Anda di halaman 1dari 30

BAB III

DASAR TEORI

3.1. DASAR HUKUM


Negara Republik Indonesia merupakan negara yng berdasar atas hukum,
sehingga dalam menyusun program pascatambang pada pertambangan batubara,
diperlukan suatu dasar hukum agar tercipta suatu kegiatan yang mempunyai
manfaat terhadap pembangunan tanpa melanggar hukum yang berlaku. Studi
tentang reklamasi dan penutupan tambang di PT. Adaro Indonesia disusun sesuai
peraturan yang berlaku yaitu
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Barubara. Menurut Undang-undang no 4 tahun 2009 kegiatan
pascatambang adalah kegiatan yang terencana, sistematis, dan
berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan
fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
penambangan, sehingga terdapat kewajiban tentang pengelolaan
dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan
reklmasi dan pascatambang.
2. Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor: 18 Tahun
2008 tentang Reklamasi dan Pentupan Tambang. Penutupan tambang
adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan
yang terganggu sebagai akibat dihentikannya kegitan penambangan
pengolahan dan pemurnian untuk memenuhi kriteria sesuai dengan
dokumen Rencana Penutupan tambang.
4. Undang-undang RI No 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah daerah.
Bagian ini adalah pernyataan tentang Penyelenggaraan Pemerintah
daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusn pemerintah
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan

25
26

pengelolaan hidup sektorat dilakukan dibawah koordinasi kepala


daerah termasuk dalam pasal 14 point 1.
5. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003 tentang
Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Batubara
6. Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 04 Tahun 2007 tentang
Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) bagi Kegiatan Industri, Hotel,
Restoran, Rumah Sakit, Domestik dan Pertambangan
7. Peraturan Pemerintah RI No. 78 Tahun 2010, tentang Reklamasi
dan pascatambang
8. Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 15 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Lingkungan Pasca Tambang di Provinsi Kalimantan
Selatan

3.2. PENELITIAN YANG BERKAITAN


Konsep pertambangan berwawasan lingkungan pernah dilakukan oleh
beberapa orang yaitu diantaranya :
Soelarno (2007) melakukan kajian tentang perencanaan pembangunan
pascatambang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan (studi kasus pada
pertambangan batubara PT. kaltim prima coal di kabupaten kutai timur, provinsi
kalimantan timur). Penambangan mempunyai kekuatan yang signifikan untuk
dikembangkan sebagai penggerak pembangunan di daerah terpencil dimana
penambangan itu berada. Namun, apabila kegiatan penambangan itu berakhir
maka menyebabkan terhentinya kegiatan perekonomian, dan masalah sosial
lainnya. Oleh karena itu, perlu perencanaan penutupan tambang yang menunjang
pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan.
Pemerintah sepakat untuk menjadikan bekas tambang sebagai kawasan
perkebunan, dengan alternatif lain untuk dikembangkan adalah budidaya perairan
dan kawasan wisata.
Sugiharni (2005) melakukan kajian tentang rehabilitasi lahan bekas
penambangan batubara tanpa ijin di wiliyah kabupaten tapin kalimantan selatan.
Pada penelitian ini membahas tentang komponen geofisik kimia, aktifitas PETI
27

mencapai 110 ha, menyebabkan erosi, kehilangan tanah pucuk, penanganan


lingkungan dan lahan pascatambang (dengan upaya penimbunan cekungan,
penataan cekungan, pembuatan saluran penirisan) dan budidaya tanaman karet
pada lahan bekas PETI membutuhkan pupuk urea .
Andriadi (2007) melakukan kajian tentang model ekonomi reklamasi lahan
bekas penambangan batubara dengan optimalisasi manfaat non-kayu. Dalam
kajiannya lahan bekas tambang batubara PT. Tambang Bukit Asam (Persero) Tbk
diperuntukkan sebagai hutan tanaman produksi dengan revegetasi lahan seluas
2.000ha untuk tanaman acacia magnum dan B3 ha untuk tanaman sengon.
Dengan mengoptimalkan pendapatan dari kayu dan non-kayu berupa pemanfaatan
jasa hutan dalam menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan.
Suprapto (2007) reklamasi lahan bekas tambang dan aspek konservasi
telah dilakukan untuk merehabilitasi lahan yaitu mengupayakan agar menjadi
ekosistem yang berfungsi optimal atau menjadi ekosistem yang lebih baik.
Reklamasi lahan dilakukan dengan menutup kembali lubang tambang serta
melapisinya dengan tanah pucuk, dan revegetasi lahan serta diikuti dengan
pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air asam tambang. Penataan
lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tataruang wilayah bekas
tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi kawasan lindung
ataupun budidaya. Lahan pascatambang memerlukan penanganan yang dapat
menjamin perlindungan terhadap lingkungan, khususnya potensi timbulnya air
asam tambang, yaitu dengan mengupayakan batuan mengandung sulfida tidak
terpapar pada udara bebas, serta dengan mengatur drainase. Bahan galian yang
mengandung komoditas masih mempunyai peluang untuk menjadi ekonomis perlu
penanganan dan penyimpanan yang baik agar tidak turun nilai ekonominya, serta
apabila diusahakan dapat digali dengan mudah. Diupayakan agar tidak ada bahan
tambang ekonomis yang masih tertinggal. Hal ini terutama bahan galian yang
potensial, mengundang masyarakat atau PETI untuk memanfaatkannya, sehingga
akan mengganggu proses reklamasi, maka perlu disterilkan terlebih dahulu
dengan menambang dan mengolahnya.
Penelitian tesis ini memfokuskan tentang program pascatambang untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yaitu studi
28

kasus pada pertambangan batubara PT Adaro Indonesia. Program Pascatambang


ini meliputi Reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan diluar bekas
tambang, Pemeliharaan hasil reklamasi, Pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat, dan Pemantauan. Rencana hasil dari penelitian ini untuk mendukung
keberlanjutan kegiatan pada masa pascatambang dan pembangunan kawasan pada
lahan bekas tambang agar dapat dioptimalkan untuk menjadi kawasan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

3.3. PERTAMBANGAN DAN PERKEMBANGAN PERADABAN


Bahan tambang adalah kebutuhan mutlak manusia modern, melalui
penemuan bahan tambang dari perut bumi, maka peradaban manusia bisa
melepaskan diri dari peradaban zaman batu. Di samping hasil-hasil
pertanian/perkebunan, bahan tambang adalah fondasi bagi perikehidupan sosial-
ekonomi masyarakat disegenap penjuru dunia. Sektor-sektor lain
menyelenggarkan pengangkutan dan memberikan nilai tambah pada produk-
produk pertanian /perkebunan dan pertambangan. Tak ada satupun industri lain,
yang melahirkan dampak yang demikian besar bagi kehidupan sosial-ekonomi
manusia. Di setiap sudut kehidupan kita sehari-hari, sadar atau tidak, kita telah
dikelilingi dan dibelenggu oleh kehadiran produk-produk industri yang langsung
atau tidak langsung berkaitan dengan bahan tambang. Baik kebutuhan primer
maupun kebutuhan sekunder manusia, dapat terpenuhi berkat kehadiran bahan-
bahan tambang. Mulai dari sarana dan prasarana seperti bangunan rumah, gedung
kantor, pabrik, jalan, jembatan, alat transportasi, komunikasi, perkantoran, dan
rumah-tangga, hingga energi dan komputer, bahan tambang telah menjadi bagian
yang integral dari peri kehidupan manusia (Gandataruna, 2005).
Pada saat ini industri pertambangan sudah memasuki tahap yang lebih
maju, yakni era industrialisasi. Bahkan dlam kehidupan di er informasi sekarang
ini, manusia tidak bisa menghilangkan ketergantungannya pada bahan-bahan
tambang, walaupun teknologi-teknologi subtitusi, miniaturisasi dan pendauran-
ulang sudah jauh berkembang.
29

3.4. PERTAMBANGAN DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN


Salah satu potensi lain sektor pertambangan yang bermakna adalah dalam
kaitannya dengan upaya nasional untuk memeratakan pembangunan beserta hasil-
hasilnya kedaerah-daerah terpencil dan terbelakang. Pertumbuhan perekonomian
di beberapa daerah yang luar biasa pesat tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran
sektor pertambangan di daerahnya masing-masing. Sumbangan sektor
pertambangan pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mungkin tidak
banyak berarti, namun ditahun 2003, menurut Biro Pusat Statistik (2022). Peran
sektor pertambangan untuk beberapa provinsi dan kabupaten di Kawasan Timur
Indonesia, cukup signifikan. Untuk Kabupaten Mimika, sumbangan sektor ini
pada Produk Domestik Bruto (PDB)-nya mencapai angka 97,4%, sementara untuk
Provinsi Papua, kabupaten Kutai Timur, Provinsi Sumbawa Barat, Provinsi
Sulawesi Seatan, dan Provinsi Bangka-Belitung juga sangat menonjol, yaitu
masing-masing 84%, 75%, 70%, 50%, dan 40%.

3.5. KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERWAWASAN


LINGKUNGAN
Menurut Harris dan Goodwin (2001), tiga aspek penting dalam
pembangunan keberlanjutan uyaitu :
1. Keberlanjutan ekonomi, diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinyu, untuk memelihara
kemampuan pemerintahan dan menghindarkan terjadinya kebijakan
sektoral ekstrim yang menyebabkan ketidakseimbangan dan merusak
produksi pertanian dan industri.
2. Keberlanjutan lingkungan, mensyaratkan bahwa sistem yang berkelanjutan
secara lingkungan harus mampu memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. Memelihara ketersediaan sumberdaya yang stabil
b. Menghindari eksploitasi yang berlebihan pada sumberdaya alam
terbarukan atau menurunnya fungsi lingkungan, dan
c. Penyusutan (depleted) sumberdaya alam tak terbarukan hanya dapat
ditoleransi bila disertai subtitusi yang memadai.
30

Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati,


stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk
kategori sumber-sumber ekomoni.
3. Keberlanjutan sosial, diartikan sebagai terciptanya suatu sistem adil yang
mampu mewujudkan kesetaraan untuk menyediakan jasa-jasa layanan
sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, politik dan partisipasi.
Pengertian lain dari keberlanjutan sosial (UNDP, 1990) adalah proses
memperluas pelayanan masyarakat dari semua tingkat perkembangan dengan tiga
pendekatan yakni peningkatan kesehatan, pemenuhan pengetahuan, dan
peningkatan potensi dalam rangka penyediaan sumberdaya yang dibutuhkan.

Gambar 3.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

3.6. REKLAMASI DAN PENGELOLAN DAMPAK PADA LINGKUNGAN


Definisi Reklamasi menurut peraturan No.18 tahun 2008 adalah : kegiatan
yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu akibat
kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya. Reklamasi lahan adalah suatu upaya pemanfaatan, perbaikan dan
peningkatan kualitas lahan pertanian kurang produktif baik yang diakibatkan
secara alami maupun pengaruh manusia melalui penerapan teknologi dan
pemberdayaan.
31

Pemulihan lahan bekas tambang dilaksanakan secara konsekuen sesuai


dengan rencana reklamasi. Rencana reklamasi ini berpedoman pada AMDAL
yang telah disetujui, bagian mana yang harus dihijaukan kembali, daerah yang
akan dikembangkan untuk infrastruktur, dan daerah mana yang menjadi genangan
untuk dikembangkan misalkan sebagai aquaculture.
Reklamasi ini merupakan bagian dari skenario pemanfaatan lahan
pascatambang sebagaimana disebutkan dalam Rencana Penutupan Tambang
(RPT) yang telah disusun dan disepakati bersama dengan stakeholder. Penggunan
lahan pascatambang dapat berupa kawasan budidaya pertanian, perkebunan,
kehutanan, kawasan wisata, permukiman, perindustrian atau yang lainnya sesuai
dengan tata guna lahan pascatambang (post mining land use). Menurut Direktorat
Jendera Pertambangan Umum (1993), sasaran dari pelaksanaan reklamasi adalah
menciptakan lahan bekas tambang yang stabil, aman dari erosi, dan dapat
dipergunakan secara produktif sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.
Laju kerusakan hutan yang besar di Indonesia pada saat ini mendorong
upaya perlindungan kawasan hutan sehingga diterbitkannya Undang-undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, untuk memperkuat upaya pemulihan
dan pelestarian fungsi hutan. Reklamasi lahan bekas tambang yang dilaksanakan
dengan baik, akan berkontribusi pada pelestarian fungsi kawasan hutan.

3.7. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (COMMUNITY DEVELOPMENT)


Salah satu sifat dasar dari pemanfaatan sumberdaya pada industri-industri
di sektor energi dan sumberdaya mineral adalah adanya deplesi yang lambat laun
akan mengakibatkan sumberdaya tersebut habis. Dalam konteks tersebut menurut
Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD, 2004) pembangunan
industri di sektor sumberdaya mineral akan dapat terus berkelanjutan apabila :
a. Program pembangunan memperhatikan misi lingkungan
b. Program pembangunan memiliki tanggug jawab sosial
c. Konsep keberlanjutan diimplementasikan dalam kebijakan pada tingkat
komunitas/masyarakat, industri maupun pemerintah
d. Program pembangunan memiliki ketersediaan dana yang cukup dan
mempunyai nilai keuntungan
32

Selanjutnya ICSD (2004) juga menyatakan bahwa dalam konteks


pembangunan berkelnjutan, maka program Community Development yang
dilakukan oleh sektor energi dan sumberdaya mineral adalah dalam rangka
mempersipkan life after mining/operation bagi daerah maupun masyarakat
sekitarnya, agar kondisinya tidak lebih buruk daripada saat tambang masih
beroperasi.
Community Development adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses
masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang
lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya
(Budimanta, 2002). Program Community Development disektor energi dan
sumberdaya mineral dapat diartikan sebagai wujud internalisasi biaya
eksternalitas yang timbul sebagai akibat dari pemanfaatan semberdaya yang tidak
terbaharui (unrenewable resources).

Gambar 3.2. Integrasi CSR dalam Konsep Penutupan Tambang

Dalam perencanaan Community Development, keterlibatan masyarakat


mutlak diperlukan karena program ini dibuat untuk mereka. Sektor pertambangan
cukup berpengalaman dalam pelaksanaan Community Development ini, dengan
melibatkan masyarakat, sehingga sasaran dapat tercapai, dan memberikan dampak
33

positif terhadap ketahanan perusahaan (Budimanta, etl., 2004). Ada tiga alasan
mengapa industri atau perusahaan melakukan Community Development, yaitu :
a. Untuk mendapat izin lokal. (Izin lokal adalah usaha perusahaan untuk bisa
beradaptasi dengan komunitas lokal dalam rangka menciptakan
harmonisasi kegiatan usaha dengan komunitas lokal)
b. Mengatur dan menciptakan strategi ke depan yang dilakukan bersama-
sama dengan anggota masyarakat dalam rangka mengembangkan
kemandirian masyarakat.
c. Program Community Development mempunyai potensi untuk
meningkatkan nilai usaha terhdap perusahaan (hubungannya dengan good
corporate governance)

3.8. PERENCANAAN PENUTUPAN TAMBANG


International Institute for Environment and Development (IIED) dan
World Business Coucil for Sustainable Development (WBSCSD), 2002
menyebutkan bahwa agar pertambangan dapat berkontribusi positif pada
pembangunan berkelanjutan, maka tujuan penutupan tambang dan dampak akibat
penutupan tambang harus dipertimbangkan sejak tahap awal proyek akan
dilaksanakan. Dalam ini, selain diperlukan studi kelayakan untuk membuka
tambang, juga harus dilakukan perencanan untuk menutup tambang (planning for
closure). Menurut Ricks (1994) dalam IIED dan WBCSD (2002), perencanaan
penutupan tambang awalnya hanya dititikberatkan pada perlindungan lingkungan
saja, namun saat ini sudah diperluas, mencakup juga aspek sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu diperlukan perencanaan penutupan tambang yang terintregasi.
Pendapat tersebut diatas sejalan dengan pendapat Fleury dan Parsons
(2006) yang menyatakan bahwa pertambangan ada batasnya (suatu saat akan
berhenti), guna memperoleh manfaat yang optimum dari pertambangan maka
diperlukan perencanaan penutupan tambang yang terintegrasi dengan operasi
pertambangan sejak tahap awal sampai dengan umur tambang.
Penutupan tambang akan menimbulkan dampak yang menakutkan apabila
perekonomian masyarakat sangat bergantung pada keberadaan pertambangan, dan
34

tidak ada penggerak lainnya sebagai pengganti. Di lain pihak, daerah bekas
tambang tidak tertata dengan baik yang menyulitkan kegiatan budidaya.

Gambar 3.3. Pengembangan wilayah pascatambang

3.9. ASPEK PENTING DALAM PERENCANAAN PENUTUPAN


TAMBANG
3.9.1. Partisipasi Stakeholder
Tujuan utama dari perencanaan penutupan tambang adalah memenuhi hal-hal
berikut ini:
a. Pemulihan fungsi lahan menjadi lahan yang produktif dan dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
b. Melindungi keselamatan dan kesehatan masyarakat.
c. Meminimumkan kerusakan lingkungan.
d. Melakukan konservasi terhadap beberapa obyek yang dilindungi.
e. Melakukan pengentasan terhadap kemiskinan akibat dampak sosial
ekonomi.
Tujuan dan kriteria untuk menentukan keberhasilan penutupan tambang harus
melibatkan stakeholder yang terdiri atas masyarakat setempat, karyawan,
pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait, seperti organisasi non-pemerintah
dan lembaga atau instansi terkait. Dengan upaya-upaya yang diarahkan dalam
35

rangka pengembangan masyarakat di sekitar area pertambangan, perusahaan dapat


meletakkan landasan operasinya untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan, dan untuk masa pasca penutupan tambang.
Apa yang akan ditinggalkan untuk masyarakat setempat bukan hanya sekedar
bangunan dan sarana jalan belaka, melainkan landasan-landasan supaya
masyarakat dapat melanjutkan dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Pembangunan yang berkelanjutan tidak lagi sebatas unsur material saja,
melainkan meliputi unsur intangibles seperti sarana pendidikan, pengetahuan,
keterampilan, kesehatan masyarakat dan unsur tatanan hidup yang dapat
menbangkitkan kinerja untuk membangun diri sendiri.
Perencanaan penutupan tambang akan menentukan pilihan cara yang terbaik
dalam penutupan tambang serta pengelolaan perubahan linkungan maupun sosial-
ekonomi setelah kegiatan pertambangan berhenti.

3.9.2. Tahapan Perencanaan


Perencanaan penutupan haruslah dinamis dan merupakan evolusi, artinya
identifikasi isu-isu potensial yang perlu dikelola dikemudian hari harus dilakukan
selama kegiatan pertambangan masih berlangsung, antara lain:
a. Disain awal penutupan tambang (conceptual closure plan)
Dipersiapkan pada saat perijinan diajukan, yaitu dengan memuatnya di
dalam AMDAL, antara lain dengan mengajukan beberapa alternatif
pemanfaatan lahan pasca tambang. Perencanaan ini dapat dilakukan
dengan relatif lebih baika apabila ditunjang dengan data eksplorasi yang
cukup memadai. Apabila ketentuan ini dapat ditetapkan, maka akan
mendorong perusahaan pertambangan untuk melakukan eksplorasi lebih
rinci pada daerah yang akan diusulkan perijinan eksploitasinya.
b. Reklamasi progresif (contemporaneuos reclamation)
Reklamasi yang dilakukan selama kegiatan eksploitasi berlangsung
dilakukan dengan kecepatan yang sama dengan pembukaan lahan. Hal ini
dapat dicapai apabila perencanaan reklamasi merupakan bagian dari
kegiatan pertambangan.
c. Rencana Penutupan Tambang Sementara (interim closure plan)
36

Perencanaan yang dilakukan pada sebagian daerah pertambangan, dengan


alasan kegiatan berpindah ke daerah penambangan lain (masih dalam
wilayah perijinan yang sama), terjadi kevakuman cadangan siap tambang,
atau masalh lain yang menyebabkan kegiatan harus dihentikan sementara.
d. Rencana Penutupan Tambang Final (final closure plan)
Perencanaan yang dilakukan apabila kegiatan secara keseluruhan akan
dihentikan.

3.9.3. Keberlanjutan Ekonomi


Haris (2001) menyatakan bahwa keberlanjutan ekonomi mensyaratka
adanya aliran barang dan jasa yang kontinu untuk memelihara kapasitas dan
kemampuan pemerintah dalam menjalankan tugasnya dan menjaga roda
pembangunan di sektor produksi pertanian dan industri.
Pembangunan tidak bisa terlepas dari pemanfaatan sumber daya alam
(SDA), baik SDA terbarukan (renewable) maupun SDA tak terbarukan (non
renewable). Pembangunan untuk jangka panjang dan berkelanjutan tentunya harus
bertumpu kepada SDA terbarukan. Dalam konteks keberlanjutan ekonomi,
Djajadiningrat (2001), menyatakan bahwa untuk sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui, seperti tambang, maka harus diupayakan agar dapat
dikembangkan substitusi dengan sumber daya yang dapat dipulihkan.
Menurut Salim (2006) dalam Djajadiningrat (2006), SDA yang tidak dapat
diperbaharui seperti bahan tambang, memiliki manfaat kegunaan yang dibatasi
waktu. Dalam pola pembangunan berkelanjutan, batas waktu tersedianya SDA
tambang tersebut harus diperhitungkan supaya pembanunan berkelanjutan dapat
berlanjut. Dengan mengambil contoh timah di pulau Bangka lebih llanjut Salim
(2006) menyatakan bahwa tingkat penipisan atau depletion rate timah harus
diperhitungkan dan himpunan depletion rent untuk dijadikan modal menggantikan
timah yang habis ditambang. Depletion rent tersebut selanjutnya diinvestasikan
pada kegiatan ekonomi yang berkelanjutan seperti pertanian, perkebunan,
perikanan, pariwisata, atau pengembangan sumber daya manusia.
Apabila hal tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan baik, maka terjadi
sinergi pertambangan dengan sektor lain dalam rangaka konversi SDA tak
37

terbarukan menjadi SDA terbarukan untuk membangun dan mencerdaskan


bangsa. Banyak pengalaman menunjukan bahwa terjadi intraksi kuat antara
perkembangan ekonomi lokal/regional akibat dari keberadaan pertambangan,
akibat efek ganda (multiplier effect) yang timbul berkisar antara 3-10 kali dari
besarnya pendapatan resmi Pemerintah. Efek ganda ini tak pernah diperhitungkan,
namun baru disadari apabila suatu kegiatan perambangan akan mengakhiri
kegiatannya. Contoh kasus adalah Kota Ombilin (2000) yang mempertanyakan
nasib masyarakatnya bila PT Bukit Asam UP Batubara Ombilin akan menutup
tambangnya.
Tolak ukur yang dapat digunakan untuk tingkat kesejahteraan adalah
tingkat pendapatan masyarakat (income percapita) sebelum ada pertambangan,
selama pertambangan berlangsung, dan setelah tambang berakhir. Khusus setelah
tambang berakhir, jangan sampai terjadi penurunan tingkat sosial, ekonomi, dan
lingkungan, bahkan bila memungkinkan dapat terus meningkat.

3.9.4. Keberlanjutan Lingkungan


Apabila suatu daerah akan ditinggalkan setelah sumber daya mineral habis
ditambang, beberapa persyaratan lingkungan yang perlu dipenuhi agar tercapai
tujuan dari perencanaan penutupan tambang, yaitu kestabilan fisik, kestabilan
kimia dan kestabilan ekologi, termasuk di dalamnya adalh perlindunan
keanekaragaman hayati.
Faktor-faktor penting dari kemitraan yang harus dipertimbangkan:
a. Peningkatan kemudahan memperoleh informasi mengenai
keanekaragaman hayati setempat;
b. Mengkaji dan meningkatkan kategori area-area yang dilindungi melalui
sistem klasifikasi;
c. Pemerintah lebih bersifat independen terhadap penetapan AMDAL dan
Audit Lingkungan;
d. Menjamin tersedianya dana untuk penerapan pengelolaan linkungan yang
baik dan benar.
Nilai kerusakan yang dapat terjadi terhadap keanekaragaman hayati setempat
selam kegiatan operasi, bergantung pada (Gardner, 2006):
38

a. Cara mengatasi dampak potensial yang terjadi selama pengamatan umum,


pengujian dampak lingkungan, dan saat memasuki tahap konstruksi;
b. Pengelolaan dampak kegiatan eksplorasi, operasional pertambangan,
reklamasi dan penutupan tambang telah dikelola dengan baik;
c. Keberlanjutan kegiatan pengelolaan reklamasi dan infrastruktur setelah
pertambangan selesai.
Program-program yang dilakukan dalam rangka memberi kontribusi positif dari
kegiatan pertambangan pada perlindungan keanekaragaman hayati, seperti:
a. Survei flora dan fauna spesifik di daerah setempat;
b. Pendidikan dan pelatihan mengenai keanekaragaman hayati;
c. Bantuan dana penelitian yang berkaitan dengan konservasi lingkungan;
d. Bantuan dana kepada proyek-proyek dan kelompok pemerhati lingkungan;
e. Perkembangan masyarakat lokal dan daerah yang terlibat di dalam
kegiatan keanekaragaman hayati.
Beberapa dampak negatif dari kegiatan pertambangan dapat dihindari bila
perencanaan dan pengelolaan telah diaplikasikan dan dapat mengahasilkan
keluaran yang positif bagi keanekaragaman sesuai dengan konsultasi pemerhati
hukum dan masyarakat lokal yang berkepentingan. Upaya kolaborasi dan
kerjasama antara pemerintah, masyarakat lokal dan perusahaan pertambangan
adalah unsur-unsur yang harus selalu berkaitan untuk memberikan keluaran
terhadap keanekaragaman yang optimum. Sebagai contoh, dampak positif adalah
kegiatan reklamasi lahan bekas tambang yang didisain untuk memproduksi hasil
hutan, tanaman pertanian hutan dan padang rumput.
Reklamasi bahan bekas tambang dapat diartikan secara luas sebagai
rekonstruksi ekosistem, memantapkan kembali kemampuan lahan untuk
penandaan dan menata kembali sumber daya hayati. Pada rencana reklamasi,
sasaran, tujuan dan kriteria sukses benar-benar harus dimantapkan guna
memperoleh standar yang sistematik. Keanekaragaman hayati adalah tujuan yang
realistis di dalam model perencanaan reklamasi meskipun diketahui tidak
tersedianya tanah pucuk ataupun tidak ada sarana dan fasilitas yang memadai.
Gardner, (2001) menyatakan bahwa penutupan tambang dan reklamasi
juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari air asam tambang dan
39

upaya pemulihannya dengan mengurangi turunan air asam tambang sampai pada
tingkat yang dapat diterima. Disian pemulihannya dapat dimodifikasi dengan
meminimalkan masuknya air dan udara.
Tujuan pemulihan harus diformulasikan berdasar struktur dasar secara
detail dan karakteristik ekosistem alami. Ketika semua konsep diimplementasikan
mulai dari ekosistem pra-penambangan, diikuti dengan pertimbangan aspek
ekonomi, penerimaan konsep tersebut dan stabilitas jangka panjang dengan
pengelolaan yang berjalan dengan pembiayaan yang rasional.
Gardner (2001) memberikan contoh komponen-komponen penting (pendekatan
Alcoa) dalam rangka memulihkan hutan Jarrah:
a. Identifikasi hal-hal yang dapat meningkatkan jumlah spesies tanaman;
b. Melakukan seleksi pada proyek penelitian yang berkaitan dengan
melibatkan tenaga ahli dari universitas dan organisasi penelitian lainnya;
c. Membangun infrastruktur dan menyediakan peralatan-peralatan;
d. Mengidentifikasi perubahan keanekaragaman hayati, dengan melakukan
pemantauan secara periodik;
e. Menentukan tujuan akhir dari kegiatan pemulihan dengan meyeimbangkan
kondisi rona awalnya.

3.9.5. Keberlanjutan Sosial


Faktor sosial juga harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan
penutupan tambang terutama bila kegiatan pertambangan berada di dekat pusat
kota atau berada dekat pemukiman penduduk desa. Proses penutupan tambang
memerlukan kosultasi dengan masyarakat lokal, mengingat mereka yang akan
menggunakan area reklamasi setelah tambang tersebut ditutup. Pada beberapa
bagian, konteks sosial dan legislatif dari pertambangan membutuhkan beberapa
bentuk tujuan reklamasi yang dapat berkelanjutan setelah penutupan tambang.
Pertimbangan reklamasi saat ini telah dikaitkan dengan perencanaan tambang dan
telah menjadi faktor utama di dalam pelaksanaan kegaiatan pertambangan, hingga
penutupan tambang.
Secara sosial, pembangunan akan berkelanjutan apabila daoat memenuhi
kebutuhan dasar manusia dan melibatkan masyarakat sejak perencanaan sampai
40

pelaksanaannya secara demokratis, serta memperkuat kapasitas individu dan


masyarakat melalui pemberdayaan (Wise, 2001) keberlanjutan sosial dapat
dicapai melalui pendekatan pembangunan sumber daya manusia. Hal ini berkaitan
dengan permasalahan sosial dengan pokok perhatiannya adalah manusia sebagai
makhluk sosial.
Pembangunan aspek sosial akan menghasilkan model sosial (social
capital) yang diperlukan sebagai dasar untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan. Wise (2001) dalam Harris (2001) menyatakan walaupun belum
terdapat definisi baku yang disetujui, pengertian modal sosial merujuk pada cara-
cara yang ditempuh oleh para pelaku ekonomi dalam berinteraksi dan
mengorganisasikan dirinya untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan dari
penggunaan kombinasi bentuk-bentuk modal lainnya, yaitu modal fisik, alam dan
manusia. Menurut Bank Dunia (1997) dalam (2001), akumulasi modal sosial
dapat dilihat dari tingkat kepercayaan, kerjasama, dan koherensi kelembagaan
sosial. Kontribusi akumulasi modal sosial tersebut untuk meningkatkan hasil-hasil
yang dicapai dalam pembangunan, antara lain melalui penurunan biaya produksi.
Menurut Haq (1995) dalam Harris (2001), dalam pembangunan sumber daya
manusia yang dikaitkan dengan konteks keberlanjutan sosial dan keberlanjutan
pembangunan, terdapat empat hal esensial yang harus menjadi dassar perencanaan
dan pelaksanaan program penutupan tambang, yaitu kesetaraan (equity),
keberlanjutan (sustainability), produktivitas (productivity), dan pemberdayaan
(empowerment). Keberlanjutan ssosial di lokasi kegiatan pertambangan pada
masa pasca tambang dapat dicapai melalui penciptaan keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia. Sejalan dengan
pendapat Haq tersebut, terdapat empat strategi untuk menciptakan keterkaitan
tersebut, yaitu:
a. Investasi di bidang pendidikan, kesehatan dan peningkatan keahlian
masyarakat,
b. Peningkatan distribusi yang setara antara pendapatan dan aset,
c. Pengembangan struktur sosial untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia,
d. Pemberdayaan masyarakat.
41

Gambar 3.4. Konsep penutupan tambang

3.10. PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN


Pemeliharaan dan perawatan berdasarkan peraturan No.18 tahun 2008
merupakan komponen penting dari program pascatambang agar dapat berhasil
dengan baik. Saat melaksanakan program pascatambang, perincian mengenai
operasi program pascatambang ini harus didokumentasikan dengan seksama.
Pencatatan data ini mempunyai dua tujuan.
Pertama agar dapat melakukan analisis yang mungkin penting dalam
membantu menjelaskan hasil pembangunan awal serta kecendrungan arah jangka
panjang. Selain itu, informasi data program pascatambang juga dapat digunakan
sebagai daftar yang dapat diaudit, untuk mengkonfirmasi kepada badan yang
disepakati telah terpenuhi.
Di saat pembangunan program pascatambang selesai, seharusnya
dilaksanakan pemantauan untuk menilai keberhasilan rehabilitasi awal,
mengungkapkan kebutuhan untuk tindakan pemulihan dan menentukan apakah
program pascatambang akan dapat memenuhi tujuan jangka panjang dan kriteria
yang telah ditetapkan, ataukah belum memenuhi.
42

3.11. PEMANTAUAN
Pemantauan pada peraturan No.18 tahun 2008 yaitu Penyusunan
pemantauan program pascatambang Industri pertambangan telah mendukung
banyak program-program riset yang telah menampilkan berbagai teknik berharga
untuk mengkaji stabilitas lahan serta keberlanjutan, dinamika, fungsi dan proses-
proses program pascatambang. Manfaat terbesar dari program pemantauan adalah
ketika digabung dengan informasi mengenai apa yang terjadi pada program
pascatambang tertentu. Catatan sejarah program pascatambang akan
menghubungkan kinerja saat ini dengan praktek kerja program pascatambang,
sehingga dapat mengetahui metode-metode yang terbaik dan memperbaiki
masalah yang masih ada. Informasi ini (masa lalu dan masa kini) penting dalam
melengkapi serangkaian masukan sehingga langkah penyempurnaan yang terus
menerus dapat tercapai.

3.12. METODE SWOT


Menurut Rangkuti (2009) Metode Swot digunakan untuk mengidentifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Metode ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths), dan
peluang (Opputunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weakness). dan ancaman (Threats). Proses perumusan strategi selalu berkaitan
dengan pengembangan misi, tujuan, dan kebijakan perusahaan.
Dari metode SWOT ini akan dihasilkan matriks SWOT. Matriks SWOT
merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan empat golongan
alternatif strategi yang dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternatif
berdasarkan aspek S (strengths), W (weakness), O (oppoturnities), dan T
(threats). Keempat strategi itu antara lain:
1. SO, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya
2. ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
mengatasi ancaman
3. WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang
ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada
43

4. WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan
berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah
sebagai berikut:
a. Analisis Penilaian
Faktor Internal dan Faktor Eksternal Penilaian faktor internal (IFE) adalah
untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan
cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan serta memberikan dasar
untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut.
Sedangkan penilaian faktor eksternal (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh
mana ancaman dan peluang yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman
dan peluang (David, 2008 yang disitasi Rangkuti, 2009). Identifikasi berbagai
faktor tersebut secara sistematis digunakan untuk merumuskan strategi untuk
manajemen Kawasan.
b. Penentuan Bobot
Setiap Variable Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun
eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingannya. Setiap faktor
internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel
3.1 dan 3.2).

Tabel 3.1. Formulir tingkat kepentingan faktor internal


No Faktor-faktor Internal Skala Konstanta SPxK Bobot Peringkat Nilai
Prioritas (K) Skor
(SP)
Kekuatan (Strengths)
S1
S2
S3
S4
S5
Jumlah
Kelemahan (Weaknesses)
W1
W2
W3
W4
W5
44

Tabel 3.2. Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal


No Faktor-faktor Skala Konstanta SPxK Bobot Peringkat Nilai
Eksternal Prioritas (K) Skor
(SP)
Peluang (Opportunities)
O1
O2
O3
O4
O5
Jumlah
Ancaman (Threats)
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Jumlah

Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009), penentuan bobot


setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4. Variabel diberi bobot 1 jika
indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal.
Variabel diberi bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan
indikator faktor vertical. Variabel diberi bobot 3 jika indikator faktor horizontal
lebih penting daripada indikator faktor vertical. Bobot 4 diberikan pada variabel
jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor internal.
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap
jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
ai = bobot variable ke-i
xi = nilai variable ke-i
i = 1,2,3,…,n
n = jumlah variable
c. Penentuan Peringkat (rating)
Penentuan tiap variabel terhadap kondisi objek diukur dengan menggunakan
nilai peringkat berskala 1-4 terhadap masing-masing faktor strategis yang
dimiliki Kawasan. Nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada
45

setiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk
memperoleh total skor pembobotan (Tabel 3.3). Total skor pembobotan
berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan IFE di
bawah 2,5 maka dapat dinyatakan bahwa kondisi internal lemah, sedangkan
jika berada di atas 2,5 maka dinyatakan kondisi internal kuat, Demikian juga
total pembobotan EFE, jika dibawah 2,5 menyatakan bahwa kondisi eksternal
lemah dan jika di atas 2,5 menyatakan bahwa kondisi eksternal kuat (Tabel 3.4
dan Tabel 3.5).
d. Penyusunan Alternatif Strategi
Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan
adalah matriks SWOT (Tabel 3.6). Hubungan antara kekuatan dan kelemahan
dengan peluang dan ancaman digambarkan dalam matriks tersebut. Matriks ini
menghasilkan beberapa alternatif strategi sehingga kekuatan dan peluang
dapat ditingkatkan serta kelemahan dan ancaman dapat diatasi.

Tabel 3.3. Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor


Evaluation
Nilai Peingkat Matriks IFE Matriks EFE
Strength (S) Weakness (W) Opportunity Threat (T)
(O)
1 Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman
Sangat kecil sangat berarti rendah, respon sangat besar
kurang
2 Kekuatan Kelemahan Peluang rendah Ancaman besar
Sedang yang berarti respon rata-rata
3 Kekuatan besar Kelemahan Peluang tinggi, Ancaman
yang kurang respon di atas sedang
berarti rata-rata
4 Kekuatan Kelemahan Peluang sangat Ancaman
sangat besar yang tidak tinggi, respon sedikit
berarti rata-rata
Sumber : Rangkuti, 2009
46

Tabel 3.4. Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE)


Faktor Strategis internal Bobot Rating Skor (BobotxRating)
Kekuatan
1
2
3
4
Kelemahan
1
2
3
4
Total
Sumber : Rangkuti, 2009

Tabel 3.5. Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE)


Faktor Strategis internal Bobot Rating Skor (BobotxRating)
Peluang
1
2
3
4
Ancaman
1
2
3
4
Total
Sumber : Rangkuti, 2009

e. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi


Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan
memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan
akan menetukan rangking prioritas strategi (Tabel 3.7). Jumlah skor ini
diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang
terkait. Rangking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar
sampai terkecil dari semua strategi yang ada. Perangkingan ini dilakukan
secara subjektif dimana strategi akan berupa usaha memaksimumkan
kekuatan(strengths) dan peluang (opportunities) serta meminimumkan
ancaman (threats) dan kelemahan (weaknesses).
47

Tabel 3.6. Matriks SWOT


Eksternal Opportunities Threats
Internal
Strengths Menggunakan kekuatan yang Menggunakan kekuatan yang
dimilik untuk mengambil dimiliki untuk mengatasi
kesempatan yang ada ancaman yang dihadapi
Weakness Mendapatkan keuntungan dari Meminimumkan kelemahan
kesempatan yang ada untuk dan menghindari ancaman
mengatasi kelemahan- yang ada
kelemahan
Sumber : Rangkuti, 2009

Tabel 3.7. Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT


Alternatif strategi Keterkaitan dengan unsur SWOT Nilai Rangking
SO1
SO2
SOn
WO1
WO2
WOn
ST1
ST2
STn
WT1
WT2
WTn
Sumber : Rangkuti, 2009

3.13. PENILAIAN RESIKO


3.13.1. Pengertian Resiko
David Mc Namee & Georges Selim (1998) mendefinisikan risiko sebagai
konsep yang digunakan untuk menyatakan ketidakpastian atas kejadian dan atau
akibatnya yang dapat berdampak secara material bagi tujuan organisasi. Definisi
yang hampir sama disampaikan oleh Bringham (1999) yang menyatakan bahwa
risiko adalah bahaya, petaka; kemungkinan menderita rugi atau mengalami
kerusakan. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko
mengandung tiga unsur pembentuk risiko, yaitu (i) kemungkinan kejadian atau
peristiwa, (ii) dampak atau konsekuensi (jika terjadi, risiko akan membawa akibat
atau konsekuensi, dan (iii) kemungkinan kejadian (risiko masih berupa
kemungkinan atau diukur dalam bentuk probabilitas). Ketiga unsur tersebut harus
selalu dipenuhi oleh perusahaan pertambangan ketika akan mengidentifikasi
risiko.
48

Risiko bisa timbul dari sumber internal dan sumber eksternal dari
perusahaan pertambangan. Risiko yang berasal dari sumber eksternal mencakup
munculnya peraturan perundang-undangan baru, perkembangan teknologi,
bencana alam dan gangguan keamanan. Sementara itu, sumber internal risiko
terdiri atas keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang tidak
kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan prosedur yang tidak jelas,
dan suasana kerja yang tidak kondusif. Selain kedua sumber di atas, risiko juga
bisa disebabkan oleh faktor lain, misalnya pengeluaran program yang tidak tepat,
pelanggaran terhadap pengendalian dana, ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan, risiko yang melekat pada sifat misinya atau pada
signifikansi (BPKP, 2010).
Penilaian resiko adalah metode sistematis dalam melihat aktivitas kerja,
memikirkan apa yang dapat menjadi buruk, dan memutuskan kendali yang cocok
untuk mencegah terjadinya kerugian, kerusakan, atau cedera di tempat kerja.
Penilaian ini harus juga melibatkan pengendalian yang diperlukan untuk
menghilangkan, mengurangi,atau meminimalkan resiko (NSH Health Scotland,
2010).
Penilaian risiko bertujuan untuk (i) mengidentifikasi dan menguraikan
semua risiko-risiko potensial yang berasal baik dari faktor internal maupun faktor
eksternal, (ii) memeringkat risiko-risiko yang memerlukan perhatian manajemen
perusahaan dan yang memerlukan penanganan segera atau tidak memerlukan
tindakan lebih lanjut, dan (iii) memberikan suatu masukan atau rekomendasi
untuk meyakinkan bahwa terdapat risiko-risiko yang menjadi prioritas paling
tinggi untuk dikelola dengan efektif (BPKP, 2010).
Penilaian risiko dilakukan terhadap faktor-faktor yang mengancam
tercapainya tujuan instansi pendidikan. Oleh karena itu, penetapan tujuan baik itu
tujuan instansi maupun tujuan kegiatan merupakan langkap awal dalam
melakukan penilaian risiko. Setelah tujuan ditetapkan, instansi pendidikan akan
melakukan identifikasi terhadap risiko-risiko yang bisa menghambat pencapaian
tujuan tersebut. Identifikasi risiko bisa dilakukan baik terhadap sumber risiko
internal, sumber risiko eksternal maupun sumber risiko yang lain. Terhadap setiap
risiko yang berhasil diidentifikasi, perusahaan pertambangan kemudian
49

menganalisis risiko tersebut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian


tujuan. Hasil analisis risiko bisa dijadikan patokan bagi pimpinan instansi
pendidikan untuk melakukan pengendalian terhadap risiko tersebut sehingga
kemungkinan dan efek terjadinya risiko tersebut dapat diminimalisir.

3.13.2. Identifikasi Risiko


Identifikasi masalah dan pengelolaan resiko harus ditetapkan sejak awal
dari suatu proses kerja. Resiko yang tidak terkelola dengan benar dapat
menimbulkan masalah baru dan memperburuk masalah. Didalam pelaksanaan
penutupan tambang terdapt identifikasi “potensi” masalah dan pemberdayaan
sumberdaya merupakan salah satu indikator didalam penetapan kriteria
keberhasilan. Untuk itu didalam pelaksanaan dan pengawasannya perlu dilakukan
pengelolaan resiko oleh internal perusahaan (industri tambang) maupun dalam
skala yang luas oleh tim (pemerintah, Perusahaan dan Masyarakat).

3.13.3.Analisis Risiko
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 mendefinisikan analisis risiko
sebagai proses penilaian terhadap risiko yang telah teridentifikasi dalam rangka
mengestimasi kemungkinan munculnya dan besaran dampaknya untuk
menetapkan level atau status risikonya. Status risiko ditentukan berdasarkan
kombinasi antara kemungkinan (probabilitas/frekuensi) terjadinya risiko dan
dampak (efek) jika risiko terjadi.
BPKP (2010) memberikan panduan bagaimana perusahaan pertambangan
melakukan analisis risiko. Langkah-langkah analisis risiko tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Menetapkan kemungkinan/probabilitas/frekuensi terjadinya risiko
Tabel 3.8. Kerangka Pengukuran Probabilitas
Probabilitas
Kriteria
Rating %
1 0-20 Sangat tidak mungkin/hampir mustahil
2 20-40 Kecil kemungkinan tapi tidak mustahil
3 40-60 Kemungkinan terjadi
4 60-80 Sering terjadi
5 80-100 Hampir pasti terjadi
50

Tabel 3.9. Ukuran Kualitatif Kemungkinan/Frekuensi


Level Deskriptor Contoh Deskripsi Rinci
1 Sangat rendah Kejadiannya muncul hanya dalam keadaan tertentu
2 Rendah Kejadiannya dapat muncul pada saat yang sama
3 Sedang Kejadiannya seharusnya muncul pada saat yang sama
4 Tinggi Kejadiannya mungkin muncul pada kebnyakan situasi
5 Sangat Tinggi Kejadiannya diharapkan muncul pada kebanyakan situasi

2. Menentukan dampak dan besaran dari setiap risiko.

Tabel 3.10. Kerangka Pengukuran Dampak


Level Rating Damping Keterangan
5 Sangat Tinggi Mengancam program dan kerugian sangat besar bagi organisasi dari
segi keuangan dan dampak lingkungan
4 Tinggi Mengancam fungsi program yang efektif. Kerugian cukup besar dari
segi keuangan dan dampak lingkungan
3 Sedang Mengganggu administrasi program. Kerugian keuangan dan
kerusakan lingkungan
2 Rendah Mengancam efesiensi dan keefektifan beberapa aspek program.
Kerugian kurang material dan sedikit mempengaruhi kerusakan
lingkungan
1 Sangat rendah Dampaknya dapat ditangani pada tahap kegiatan rutin. Kerugian
kurang materil dan tidak mempengaruhi lingkungan

3. Menetapkan status risiko dan peta risiko


Formula untuk menghitung status risiko menurut BPKP (2010) adalah sebagai
berikut: Status Risiko = Probabilitas x Dampak. Berikut adalah tabel untuk
menentukan peta risiko.

Tabel 3.11. Peta Risiko


Matriks Analisis resiko Dampak
1 2 3 4 5
Deskripsi Prob. Frek. Sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Tinggi
Hampir Pasti 90% 5 Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim Ekstrim
Kemungkinan
70% 4 Rendah Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim
besar
Mungkin 50% 3 Rendah Moderat Moderat Tinggi Ekstrim
Kemungkinan Sangat
30% 2 Rendah Moderat Moderat Tinggi
kecil Rendah
Sangat Sangat
Sangat Jarang 10% 1 Rendah Rendah Moderat
Rendah rendah
51

Matriks Analisis resiko Dampak


1 2 3 4 5
Deskripsi Prob. Frek. Sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Tinggi
Hampir Pasti 90% 5 Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim Ekstrim
Kemungkinan
70% 4 Rendah Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim
besar
Mungkin 50% 3 Rendah Moderat Moderat Tinggi Ekstrim
Kemungkinan Sangat
30% 2 Rendah Moderat Moderat Tinggi
kecil Rendah
Sangat Sangat
Sangat Jarang 10% 1 Rendah Rendah Moderat
Rendah rendah

Tabel 3.12. Rating Risiko


Deskripsi Level Level dimulai dari status
Sangat Tinggi 5 15
Tinggi 4 10
Sedang 3 5
Rendah 2 3
Sangat Rendah 1 1

Tabel 3.13. Informasi Pengelolaan Risiko


Status Apa yang Terjadi Apa yang Harus Dilakukan
Resiko
Sangat Tinggi  Tujuan dan hasil tidak tercapai  Pengelolaan bersifat urgen dan aktif
 Mengakibatkan kerugian yang besar tingkat tinggi
 Mengurangi kapabilitas perusahaan  Strategi risiko wajib dilaksanakan
 Reputasi perusahaan sangat menurun secepatnya
 Pendekatan yang segera dan tepat
serta pelaporan secara rutin
Tinggi  Beberapa tujuan dan hasil tidak tercapai  Perlu pengelolan aktif dan review
 Mengakibatkan kerugian keuangan dan rutin
kerusakan lingkungan yang cukup besar  Strategi harus dilaksanakan terutama
 Mengurangi kapabilitas perusahaan difokuskan pada pemeliharaan
 Cukup menurunkan reputasi kedali yang sudah baik
 Pendekatan yang tepat
Sedang  Mengganggu kualitas atau ketepatan  Perlu pengelolan aktif dan review
waktu dari tujuan dan hasilnya secara rutin
 Mengakibatkan kerugian keuangan  Perlu pengendalian intern yang
yang dapat diterima dengan wajar efektif dan pemantauan
 Mengurangi kpabilitas instansi dalm  Strategi risiko harus dilaksanakan
tingkatan normal
 Menurunkan reputasi dlam tingkat
wajar
Rendah  Mengganggu kualitas, kuantitas  Prosedur rutin yang cukup untuk
danketepatan waktu dari tujuan dan menanggung dmpak
hasil  Perlu pengendalian intern yang
 Mengakibatkan kerugian keuangan, efktif dan pemantauan dan review
penurunan kapabilitas dan reputasi yang terhadap prosedur pengendalian
tidk besar yang sudah ada
Sangat  Dampak terhadap pencapaian  Hanya perlu pemantauan singkat
Rendah tujuan adalah sangat kecil  Pengendlian normal sudah
 Kerugian keuangan, penurunan mencukupi
52

kapabilitas, dan reputsi adalah  Jika sama sekali tidk diperhtikan,


sangt kecil resiko-resiko ini dapat meningkt
statusnya/priorotasnya

Gambar 3.5. Peta pengelolaan resiko


53

Gambar 3.6. Tabel Pengelolaan Resiko

3.14. KRITERIA KEBERHASILAN


Kriteria keberhasilan ini mengacu pada peraturan menteri energi dan
sumber daya mineral No 18 tahun 2008. Standar/kriteria penutupan tambang
harus ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan pertambangan dan
lingkungan disekitar masing-masing memiliki karakteristik yang khas (site
specific). Oleh karena itu penetapan standar/kriteria tersebut harus mampu
mengakomodisi kompleksibilitas kegiatan pertambangan dan kondisi setempat
dan dapat dijadikan dasar untuk penentuan penggunaan lahan pascatambang.
Sesuai dengan tujuan penutupan tambang ini dilakukan, maka kriteria yang
ditetapkan minimal adalah tidak terjadi pencemaran lingkungan yang berasal dari
daerah tamban, kemudian upaya berikutnya adalah sedapat mungkin daerah bekas
tambang dapat dioptimalkan pemanfaatannya. Beberapa alternatif yang dapat
dipilih antara lain habitat satwa liar, Taman Hutan Raya, Kawasan Rekreasi,
Budidaya ikan (aquaculture), Hutan Tanaman Indonesia, Perkebunan, dan
Kawasan perkotaan/industri.
Dalam memenuhi standar atau Baku Mutu Lingkungan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku, adakalanya diperlukan kebijakan penyesuaian yang
disebabkan antara lain:
1) Secara alami kondisi daerah sudah melampaui atau tidak sesuai dengan
beberapa paham lingkungan yang diatur dalam PP No 82/2001 tentang
Pengelolaan Kulitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
2) Pada kasus Perjanjian Pinjam pakai, terdapat keharusan bagi
perusahaan untuk mengembalikan wilayah sesuai dengan status
semula. Faktanya terjadi perubahan bentang alam, oleh karena itu
54

seharusnya ada perubahan peruntukkan yang tidak diatur dalam


Perjanjian Pinjam Pakai. (Suryatono, 2003)
Kunci keberhasilan dalam pengembangan berbagai jenis flora dan fauna di
wilayah bekas areal tambang antara lain:
a) Keberhasilan reklamasi lahan dan revegetasi memberikan perbaikan pada
media tumbuh dan lingkungan untuk beragam jenis flora dan fauna yang
dapat hidup di wilayah tersebut sesuai kondisi lahan dan ekologinya
b) Keberhasilan dalam mengelola lingkungan baik air, tanah, dan udara. Secara
umum dampak gangguan keanekaragaman jenis hayati (habitat fauna)
disebabkan antara lain oleh kegiatan pembukaan lahan, yakni penebangan
pohon dan pembersihan lahan untuk penambangan maupun pembangunan
sarana dan prasarana tambang. Kegiatan tersebut berpotensi mengakibatkan
gangguan keanekaragaman jenis hayati, hilang atau berpindahnya fauna.
Pulau Kalimantan termasuk daerah yang kaya dengan keanekaragaman
hayati, dan bagian tengah Pulau Kalimantan dinilai sebagai area penting (hot
spot) keanekaragam hayati.

Anda mungkin juga menyukai