Anda di halaman 1dari 3

Analisis Perkawinan Kontrak WNA Dengan WNI di Bogor

Kamis, 19 Desember 2019

Dasar Hukum Perkawinan Kontrak


1. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
Berdasarkan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan adalah akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Sementara itu, Nikah mut’ah atau kawin mut’ah juga dinamakan kawin muaqqat artinya
kawin untuk waktu tertentu atau kawin munqathi artinya kawin terputus yaitu seorang
laki-laki mengikat perkawinan dengan perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau
sebulan.
Kawin kontrak pada dasarnya melanggar UU No. 1 tahun 74 tentang Perkawinan,
tepatnya pada Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam hal ini perkawinan secara resmi
berdasarkan perundang-undangan adalah yang dicatatkan di KUA untuk yang muslim
dan di Disdukcapil untuk yang Non Muslim. Sedangkan dalam perkawinan Kontrak tidak
dilakukan pencatatan, melainkan hanya tanda tangan kontrak diatas materai.

Mulai dan Berakhirnya Perkawinan Kontrak


2. Kawin kontrak diawali dengan akad nikah sebagaimana umumnya, terdapat dua
mempelai dan masing-masing saksi serta wali dari kedua mempelai. Dalam perkawinan
kotrak terdapat tanda tangan kotrak antara kedua mempelai yang dibubuhi diatas
materai. Pada umumnya ada pihak yang disebut “Mak Comblang” dalam perkawinan
kontrak ini. Yang menghubungkan WNA dan WNI yang akan melangsungkan perkawinan
kontrak. Orangtua dari pihak WNI biasanya tidak ikut serta mendampingi anaknya dalam
proses akad nikah. Terdapat mahar berupa uang atau emas yang diberikan oleh pihak
mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita. Apabila kawin kontrak waktunya
sudah habis maka dengan sendirinya pernikahan bubar, tanpa ada talak dan tanpa ada
hak waris.

Dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian bahwa kawin
kontrak tersebut adalah tidak sah, hal ini diperkuat oleh Pasal 1335 KUHPer yang
berbunyi suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang
palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Akibat Hukum Perkawinan Kontrak


3. Akibat hukum dalam perkawinan yang sah dengan berdasar UU No. 1 tahun 74 tentang
perkawinan mengenai kedudukan anak, pada Pasal 42 berbunyi Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat 1
berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Namun pada Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah diuji materi di Mahkamah Konstitusi
melalui putusan No.46/PUU-VIII/2010, yang bunyi putusannya adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Hukum waris bagi yang beragama Islam diatur dalam KHI, sedangkan bagi yang tidak
beragama islam diatur dalam KUHper. Untuk yang tidak beragama islam, berdasarkan
Pasal 852 KUHPer, yang berhak mewaris, Golongan I, yaitu suami/isteri yang hidup
terlama dan anak-anak beserta keturunannya terus kebawah tanpa batas. Sedangkan
untuk yang beragama islam, berdasarkan Pasasl 174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
atau KHI, kelompok ahli waris menurut hubungan darah yaitu : (a) golongan laki-laki
terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek, dan (b) golongan
perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Apabila
semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda
atau duda, sesuai dengan Pasasl 174 ayat (2) . Sehingga, anak yang lahir dari luar
perkawinan berhak untuk mendapatkan warisan dari ayahnya.

Jika dilihat dari Pasal 26 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , berbunyi :
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Berdasarkan uraian diatas, hal ini bisa menjadi salah satu alasan agar seorang anak bisa
mendapatkan warisan dari ayah biologisnya, sepanjang dia bisa membuktikan bahwa
memang benar anak biologis dari ayahnya.

Perkawinan Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Pidana


4. Berdasarkan draf RUU KUHP, Pasal 143 RUU menyebutkan 'Setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)
bulan.'

Sedangkan, Pasal 144 berbunyi 'Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah
sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga tahun,
dan perkawinannya batal karena hukum.' Jika RUU KUHP tersebut disahkan DPR, maka
akan ada tindak pidana untuk pihak yang melakukan perkawinan kontrak.

Anda mungkin juga menyukai