Anda di halaman 1dari 13

Tugas Studi Islam I

1) Buat kelompok (masing-masing kelas 10 kelompok, pembagian


kelompok berdasarkan digit terakhir angka NIM masing-masing;
kelompok 1-10)
2) Tolong dibaca dan didiskusikan tulisan terlampir dengan
memfokuskan pada pertanyaan di bawah:
a. Bagaimana pendapat para orientalis (ahli ketimuran dari
Barat) tentang hadis secara umum?
b. Bagaimana pendapat-pendapat yang muncul terkait dengan
sanad/isnad?
c. Bagaimana pandangan para ahli tentang “perkembangan
hadis”?
d. Apakah perbedaan mendasar alasan mereka yang meragukan
otentisitas (keaslian) hadis dan mereka yang meyakini
keasliannya?
e. Setelah membaca tulisan ini, rumuskan pendapat saudara
sendiri tentang otentisitas hadis!
3) Tugas diketik, atau ditulis tangan kemudian di-scan/difoto, kemudian
dikirim ke email: saptoni@gmail.com dengan subject: TUGAS STUDI
ISLAM.

Terima kasih, saptoni


OTENTISITAS HADIS DALAM PANDANGAN ORIENTALIS:
TEORI SISTEM ISNĀD, EVOLUSI HISTORISITAS HADIS, DAN PROBLEM
VALIDITAS HADIS
A. Pendahuluan
Studi seputar relasi antara Islam dan orientalisme termasuk studi
prestisius. Hampir setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan
orientalisme, baik itu tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah.
Masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis,
bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak
dapat dilakukan oleh sebagian umat Islam. Lebih dari itu, sebagian sarjana
Muslim kadang menggunakan karya-karya mereka sebagai bahan referensi
dalam penelitian mereka.
Sebagai bukti, dalam bidang hadis, mereka meracik sebuah kamus
besar guna melacak keberadaan sebuah hadis berdasarkan teks utama dari
hadis tersebut dalam enam buku koleksi hadis kanonik, plus Sunan al-Dārimī,
Muwaṭṭa’ Mālik, dan Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal dengan judul Concordance Et
Indices De La Tradition Musulmane (al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-
Nabawī) dalam tujuh jilid tebal. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok
orientalis yang dipublikasikan oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain
kamus ini, A. J. Wensinck meracik kamus hadis yang lebih kecil darinya yang
berjudul Miftāh Kunūz al-Sunnah.
Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya
para orientalis jelek, bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka
tidak luput dari motivasi sentimen keagamaan yang berujung pada
kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya saja, dari masa
ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari
subyektivisme yang dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme
yang dimotori oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual.
Dalam makalah ini, fokus kajian penulis adalah studi hadis yang
dilakukan sebagian orientalis lintas generasi. Idealnya, kajian ini mencakup
studi hadis semua orientalis, tetapi karena alasan tertentu penulis hanya
akan menitiberatkan pada studi hadis garapan sebagian orientalis tentang
teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.
Secara metodologis, pembatasan kajian pada sebagian orientalis ini
masih bisa dipertanyakan, karena tidak akan menghasilkan pemahaman utuh
terhadap sikap dan pandangan mereka terhadap hadis, terutama tentang
tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas
hadis. Tetapi sependek penelitian penulis, ide-ide sebagian orientalis cukup
merepresentasikan hasil studi hadis orientalis lainnya dan cukup
menggemparkan jagad pemikiran Islam modern-kontemporer. Selain alasan
ini, referensi signifikan yang ada seputar studi hadis mereka sangat terbatas.
Di antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan
dengan studi hadis adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir
(1819-1905), Ignaz Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P.
Henri Lammens (1862-1937), Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani
(1869-1926), Josef Horovitz (1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone,
Alfred Guillaume (1888- ), James Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-
1969), G. Weil, R. P. A. Dozy, Michael A. Cook, Norman Calder, David S.
Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T. Librande, Nabia Abbot, Rafael
Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson, Charles J. Adams, Herbert Berg, G.
Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John Wansbrough, Burton, Hinds,
Hawting, Uri Rubin, J. Fück, H. A. R. Gibb, W. M. Watt, Nabia Abbot, G. H. A.
Juynboll, dan Harald Motzki.
Dengan mencermati ide-ide utama mereka, penulis berkesimpulan
bahwa mereka seakan-akan terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat
erat; saling mewarisi ide, mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan
menolaknya habis-habisan. Sayangnya, sebagian sarjana Muslim
kontemporer terpengaruh oleh ide-ide mereka, seperti Maḥmūd Abū Rayyah
pengarang dua buku kontroversial Aḍwā’ ‘alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah
aw Difā’ ‘an al-Ḥadīṡ dan Syaikh al-Muḍīrah: Abū Hurayrah, Aḥmad Amīn
pengarang trilogi buku Fajr al-Islām, Ḍuḥā al-Islām, dan Yawm al-Islām, dan
Kassim Ahmad pengarang I’ādah Taqyīm al-Ḥadīṡ: al-‘Awdah ilā al-Qur’ān.
Karya para orientalis dan sebagian sarjana Muslim kontemporer
tersebut disanggah oleh sebagian sarjana Muslim lain seperti Muḥammad
Musṭafā al-A‘ẓamī dalam Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih,
Fuat M. Sezgin dalam Geschichte der Arabischen Schrifttummms, Musṭafā al-
Sibā’ī dalam al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī‘, Muḥammad ‘Ajjāj al-
Khaṭīb dalam Abū Hurairah: Rāwiyah al-Islām, ‘Abd al-Raḥmān ibn Yaḥyā al-
Mu’alimī al-Yamānī dalam al-Anwār al-Kāsyifah li mā fī Kitāb Aḍwā’ ‘alā al-
Sunnah min al-Ḍalāl wa al-Taḍlīl wa al-Mujāzafah, Muḥammad Muḥammad
Abū Syuhbah dalam Difā’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqīn wa
al-Kuttāb al-Mu’aṣirīn, dan Nūr al-Dīn ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-
Ḥadīṡ.

B. Teori Sistem Isnād


Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun
kontemporer tentang persamaan atau perbedaan antara isnād dan sanad,
posisi isnād dan sanad sangat urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada
tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sejarah.
Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam buku-buku mereka
dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan menisbatkan
kepada empunya, terutama dalam bidang hadis.
Berkaitan dengan relasi antara isnād dan hadis, bila mayoritas sarjana
Muslim Sunni sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnād
bersamaan dengan proses periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak
demikian. Mereka masih saja mempersoalkan permulaan dan validitas sistem
isnād, sebuah sistem periwayatan hadis handal khas Islam, yang menurut Ibn
al-Mubārak merupakan bagian dari Islam. Bahkan mereka berbeda pendapat
secara tajam.
Sebelum membahas perbedaan pendapat para orientalis tentang teori
sistem isnād, hasil penelitian Muḥammad Ḥamzah perlu diungkap terlebih
dahulu. Menurutnya, banyak peneliti berpendapat bahwa isnād bermula
setelah terjadinya “fitnah” berdasarkan pada perkataan Ibn Sīrīn: “Mereka
tidak biasa bertanya tentang isnād. Ketika terjadi fitnah mereka berkata,
“Berilah nama orang-orang kalian!” Bila Ahli Sunnah, maka hadis mereka
diterima dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka tidak diterima.” Hanya saja
menentukan sejarah permulaan isnād dengan kejadian fitnah ini menyisakan
permasalahan: fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn Sīrīn?
Sebagaimana dinukil oleh Muḥammad Ḥamzah, Joseph Schacht (1902-1969),
orientalis Jerman, dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence
berpendapat bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Sīrīn adalah fitnah
pembunuhan al-Walīd ibn Yazīd ibn ‘Abd al-Malik ibn Marwān (w. 126 H)
berdasarkan pada persamaan penggunaan kata “fitnah” antara perkataan Ibn
Sīrīn dan apa yang disebutkan al-Ṭabarī dalam Tārīkh-nya, bahwa dalam
kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwān kacau-balau dan
terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn
Sīrīn sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum
terjadinya fitnah.
Berbeda dengan Schacht, James Robson (1890- ) mengajukan
interpretasi lain mengenai fitnah tersebut. Menurutnya, fitnah itu adalah
fitnah ‘Abd Allāh ibn al-Zubayr pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan
dirinya sebagai khalifah. Orientalis ini mendasarkan pendapatnya pada
perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Mālik ibn Anas atas gerakan Ibn al-
Zubayr. Berdasarkan itu, isnād muncul setengah abad lebih awal dari
penentuan Schacht karena ini sesuai dengan umur Ibn Sīrīn. Ia juga
mengilustrasikan kepada kita kemungkinan menerima keterlibatan dan
pengetahuan Ibn Sīrīn tentang apa yang terjadi pada saat itu.
Pada gilirannya, sebagaimana akan terlihat dalam pembahasan
berikutnya, interpretasi fitnah Schacht dan Robson memengaruhi pandangan
mereka tentang teori permulaan penggunaan isnād, evolusi historitas hadis,
dan problem validitas hadis. Bila mereka berdua mendasarkan teori
permulaan isnād-nya pada penentuan penanggalan fitnah di kalangan umat
Islam, maka Sprenger, Caetani, dan Horovitz mendasarkan teori kemunculan
isnād pada tulisan-tulisan ‘Urwah, sosok yang dianggap sebagai penghimpun
hadis pertama.
Alois Sprenger (1813-1893), orientalis Jerman generasi pertama yang
mula-mula skeptis terhadap orisinalitas hadis, sependapat dengan Leone
Caetani (1869-1926), orientalis Italia. Dengan nada skeptis, sebagaimana
dinukil oleh Muḥammad Bahā’ al-Dīn, Sprenger mengemukakan
argumentasinya bahwa tulisan-tulisan ‘Urwah kepada ‘Abd al-Mālik tidak
disertai dengan sanad-sanad. Oleh sebab itu, apa pun yang dinisbatkan
kepada ‘Urwah berupa penggunaan sanad-sanad pasti muncul relatif lebih
akhir.
Sementara itu Caetani, sebagaimana menurut Muḥammad Musṭafā al-
A’ẓami, meyakini bahwa penggunaan isnād untuk hadis-hadis Nabi belum
dikenal pada masa ‘Abd al-Mālik (80 H) atau lebih dari enam puluh tahun
paska Nabi saw. wafat, karena ‘Urwah (w. 94 H), penghimpun hadis pertama,
tidak menggunakan isnād dan tidak menyebutkan referensi pembicaraannya
selain al-Qur’an sebagaimana tampak dengan jelas dalam penukilan-
penukilan al-Ṭabarī darinya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa
penggunaan sanad-sanad bagi hadis dimulai antara ‘Urwah dan Ibn ‘Isḥāq
(151 H), sehingga sebagian besar sanad yang ada dalam buku-buku sunnah
pastilah kreasi para sarjana hadis pada abad kedua hijriah, bahkan begitu
juga pada abad ketiga.
Di pihak berseberangan, Josef Horovitz (1873-1931), orientalis
Jerman, membantah keras pendapat Sprenger dan Caetani. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pihak yang menafikan penggunaan
‘Urwah terhadap isnād tidaklah mengkaji tulisan-tulisan dan sanad-sanadnya
dengan sempurna. Ia sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan isnād
untuk hadis bermula sejak sepertiga akhir dari abad pertama hijriah.
Menurut Muḥammad Bahā’ al-Dīn, Horovitz menuangkan kritik ini dalam
bukunya Alter and Ursprung des Isnad Der Islam VIII pada tahun 1918. Akram
al-‘Umrī menyebutkan dua pendapat Horovitz. Pertama, Robson menarik
kesimpulan bahwa Horovitz sependapat dengan Caetani yang berpendapat
bahwa sanad belum ada sebelum tahun 74 H. Kedua, isnād pada masa
sebelum al-Zuhrī merupakan kebiasaan, bukan sesuatu yang telah paten.
Jauh berbeda dengan tiga orientalis di atas, Ignaz Goldziher (1850-
1921) melangkah lebih ekstrem. Menurut orientalis Hungaria ini,
sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, isnād adalah hasil dari perkembangan
pemikiran generasi Islam awal. Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph
Schacht. Orientalis spesialis hadis-hadis fikih ini, sebagaimana dikutip oleh
Muḥammad Bahā’ al-Dīn, berpendapat bahwa isnād diketahui secara luas
berawal dari bentuk sederhana dan mencapai kesempurnaannya pada paruh
kedua abad ketiga hijriah. Banyak isnād yang tidak mendapatkan perhatian
dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan pendapat-pendapatnya
kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimūn), maka mereka memilih
figur-figur itu lalu meletakkannya ke dalam isnād.
Masih menurut Schacht, sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, isnād
memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Isnād berawal dari
bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara
mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal,
seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Dengan kata lain, isnād
merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan antara aliran fikih
klasik dan ahli hadis. Pendapat terakhir Schacht ini dikenal dengan nama
projecting back theory.
Pendapat senada diutarakan oleh Noel J. Coulson. Sebagaimana
dikutip oleh Muḥammad Bahā’ al-Dīn, ia berpendapat bahwa demi
mengukuhkan mazhab dalam mengikuti apa yang sudah ditetapkan dari
hukum-hukum al-Qur’an, ahli hadis mulai menisbatkan banyak kaidah dan
hukum secara salah kepada Rasulullah saw. Mereka menciptakannya dalam
bentuk cerita-cerita dan informasi-informasi tentang apa yang dikatakan dan
dilakukan Muhammad dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Itu adalah
akibat kepercayaan kokoh mereka bahwa Nabi saw. akan memutuskan
secara tegas dengan hukum-hukum yang dinisbatkan kepadanya ketika ia
menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi.
Jika dibandingkan dengan pendapat Goldziher, Schacht, dan Coulson,
maka pendapat Robson lebih lunak. Menurut orientalis Inggris ini,
sebagaimana dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, pada pertengahan abad
pertama hijriah mungkin sudah ada suatu metode semacam sanad. Sebab
pada pada masa itu sejumlah sahabat sudah wafat, sedangkan orang-orang
yang tidak pernah bertemu dengan Nabi saw. mulai meriwayatkan hadis-
hadisnya. Dengan sendirinya mereka akan ditanya oleh orang-orang yang
mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis-hadis itu. Hanya saja
metode sanad secara detail tentulah berkembang sedikit demi sedikit setelah
itu.
Setelah itu Robson menarik kesimpulan, sebagaimana dinukil oleh
Muḥammad Musṭafā al-A’ẓamī, dengan berkata sebagai berikut:
Sesungguhnya kita tahu bahwa Ibn Isḥāq pada paruh kedua dari abad
kedua hijriah memberikan informasi-informasinya tanpa sanad. Sebagian
besar yang tersisa darinya tanpa sanad utuh dan para pendahulunya pasti
lebih sedikit memperhatikan sanad-sanad dibanding dirinya. Tetapi tidak
tepat [kalau] kita berkata, “Sesungguhnya isnād berasal dari masa al-Zuhrī
dan tidak diketahui pada masa ‘Urwah, sementara sistem isnād yang
mencapai kesempurnaannya memakan waktu lama dan berkembang dengan
lambat. Sebagian orang mungkin bisa menerima bahwa sebagian sanad
bermula sejak dulu sebagaimana yang diklaim orang.”
Masih berkaitan dengan posisi Ibn Isḥāq dalam persoalan permulaan
isnād, W. Montgomery Watt, orientalis Inggris, berpendapat bahwa sanad
bermula dari bentuk tidak sempurna. Ia berargumentasi dengan apa yang
terdapat dalam buku Ibn Isḥāq pada paruh pertama dari abad kedua hijriah
dan dengan al-Wāqidī, seorang juru tulis Ibn Sa’ad yang kira-kira dua puluh
tahun lebih muda darinya, yang berusaha menyebutkan silsilah para
periwayat (ruwāt) dengan sempurna. Orang yang memaksakan diri
menyebutkan silsilah para periwayat dengan sempurna adalah al-Syāfi’ī,
orang yang sezaman dengan al-Wāqidi. Sehingga bila penyebutan sanad yang
sempurna sudah tersebar luas, maka para sarjana hadis terdorong untuk
menisbatkan sanad kepada orang-orang yang sezaman dengan Muḥammad
saw., sehingga ketika mereka menisbatkan kepada para periwayat, maka
penisbatan mereka akan menjadi benar karena mereka mengetahui dari
mana para pendahulu mereka mendapatkan informasi-informasinya.
Pendapat yang bertolak belakang dengan para orientalis di atas
dikemukakan oleh Nabia Abbot. Sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, ia
menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal”
dan “berkesinambungan”. Kata “sejak awal” di sini mengandung arti bahwa
para sahabat Nabi saw. sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis,
sementara kata “berkesinambungan” berarti bahwa sebagian besar hadis
memang diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan,
hingga akhirnya hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik.
C. Evolusi Historisitas Hadis
Teori sistem isnād sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas
hadis, karena isnād tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila
seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnād, maka pada
gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas
hadis; apakah kemunculan isnād bersamaan dengan kemunculan hadis atau
ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah
hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi
saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien
perlu dikemukakan, sebab, menurut Muḥammad Musṭafā al-A’ẓamī, buku ini
ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini
Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena
hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena
kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam
setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin
fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat
disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang
berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis
merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama
dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang
tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian
kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory
gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection
theory ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit
atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A.
Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum
eksis pada masa al-Sya’bī (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-
hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan
orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bī. Hukum Islam baru dikenal sejak
pengangkatan para hakim agama (qāḍī) yang baru dilakukan pada masa
Dinasti Umayyah. Keputusan-keputusan yang diberikan para qāḍī ini
memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi.
Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada
dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh
sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama
semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang
diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung
menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh
sesudah beliau wafat di tangan para qāḍī yang dibubuhi sanad serta
diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis
tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya.
Tidak jauh dari pendapat Schacht, salah seorang orientalis yang
banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Goldziher dan Schacht dan
memusatkan perhatiannya pada kajian hadis selama puluhan tahun, G. H. A.
Juynboll, mengatakan bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah
hadis Nabi tidak mendapatkan perlakuan seperti generasi-generasi Muslim
belakangan. Ia berargumentasi dengan informasi dari buku-buku koleksi
hadis empat khalifah: Abū Bakar, ‘Umar, ‘Uṡmān, dan ‘Alī. Khusus khalifah
pertama, jarang sekali ia menemukan dalam karangan-karangan terdahulu
seperti Ṭabaqāt karya Ibn Sa’ad hadis-hadis dari lisan khalifah ini. Mālik
tidak meriwayatkannya dalam al-Muwaṭṭa’-nya kecuali empat puluh empat
hadis. Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isnād tidak
terputus. Dalam Musnad al-Ṭayālisī ia menemukan sembilan hadis milik Abū
Bakar. Tujuh di antaranya tentang al-targhīb dan al-tarhīb. Sedangkan
Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan
pengulangan, sisanya tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang
tidak berkaitan dengan hukum-hukum haram-halal. Berkaitan dengan Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, ia menemukan lima hadis yang diriwayatkan oleh Abū Bakar.
Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu perbandingan koleksi hadis yang
beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak mungkin memasukkan
Abū Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat terbanyak dan bahwa
hadis-hadis tidak berperan penting sepanjang kekhalifahannya.
Pendapat Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh.
Kalau kita merujuk pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abū Bakar
al-Ṣiddīq (w. 13 H) dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan
data serupa yaitu mereka bertiga tidak termasuk para periwayat hadis
dengan koleksi hadis terbanyak seperti Abū Hurairah (w. 59 H). Secara tidak
langsung, itu juga membuktikan bahwa proses transmisi hadis sebelum
terjadinya fitnah berlangsung dengan longgar dan tidak mendapatkan
perhatian ekstra dibanding periode-periode belakangan.
Pendapat Harald Motzki selaras dengan tesis tersebut. Menurutnya,
sebagaimana dinukil oleh Wael Hallaq dalam The Origins and Evolution of
Islamic Law, tampak jelas bahwa hadis tidak berperan dalam bentuk-bentuk
pemikiran fikih yang berkembang pada awal-awal kemunculannya.
Penggunaan rasio terus berkembang sejak periode pertama hingga
pertengahan abad kedua hijriah/abad kedelapan masehi. Hasil studi statistik
salah seorang peneliti menunjukkan bahwa sepertiga dari riwayat-riwayat
al-Zuhrī berisi penalaran rasio, sementara sepertiga terakhir hanya
mengandung pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para pendahulu.
Hasil studi statistik itu juga menunjukkan bahwa Qatādah berpegang pada
rasio sebanyak 62% dalam riwayat-riwayatnya yang sangat menunjukkan
bahwa 84% dari bagian yang tersisa atau 32% dari keseluruhan riwayat
berisi penalaran rasio para pendahulu.
Selain pendapat Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Motzki tentang
persoalan evolusi historisitas hadis di atas, Muḥammad Musṭafā al-A’ẓami
menyebut pendapat sebagian orientalis bahwa hadis-hadis Nabi ada dengan
bentuk sederhana pada akhir abad pertama hijriah dan kemudian
berkembang, sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ia muncul pada
abad kedua hijriah dan menjadi sempurna pada abad ketiga hijriah.
Sayangnya, al-A’ẓami tidak menyebut nama mereka sehingga tidak bisa
dilacak dan dieksplorasi lebih jauh.

D. Problem Validitas Hadis


Bila teori sistem isnād sangat erat kaitannya dengan evolusi
historisitas hadis, maka dua hal itu juga sangat memengaruhi problem
validitas hadis. Sebab sistem isnād adalah sistem untuk mengukur tingkat
akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai valid atau tidak.
Dengan kata lain, validitas hadis sangat bergantung pada penilaian terhadap
akurasi penerapan sistem isnād.
Sementara itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat
membantu pelacakan otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata
lain, apakah keadaan sebuah hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan
historis atau tidak. Oleh sebab itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu
dari tiga hal tersebut sangat memengaruhi hasil kajian yang lain.
Contoh terbaik untuk tesis tersebut adalah dua argumentasi dari
empat argumentasi Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis Nabi saw.
Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya
dan memakai istilah-istilah isnād yang lebih mengimplikasikan periwayatan
lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, perkembangan hadis secara
massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat
dalam koleksi hadis yang lebih awal. Dua argumentasi itu sangat berkaitan
dengan tiga aspek sekaligus.
Argumentasi pertama mengandung tiga kemungkinan yang saling
berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isnād yang menurutnya
menggunakan istilah-istilah periwayatan dengan lisan, bukan periwayatan
tertulis. Secara tidak langsung, ia berpendapat bahwa periwayatan tertulis
lebih kuat daripada periwayatan lisan. Kedua, aspek historisitas hadis yang
menurutnya koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber
tertulisnya. Sumber tertulis merupakan sumber historis yang cukup
memadai untuk dipercaya sebagai salah satu dokumen yang bernilai tinggi.
Ketiga, aspek validitas hadis yang bisa ditangkap secara tersirat bahwa ketika
sebuah hadis tidak memiliki sumber tertulis atau direkam sejarah serta lebih
banyak dilakukan secara lisan, maka validitas hadis itu sangat diragukan.
Argumentasi kedua juga mengandung tiga hal yang saling berkaitan
satu sama lain. Pertama, aspek isnād yang dapat ditangkap secara tersirat
bahwa ada semacam keterputusan dan pelebaran sanad antara koleksi hadis
yang lebih awal dengan koleksi hadis belakangan. Dua hal itu menyebabkan
perbedaan jumlah koleksi hadis yang seharusnya sama antar generasi.
Kedua, aspek historisitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa
sejarah pembukuan hadis tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan
membengkak. Ini terbukti dengan adanya perluasan materi atau koleksi
hadis yang semakin hari semakin banyak. Ketiga, aspek validitas hadis yang
dapat ditangkap secara tersirat bahwa pembengkakan jumlah hadis dari
generasi ke generasi menimbulkan asumsi bahwa hadis tersebut bukan
berasal dari Nabi saw., tetapi berasal dari generasi-generasi setelahnya.
Menurut Muḥammad ‘Abd al-Razzāq Aswad dalam disertasinya Al-
Ittijāhāt al-Mu’āṣirah fī Dirāsah al-Sunnah al-Nabawiyyah fī Miṣr wa Bilād al-
Syām, Goldziher termasuk dalam lingkaran orientalis seperti Caetani, Guston
White, dan Wensinck yang berpendapat bahwa para sarjana hadis Muslim
hanya mengkritik sanad hadis, tidak mengkritik matan-nya.
Menurut Goldziher, sebagaimana diringkas oleh Muḥammad Ḥamzah,
umat Islam hanya fokus pada kritik sanad tanpa kritik matan. Itu berasal dari
peran dari kesaksian atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat
kesahihan hadis ditentukan oleh derajat keadilan para periwayatnya.
Meskipun dengan metode ini umat Islam berhasil mengetahui banyak hal dan
memisahkan banyak hadis yang silsilah isnād-nya terdiri dari para periwayat
mudallis, tetapi itu tidak cukup guna mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab
para pemalsu dan para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan
merangkai sanad-sanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka
edarkan. Pada saat yang sama, para mudallis mendasarkan periwayatan
hadis-hadis aneh mereka pada para periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad
imajinatif banyak memengaruhi para audiens yang cenderung mempercayai
apa yang diriwayatkan dari mereka.
Selanjutnya, ia menarik kesimpulan bahwa langkah-langkah yang
diterapkan dalam penyelidikan dan penyaringan isnād-isnād kurang
memadai dan gagal menyaring hadis-hadis dari penambahan-penambahan
yang tampak dengan jelas, karena kritik hadis dalam pandangan umat Islam
sejak awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek
kritiknya hanya pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat
pada kritik silsilah isnād. Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik
aspek eksternal, maka matan-nya juga akan sahih meskipun bertentangan
dengan realita atau berisi hal-hal kontradiktif.
Bila Goldziher hanya meragukan validitas hadis, maka Schacht
melangkah lebih jauh lagi darinya. Orientalis yang mengklaim dirinya sebagai
penerus Goldziher ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang
sahih, terutama hadis-hadis fikih. Ia melampaui Goldziher dengan mengganti
sikap skeptisnya menjadi sikap penuh keyakinan dalam menolak kesahihan
hadis.
Dalam meragukan dan menolak validitas hadis, sebagai sarjana
dengan reputasi baik tentu saja mereka menggunakan perangkat keilmuan
dengan usaha bertahun-tahun sehingga sampai pada kesimpulan tersebut.
Sebagai orientalis kenamaan, Goldziher meneliti beragam disiplin keilmuan
Islam, termasuk hadis. Begitu juga Schacht melalui kajian mendalam
terhadap al-Muwaṭṭa’ karya Mālik ibn Anas dan al-Risālah karya Muḥammad
ibn Idrīs al-Syāfi’ī. Usaha mereka berdua kemudian dilanjutkan oleh
orientalis-orientalis lain, seperti G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, baik itu
berupa kritik, pengembangan dari penemuan sebelumnya, bahkan
penemuan-penemuan baru.
Juynboll, misalnya, berusaha sunguh-sungguh mengembangkan teori
common link gagasan Schacht dalam meneliti otentisitas dan validitas hadis.
Menurut Ali Masrur, ia menggunakannya untuk menyelidiki asal-usul dan
sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini
berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang
bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang
meninggalkannya, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur
periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Ia menawarkan teori ini sebagai ganti dari metode kritik hadis
konvensional. Jika metode kritik hadis konvensional berpijak pada kualitas
periwayat, maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas
periwayat saja, tetapi juga kuwantitasnya. Menurutnya, kritik hadis
konvensional memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dan tidak
mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadis.
Sementara itu, menurut Ali Masrur, dalam upayanya memperbaiki
metode analisis isnād Juyboll, Motzki mengajukan suatu metode yang disebut
dengan metode analasis isnād-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk
menelusuri sejarah periwayatan hadis dengan cara membandingkan varian-
varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Tentu
saja metode ini tidak hanya menggunakan isnād, tetapi juga matan hadis.
Dalam mengamati varian-varian hadis yang dilengkapi dengan isnād, metode
ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagian varian dari sebuah hadis,
setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses periwayatan
dan juga bahwa isnād dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya
sebagiannya, merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.
Data-data di atas menunjukkan adanya jaringan intelektual yang kuat
antara Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Harald Motzki, terutama pengaruh
pemikiran-pemikiran hadis Goldziher terhadap Schacht dan Joynboll. Ini
terbukti salah satunya dengan keterkaitan ide dan kajian mereka di samping
pengakuan mereka sendiri. Bahkan menurut Fuat Sezgin, sebagaimana
dinukil oleh Nūr al-Dīn ‘Itr, para peneliti menganggap pencapaian-
pencapaian Goldziher dalam hal ini secara umum bersifat pasti. Oleh karena
itu, dalam proses penelitian terhadap perkara-perkara utama dan rincian-
rinciannya mereka mencukupkan diri pada pencapaian-pencapaian
Goldziher.
Lebih dari itu, dalam mengkaji seluk-beluk hadis, para orientalis
memiliki istilah-istilah teknis tertentu yang sama atau berbeda sama sekali
dengan istilah-istilah teknis kreasi para sarjana Muslim, seperti kritik
internal, kritik eksternal, common link, common link cum partial common link,
real common link, seeming (artificial) common link, inverted common link,
inverted partial common link, partial common link, diving strand, single strand,
argument e silentio, fabricator, source critical method, spider, geometric
progression, isnād-cum-matn, dan terminus ante quem. []

Anda mungkin juga menyukai