Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

“KORTIKOSTEROID UNTUK ASMA”


KELAS B

Disusun oleh: Kelompok 8 Kelas B

Pinkan Armelia - 2019000064

Pramudita Ika Yulianti - 2019000065

Pratami Desya Junaedi - 2019000066

Priscilla Margareth Immanuela - 2019000067

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan menjadi
masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat juga bersifat menetap
dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Asma telah
menyebabkan gangguan kesehatan pada 300 juta penduduk di seluruh
dunia dan diperkirakan akan terdapat 100 juta orang lagi yang menderita
asma pada tahun 2025 (1). Pasien asma memiliki pola inflamasi saluran
napas yang khas, ditandai oleh sel mast bergranulasi, infiltrasi eosinofil
dan peningkatan jumlah sel T helper 2 yang teraktivasi. Pola inflamasi
khas inilah yang mendasari gambaran klinis pasien asma termasuk mengi
intermiten, sesak napas, batuk dan rasa berat di dada. Peningkatan
berbagai mediator inflamasi di antaranya mediator lipid, sitokin atau
kemokin dan growth factor yang berasal dari struktur sel saluran napas
antara lain sel otot polos saluran napas, sel epitel, sel endotel dan fibroblas
ditemukan pada pasien asma. Sel epitel diduga berperan penting karena
mengalami aktivasi oleh sinyal lingkungan dan melepaskan berbagai
protein inflamasi yang diatur oleh meningkatnya transkripsi gen yang
dikendalikan oleh faktor transkripsi proinflamasi misalnya nuclear factor-
kB (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1) yang teraktivasi pada saluran
napas pasien asma (2).
Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Kortikosteroid bekerja dengan menekan proses
inflamasi dan mencegah timbulnya berbagai gejala pada pasien asma.
Penggunaan kortikosteroid inhalasi dilaporkan menghasilkan perbaikan
faal paru, menurunkan hiperesponsif saluran napas, mengurangi gejala,
frekuensi dan berat serangan serta memperbaiki kualitas hidup pasien
asma. Pasien asma pada umumnya memberikan respons yang baik
terhadap pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tetapi pada pasien
dengan derajat asma yang berat, diperlukan dosis lebih tinggi (1).
Kortikosteroid inhalasi yang digunakan meliputi beklometason
diproprionat, budesonid, siklesonid, flunisonid, flutikason proprionat,
mometason furoat dan triamsinolon asetat (3).
Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping yang berat seperti: osteoporosis, hipertensi,
diabetes alkalosis, hipokalemi, penurunan kekebalan, gastritis, gangguan
pertumbuhan, katarak, moon face dan kegemukan (1). Sebagian efek
samping ini tergantung dosis dan dapat dikurangi dengan penggunaan
spacer atau mencuci mulut setelah penggunaan (4).
Mengingat peran kortikosteroid penting sebagai pengobatan asma, maka
diperlukan kemampuan apoteker untuk memahami penggunaan
kortikosteroid, penyesuaian dosis kortikosteroid, kombinasi kortikosteroid
dan bagaimana mencegah efek rebound pada penggunaan kortikosteroid.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah mekanisme kortikosteroid pada pengobatan asma?
2. Bagaimana penyesuaian dosis kortikosteroid untuk pengobatan asma?
3. Kapankah digunakan kortikosteroid tunggal atau kombinasi?
4. Bagaimana cara mencegah efek rebound pada penggunaan
kortikosteroid?
5. Bagaimana cara mencegah efek samping kortikosteroid inhalasi?

C. MANFAAT
Sebagai sumber edukasi untuk pembaca mengenai penggunaan
kortikosteroid yang tepat pada penderita asma.
D. TUJUAN
1. Mengetahui mekanisme kortikosteroid pada pengobatan asma.
2. Mengetahui penyesuaian dosis kortikosteroid untuk asma.
3. Mengetahui penggunaan kortikosteroid tunggal dan kombinasi.
4. Mengetahui cara mencegah efek rebound penggunaan kortikosteroid
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ASMA
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau
dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan (5).
1. Definisi Asma
Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari Bahasa
yunani yang berarti “sukar bernafas”. Penyakit asma dikenal Karena
adanya gejala sesak napas, batuk yang disebabkan oleh penyempitan
saluran napas. Asma juga disebut sebagai penyakit paru-paru kronis
yang menyebabkan penderita sulit bernapas. Hal ini disebabkan karena
pengencangan dari otot sekitar saluran napas, peradangan, rasa nyeri,
pembengkakan dan iritasi pada saluran napas di paru-paru.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa
gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (5).
Menurut National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP) pada National Institute of Health (NIH) Amerika, asma
(dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebagai penyakit
radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya :
a. Penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik),
baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
b. Peradangan pada jalan nafas
c. Peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan
(hiperesponsesitivitas) (6).
Pada seseorang yang menderita asma terkena factor pemicunya,
maka dinding saluran nafasnya akan menyempit dan membengkak
menyebabkan sesak nafas. Kadang dinding saluran nafas dilumuri
oleh lender yang lengket sehingga dapat menyebabkan sesak napas
yang lebih parah. Jika tidak ditangani dengan baik maka asma dapat
menyebabkan kematian (5).

2. Epidemiologi
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari
10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronchitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronchitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia
atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi
paru 2/1000 (7).

3. Patofisiologi dan Mekanisme terjadinya Asma (5)


Gejala asma yaitu batuk, sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan
hipereaktivitas bronkus.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung.
Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan
beratnya hipereaktivitas bronkus yang ada pada seorang pasien.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini,
antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,
inhalasi antigen maupun iinhalasi zat nonspesifik.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor
antara lain allergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon
inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini dan reaksi asma
lambat. Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat
terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada
keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan se-kitarnya, berupa
infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinophil dan monosit dalam
jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus. Kemudian terjadi
penyempitan saluran napas pada asma yang terjadi karena lepasnya
mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa
bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membrane basal. Inhalasi
allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeable dan memudahkan allergen masuk ke dalam sub
mukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Untuk menjadi pasien asma, terdapat 2 faktor yang berperan yaitu
factor genetic dan factor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi
sebelum pasien menjadi asma:
a. Sensitisasi, yaitu seorang dengan risiko genetic dan lingkungan
apabila terpapar dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan
timbul sensitisasi pada dirinya.
b. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu
menjadi asma. Apabila sesorang yang telah mengalami sensitisasi
terpapar dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi
pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama
atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.
c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpapar oleh
pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).

Faktor-faktor pemicu antara lain : Alergen dalam ruangan; tungau


debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), allergen kecoak,
jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu; rinovirus, ozon,
pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus; semua factor pemicu dan
pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamine dan
metakolin.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai
berikut:

4. Faktor Risiko Asma


Secara umum faktor resiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok
faktor genetik dan faktor lingkungan.
a. Faktor genetik
1) Hipereaktivitas
2) Atopi/alergi bronkus
3) Faktor yang memodifikasi penyakit genetic
4) Jenis kelamin
5) Ras/etnik
b. Faktor lingkungan
1) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur)
2) Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
3) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang, makanan laut, susu sapi, telur)
4) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta
bloker, dll)
5) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray,
dll)
6) Ekspresi emosi berlebih
7) Asap rokok
8) Polusi udara
9) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
10) Perubahan cuaca.

5. Diagnosis (5).
Mengi (wheezing)dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Secara umum untuk menetapkan
diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara
lain:
a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam
menjelang dini hari?
b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau
batuk setelah terpapar allergen atau polutan?
c. Apakah ada mengi atau rasa berat didada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olah raga?
d. Apakah gejala-gejala tersebut diatas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
e. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
f. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rhinitis, dermatitis atopi,
konjuktivitas alergi)?
g. Apakah dalam keluarga ada yang menderita asma atau alergi?
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat terlihat dari keadaan pasien yang terlihat
gelisah, sesak (napas cuping dan napas cepat), dan sianosis.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
1) Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
2) Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate
meter
3) Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
4) Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya
hipereaktivitas bronkus
5) Uji alergi (tes tusuk kulit)
6) Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit selain asma

6. Klasifikasi Asma (5)


Derajat asma Gejala Gejala malam
Intermiten Bulanan
- Gejala <1x/minggu ≤ 2 kali
- Tanpa gejala diluar sebulan
serangan
- Serangan singkat.
Persisten ringan Mingguan
- Gejala>1x/minggu >2 kali
tetapi<1x/hari sebulan
- Serangan dapat
mengganggu aktifiti dan
tidur.
Persisten sedang Harian
- Gejala setiap hari >2 kali
- Seranfan mengganggu sebulan
aktifiti dan tidur
- Membutuhkan
bronkodilator setiap hari
Persisten berat Kontinyu
- Gejala terus menerus Sering
- Sering kambuh
- Aktifiti fisik terbatas

7. Tata Laksana (5)


a. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
1) Bronkodilator (beta 2 agonis kerja cepat dan ipratropium
bromide)
2) Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta 2 agonis
kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila
tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa
dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat
sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan
dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan sedang diberikan
beta2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromide inhalasi, aminofilin IV (bolus
atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromide
inhalasi maupun aminofilin IV. Pada serangan asma berat pasien
dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, beta2 agonis kerja cepat
ipratropium bromide inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atu drip). Apabila beta2 agonis kerja cepat tidak tersedia
dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma
yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke RS.
b. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol
asma dan mencegah serangan.
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat
pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat
pengontrol ditujukan untuk pencegaham serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk
mengkontrol asma digunakan antiinflamasi (kortikosteroid
inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum
diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai
tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
1) Inhalasi kortikosteroid
2) Beta2 agonis kerja panjang
3) Antileukotrien
4) Teofilin lepas lambat

8. Terapi Farmakologi dan Non-Farmakologi


a. Terapi farmakologi (5)
1) Simpatomimetik
- Mekanisme kerja :
 Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan
peningkatan tekanan darah
 Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi
peningkatan kontraktilitas irama jantung
 Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi,
peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan
menstimulasi otot skelet
- Indikasi
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan
fumoterol) digunakan, bersamaan dengan obat antiiflamasi,
untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul
pada malam hari, obat golongan ini juga dipergunakan
untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol,
pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk
menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang
diinduksi oleh latihan fisik.
- Dosis dan Cara penggunaan
Nama Obat Bentuk sediaan Dosis
Aerosol 2 inhalasi tiap 4-6 jam
Tablet Dosis awal 2-4 mg, 3-4x
sehari (dosis jangan
melebihi 32 mg sehari)
Albuterol
Tablet lepas 8 mg setiap 12 jam
lambat
Sirup Dosis umum 2 atau 4mg, 3-
4x sehari
Cairan untuk 2 inhalasi dengan interval
Bitolterol
inhalasi 0,2% 1-3 menit
Tablet 12,5-25 mg setiap 4 jam,
jangan melebihi 150 mg
Efedrin dalam 24 jam
sulfat Injeksi 25-50 mg secara subkutan
Kapsul 0,5-0,75 mg/kg setiap 4-6
jam
Aerosol Mulai dengan 1 inhalasi
kemudian tunggu sampai 1
Epinefrin menti, jika perlu gunakan 1
kali lagi.
Injeksi Dosis awal 0,2 sampai 1mL
(1:1000) (0,2 sampai 1) mg subkutan
atau IM, ulangi setiap 4 jam
Aerosol 12 mcg setiap 12 jam
dengan menggunakan
Formoterol
Aerolizer inhaler
Sirup 10 mf (20 mg) 3-4x sehari
Aerosol 2 inhalasi (0,4 mg) diulangi
Pirbuterol setiap 4-6 jam. Dosis
jangan melebihi 12 inhalasi
Salmeterol Aerosol 50 mcg 2x sehari
Tablet 5 mg 3x sehari (dewasa) 2,5
mg, 3x sehari (anak 12-15
Terbulatin
th)
Injeksi 0,25 mg secara subkutan
2) Xantin
- Mekanisme kerja :
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan
turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos
bronki dan pembuluh dara pulomonal, merangsang SSP,
menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan
menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan
stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat
pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan
demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran
pernapasan kronik.
- Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial
dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkitis
kronik dan emfisema.
- Dosis dan cara penggunaan
Nama Obat Dosis

Aminofilin Dosis awal : 6,3 mg/kg2


Dosis pemeliharaan : 0,5 mg/kg/jam
Teofilin Dosis awal : 5 mg/kg BB
Dosis pemeliharaan : 3 mg/kg setiap 6
jam
Teofilin Dosis harian maksimum
13 mg/kg/hari
3) Antikolinergik
a) Ipratropium Bromida
- Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal
dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin.
Bronkodilatasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat
tertentu dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida
(semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar
serosa dan seromukus mukosa hidung.
- Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan
bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai
bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai
bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru-paru osbtruktif kronik,
termasuk bronkitis kronik dan emfisema.
- Dosis dan cara penggunaan
Aerosol : 2 inhalasi (36 mcg) 4x sehari. Pasien tidak
boleh melebihi 12 inhalasi dalam sehari.
Larutan : Dosis yang umum adalah 500 mcg, 3-4x
sehari dengan menggunakan nebulizer oral,
dengan interval pemberian 6-8 jam.
b) Kromolin natrium
- Mekanisme kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak
mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator,
antikolinergik, vasokontrikstor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat ini menghambat pelepasan
mediator, histamin dan SRS-A dari sel mast. Kromolin
bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
- Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan, aerosol) : sebagai
pengobatan profilaksis pada asma bronkial. Kromolin
diberikan teratur, harian pada pasien dengan gejala
berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler.
- Dosis dan Cara penggunaan
Aerosol : 2 inhalasi, 4x sehari pada interval yang teratur.
Oral : 2 ampul, 4x sehari.
c) Kortikosteroid
- Mekanisme kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid
sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan
glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan
jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan
meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan
memproduksi AMP siklik, inhibiisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksi otot polos secara
langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek
lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.
- Indikasi
Terapi pemeliharan dan propilaksis asma, termasuk
pasien yang memerlukan kortikosteroid sistemik, pasien
yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis
sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis
pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak
diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi
dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien
yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid
sistemik atau terapi bronkitis non asma.
- Dosis dan Cara penggunaan
Nama obat Bentuk Sediaan Dosis
Deksametason Tablet 0,75 – 9 mg, 2-4x
sehari.
Metilprednisolon Tablet 2-60 mg, 4x sehari.
Prednison Tablet 5 – 60 mg, 2-4x
sehari
Triamsinilon Aerosol oral 2 inhalasi (kira-kira
200 mcg), 3-4
sehari atau 4
inhalasi (400 mcg)
Beklometason Aerosol oral 40–160 mcg sehari
Budesonid Serbuk dan 2-400 mcg sehari
supsensi untuk
inhalasi
Flutikason Aerosol 66 mcg
Fiunisoid Aerosol 2 inhalasi (500
mcg)
4) Antagonis Reseptor Leuktrien
a) Zafirlukast
- Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan
E4 yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis
reaksi lambat (SRSA- slow reacting susbtances of
anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan,
konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular
yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
- Indikasi
Profilaksi dan perawatan asma kronik pada dewasa dan
anak di atas 5 tahun.
- Dosis dan cara penggunaan
Dewasa dan anak > 12 tahun : 20mg, 2x sehari
Anak 5-11 tahun : 10 mg, 2x sehari
b) Montelukast Sodium
- Mekanisme kerja
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien
selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang
mengambat reseptor leuktrien sisteinil. Leukotrien adalah
produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari
sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan,
konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang
berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan
tanda dan gejala asma.
- Indikasi
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak
>12 bulan
- Dosis dan cara penggunaan
Tablet : 10 mg setiap hari pada malam hari
Tablet kunyah : 5 mg setiap hari, pada malam hari
Granul : 1 paket 4 mg granul setiap hari, pada malam hari.

b. Terapi non-farmakologi (8)


1) Pemberian edukasi pada pasien
2) Pemberian oksigen
3) Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada
anak-anak
4) Kontrol secara teratur
5) Pola hidup sehat (penghentian merokok, menghindari
kegemukan, kegiatan fisik misalnya senam asma).

B. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas
glukokortikoid dan mineralkortikoid sehingga memperlihatkan efek yang
sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat,
protein dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek
terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Namun, secara
umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme
karbohidrat dan efek antiinflamasi (9).
1. Kortikosteroid Untuk Asma
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan
banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan
baik yang bekerja secara topikal maupun sistemik. Kortikosteroid
mengurangi jumlah sel inflamasi di saluran napas, termasuk eosinofil,
limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan
menghambat penarikan sel inflamasi ke saluran napas. Oleh karena itu,
kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, sehingga
berdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran
vaskular, penurunan produksi mukus dan peningkatan respon β-
adrenergik (9).
Kortikosteroid digunakan untuk manajemen penyakit saluran napas
yang reversible dan tidak irreversible. Penggunaan kortikosteroid
inhalasi selama 3-4 minggu dapat membantu membedakan penyakit
asma dari penyakit paru obstruktif kronik; perbaikan yang jelas dalam
3-4 minggu menunjukkan asma. Jika kortikosteroid inhalasi
menyebabkan batuk, pemakaian agonis beta-2 sebelumnya dapat
membantu (9).
Pada asma kronik, kortikosteroid inhalasi digunakan dalam dosis
yang rendah untuk menangani asma yang ringan dan sedang dan
dengan dosis yang lebih tinggi untuk asma yang lebih berat. Pemberian
kortikosteroid inhalasi jangka panjang selalu lebih baik daripada
pemberian secara oral maupun parenteral (9).
Pada asma akut, pemberian dini kortikosteroid oral dapat
mencegah terjadinya progesifitas dari eksaserbasi dan menurunkan
kebutuhan akan opname; serta menurunkan morbiditas (kesakitan).
Pemberian kortikosteroid oral untuk jangka lama harus diperhatikan
tentang kemungkinan timbulnya efek samping. Pemakaian
kortikosteroid jangka panjang secara oral lebih baik daripada
parenteral (9).
Obat kortikosteroid sistemik diberikan bila obat inhalasi masih
kurang efektif dalam mengontrol asma serta saat terjadi serangan asma
yang berat. Pemberian kortikosteroid selama 5-7 hari dapat digunakan
sebagai terapi maksimal untuk mengontrol gejala asma (9).

2. Mekanisme Kerja Kortikosteroid untuk asma


Kortikosteroid merupakan steroid adrenokortikal steroid sinsetik
dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang
terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan
memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau
merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhales akan
menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal (8).

3. Perhatian
Kortikosteroid inhalasi digunakan dengan hati-hati pada tuberkulosis
aktif maupun tidak aktif; terapi sistemik mungkin diperlukan selama
periode stres atau jika obstruksi jalan napas atau mukus menghambat
masuknya obat ke saluran napas yang kecil. Kemungkinan terjadinya
bronkospasme paradoksikal (hentikan terapi dan gunakan terapi
alternatif) harus diingat bronkospasme ringan dapat dicegah dengan
inhalasi agonis adrenoreseptor beta 2 kerja pendek (atau dengan
pindah dari inhalasi aerosol ke inhalasi serbuk) (10).

4. Efek Samping
Efek samping lokal berupa iritasi tenggorokan, suara serak, batuk,
mulut kering, ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah dan sindrom
flu. Efek samping sistemik depresi fungsi Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal (HPA). Terjadinya kematian yang disebakan oleh insufisiensi
adrenal dan setelah terjadinya peralihan dari kortikosteroid sistemik ke
aerosol (8).
BAB III
PEMBAHASAN

A. PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID TUNGGAL


1. Inhalasi
a. Budesonid
1) Indikasi : Asma bronkial (10)
2) Peringatan : Tuberkulosis aktif atau diam; mungkin perlu
mengembalikan terapi sistemik selama periode stres atau jika
jalan udara tuberkulosis, infeksi jamur dan virus pada saluran
pernafasan, penurunan fungsi hati, penurunan pertumbuhan tinggi
badan yang bersifat sementara, kehamilan, timbulnya gejala
rinitis, eksim, nyeri otot dan sendi karena penggantian terapi dari
steroid oral.(10)
3) Efek samping : efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih,
seperti nyeri, sakit punggung, infeksi saluran pernapasan atas,
sinusitis, faringitis, batuk, konjungtivitis, sakit kepala, rhinitis,
epistaksis, otitis media, infeksi telinga, infeksi virus, gejala flu,
perubahan suara.(10)
4) Dosis:
 Anak-anak :
Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma dengan
bronkodilator saja : 200 mcg dua kali sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma dengan kortikosteroid
inhalasi: 200 mcg sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan kortikosteroid oral , dosis maksimum 400
mcg dua kali sehari (8)
Dosis harian (11)
Dosis rendah : (DPI) : 100-200 mcg (Nebula) : 250-500
mcg
Dosis medium : (DPI) : 200-400 mcg (Nebula) : 500-1000
mcg
Dosis tinggi : (DPI) : >400 mcg (Nebula) : >1000 mcg
 Dewasa :
Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma dengan
bronkodilator saja : 200 mcg dua kali sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma dengan kortikosteroid
inhalasi: 200 mcg sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan kortikosteroid oral , dosis maksimum 400
mcg dua kali sehari (8)
Dosis harian (11)
Dosis rendah : (DPI) : 200-400 mcg mcg
Dosis medium : (DPI) : 400-800 mcg mcg
Dosis tinggi : (DPI) : >800 mcg
5) Interaksi: Penurunan efektivitas budesonide, jika digunakan
dengan carbamazepine ; Meningkatnya potensi kemunculan efek
samping dari budesonide, jika digunakan dengan ketoconazole ;
Simetidin: menghambat metabolisme budesonid (10)
6) Sediaan di pasaran (10): Budenofalk, Pulmicort, Pulmicort
Respules dan Symbicort.

b. Beklametason Dipropionat
1) Indikasi : profilaksis asma, terutama jika tidak sepenuhnya
teratasi oleh bronkodilator atau kromoglikat. (10)
2) Peringatan: Harap berhati-hati dalam menggunakan budesonide
jika mengalami penyakit mata (katarak atau glaukoma), diabetes,
penyakit hati, tekanan darah tinggi, gangguan hormon tiroid,
gangguan saluran pencernaan, osteoporosis, riwayat infeksi
(tuberkulosis, herpes, atau infeksi jamur), perdarahan, myasthenia
gravis, serta gangguan mental (depresi, kecemasan, atau psikosis).
(10)
3) Efek samping :suara serak dan kandidiasis di mulut atau
tenggorokan (biasanya hanya pada dosis tinggi); ruam
(jarang).(10)
4) Dosis :
 Anak-anak :
50-100 mcg 2-4 kali sehari atau 100-200 mcg 2 kali sehari (10).
Dosis harian (11)
Dosis rendah : (MDI) : 84-336 mcg
Dosis medium : (MDI) : 336-672 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >672 mcg
 Dewasa :
Aerosol inhalasi: 200 mcg 2 kali sehari atau 100 mcg 3-9 kali
sehari (pada kondisi lebih berat dosis awal 600-800 mcg per
hari).(10)
Dosis harian (11)
Dosis rendah : (MDI) : 168-504 mcg
Dosis medium : (MDI) : 504-840 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >840 mcg
5) Interaksi : Penurunan efektivitas budesonide, jika digunakan
dengan karbamazepin, meningkatnya potensi kemunculan efek
samping dari budesonide, jika digunakan dengan ketoconazole
(10).
6) Sediaan di pasaran: Budenofalk, Budesonide, Obucort
Swinghaler, Pulmicort, Rhinocort Aqua, Sonid, Symbicort (10).

c. Flutikason Propionat
1) Indikasi: Profilaksis dan terapi asma (10).
2) Peringatan: Anak, kehamilan, pengobatan terdahulu dengan
kortikosteroid per oral, pemberian dengan ritonavir, infeksi lokal
pada saluran napas, penghentian pengobatan sistemik dan mulai
pengobatan intranasal, pemberian dosis besar dalam jangka
panjang, pneumonia (10).
3) Efek samping: Sangat umum: epistaksis, kandidiasis mulut dan
kerongkongan. Umum: sakit kepala, rasa tidak enak, bau tidak
enak, hidung kering, iritasi hidung, tenggorokan kering, iritasi
tenggorokan, pneumonia, suara serak, luka memar. Tidak umum:
reaksi hipersensitif kutan. Sangat jarang: reaksi hipersensitivitas,
reaksi anafilaksis, bronkospasme, ruam kulit, udem pada wajah
atau lidah, glaukoma, peningkatan tekanan intraokular, katarak,
perforasi dinding hidung, sesak napas, anafilaktik, sindroma
Cushing, keterlambatan pertumbuhan, penurunan densitas mineral
tulang, hiperglikemia, gelisah, gangguan tidur dan perubahan
sikap termasuk hiperaktivitas dan iritabilitas (10).
4) Dosis :
Dewasa dan anak di atas 16 tahun, 100 – 1000 mcg 2 kali sehari,
dosis awal asma ringan 100 – 250 mcg 2 kali sehari, asma sedang
250 – 500 mcg 2 kali sehari, asma berat 500 – 1000 mcg 2 kali
sehari. Anak di atas 4 tahun, 50 – 100 mcg 2 kali sehari. Anak 1-4
tahun, 100 mcg 2 kali sehari (10)
Dosis harian (11)
 Anak-anak :
Dosis rendah : (MDI) : 88-176 mcg
Dosis medium : (MDI) : 176-440 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >440 mcg
 Dewasa :
Dosis rendah : (MDI) : 88-264 mcg
Dosis medium : (MDI) : 264-660 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >660 mcg
5) Interaksi: Ritonavir: penggunaan bersama flutikason intranasal
harus dihindari karena menimbulkan efek sistemik kortikosteroid
seperti sindroma Cushing dan menekan fungsi ginjal.
Ketokonazol: meningkatkan paparan sistemik terhadap flutikason
propionat (10)
6) Sediaan di pasaran: Avamys, Flixonase Aqueous Nasal Spray,
Medicort dan Seretide Inhaler (10)

d. Mometason Furoat Monohidrat


1) Indikasi : Profilaksis dan terapi asma (10).
2) Peringatan: Infeksi mukosa hidung, pembedahan hidung, trauma
karena menggunakan kortikosteroid nasal aktif, tuberkulosis,
infeksi jamur dan bakteri yang tidak dirawat, infeksi viral
sistemik, herpes simplek okular, hamil dan menyusui (10).
3) Efek samping: Epistaksis (frank bleeding, blood tinged mucus,
blood fleck), faringitis, rasa seperti terbakar pada hidung, sakit
kepala, kurang umum palpitasi (10).
4) Dosis: Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma dengan
bronkodilator saja : 220mcg dua kali sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi
: 220 mcg sehari. Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
dengan kortikosteroid oral, dosis maksimum 440 mcg dua kali
sehari. (8)
Dosis harian (11)
 Dewasa :
Dosis rendah : (MDI) : 200-400 mcg
Dosis medium : (MDI) : 400-800 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >800 mcg
5) Interaksi :Mometasone furoate dapat menimbulkan reaksi jika
digunakan bersamaan dengan ketoconazole. Ketoconazole dapat
meningkatkan risiko terjadinya efek samping mometasone furoate
(10).
6) Sediaan di pasaran :Nasonex (10)
2. Oral
a) Prednisolon
1) Indikasi : Supresi inflamasi dan gangguan alergi; Asma
Bronkhial (10).
2) Peringatan : Supresi adrenal dan infeksi; anak dan remaja
(gangguan pertumbuhan kemungkinan tidak reversible); lanjut
usia (memerlukan supervise ketat terutama pengobatan jangaka
panjang); diperlukan pengawasan terus menerus jika ada sejarah
tuberkulosis (atau perubahan X-ray), hipertensi, infark miokard
(dilaporkan rupture), gagal jantung kongestif, gagal hati),
gangguan ginjal, diabetes melitus termasuk riwayat keluarga,
osteoporosis (wanita pascamenopouse yang risiko terkena),
glaukoma (termasuk riwayat keluarga), perforasi kornea,
gangguan berat (terutama jika riwayat psikosis steroid-induced),
epilepsi, tukak lambung, hipotiroid, riwayat steroid miopati,
kehamilan dan menyusui (10).
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan), psikosis dan aggravation of
schizophrenia, aggravation of epilepsy; efek optalmik termasuk
glaukoma, papilloedema, katarak subkapsular posterior, corneal
atau scleral thinning dan eksaserbasi virus mata atau penyakit
jamur; efek samping lain termasuk gagal penyembuhan, atropi
kulit, menimbulkan luka memar, striae, telangiectais,
jerawat, rupture jantung diikuti infark jantung, gangguan cairan
dan elektrolit, leukositosis, reaksi hipersensitif (termasuk
pencegahan), tromboembilisme, mual, muntah,
cekukan.Overdosis atau penggunaan jangkan panjang dapat
menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan sehingga
menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek samping
mineralokortikoid (10).
4) Dosis:
 Anak-anak :
1– 2 mg/kg berat badan setiap hari dalam 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian (12)
Dosis rendah : 1 mg/KgBB per hari
Dosis medium : 2 mg/KgBB per hari
Dosis tinggi : 50mg/KgBB per hari
 Dewasa :1-2 mg/Kg/hari hingga 40-60 mg/hari diberikan dalam
dua dosis terbagi selama 3 hingga 10 hari (10)
Dosis harian
Dosis rendah : 2,5-15 mg/hari
Dosis medium : 10-20 mg/hari
Dosis tinggi : 60 mg/hari
5) Interaksi :dapat menghilangkan efek pemberian vaksin hidup (live
attenuated vaccine).Dapat menghilangkan efek somatropin
(growth hormone, GH).Dapat meningkatkan efek dari obat
glikosida jantung dan obat cyclophosphamide.Pembuangan
kalium dari dalam tubuh akan meningkat jika digunakan
bersamasaluretik atau laksatif. Hipokalemia juga dapat terjadi jika
prednison dikonsumsi dengan amphotericin B (13)
6) Sediaan di pasaran (14) : Prednisone; Prednison Berlico;
Remacort; Pehacort

b) Metilprednisolon
1) Indikasi : Antiinflamasi atau imunosupresi pada beberapa
penyakit; Asma bronkhial (15)
2) Peringatan : Supresi adrenal dan infeksi; anak dan remaja
(gangguan pertumbuhan kemungkinan tidak reversible); lanjut
usia (memerlukan supervise ketat terutama pengobatan jangaka
panjang); diperlukan pengawasan terus menerus jika ada sejarah
tuberkulosis (atau perubahan X-ray), hipertensi, infark miokard
(dilaporkan rupture), gagal jantung kongestif, gagal hati),
gangguan ginjal, diabetes melitus termasuk riwayat keluarga,
osteoporosis (wanita pascamenopouse yang risiko terkena),
glaukoma (termasuk riwayat keluarga), perforasi kornea,
gangguan berat (terutama jika riwayat psikosis steroid-induced),
epilepsi, tukak lambung, hipotiroid, riwayat steroid miopati,
kehamilan dan menyusui, pemberian dosis besar secara intravena
cepat dihubungkan dengan kolaps jantung (10).
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan), psikosis dan aggravation of
schizophrenia, aggravation of epilepsy; efek optalmik termasuk
glaukoma, papilloedema, katarak subkapsular posterior, corneal
atau scleral thinning dan eksaserbasi virus mata atau penyakit
jamur; efek samping lain termasuk gagal penyembuhan, atropi
kulit, menimbulkan luka memar, striae, telangiectais,
jerawat, rupture jantung diikuti infark jantung, gangguan cairan
dan elektrolit, leukositosis, reaksi hipersensitif (termasuk
pencegahan), tromboembilisme, mual, muntah, cekukan.Iritasi
perineal dapat diikuti dengan pemberian injeksi
intravena.Overdosis atau penggunaan jangkan panjang dapat
menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan sehingga
menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek samping
mineralokortikoid (10).
4) Dosis:
 Anak-anak :
0,117 – 1,60 mg/kg berat badan setiap hari dalam 4 dosis terbagi
(8)
Dosis harian
Disesuaikan dengan berat badan anak
 Dewasa
2 – 40 mg dalam 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian (10)
Dosis rendah : 2-7,5 mg/hari
Dosis medium : 10-20 mg/hari
Dosis tinggi : 40 mg/hari

5) Interaksi: Meningkatnya risiko aritmia, jika digunakan


dengan digoxin. Meningkatnya risiko gangguan pencernaan, jika
digunakan dengan aspirin atau obat antiinflamasi
nonsteroid.Meningkatnya efek samping methylprednisolone, jika
digunakan dengan antibiotik makrolid, ketoconazole,
erythromycin, rifampicin, dan barbiturat (16).
6) Sediaan di pasaran (14) : Prolon; Rhemafar; Sanexon

c) Deksametason
1) Indikasi : supresi inflamasi dan gangguan alergi; Cushing's
disease, hiperplasia adrenal kongenital; udema serebral yang
berhubungan dengan kehamilan; batuk yang disertai sesak napas
(10).
2) Peringatan : Pasien lanjut usia harus lebih hati-hati dalam
menggunakan dexamethasone karena lebih berisiko mengalami
efek samping, terutama osteoporosis. Selama menggunakan
dexamethasone, jangan mengonsumsi minuman beralkohol atau
obat pereda nyeri tanpa pengawasan dokter, karena dapat
menyebabkan perdarahan lambung. Penggunaan dexamethasone
dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumbuh kembang anak
menjadi terhambat. Periksakan anak secara berkala ke dokter anak
agar diketahui proses perkembangannya (16)
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan. Overdosis atau penggunaan jangkan
panjang dapat menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek
samping mineralokortikoid (10)
4) Dosis :
 Anak-anak :
10 – 100 mcg/kgBB per hari dalam 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian
Disesuaikan dengan berat badan anak
 Dewasa :
0,5 - 10 mg dalam 2 – 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian (10)
Dosis rendah : <0,5 mg/hari
Dosis medium : 0,5 - 9 mg/hari
Dosis tinggi : >10 mg/hari
5) Interaksi : Phenytoin, rifampicin, barbiturat, carbamazepine dan
ephedrine: menurunkan efektivitas
dexamethasone.Erythromycin, ketoconazole, dan ritonavir:
menimbulkan efek samping obat. Obat diuretik: menimbulkan
hipokalemia.Warfarin: menimbulkan perdarahan (13).
6) Sediaan di pasaran: Pycameth; Ramadexon; Scandexon (14).

d) Triamcinolon
1) Indikasi : Demam rheumatic; asma bronkial; rhinitis vasomotor;
leukemia; limfosarkoma; penyakit Hodgkin; fibrosis paru; bursitis
akut (15)
2) Peringatan : Penggunaan triamcinolone dalam jangka panjang
bisa menimbulkan gangguan pada kelenjar adrenal, pandangan
kabur, menghambat pertumbuhan anak-anak, dan menurunnya
daya tahan tubuh. Hindari berada di dekat seseorang yang sedang
mengalami infeksi, seperti cacar air atau campak. Triamcinolone
tidak boleh digunakan pada pasien yang sedang
mengalami infeksi jamur. Hindari juga melakukan vaksinasi saat
menjalani pengobatan dengan triamcinolone, karena berisiko
mengakibatkan vaksin tidak efektif. Beri tahu dokter jika sedang
atau pernah mengalami glaukoma, katarak, atau tuberkolusis.
Konsultasikan dengan dokter mengenai penggunaan obat,
vitamin, dan produk herba, selama menggunakan obat ini (18)
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan. Overdosis atau penggunaan jangkan
panjang dapat menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek
samping mineralokortikoid (10).
4) Dosis:
 Anak-anak :
Keamanan dan efektivitas obat ini belum ditetapkan pada pasien
anak-anak (kurang dari 18 tahun) (15).
 Dewasa :4-48 mg per hari sebagai dosis tunggal atau dosis
terbagi (15)
Dosis rendah : <4 mg/hari
Dosis medium : 4-48 mg/hari
Dosis tinggi : >48 mg/ hari

5) Interaksi : Meningkatkan risiko pendarahan pada sistem


pencernaan, jika dikombinasikan dengan obat antiinflamasi
nonsteroid. Meningkatkan risiko hiperkalemia, jika
dikombinasikan dengan amphotericin B, agonis beta (misalnya
salbutamol), penghambat beta (misalnya bisoprolol), dan teofilin.
Menurunkan efektivitas obat antidiabetik dalam menurunkan gula
darah. mengenai penggunaan obat, vitamin, dan produk herba,
selama menggunakan obat ini (18).
6) Sediaan di pasaran (14) : Kenacort; Triamcort; Trilac

B. PENYESUAIAN TAPERING OFF


Setelah penggunaan steroid jangka panjang, diperlukan penurunan dosis
bertahap. Penurunan dosis steroid secara bertahap dilakukan dengan
prinsip-prinsip berikut :
1. Tidak semua penggunaan steroid perlu dilakukan penurunan dosis
bertahap. Penggunaan kortikosteroid kurang dari 2 minggu tidak
diperlukan penurunan dosis bertahap. Penggunaan steroid secara
sistemik dalam jangka waktu 2 minggu hanya menyebabkan
penurunan produksi kortisol endogen secara sementara
2. Penurunan dosis steroid harus mempertimbangkan resiko
kemungkinan kembalinya penyakit. Bila terjadi kekambuhan penyakit,
dosis steroid harus dinaikan kembali
3. Penggunaan steroid selama 2-4 minggu, dilakukan 1-2 minggu
4. Penggunaan steroid lebih dari 4 minggu, dilakukan penurunan
bertahap selama 1-2 bulan.
5. Penghentian steroid dapat dilakukan dengan melihat fungsi aksis HPA
(Hipotalamus Pituitary Adrenal) dengan melakukan pemeriksaan
kortisol di pagi hari. Bila didapatkan hasil:
a. Bila kadar kortisol < 3 µg/dL, lanjutkan penggunaan steroid dosis
fisiologi selama 3 bulan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan HPA
kembali.
b. Bila kadar kortisol 3-20 µg/dL, dilakukan pemeriksaan stiulasi
hormone adrenokortikotropik (ACTH). Bila hasil pemeriksaan
normal, maka terapi dihentikan. Bila hasil pmeriksaan tidak
normal, lanjutkan penggunaan dosis steroid fisiologi selama 3
bulan dan lakukan pemeriksaan HPA kembali.
c. Bila kadar kortisol > 20 µg/dL, pemakaian steroid dapat dihentikan.
6. Penurunan dosis steroid secara bertahap tidak dibutuhkan pada pasien
yang mendapatkan steroid aternate-day (berselang-seling) atau
penggunaan dosis dibawah dosis fisiologi dalam jangka kurang dari 1
bulan.
7. Penurunan dosis secara bertahap dilakukan dengan cara menurunkan
dosis steroid yang melebihi dosis fisiologi menjadi dosis fisiologi.
Dosis steroid fisiologi setara dengan 5-7 mg prednisolon per hari atau
15-20 mg hidrokortison per hari. Disarankan dilakukan konversi
steroid menjadi hidrokortison karena waktu paruh yang lebih singkat
atau prednisolon selang sehari.
8. Tidak disarankan menghentikan steroid, terutama steroid sistemik
secara mendadak karena dapat menyebabkan rebound flare up (19).

Contoh penurunan dosis steroid deksametason secara bertahap :


1. Penggunaan deksametason > 2 mg per hari dapat diturunkan berkala
2-4 mg tiap 5-7 hari
2. Penggunaan deksametason dosis tinggi, 16 mg per hari dapat
dilakukan pengurangan dosis setengah dari dosis sebelumnya setiap 5-
7 hari
3. Penggunaan deksametason 2 mg atau kurang dapat diturunkan 0,5-1
mg setiap 5-7 hari atau pemberian selang sehari (20).
Contoh penurunan dosis steroid prednison secara bertahap :
1. Dosis prednisone dilakukan secara berkala 2,5-5 mg setiap 3-7 hari
sampai menjadi dosis fisiologi (5-7,5 mg per hari) tercapai. Penurunan
dosis dapat dilakukan lebih lambat bila dikhawatirkan terjadi relapse
2. Ganti prednisone yang sudah dalam dosis fisologi dengan 20 mg
hidrokortion, diberikan 1 kali sehari di pagi hari.
3. Dilakukan penurunan dosis hidrokortison secara bertahap 2,5 mg setiap
minggu hingga dosis terendah
4. Lakukan pemeriksaan aksis HPA dengan pemeriksaan kortisol di pagi
hari untuk menentukan penghentian obat. (21)
Sebagai kesimpulan, penurunan dosis steroid dilakukan secara spesifik
pada masing-masing pasien dengan memperhatikan tanda dan gejala klinis
yang dialami oleh pasien.
Penurunan dosis bertahap pada penggunaan steroid sangat penting. Prinsip
penggunaan steroid adalah “menggunakan obat dengan dosis yang paling
rendah dengan jangka waktu yang paling singkat”. Prinsip penggunaan
steroid yang dapat digunakan sebagai panduan adalah:
1. Gunakan steroid pada dosis terkecil yang memberikan efek klinis dan
dalam jangka waktu yang paling singkat.
2. Pada penggunaan jangka panjang, segera turunkan dosis setelah
mencapai target terapi atau terjadi efek samping.
3. Turunkan steroid sampai dosis paling kecil yang memberikan efek
klinis.
Penghentian steroid dilakukan dengan beberapa pertimbangan.
Penghentian terapi steroid dinyatakan berhasil bila dapat terjadi transisi
secara cepat dari keadaan hiperkortisolime jaringan akibat steroid eksogen
menjadi keadaan tanpa steroid eksogen tanpa terjadinya insufisiensi
adrenal, ketergantungan steroid atau timbulnya penyakit kembali.
Penurunan dosis bertahap ini disesuaikan dengan keadaan klinis pasien
dan keputusan klinis dokter. Penurunan dosis steroid secara bertahap
dilakukan baik pada penggunaan steroid sistemik ataupun lokal dan
topikal. Efek pemakaian steroid topikal dan lokal pada penurunan fungsi
aksis HPA dapat terjadi bila penggunaan dosis di atas dosis fisiologis.

C. PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID KOMBINASI


1. Formoterol/bechlametason
Formoterol/bechlametason merupakan kombinasi LABA dengan
kortikosteroid dalam bentuk inhaler (MDI) dengan dosis
formoterol/bechlametason 6/100 mcg.
2. Formoterol/budesonide
Formoterol/budesonide merupakan kombinasi LABA dengan
kortikosteroid dalam bentuk inhaler (MDI) dengan dosis
formoterol/budesonide 4,5/160 mcg, dan dalam bentuk inhaler (DPI)
dengan dosis 9/320 mcg.
3. Formoterol/mometasone
Formoterol/mometasonemerupakan kombinasi LABA dengan
kortikosteroid dalam bentuk inhaler (MDI) dengan dosis
formoterol/mometasone 10/200 mcg atau 10/400 mcg.
4. Salmeterol/fluticasone
Salmeterol/fluticasone merupakan kombinasi LABA dengan
kortikosteroid dalam bentuk inhaler (DPI) dengan dosis
formoterol/fluticasone 50/100 mcg
5. Vilanterol/fluticasone furoat
Vilanterol/fluticasone furoat merupakan kombinasi LABA dengan
kortikosteroid dalam bentuk inhaler (DPI) dengan dosis
formoterol/fluticasone 25/100 mcg. (22)

D. EFEK REBOUND PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan


dalam waktu singkat dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk
jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beragam efek samping. Ada
dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid.
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba
atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Efek samping
yang dapat timbul antara lain:
1. Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan
secara mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis
adrenal). Insufisensi adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison
disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi adrenokorteks
oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan
dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu
hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga
kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen. Pada
saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan
kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+ dan shock,
terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut berkurang. Gejala yang
timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah,
hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan
pemberian hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa
secepatnya. Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian
penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan /bertahap.
2. Habitus Cushing
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan
kondisi hiperkortisme sehingga menimbulkan gambaran habitus
Cushing. Kortikosteroid yang berlebihan akan memicu katabolisme
lemak sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh.
Gejala yang timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan
lemak supraklavikular, ekstremitas kurus, striae, acne dan hirsutism.
Moon face dan buffalo hump disebabkan redistribusi/akumulasi lemak
di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna merah muda)
muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang
disebabkan oleh akumulasi lemak subkutan (24).
3. Hiperglikemia dan glikosuria
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme
glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim
glukosa-6-pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar
glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria.
Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa,
sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced diabetes).
4. Penurunan absorpsi kalsium intesinal
Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison
menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah
signifikan. Hal ini dapat membuat keseimbangan kalsium yang negatif.
5. Keseimbangan nitrogen negatif
Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, yang digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis.
Hal ini menyebabkan tingginya kadar asam amino dalam plasma,
peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen negatif.
6. Mudah terkena infeksi
Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek
antiinflamatik. Efek antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah
satunya penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah
pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien.
Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi
peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh
karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik
sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk
mencegah infeksi.
7. Tukak peptik
Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada
pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran
cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar
sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu
makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu
terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat
berlangsung dengan gejala klinis minimal.
8. Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis)
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama
malah menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast)
dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis.
Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal
dan meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak
langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah
satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan
kompresi.
9. Miopatik
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat
menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan
kelemahan dan miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal
lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis
besar. Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera
dihentikan.
10. Psikosis
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi.
Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai
bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia,
psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa
akibat penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam beberapa
bulan setelah obat dihentikan.
11. Hiperkoagubilitas darah
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah
ditemukan terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang
memudahkan terjadinya trombosis intravaskular. Pengobatan
kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus disertai pemberian
antikoagulan sebagai terapi profilaksis.
12. Pertumbuhan terhambat
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi
somatostatin, yang menghambat growth hormone. Selain itu
kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya
terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi
tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-hormon gonad, yang
pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga
menghambat pertumbuhan.
13. Peningkatan tekanan darah
Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoidnya dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah/hipertensi. Yaitu efek retensi sodium yang
mengakibatkan retensi air dan peninggian tekanan darah. Beberapa obat
dengan efek mineralokortikoid kuat antara lain fludrokortison dan
hidrokortison.
14. Glaukoma (steroid-induced glaucoma)
Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan
baik. Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi
glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons protein
trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga
menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan
terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous
humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan
menyebabkan akumulasi.

Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian
kolesterol LDL, ginekomastia, akne, virilisasi, pembesaran prostat,
sterilitas dll. Mekanisme terjadinya beragam efek samping ini masih ada
yang belum diketahui dan sedang diteliti (3).
Dengan efek samping yang demikian, penggunaan kortikosteroid harus
benar-benar dipertimbangkan. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya
efek samping pasca pemakaian steroid adalah menggunakan steroid secara
rasional dan sesuai indikasi. Bila memungkinkan hindari penggunaan
steroid jangka panjang dengan waktu paruh yang panjang.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
1. Kortikosteroid menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang
terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan
memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau
merelaksasi otot polos secara langsung
2. Kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif data, yang berarti
meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat
untuk mengontrol asma, tetapi bahkan meningkatkan risiko efek
samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat
mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan derajat
berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol
lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut.
3. Kortikosteroid oral dapat digunakan sebagai pengontrol pada keadaan
asma persisten berat (setiap sehari atau selang sehari), tetapi
penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik.
4. Jika tidak ada perbaikan gejala menggunakan agonis beta 2 kerja
singkat saat serangan asma, maka kortikosteroid oral dibutuhkan.
5. Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma dilakukan
agar mencapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi
seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka
panjang harus melalui pemberian terapi maksimum pada awal
pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan
atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis
beta 2 kerja lama untuk segera mengontrol asma; setelah asma
terkontrol dosis diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin
dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol.
6. Cara mencegah rebound effect pada asma adalah tidak menghentikan
pemakaian kortikosteroid sistemik secara mendadak
7. Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi, seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk dapat dicegah dengan penggunaan spacer
atau mencuci mulut dan berkumur-kumur dengan air kemudian
membuang keluar setelah inhalasi.

B. SARAN
1. Sebaiknya pengobatan diberikan sesuai dengan berat asma dan
tatalaksana asma agar pengobatannya efektif dan tepat.
2. Sebaiknya dikontrol pemberian kortikosteroid pada pasien asma dan
tidak menghentikan secara mendadak penggunaannya.
3. Pemberian kortikosteroid sistemik direkomendasikan 5-7 hari agar
dapat digunakan sebagai terapi maksimal untuk mengontrol gejala
asma.
4. Penggunaan kortikosteroid inhalasi sebaiknya menggunakan spacer dan
dianjurkan untuk berkumur-kumur dengan air setelah pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Prajnaparamita,


Suryanto E, editor. Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;2004.p.1-92
2. Rozaliyani A, Agus DS, Boedi S, Faisal Y. Mekanisme Resistensi
Kortikosteroid pada Asma. J.Respir Indo Vol. 31, No. 4, Oktober 2011
h.210-221.
3. Yunus, F., 1998. Manfaat Kortikosteroid pada Asma Bronkial. Cermin
Dunia Kedokteran, 10–15.
4. Ikawati, Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, hal 43-50,
Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
5. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
6. US Department of Health and Human Services. 1989. National Asthma
Education and Prevention Program (NAEPP). New York: Departement of
Health and Human Services.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
8. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2007. Pharmaceutical
Care untuk Penyakit Asma. Jakarta: Depkes RI.
9. Astutik ED. 2009. Kajian Penggunaan Obat Golongan Kortikosteroid pada
Pasien Asma Pediatri di RSUD Pandan Arang Boyolali tahun 2008
(Skripsi). Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
10. BPOM. 2008. Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: BPOM
RI.
11. Elin Yulinah, dkk. 2013. ISO Farmakoterapi Buku 1. Jakarta: Penerbitan
ISFI
12. BNF. 2010. British National Formulary Edisi 59. London : British Medical
Association Royal Pharmaceutical of Great Britain.
13. Stockley’s Drug Interaction
14. ISO Vol. 49
15. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2019
16. University of Illinois Chicago. Healthline (2018). Methylprednisolone,
Oral Tablet
17. Dolatabadi, A., & Mahboubi, M. (2015). A Study of the Influence of
Dexamethasone on Lipid Profile and Enzyme Lactase Dehydrogenase.
Journal of Medicine and Life, 8(3), pp. 72
18. Baeck, et al. (2009). Allergic Hypersensitivity to Topical and Systemic
Corticosteroids: A Review. Allergy, 64, pp. 978-994)
19. Gupta P, Bhatia V. Corticosteroid Physiology and Principles of Theraphy.
Indian J Pediatr.2008;75 (10): 1039-1044), (Ministry of Health Singapore.
Use of Corticosteroids in General Practice. 2006. Singapore: Craft Print
International Limited)
20. Princess Alice Hospice, Escher 2008. Guidelines for Corticosteroid use ini
paliiative care
21. Liu D.Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcom ED, Leigh R, et
al. a Pratical Guide to the Monitoring and Management of the
Complications of Systemic Corticosteroid Theraphy. Allergy.Asthma &
Clinical Immunology.2013;9 (30): 1-25)
22. GOLD. 2015. Pocked Guide To COPD Diagnosis, Management, and
Prevention, USA : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,
Inc
23. Ministry of Health Singapore. Use of Corticosteroids in General Practice.
2006. Singapore: Craft Print International Limited
24. American Association of Neurological Surgeons (2018). Cushing
Syndrome/Disease
25. BPOM, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Hal 57, 271-274,
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai