Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PAPER BIOPSIKOLOGI

NAMA : GRACE AMORTIA ERLIANA PRIYOAMBODO

NIM : 111811133053

TEMA : HUMAN SEXUALITY : HOMOSEXUALITY IS IT A CURSE OR SOMETHING


ELSE?

Dapatkah Paparan Hormon Androgen pada Masa Pre-


Natal Meningkatkan Potensi Homoseksualitas pada
Manusia?
Pada dasarnya manusia memiliki ketertarikan-ketertarikan khusus dalam kehidupannya

baik itu secara fisik, emosional, bahkan secara seksual terhadap manusia yang lain. Selama ini

masyarakat umum masih menganggap bahwa ketertarikan-ketertarikan tersebut hanya terjadi di

antara kedua belah pihak yang berbeda jenis (pria-wanita atau wanita-pria). Namun, Spencer

((2004) dalam (Retaminingrum, 2017)) menyajikan pendapat dan fakta lain yang bertolak

belakang dengan pandangan masyarakat umum, yakni sejak zaman pra sejarah sudah muncul

fenomena lain terkait dengan ketertarikan manusia terhadap pihak lain yakni ketertarikan

terhadap sesama jenis dan hubungan tersebut dijalankan sebagai bentuk dari ritual adat pada

masa tersebut. Walaupun fenomena ini sudah muncul sejak lama, namun fenomena ini masih

tabu untuk diperbincangkan dan dibahas di tengah masyarakat secara khusus di negara

Indonesia, walaupun sudah banyak penelitian yang dilakukan dan hingga kini terus dilakukan

terkait dengan fenomena ini.

Setelah ketertarikan-ketertarikan tersebut muncul, maka ketertarikan tersebut terafirmasi

ke dalam bentuk perilaku seksual dengan tujuan untuk mendapatkan kontak seksual terhadap

pihak lain (pria,wanita, atau keduanya) dan hal tersebut disebut dengan orientasi seksual
(Dilorio, 2004). Selain itu, definisi orientasi seksual menurut American Psychological

Association (2008) adalah suatu ketertarikaan fisik, romantik, emosional dalam jangka waktu

yang lama terhadap orang lain (pria,wanita,atau keduanya). Jadi, orientasi seksual berada di

dalam pikiran kita. Apa yang kita pikirkan mengenai diri kita sendiri akan menggambarkan

bagaimana perilaku kita saat sedang berkontak dengan pihak lain. Namun sayangnya, tidak

semua orang dapat dengan mudah mengimplementasikan orientasi seksualnya ke dalam perilaku

seksualnya, karena melalui pandangan terhadap dirinya sendiri, seseorang akan menentukan

apakah orientasi seksualnya akan ia tampakkan atau tidak.

Orientasi seksual sendiri terbagi menjadi 3 jenis. Yang pertama adalah heteroseksual.

Heteroseksual merupakan kecenderungan untuk menunjukkan ketertarikan secara fisik,romantik,

dan emosional dengan pihak yang berlawanan jenis dengannya. Yakni hubungan antara pria dan

wanita. Selanjutnya adalah biseksual. Biseksual merupakan kecenderungan untuk menunjukkan

ketertarikan secara fisik,romantik, dan emosional dengan kedua jenis pihak. Jadi, dalam kasus

ini, ketertarikan seseorang dapat diberikan kepada pihak yang berjenis kelamin sama dengannya,

maupun pihak yang berlawanan jenis dengannya. Dan yang terakhir dan yang akan dibahas

secara lebih spesifik yaitu homoseksual. Homoseksual adalah suatu kecenderungan untuk

menunjukkan ketertarikan secara fisik,romantik, dan emosional dengan pihak sesama jenis

dengannya. Pada hal ini, aktivitas seksual yang dilakukan antara pria dengan pria disebut gay,

sedangkan aktivitas seksual yang dilakukan antara wanita dengan wanita dikenal dengan sebutan

lesbie (APA, 2008).

Membahas mengenai homoseksual, hingga kini para ahli masih terus menerus melakukan

penelitian mengenai kasus ini. Hal ini dikarenakan pada dasarnya belum ditemukan penyebab

dari munculnya orientasi seksual berjenis homoseksual. Sebagian besar petunjuk dari hasil
penelitian para ahli mengarah pada pertumbuhan dan perkembangan pada masa prenatal dimana

manusia mengalami pertumbuhan paling pesat dan signifikan dalam kehidupannya. Pertumbuhan

dan perkembangan secara fisiologis, anatomi, dan bahan-bahan neurokimia pembentuk jenis

kelamin terbentuk di otak saat manusia berada di dalam kandungan. Pertumbuhan fisiologis dan

anatomi manusia tercipta saat hormon penentu jenis kelamin muncul dan bekerja untuk

membentuk fisiologi dan anatomi manusia sesuai dengan jenis kelamin yang telah ditentukan

(pria atau wanita), sehingga terciptalah suatu perbedaan antara pria dan wanita. Hal ini disebut

dengan dimorfisme seksual. Dimorfisme seksual akan nampak pada sistem reproduksi, sistem

saraf pusat serta fungsi kognitif, sehingga hal ini lah yang menyebabkan perbedaan otak pria dan

wanitasehingga akan mempengaruhi perilaku manusia (Cohen-Bendahan, van de Beek, &

Berenbaum, 2005). Namun, menurut Wilson dan Davis (2007 dalam (Turkish, 2013)) faktor

pembeda jenis kelamin sudah terbentuk dalam sistem saraf pusat sebelum hormon steroid

gonadal tercipta. Jadi, hormon steroid gonadal yang akan menciptakan perbedaan fisiologi dan

anatomi pada pria dan wanita dipengaruhi oleh hormon seksual steroid dan reseptornya yang

telah tersedia di dalam sistem saraf pusat.

Berkaitan dengan hormon-hormon seksual pre-natal yang membawa dampak bagi

pembentukan jenis kelamin, terdapat beberapa faktor penting yang andil dalam pembentukan

jenis kelamin pada masa pre-natal dan perilaku seksual saat dewasa, yakni paparan hormon dari

ibu yang mengandung janin. Dari hasil penelitian para ahli, penyebab homoseksual banyak

dikaitkan pada paparan-paparan hormon pada masa pre-natal yang mempengaruhi perilaku

seksual seseorang ke depannya. Hormon yang cukup berpengaruh besar yang menjadi faktor

pembentuk perilaku seksual seseorang di saat dewasa adalah hormon androgen. Hormon

androgen merupakan hormon seksual yang sangat penting dalam menentukan dan menjaga
sistem reproduksi pria dan wanita. Hormon androgen memiliki efek androgenik yang dapat

merangsang perkembangan dan pembentukan karakteristik laki-laki oleh hormon steroid.

Androgenik dapat menjadi anabolik androgenik steroid yang merupakan hormon yang dapat

menimbulkan efek maskulinisasi pada seseorang baik pria maupun wanita ((Moeloek &

Dangsina, 2005) dalam (Andiana, 2012)). Oleh karena itu, tingkat hormon androgen yang tidak

sesuai dengan kadarnya dapat menjadi penyebab seseorang memiliki orientasi seksual dan

perilaku seksual homoseksual. Sebagai contoh kasus berikut yakni ibu yang tengah hamil dan

mengalami stress. Jika tingkat stress yang dimiliki masih berada di ambang batas normal, maka

kondisi tersebut tidak membawa dampak khusus bagi janin terutama bagi proses pembentukan

jenis kelamin dan perilaku seksualnya, namun bagi ibu hamil yang sedang mengalami tingkat

stress yang tinggi yang disebabkan oleh stressor yang berada di lingkungannya dapat

meningkatkan konsentrasi hormon androgen yang cukup tinggi pada janin, sehingga akan

membawa dampak pada sistem saraf pusat janin sebagai bentuk pertahanan atau bentuk adaptif

janin terhadap lingkungannya (Kaiser & Sachser, 2009). Tingginya tingkat hormon androgen

dapat menyebabkan seorang wanita akan memiliki tingkat maskulinitas yang cukup tinggi pula.

Masyarakat sering menyebut wanita maskulin dengan sebutan tomboy. Selain itu, level hormon

androgen yang tinggi dapat menyebabkan anak-anak perempuan mengalami CAH (Congenital

Adrenal Hyperlepsia). Anak-anak perempuan yang mendapat paparan hormon androgen yang

tinggi pada masa prenatal sehingga menyebabkan anak tersebut memiliki CAH akan membuat

anak perempuan lebih menyukai permainan-permainan yang mengandung unsur maskulinitas.

Dan hal ini akan sangat berdampak pada perkembangan perilaku seksualnya pada saat ia dewasa.

(Hines, Golombok, Rust, Johnston, & Golding, 2002) Oleh karena itu, anak-anak perempuan

yang menderita CAH perlu dilakukan sebuah penanganan dan pedampingan ekstra yang perlu
dilakukan oleh orang tua karena anak-anak yang memiliki tingkat maskulinitas yang cukup

tinggi berpotensi untuk memiliki identitas seksual sebagai penyuka sesama jenis. Hal ini

dikarenakan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 3 wanita yang memiliki tingkat

maskulinitas yang cukup tinggi (tomboy) tumbuh menjadi seorang homoseksual (lesbie)

(Andrea, Cherkas, Spector, & Rahman, 2011).

Selain itu, pemicu tingkat androgen yang abnormal juga dapat disebabkan oleh

penggunaan obat-obatan yang digunakan ibu pada saat mengandung atau pada masa pre-natal

manusia. Sebagai contoh penggunaan dietilstilbestrol (DES) pada saat ibu mengandung.

Penggunaan DES menjadi suatu fenomena yang sangat terkenal terutama sejak saat

diperkenalkan pada tahun 1970 an, namun penelitian mengenai DES ini masih terus di follow up

hingga saat ini. Dietilstilbestrol (DES) merupakan suatu hormon estrogen sintesis dan pada tahun

1971 dikenal serta diakui sebagai transplansental karsinogen yang diberikan pada ibu yang

mengandung dengan tujuan untuk menurunkan tingkat potensi keguguran janin serta diteliti

dampaknya pada anak perempuan yang terpapar DES ((Herbst, Ulfelder, & Poskanzer, 1971)

dalam (Larson, et al., 2006)). Dari beberapa hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa

penggunaan DES dapat menyebabkan abnormalitas pada sistem reproduksi dan perilaku seksual

wanita (Palmer, Hatch, & Rao, 2001). Paparan hormon estrogen sintesis DES dapat

mempengaruhi administrasi hormon androgen pada janin serta mempengaruhi lateralitas

seseorang. (Smith & Hines, 2000). Seseorang yang telah terpapar DES selama berada di dalam

kandungan terasosiasi menjadi seorang kidal. Dimana wanita kidal memiliki peluang 91% untuk

menjadi seorang lesbian, sedangkan pria kidal memiliki potensi sebesar 34% untuk menjadi

seorang gay (Zucker, Beaulieu, Bradley, Grimshaw, & Wilcox, 2001). Selain itu, DES dapat

menyebabkan abnormalitas produksi hormon androgen dimana paparan DES dapat memberikan
efek maskulinitas pada wanita ketika wanita tersebut telah mencapai kematangan seksual serta

memberikan pengaruh pada wanita untuk menyukai sesama wanita (Ernstoff, et al., 2002).

Ada hal lain lagi yang dapat memicu seseorang memiliki orientasi seksual homoseksual

yang terkait dengan hormon androgen pada masa pre-natal yakni FBO (Fraternal Birth Order)

atau yang biasa dikenal dengan sebutan urutan kelahiran fraternal. Jadi urutan kelahiran seorang

sangat berdampak pada perilaku dan orientasi seksual terkhusus bagi kaum pria. Seorang laki-

laki dapat menjadi seorang gay karena ia mengalami suatu efek FBO yang berkaitan dengan

jumlah anak laki-laki yang dilahirkan oleh sang ibu. Efek FBO ini tidak berlaku dengan

hubungan antara anak laki-laki dengan kakak tirinya walaupun mereka tinggal dan dibesarkan

pada satu rumah yang sama (Bogaert, 2006). Ditambah lagi, jika seorang laki-laki merupakan

anak bungsu yang memiliki kakak laki-laki, maka makin besar pula kemungkinan ia menjadi

seorang homoseksual. Jadi, FBO ini hanya berlaku dengan aturan bahwa kakak laki-laki sajalah

yang hanya dapat mempengaruhi adik laki-lakinya dan efek FBO ini tidak akan berlaku di antara

persaudaraan biologis yang berbeda jenis kelamin. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian di

Amerika Utara, yakni 1 dari 7 laki-laki homoseksual disebabkan karena mereka mengalami efek

FBO yakni karena mereka memiliki kakak laki-laki (Blanchard, Cantor, Paterson, & Bogaert,

2002). Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena pada saat ibu mengandung

kakak laki-laki yang terjadi adalah penghalang atau pelindung janin memberikan sedikit paparan

protein pada janin, namun pada saat ibu mengandung adik laki-laki, sistem imun tubuh tidak

mengenali protein tersebut, sehingga sistem imun tubuh ibu akan menghambat perkembangan

janin terutama perkembangan jenis kelamin pria secara spesifik. Oleh karena itu, sistem antibodi

ibu dapat mempengaruhi penurunan berat badan bayi bungsu saat dilahirkan serta me-

nonaktifkan hormon pemaskulin (hormon androgen) pada anak laki-laki sehingga dapat
meningkatkan potensi seorang anak laki-laki bungsu menjadi seorang gay (Blanchard, et al.,

2002).

Namun, ternyata terdapat teori lain yang menyanggah bahwa penyebab seseorang

memiliki kecenderungan dalam orientasi seksual berjenis homoseksual bukan hanya berasal dari

faktor internal yakni paparan-paparan hormon pre-natal seperti hormon androgen saja yang

berpengaruh besar, namun juga ada faktor eksternal yakni faktor-faktor lain yang berasal dari

lingkungan dimana individu tersebut tumbuh dan berkembang pada masa post natal (setelah

kelahiran). Faktor-faktor yang menyebabkannya diantara lain adalah post traumatic stress

disorder ( PTSD ). PTSD merupakan suatu bentuk gangguan mental atau kejiwaan yang

disebabkan karena orang tersebut melihat suatu pengalaman kejadian traumatis atau bahkan

terlibat ke dalam suatu kejadian traumatis yang dapat mengancam jiwa dan raga kita ((Vojdani &

Thrasher, 2004), (McKeown-Eyssen, Baines, Cole, Riley, & Tyndale, 2004)) Pada orang-orang

homoseksual memilki tingkat PTSD lebih tinggi dibandingkan orang-orang heteroseksual

(Bostwick WB, Meyer I, Aranda F,& et al, 2014). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burns

MN, Ryan DT, Garofalo R, Newcomb ME, dan Mustanski B (2015) terhadap sekelompok anak

muda yang memiliki orientasi seksual LGBT dan tergabung ke dalam sebuah kelompok LGBT

tersebut, menunjukkan bahwa sebanyak 30% mengalami tekanan psikologis secara klinis secara

signifikan sepanjang hidupnya. Anak-anak muda yang telah memilih untuk memiliki orientasi

seksual homoseksual, merasakan stress yang lebih besar dibanding anak-anak muda

heteroseksual sejak mereka masih anak-anak, hingga pada masa dewasa awal. Tingkat stress

yang cukup tinggi yang dialami oleh anak-anak homoseksual dapat disebabkan karena beberapa

hal yang dapat menyebabkan trauma pada anak misalnya : adanya pelecehan seksual pada masa

kanak-kanak, ketidakstabilan rumah tangga, kurangnya perhatian dan keharmonisan dalam


keluarga, dan masih banyak lagi. Jadi mereka harus menghadapi sejumlah stressor (pengalaman

yang penuh dengan tekanan) khusus dalam penentuan identitas seksual dan jenis kelamin

(gender) mereka (Rice E, Barman-Adhikari A, Rhoades H,& et al., 2013). Selain itu, terdapat

bukti lain yang dapat menguatkan pendapat dan penelitian para ahli mengenai hal tersebut.

Sebuah studi telah dilakukan untuk membuktikan bahwa individu dewasa homoseksual,

mengalami masa viktimisasi (pengorbanan atau penderitaan) yang lebih lama dan mengalami

lebih banyak peristiwa yang dapat meningkatkan stress secara terus menerus dan signifikan

dalam kehidupannya dibandingkan individu dewasa heteroseksual (Hatzenbuehler ML, Slopen

N,& McLaughlin KA., 2014).

Terkait dengan PTSD, dibalik hal tersebut ada faktor-faktor ilmiah yang menyebabkan

bagaimana tingkat stress yang sangat tinggi dan terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan

seseorang mengalami PTSD lalu merubah orientasi seksualnya dari heteroseksual menjadi

homoseksual. Disaat tubuh mengalami stress, tubuh akan bereaksi pada hormon yang terdapat di

dalam darah dan neurotransmitter yang terdapat di dalam sistem saraf pusat (Lisdiana, 2012). Di

saat seseorang mengalami stress, hal tersebut dapat mengindikasi bahwa tubuh menunjukkan

perubahan sebagai bentuk menanggapi suatu stressor. Apabila tubuh dapat menghadapi suatu

stressor dengan baik, maka akan terjadi eustres, sedangkan jika tubuh tidak mampu untuk

menghadapi atau mengatasi suatu stressor maka hal tersebut disebut dengan distress (Setyawan,

2004). Hormon yang erat hubungannya dan bekerja saat seseorang mengalami stress adalah

hormon stress kortisol. Dalam keadaan normal, hormon stress kortisol diproduksi dalam jumlah

yang kecil, namun disaat seseorang mengalami tingkat stress yang tinggi, hormon stress kortisol

akan diproduksi dalam jumlah yang banyak serta diproduksi secara signifikan (Stocker, 2012).

Pada saat tubuh mengalami stress, tubuh akan meningkatkan sekresi ACTH
(adenocorticotrophin hormon) sehingga menyebabkan hormon kortisol meningkat. Pelepasan

hormon stress kortisol dimulai dari sekresi CRF (corticotrophin releasing factor) dari hipotalamus

menuju kelenjar pituitary melalui aliran darah. Kelenjar pituitary akan merangsang pelepasan ACTH

dimana ACTH akan merangsang beberapa hormon dalam tubuh termasuk hormon stress kortisol.

Semakin kuat stressor yang diterima oleh hipotalamus, maka semakin tinggi pula peningkatan hormon

stress kortisol dalam tubuh manusia (Lisdiana, 2012).

Hormon stress kortisol memiliki dampak terhadap orientasi seksual manusia pula.

Tingkat konsentrasi organisasi hormonal sangat berpengaruh pada hal yang menyangkut

penentuan orientasi seksual manusia. Peningkatan hormon stress kortisol sangat berpengaruh

besar terutama bagi seorang wanita dalam penentuan orientasi seksualnya. Karena berdasarkan

hasil penelitian ditemukan fakta bahwa wanita homoseksual akan memiliki tingkat konsentrasi

hormon stress kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita heteroseksual. Sedangkan

hal tersebut berbanding tebalik dengan organisasi hormonal pada pria yang membawa efek dan

dampak pada kaum pria terkait dengan penentuan homoseksual sebagai orientasi seksualnya.

Pria homoseksual akan memiliki tingkat konsetrasi hormon stress kortisol yang lebih rendah

dibandingkan dengan pria heteroseksual (Savic, I., Garcia-Falgueras, A.,& Swaab, D. F., 2010).

Perbedaan tingkat konsentrasi hormon stress kortisol dapat mempengaruhi perilaku seksual

manusia. Hasil penelitian Thienel, Heinrich, Fischer, Ott, Born, dan Hallschmid (2013)

menjelaskan mengenai perbedaan perilaku dan reaksi pria homoseksual dan pria heteroseksual

yang telah diberikan hormon oksitosin. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa pada saat pria

homoseksual diberi stimulus atau rangsangan berupa sentuhan di wajah, pria homoseksual lebih

sensitif dan bereaksi lebih intens dibandingkan dengan pria heteroseksual. Jadi, stabilitas tingkat

hormon stress kortisol berpengaruh besar bagi perilaku seksual manusia dan berlaku regulasi

yang berbanding terbalik di antara pria dan wanita.


Meskipun telah dilakukan berbagai studi dan eksperimen mengenai penyebab

homoseksual dari faktor post traumatic stress disorder (PTSD), hingga kini belum dapat

ditemukan dan dipastikan bagaimana perubahan pola viktimisasi yang terus menerus berubah

dari waktu ke waktu. Para peneliti juga belum dapat menemukan bagaimana alur masa

viktimisasi atau pengorbanan dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dalam

penentuan akan orientasi seksual individu. Selain itu, juga belum ditemukan ambang batas yang

bersifat mutlak yang dapat menjadi tolok ukur seseorang memiliki tingkat konsentrasi hormon

androgen yang tinggi ataupun yang rendah. Oleh karena itu post traumatic stress disorder

(PTSD) diangggap masih belum cukup menjelaskan dan belum cukup menyajikan bukti yang

cukup serta konkret bahwa PTSD menjadi faktor utama dalam menentukan orientasi seksual

homoseksual. Mengingat tidak semua penderita homoseksual menjadi gay atau lesbian karena

mereka memiliki pengalaman traumatis yang pernah mereka alami pada masa lalunya.

Berdasarkan berbagai macam teori dan hasil penelitian serta berbagai macam kasus yang

telah terjadi, secara keseluruhan hal-hal tersebut berusaha menyajikan bukti-bukti penyebab

seseorang memilih orientasi seksual homoseksual, namun sayangnya hinga kini belum dapat

ditarik kesimpulan mengenai penyebab mengapa seseorang dapat memiliki orientasi seksual

berjenis homoseksual. Namun sebagian besar penelitian telah memberikan bukti lebih konkret

dan dilakukan dengan metode-metode ilmiah sehingga menghasilkan informasi yang memiliki

bukti nyata atas suatu teori yang dikemukakan. Penelitian-penelitian dan teori-teori tersebut lebih

menjelaskan dan mengarah pada teori bahwa penyebab terbesar seseorang menjadi homoseksual

adalah karena faktor internal yang mendasari perilaku seksual mereka sehingga mereka dapat

menentukan orientasi seksualnya ketika seseorang telah mencapai kematangan seksual. Selain itu

faktor alamiah (nature) lebih dapat mendominasi serta berperan sangat mendasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan seks manusia. Dalam artian bahwa walaupun faktor eksternal

seperti lingkungan dan pengalaman membawa dampak bagi perilaku seksual manusia, namun

bila seseorang tidak memiliki cukup banyak potensi untuk memiliki orientasi seksual berjenis

homoseksual maka potensi tersebut dapat berkurang atau bahkan menghilang. Oleh karena itu,

faktor eksternal hanya termasuk sebagai jenis faktor-faktor pendukung yang mendorong dan

melengkapai seseorang untuk menjadi pelaku homoseksual. Jadi, terdapat beberapa orang yang

memang telah terlahir sebagai gay dan lesbian dikarenakan paparan hormon yang ia terima

semasa ia berada di dalam kandungan atau sedang berada dalam fase pre-natal dan berdasarkan

berbagai macam penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan telah disajikan bukti-bukti atau

hasil-hasil penelitian terhadap subjek dengan konkret telah membuktikan bahwa homoseksual

tidak dapat lagi dianggap sebagai kutukan atau hal semacamnya. Karena banyak sekali penelitian

ilmiah yang telah dilakukan untuk membuktikan bahwa hal-hal semacam ini, dalam artian hal-

hal yang sebenarnya tabu untuk dibahas pada zaman dahulu dan hanya dianggap sebagai kutukan

dan hal-hal lain yang tidak dapat dijelaskan kini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk

dibahas demi keberlangsungan hidup manusia ke depannya serta untuk mencari solusi dan

penanganan yang tepat perihal homoseksual sehingga dapat mengurangi tindakan-tindakan serta

cara penanganan yang salah, juga dapat melakukan tindakan preventif untuk menekan jumlah

homoseksualitas di kalangan masyarakat misalnya dengan memberikan tindakan yang tepat

terutama pada masa pre-natal seseorang karena paparan hormon pada masa pre-natal khususnya

hormon androgen sangat berperan penting dalam penentuan jenis kelamin serta perilaku seksual

manusia pada kehidupannya, walaupun hingga kini kesimpulan mengenai penyebab orientasi

seksual berjenis homoseksual belum dapat ditarik benang merahnya.


REFERENSI
Andiana, O. (2012). HORMON ANABOLIK PADA OLAHRAWAN. 2.

Andrea, B., Cherkas, L., Spector, T., & Rahman, Q. (2011). Genetic and Environmental Influences on
Female Sexual Orientation, Childhood Gender Typicality and Adult Gender Identity.

APA. (2008). Answer to your question: for a better understanding of sexual orientation and
homosexuality. 2. Retrieved from www.apa.org/topics/lgbt/orientation.pdf

Blanchard, R., Cantor, J. M., Paterson, A. D., & Bogaert, A. F. (2002). How Many Gay Men Owe Their
Sexual Orientation to Fraternal Birth Order? 63-71.

Blanchard, R., Zucker, K. J., Cavacas, A., Allin, S., Bradley, S. J., & Scachter, D. C. (2002). Fraternal Birth
Order and Birth Weight in Probably Prehomosexual Feminine Boys. 321-327.

Bogaert, A. (2006). Biological versus nonbiological older brothers and men's sexual orientation.

Bostwick WB, Meyer I, Aranda F,& et al. (2014). Mental health and suicidality among racially/ethnically
diverse sexual minority youths., 1129–1136.

Burns MN, Ryan DT, Garofalo R, Newcomb ME,& Mustanski B. (2015). Mental health disorders in young
urban, 56(1):52–58.

Cohen-Bendahan, C., van de Beek, C., & Berenbaum, S. (2005). Prenatal sex hormone effects on child
and adult sex-typed behavior: methods and findings. 29: 353-84.

Dilorio, C. a. (2004). Sexual possibility situations and sexual behaviors among young adolescents : The
moderating role protective factors . 35, 11-20.

Ernstoff, L. T., Perez, K., Hatch, E. E., Troisi, R., Julie, P. R., Hartge, P., . . . Hoover, R. (2002). Psychosexual
Characteristics of Men and Women Exposed Prenatally to Diethylstilbestrol. 158.

Hatzenbuehler ML, Slopen N,& McLaughlin KA. (2014). Stressful life events, sexual orientation, and
cardiometabolic, 1185-1194.

Herbst, A., Ulfelder, H., & Poskanzer, D. (1971). Adenocarcinoma of the vagina. 284:878–881.

Hines, M., Golombok, S., Rust, J., Johnston, K. J., & Golding, J. (2002). Testosterone during Pregnancy
and Gender Role Behavior of Preschool Children: A Longitudinal, Population Study. 1678-1687.

Kaiser, S., & Sachser, N. (2009). Effects of prenatal social stress on offspring development. 18:118-121.

Larson, P. S., Ungarelli, R. A., Morenas, A. d., Cupples, L. A., Rowlings, K., Palmer, J. R., & Rosenberg, C. L.
(2006). In Utero Exposure to Diethylstilbestrol (DES) Does Not Increase Genomic Instability in
Normal or Neoplastic Breast Epithelium. 2122.

Lisdiana. (2012). Regulasi Kortisol pada Kondisi Stres dan Addiction. 19.
McKeown-Eyssen, G., Baines, C., Cole, D., Riley, N., & Tyndale, R. (2004). Case-control study of
genotypes in multiple chemical sensitivity.

Moeloek, & Dangsina. (2005). Doping Edisi Kedua. Jakarta: Media Aesculapius.

Palmer, J., Hatch, E., & Rao, S. (2001). Infertility among women exposed prenatally diethylstilbestrol.
154:316-321.

Retaminingrum, A. N. (2017). Peran Parent Child Relationship pada Orientasi Seksual Gay. 33.

Rice E, Barman-Adhikari A, Rhoades H,& et al. (2013). Homelessness experiences, sexual orientation, and
sexual, 773-778.

Savic, I., Garcia-Falgueras, A.,& Swaab, D. F. (2010). Sexual differentiation of the human brain in relation
to gender identity and sexual orientation, 186, 41–62.

Setyawan, S. (2004). Mekanisme Cooping. 1-4.

Smith, L., & Hines, M. (2000). Language lateralization and handedness in women prenatally exposed to
diethylstilbestrol (DES). 25:497–512.

Spencer, C. (2004). Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Stocker, S. (2012). Studies Link Stress and Drug Addiction. 1-4.

Thienel, M., Heinrichs, M., Fischer, S., Ott, V., Born, J., & Hallschmid, M. (2013). Oxytocin’s impact on
social face processing is stronger in homosexual than heterosexual men. 194-203.

Turkish, J. (2013). The Effects of Prenatal Sex Steroid Hormones on Sexual Differentiation of The Brain.
14:163-7.

Vojdani, A., & Thrasher, J. (2004). Cellular and humoral immune abnormalities in Gulf War veterans.

Wilson, C., & Davies, D. (2007). The control of sexual differentiation of the reproductive system and
brain. 133: 331-59.

Zucker, K. J., Beaulieu, N., Bradley, S. J., Grimshaw, G. M., & Wilcox, A. (2001). Handedness in Boys with
Gender Identity Disorder.

Anda mungkin juga menyukai