Anda di halaman 1dari 21

PERISTIWA YANG MENGGAMBARKAN TAKDIR ALLAH SWT

BAGI SEMUA MAKHLUK-NYA

Penulis

Nama : Novira Eqi Qinanti


Kelas : IX A

Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam


Guru Pengampu : Sutrisno

SMP NEGERI 1 WAY PENGUBUAN


LAMPUNG TENGAH
LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Peristiwa Yang Menggambarkan Takdir Allah Swt Bagi Semua
Makhluk-Nya.”

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu dan berpartisipasi demi terselesaikannya makalah ini.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah unutk memenuhi nilai
dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan sebagai sarana belajar untuk
dapat membuat makalah yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis perlukan
demi tersusunnya makalah yang lebih baik lagi.

Purnama Tunggal, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penulisan 3
1.4. Manfaat Penulisan 3
BAB II. ISI DAN PEMBAHASAN 4
2.1. Tingkatan Takdir 4
2.1.1. Tingkatan Pertama: al-‘Ilmu (Ilmu) 4

2.1.2. Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan) 5

2.1.3. Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah

(Keinginan dan Kehendak) 6

2.1.4. Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan) 8

2.2. Peristiwa Yang Menggambarkan Takdir Allah Swt Bagi Semua


Makhluk-Nya 9
2.2.1. Penciptaan Alam Semesta 9

2.2.2. Takdir Allah pada Binatang 10

2.2.3. Takdir pada Tumbuh-Tumbuhan 11

2.2.4. Penciptaan Lingkungan Hidup 11

2.2.5. Takdir Allah pada Manusia 12

2.2.6. Takdir Mubram 13

iii
2.2.7. Takdir Mu‘allaq 14

BAB III. SIMPULAN DAN SARAN 15


3.1. Simpulan 15
3.2. Saran 17

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang
terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman
kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir,
mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani
takdir. Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala
sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis
Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-
Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada
sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun
yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan
seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun
tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-


Qamar: 49)

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan
Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr:
21)

1
Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan
prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan
seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan
meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas
ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar
baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya
tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan
menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad
dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir
berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah
(no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya,


Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang
buruk.” (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam
wal Ihsan (VIII/1, IX/5))

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah


mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”


(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-
nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-
Mustadrak (I/23))

2
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat dibuat
adalah sebagai berikut:

1. Apa saja tingkatan takdir?


2. Apa saja peristiwa yang menggambarkan takdir Allah SWT bagi semua
makhluk-Nya?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkatan takdir.


2. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang menggambarkan takdir Allah
SWT bagi semua makhluk-Nya.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini antara lain:

1. Menambah khazanah keislaman.


2. Dapat membantu dalam praktik penulisan makalah yang baik dan benar.

3
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1. Tingkatan Takdir

Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang
disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah
pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku
beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya,
karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa
yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan,
maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang
mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah
rusak.

2.1.1. Tingkatan Pertama: al-‘Ilmu (Ilmu)

Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali


mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak
terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan
bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang
diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal,
amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka
yang sengsara dan bahagia.

Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui


apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa

4
yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-
An’aam: 59)

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-


Taubah: 115)

2.1.2. Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)

Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa


yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk
hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan
sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan
segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala
dalam Ummul Kitab.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu
tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula

5
oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi
(no. 557))

Dalam sabdanya yang lain,

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah
berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku
tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya
Kiamat.'”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu
Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-
Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317),
dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan
meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka
tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin
mencoba mencelakainya.

2.1.3. Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan


Kehendak)

Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai
dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang
berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai
apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya,
tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi
pada kita, sesuai dengan firman-Nya,

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang
akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)

Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi


segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun

6
manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-
Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk
mewujudkannya
.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya


petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama)
Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya
Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)

“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari


jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja
yang dikehendaki-Nya.” (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no.
2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat
Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar
Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang
sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas
kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali
atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera
(baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah
berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam
keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan
dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang
disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad,
hal. 15)

7
2.1.4. Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)

Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada
pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu
selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
memiliki arti:

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala


sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)

Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan


berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena
Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan)
kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga
memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia
dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat
membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab
hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya
dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar
melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan,
sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini
berdasarkan firman-Nya yang memiliki arti:

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat


itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)

Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

8
2.2. Peristiwa Yang Menggambarkan Takdir Allah SWT Bagi Semua
Makhluk-Nya

2.2.1. Penciptaan Alam Semesta

Allah Swt. telah menciptakan alam semesta dan Dia juga yang
mengaturnya. Allah Swt. menetapkan aturan tertentu bagi alam semesta agar
tetap dapat berjalan dan tidak binasa. Ini salah satu wujud takdir Allah Swt.
Jika alam semesta ini berjalan berdasarkan hukum alam semata tanpa ada
ketentuan dari Allah, tentu akan rusak. Contoh, matahari akan bebas terbit
sehari dan terbenam dalam beberapa hari. Bumi akan bebas beredar dan
berotasi untuk beberapa jam serta berhenti untuk beberapa jam kemudian.

Demikian pula dengan bulan dan bintang akan berjalan dengan


kehendaknya sendiri. Jika hal ini dibiarkan, alam semesta tidak akan lestari.
Alam semesta akan rusak karena tanpa ada kendali yang telah ditetapkan
Allah. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan makhluk, hukum alam juga
selalu berjalan berdasarkan takdir Allah Swt.

9
2.2.2. Takdir Allah pada Binatang

Ada banyak bukti yang menunjukkan contoh takdir Allah Swt. pada
binatang. Ada beberapa binatang yang mempunyai kekuatan melebihi
manusia, tetapi ditundukkan oleh Allah Swt. untuk dapat dimanfaatkan bagi
kepentingan manusia. Misalnya, adanya binatang-binatang ternak seperti
kuda, unta, kerbau, atau kambing. Untuk memperjelas, kita dapat mengambil
contoh berikut. Di sekitar kalian tentu ada hewan bernama kerbau. Kerbau
memiliki kekuatan melebihi manusia.

Dengan qada dan qadar-Nya kerbau dapat ditundukkan dan dapat


dimanfaatkan manusia untuk membajak sawah. Untuk memantapkan
keyakinan, simaklah ayat yang artinya, ”Dan tidakkah mereka melihat bahwa
Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa
yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka
menguasainya? Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk
mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian
untuk mereka makan. Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan
minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?” (Q.S. Yasin
[36]: 71–73)

10
2.2.3. Takdir pada Tumbuh-Tumbuhan

Contoh takdir Allah Swt pada tumbuhan dapat kita ambil dari ketika
kita berupaya membudidayakan tanaman dengan menggunakan bibit unggul,
lahan yang subur, pengairan yang baik, ternyata tidak menjamin bahwa
tanaman yang kita tanam tersebut tumbuh dengan baik. Bisa jadi sebaliknya,
menjadi gagal panen karena timbulnya kerusakan tanpa diketahui
penyebabnya. Kondisi di atas menunjukkan takdir Allah dalam hal mengurusi
makhluk tumbuhan.

Allah Swt. berfirman yang artinya, ”Dan harta kekayaannya


dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda
menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon
anggur roboh bersama penyangganya (parapara) lalu dia berkata, ”Betapa
sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”
(Q.S. al-Kahfi [18]:42)

2.2.4. Penciptaan Lingkungan Hidup

Takdir Allah juga tampak jika kita mencermati lingkungan sekitar. Allah
Swt. dengan kehendak-Nya telah menakdirkan daerah-daerah tertentu
mempunyai curah hujan tinggi, sementara daerah lainnya kering atau jarang

11
turun hujan. Atas ketetapan takdir Allah pada lingkungan tersebut manusia
dapat membuat peta dengan mencantumkan batas-batas daerah dengan curah
hujan tinggi dan daerah yang kering. Akan tetapi, Allah Swt. dapat
menetapkan suatu daerah yang semula banyak curah hujan berubah menjadi
kering tanpa hujan. Sebaliknya, daerah yang semula kering bisa juga berubah
menjadi subur. Perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar kita tersebut
tidak disebabkan oleh hukum sebab akibat semata. Akan tetapi, Allah Maha
Berkehendak dengan takdir-Nya.

2.2.5. Takdir Allah pada Manusia

Contoh takdir yang telah ditetapkan Allah pada manusia yaitu dalam hal
proses penciptaan manusia. Sebagaimana makhluk-makhluk lainnya, manusia
lahir disebabkan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-
laki dan perempuan melakukan hubungan kelamin, akan terjadi kehamilan
dan lahirlah anak atau bayi. Hal ini yang berlaku dalam hukum sebab akibat.
Kenyataannya, proses tersebut kadang tidak berakhir dengan lahirnya anak.

Simak ayat yang artinya, ”Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi;
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan

12
kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada
siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha
Mengetahui, Mahakuasa”. (Q.S. asy-Syura [42]:49–50)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. menetapkan dalam hukum


sebab akibat bahwa jika laki-laki berhubungan dengan perempuan, lahirlah
anak. Akan tetapi, Allah Swt. menunjukkan kebesaran takdir-Nya dengan
tidak menciptakan anak untuk manusia sebagai peringatan agar kita tidak
hanya yakin pada kepastian sebab dan akibat. Dengan berbagai contoh yang
disebutkan di atas, seharusnya kita menjadi semakin mantap dalam meyakini
qada dan qadar Allah. Keyakinan yang kukuh terhadap takdir Allah
memberikan dampak yang positif bagi hidup kita.

2.2.6. Takdir Mubram

Secara bahasa, mubram artinya sesuatu yang sudah pasti dan tidak dapat
dielakkan. Takdir mubram secara istilah dapat diartikan dengan ketetapan
Allah Swt. yang pasti terjadi pada setiap makhluk sehingga tidak bisa ditolak
atau ditawar-tawar lagi. Ada banyak ketetapan yang pasti terjadi, contoh
takdir mubram adalah peristiwa hari kiamat, jenis kelamin ataukah waktu

13
kematian, jodoh, dan beberapa peristiwa lainnya. Atas kejadian tersebut
seluruhnya telah diatur oleh Allah Swt. Manusia tidak turut menentukannya.
Tidak ada manusia yang mengetahui jodoh atau memesan jenis kelamin
sebelum kelahirannya.

Kematian Jodoh

2.2.7. Takdir Mu‘allaq

Contoh takdir Muallaq adalah ketetapan tentang kemampuan ilmu,


banyaknya harta, terjaga kesehatan, keselamatan diri, dan berbagai peristiwa
lain. Ketetapan Allah Swt. menyangkut hal-hal tersebut tergantung pada
usaha manusia itu sendiri. Dengan demikian, ikhtiar atau usaha harus
dilakukan manusia kemudian berdoa memohon keberhasilan usaha tersebut.
Selanjutnya, kita menyerahkan sepenuhnya hasil usaha yang telah dilakukan
kepada Allah Swt. Apa pun hasil usaha yang telah ditetapkan Allah Swt. kita
terima dengan ikhlas dan lapang dada.

14
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1. Simpulan

Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah


penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan.
Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya,
demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan
ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala
sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah
atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita,
kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula
ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa
untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.

Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya


mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah
menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan
diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia
akan membawa hasil atas kehendak Allah.

Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita
harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa
yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena
sedikit ‘sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang
akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam yang berarti:

“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah


pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu
menimpamu, janganlah engkau berkata ‘seandainya aku melakukan ini dan

15
itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa
maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang
dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata)
‘seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))

Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah
Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat
mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk
selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai
penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.

Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan,


namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan
kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa
melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh
karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.

Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya yang memiliki arti:

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha


Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)

“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi


(keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)

Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari
rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar
adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan
kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah
musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam
sabdanya,

16
“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah
yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.”
(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi
(I/40))

Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan
akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan
yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam
melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi
kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika
menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang
menghadang.
Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an

3.2. Saran

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

“ yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tenteram. Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka
mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d : 28-29)

17

Anda mungkin juga menyukai