Lapres Gabungan Praktikum Pta
Lapres Gabungan Praktikum Pta
Golongan
B3
Nama Anggota Kelompok 4:
1. Handriyaningsih (1625010094)
2. Khansa Amara (1625010095)
3. Wawan Juniawan (1625010098)
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR ILMU TANAH
Disusun Oleh :
1. Handriyaningsih (1625010094)
2. Khansa Amara (1625010095)
3. Wawan Juniawan (1625010098)
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia yang diberikan, sehingga Laporan Praktikum Pengelolaan Tanah dan Air dapat
terselesaikan dengan baik. Laporan ini kami susun sebagai bagian laporan kegiatan
praktikum survey dan evaluasi lahan.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
ii
4.2.1. Observasi Lapang ...................................................................................... 23
4.2.2. Analisis Sampel Tanah .............................................................................. 26
4.2.3. Analisis Sampel Air .................................................................................. 27
4.2.4. Analisis C-Organik ................................................................................... 30
4.2.5. Pengelolaan Lahan Salin ....................................................................... 31
V. PENUTUP .............................................................................................................. 32
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 33
LAMPIRAN ................................................................................................................ 37
PENGELOLAAN TANAH DAN AIR PADA LAHAN KERING DI DESA
PULOSARI, KECAMATAN WONOSALAM, KABUPATEN JOMBANG............ 39
I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 40
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 40
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 41
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 42
2.1. Lahan Kering ................................................................................................ 42
2.2. Tanaman manggis ......................................................................................... 43
2.3. Kemampuan Lahan ....................................................................................... 45
2.4. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Manggis ................................................ 46
2.5. Kesuburan Tanah .......................................................................................... 47
2.5.1. Tingkat Kesuburan Tanah ..................................................................... 47
2.5.2. Kelas Kesuburan Tanah ........................................................................ 47
III. METODE PRAKTIKUM ................................................................................... 49
3.1. Gambaran Umum Lokasi ............................................................................. 49
3.2. Waktu dan Tempat ....................................................................................... 49
3.3. Cara Kerja..................................................................................................... 50
3.3.1. Analisis Biologi Tanah .......................................................................... 50
3.3.2. Analisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Sumber Daya Lahan
51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 52
4.2. Pembahasan .................................................................................................. 53
4.2.1. Pengapuran ............................................................................................ 53
iii
4.2.2. Pemupukan ............................................................................................ 55
4.2.3. Pemberian Amelioran............................................................................ 55
4.2.4. Penambahan Bahan Organik ................................................................. 56
4.2.5. Penterasan ............................................................................................. 57
4.2.6. Pembuatan Rorak .................................................................................. 58
4.2.7. Teknik Bedengan Sejajar Kontur .......................................................... 59
V. PENUTUP ........................................................................................................... 60
5.1. Kesimpulan ................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 61
LAMPIRAN ................................................................................................................ 65
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 7. Kualitas Air Berdasarkan Jumlah Padatan Terlarut (Leonore et al., 1998) .. 28
Tabel 10. Hasil analisis Kelas Baku Mutu Air Kelompok 4. ...................................... 30
Tabel 13. Analisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Sumber Daya Lahan 51
Tabel 14. Kelas Kemampuan Lahan pada Satuan Peta Lahan satu ............................ 52
Tabel 15..Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.)
..................................................................................................................................... 52
v
Tabel 23. Hasil analisa pori tanah ............................................................................... 80
Tabel 24. Hasil analisa sifat kimia tanah menggunakan multimeter .......................... 81
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 7.Foto udara lokasi praktikum lapang pengelolaan tanah dan air ................. 50
vii
PENGELOLAAN TANAH DAN AIR PADA LAHAN
SALIN DI KABUPATEN SIDOARJO
9
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
1. Melatih praktikan untuk observasi pengelolaan tanah dan air eksisting di Dukuh
Tengah, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo
2. Mengidentifikasi permasalahan tanah salin dilapang dengan pengelolaan untuk
suatu usaha pertanian
3. Mencari solusi alternatif dari hasil observasi dengan harapan bisa memperbaiki
produktivitas lahan dan meningkatkan hasil pertanian melalui kajian hasil suatu
penelitian
11
Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu penyangga Ibukota Provinsi Jawa Timur
merupakan daerah yang mengalami perkembangan pesat. Keberhasilan ini dicapai
karena berbagai potensi yang ada di wilayahnya seperti industri pertanian dan
perdagangan, pariwisata, serta usaha kecil dan menengah dapat dikemas dengan baik
dan terarah. Kabupaten Sidoarjo memiliki luas daerah 71.424,3 km2 dengan luas sawah
23.566 Â dengan sektor pertanian selalu menjadi komoditas yang diunggulkan (Pribadi
dan Hariyanto, 2017).
2.1. Tanah Salin
Lahan salin merupakan salah satu permasalahan lahan pertanian di Jawa Timur,
salah satunya di lahan sawah Kelurahan Dukuh Tengah, Kecamatan Buduran,
Kabupaten Sidoarjo. Permasalahan lahan salin di Sidoarjo terjadi akibat aktivitas atau
gerakan air laut, baik pada tebing, pantai berpasir, pantai berkarang, dan lain-lain.
Tanah salin yang terbentuk didaerah pantai disebut alluvial Mariene (Entisol)
(Sasongko dan Maroeto, 2004). Terbentuk karena kembalinya air laut setelah
pengenangan atau irigasi. Konsentrasi garam larut di tanah meningkat dengan adanya
evaporasi yang cepat dan transpirasi tanaman. Pergerakan air dapat ditahan dibawah
kondisi lapang yang berhubungan langsung dengan air, irigasi, pencucian dan drainase
tanah salin. Luapan lumpur marine mempengaruhi lingkungan pertanian dan
menyebabkan tanaman mati karena plasmolisis kadar garam yang tinggi dan keracunan
beberapa unsur hara berlebih. (Thohiron dan Prasetyo, 2012).
Salinitas didefinisikan sebagai adanya garam terlarut dalam konsentrasi yang
berlebihan dalam larutan tanah. Satuan pengukuran salinitas adalah konduktivitas
elektrik yang dilambangkan dengan decisiemens/m pada suhu 25 ± ºC, Sedangkan
garam terlarut umumnya tersusun oleh sodium (Na+), kalsium (Ca2+), magnesium
(Mg2+), klor (Cl-) dan sulfat (SO42-). Magnesium sulfat (MgSO4) dan sodium kloride
(NaCl) merupakan garam terlarut yang sering dijumpai (Anon, 2009). Sutono (2015)
bahwa meningkatnya jumlah natrium pada lahan sawah disebabkan oleh (1)
ketidakseimbangan debit air sungai atau air segar yang masuk ke alur sungai dengan
12
air asin dari laut, (2) makin dekatnya sumber air asin dipermukaan tanah ke areal
sawah, (3) diduga air asin bawah permukaan makin menjorok ke arah daratan, dan (4)
limbah pabrik yang mengandung natrium masuk ke badan air yang kemudian
digunakan untuk irigasi lahan sawah.
Kondisi tanah dengan NaCl yang tinggi akan menyebabkan rusaknya struktur
tanah, sehingga permeabilitas tanah dan aerasi menjadi sangat rendah. Keadaan
tersebut akan mengakibatkan populasi mikroba didominasi oleh golongan mikroba
halofilik. Masalah yang ditimbulkan dapat berupa salinitas, daya hantar listrik (EC),
kandungan lumpur, pH, akumulasi Na+. Cl-, dan BO3- yang bersifat racun, serta
kandungan N yang tinggi. Kesemuanya itu dapat menurunkan kuantitas maupun
kualitas hasil panen atau bersifat korosif terhadap alat-alat pertanian. Salinitas terjadi
bila garam-garam yang berasal dari air tanah yang dangkal dan salin atau dari garam-
garam yang terlarut dalam air irigasi terakumulasi pada zona perakaran sehingga
tanaman tidak mampu menyerap air dari tanah dalam jumlah cukup banyak untuk
memenuhi kebutuhannya. Apabil penyerapan air sangat menurun maka tanaman akan
memperlihatkan gejala kekeringan dan bila tidak segera diatasi dapat merugikan atau
bahkan kegagalan panen (Ayers dan Westcot, 1989).
Menurut Agus et al. (2007), tanah dengan daya hantar listrik >4 dS/m tergolong.
Lahan salin akibat tingginya kadar garam NaCl disebut lahan salin-sodik. Hal tersebut
ditambahkan oleh Follet, et all (1981) dalam Sipayung (2003) tanah menurut salinitas
dibagi atas tiga kelompok berdasarkan hasil pengukuran daya hantar listrik
sebagai berikut :
1. Tanah salin, dengan daya hantar listrik > 4,0 mmhos/cm, pH ≤ 8,5 dan Na-dd
< 15% dengan kondisi fisik normal. Kandungan garam larutan dalam tanah
dapat menghambat perkecambahan, penyerapan unsur hara dan pertumbuhan
tanaman.
2. Tanah sodik, dengan daya hantar listrik < 4,0 mmhos/cm, pH > 8,5 dan Na-dd
> 15% dengan kondisi fisik buruk. Garam yang terlarut dalam tanah relatif
rendah dan keadaan tanah cenderung terdispersi dan tidak permeable terhadap
air hujan dan airirigasi.
13
3. Tanah salin sodik, dengan daya hantar listrik > 4,0 mmhos/cm, pH < 8,5 dan
Na-dd > 15% dengan kondisi fisik normal. Keadaan tanah umumnya terdispersi
dengan permeabilitas rendah dan sering tergenang jika diairi.
2.2. Tanaman Padi
Padi (Oryza sativa, L.) merupakan tanaman penghasil pangan utama di Asia.
Padi tergolong tanaman C3 dan toleran terhadap kondisi pengairan. Padi dapat ditanam
pada kondisi tanah darat (tegal) dan tanah tergenang (sawah). Iklim tropis, tanaman
Padi tertentu ditanam pada musim hujan (tersedia cukup air) (Siregar, 1981 dalam
Hutomo, 2011).
Menurut Tjitrosoepomo (2004), padi dalam sistematika tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Famili : Graminae
Genus : Oryza
Species : Oryza sativa L.
Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak
mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih,
dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki tahun-1 sekitar 1500–
2000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalahn 23 °C dan tinggi
tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0–1500 m dpl. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir,
debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jurnlah
yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya
antara 18–22 cm dengan pH antara 4–7 (Siswoputranto, 1976).
14
Salinity Laboratory dalam Djukri (2009) tanah tergolong salin apabila ekstrak jenuh
dari tanah salin mempunyai nilai DHL (daya hantar listrik) atau EC (electrical
conductivity) lebih besar dari 4 deci Siemens/m (ekivalen dengan 40 m M NaCl) dan
persentase natrium yang dapat ditukar (ESP= exchangeable sodium percentage)
kurang dari 15. Sipayung (2003), salinitas akan menghambat pertumbuhan akar,
batang, dan luas daun karena adanya cekaman garam, yaitu ketidakseimbangan
15
metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion (Na+) dan kekurangan unsur hara (N,
P, dan K).
Padi merupakan salah satu tanaman pangan yang paling sering ditemukan, dan
merupakan makanan pokok dari setengah populasi dunia. Tetapi amat disayangkan
bahwa tanaman padi bukan merupakan tanaman yang resistan terhadap salinitas (Zeng
et al., 2004). Salinitas dapat menjadi masalah utama dalam pertumbuhan tanaman padi,
khususnya di daerah kering dan pesisir (Ashraf dan Harris, 2004). Besarnya pengaruh
yang ditimbulkan pada pertumbuhan tanaman padi tergantung dari besarnya nilai
salinitas. Brinkman dan Singh (1982) menjelaskan lebih lanjut mengenai gejala
keracunan garam pada tanaman padi berupa tanaman menjadi lebih pendek,
berkurangnya anakan, ujung-ujung daun berwarna keputihan dan sering terlihat bagian
yang khlorosis pada daun. Kondisi seperti ini, apabila dibiarkan terus-menerus, akan
menyebabkan kematian pada tanaman.
2.4. Baku Mutu Air
Air adalah suatu senyawa kimia berbentuk cairan yang tidak berwarna, tidak
berbau dan tak ada rasanya. Air mempunyai titik beku 0°C pada tekanan 1 atm, titik
didih 100°C dan kerapatan 1,0 g/cm3 pada suhu 4°C (Schroeder, 1977). Mutu air
adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter
tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku
(Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun, 2001)
Kriteria air yang bagus digunakan dalam sektor pertanian, antara lain air tersebut
tidak memiliki konsentrasi garam yang tinggi karena dengan tingginya tingkat
konsentrasi garam maka akan meningkatkan tekanan osmotic yang berpengaruh dalam
penghambatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, air yang bagus
digunakan untuk pertanian juga harus memiliki kandungan sodium yang rendah karena
sodium terdapat di koloid tanah dan akan berfluktuasi sesuai penambahan air irigasi
atau air hujan dan sistem koloid tanah, sebab air yang baik bagi pertumbuhan tanaman
adalah yang bersodium rendah. Kriteria lain adalah nilai pH berkisar antara 6,5 – 8,4
atau pH netral, karena apabila pH tinggi atau lebih dari 8,5 sering ada HCO3- dan CO3-
dalam konsentrasi tinggi atau disebut alkalinity. Selain itu, air yang baik untuk
16
pertanian juga harus memilih nutrisi yang tidak berlebih karena apabila nutrisinya
berlebih maka akan mengurangi kualitas hasil pertanian (Nawawi, 2001).
Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Klasifikasi mutu air merupakan
pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar
untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air yang dinilai
masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Klasifikasi mutu air
ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :
1. Kelas satu,
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
2. Kelas dua,
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut;
3. Kelas tiga,
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk imengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut;
4. Kelas empat,
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
17
Lokasi tempat dilaksanakan praktikum pengelolaan tanah dan air salin pada lahan
salin adalah Desa Dukuh Tengah, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Dukuh
Tengah merupakan salah satu diantara 15 desa di Kecamatan Buduran, Kabupaten
Sidoarjo. Terdapat dua dusun di Ds. Dukuh Tengah, yaitu Dukuh Tengah Barat dan
Dukuh Tengah Timur dengan total 33 RT dan 6 RW. Ds. Dukuh Tengah berbatasan
langsung dengan desa Damarsi (timur dan utara), desa Banjarsari (barat)
desa Prasung (selatan).
1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah mempengaruhi proses budidaya. Pengolahan tanah pada
lahan observasi yaitu dengan menggunakan traktor, sehingga dapat membalik
tanah secara maksimal. Pengolahan tanah dilakukan sebelum menanam bibit
tanaman padi.
3. Pengelolaan Air
Pengairan menggunakan irigasi teknis dengan DAM yang terdapat di
Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoharjo. Interval pengairan pada lahan sawah
dilakukan seminggu sekali dengan lama pengairan selama 3 hari.
4. Perawatan Tanaman
Tanaman yang diusahakan adalah tanaman padi varietas ciherang, benih
yang dipakai sebagai bahan tanam adalah hasil panen sebelumnya. Penanganan
terhadap hama dan penyakit pada lahan observasi menggunakan Teodan dan
Agrimec 18 EC. Sedangkan untuk menghilangkan gulma dilakukan penyiangan.
Dalam satu tahun, tanaman di rotasi dengan tanaman hortikultura; padi-padi-
hortikultura. Hortikultura yang diusahakan yaitu semangka, timun mas, dan garbis.
1. EC (electrical conductivity),
2. pH H2O,
3. pH KCL,
4. Kandungan NaCl,
5. Redoks
6. TDS (Total Dissolve Solid) / jumlah zat atau partikel padat terlarut.
22
4.1. Hasil
Tabel 1. Hasil Observasi Tanah Salin
No Hasil Observasi
1 Lokasi : Ds. Dukuh Tengah, Kec. Buduran, Kab. Sidoarjo
2 Pemilik Lahan : Sumianto
3 Luas Lahan : 18.000 m2 / 1,8 ha
4 Jenis Tanaman : Padi (Var. Ciherang)
5 Hasil Panen : 2 ton/ha
pH
NO SAMPEL EC NaCl Redoks
H2O KCL
1 T3 7,08 6,70 280,3 µs 275,4 ppm - 8 mV
2 T4 7,21 6,76 255,8 µs 260,1 ppm - 10 mV
4.2. Pembahasan
KCl ha-1 dan 2,0 ton kompos jerami ha-1 meningkatkan tinggi tanaman padi Ciherang
sampai 87,8 cm dan jumlah anakansampai 28,83 batang rumpun.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan wawancara bersapa pemilik lahan yang
bernama bapak Sumianto yang mengelola lahan sawah seluas 1.800 m2. Menurut beliau
hasil padi yang diperoleh pada sekali panen yaitu 2 ton/ha. Namun menurut data BPS
Republik Indonesia (2010) seharusnya dalam luasan lahan 1 ha dapat menghasilkan
bobot panen padi varietas ciherang rata-rata 7,6 ton/ha. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa petani pada petak analisis mengalami kerugian hasil panen.
Tabel 5 menunujukkan bahwa hasil panen yang diperoleh Bapak Sumianto yang
merupakan pemilik lahan sawah di Desa Dukuh Tengah, Kecamatan Buduran,
Kabupaten Sidoarjo tergolong rendah dimana yang seharusnya padi varietas ciherang
mampu menghasilkan panen padi sebesar 7,6 ton ha-1, hanya memperoleh 2 ton/ha. Hal
tersebut dipengaruhi oleh salinitas tanah, salinitas dapat menyebabkan kerusakan
daun, memperpendek tinggi tanaman, menurunkan jumlah anakan, bobot 100 butir
gabah, bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman, serta hasil gabah, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Penelitian dari Hayuningtyas (2010)
mengenai uji toleransi padi terhadap salinitas membuktikan bahwa salinitas sangat
mempengaruhi tanaman padi khususnya pada tahap perkecambahan biji yang akan
tumbuh.
25
mV, dan pada sampe T4 yaitu -10 mV. Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh atau
PE yang tinggi dan positif (+) menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh atau
PE yang rendah bahkan negatif (-) menunjukkan kondisi reduktif. Potensial redoks
mempengaruhi status N dalam tanah, ketersediaan P dan Si, kadar Fe2+, Mn2+, dan
SO42- secara langsung dan kadar Ca2+, Mg2+, Cu2+, Zn2+ dan MoO42- secara tidak
langsung, dan dekomposisi bahan organik dan H2S. Sehingga status redoks pada tanah
yang telah dianasilis termasuk keladalam kelompok tanah tereduksi karena bernilai
negatif (-).
Status Kisaran Eh
No Reaksi Pertumbuhan Tanaman
Redoks (mV)
1 Oksidasi >400 O2 berlebihan, Baik bagi tanaman darat;
material dalam tidak baik bagi padi
bentuk oksidasi
2 Reduksi 400-200 O2, NO3-, dan Mn4+ Pertumbuhan padi normal;
Rendah direduksi tanaman darat terganggu
3 Reduksi 00-(-100) Fe3+ direduksi; Tanaman darat terganggu
Sedang senyawa organik
direduksi
4 Reduksi <(-100) CO2 dan H+ Tanaman padi terganggu
direduksi oleh senyawa reduksi
4.2.3. Analisis Sampel Air
Hasil analisis pada sampel air (Tabel 4.2) menunjukkan kandungan pH pada
sampel 3 yaitu 7,14 sama dengan hasil sampel 4 yaitu 7,14. Sedangkan nilai EC atau
daya hantar listrik pada sampel 3 diperoleh nilai 528,2 µs, pada sampel 4 sebesar 528,5
µs. Besarnya nilai daya hantar listrik digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan
perairan. Tingginya daya hantar listrik menandakan banyaknya jenis bahan organik dan
mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan. Pada kondisi normal, perairan
28
memiliki nilai DHL berkisar antara 20 - 1500 µS/cm (Boyd, 1982). Makin tinggi
konduktivitas dalam air, maka air akan terasa payau sampai asin (Mahida, 1986).
Selain itu terdapat juga analisis terhadap nilai TDS dalam sampel air. TDS (Total
Dissolved Solid) atau diartikan sebagai total padatan terlarut. Dari hasil analisis
diketahui nilai DTS sampel 3 yaitu 494,6 ppm, dan sampel 4 yaitu 493,2 ppm. Analisis
air yang di sesuaikan dengan klasifikasi air berdasarkan tingkat TDS termasuk ke
dalam klasifikasi air bersih karena TDS berada antara rentang 100-500 ppm.
Sebenarnya Penyebab tingginya nilai TDS adalah adanya kandungan bahan anorganik
berupa ion-ion di perairan. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan
organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya (Bassett, 1994).
Tabel 7. Kualitas Air Berdasarkan Jumlah Padatan Terlarut (Leonore et al., 1998)
Data analisis air terhadap nilai oksigen terlarut (DO) diperoleh bahwa sampel 3
sebesar 5,11 mg/L, dan sampel 4 sebesar 6,00 mg/L. DO dibutuhkan oleh semua jasad
hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga
dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik.
Menurut Swingle (1968) Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm
dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan
oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme. Dari data
29
yang diperoleh tingkat pencemaran pada sampel air yaitu ke dalam status Rendah
karena nilai DO lebih tinggi dari 5 (>5).
Tabel 8. Tingkat Pencemaran Perairan Berasarkan Nilai DO dan BOD
Tingkat Parameter
No
Pencemaran DO (ppm) BOD
1 Rendah >5 1 – 10
2 Sedang 0–5 10 – 20
3 Tinggi 0 25
Sumber : Wirosarjono (1974)
Analisis baku mutu air terhadap sampel air kelompok 4, menurut peraturan
pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaaan air, pengkelasan mutu air dilihat
berdasarkan nilai pH, TDS, dan DO. Dimana pengklasifikasian tersebut dibagi menjadi
4 kelas baku mutu air. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2002; Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum
secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu. Golongan B, yaitu air yang dapat
digunakan sebagai baku air minum. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk
keperluan perikanan dan peternakan. Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan
untuk keperluan pertanian, usaha di perkotaan, industri, dan PLTA.
Kelas
Parameter Satuan Keterangan
I II III IV
pH Tidak boleh
6–9 6–9 6–9 5–9
kurang lebih
TDS Mg/L 1.000 1.000 1.000 2.000 Batas Maximal
DO Mg/L 6 4 3 0 Batas Minimal
Hasil dari pengukuran sampel air kelompok 4 diperoleh nilai rata-rata pH yaitu
7,14 termasuk ke dalam kelas I, II, III, dan IV, dan nilai rata-rata TDS yaitu 493,9 ppm
30
termasuk ke dalam kelas air I, II, dan III, sedangkan nilai rata-rata untuk DO yaitu
5,555 mg/l termasuk klas mutu air II, dan III.
Tabel 10. Hasil analisis Kelas Baku Mutu Air Kelompok 4.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Petani mengalami kerugian hasil panen padi varietas ciherang, seharusnya 7,6 ton/ha
namun hanya 2 ton/1.800m2.
2. Pengujian pH dengan menambahkan KCl lebih akurat daripada pengujian pH H2O.
3. Tingginya kandungan garam pada tanah menjadi indikator bahwa tanah tersebut
termasuk tanah salin.
4. Status redoks termasuk kelompok tanah tereduksi karena bernilai negatif (-).
5. Tingginya daya hantar listrik menandakan banyaknya jenis bahan organik dan
mineral yang masuk sebagai limbah ke perairan.
6. Tingkat TDS termasuk klasifikasi air bersih karena TDS rentang 100-500 ppm.
7. Tingkat pencemaran air berstatus Rendah karena nilai DO lebih tinggi dari 5 (>5).
8. Analisis baku mutu air menurut PP no.82 tahun 2001 termasuk kelas II dan III.
9. C-organik dalam tanah menunjukkan kriteria sedang karena berkisar antara 2-3%.
10. Pengolahan lahan salin dapt dilakukan secara kimia (pengapuran), biologi (bahan
organik), dan penanaman tanaman halofit.
33
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. and M.H. Chang. 2002. Salinity Control and Environmental Protection
Through Halopythes. J. Drainage and Water Manag. 6 : 17 – 25.
Agus, F., dan IGM. Subiksa. 2007. Status Hara Tanah Terpengaruh Lumpur Tsunami
dan Implikasi Pengelolaannya. Balai Penelitian Tanah Bogor.
Anon, 2009. Pedoman Teknis Reklamasi Lahan TA, 2009: Direktorat Pengeloaan
Lahan, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air. Deptan, Jakarta, Januari 2009.
Ayers, R.S. dan D.W. Westcot. 1989. Water Quality for Agriculture. FAO Irrigation
and Drainage Department. Rome.
Badan Pusat Statistika Republik Indonesia. 2010. Deskripsi Padi Varietas Ciherang.
Bassett, J. 1994. Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis Including
Elementary Instrumental Analysis. Longman Group UK Limited : London.
Bohn, H.L., McNeal, B.L., dan O’Connor, G.A. 2001. Soil Chemistry. Third Edition.
John Wiley & Sons, Inc. New York.
Brinkman, R and V.P Singh. 1982. Rapid reclamation of brackish water fishponds in
acid sulfate soils. ILRI. Publ. Wageningen. Netherlands. p: 318-330.
Fahmi, A., B. Radjagukguk, dan B. H. Purwanto. 2009. Kelarutan Posfat dan Ferro
pada Tanah Sulfat Masam yang Diberi Bahan Organik Jerami Padi. Jurnal
Tanah Tropika. 14 (II); 119 - 125.
Follet, R.H., L.S. Murphy and R.L. Donahue. 1981. Fertilizer and Soil Amandements.
Prentice Hall Inc. Englewood. New Jersey.
Hayuningtyas, R.D. 2010. Metode Uji Toleransi Padi (Oryza sativa L) Terhadap
Salinitas Pada Stadia Perkecambahan. Skripsi. Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
34
Indrayati, L. dan A. Jumberi. 2002. Pengelolaan Jerami Padi pada Pertanaman Padi
di Lahan Pasang Surut Sulfat Masam. Dalam Pengelolaan Tanaman Pangan
Lahan Rawa. Balitbangtan, Puslitbangtan, Bogor.
Jumakir dan J. Bobihoe. 2008. Pemanfaatan Jerami Padi sebagai Pupuk Organik bagi
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Sawah Semi Intensif. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian. Jambi.
Kusmiyati, F., E.D. Purbayanti dan B.A. Kristanto. 2009. Karakter Fisiologi,
Pertumbuhan dan Produksi Legum Pakan pada Kondisi Salin. Dalam :
Sumarsono, L.D. Mahfuds, D.W. Widjajanto, Karno, E. Pangestu, L.N.
Kustiawan, T.A. Sarjana dan Surono (Eds). Proceeding Seminar Nasional
kebangkitan Peternakan, BP. Universitas Diponegoro.
Leonore, S. C, Egreenberg, A., & D.E. Andrew. 1998. Standart Methods For The
Examination of Waterand Wastewater. Edisi 20 th. USA : APHA AWWAWEF.
Liu Zhi-Guang, 1985. Kimia Fisik Paddy Tanah, Yu Tian-Ren (ed.). Science Press,
Beijing
Makoi, J.H.J.R., and H. Verplancke. 2010. Effect of Gypsum Placement on the Physical
Chemical Properties of Saline Sandy Loam Soil. Aust. J. Of Crop Sci. 4 (7) :
556– 563.
Munns, R. 2002. Comparative Physiology of Salt and Water Stress. Plant, Cell and
Environt. 25:239-250.
Paksoy, M., O. Turkmen and A. Dursun. 2010. Effects of Potassium and Humic Acid
on Emergence, Growth and Nutrient Contents of Okra (Abelmoschus esculentus
L.) Seedling Under Saline Soil Conditions. African J. Of Biotechnol. 9 (33) :
5343 – 5346.
Pusat Penelitian Tanah, 1983. Kriteria Penilaian Data Sifat Analisis Kimia Tanah.
Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Swingle, H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds.
F.A.O. Fish, Rep. 44, 4 , 379 - 406 pp.
Tan, K.H. 2003. Humic Matter in the Soil and the Environment; Principles and
controversies. Marcel Dekker, Inc. New York, USA.
Zeng, L.; Kwon, T-R.; Liu, X.; Wilson, C.; Grieve, C.M. And Gregorio, G.B. 2004.
Genetic Diversity Analyzed by Microsatellite Markers Among Rice (Oryza sativa
L.) Genotypes with Different Adaptations to Saline Soils. Plant Science, vol.
166(5): 1275- 1285.
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
Tanah merupakan salah suatu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi
yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia,
biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya. Meningkatnya kegiatan produksi biomassa (tanaman yang dihasilkan
kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman) yang memanfaatkan tanah yang
tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa,
sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam
kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kerusakan tanah sering disebut degradasi lahan. Degradasi lahan adalah
Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya
sementara maupun tetap. Lahan terdegradasi dalam definisi lain sering disebut lahan
tidak produktif, lahan kritis, atau lahan tidur yang dibiarkan terlantar tidak digarap dan
umumnya ditumbuhi semak belukar (Wahyunto dan Dariah, 2014). Ketika tanah
mengalami degradasi maka tanah akan kehilangan kemampuan dalam menopang
keberlangsungan hidup tanaman dan dapat menurunkan hasil produksi tanaman.
Sehingga diperlukan pengelolaan tanah dan air terhadap lahan pertanian.
Pengolahan tanah adalah salah satu kegiatan persiapan lahan (Land preparation)
yang bertujuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan
tanaman. Kontribusi lahan dan air sebagai media terpenting dalam pembangunan
pertanian terhadap produksi petanian berkisar antara 16 – 68 % (Nita, Siswanto dan
Utomo, 2015). Memelihara dan memperbaiki kualitas tanah adalah penting untuk
meningkatakan pertumbuhan dan produktivitas pertanian secara berkelanjutan.
Wonosalam adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa
Timur. Kecamatan Wonosalam merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Jombang dengan kegiatan budidaya tanaman perkebunan yang bermacam-macam,
seperti durian, rambutan, alpukat, salak, dan lain-lain. Namun, informasi mengenai
41
budidaya untuk perkebunan manggis masih terbatas. Meskipun di Desa Jarak terdapat
perkebunan manggis organik, namun penggunaan lahan untuk tanaman manggis masih
rendah.
Kecamatan ini terletak pada kaki dan lereng Gunung Anjasmoro dengan
ketinggian rata – rata 500-700 mdpl (BPS Jombang, 2018). Umumnya lahan yang
terdapat pada tingkat kelerengan yang curam memiliki masalah utama berupa lahan
kering sehingga berakibat pada produksi tanaman yang dibudidayakan. Idjudin dan
Marwanto (2008) menyatakan bahwa kendala produksi di lahan kering adalah kondisi
fisik lahan (kedalaman tanah relatif dangkal, sebagian horizon A atau B hilang tererosi,
lereng curam, kekeringan, teknologi (penerapan teknik konservasi yang lemah), dan
sosial ekonomi (rendahnya subsidi atau kurangnya biaya untuk upaya konservasi
tanah). Sehingga perlu upaya pengelolaan tanah dan air yang efektif dan ekonomis
untuk meningkatkan produksi tanaman yang dibudidayakan.
1.2. Tujuan
Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah
tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang
tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Secara
umum berdasarkan penggunaannya untuk pertanian lahan kering dikelompokkan
menjadi pekarangan, tegalan/kebun/ladang/huma, padang rumput, lahan sementara
tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, dan lahan untuk perkebunan (BPS, 2010).
Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan
pengertian bentuk-bentuk usaha tani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di
bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan
yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan
sebagai sumber air.
Pertanian lahan kering umumnya terdapat di daerah hulu (up land) hingga
daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995
dalam Ladamay 2010). Berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dan topografi, lahan
kering dibedakan menjadi dataran rendah (elevasi < 700 m dpl.) dan dataran tinggi
(elevasi > 700 m dpl.), dengan luasan masing-masing sebesar 87,3 juta Ha dan 56,7
juta Ha. Lahan kering dataran rendah pada umumnya datar berombak, berombak
bergelombang, dan berbukit, sedangkan lahan kering dataran tinggi umumnya
43
Manggis merupakan salah satu buah unggulan Indonesia yang memiliki peluang
ekspor yang menjanjikan. Dari tahun ke tahun permintaan manggis meningkat seiring
44
dengan kebutuhan konsumen terhadap buah yang mendapat julukan ratu buah Queen
of Fruits (Nugroho, 2009).
Bahri et al., (2012) taksonomi dari tanaman manggis, yaitu Kingdom : Plantae;
Sub Kingdom : Tracheobionta; Divisi : Spermatophyta; Sub Divisi : Angiospermae;
Kelas : Dicotyledoneae; Sub Kelas : Dilleniida; Ordo : Guttiferanales; Famili :
Guttiferae; Genus : Garcinia; Spesies : Garcinia mangostana L.
Kulit buah manggis ukurannya tebal mencapai proposi sepertiga bagian dari
buahnya. Kulit buahnya mengandung getah yang warnanya kuning dan cita rasanya
pahit. Warna daging buah putih bersih dan cita rasanya sedikit asam sehingga digemari
masyarakat luas. Biji manggis berbentuk bulat agak pipih dan berkeping dua
(Rukmana, 1995).
Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis
yang teduh di kawasan Asia tenggara, yaitu hutan belantara Kalimantan Timur di
Indonesia atau semenanjung Malaya.
Tanaman ini dapat ditanam hingga ketinggian 1000 m di atas permukaan laut
(20-40 ) di daerah tropis, namun biasanya pertumbuhan maksimal berlangsung di
daerah dataran rendah (Nugroho, 2009). Mardiana (2012) menyatakan bahwa selain
memiliki nilai ekonomis tinggi, tanaman manggis juga memiliki kandungan nutrisi
yang bermacam-macam. Hal ini ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 12.Kandungan Nutrisi Buah Manggis per 100 gram
Kandungan Jumlah
Kalori 63,00 Kkal
Karbohidrat 15,60 g
Lemak 0,60 g
Protein 0,60 g
Kalsium 8,00 mg
Vitamin C1 2,00 mg
Vitamin B1 0,03 mg
Fosfor 12,00 mg
45
Kelas kemampuan lahan yang dapat digunakan untuk pertanian yaitu kelas
kemampuan lahan I - IV, sedangkan kelas V - VIII tidak sesuai digarap untuk pertanian
(Gambar 2.1) karena memiliki faktor penghambat/pembatas yang berat
(Simanungkalit, 2011). Sebagai contoh Hambatan dan ancaman kerusakan pada lahan-
lahan kelas kemampuan III lebih besar dari pada lahan-lahan di dalam kelas II.
Hambatan dan ancaman kerusakan pada lahan- lahan kelas kemampuan IV lebih besar
dari pada lahan-lahan di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas, begitu
seterusnya (Harjianto et al., 2016).
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan
tertentu. Tingkat ordo kesesuaian lahan terbagi menjadi 2 yaitu sesuai (S) dan tidak
sesuai (N). Lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu:
lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan
yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Tingkat
kesesuaian lahan dipengaruhi oleh temperature (tc), ketersediaan air (wa), media
perakaraan (rc), dan lain-lain (D. Djaenudin, Marwan H., Subagjo H., 2011). Adapun
persyaratan penggunaan dalam penilian kelas kesesuaian lahan untuk tanaman manggis
(Garcinia mangostana Linn.) dapat dilihat melalui gambar 2.1.
Kesuburan tanah adalah potensi tanah untuk menyediakan unsur hara dalam
jumlah yang cukup dalam bentuk tersedia dan seimbang untuk menjamin pertumbuhan
dan produksi tanaman yang optimum (Anna dkk, 1985 dalam Yamani, 2010). Tanah
yang diusahakan untuk bidang pertanian memiliki tingkat kesuburan yang berbeda-
beda. Pengelolaan tanah secara tepat merupakan faktor penting dalam menentukan
pertumbuhan dan hasil tanaman yang akan diusahakan.
Penilaian evaluasi status kesuburan tanah dapat dilakukan melalui pendekatan uji
tanah dimana penilaian dengan menggunakan metode ini relatif lebih akurat dan cepat.
Pengukuran sifat-sifat kimia tanah sebagai parameter kesuburan tanah kemudian
ditetapkan dalam kriteria kesuburan tanah (Pinatih, Kusmiyarti dan Susila, 2015).
Terdapat dua parameter evaluasi kesuburan tanah yaitu tingkat kesuburan dan kelas
kesuburan.
Pengambilan sampel dan analisis lapang praktikum pengelolaan tanah dan air
dilaksanakan pada hari Kamis, 07 Maret 2019, di Satuan Peta Lahan satu (gambar 3.2),
50
Gambar 7.Foto udara lokasi praktikum lapang pengelolaan tanah dan air
3.3.2. Analisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Sumber Daya Lahan
Tabel 13. Analisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Sumber Daya Lahan
Tabel 15..Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.)
4.2. Pembahasan
Faktor pembatas pada SPL satu adalah retensi hara (nr) berupa pH H2O dan
bahaya erosi (eh) berupa lereng eh1 (Tabel 4.2). Kedua faktor pembatas dapat
dilakukan upaya pengelolaan agar sesuai untuk budidaya manggis. Selain kedua faktor
pembatas, karakteristik lahan lain seperti KTK, KB, C-org (retensi hara) dapat
dilakukan pengelolaan agar terjadi peningkatan hara pada SPL satu. Bahaya erosi
semakin rendah, seiring optimalnya pengelolaan lereng. Pengelolaan terhadap
beberapa karakteristik lahan pada SPL satu dilakukan untuk menaikkan kelas kesesuian
lahan guna meningkatkan kecocokan sebidang lahan untuk budidaya tanaman manggis.
Adapun upaya pengelolaan yang dilakukan sebagai berikut :
4.2.1. Pengapuran
Kemasaman merupakan salah satu kendala yang terdapat pada lahan SPL satu.
pH H2O pada lahan tersebut bernilai 3,65 dengan kategori sangat masam (Balittanah,
2009). Kemasaman tanah menyebabkan peningkatan kelarutan ion-ion asam seperti Al,
Fe, Mn namun menurunkan ion ion basa seperti Ca,Mg, dan lain-lain. Al,Fe
merupakan unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, sehingga jika
ketersediaannya pada tanah memiliki jumlah yang besar maka akan bersifat racun dan
tanaman tidak dapat tumbuh normal.
Pengapuran merupakan salah satu langkah yang sering dilakukan untuk
mengatasi masalah tanah masam. Kapur yang umumnya digunakan adalah dolomit,
CaCO3 atau bahan lain yang mengandung kapur untuk meningkatkan kelas kesesuian
lahannya terhadap komoditas, hingga pH meningkat menjadi >5,5 di mana Al3+ akan
mengendap menjadi bentuk yang tidak meracuni tanaman Hardjowigeno (2002).
54
Prabowo dan Subantoro (2010) menyatakan bahwa fungsi kapur antara lain untuk
menaikkan pH tanah sekaligus dapat membebaskan N dan P dari ikatan Al dan Fe.
Widyawati (2007) pengapuran dapat meningkatkan kalsium (Ca) dan pH tanah
melalui hidrolisis asam lemah. Kalsit dan dolomit merupakan bahan yang banyak
digunakan, karena relatif murah dan mudah didapat. Bahan tersebut selain dapat
memperbaiki sifat fisik tanah juga tidak dapat meninggalkan residu yang merugikan
dalam tanah. Pemberian kapur pada media budidaya diharapkan mampu meningkatkan
pH tanah dan mengefektifkan unsur-unsur hara agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Sehingga dengan pemberian kapur diharapkan tanah yang sebelumnya bersifat masam
akan memilki pH netral atau pH yang sesuai terhadap pertumbuhan komoditas yang
sedang di usahakan dalam hal ini tanaman manggis untu SPL 1. Subiksa et al. (2009),
menunjukkan pemberian dolomit 2 t ha-1 dan SP-36 200-300 kg ha-1 dapat
menghasilkan rata-rata 4,0 t ha-1 GKG pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan
Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan. Hal tersebut di tambahkan dalam
penelitian Hartatik dkk., (1999) pada tanah masam potensial di Tabung Anen
Kalimantan Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-
masing sebesar 43 kg P ha-1, 52 kg K ha-1, kapur 1 t ha-1 dan pupuk kandang 5 t ha-1
memberikan hasil 3,24 t ha-1 GKG. Adapun hasil penelitian Taufiq et al. (2004)
menunjukkan bahwa penambahan kapur setara 0,25 x Aldd atau 259 kg CaO/ha
meningkatkan hasil kedelai sebesar 75% dari 0,8 menjadi 1,4 t/ha di lahan kering
Tulang Bawang, Lampung.
Hasil penelitian Winarso, dkk (2009) Pengapuran dengan CaCO3 dapat
menurunkan Aldd tanah, sedangkan perlakuan kombinasi CaCO3 dengan senyawa
humik meningkatkan pH tanah hingga menjadi lebih dari 6,5; sehingga Aldd tidak
terdeteksi. Selain itu pengapuran dengan CaCO3 juga dapat meningkatkan P-larut atau
menyebabkan desorpsi P dan desorpsi P ini akan meningkat hingga 384% apabila
penambahan CaCO3 sebanyak 0,0016 M dengan senyawa humik 5.000 ppm.
Persentase desorpsi P akan jauh meningkat lagi apabila senyawa humik ditambahkan
secara terus menerus, yaitu meningkat hingga 739% pada penambahan CaCO3 0,0008
M. Meningkatnya nilai pH setelah diinkubasi dengan kapur, dikarenakan kapur
55
mengandung unsur Ca dan Mg, dimana kedua unsur ini menggeser kedudukan H+
dipermukaan koloid, sehingga menetralisir keasaman tanah, sehingga dapat
meningkatkan hasil produksi tanaman. Maftu’ah et al. (2013) bahwa kapur
memberikan pasokan H- ke dalam larutan tanah yang bereaksi dengan H+ menjadi air
dan menyebabkan kadar H+ berkurang sehingga pH tanah meningkat.
4.2.2. Pemupukan
Hairiah et al. (2000) menyarankan bahwa pemupukan di lahan masam harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut (a) waktu pemberian pupuk harus
diperhitungkan supaya pada saat pupuk diberikan bertepatan dengan saat tanaman
membutuhkan, yang dikenal dengan istilah sinkronisasi. (b) penempatan pupuk harus
diusahakan berada dalam daerah aktivitas perakaran, agar pupuk dapat diserap oleh
tanaman secara efektif (sinlokalisasi), dan (c) jumlah atau takaran pupuk yang
diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman, supaya pupuk yang diberikan tidak
banyak hilang percuma sehingga dapat menekan biaya produksi serta menghindari
terjadinya polusi dan keracunan bagi tanaman. Pemupukan pada lahan kering masam
sangat diperlukan mengingat lahan ini termasuk lahan marginal, dimana status hara
makro (N, P, K, Ca dan Mg) dan bahan organik rendah. Nasution dan Al-Jabri (1999)
pemberian pupuk NPK pada lahan kering masam dapat meningkatkan P-tersedia, N-
total, K-dd, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa.
4.2.3. Pemberian Amelioran
Pemberian amelioran pada tanah bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Tanah yang subur adalah media yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman karena tanah
mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman sehingga tanaman mampu berproduksi
secara optimal. Menurut Salsi (2011) jenis amelioran seperti kapur, abu janjang kelapa
sawit, kompos TKKS, abu sekam padi, dan pupuk kotoran ayam dapat meningkatkan
unsur hara pada tanah. Kompos dan pupuk kotoran ayam memiliki pH netral
dikarenakan kompos banyak mengandung senyawa organic sederhana dalam bentuk
gugus karboksil danp henolik yang mampu mengikat Al dan Fe membuka ikatan
kompleks sehingga tidak mampu menyumbang kanion H+ kedalam tanah yang berarti
kondisi ini menurunkan kemasaman (Maryati et al., 2014). Kandungan N pada pupuk
56
kotoran ayam, kompos TKKS, dan abu sekam padi, cukup tinggi dikarenakan
kandungan C/N yang tinggi yaitu 24,0-33,2. kompos TKKS memiliki kandungan N
yang tinggi karena tandan kosong kelapa sawit memiliki kandungan C/N yang tinggi
(Mahbub et al., 2011). Kandungan K pada semua jenis amelioran yang digunakan
sangat rendah. Kandungan K pada pada pupuk kotoran ayam, kompos TKKS, kapur,
abu sekam padi, AJKS yaitu 0,43, 0,51, <0,10, 0,28, 0,41. Menurut Purnamayani dkk.,
(2014) salah satu penyebab rendahnya kandungan K pada semua jenis amelioran
dikarenakan sifat K yang mudah bergerak dan tercuci. Pendapat ini didukung oleh
pernyataan Baon dan Sugiyanto (2011) salah satu sifat yang dimiliki unsur K adalah
mudah bergerak dan tercuci, terutama ketika KTK dalam kondisi rendah.
4.2.4. Penambahan Bahan Organik
Tanah dengan bahan organik rendah akan membuat tanah tersebut terdegradasi
karena rendahnya tingkat dekomposisi sehingga mengakibatkan kemantapan agregat
tanah berkurang. Penggunaan pupuk organik pada lahan kering masam selain
dimaksudkan untuk memperbaiki kesuburan tanah juga untuk menekan
penggunaan pupuk anorganik. Soepardi (1983) menyatakan kemampuan tanah
menghasilkan suatu produksi berhubungan dengan kadar bahan organik. Cooperband
(2002) bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik (merangsang granulasi,
memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan kemampuan menahan air), sifat kimia
(meningkatkan kapasitas tukar kation, menetralkan toksisitas unsur tertentu, sebagai
buffer atau penyangga untuk menjaga keseimbangan pH tanah), dan sifat biologi tanah
(meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan besar dalam fiksasi dan
transfer hara tertentu seperti N, P, S). Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah
akan meningkatkan nilai C-organik tanah, semakin tinggi nilai C-organik maka
semakin tinggi pula kandungan bahan organik tanah. Hasil studi oleh Mulongoy et al.
(1993) yang menyatakan bahwa kandungan C-organik, bukan asam humid berkorelasi
positif dengan KTK, karena itu menurutnya C-organik adalah salah satu sumber KTK.
Menurut Bhatti et al. (1990), pengaruh dari bahan organik pada tanah masam cukup
berkaitan dengan aluminium bebas yang bersifat toksik bagi tanaman. Hal ini
57
SPL 1 terdapat pula faktor pembatas eh1 (lereng), dalam menangani lereng yang
berdampak terhadap erosi tanah, untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan
beberapa cara, salah satunya adalah teknik teras gulud. Teras gulud adalah barisan
guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang guludnya. Metode ini
dikenal pula dengan istilah guludan bersaluran. Fungsi dari teras gulud hampir sama
dengan teras bangku, yaitu untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan
penyerapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat untuk mengalirkan aliran permukaan
dari bidang olah ke SPA. (Dariah et al., ). Menurut Agus dkk., (1999) hal yang perlu
diperhtikan saat membuat tersa gulud adalah;
1. Teras gulud cocok untuk kemiringan lahan antara 10-40%, dapat juga
diterapkan pada kemiringan 40-60%, namun relatif kurang efektif.
2. Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat tepat menurut
arah garis kontur. Sedangkan pada tanah yang permeabilitasnya rendah,
guludan dibuat miring terhadap kontur sebesar tidak lebih dari satu persen
menuju ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang tidak
segera masuk ke dalam tanah dapat disalurkan dengan kecepatan rendah
keluar lapangan.
58
Pembuatan teras gulud lebih efisien daripada proses pembuatan teras bangku.
Efisien disini artinya adalah efisien terhadap tenaga manusi dan juga efisien terhadap
harga pembuatan karena biaya lebih murah. Meskipun efektivitas teras gulud dalam
menahan erosi tidak setinggi teras bangku, namun bila teras gulud mampu menahan
erosi sampai di bawah batas erosi yang diperbolehkan, dan lahan belum diteras bangku,
maka disarankan pilihan diprioritaskan pada teras gulud mengingat biaya
pembuatannya yang jauh lebih rendah, dan relatif lebih mudah diterapkan. Agus dkk.,
1999 dalam Harjianto et al., 2016) menyatakan bahwa Biaya pembangunan teras gulud
relatif lebih murah dibandingkan dengan teras bangku, yaitu dibutuhkan 65-180 HOK
ha-1.
4.2.6. Pembuatan Rorak
Selain penerapan teras gulud dalam mencegah bahaya erosi oleh air pada lahan
kering, dapat juga dicegah dengan penggunaan rorak. Pembuatan rorak ditujukan untuk
memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi,
sehingga tanah tidak terbawa oleh laju air yang menyebabkan erosi. Rorak dikenal
sebagai metode konservasi tanah mekanik yang relatif murah dan mudah untuk
diterapkan. Menurut Arsyad (2000) lubang rorak yang disarankan adalah dalam 60 cm,
lebar 50 cm dengan panjang sekitar 400-500 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur
atau memotong lereng, jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lain berkisar
antara 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal berkisar antara 20 m pada lereng yang
landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam. Namun menurut
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (1998) rorak sebaiknya berukuran panjang 100 cm,
lebar 30 cm dan dalam 30 cm. Dimensi rorak yang akan dipilih sebaiknya disesuaikan
dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya yang akan
ditampung. Penggunaan rorak dalam mengendalikan erosi dan laju aliran permukaan,
sangat efektif karena dapat mengendalikan laju aliran permukaan dan mampu
menampung air atau dapat memanen air sehingga besarnya aliran permukaan dan erosi
pada lahan miring dapat dikendaikan. Dariah et al, rorak yang dikombinasikan dengan
mulsa vertikal mampu mengurangi erosi sampai 94% dari erosi pada petak tanpa teknik
59
konservasi tanah. Teknik tersebut juga merupakan suatu cara pemanenan air yang
tergolong efektif, khususnya pada lahan agak curam (10-25%).
4.2.7. Teknik Bedengan Sejajar Kontur
Terdapat banyak cara dalam mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan,
salah satunya adalah penerapan teknih bedengan sejajar kontur. Penerapan sistem
bedengan sejajar kontur efektif bila tanaman atau komoditas yang diusahakan tidak
terlalu rentan terhadap drainase yang lambat. Namun bila tanaman yang diusahakan
sangat peka terhadap drainase yang buruk, maka bedengan dapat dibuat searah lereng.
Menurut Suganda et al. (1999) cara untuk mengurangi erosi dalam budidaya kentang
di lahan berlereng, yaitu membagi panjang bedengan searah lereng dengan pembuatan
guludan searah kontur yang dapat ditanami cabai, Cara demikian menghasilkan umbi
kentang sedikit lebih rendah, namun laju erosi dapat ditekan sampai 27% dibanding
cara pembuatan bedengan searah lereng. sehingga dengan berkurangnya erosi maka
kehilangan hara makro (N, P, dan K) dapat ditekan.
60
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Faktor pembatas yang dapat dikelola pada SPL satu adalah retensi hara dan
bahaya erosi
2. Pengelolaan tanah dan air yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelas
lahan SPL satu adalah pengapuran, penambahan bahan organik, konservasi
tanah secara mekanis (rorak, teras bangku, bedengan sejajar kontur)
61
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Arsyad (2010). Konservasi Tanah dan Air. (edisi ke dua) Bogor: Serial Pustaka IPB
Press
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik Jombang. 2018. Jombang dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Indonesia. Jakarta.
Bahri. S, Pasaribu, F., dan P. Sitorus. 2012. Uji Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis
(Garcinia mangostana L.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah. Journal of
Pharmaceutics dan Pharmacologi. 1(1): 1-8.
Baon, J.B. dan Sugiyanto. 2011. Sifat kimia tanah akibat abu asal tanaman pengganti
pupuk kalium dan nilai konversinya. Jurnal Pelita Perkebunan, 27(2) : 98-108.
Bhatti J S, Comerford NB, Johnston CT. 1998. Influence of Soil Organic Matter
Removal and pH on Oxalate Sorption Onto a Spodic Horizon. Soil Sci. Soc. Am
J. 62:152-158.
Cooperband, L. 2002. Building Soil Organic Matter with Organic Amandment. Center
for Integrated Agricultural Systems (CIAS), College of Agricultural and Life
Sciences, University of Wisconsin-Madison.
http://www.wisc.edu/cias/.index.html. [31 Agustus 2006].
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering
dataran rendah. Dalam Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 197−222
62
Hairiah, K., Widianto, SR. Utami, D. Suprayogo, Sunaryo, SM. Sitompul, B. Lusiana,
R. Mulia, MV. Noordwijk dan G. Cadisch. 2000. Pengelolaan Tanah Masam
Secara Biologi ; Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. SMT Grafika Desa
Putera, Jakarta. 187 hlm.
Harijaya, O. 1995. Konservasi Tanah dan Air Lanjutan Bahan Kuliah Program
Pascasarjana IPB. (Tidak Diterbitkan). dalam Ladamay I. 2010. Pengelolaan
Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Maftu’ah, E., A. Mas, A. Syukur dan B.H. Purwanto. 2013. Evektivitas Amelioran pada
Lahan Gambut Terdegredasi untuk Meningkatkan Pertumbuhan Danserapan
NPK Tanaman Jagung Manis (Zea mays L.). Jurnal Agron Indonesia, 41(1): 16-
23.
Mahbub, I, A., A. Muzar dan Ermadani. 2011. Pengaruh Residu Kompos Tandan
Kosong Buah Kelapa Sawit Terhadap Beberapa Sifat Kimia Ultisol dan Hasil
Kedelai. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, 13(2): 11 – 18.
Mardiana, L., 2012. Ramuan dan Khasiat Kulit Manggis. Jakarta: Penebar Swadaya.
Maryati, Nelvia dan E. Anom. 2014. Perubahan Kimia Tanah Sawah saat Serapan
Hara Maksimum Oleh Padi (Oryza sativa L.) Setelah Aplikasi Campuran
Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dengan Abu Boiler. Jurnal
Agrotek, 1(1): 1-14.
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan
Pertanian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Mulongoy K, Kunda KN, Chiang CNK. 1993. Effect of Alley Cropping and Fallowing
on Some Soil Fertility Parameters in Southern Nigeria. In Mulongoy and R.
merckx (eds). Soil Organic Matter Dynamics and Sustainability of Tropical
Agriculture. A Wiley-Sayce Co Publication. P: 57-66.
Daya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hal 177–190.
Nugroho AE. 2009. Manggis (Garcinia Mangostana L.): dari kulit buah yang terbuang
hingga menjadi kandidat Suatu Obat. Majalah Obat Tradisional. 12(42):1–9.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 1998. Pedoman Teknis Budi Daya Tanaman Kopi
(Coffea sp.). Dalam Nur, A.M. et al. (Eds.). Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
Jember.
Rao, N.S.Subba. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke-
2. Jakarta : UI Press.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
IPB.
Subiksa, IGM. dan NP. Sri Ratmini. 2009. Pengaruh kapur dan fosfat alam terhadap
pertumbuhan dan produksi padi pada lahan sulfat masam Telang Sumatera
Selatan. Prosiding Pertemuan Ilmiah HITI Palembang Sumatera Selatan.
Suganda, H, Kusnadi, H & Kurnia, U. 1999. Pengaruh Arah Barisan Tanaman dan
Bedengan dalam Pengendalian Erosi pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi.
Jurnal Tanah dan Iklim. vol. 17, hlm. 55-64.
Taufiq, A., H. Kuntyastuti dan A.G. Mansuri. 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan
kering masam untuk peningkatan produktivitas kedelai. Lokakarya
Pengembangan Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu.
BPTP Lampung. Hal. 21–40.
LAMPIRAN
Data Pendukung :
1. Peta Penggunaan Lahan
2. Data Curah Hujan (3 – 5 th)
3. Produksi per tahun (ton/ha)
4. Pengelolaan lahan yg pernah dilakukan
a. Pemupukan (jenis pupuk, dosis pupuk)
b. Pemberantasan hama penyakit (Jenis obat, dosis)
c. Pengolahan Tanah (Teras, guludan, saluran drainase dll)
5. Foto lahan eksisting
1.2. Prosedur
2. Membersihkan dan mengeringkan labu ukur lalu menimbangnya
3. Mengisi labu ukur dengan air suling sampai ke garis batas volume, kemudian
menimbangnya
4. Mengeluarkan sekitar separuh air ke dalam gelas piala
5. Menambahkan 10 g contoh tanah halus kering oven yang telah lolos ayakan 2
mm.
6. Mengeluarkan gelembung udara dari labu ukur dengan menggunakan pompa
hisap selama 2 - 5 menit sehingga gelembung udara lenyap. Hisap pompa tersebut
dengan daya hisapan ≤ 0,7 atm.
7. Menambahkan air suling ke dalam labu ukur hingga garis batas volume dan
menimbangnya
Bahan yang dibutuhkan adalah tanah utuh dalam ring. Sedangkan alat yang
dibutuhkan adalah Cawan timbang, neraca analitik, oven dan desikator
2.2. Prosedur
1. Meletakkan tanah utuh pada cawan timbang
70
Bahan yang dibutuhkan adalah contoh tanah yang digunakan adalah contoh tanah
tidak terganggu (utuh), diambil dengan menggunakan ring atau selinder dari metal
(umumnya terbuat dari kuningan atau plastik, metode pengambilan contoh tanah
disajikan pada Bab 2, Balittan 2006). Contoh tanah tetap dipertahankan berada di dalam
ring/selinder selama pengukuran/penetapan berlangsung. Dimensi dari contoh tanah
dapat bervariasi. Idealnya harus mewakili unit struktur terbesar dalam tanah, namun
demikian tidaklah praktis bila menggunakan ukuran yang terlalu besar. Ukuran ring
yang dianggap layak untuk digunakan dalam penetapan permeabilitas tanah adalah
berdiameter antara 5 dan 10 cm dengan panjang atau tinggi ring antara 5 dan 25 cm.
Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor menggunakan ring
berukuran tinggi 4 cm dan diameter dalam 7,63 cm.
3.2. Prosedur
1. Tutup atau lapisi ujung contoh tanah bagian bawah menggunakan kasa halus atau
kain tipis, bertujuan untuk menahan tanah sehingga tidak lolos dari ring. Jika
contoh tanah bertekstur halus, perlu dipilih penutup dari saringan yang relatif rapat.
71
2. Contoh tanah di dalam ring (yang telah dilapisi bagian bawahnya dengan saringan)
direndam dalam air pada bak perendaman dengan kedalaman sedikit di bawah
bagian atas ring (misalnya jika ring yang digunakan mempunyai ketinggian 4 cm,
maka ketinggian air perendaman kira-kira sampai setinggi 3 cm dari dasar bak).
Maksud perendaman adalah untuk mengeluarkan semua udara dari dalam pori-pori
tanah, sehingga tanah dapat dikondisikan dalam keadaan jenuh. Untuk membuat
tanah dalam keadaan jenuh, maka dibutuhkan waktu perendaman selama lebih dari
12 jam atau sampai contoh tanah nampak basah (Klute dan Dirksen, 1986). LPT
(1979) menggunakan waktu perendaman lebih dari 24 jam untuk membuat kondisi
tanah dalam keadaan jenuh sempurna
3. Setelah proses penjenuhan selesai, bagian atas dari ring yang berisi contoh tanah
dihubungkan dengan ring kosong, menggunakan pita atau gelang karet dengan
lebar sekitar 3 cm atau selotip (pita perekat) tahan air. Selama proses
penyambungan, contoh tanah tetap berada di dalam air rendaman. Selanjutnya
contoh tanah tersebut dipindahkan ke alat pengukuran, kemudian air dialirkan ke
alat tersebut. Jaga agar tinggi air di atas contoh tanah konstan.
4. Lakukan pengukuran volume air yang keluar melalui masa tanah. Untuk
mempermudah perhitungan, disarankan setiap pengukuran dilakukan dalam jangka
waktu satu jam. Pengukuran pertama dilakukan 6 jam setelah contoh tanah dialiri
air. Misalnya, bila contoh tanah diletakkan dan dialiri air pada jam 9, maka
pengukuran pertama dilakukan pada jam 15 - jam 16. Pengukuran kedua pada jam
16 - jam 17. Pengukuran selanjutnya dilakukan keesokan harinya pada jam
dimulainya proses pengaliran air (dalam hal ini dari jam 9 - jam 10). Pengukuran
dilakukan minimal sampai hari keempat pada jam yang sama selama satu jam.
Mengambil nilai rata-rata dari kelima pengukuran.
72
Fosfat dalam suasana asam akan diikat sebagai senyawa Fe, Al-fosfat yang sukar larut.
NH4F yang terkandung dalam pengekstrak Bray akan membentuk senyawa rangkai
dengan Fe & Al dan membebaskan ion PO43-. Pengekstrak ini biasanya digunakan pada
tanah dengan pH <5,5. 8.2.
1.2. Alat
Alat yang dibutuhkan adalah dispenser 25 ml,dispenser 10 ml, tabung reaksi,
pipet 2 ml, kertas saring, botol kocok 50 ml, mesin pengocok, spektrofotometer
Koloid tanah (mineral liat dan humus) bermuatan negatif, sehingga dapat
menyerap kation-kation. Kation-kation dapat ditukar (dd) (Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+)
dalam kompleks jerapan tanah ditukar dengan kation NH4+ dari pengekstrak dan dapat
diukur. Untuk penetapan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, kelebihan kation penukar
dicuci dengan etanol 96%. NH4+ yang terjerap diganti dengan kation Na+ dari larutan
NaCl, sehingga dapat diukur sebagai KTK. Kation-kation dapat ditukar (Ca2+, Mg2+,
73
K+ dan Na+) ditetapkan dengan SSA. NH4+ (KTK) ditetapkan secara kolorimetri
dengan metode Biru Indofenol.
2.2. Alat
Alat yang dibutuhkan adalah tabung perkolasi, labu ukur 50 ml, labu ukur 100
ml, labu semprot, spektrofotometer UV-Vis, SSA
Pengukuran KTK dapat dilakukan dengan cara destilasi langsung, destilasi perkolat
NaCl dan kolorimetri perkolat NaCl.
penambahan larutan NaOH. Selanjutnya, NH3 yang dibebaskan diikat oleh asam borat
dan dititar dengan larutan baku H2SO4 menggunakan penunjuk Conway. Cara
spektrofotometri menggunakan metode pembangkit warna indofenol biru.
4.1. Alat
Alat yang dibutuhkan adalah neraca analitik tiga decimal, Tabung digestion &
blok digestion, labu didih 250 ml, erlenmeyer 100 ml bertera, buret 10 ml, pengaduk
magnetik, dispenser, tabung reaksi, pengocok tabung, alat destilasi atau
spektrofotometer
4.2. Cara kerja
Menimbang 0,5 g contoh tanah ukuran < 0,5 mm, dimasukkan ke dalam tabung
digest. Ditambahkan 1 g campuran selen dan 3 ml asam sulfat pekat, didestruksi hingga
suhu 350 oC (3-4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih
(sekitar 4 jam).
Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas
ion hingga tepat 50 ml. Kocok sampai homogen, biarkan semalam agar partikel
mengendap. Ekstrak digunakan untuk pengukuran N dengan cara destilasi atau cara
kolorimetri.
Pengukuran N dengan spektrofotometer
Pipet ke dalam tabung reaksi masing-masing 2 ml ekstrak dan deret standar.
Tambahkan berturut-turut larutan sangga Tartrat dan Na-fenat masing- masing
sebanyak 4 ml, kocok dan biarkan 10 menit. Tambahkan 4 ml NaOCl 5 %, kocok dan
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 636 nm setelah 10 menit
sejak pemberian pereaksi ini.
Catatan: Warna biru indofenol yang terbentuk kurang stabil. Upayakan agar
diperoleh waktu yang sama antara pemberian pereaksi dan pengukuran untuk setiap
deret standar dan contoh.
5. Pengukuran pH tanah
5.1. Alat
Alat yang dibutuhkan adalah botol kocok 100 ml, dispenser 50 ml/gelas ukur,
mesin pengocok, labu semprot 500 ml, pH meter
76
6.1. Dasar
6.2. Alat
Alat yang dibutuhkan adalah mesin pengaduk khusus dengan piala logam ,
silinder sedimentasi atau gelas ukur 500 ml. Pengaduk khusus untuk suspensi, alat
hidrometer tanah tipe 152 H, Timer atau stopwatch.
6.3. Cara kerja
Dalam piala gelas 100 ml ditimbang 25,00 g contoh tanah halus < 2 mm
ditambahkan 10 ml larutan pendispersi natrium pirofosfat. Dipindahkan ke dalam piala
logam dan diencerkan dengan air bebas ion sampai isi 200 ml. Diaduk dengan mesin
pengaduk kecepatan tinggi selama 5 menit. Setelah itu semuanya dipindahkan ke dalam
gelas ukur 500 ml (lakukan pembilasan), diencerkan dengan air bebas ion sampai isi
500 ml, diaduk dengan pengaduk khusus dan dibiarkan semalam. Dengan cara yang
sama, tetapi tanpa contoh, dibuat penetapan blanko.
Catatan: Bila mesin pengaduk tidak tersedia, timbang contoh kedalam botol
kocok, tambahkan larutan pendispersi dan kocok dengan mesin kocok selama 1 malam.
Pindahkan seluruh suspensi ke dalam gelas ukur 500 ml dan cara kerja selanjutnya
sama
Pengukuran fraksi campuran debu dan liat
Keesokan harinya setiap suspensi tanah dalam gelas ukur diaduk selama 30
detik dengan pengaduk. Setelah itu stopwatch disiapkan untuk pengukuran fraksi
77
campuran debu dan liat. Suspensi dikocok homogen dengan pengaduk (cukup 20 detik)
setelah itu hidrometer tanah segera dimasukkan ke dalam suspensi dengan perlahan
dan hati-hati. Tepat 40 detik setelah pengocokan, angka skala hidrometer yang berimpit
dengan permukaan suspensi dicatat (pembacaan 1). Angka tersebut menunjukkan
jumlah g fraksi campuran debu+liat per liter suspensi. Larutan blanko juga diukur
untuk koreksi suhu fraksi debu+liat.
Pengukuran fraksi liat
Suspensi tersebut dibiarkan selama 2 jam agar diperoleh suspensi liat dan
segera diukur dengan alat hidrometer. Angka skala hidrometer yang berimpit dengan
permukaan suspensi dicatat (pembacaan 2). Angka tersebut adalah jumlah g fraksi liat
dalam 1 l suspensi. Larutan blanko juga diukur untuk koreksi suhu fraksi liat.
Lampiran 7. Tabel hasil analisis sifat fisika tanah
Tabel 18. Hasil analisis kadar air
78
Tabel 20. Hasil analisis permeabilitas tanah
No Sampel Berat Cawan + Ring Berat kering + Cawan + Ring BTKO D RING T RING BI (g/cm3)
1 T1.1 102.11 214.13 112.02 4.70 6.00 1.08
2 T1.2 107.48 228.13 120.65 4.60 5.90 1.23
3 T2.1 106.34 213.75 107.41 4.60 5.80 1.11
4 T2.2 104.26 215.89 111.63 4.60 5.80 1.16
5 T3.1 103.37 224.42 121.05 4.60 5.80 1.26
6 T3.2 136.16 241.37 105.21 4.50 5.80 1.14
7 T4.1 120.34 233.00 112.66 4.30 5.90 1.32
8 T4.2 107.43 222.16 114.73 4.50 5.80 1.24
79
Tabel 22. Hasil analisis berat jenis tanah
Bobot labu +
No Sampel Bobot labu Bobot labu + Tanah + Air B.Tanah V.Tanah
tanah BJ (g/cm3)
1 T1.1 68.68 98.78 182.69 32.76 11.82 2.77
2 T1.2 61.17 91.26 175.14 33.14 11.85 2.80
3 T2.1 61.39 91.53 175.20 32.95 12.07 2.73
4 T2.2 55.12 85.25 169.03 33.11 11.96 2.77
5 T3.1 70.28 100.42 184.23 32.51 11.93 2.73
6 T3.2 56.18 86.33 170.31 32.97 11.75 2.81
7 T4.1 67.05 97.19 181.01 32.92 11.92 2.76
8 T4.2 55.62 85.75 169.57 33.16 11.92 2.78
80
81
pH EC Redoks
No. Sampel
H2O KCl (µs) (mV)
1 T1 3.51 3.31 183.1 179
2 T2 3.40 3.22 191.9 182
3 T3 3.73 3.18 292.9 201
4 T4 3.97 3.22 241.6 199
Berat B. Kons.
Kode volume
Sampel Sampel FKA Hasil BO (%)
No. Sampel titrasi
(g) (mg) (%)
blangko 17.25
1 T1 0.5 500 13.45 1.107 1.26 2.18
2 T2 0.5 500 13.45 1.097 1.25 2.16
3 T3 0.5 500 13.50 1.081 1.22 2.10
4 T4 0.5 500 12.50 1.082 1.54 2.66
81
Tabel 28. Hasil analisa K-dd
Berat Berat
Kode Sampel
No. Sampel (g) Sampel (mg) ABS Konversi FKA FP Kons. Hasil (cmol/kg)
1 T1 1.5000 1500.00 0.7627 19.50 1.1072 1 0.74
2 T2 1.5000 1500.00 0.8801 22.61 1.0972 1 0.85
3 T3 1.5000 1500.00 0.7580 19.37 1.0810 1 0.72
4 T4 1.5000 1500.00 0.8242 21.13 1.0819 1 0.78
Berat
Kode Sampel Sampel Berat Sampel Kons. Hasil
No. (g) (mg) ABS Konversi FKA FP (cmol/kg)
1 T1 1.5000 1500.00 0.5072 12.72 1.1072 1 0.48
2 T2 1.5000 1500.00 0.6319 16.03 1.0972 1 0.60
3 T3 1.5000 1500.00 0.4553 11.34 1.0810 1 0.42
4 T4 1.5000 1500.00 0.1760 3.93 1.0819 1 0.15
82
Tabel 31. Hasil analisa Mg-dd
83
84