A. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan menjadi
masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat juga bersifat menetap
dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Asma telah
menyebabkan gangguan kesehatan pada 300 juta penduduk di seluruh
dunia dan diperkirakan akan terdapat 100 juta orang lagi yang menderita
asma pada tahun 2025 (1). Pasien asma memiliki pola inflamasi saluran
napas yang khas, ditandai oleh sel mast bergranulasi, infiltrasi eosinofil
dan peningkatan jumlah sel T helper 2 yang teraktivasi. Pola inflamasi
khas inilah yang mendasari gambaran klinis pasien asma termasuk mengi
intermiten, sesak napas, batuk dan rasa berat di dada. Peningkatan
berbagai mediator inflamasi di antaranya mediator lipid, sitokin atau
kemokin dan growth factor yang berasal dari struktur sel saluran napas
antara lain sel otot polos saluran napas, sel epitel, sel endotel dan fibroblas
ditemukan pada pasien asma. Sel epitel diduga berperan penting karena
mengalami aktivasi oleh sinyal lingkungan dan melepaskan berbagai
protein inflamasi yang diatur oleh meningkatnya transkripsi gen yang
dikendalikan oleh faktor transkripsi proinflamasi misalnya nuclear factor-
kB (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1) yang teraktivasi pada saluran
napas pasien asma (2).
Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Kortikosteroid bekerja dengan menekan proses
inflamasi dan mencegah timbulnya berbagai gejala pada pasien asma.
Penggunaan kortikosteroid inhalasi dilaporkan menghasilkan perbaikan
faal paru, menurunkan hiperesponsif saluran napas, mengurangi gejala,
frekuensi dan berat serangan serta memperbaiki kualitas hidup pasien
asma. Pasien asma pada umumnya memberikan respons yang baik
terhadap pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tetapi pada pasien
dengan derajat asma yang berat, diperlukan dosis lebih tinggi (1).
Kortikosteroid inhalasi yang digunakan meliputi beklometason
diproprionat, budesonid, siklesonid, flunisonid, flutikason proprionat,
mometason furoat dan triamsinolon asetat (3).
Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping yang berat seperti: osteoporosis, hipertensi,
diabetes alkalosis, hipokalemi, penurunan kekebalan, gastritis, gangguan
pertumbuhan, katarak, moon face dan kegemukan (1). Sebagian efek
samping ini tergantung dosis dan dapat dikurangi dengan penggunaan
spacer atau mencuci mulut setelah penggunaan (4).
Mengingat peran kortikosteroid penting sebagai pengobatan asma, maka
diperlukan kemampuan apoteker untuk memahami penggunaan
kortikosteroid, penyesuaian dosis kortikosteroid, kombinasi kortikosteroid
dan bagaimana mencegah efek rebound pada penggunaan kortikosteroid.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah mekanisme kortikosteroid pada pengobatan asma?
2. Bagaimana penyesuaian dosis kortikosteroid untuk pengobatan asma?
3. Kapankah digunakan kortikosteroid tunggal atau kombinasi?
4. Bagaimana cara mencegah efek rebound pada penggunaan
kortikosteroid?
5. Bagaimana cara mencegah efek samping kortikosteroid inhalasi?
C. MANFAAT
Sebagai sumber edukasi untuk pembaca mengenai penggunaan
kortikosteroid yang tepat pada penderita asma.
D. TUJUAN
1. Mengetahui mekanisme kortikosteroid pada pengobatan asma.
2. Mengetahui penyesuaian dosis kortikosteroid untuk asma.
3. Mengetahui penggunaan kortikosteroid tunggal dan kombinasi.
4. Mengetahui cara mencegah efek rebound penggunaan kortikosteroid
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASMA
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau
dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan (5).
1. Definisi Asma
Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari Bahasa
yunani yang berarti “sukar bernafas”. Penyakit asma dikenal Karena
adanya gejala sesak napas, batuk yang disebabkan oleh penyempitan
saluran napas. Asma juga disebut sebagai penyakit paru-paru kronis
yang menyebabkan penderita sulit bernapas. Hal ini disebabkan karena
pengencangan dari otot sekitar saluran napas, peradangan, rasa nyeri,
pembengkakan dan iritasi pada saluran napas di paru-paru.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa
gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (5).
Menurut National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP) pada National Institute of Health (NIH) Amerika, asma
(dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebagai penyakit
radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya :
a. Penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik),
baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
b. Peradangan pada jalan nafas
c. Peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan
(hiperesponsesitivitas) (6).
Pada seseorang yang menderita asma terkena factor pemicunya,
maka dinding saluran nafasnya akan menyempit dan membengkak
menyebabkan sesak nafas. Kadang dinding saluran nafas dilumuri
oleh lender yang lengket sehingga dapat menyebabkan sesak napas
yang lebih parah. Jika tidak ditangani dengan baik maka asma dapat
menyebabkan kematian (5).
2. Epidemiologi
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari
10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronchitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronchitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia
atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi
paru 2/1000 (7).
5. Diagnosis (5).
Mengi (wheezing)dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Secara umum untuk menetapkan
diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara
lain:
a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam
menjelang dini hari?
b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau
batuk setelah terpapar allergen atau polutan?
c. Apakah ada mengi atau rasa berat didada atau batuk setelah
melakukan aktifitas atau olah raga?
d. Apakah gejala-gejala tersebut diatas berkurang/hilang setelah
pemberian obat pelega (bronkodilator)?
e. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
f. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rhinitis, dermatitis atopi,
konjuktivitas alergi)?
g. Apakah dalam keluarga ada yang menderita asma atau alergi?
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat terlihat dari keadaan pasien yang terlihat
gelisah, sesak (napas cuping dan napas cepat), dan sianosis.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
1) Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
2) Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate
meter
3) Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
4) Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya
hipereaktivitas bronkus
5) Uji alergi (tes tusuk kulit)
6) Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit selain asma
B. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas
glukokortikoid dan mineralkortikoid sehingga memperlihatkan efek yang
sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat,
protein dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek
terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Namun, secara
umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme
karbohidrat dan efek antiinflamasi (9).
1. Kortikosteroid Untuk Asma
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan
banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan
baik yang bekerja secara topikal maupun sistemik. Kortikosteroid
mengurangi jumlah sel inflamasi di saluran napas, termasuk eosinofil,
limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan
menghambat penarikan sel inflamasi ke saluran napas. Oleh karena itu,
kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, sehingga
berdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran
vaskular, penurunan produksi mukus dan peningkatan respon β-
adrenergik (9).
Kortikosteroid digunakan untuk manajemen penyakit saluran napas
yang reversible dan tidak irreversible. Penggunaan kortikosteroid
inhalasi selama 3-4 minggu dapat membantu membedakan penyakit
asma dari penyakit paru obstruktif kronik; perbaikan yang jelas dalam
3-4 minggu menunjukkan asma. Jika kortikosteroid inhalasi
menyebabkan batuk, pemakaian agonis beta-2 sebelumnya dapat
membantu (9).
Pada asma kronik, kortikosteroid inhalasi digunakan dalam dosis
yang rendah untuk menangani asma yang ringan dan sedang dan
dengan dosis yang lebih tinggi untuk asma yang lebih berat. Pemberian
kortikosteroid inhalasi jangka panjang selalu lebih baik daripada
pemberian secara oral maupun parenteral (9).
Pada asma akut, pemberian dini kortikosteroid oral dapat
mencegah terjadinya progesifitas dari eksaserbasi dan menurunkan
kebutuhan akan opname; serta menurunkan morbiditas (kesakitan).
Pemberian kortikosteroid oral untuk jangka lama harus diperhatikan
tentang kemungkinan timbulnya efek samping. Pemakaian
kortikosteroid jangka panjang secara oral lebih baik daripada
parenteral (9).
Obat kortikosteroid sistemik diberikan bila obat inhalasi masih
kurang efektif dalam mengontrol asma serta saat terjadi serangan asma
yang berat. Pemberian kortikosteroid selama 5-7 hari dapat digunakan
sebagai terapi maksimal untuk mengontrol gejala asma (9).
3. Perhatian
Kortikosteroid inhalasi digunakan dengan hati-hati pada tuberkulosis
aktif maupun tidak aktif; terapi sistemik mungkin diperlukan selama
periode stres atau jika obstruksi jalan napas atau mukus menghambat
masuknya obat ke saluran napas yang kecil. Kemungkinan terjadinya
bronkospasme paradoksikal (hentikan terapi dan gunakan terapi
alternatif) harus diingat bronkospasme ringan dapat dicegah dengan
inhalasi agonis adrenoreseptor beta 2 kerja pendek (atau dengan
pindah dari inhalasi aerosol ke inhalasi serbuk) (10).
4. Efek Samping
Efek samping lokal berupa iritasi tenggorokan, suara serak, batuk,
mulut kering, ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah dan sindrom
flu. Efek samping sistemik depresi fungsi Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal (HPA). Terjadinya kematian yang disebakan oleh insufisiensi
adrenal dan setelah terjadinya peralihan dari kortikosteroid sistemik ke
aerosol (8).
BAB III
PEMBAHASAN
b. Beklametason Dipropionat
1) Indikasi : profilaksis asma, terutama jika tidak sepenuhnya
teratasi oleh bronkodilator atau kromoglikat. (10)
2) Peringatan: Harap berhati-hati dalam menggunakan budesonide
jika mengalami penyakit mata (katarak atau glaukoma), diabetes,
penyakit hati, tekanan darah tinggi, gangguan hormon tiroid,
gangguan saluran pencernaan, osteoporosis, riwayat infeksi
(tuberkulosis, herpes, atau infeksi jamur), perdarahan, myasthenia
gravis, serta gangguan mental (depresi, kecemasan, atau psikosis).
(10)
3) Efek samping :suara serak dan kandidiasis di mulut atau
tenggorokan (biasanya hanya pada dosis tinggi); ruam
(jarang).(10)
4) Dosis :
Anak-anak :
50-100 mcg 2-4 kali sehari atau 100-200 mcg 2 kali sehari (10).
Dosis harian (11)
Dosis rendah : (MDI) : 84-336 mcg
Dosis medium : (MDI) : 336-672 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >672 mcg
Dewasa :
Aerosol inhalasi: 200 mcg 2 kali sehari atau 100 mcg 3-9 kali
sehari (pada kondisi lebih berat dosis awal 600-800 mcg per
hari).(10)
Dosis harian (11)
Dosis rendah : (MDI) : 168-504 mcg
Dosis medium : (MDI) : 504-840 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >840 mcg
5) Interaksi : Penurunan efektivitas budesonide, jika digunakan
dengan karbamazepin, meningkatnya potensi kemunculan efek
samping dari budesonide, jika digunakan dengan ketoconazole
(10).
6) Sediaan di pasaran: Budenofalk, Budesonide, Obucort
Swinghaler, Pulmicort, Rhinocort Aqua, Sonid, Symbicort (10).
c. Flutikason Propionat
1) Indikasi: Profilaksis dan terapi asma (10).
2) Peringatan: Anak, kehamilan, pengobatan terdahulu dengan
kortikosteroid per oral, pemberian dengan ritonavir, infeksi lokal
pada saluran napas, penghentian pengobatan sistemik dan mulai
pengobatan intranasal, pemberian dosis besar dalam jangka
panjang, pneumonia (10).
3) Efek samping: Sangat umum: epistaksis, kandidiasis mulut dan
kerongkongan. Umum: sakit kepala, rasa tidak enak, bau tidak
enak, hidung kering, iritasi hidung, tenggorokan kering, iritasi
tenggorokan, pneumonia, suara serak, luka memar. Tidak umum:
reaksi hipersensitif kutan. Sangat jarang: reaksi hipersensitivitas,
reaksi anafilaksis, bronkospasme, ruam kulit, udem pada wajah
atau lidah, glaukoma, peningkatan tekanan intraokular, katarak,
perforasi dinding hidung, sesak napas, anafilaktik, sindroma
Cushing, keterlambatan pertumbuhan, penurunan densitas mineral
tulang, hiperglikemia, gelisah, gangguan tidur dan perubahan
sikap termasuk hiperaktivitas dan iritabilitas (10).
4) Dosis :
Dewasa dan anak di atas 16 tahun, 100 – 1000 mcg 2 kali sehari,
dosis awal asma ringan 100 – 250 mcg 2 kali sehari, asma sedang
250 – 500 mcg 2 kali sehari, asma berat 500 – 1000 mcg 2 kali
sehari. Anak di atas 4 tahun, 50 – 100 mcg 2 kali sehari. Anak 1-4
tahun, 100 mcg 2 kali sehari (10)
Dosis harian (11)
Anak-anak :
Dosis rendah : (MDI) : 88-176 mcg
Dosis medium : (MDI) : 176-440 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >440 mcg
Dewasa :
Dosis rendah : (MDI) : 88-264 mcg
Dosis medium : (MDI) : 264-660 mcg
Dosis tinggi : (MDI) : >660 mcg
5) Interaksi: Ritonavir: penggunaan bersama flutikason intranasal
harus dihindari karena menimbulkan efek sistemik kortikosteroid
seperti sindroma Cushing dan menekan fungsi ginjal.
Ketokonazol: meningkatkan paparan sistemik terhadap flutikason
propionat (10)
6) Sediaan di pasaran: Avamys, Flixonase Aqueous Nasal Spray,
Medicort dan Seretide Inhaler (10)
b) Metilprednisolon
1) Indikasi : Antiinflamasi atau imunosupresi pada beberapa
penyakit; Asma bronkhial (15)
2) Peringatan : Supresi adrenal dan infeksi; anak dan remaja
(gangguan pertumbuhan kemungkinan tidak reversible); lanjut
usia (memerlukan supervise ketat terutama pengobatan jangaka
panjang); diperlukan pengawasan terus menerus jika ada sejarah
tuberkulosis (atau perubahan X-ray), hipertensi, infark miokard
(dilaporkan rupture), gagal jantung kongestif, gagal hati),
gangguan ginjal, diabetes melitus termasuk riwayat keluarga,
osteoporosis (wanita pascamenopouse yang risiko terkena),
glaukoma (termasuk riwayat keluarga), perforasi kornea,
gangguan berat (terutama jika riwayat psikosis steroid-induced),
epilepsi, tukak lambung, hipotiroid, riwayat steroid miopati,
kehamilan dan menyusui, pemberian dosis besar secara intravena
cepat dihubungkan dengan kolaps jantung (10).
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan), psikosis dan aggravation of
schizophrenia, aggravation of epilepsy; efek optalmik termasuk
glaukoma, papilloedema, katarak subkapsular posterior, corneal
atau scleral thinning dan eksaserbasi virus mata atau penyakit
jamur; efek samping lain termasuk gagal penyembuhan, atropi
kulit, menimbulkan luka memar, striae, telangiectais,
jerawat, rupture jantung diikuti infark jantung, gangguan cairan
dan elektrolit, leukositosis, reaksi hipersensitif (termasuk
pencegahan), tromboembilisme, mual, muntah, cekukan.Iritasi
perineal dapat diikuti dengan pemberian injeksi
intravena.Overdosis atau penggunaan jangkan panjang dapat
menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan sehingga
menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek samping
mineralokortikoid (10).
4) Dosis:
Anak-anak :
0,117 – 1,60 mg/kg berat badan setiap hari dalam 4 dosis terbagi
(8)
Dosis harian
Disesuaikan dengan berat badan anak
Dewasa
2 – 40 mg dalam 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian (10)
Dosis rendah : 2-7,5 mg/hari
Dosis medium : 10-20 mg/hari
Dosis tinggi : 40 mg/hari
c) Deksametason
1) Indikasi : supresi inflamasi dan gangguan alergi; Cushing's
disease, hiperplasia adrenal kongenital; udema serebral yang
berhubungan dengan kehamilan; batuk yang disertai sesak napas
(10).
2) Peringatan : Pasien lanjut usia harus lebih hati-hati dalam
menggunakan dexamethasone karena lebih berisiko mengalami
efek samping, terutama osteoporosis. Selama menggunakan
dexamethasone, jangan mengonsumsi minuman beralkohol atau
obat pereda nyeri tanpa pengawasan dokter, karena dapat
menyebabkan perdarahan lambung. Penggunaan dexamethasone
dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumbuh kembang anak
menjadi terhambat. Periksakan anak secara berkala ke dokter anak
agar diketahui proses perkembangannya (16)
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan. Overdosis atau penggunaan jangkan
panjang dapat menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek
samping mineralokortikoid (10)
4) Dosis :
Anak-anak :
10 – 100 mcg/kgBB per hari dalam 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian
Disesuaikan dengan berat badan anak
Dewasa :
0,5 - 10 mg dalam 2 – 4 dosis terbagi (12)
Dosis harian (10)
Dosis rendah : <0,5 mg/hari
Dosis medium : 0,5 - 9 mg/hari
Dosis tinggi : >10 mg/hari
5) Interaksi : Phenytoin, rifampicin, barbiturat, carbamazepine dan
ephedrine: menurunkan efektivitas
dexamethasone.Erythromycin, ketoconazole, dan ritonavir:
menimbulkan efek samping obat. Obat diuretik: menimbulkan
hipokalemia.Warfarin: menimbulkan perdarahan (13).
6) Sediaan di pasaran: Pycameth; Ramadexon; Scandexon (14).
d) Triamcinolon
1) Indikasi : Demam rheumatic; asma bronkial; rhinitis vasomotor;
leukemia; limfosarkoma; penyakit Hodgkin; fibrosis paru; bursitis
akut (15)
2) Peringatan : Penggunaan triamcinolone dalam jangka panjang
bisa menimbulkan gangguan pada kelenjar adrenal, pandangan
kabur, menghambat pertumbuhan anak-anak, dan menurunnya
daya tahan tubuh. Hindari berada di dekat seseorang yang sedang
mengalami infeksi, seperti cacar air atau campak. Triamcinolone
tidak boleh digunakan pada pasien yang sedang
mengalami infeksi jamur. Hindari juga melakukan vaksinasi saat
menjalani pengobatan dengan triamcinolone, karena berisiko
mengakibatkan vaksin tidak efektif. Beri tahu dokter jika sedang
atau pernah mengalami glaukoma, katarak, atau tuberkolusis.
Konsultasikan dengan dokter mengenai penggunaan obat,
vitamin, dan produk herba, selama menggunakan obat ini (18)
3) Efek samping : dikurangi dengan menggunakan dosis efektif
paling rendah untuk periode sesingkat mungkin, efek saluran
pencernaan termasuk dyspepsia, tukak lambung (dengan
perforasi), abdominal distention, pankreatitis akut, ulserasi
esophageal dan kandidiasis, efek musculoskeletal termasuk
miopati proksimal, osteoporosis, patah tulang dan tulang
belang, avascular osteonecrosis, tendon rupture, efek endokrin
termasuk supresi adrenal, haid tidak teratur dan
amenore, Cushing's syndrome (pada dosis tinggi, biasanya
kembali bila dihentikan), hirsutism, berat badan bertambah,
keseimbangan nitrogen dan kalsium negatif, peningkatan nafsu
makan, memperberat infeksi, efek neuropsikiatrik termasuk
euporia, psychological dependence, depresi insomnia,
meningkatkan tekanan intracranial dengan papilodema pada anak
(biasanya setelah dihentikan. Overdosis atau penggunaan jangkan
panjang dapat menimbulkan feel fisiologis yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek samping glukokortioid dan efek
samping mineralokortikoid (10).
4) Dosis:
Anak-anak :
Keamanan dan efektivitas obat ini belum ditetapkan pada pasien
anak-anak (kurang dari 18 tahun) (15).
Dewasa :4-48 mg per hari sebagai dosis tunggal atau dosis
terbagi (15)
Dosis rendah : <4 mg/hari
Dosis medium : 4-48 mg/hari
Dosis tinggi : >48 mg/ hari
Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian
kolesterol LDL, ginekomastia, akne, virilisasi, pembesaran prostat,
sterilitas dll. Mekanisme terjadinya beragam efek samping ini masih ada
yang belum diketahui dan sedang diteliti (3).
Dengan efek samping yang demikian, penggunaan kortikosteroid harus
benar-benar dipertimbangkan. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya
efek samping pasca pemakaian steroid adalah menggunakan steroid secara
rasional dan sesuai indikasi. Bila memungkinkan hindari penggunaan
steroid jangka panjang dengan waktu paruh yang panjang.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Kortikosteroid menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang
terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan
memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau
merelaksasi otot polos secara langsung
2. Kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif data, yang berarti
meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat
untuk mengontrol asma, tetapi bahkan meningkatkan risiko efek
samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat
mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan derajat
berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol
lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut.
3. Kortikosteroid oral dapat digunakan sebagai pengontrol pada keadaan
asma persisten berat (setiap sehari atau selang sehari), tetapi
penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik.
4. Jika tidak ada perbaikan gejala menggunakan agonis beta 2 kerja
singkat saat serangan asma, maka kortikosteroid oral dibutuhkan.
5. Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma dilakukan
agar mencapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi
seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka
panjang harus melalui pemberian terapi maksimum pada awal
pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan
atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis
beta 2 kerja lama untuk segera mengontrol asma; setelah asma
terkontrol dosis diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin
dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol.
6. Cara mencegah rebound effect pada asma adalah tidak menghentikan
pemakaian kortikosteroid sistemik secara mendadak
7. Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi, seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk dapat dicegah dengan penggunaan spacer
atau mencuci mulut dan berkumur-kumur dengan air kemudian
membuang keluar setelah inhalasi.
B. SARAN
1. Sebaiknya pengobatan diberikan sesuai dengan berat asma dan
tatalaksana asma agar pengobatannya efektif dan tepat.
2. Sebaiknya dikontrol pemberian kortikosteroid pada pasien asma dan
tidak menghentikan secara mendadak penggunaannya.
3. Pemberian kortikosteroid sistemik direkomendasikan 5-7 hari agar
dapat digunakan sebagai terapi maksimal untuk mengontrol gejala
asma.
4. Penggunaan kortikosteroid inhalasi sebaiknya menggunakan spacer dan
dianjurkan untuk berkumur-kumur dengan air setelah pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA