membuktikan bahwa proses transmisi hadis sebelum terjadinya fitnah berlangsung dengan longgar dan tidak mendapatkan perhatian ekstra dibanding periode-periode belakangan. Pendapat Harald Motzki selaras dengan tesis tersebut. Menurutnya, sebagaimana dinukil oleh Wael Hallaq dalam The Origins and Evolution of Islamic Law, tampak jelas bahwa hadis tidak berperan dalam bentuk-bentuk pemikiran fikih yang berkembang pada awal-awal kemunculannya. Penggunaan rasio terus berkembang sejak periode pertama hingga pertengahan abad kedua hijriah/abad kedelapan masehi. Hasil studi statistik salah seorang peneliti menunjukkan bahwa sepertiga dari riwayat-riwayat al-Zuhrī berisi penalaran rasio, sementara sepertiga terakhir hanya mengandung pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para pendahulu. Hasil studi statistik itu juga menunjukkan bahwa Qatādah berpegang pada rasio sebanyak 62% dalam riwayat-riwayatnya yang sangat menunjukkan bahwa 84% dari bagian yang tersisa atau 32% dari keseluruhan riwayat berisi penalaran rasio para pendahulu. Selain pendapat Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Motzki tentang persoalan evolusi historisitas hadis di atas, Muḥammad Musṭafā al-A’ẓami menyebut pendapat sebagian orientalis bahwa hadis-hadis Nabi ada dengan bentuk sederhana pada akhir abad pertama hijriah dan kemudian berkembang, sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ia muncul pada abad kedua hijriah dan menjadi sempurna pada abad ketiga hijriah. Sayangnya, al-A’ẓami tidak menyebut nama mereka sehingga tidak bisa dilacak dan dieksplorasi lebih jauh.
D. Problem Validitas Hadis
Bila teori sistem isnād sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, maka dua hal itu juga sangat memengaruhi problem validitas hadis. Sebab sistem isnād adalah sistem untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai valid atau tidak. Dengan kata lain, validitas hadis sangat bergantung pada penilaian terhadap akurasi penerapan sistem isnād. Sementara itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat membantu pelacakan otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain, apakah keadaan sebuah hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis atau tidak. Oleh sebab itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga hal tersebut sangat memengaruhi hasil kajian yang lain. Contoh terbaik untuk tesis tersebut adalah dua argumentasi dari empat argumentasi Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis Nabi saw. Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnād yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, perkembangan hadis secara massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Dua argumentasi itu sangat berkaitan dengan tiga aspek sekaligus. Argumentasi pertama mengandung tiga kemungkinan yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isnād yang menurutnya menggunakan istilah-istilah periwayatan dengan lisan, bukan periwayatan tertulis. Secara tidak langsung, ia berpendapat bahwa periwayatan tertulis lebih kuat daripada periwayatan lisan. Kedua, aspek historisitas hadis yang menurutnya koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya. Sumber tertulis merupakan sumber historis yang cukup memadai untuk dipercaya sebagai salah satu dokumen yang bernilai tinggi. Ketiga, aspek validitas hadis yang bisa ditangkap secara tersirat bahwa ketika sebuah hadis tidak memiliki sumber tertulis atau direkam sejarah serta lebih banyak dilakukan secara lisan, maka validitas hadis itu sangat diragukan. Argumentasi kedua juga mengandung tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isnād yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa ada semacam keterputusan dan pelebaran sanad antara koleksi hadis yang lebih awal dengan koleksi hadis belakangan. Dua hal itu menyebabkan perbedaan jumlah koleksi hadis yang seharusnya sama antar generasi. Kedua, aspek historisitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa sejarah pembukuan hadis tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan membengkak. Ini terbukti dengan adanya perluasan materi atau koleksi hadis yang semakin hari semakin banyak. Ketiga, aspek validitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa pembengkakan jumlah hadis dari generasi ke generasi menimbulkan asumsi bahwa hadis tersebut bukan berasal dari Nabi saw., tetapi berasal dari generasi-generasi setelahnya. Menurut Muḥammad ‘Abd al-Razzāq Aswad dalam disertasinya Al- Ittijāhāt al-Mu’āṣirah fī Dirāsah al-Sunnah al-Nabawiyyah fī Miṣr wa Bilād al- Syām, Goldziher termasuk dalam lingkaran orientalis seperti Caetani, Guston White, dan Wensinck yang berpendapat bahwa para sarjana hadis Muslim hanya mengkritik sanad hadis, tidak mengkritik matan-nya. Menurut Goldziher, sebagaimana diringkas oleh Muḥammad Ḥamzah, umat Islam hanya fokus pada kritik sanad tanpa kritik matan. Itu berasal dari peran dari kesaksian atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat kesahihan hadis ditentukan oleh derajat keadilan para periwayatnya. Meskipun dengan metode ini umat Islam berhasil mengetahui banyak hal dan memisahkan banyak hadis yang silsilah isnād-nya terdiri dari para periwayat mudallis, tetapi itu tidak cukup guna mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab para pemalsu dan para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan merangkai sanad-sanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka edarkan. Pada saat yang sama, para mudallis mendasarkan periwayatan hadis-hadis aneh mereka pada para periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad imajinatif banyak memengaruhi para audiens yang cenderung mempercayai apa yang diriwayatkan dari mereka. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan bahwa langkah-langkah yang diterapkan dalam penyelidikan dan penyaringan isnād-isnād kurang memadai dan gagal menyaring hadis-hadis dari penambahan-penambahan yang tampak dengan jelas, karena kritik hadis dalam pandangan umat Islam sejak awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek kritiknya hanya pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat pada kritik silsilah isnād. Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik aspek eksternal, maka matan-nya juga akan sahih meskipun bertentangan dengan realita atau berisi hal-hal kontradiktif. Bila Goldziher hanya meragukan validitas hadis, maka Schacht melangkah lebih jauh lagi darinya. Orientalis yang mengklaim dirinya sebagai penerus Goldziher ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih, terutama hadis-hadis fikih. Ia melampaui Goldziher dengan mengganti sikap skeptisnya menjadi sikap penuh keyakinan dalam menolak kesahihan hadis. Dalam meragukan dan menolak validitas hadis, sebagai sarjana dengan reputasi baik tentu saja mereka menggunakan perangkat keilmuan dengan usaha bertahun-tahun sehingga sampai pada kesimpulan tersebut. Sebagai orientalis kenamaan, Goldziher meneliti beragam disiplin keilmuan Islam, termasuk hadis. Begitu juga Schacht melalui kajian mendalam terhadap al-Muwaṭṭa’ karya Mālik ibn Anas dan al-Risālah karya Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi’ī. Usaha mereka berdua kemudian dilanjutkan oleh orientalis-orientalis lain, seperti G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, baik itu berupa kritik, pengembangan dari penemuan sebelumnya, bahkan penemuan-penemuan baru. Juynboll, misalnya, berusaha sunguh-sungguh mengembangkan teori common link gagasan Schacht dalam meneliti otentisitas dan validitas hadis. Menurut Ali Masrur, ia menggunakannya untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Ia menawarkan teori ini sebagai ganti dari metode kritik hadis konvensional. Jika metode kritik hadis konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas periwayat saja, tetapi juga kuwantitasnya. Menurutnya, kritik hadis konvensional memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dan tidak mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadis. Sementara itu, menurut Ali Masrur, dalam upayanya memperbaiki metode analisis isnād Juyboll, Motzki mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analasis isnād-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadis dengan cara membandingkan varian- varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Tentu saja metode ini tidak hanya menggunakan isnād, tetapi juga matan hadis. Dalam mengamati varian-varian hadis yang dilengkapi dengan isnād, metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagian varian dari sebuah hadis, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses periwayatan dan juga bahwa isnād dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya sebagiannya, merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya. Data-data di atas menunjukkan adanya jaringan intelektual yang kuat antara Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Harald Motzki, terutama pengaruh pemikiran-pemikiran hadis Goldziher terhadap Schacht dan Joynboll. Ini terbukti salah satunya dengan keterkaitan ide dan kajian mereka di samping pengakuan mereka sendiri. Bahkan menurut Fuat Sezgin, sebagaimana dinukil oleh Nūr al-Dīn ‘Itr, para peneliti menganggap pencapaian- pencapaian Goldziher dalam hal ini secara umum bersifat pasti. Oleh karena itu, dalam proses penelitian terhadap perkara-perkara utama dan rincian- rinciannya mereka mencukupkan diri pada pencapaian-pencapaian Goldziher. Lebih dari itu, dalam mengkaji seluk-beluk hadis, para orientalis memiliki istilah-istilah teknis tertentu yang sama atau berbeda sama sekali dengan istilah-istilah teknis kreasi para sarjana Muslim, seperti kritik internal, kritik eksternal, common link, common link cum partial common link, real common link, seeming (artificial) common link, inverted common link, inverted partial common link, partial common link, diving strand, single strand, argument e silentio, fabricator, source critical method, spider, geometric progression, isnād-cum-matn, dan terminus ante quem. []