Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

ANEMIA

Oleh:
Muhammad Ridho, S.ked 04084821719239
Nicho Saputra Nugraha, S.Ked 04084821820134

Pembimbing:
dr. Aditiawati, Sp.A(K)

Opponen:
Alia Zaharani Utami, S.ked Kang Yee Lea, S.ked
Alvinnata, S.ked Marini Suryati, S.ked
Ashifa Maulidya Shibly,S.ked Mohan Babu Ramaloo, S.ked
Aulia Dini Nafisah, S.ked Neolene Shamala, S.ked
Azalia Talitha Zahra, S.ked N.P. Ayu Oka Shinta, S.ked
Dika Dwiyasa, S.ked Rahma Kurnia Lestari, S.ked
Egi Nabila, S.ked Riska Maretta, S.ked
Fidella Ayu Aldora, S.ked Yudistira Wrdana, S.ked
Jennifer Finnalia Husin, S.ked
`

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Anemia

Oleh:

Muhammad Ridho, S.ked 04084821719239


Nicho Saputra Nugraha, S.Ked 04084821820134

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 4 Februari
2019 s.d 15 April 2019

Palembang, Febuari 2019


Pembimbing

dr. Aditiawati, Sp.A(K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Anemia”.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Aditiawati,
Sp.A(K) selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada semua
pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberi ilmu dan
manfaat bagi penulis pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, Febuari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ....................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................16
BAB IV ANALISIS KASUS .................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................44

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit


sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara ringkas, anemia ditunjukkan
oleh penurunan kadar haemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit (red cell count). Anemia
merupakan suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar. Gangguan yang
terjadi dapat disebabkan oleh rendahnya produksi eritrosit dan Hb, meningkatnya kerusakan
eritrosit (hemolisis) atau kehilangan darah berlebihan.1
Hemoglobin adalah protein utama tubuh manusia yang berfungsi mengangkut oksigen
dari paru-paru ke jaringan perifer dan mengangkut CO2 dari jaringan perifer ke paru-paru.
Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan heme dan globin. Heme terdiri dari zat besi
(Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida.2 Anemia adalah suatu
keadaan dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari nilai normal.3 Dalam diagnosis anemia,
harus ditentukan terlebih dahulu adanya anemia, jenis anemia, etiologi atau penyakit yang
mendasari anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
mempengaruhi hasil pengobatan.4
Salah satu penyakit yang mendasari terjadinya anemia adalah thalassemia. Thalassemia
adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari
empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk
sempurna. Pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna menyebabkan eritrosit juga tidak
terbentuk dengan sempurna, sehingga eritrosit mudah rusak atau berumur pendek, yaitu kurang
dari 120 hari.1,5 Thalassemia diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan tingkat molekuler yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta.1
Thalassemia merupakan penyakit genetik sintesis hemoglobin yang menimbulkan
masalah kesehatan yang cukup penting di negara berkembang karena angka kejadiannya yang
tinggi serta konsekuensi jangka panjang yang harus diderita pasiennya. Indonesia termasuk
salah satu negara dengan angka kejadian thalassemia yang tinggi. Di Indonesia, pada pendataan
di RSCM sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien thalassemia mayor yang
berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen Anak FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5 %
pasien thalassemia β homozigot, 46,2 % pasien thalassemia HbE, serta thalassemia α 1,3%. 6
Berdasarkan data dari Lembaga Eijkman, angka kejadian thalassemia-α di Indonesia sekitar
2,6 – 11%, banyak ditemukan di Pulau Sulawesi, yaitu pada suku Bugis ataupun suku Kajang.
Sedangkan thalassemia-β, ditemukan rata-rata sekitar 3 – 10%, dengan pembawa sifat

1
terbanyak ditemukan di Pulau Sumatera, dan sekitar hampir 10% di daerah Palembang dan di
Pulau Jawa angka pembawa sifat sebesar 5%. Sedangkan untuk kelainan hemoglobinopati,
pembawa sifat hemoglobin E ditemukan sebesar 1,5 – 33% dan terbanyak didapatkan di Pulau
Sumba. Tingginya angka kejadian thalassemia ini mendorong para klinisi untuk dapat
melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat pada penderita thalassemia.7

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. MAJ
Umur : 9 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. JB
Nama Ibu : Ny. NS
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
Alamat : Lr. Amilin No.1005 RT 16 RW 02
Dikirim Oleh : RS. Muhammadiyah
MRS : 26 Januari 2019

II. ANAMNESIS
Tanggal : 8 Febuari 2019
Diberikan oleh : Orang tua kandung pasien (Alloanamnesis)

A. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan utama : Pucat
2. Keluhan tambahan : Lemas
3. Riwayat perjalanan penyakit :
± 9 tahun yang lalu, tampak perut anak membesar, BAB hitam seperti kotoran
kambing, frekuensi 1-2x/minggu, lalu disarankan dokter untuk dilakukan operasi,
namun keluarga menolak.
± 5 tahun yang lalu, nampak perut anak semakin membesar, BAB hitam sperti
kotoran kambig, frekuensi 1-2x/minggu, BAK (normal), Lemas (+), demam (+), lalu
anak dilakukan tindakan operasi.
± 3 bulan yang lalu, anak tampak pucat (+), pucat terlihat di wajah, lemas (+),
perut terasa kembung (+), BAB cair, frekuensi 3-4x/hari, BAK (normal), demam (-),
batuk (-), pilek (-), sesak napas (-), lalu anak dibawa ke IGD dan anak dirawat di RS
Muhammadiyah Palembang
± 2 bulan yang lalu, anak tampak pucat (+), pucat terlihat di wajah, lemas
(+),BAB cair, frekuensi 3-4x/hari, BAK (normal), nafsu makan menurun (+), demam

3
(-), batuk (-), pilek (-), sesak napas (-), lalu anak dibawa ke klinik di dekat rumahnya
dan diberikan obat (keluarga lupa nama obatnya).
± 1 bulan yang lalu, tampak di daerah scrotum membengkak, BAB cair,
frekuensi 3-4x/hari, BAK (normal), pucat (+) pucat terlihat di wajah, lemas (+), nafsu
makan menurun (+), BB menurun (+), batuk (-), Pilek (-), sesak napas (-), lalu
keluarga pasien membawa anaknya ke RS Muhammadiyah Palembang dan diberi obat
(keluarga lupa nama obatnya)
± 3 hari SMRS, anak tampak pucat (+), pucat terlihat di wajah, lemas (+), BB
dirasakan semakin menruun (+), demam (-), batuk (-), pilek (-), sesak napas (-), BAB
cair, frekuensi 4-5x/hari, BAK (normal), scrotum dan di daerah telapak tangan dan
kaki membengkak (+), lalu keluarga membawa anak ke RS Muhammadiyah
Palembang lalu di lakukan pemeriksaan lab dan di dapatkan Hb = 4,7 lalu pasien di
rujuk ke RSMH Palembang
Riwayat keluar cacing saat BAB (-), riwayat terasa gatal di sekitar dubur (-),
riwayat sering tidak menggunakan alas kaki saat bermain di tanah (-).
Riwayat kuning (-), penggunaan kapur barus dalam waktu lama (-), konsumsi
obat-obatan (-), tinggal di dekat pabrik (-), paparan radiasi (-), penggunaan obat
nyamuk bakar (-), paparan pestisida (-).
Riwayat pernikahan dengan anggota keluarga yang sedarah tidak ada.

B. RIWAYAT SEBELUM MASUK RUMAH SAKIT


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : aterm
Partus : spontan
Tempat : rumah sakit
Ditolong oleh : dokter
Tanggal : 22 Juni 2009
BB : 3000 gram
PB : 48 cm
Lingkar Kepala : ayah dan ibu tidak ingat

2. Riwayat Makanan
ASI : 0 bulan – 1,5 tahun
Susu botol : 1 tahun – sekarang
Bubur nasi : 6 – 10 bulan

4
Nasi biasa : 1 tahun – sekarang, 3 x 1/4 piring
Daging : 0-1 x/minggu
Tempe : 2-3 x/minggu
Tahu : 2-3 x/minggu
Sayuran : wortel, bayam 3-4x/minggu
Buah : pisang, jeruk, 2 minggu sekali
Lain-lain : ikan 3x/minggu, ayam 2x/minggu
Kesan : kualitas dan kuantitas kurang

3. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Hepatitis B 0 √ setelah anak lahir
BCG √ (1 bulan)
DPT 1 √ (2 bulan) DPT 2 √(3 bulan) DPT 3 √ (4
bulan)
Hepatitis B 1 √ (0 hari) Hepatitis B 2 √(2 bulan) Hepatitis B 3 √ (3
bulan)
Hib 1 √ (2 bulan) Hib 2 √(3 bulan) Hib 3 √ (4
bulan)
Polio 1 √ (2 bulan) Polio 2 √(3 bulan) Polio 3 √ (3
bulan)
Campak Polio 4 √ (usia
√ (9 bulan) lupa)
Kesan : imunisasi dasar lengkap

4. Riwayat Keluarga
Ibu Ayah
Perkawinan Pertama Pertama
Umur 24 tahun 27 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan IRT Buruh
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

5. Riwayat Perkembangan
Berbalik : anak bisa berbalik pada usia 3 bulan

5
Tengkurap : anak bisa tengkurap pada usia 5 bulan
Merangkak : anak bisa merangkak pada usia 7 bulan
Duduk : anak bisa duduk pada usia 8 bulan
Berdiri : anak bisa berdiri pada usia 9 bulan
Berjalan : anak bisa berjalan pada usia 12 bulan
Berbicara : anak bisa berbicara pada usia 10 bulan
Kesan : perkembangan anak dalam batas normal

6. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


 Riwayat dilakukan tindakan oprasi Hisprung disesase (+) sekitar 5 tahun yang
lalu
 Riwayat pucat sebelumnya (+)
 Riwayat tinggal di dekat pabrik (-)
 Riwayat terkena radiasi (-)
 Riwayat menggunakan obat nyamuk bakar (-)
 Riwayat pemakaian kapur barus dalam jangka waktu lama (-)
 Riwayat terpapar pestisida (-)
 Riwayat batuk lama (-)
 Riwayat konsumsi obat-obatan (kina, kotrimoksazol) (-)

7. Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat keluarga dengan keluhan pucat disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
BB : 19 kg
PB : 122 cm
Status gizi
BB/U : 19/29 x 100 = 65,5% (60-74 = moderate)
PB/U : 122/134 x 100 = 91,04% (90-95 = mild)
BB/PB : 19/22 x 100 = 86%
Lingkar kepala : 46 cm
Edema (+), sianosis (-), dispnue (-), anemia (+), ikterus (-), dismorfik (-)

6
Suhu : 37,1 oC
Respirasi : 24 x/menit
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 103 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Kulit : Regio trunkus posterior dan regia abdominalis
Patch hipopigmentasi, soliter diserati skuama coklat sewarna
kulit, kering, selapis, mudah dilepas

B. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Bentuk : normosefali, simetris
Rambut : kecoklatan, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-), refleks cahaya (+/+), pupil
bulat, isokor, ᴓ 3mm
Hidung : sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-), bibir anemis (+), cheilitis (-), stomatitis (-)
Gigi : gigi geligi lengkap, karies (-)
Lidah : papil atropi (+)
Faring : hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
Telinga : sekret (-)

Leher
Inspeksi : tidak tampak massa
Palpasi : pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat

Thorax
Inspeksi : simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis, iga gambang (+)
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri, fraktur (-), nyeri tekan (-)

Paru
Inspeksi : retraksi (-)
Palpasi : krepitasi (-), stem fremitus normal kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

7
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 114x/menit, bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, luka (-), pelebaran pembuluh darah (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas
Inspeksi
Bentuk : normal
Deformitas : tidak ada
Edema : ekstremitas superior et inferior (+)
Trofi : hipotrofi (+)
Pergerakan : aktif
Tremor : tidak ada
Chorea : tidak ada
Akral : telapak tangan dan kaki pucat, hangat, CRT <3”
Lain-lain : pitting edema (+), crazy pavement dermatosis (+)

Inguinal
Kelenjar getah bening : pembesaran (-)
Lain-lain : hernia (-), lesi (-)

Genitalia
Phimosis : (-), pasien sudah disunat
Testis : simetris
Scrotum : edem (+), eritem (+)

8
IV. STATUS NEUROLOGIS
Fungsi sensorik : Dalam batas normal
Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
GRM : Kaku kuduk tidak ada
Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Kanan Tungkai Kiri Lengan Kanan Lengan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Reflek + normal + normal + normal + normal
fisiologis
Reflek - - - -
patologis

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah (3 Febuari 2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin (Hb)* 8,0 g/dL 11,3-14,1 g/dL
Eritrosit (RBC)* 3,08.106/mm3 4,40 – 4,48. 106/mm3
Leukosit (WBC) 8,40.103/mm3 4,5 – 13,5. 103/mm3
Hematokrit (Ht) 24% 37 - 41%
Trombosit (PLT) 369.103/µL 217 – 497.103/µL
MCV* 77,3 fL 81-95 fL
MCH* 23 pg 25-29 pg
MCHC* 34 gr/dL 29-31 gr/dL
RDW-CV 14,80% 11-15%
LED 4 mm/jam < 20 mm/jam
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0% 0 – 1%
Eosinofil 1% 1 – 6%
Netrofil 54% 50 – 70%
Limfosit 40% 20 – 40%
Monosit 6% 2 – 8%
Protein total* 3,7 g/dL 6,0-8,0 g/dL
Albumin* 1,2 g/dL 3,8-5,4 g/dL
Globulin* 2,5 g/dL 2,6-3,6g/dL

9
Kalsium (Ca)# 6,0 mg/dL 9,2-11,0 mg/dL
Natrium (Na)* 128 mEq/L 135-155 mEq/L
Kalium (K) 4.2 mEq/L 3,5-5,5 mEq/L

VI. RESUME
Anak laki-laki usia 9 tahun dengan keluhan utama pucat dan keluhan tambahan
lemas sejak 2 bulan yang lalu, BAB cair, frekuensi 3-4x/hari, napsu makan menurun (+).
Sejak 1 bulan yang lalu tampak didaerah scrotum membengkak, pucat (+), BAB cair,
frekuensi 3-4x/hari, lemas (+), nafsu makan menurun (+), BB menurun (+), sejak 3 hari
SMRS pucat (+), lemas (+), BB semakin menurun (+), BAB cair, frekuensi 4-5x/hari,
edem pada scrotum dan ekstremitas superior et inferior.
Dari hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak pucat, kesadaran compos
mentis, tanda vital dalam batas normal. Didapatkan tanda-tanda anemia berupa
konjungtiva anemis, atrofi papil lidah dan telapak tangan dan kaki pucat. Didapatkan
kelainan pada kulit di regio abdominalis dan regio trunkus posterior, patch hipopigmentasi,
soliter, disertai skuama coklat sewarna kulit, kering, selapis, mudah dilepaskan. Pada
pemeriksaan thoraks terlihat iga gambang. Didapatkan edema pada genitalia, ekstremitas
superior et inferior. Didapatkan gizi buruk, berat badan rendah, perawakan pendek, serta
lingkar lengan atas kecil untuk anak seusianya.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan kesan anemia mikrositik hipokromik,
hipoalbuminemia, hipokalsemia dan hiponatremia

VII.DAFTAR MASALAH
- Pucat
- Edema
- BAB cair
- BB menurun

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Anemia defisiensi besi + diare kronik + gizi buruk
Anemia defisiensi besi + diare kronik + sindroma nefrotik
Tahalasemia + diare kronik +

IX. DIAGNOSIS KERJA


Anemia defisiensi besi + diare kronik + gizi buruk

10
X. TATALAKSANA
a. Pemeriksaan anjuran
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
Pemeriksaan darah lengkap
Serum Iron, TIBC, saturasi transferin, ferritin
Pemeriksaan radiologi

b. Terapi
 Non Farmakologis
 KIE
 Monitoring TTV
 Konsul ke bagian gizi
 Konsul ke bagian DV

 Farmakologis
 Rencana transfuse PRC + albumin
 IVFD D5%
 Ampicilin 3x600 mg

c. Diet
Diet polimorik
Diet Elemental
Diet Formula Khusus

d. Edukasi
Menjelaskan kepada keluarga mengenai penyebab penyakit
Menjelaskan komplikasi dari penyakit
Menjelaskan prognosis penyakit
Menganjurkan dan mengajari ibu untuk tetap menjaga keseimbangan nutrisi anak
dengan cara memberi makanan yang sehat dan bergizi dan memantau pertumbuhan dan
perkembangan anak ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.

11
XI. FOLLOW UP
Tanggal Subjektif, Objektif, & Assesment Penatalaksanaan
3 S : pucat (+) berkurang, demam (-) - Transfusi PRC
Desember O : KU : tampak sakit sedang leucodepleted 100 cc,
2018 Sens : compos mentis, TD : 90/60 kebutuhan Hb : (12-4,2)
mmHg, N: 113 x/menit, RR: mg/dl x 4 x 9 kg = 280,8 cc
24x/menit, T: 36,8oC (3 kantong PRC
BB : 9 kg, PB : 88 cm. leucodepleted)  sudah
KS : kepala : NCH (-), CA (-), edema diberikan
palpebra (-), sklera ikterik (-) - Asam Folat 2 x 5 mg/hari
Leher : Pembesaran KGB (-) - Vitamin E 2 x 200 IU/hari
Axilla : tidak teraba massa
Thorax : simetris, retraksi (-)
Diet
Cor : BJ I-II normal, murmur (-),
Kebutuhan Kalori: 12,5 x 90
gallop (-)
kalori = 1125 kalori
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi
Diet nasi biasa 3 x 1 porsi
(-), wheezing (-)
(@ 375 kalori)
Abdomen : cembung (+), lemas, nyeri
Sebaiknya zat besi tidak
tekan (-), massa (-), bising usus (+)
diberikan, dan makanan yang
normal, hepar teraba 2 cm di bawah
kaya akan zat besi juga
arcus costae, lien teraba S III, ginjal
dikurangi, seperti hati,
tidak teraba, shifting dullness (-)
daging, kuning telur, polong,
Inguinal : tidak teraba massa
biji-bijian, udang, tiram, dan
Ekstremitas: akral hangat, pucat (+),
sayuran berwarna hijau tua.
edema tungkai (-),CRT < 3”
Mengonsumsi makanan yang
dapat menurunkan absorbsi
Pemeriksaan Laboratorium:
besi misalnya sereal, teh,
Besi (Fe/iron)*: 224 µg/dL (61-157)
kopi, dan produk susu.
TIBC: 249 µg/dL (112-346)
Ferritin*: 327,80 ng/dL (4,63-204,00)

Cek Hb ulang setelah


Elektroforesis Hb (HPLC), 28
transfusi.
November 2018
Hb F : 60,2%

12
Hb A2 : 3,3%
Kesan : Benda inklusi negatif, HbF
meningkat, HbE 36,5%
Kesimpulan : kemungkinan HbE –
beta Thalassemia

A : Thalassemia β mayor
4 S : pucat (+) berkurang, demam (-) - Asam Folat 2 x 5 mg/hari
Desember O : KU : tampak sakit sedang - Vitamin E 2 x 200 IU/hari
2018 Sens : compos mentis, TD : 100/70
mmHg, N: 111 x/menit, RR:
Diet
26x/menit, T: 36,7oC
Kebutuhan Kalori: 12,5 x 90
BB : 9 kg, TB : 88 cm.
kalori = 1125 kalori
KS : kepala : NCH (-), CA (-), edema
Diet nasi biasa 3 x 1 porsi
palpebra (-), sklera ikterik (-)
(@ 375 kalori)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Sebaiknya zat besi tidak
Axilla : tidak teraba massa
diberikan, dan makanan yang
Thorax : simetris, retraksi (-)
kaya akan zat besi juga
Cor : BJ I-II normal, murmur (-),
dikurangi, seperti hati,
gallop (-)
daging, kuning telur, polong,
Pulmo : vesikuler normal, ronkhi (-),
biji-bijian, udang, tiram, dan
wheezing (-)
sayuran berwarna hijau tua.
Abdomen : cembung, lemas, nyeri
Mengonsumsi makanan yang
tekan (-), massa (-), bising usus (+)
dapat menurunkan absorbsi
normal, hepar teraba 2 cm di bawah
besi misalnya sereal, teh,
arcus costae, lien teraba S III, ginjal
kopi, dan produk susu.
tidak teraba, shifting dullness (-)
Inguinal : tidak teraba massa
Ekstremitas: akral hangat, pucat (-),
edema tungkai (-),CRT <3”

A : Thalassemia β mayor

XII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia

13
Quo ad functionam : Dubia
Quo ad sanationam : Dubia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hemoglobin
Proses pembentukkan sel darah yaitu hemopoiesis. Proses pembentukkan darah
pertama kali terjadi pada fase prenatal yaitu di yolk sac (kantung kuning telur) pada janin usia
0-2 bulan, kemudian fase selanjutnya pada hepar dan lien pada janin usia 2-7 bulan, dan pada
fase lanjut di sumsum tulang mulai janin usia 5-9 bulan. Pada post natal, pembentukan utama
terjadi di sumsum tulang. Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum
tulang termasuk bagian distal tulang panjang, hal ini berbeda dengan dewasa dimana
hematopoisis terbatas pada vertebra, costae, sternum, pelvis, scapula, dan jarang berlokasi pada
humerus dan femur. Pada keadaan patologis (sumsum tulang sudah tidak berfungsi atau adanya
kebutuhan yang meningkat), pembentukan dapat terjadi di nodus limfatikus, lien, timus, hepar.
Pembentukan darah di luar sumsum tulang ini disebut hemopoisis ekstra meduler.1,8
Proses pembentukkan darah dimulai dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi
menjadi sel induk limfoid dan sel progenitor myeloid campuran yang kemudian berdiferensiasi
lagi.1

14
Gambar 1. Proses Hematopoiesis8

Darah terdiri dari berbagai komponen yang penting, antara lain sel darah merah
(eritosit), sel darah putih (leukosit), keping darah (trombosit) serta plasma. Fungsi leukosit
adalah untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. Fungsi dari trombosit adalah untuk
mekanisme pembekuan darah sedangkan eritrosit membawa satu protein yaitu hemoglobin
yang berfungsi dalam mengikat O2 di paru, membawanya ke peredaran darah dan
melepaskannya ke sel dan jaringan tubuh.1
Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen yang terdapat didalam eritrosit, tersusun atas
heme yang merupakan cincin porfirin dalam ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan
protein pendukung. Heme sangat penting untuk transportasi oksigen sedangkan globin
berfungsi untuk melindungi heme dari oksidasi. Struktur molekul hemoglobin menghasilkan
lingkungan internal hidrofobik yang melindungi besi pada heme dari air, dan juga dari
oksidasi.1,9 Hemoglobin berbentuk heterotetramer yang terdiri dari dua pasang rantai
polipeptida yang berkaitan dengan gen α-globin (α-like globins) dan gen β-globin (β-like
globins). Rantai Globin polipeptida akan mengikat heme, yang nantinya hemoglobin di eritrosit
berfungsi untuk mengangkut oksigen dan sebagai transportasi oksigen dari paru-paru ke
jaringan.8

15
Gambar 2. Molekul Hemoglobin8

Hemoglobin utama pada masa embrional adalah Hb Gower 1 (δ2Ɛ2), Hb Gower 2 (α2Ɛ2),
dan Hb Portland (δ2γ2). Pada masa janin sampai perinatal adalah HbF (α2γ2), dan pada anak
lebih dari 1 tahun sampai dewasa normal terdiri dari HbA1 (α2β2) dan HbA2 (α2δ2). Rantai
polipeptida α tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non α tersusun atas 146 asam
amino. Sintesis rantai α disandi oleh gen α1 dan gen α2 di kromosom 16, sedangkan gen yang
mensintesis rantai β, rantai γ dan rantai δ terletak di kromosom 11. Pada orang normal sintesis
rantai α sama dengan rantai non alpha.1

Hemoglobin Embrional
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritoblas primitif dalam yolc sack membentuk
rantai globin epsilon (ε) dan zeta (δ) yang membentuk Hb primitif yaitu Hb Gower 1 (δ2Ɛ2).
Selanjutnya mulailah sintesis rantai α menggantikan rantai δ dan rantai γ menggantikan rantai
ε sehingga membentuk Hb Gower 2, Hb Portland. Pada masa gestasi 4-8 minggu yang
ditemukan adalah Hb Gower 1 dan Hb Gower 2 dan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.1,9

Hemoglobin Fetal
Migrasi sel pruripoten stem sel dari yolc sack ke hati diikuti sintesi Hb fetal yang
merupakan awal sintesis rantai Hb β. Setelah masa gestasi 8 minggu, muncul Hb-F yang paling
dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% Hb terdiri dari Hb-F dan kemudian
menurun menjelang kelahiran, setelah bayi lahir dan setelah usia 6-12 bulan, HbF tetap ada
tapi hanya ditemukan sedikit.1,9

Hemoglobin Dewasa

16
Pada masa embrio, telah dideteksi HbA karena telah terjadi proses perubahan sintesis
rantai γ menjadi rantai β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada masa gestasi 6 bulan
ditemukan HbA 5-10% dan waktu lahir 30%. Menginjak usia 6-12 bulan Hb sudah
memperlihatkan gambaran Hb dewasa yaitu HbA1 dan HbA2 dan sedikit HbF.1,9

Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki kemampuan


untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul heme secara langsung
berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiilki struktur kuartener empat rantai
polipeptida, masing-masing dengan satu tempat pegikatan oksigen. Sehingga satu molekul
hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.1

Gambar 3. Sintesis Rantai Globin8

3.2 Anemia
3.1.1 Definisi
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin dari nilai
normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.10

3.1.2 Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:10
1. Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu
seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan
pada sumsum tulang.
2. Perdarahan

17
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah merah
dalam sirkulasi.
3. Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.

3.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesisnya:10
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit
b. Gangguan enzim eritrosit seperti anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin seperti thalassemia, hemoglobinopati struktural: HbS,
HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

18
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis:10
1. Anemia normositik normokrom
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis,
dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan
jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin, bentuk dan
ukuran eritrosit.
2. Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Ditemukan pada anemia megaloblastik
(defisiensi vitamin B12, asam folat) serta anemia makrositik non-megaloblastik
(penyakit hati, dan myelodisplasia).
3. Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal.

3.3 Thalassemia
3.2.1 Definisi Thalassemia
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama kali
ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai
pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun.
Anemia dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley
sesuai dengan nama penemunya.11
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk ke
dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Mutasi gen globin dapat
menimbulkan dua perubahan rantai globin, yakni:11
a. Perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid sequence) rantai globin
tertentu, yang disebut sebagai hemoglobinopati struktural.
b. Perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai
globin tertentu, yang disebut sebagai thalassemia.
Pada thalassemia terjadi penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu
atau lebih rantai globin a atau b, ataupun rantai globin lainnya. Sehingga dapat menimbulkan
defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin tersebut.
Keadaan ini akan menurunkan angka sintesis hemoglobin.11 Hemoglobin pada manusia normal

19
terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), HbA2 (α2δ2
= 2,5%), dan HbF (α2ƴ2 = 0,5%).12

3.2.2 Epidemiologi
WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu
bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060
pasien thalassemia mayor yang berobat jalan di pusat thalassemia departemen anak FKUI-
RSCM, yang terdiri dari 52,5% pasien thalassemia β homozigot, 46,2% pasien thalassemia
HbE, serta thalassemia α 1,3%.6 Berdasarkan data Lembaga Eijkman angka kejadian
thalassemia-α di Indonesia sekitar 2,6-11%, banyak ditemukan di Pulau Sulawesi (suku Bugis
atau Kajang). Kejadian thalassemia-β, ditemukan rata-rata sekitar 3-10%, dengan pembawa
sifat terbanyak ditemukan di Pulau Sumatera, dan sekitar hampir 10% di daerah Palembang
dan di Pulau Jawa angka pembawa sifat sebesar 5%. Sekitar 70-80 pasien baru datang tiap
tahunnya. Fakta ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang
terbanyak dan terdapat di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.7,12

3.2.3 Etiologi
Faktor penyebab thalasemia adalah faktor genetik (keturunan) yang berarti diturunkan
dari sifat yang dibawa orang tuanya. Thalasemia terjadi akibat ketidakseimbangan
pembentukan rantai asam amino yang membentuk hemoglobin yang dikandung oleh sel darah
merah. Sel darah merah membawa oksigen ke seluruh tubuh dengan bantuan substansi yang
disebut hemoglobin. Hemoglobin terbuat dari dua macam protein yang berbeda, yaitu globin
alfa dan globin beta. Protein globin tersebut dibuat oleh gen yang berlokasi di kromosom yang
berbeda. Apabila satu atau lebih gen yang memproduksi protein globin tidak normal atau
hilang, maka akan terjadi penurunan produksi protein globin yang menyebabkan thalassemia.
Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa- thalassemia dan jika itu terjadi
pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit beta-thalassemia.6,8
Alfa-globin adalah sebuah komponen (subunit) dari protein yang lebih besar yang
disebut hemoglobin, yang merupakan protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen
ke sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hemoglobin terdiri dari empat subunit: dua subunit alfa-
globin dan dua subunit jenis lain globin. HbA1 (Hemoglobin, alfa 1) adalah gen yang
memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut alpha-globin. Protein ini juga
diproduksi dari gen yang hampir identik yang disebut HbA2 (Hemoglobin, alfa 2). Kedua gen
globin alpha terletak dekat bersama-sama dalam sebuah wilayah kromosom 16 yang dikenal
sebagai lokus globin alfa. HbA1 dan HbA2 terletak di kromosom 16 lengan pendek di posisi

20
13.3. HbA1 terletak di gen pasangan basa 226.678 ke 227.519 sedangkan HbA 2 terletak di
pasangan basa 222.845 ke 223.708.6-8
Pada manusia normal terdapat 4 kopi gen alpha-globin yang terdapat masing-masing 2
pada kromosom 16. Gen-gen ini membuat komponen globin alpha pada hemoglobin orang
dewasa normal, yang disebut hemoglobin A dan juga merupakan komponen dari hemoglobin
pada janin dan orang dewasa lainnya, yang disebut hemoglobin A2. Mutasi yang terjadi pada
gen alpha globin adalah delesi.13
Sementara itu, globin beta adalah sebuah komponen (subunit) dari protein yang lebih
besar yang disebut hemoglobin, yang terletak di dalam sel darah merah. Hemoglobin B (HBB)
gen yang memberikan instruksi untuk membuat protein yang disebut globin beta. Lebih dari
250 mutasi pada gen HBB telah ditemukan menyebabkan talasemia beta. Sebagian besar
mutasi melibatkan perubahan dalam satu blok bangunan DNA (nukleotida) dalam atau di dekat
gen HBB. Mutasi lainnya menyisipkan atau menghapus sejumlah kecil nukleotida dalam gen
HBB. Mutasi gen HBB yang menurunkan hasil produksi globin beta dalam kondisi yang
disebut beta-plus (B +) talasemia. Tanpa globin beta, hemoglobin tidak dapat terbentuk yang
mengganggu perkembangan normal sel-sel darah merah. Kekurangan sel darah merah akan
menghambat oksigen yang akan dibawa dan membuat tubuh kekurangan oksigen. Kurangnya
oksigen dalam jaringan tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ, dan masalah kesehatan
lainnya termasuk thalassemia beta2. HBB gen yang terletak di kromosom 11 lengan pendek di
posisi 15.5. HBB gen dari pasangan basa 5.203.271 sampai pasangan basa 5.204.876 pada
kromosom 11.8,13
Pada manusia normal terdapat 2 kopi gen beta globin yang terdapat pada kromosom 11,
yang membuat beta globin yang merupakan komponen dari hemoglobin pada orang dewasa,
yang disebut hemoglobin A. Lebih dari 100 jenis mutasi yang dapat menyebabkan thalasemia
β, misalkan mutasi beta 0 yang berakibat tidak adanya beta globin yang diproduksi, mutasi beta
+, dimana hanya sedikit dari beta globin yang diproduksi. Jika seseorang memiliki 1 gen beta
globin normal, dan satu lagi gen yang sudah termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.3,6

3.2.4 Klasifikasi
Adanya penurunan kecepatan sintesis globin α atau 𝛽 terjadi thalassemia yang
jenisnya sesuai dengan rantai globin yang terganggu produksinya, seperti ditunjukkan
dibawah ini:10,12

21
a. Thalassemia α
Terjadi akibat berkurangnya (defisiensi parsial) (thalassemia α1) atau tidak produksi
sama sekali (defisiensi komplit) (thalassemia α0) produksi rantai globin α.
Thalassemia α dikelompokkan ke dalam 4 bentuk genotip klasik dengan fenotip
yang berbeda.

Genotip dan Fenotip Thalassemia

Bentuk thalassemia α Genotip Fenotip

Thalassemia-2-α trait (- α/ α α) asimptomatis

Thalassemia-1- α trait

x Thalassemia-2a- α homozigot (- α/- α) Menyerupai thalassemia β minor


x Thalassemia-1a- α heterozigot (α α/- -)

Hemoglobin H disease (- -/- α) Thalassemia intermedia

Hydrops fetalis dengan Hb Barts (- -/- -) Hydrops fetalis Æ meninggal in utero

1. Thalassemia-2-𝛼 Trait
Pada penderita hanya dijumpai delesi rantai globin alfa (-α/αα) yang diwarisi dari
salah satu orangtuanya. Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang
fenotipnya tidak memberikan gejala dan tanda (silent carrier state).
2. Thalassemia-1-α Trait (- α/- α) atau (α α/- -)
Pada penderita ditemukan delesi 2 lokus. Delesi ini dapat berbentuk thalassemia-2-
α homozigot (- α/- α) atau thalassemia-1-α heterozigot (α α/- -). Fenotipnya
menyerupai fenotip thalassemia-𝛽 minor.
3. Hemoglobin H Disease (- -/- α)
Delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda untuk thalassemia-2𝛼 dan thalassemia-
1-𝛼(--/-𝛼). Pada janin terjadi akumulasi beberapa rantai 𝛽 yang tidak berpasangan.
Sedangkan pada dewasa, akumulasi ini membentuk tetramer 𝛽 4, yang disebut HbH.
Delesi ini memberikan fenotip yang lebih berat, berupa thalassemia intermedia yang
ditandai dengan anemia hemolitik sedang-berat, namun dengan inefektivitas
eritropoiesis yang lebih ringan.
4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart’s (--/--)

22
Pada janin ditemukan adanya delesi 4 loki, dimana rantai globin 𝛼 sama sekali tidak
terbentuk. Akibatnya terbentuk Hb Bart’s yang memiliki afinitas oksigen yang
sangat tinggi, sehingga oksigen tidak dapat mencapai jaringan dan terjadilah asfiksia
jaringan edema, gagal jantung kongestif, dan kematian intrauterin.9

b. Thalassemia β
Thalassemia β terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin β yang ada.
Thalassemia β terdiri dari:10
1. Thalassemia β Trait
Thalassemia memiliki genotip berupa heterozigot thalassemia 𝛽, seringkali disebut
sebagai thalassemia minor. Fenotip kelainan ini secara klinis tidak menimbulkan
gejala.
2. Thalassemia 𝛽 Mayor
Mutasi pada kedua gen menyebabkan rantai β globin tidak dapat diproduksi.
Penderita thalassemia 𝛽 mayor memerlukan transfusi darah yang rutin demi
kelangsungan hidupnya.
3. Thalassemia 𝛽 Intermedia
Kondisi ini menunjukkan fenotip klinis di antara thalassemia 𝛽 mayor dan
thalassemia 𝛽 minor. Penderita secara klinis dapat asimtomatik, transfusi darah tidak
dapat mempertahankan hidup.
4. Thalassemia δβ
Terjadi akibat berkurangnya atau tidak produksinya kedua rantai δ dan rantai β.
Hal yang sama terjadi pada thalassemia γδβ, dan thalassemia αβ

5. Heterozigot ganda thalassemia α atau β dengan varian hemoglobin thallassemia.


Sebagai contoh, tahalassemia β/HbE: diwarisi dari salah satu orangtua yang
pembawa sifat thalassemia β, dan yang lainnya adalah pembawa sifat HbE.

23
Gambar 4. Normal (Hemoglobin F, A dan A2) dan abnormal (Hemoglobin H dan
Bart’s) hemoglobin. Hemoglobin terdiri dari cincin heme dan 4 rantai globin; dua
alfa dan dua nonalfa. Komposisi dari keempat rantai tersebut berhubungan
dengan tipe hemoglobin11

3.2.5 Patofisiologi
Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin.
Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis rantai globin (rantai α atau β)
menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak seimbang.10.11
a. Thalassemia β
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya biosintesis dari
unit  globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot, sintesis β globin kurang lebih
separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot, sintesis β globin dapat

24
mencapai nol. Penurunan produksi rantai β menyebabkan rantai α diproduksi
berlebihan. Rantai α yang berlebihan dan tidak dapat berikatan dengan rantai globin
lainnya akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan
dalam sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan
pematangaan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif, sehingga umur
eritrosit menjadi pendek sehingga timbul anemia. Jumlah sel darah merah matur yang
diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar menjadi kecil,
terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung komplemen hemoglobin
yang menurun dan memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik
hipokrom yaitu hipokromik, mikrosisitk dan poikilositik. Kondisi ini menyebabkan
proliferasi eritroid yang terus menerus dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga
terjadi ekspansi sumsum tulang (deformitas skeletal, gangguan pertumbuhan, dan
metabolisme). Pada limfa yang membesar menyebabkan fagositosis sel darah merah.
Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningatkan absorbsi dan muatan besi.
Transfusi yang diberikan secara teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan
menyebabkan penimbunan besi yang progresif di jaringan, yang akan diikuti dengan
kerusakan organ.

Gambar 5. Patofisiologi Thalassemia β10

28
Gambar 6. Patofisiologi Thalassemia β9

b. Thalassemia α
Kelainan dasar thalassemia α sama dengan thalassemia β, yakni ketidakseimbangan
rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam hal patofisiologi kedua jenis
thalassemia ini. Pertama, karena rantai α dimiliki bersama oleh hemoglobin janin
ataupun dewasa (tidak seperti pada thalassemia β), maka thalassemia α juga
bermanifestasi pada masa janin. Kedua, sifat-sifat yang ditimbulkan akibat produksi
secara berlebihan rantai globin lain yang disebabkan oleh defek produksi rantai globin
α sangat berbeda dibandingkan dengan akibat produksi berlebihan rantai α pada
thalassemia β. Bila kelebihan rantai α menyebabkan presipitasi pada prekursor
eritrosit, maka thalassemia α menimbukan tetramer yang larut (soluble).

Gambar 7. Patofisiologi Thalassemia Alpha4

29
3.2.6 Pewarisan Gen Thalassemia
a. Thalassemia Beta

Gambar 8. Thalassemia beta menurut Hukum Mendel13

Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan carier/trait. Maka


anaknya 25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2 gen yang termutasi (thalassemia
mayor).

b. Thalassemia Alfa

Gambar 9. Thalassemia alpha menurut Hukum Mendel13

30
Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orang tua yang pada gen nya terdapat
masing-masing 2 gen yang sudah termutasi. Maka anaknya, 25% normal, 25% carrier, 25%
2 gen delesi, 25% menderita hemoglobin H disease.

• Delesi 1 gen α: Tidak ada dampak pada kesehatan, tetapi orang tersebut
mewarisi gen (Carier/Trait)
• Delesi 2 gen α: Hanya berpengaruh sedikit pada kelinan fungsi darah
• Delesi 3 gen α: Anemia berat, disebut juga Hemoglobin H (Hbh) disease
• Delesi 4 gen α: Berakibat fatal pada bayi karena alpha globin tidak dihasilkan
sama sekali

3.2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang muncul dapat bermacam-macam. Thalassemia-β intermedia
didefinisikan sebagai thalassemia homozigot atau heterogen, yang umumnya tidak bergantung
pada transfusi, sedangkan thalassemia-β mayor bergantung pada transfusi. Manifestasi klinis
dapat berupa:14
1. Kegagalan untuk berkembang di usia dini
2. Anemia
3. Kuning (jaundice), biasanya ringan; batu empedu
4. Hepatosplenomegali, bisa sangat besar; hipersplenisme
5. Wajah yang abnormal, penonjolan arcus zygomaticum, penonjolan tulang frontal,
penurunan nasal bridge.
6. Pertumbuhan terhambat, pubertas terlambat, amenore primer pada wanita, dan
gangguan endokrin sekunder akibat anemia kronis dan kelebihan zat besi.
7. Ulkus pada kaki
8. Kulit seperti terjemur atau berwarna merah tua
Jika tidak diobati, 80% pasien meninggal pada dekade pertama kehidupan. Dengan
manajemen saat ini, harapan hidup telah meningkat pesat. Pasien saat ini dapat mencapai
dekade kelima kehidupan dan diharapkan untuk hidup lebih baik.12

31
Gambar 10. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies Cooley)13

Gambar 11. Splenomegali pada thalassemia13

Gejala Sisa
1. Hiperplastik sumsum tulang (ekspansi sumsum tulang dengan penipisan kortikal
dan tulang yang abnormal)
2. Peningkatan penyerapan zat besi dan kelebihan zat besi (terutama dengan transfusi
darah berulang, menyebabkan:
a. Fibrosis/sirosis hati
b. Gangguan endokrin (misalnya, diabetes melitus, hipotiroidisme, hipogonadisme,
hipoparatiroidisme, hipopituitarisme)
c. Hiperpigmentasi kulit
d. Hemokromatosis jantung bermanifestasi sebagai perikarditis, aritmia,
kardiomegali, perikarditis, dan akhirnya gagal jantung
3. Hipersplenisme
c. Ekspansi volume plasma
d. Mempersingkat kehidupan sel darah merah (sel autolog dan sel donor)
e. Leukopenia
f. Trombositopenia.

32
Hematologi
1. Anemia: hipokromik, mikrositik
2. Retikulositosis
3. Leukopenia dan trombositopenia (bisa berkembang bersama hipersplenisme)
4. Apusan darah: target cell dan nucleated red cell, anisocytosis ekstrim, sel darah
merah mengerut, polychromasia, punctate basofilia, normoblast
5. Umur sel darah merah berlabel 51Cr berkurang (tetapi eritropoiesis yang tidak
efektif lebih penting)
6. Hemoglobin F meningkat; hemoglobin A2 meningkat
7. Sumsum tulang: bisa megaloblastik (karena deplesi folat); hiperplasia eritroid
8. Kerapuhan osmotik: menurun
9. Serum feritin: meningkat.

Biokimia
1. Peningkatan bilirubin (terutama indirect)
2. Bukti disfungsi hati (terlambat, karena sirosis berkembang)
3. Bukti kelainan endokrin, misalnya, diabetes (biasanya terlambat), hipogonadisme
(estrogen dan testosteron rendah).

3.2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Thalassemia dapat di ketahui dengan cara melakukan tes darah yang terdiri dari
termasuk menderita thalassemia didiagnosis pada saat usia dini. Hal ini karena tanda-tanda dan
gejala dari penyakit ini telah muncul dalam 2 tahun pertama mereka hidup.8 Orang yang
memiliki bentuk yang lebih ringan thalassemia dapat didiagnosis dengan tes darah rutin
menunjukkan keadaan anemia. Dokter mencurigai seseorang menderita thalassemia jika
seseorang itu menunjukkan anemia dan merupakan anggota dari sebuah kelompok yang
memiliki resiko tinggi untuk terkena thalassemia.9 Diagnosis dapat juga dilakukan dengan
melakukan tes pada jumlah zat besi dalam darah untuk mengetahui apakah anemia disebabkan
oleh kekurangan zat besi atau thalassemia. Anemia pada thalassemia terjadi karena masalah
dengan salah satu rantai globin alpha atau rantai beta globin hemoglobin, bukan karena
kekurangan zat besi. Thalassemia merupakan penyakit keturunan yang diteruskan dari orang
tua kepada anak-anak, studi genetik keluarga juga dapat membantu mendiagnosis gangguan
ini. Ini melibatkan mengambil riwayat kesehatan keluarga dan melakukan tes darah pada

33
anggota keluarga untuk menunjukkan apakah ada gen hemoglobin yang telah hilang atau
diubah. Pemeriksaaan CBC memberikan informasi tentang jumlah hemoglobin dan berbagai
jenis sel darah, seperti sel darah merah, dalam sampel darah. Penderita thalassemia memiliki
sel darah merah sehat lebih sedikit dan memiliki hemoglobin yang kurang dalam keadaan
normal. Penderita alfa thalassemia atau beta thalassemia mungkin memiliki sel darah marah
lebih kecil daripada sel darah merah normal5. Tes hemoglobin mengukur jenis hemoglobin.
Penderita thalassemia memiliki masalah dengan alpha atau rantai protein beta globin
hemoglobin.8,9,15
Pada pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan Fe serum meningkat, penurunan Hb dan
Ht, dan nilai trombosit yang normal atau tinggi. Selain itu pada pemeriksaan darah tepi akan
didapatkan eritrosit dengan gambaran mikroskopis, hipokrom, anisitosis, poliklositosis, bentuk
eritrocyt yang immature, serta ditemukannya sel target. Pada pemeriksaan elektroforesis Hb
dapat ditemukan adanya peningkatan Hb1 dan HB A2. Pemeriksaan penunjang lain beupa foto
rontgen tulang juga dapat dilakukan untuk mencari apakah ada hiperplasia dari sumsum tulang
yang berlebihan.8,12

3.2.8. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana pasien thalassemia:
1. Terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis
2. Pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat transfusi
3. Penatalaksanaan splenomegali

Protokol Hipertransfusi
Protokol hipertransfusi digunakan untuk mempertahankan hemoglobin pretransfusi 12
g/dL menggunakan 15 cc/kg Packed Red Cells (PRC) leukocyte-depleted. Hemoglobin pasca
transfusi turun sekitar 1 gram per minggu, sehingga pasien membutuhkan transfusi setiap 3–4
minggu. Terapi transfusi seharusnya dimulai ketika diagnosis ditegakkan dan tingkat
hemoglobin di bawah 7 g/dL. Transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam waktu
120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita thalassemia intermedia, transfusi
darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk thalassemia mayor
(Cooley’s Anemia) harus dilakukan secara teratur. Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7
gr/dl yang diperiksa dua kali berturut-turut dengan jarak 2 minggu dan bila kadar Hb > 7 gr/dl
tetapi disertai gejala klinis seperti Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang
curiga adanya hemopoiesis ekstramedular8. Hipertransfusi berfungsi untuk: 12,14
1. Memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan
34
2. Meminimalkan hematopoiesis ekstramedular dan mengurangi abnormlitas wajah
dan tulang
3. Mengurangi penyerapan zat besi yang berlebihan dari usus
4. Menghambat perkembangan splenomegali dan hipersplenisme dengan mengurangi
jumlah sel darah merah yang mengandung presipitat α-chain yang mencapai limpa
5. Mengurangi dan/atau menunda timbulnya komplikasi (misalnya, jantung).

Terapi Kelasi
Tujuan terapi kelasi adalah: 12,14
1. Untuk mengikat besi bebas di ekstraseluler
2. Untuk menghilangkan kelebihan zat besi di intraseluler
3. Untuk mencapai keseimbangan zat besi negatif (yaitu, ekskresi besi> masukan zat
besi).

Kelebihan beban besi dikarenakan: 12,14


1. Terapi transfusi yang sedang berlangsung
2. Peningkatan penyerapan zat besi
3. Hemolisis kronis.
Kelasi menggunakan desferrioxamine (Desferal) direkomendasikan sebagai berikut:12,14
1. Kelasi harus diberikan ketika tingkat ferritin lebih besar dari 1000 ng/mL dan besi
yang adekuat diekskresikan ke dalam urin dengan desferrioxamine.
2. Desferrioxamine dilakukan sebagai berikut:
b. Pengumpulan urin 24 jam dimulai.
c. Desferrioxamine 40 mg/kg diberikan IV selama 8 jam, dimulai pada awal
pengumpulan.
d. Pengumpulan urin berlanjut selama 16 jam lagi, dan urin diperiksa total besi.
e. Jika ekskresi besi urin 24 jam lebih besar dari atau sama dengan 50% dari
kelebihan besi setiap hari, pasien siap untuk kelasi.
f. Beban besi setiap hari dihitung menggunakan kira-kira 1 mg besi/1 mL packed
red blood cells (PRBCs). Sebagai contoh, jika seorang pasien menerima 210 cc
PRBCs setiap 21 hari, beban besi harian adalah 10 mg. Jika pasien mengeluarkan
5 mg zat besi dalam 24 jam, kelasi harus dimulai.

35
3. Desferrioxamine, 40–60 mg/kg/hari, diinfuskan secara subkutan selama 8-10 jam
setiap malam melalui pompa elektronik portabel 4-6 malam per minggu, tergantung
besi kelebihan beban.
4. Dalam kasus tertentu, dengan kelebihan zat besi yang berat, desferrioxamine
diberikan IV dalam dosis tinggi, maksimum 10 g/hari. Hal ini dapat dilakukan
segera pascatransfusi untuk mengikat besi serum bebas sementara yang meningkat.
5. Tujuannya adalah untuk menjaga kadar serum feritin mendekati 1000 ng/mL.
Feritin harus dipantau setiap 3-6 bulan.

Komplikasi pemberian desferrioxamine meliputi: 14


 Pembengkakan di lokasi infus
 Reaksi lokal: pruritus, ruam, dan hiperemia (tambahkan hidrokortison 2 mg/mL ke
dalam larutan desferrioxamine)
 Reaksi anafilaktoid (hilang dengan desensitisasi)
 Efek toksik pada mata; katarak, penurunan bidang visual dan ketajaman visual, dan
buta ayam; muncul dengan terapi berkepanjangan atau dosis tinggi atau jika
desferrioxamine digunakan tanpa kelebihan besi yang cukup
 Gangguan pendengaran dengan terapi berkepanjangan atau dosis tinggi, biasanya
tanpa kelebihan zat besi yang cukup
 Metaphyseal dysplasia
 Keracunan desferrioxamine diperparah ketika ada besi yang tidak dapat diekskresi
relatif terhadap jumlah desferrioxamine yang diberikan.

Splenektomi
1. Splenektomi mengurangi kebutuhan transfusi pada pasien dengan pembesaran
splen. Biasanya diterapkan pada pasien dewasa dengan kebutuhan transfusi
meningkat.
2. Dua minggu sebelum splenektomi, vaksin pneumokokus dan meningokokus
(polivalen) harus diberikan terlebih dahulu. Jika pasien belum menerima vaksin
Haemophillus influenza, vaksin ini harus segera diberikan. Setelah splenektomi,
pemberian profilaksis penisilin 250 mg per 12 jam dapat mengurangi resiko infeksi
paska splenektomi.
3. Indikasi splenektomi: 11

36
a. Peningkatan persisten transfusi darah sebesar 50% atau lebih dari kebutuhan
awal selama lebih dari 6 bulan.
b. Kebutuhan transfusi packed cell melebihi 250 mL/kg/tahun pada jumlah besi
yang berlebih (Ferritin lebih besar 1500 ng/mL atau peningkatan konsentrasi
besi di hepar).
c. Bukti leukopenia dan/atau trombositopenia berat.

Pengobatan Suportif
1. Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah
merah yang sehat. Asam folat tidak diperlukan pada pasien hipertransfusi; 2 x 5 mg
perhari (oral) diberikan pada pasien dengan regimen transfusi yang rendah.
2. Vaksinasi hepatitis B sebaiknya diberikan pada seluruh pasien.
3. Obat inotropik, antihipertensi, antiaritmia yang tepat diberikan dengan indikasi
disfungsi jantung.
4. Intervensi endokrin (tiroksin, hormon pertumbuhan, estrogen, testosteron) dengan
indikasi.
5. Kolesistektomi jika ada tanda-tanda batu empedu.
6. Pasien dengan high viral load hepatitis C yang tidak berkurang secara spontan harus
mendapatkan penanganan dengan PED-interferon dan ribavirin. Ribavirin dapat
meningkatkan hemolisis.
7. Pasien dengan HIV positif diterapi dengan obat antivirus yang tepat.
8. Konseling genetik dan diagnosis antenatal (jika indikasi) harus dilakukan
menggunakan pengambilan sampel vili korion atau amniosentesis.
9. Penanganan pada osteoporosis, termasuk di dalamnya: 12
a. Skrining periodik dan pencegahan melalui early hormonal replacement.
b. Skrining tahunan pada dewasa dengan densitometri tulang dan evaluasi hormon
gonad.
c. Pada awal masa remaja, pasien harus menerima estrogen/progesteron atau
pengganti testosteron untuk mencegah insufisiensi gonad yang dapat
menyebabkan penurunan tinggi badan dewasa karena fusi epifisis.
Kemungkinan peningkatan risiko kanker payudara dengan terapi penggantian
hormon harus dijelaskan kepada pasien.

37
Follow up dari pasien dengan thalassemia meliputi:
 Bulanan: Ukur hemoglobin pretransfusi.
 Setiap 3 bulan: Ukur tinggi dan berat badan, kadar ferritin; kimia darah lengkap,
termasuk tes fungsi hati.
 Setiap 6 bulan: Pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan gigi.
 Setiap tahun: Mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan; mengevaluasi
keseimbangan zat besi; evaluasi lengkap fungsi jantung (echocardiograph, ECG,
Holter monitor); fungsi endokrin (TFT, PTH, FSH / LH, testosteron / estradiol,
IGF-1, kortisol puasa); ketajaman visual dan auditori; serologi virus (HAV, panel
HBV, HCV, HIV), densitometri tulang; dukungan psikososial berkelanjutan.
 Setiap 1-2 tahun: Evaluasi beban besi pada jaringan: SQUID (superconducting
quantum interference device), pengukuran kadar besi di hepar, pengukuran T2,
biopsi hepar.14

Metode Alternatif Terapi Kelasi


Pemberian desferrioxamine subkutan setiap malam membutuhkan banyak waktu dan
kurang dapat diaplikasikan pada pasien. Untuk alasan ini, kepatuhan sering kurang optimal dan
lebih memilih ke hemokromatosis. Deferiprone (L1) dalam dosis 75 mg/kg/ hari saat ini
digunakan di Eropa dan sedang menjalani uji klinis lebih lanjut untuk persetujuan FDA.
Kontroversi tentang potensi toksisitasnya, termasuk neutropenia idiosynkratik dan artropati.
Banyak penelitian menemukan deferiprone bermanfaat secara klinis berguna tanpa resiko tinggi
menyebabkan neutropenia. Data awal menunjukkan bahwa penggunaan deferipone dapat
mengurangi beban kelebihan besi pada jantung, baik sebagai agen tunggal atau dalam
kombinasi dengan desferrioxamine. Tridentate oral secara klinis efektif dalam uji coba awal
dengan waktu paruh yang relatif panjang.8,11
Kadar HbF yang tinggi dapat memperbaiki gejala thalassemia β dengan meningkatkan
konsentrasi hemoglobin dan mengurangi akumulasi rantai α yang tidak cocok, sehingga
eritropoiesis tidak efektif. Hidroksiurea telah terbukti meningkatkan produksi HbF dan kadar
hemoglobin rata-rata pada pasien dengan talasemia intermedia atauthalassemia β-E. Selain itu,
ada laporan dari beberapa pasien thalassemia β mayor yang menjadi bebas transfusi setelah
menggunakan hydroxyurea, akan tetapi disertai efek samping serius, termasuk neutropenia,
peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan kemungkinan onkogenitas.8,11

38
Transplantasi sel induk hematopoietik
1. Transplantasi sel induk dari saudara kandung HLA-identik adalah terapi kuratif
2. Semakin besar hepatomegali, hemosiderosis, dan fibrosis portal dari hati sebelum
transplantasi, prognosisnya makin buruk
3. Transplantasi sel induk merupakan terapi yang kontroversial karena resikonya
harus dipertimbangkan karena faktanya pasien simtomatik cenderung memiliki
hasil transplantasi terbaik.12

Terapi gen
Penelitian sedang berlangsung pada metode memasukkan gen β-globin normal ke
dalam sel mamalia. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk memasukkan gen ke dalam sel
induk dan memanfaatkannya untuk transplantasi sel induk.12

3.2.9. Komplikasi
Perawatan yang ada sekarang yaitu hanya membantu penderita thalassemia berat untuk
hidup lebih lama lagi. Akibatnya, orang-orang ini harus menghadapi komplikasi dari gangguan
yang terjadi dari waktu ke waktu. Transfusi darah adalah perawatan standar untuk penderita
thalassemia. Sebagai hasilnya, kandungan zat besi meningkat di dalam darah. Hal ini dapat
merusak organ dan jaringan, terutama jantung dan hati. Penyakit jantung yang disebabkan oleh
zat besi yang berlebihan adalah penyebab utama kematian pada orang penderita
thalassemia. Penyakit jantung termasuk gagal jantung, aritmis denyut jantung, dan terlebih lagi
serangan jantung. Di antara orang-orang penderita thalassemia, infeksi adalah penyebab utama
penyakit dan kedua paling umum penyebab kematian. Orang-orang yang limpanya telah
diangkat berada pada risiko yang lebih tinggi, karena mereka tidak lagi memiliki organ yang
memerangi infeksi. Banyak penderita thalassemia memiliki tulang yang bermasalah, termasuk
osteoporosis. Ini adalah suatu kondisi di mana tulang menjadi sangat lemah, rapuh dan mudah
patah.8,10
Komplikasi berkembang sebagai akibat dari: 9,10
 Anemia kronis pada pasien yang sedang ditransfusi atau pasien thalassemia
intermedia yang tidak ditransfusi
 Transfusi kronis yang mengakibatkan hemosiderosis dan hemokromatosis
 Compliance yang buruk terhadap terapi kelasi (umumnya).

Bahkan pada pasien yang ditangani dengan hati-hati, komplikasi berikut dapat terjadi: 9
39
 Gangguan endokrin (misalnya, pertumbuhan terhambat, kegagalan hipofisis
dengan gangguan gonadotropin, hipogonadisme, diabetes mellitus yang insulin-
dependent, insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme)
 Sirosis hati dan gagal hati
 Gagal jantung karena kelebihan zat besi miokard (sering dikaitkan dengan aritmia
dan perikarditis)
 Hematopoiesis ekstrameduler, menyebabkan deformitas tulang
 Osteoporosis yang muncul saat pasien mencapai usia remaja. Penyebabnya
termasuk ekspansi meduler, defisiensi estrogen dan testosteron, defisiensi nutrisi,
dan toksisitas desferrioxamine. Manifestasi berupa rakitis, skoliosis, kelainan
bentuk tulang belakang, kompresi saraf, fraktur, dan osteoporosis berat.

3.2.10. Penyebab Kematian


1. Gagal jantung kongestif
2. Aritmia
3. Sepsis sekunder untuk meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pasca-
splenektomi
4. Kegagalan organ multipel karena hemokromatosis.11

3.2.11. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah mencegah seseorang agar tidak menderita
thalassemia ataupun menjadi carrier. Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah
konseling genetik pranikah. Konseling ini ditujukan kepada pasangan pranikah terutama
pada populasi yang beresiko tinggi agar mereka memeriksakan diri apakah mereka
carrierthalassemia atau tidak. Konseling ini juga ditujukan kepada mereka yang memiliki
keluarga penderita thalassemia.11
Tujuan utama konseling pranikah ini adalah mencegah terjadinya pernikahan antar
carrierthalassemia karena berpeluang 50% untuk mendapat keturunan carrier, 25%
thalassemia mayor, dan 25% bebas thalassemia.11

40
BAB IV
ANALISA KASUS

An. AD, laki-laki, usia 3 tahun 5 bulan, dirujuk ke RSMH dengan keluhan utama
pucat. Menurut waktu terjadinya, pucat dapat terjadi baik secara akut atau kronik. Penyebab
pucat yang terjadi secara akut dapat dipikirkan adanya perdarahan masif, leukemia akut,
anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun akut, G6PD deficiency, dan anemia hemolitik.
Sedangkan secara kronik penyebabnya bisa thalassemia atau anemia defisiensi besi, asam
folat, vitamin B12, serta penyakit kronik. Dari anamnesis didapatkan bahwa pucat terjadi
secara bertahap sejak 1 tahun yang lalu, yang berarti pucat terjadi secara kronik. Hal tersebut
dapat menyingkirkan diagnosis banding anemia akut.
Dari anamnesis, tidak didapatkan tanda-tanda perdarahan seperti mimisan, gusi
berdarah, BAB berdarah, BAB hitam, muntah hitam, bintik berwarna merah di tangan, kaki,
dan punggung, lebam pada badan, dan riwayat trauma. Ini menyingkirkan penyebab pucat
karena kehilangan darah. Tidak juga didapatkan keluhan kuning baik secara anamnesis
maupun pemeriksaan fisik, ini menyingkirkan kemungkinan anemia hemolitik autoimun
maupun G6PD deficiency. Tidak terdapat gejala-gejala infiltrasi, seperti pembesaran
kelenjar getah bening pada daerah colli, axilla, submandibular, dan inguinal yang bisa
terdapat pada keganasan. Tidak didapatkan riwayat keluar cacing saat BAB, riwayat terasa
gatal di sekitar dubur, riwayat sering tidak menggunakan alas kaki di tanah, sehingga
kehilangan darah akibat infestasi parasit seperti cacing bisa disingkirkan, akan tetapi untuk
diagnosis pasti bisa dengan pemeriksaan feses dan benzidin test. Riwayat batuk lama,
demam dan/atau batuk pilek setiap bulan disangkal, dan dari pemeriksaan fisik hanya
ditemukan tampak pucat, pertumbuhan tinggi dan berat badan yang kurang disertai perut
yang membesar, sehingga kemungkinan anemia penyakit kronik bisa disingkirkan tapi harus
dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium. Anak jarang mengonsumsi
daging atau hati yang kaya akan zat besi sehingga anemia defisiensi besi belum dapat
disingkirkan. Pasien mempunyai riwayat transfusi berulang sebelumnya sehingga bisa
dicurigai thalassemia.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak pucat, lemas,
penurunan nafsu makan, hepatosplenomegali, severely underweight, stunting, dan gizi
buruk. Didukung hasil pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb kurang dari normal, RBC
kurang dari normal, WBC meningkat, trombosit kurang dari normal, retikulosit meningkat
(kesan: anemia, leukositosis, trombositopenia, dan retikulositosis). Pada pemeriksaan darah
41
tepi didapatkan gambaran anemia hipokrom mikrositer dan gambaran target cell, gambaran
anisopoikilositosis, leukositosis, serta trombositopenia.
Dari anemia hipokrom mikrositer kita bisa memikirkan anemia defisiensi besi,
anemia penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik. Pada pemeriksaan Fe
meningkat, TIBC normal, dan feritin meningkat sehingga anemia defisiensi besi bisa
disingkirkan. Pada anemia penyakit kronik didapatkan TIBC dan saturasi transferin menurun
sedangkan pada kasus tidak ada penurunan. Pada anemia sideroblastik didapatkan positive
ring sideroblast pada besi sumsum tulangnya dan untuk thalassemia ditegakkan dengan
elektroforesis Hb. Pada Hb analisa didapatkan hasil kemungkinan thalassemia β. Sehingga
diagnosis kerja kasus ini adalah thalassemia β mayor yang akan dibahas selanjutnya.
Meskipun thalassemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat timbulnya gejala
bervariasi secara signifikan tergantung jenis thalassemia itu sendiri. Pada kasus ini
manifestasi timbulnya gejala thalassemia terjadi pada usia ± 2 tahun.
Di Indonesia, thalassemia berkisar antara 2,6% sampai 11%. Indonesia termasuk
negara yang berada dalam daerah thalassemia belt. Thalassemia adalah kelainan herediter
autosomal resesif dari sintesis Hb akibat dari gangguan produksi rantai globin. Pada riwayat
keluarga pasien tidak didapatkan penyakit dengan keluhan yang sama dengan pasien.
Kemungkinan orang tua pasien juga merupakan penderita silent karier thalassemia sebab
untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika
hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak
menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini. Sehingga untuk pemeriksaan perlu dilakukan
skrinning pada orang tua dan analisa DNA.
Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia yaitu: pucat, mudah
lelah, dan adanya penurunan kadar hemoglobin. Berkurangnya rantai globin beta
mengakibatkan rantai globin alfa berlebihan  rantai ini tidak dapat berikatan dengan rantai
globin dan akan mengendap di eritrosit, berkumpul membentuk suatu agregat yang tidak
larut di eritrosit yang menyebabkan eritrosit mudah rusak atau permeabilitasnya terganggu
(eritrosit lebih rapuh)  rentan untuk dilakukan fagositosis  eritrosit yang rusak ini akan
mengalami destruksi di limpa dan hati  berkurangnya produksi hemoglobin secara
keseluruhan dan mudah rusaknya sel darah merah (mengalami lisis)  penderita anemia.
Selain sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai pigmen merah eritrosit sehingga
apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin ke jaringan maka jaringan tersebut menjadi
anemis. Selain itu terjadi penurunan fungsional hemoglobin dalam menyuplai atau

42
membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh yang digunakan untuk oksidasi sel sehingga
anak cepat lelah dan lemas.
Pada pasien thalassemia, terjadi destruksi dini eritrosit sehingga sumsum tulang
merah berkompensasi dengan cara meningkatkan eritropoiesis. Sumsum tulang merah
terdapat di tulang pipih seperti os maxilla, os frontal, dan os parietal. Hal ini mengakibatkan
tulang-tulang tersebut mengalami penonjolan dan pelebaran. Namun, destruksi dini sel darah
merah terus berlanjut sehingga sumsum tulang putih yang normalnya berfungsi untuk
membangun bentuk tubuh dan pertumbuhan berubah fungsi menjadi sumsum tulang merah
yang menghasilkan eritrosit. Sumsum tulang putih terdapat pada tulang-tulang panjang
seperti os tibia, os fibula, os femur, os radius, dan os ulna. Perubahan fungsi tulang-tulang
ini dari pembangun tubuh menjadi pembentuk eritrosit mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan anak ini, sehingga anak menjadi lebih pendek untuk anak seusianya.
Thalassemia berdasarkan gejala klinisnya dibagi menjadi thalassemia mayor,
intermedia, dan minor. Pada pasien kemungkinan tergolong thalassemia mayor karena
anemia yang terjadi tergolong anemia berat, bergantung pada transfusi, hepatosplenomegali,
dan pertumbuhan terhambat. Didapatkan gambaran facies cooley yang biasanya ada di
thalassemia mayor. Pada thalassemia intermedia anemia yang terjadi tergolong anemia
sedang, relatif tergantung dengan transfusi, splenomegali prominen & deformitas tulang,
gejala bisa asimptomatik – berat Sedangkan untuk thalassemia minor biasanya anemia yang
terjadi ringan dan asimptomatik. Berdasarkan jenis rantai globinnya didapatkan peningkatan
kadar Hb A2 dan Hb F yang menunjukkan thalassemia-β dan didukung oleh pemeriksaan
Hb analisa. Dalam kasus ini didapatkan penderita sempat tidak menerima transfusi selama ±
6 bulan. Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima transfusi
pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik di sumsum tulang maupun
diluar sumsum tulang, sehingga tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin
terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak menbentuk wajah yang khas
(facies cooley).
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan retikulosit yang meningkat akibat eritrosit
mudah hancur dan umurnya pendek mengakibatkan kompensasi tubuh untuk meningkatkan
retikulosit. Mutasi gen globin menyebabkan ketidakseimbangan sintesis rantai globin
sehingga memberikan gambaran target cell, tear drop, dan fragmentosit. Pada kasus ini
ditemukan gambaran target cell, namun tidak ditemukan gambaran fragmentosit dan tear
drop. Mikrositik terjadi karena adanya hemolisis intravaskuler dan pemendekan waktu hidup
eritrosit dan pigmentasi eritrosit yang berkurang sehingga terjadi gambaran hipokrom.

43
Pada tatalaksana untuk bisa bertahan hidup, penderita thalassemia memerlukan
perawatan yang rutin, seperti melakukan tranfusi darah teratur untuk menjaga agar kadar Hb
di dalam tubuhnya 12 gr/dL. Untuk mempertahankan kadar Hb tersebut dan agar anak tidak
anemis dan lemas maka dilakukan transfusi PRC yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
berat badannya. Penderita mendapat 240 cc (2 x 125 cc). PRC yang digunakan adalah PRC
leucodepleted, kadar leukosit yang rendah dapat menurunkan risiko reaksi alergi. Indikasi
pemberian transfusi yang berulang jika Hb < 8 g/dL. Pemberian transfusi dalam jangka
waktu lama dapat menimbulkan komplikasi seperti hemosiderosis dan hemokromatosis,
yaitu penumpukan zat besi dalam jaringan tubuh akibat penyerapan besi yang berlebih oleh
saluran cerna yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh seperti: hati, limpa, ginjal,
jantung, tulang, dan pankreas. Sehingga diperlukan pemeriksaan kadar feritin, jika kadar
feritin ≥ 1000 ng/mL atau sudah 15-20 kali transfusi maka akan diberikan kelasi besi.
Pemberian Asam Folat untuk meningkatkan efektivitas fungsional eritropoesis dan vitamin
E untuk memperpanjang masa hidup eritrosit.
Pada anak didapatkan gizi buruk sehingga kalori yang dibutuhkan juga perlu
direncanakan. Kebutuhan kalori sebanyak 1125 kkal, diet nasi biasa 3 x 1 porsi (@375 kkal).
Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya akan zat besi juga dikurangi,
seperti hati, daging, kuning telur, polong, biji-bijian, udang, tiram, dan sayuran berwarna
hijau tua. Mengonsumsi makanan yang dapat menurunkan absorbsi besi misalnya sereal, teh,
kopi, dan produk susu. Edukasi kepada orang tua untuk melakukan tindakan pencegahan
dengan melakukan pemeriksaan seluruh keluarga. Bila ditemukan pembawa sifat, dilakukan
konseling sebelum pernikahan. Dilakukan konseling saat akan mempunyai anak untuk
mencegah anak yang lahir dengan thalassemia.
Perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi, seperti ISPA, karena anak thalassemia
rentan terinfeksi. Menganjurkan ibu untuk tetap menjaga keseimbangan nutrisi anak dengan
cara memberi makanan yang sehat dan bergizi untuk memperbaiki gizi anak dan memantau
pertumbuhan anak ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong ,W.F., 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran Edisi 20. Hal. 513-515. Jakarta:
EGC.
2. Benoist, B., dkk. 2008. Worldwide Prevalence of anemia 1993-2005. Spain: World
Health Organization.
3. Herdata, N.H., 2008. Thalasemia Mayor. Welcome & joining pediatric hematology
oncology in Indonesia.
4. Tamam, M., 2009. Thalasemia. Hal.3410-3420. Jakarta: Rotari Internasional.
5. Ganie, dkk. 2004. Kajian DNA Thalasemiaα di Medan. Medan: USU Press.
6. Cappelini, et al. 2014. Guidelines For The Management of Transfusion Dependant
Thalassaemia (TDT), 3rd Edition. Thalassaemia International Federation.
7. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta
Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-85.
8. Hay W.W., dkk. 2003. Current pediatric diagnosis and treatment Edisi 16. North
America: Lange medical books/McGraw-hill.
9. Haemoglobinopathies. The Pathophysiology of Beta-thalassemia Major, C.B.
Modell, from theDepartment of Paediatrics, University College Hospital, London, J.
clin. Path., 27, Suppl. (Roy. Coll.Path.), 8, 12-18.
10. Herdata, N.H., 2008. Thalasemia Mayor. Welcome & joining pediatric hematology
oncology in Indonesia.
11. Atmakusuma, D., Iswari S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hal.1379-
1393. Jakarta: Interna Publishing.
12. Berhman, R.E., Kliegman R.M., Arvin. 2005. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume
2 Edisi 15. Hal 1708-1712. Jakarta: EGC.
13. Langlois, Sylvia, et al. 2009. Carrier Screening for Thalassemia and
Hemoglobinopathies in Canada. JOGC Journal. Canada.
14. Pudjiadi H, Hegar B, Handryastuti S, Idris S, Gandaputra P, Harmoniati D, editors.
2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

45

Anda mungkin juga menyukai