Jurnal Biopsi Revisi Terbaru
Jurnal Biopsi Revisi Terbaru
NIM : 111811133053
baik itu secara fisik, emosional, bahkan secara seksual terhadap manusia yang lain. Selama ini
antara kedua belah pihak yang berbeda jenis (pria-wanita atau wanita-pria). Namun, Spencer
((2004) dalam (Retaminingrum, 2017)) menyajikan pendapat dan fakta lain yang bertolak
belakang dengan pandangan masyarakat umum, yakni sejak zaman pra sejarah sudah muncul
fenomena lain terkait dengan ketertarikan manusia terhadap pihak lain yakni ketertarikan
terhadap sesama jenis dan hubungan tersebut dijalankan sebagai bentuk dari ritual adat pada
masa tersebut. Walaupun fenomena ini sudah muncul sejak lama, namun fenomena ini masih
tabu untuk diperbincangkan dan dibahas di tengah masyarakat secara khusus di negara
Indonesia, walaupun sudah banyak penelitian yang dilakukan dan hingga kini terus dilakukan
ke dalam bentuk perilaku seksual dengan tujuan untuk mendapatkan kontak seksual terhadap
pihak lain (pria,wanita, atau keduanya) dan hal tersebut disebut dengan orientasi seksual
(Dilorio, 2004). Selain itu, definisi orientasi seksual menurut American Psychological
Association (2008) adalah suatu ketertarikaan fisik, romantik, emosional dalam jangka waktu
yang lama terhadap orang lain (pria,wanita,atau keduanya). Jadi, orientasi seksual berada di
dalam pikiran kita. Apa yang kita pikirkan mengenai diri kita sendiri akan menggambarkan
bagaimana perilaku kita saat sedang berkontak dengan pihak lain. Namun sayangnya, tidak
semua orang dapat dengan mudah mengimplementasikan orientasi seksualnya ke dalam perilaku
seksualnya, karena melalui pandangan terhadap dirinya sendiri, seseorang akan menentukan
Orientasi seksual sendiri terbagi menjadi 3 jenis. Yang pertama adalah heteroseksual.
dan emosional dengan pihak yang berlawanan jenis dengannya. Yakni hubungan antara pria dan
ketertarikan secara fisik,romantik, dan emosional dengan kedua jenis pihak. Jadi, dalam kasus
ini, ketertarikan seseorang dapat diberikan kepada pihak yang berjenis kelamin sama dengannya,
maupun pihak yang berlawanan jenis dengannya. Dan yang terakhir dan yang akan dibahas
secara lebih spesifik yaitu homoseksual. Homoseksual adalah suatu kecenderungan untuk
menunjukkan ketertarikan secara fisik,romantik, dan emosional dengan pihak sesama jenis
dengannya. Pada hal ini, aktivitas seksual yang dilakukan antara pria dengan pria disebut gay,
sedangkan aktivitas seksual yang dilakukan antara wanita dengan wanita dikenal dengan sebutan
Membahas mengenai homoseksual, hingga kini para ahli masih terus menerus melakukan
penelitian mengenai kasus ini. Hal ini dikarenakan pada dasarnya belum ditemukan penyebab
dari munculnya orientasi seksual berjenis homoseksual. Sebagian besar petunjuk dari hasil
penelitian para ahli mengarah pada pertumbuhan dan perkembangan pada masa prenatal dimana
manusia mengalami pertumbuhan paling pesat dan signifikan dalam kehidupannya. Pertumbuhan
dan perkembangan secara fisiologis, anatomi, dan bahan-bahan neurokimia pembentuk jenis
kelamin terbentuk di otak saat manusia berada di dalam kandungan. Pertumbuhan fisiologis dan
anatomi manusia tercipta saat hormon penentu jenis kelamin muncul dan bekerja untuk
membentuk fisiologi dan anatomi manusia sesuai dengan jenis kelamin yang telah ditentukan
(pria atau wanita), sehingga terciptalah suatu perbedaan antara pria dan wanita. Hal ini disebut
dengan dimorfisme seksual. Dimorfisme seksual akan nampak pada sistem reproduksi, sistem
saraf pusat serta fungsi kognitif, sehingga hal ini lah yang menyebabkan perbedaan otak pria dan
Berenbaum, 2005). Namun, menurut Wilson dan Davis (2007 dalam (Turkish, 2013)) faktor
pembeda jenis kelamin sudah terbentuk dalam sistem saraf pusat sebelum hormon steroid
gonadal tercipta. Jadi, hormon steroid gonadal yang akan menciptakan perbedaan fisiologi dan
anatomi pada pria dan wanita dipengaruhi oleh hormon seksual steroid dan reseptornya yang
pembentukan jenis kelamin, terdapat beberapa faktor penting yang andil dalam pembentukan
jenis kelamin pada masa pre-natal dan perilaku seksual saat dewasa, yakni paparan hormon dari
ibu yang mengandung janin. Dari hasil penelitian para ahli, penyebab homoseksual banyak
dikaitkan pada paparan-paparan hormon pada masa pre-natal yang mempengaruhi perilaku
seksual seseorang ke depannya. Hormon yang cukup berpengaruh besar yang menjadi faktor
pembentuk perilaku seksual seseorang di saat dewasa adalah hormon androgen. Hormon
androgen merupakan hormon seksual yang sangat penting dalam menentukan dan menjaga
sistem reproduksi pria dan wanita. Hormon androgen memiliki efek androgenik yang dapat
Androgenik dapat menjadi anabolik androgenik steroid yang merupakan hormon yang dapat
menimbulkan efek maskulinisasi pada seseorang baik pria maupun wanita ((Moeloek &
Dangsina, 2005) dalam (Andiana, 2012)). Oleh karena itu, tingkat hormon androgen yang tidak
sesuai dengan kadarnya dapat menjadi penyebab seseorang memiliki orientasi seksual dan
perilaku seksual homoseksual. Sebagai contoh kasus berikut yakni ibu yang tengah hamil dan
mengalami stress. Jika tingkat stress yang dimiliki masih berada di ambang batas normal, maka
kondisi tersebut tidak membawa dampak khusus bagi janin terutama bagi proses pembentukan
jenis kelamin dan perilaku seksualnya, namun bagi ibu hamil yang sedang mengalami tingkat
stress yang tinggi yang disebabkan oleh stressor yang berada di lingkungannya dapat
meningkatkan konsentrasi hormon androgen yang cukup tinggi pada janin, sehingga akan
membawa dampak pada sistem saraf pusat janin sebagai bentuk pertahanan atau bentuk adaptif
janin terhadap lingkungannya (Kaiser & Sachser, 2009). Tingginya tingkat hormon androgen
dapat menyebabkan seorang wanita akan memiliki tingkat maskulinitas yang cukup tinggi pula.
Masyarakat sering menyebut wanita maskulin dengan sebutan tomboy. Selain itu, level hormon
androgen yang tinggi dapat menyebabkan anak-anak perempuan mengalami CAH (Congenital
Adrenal Hyperlepsia). Anak-anak perempuan yang mendapat paparan hormon androgen yang
tinggi pada masa prenatal sehingga menyebabkan anak tersebut memiliki CAH akan membuat
Dan hal ini akan sangat berdampak pada perkembangan perilaku seksualnya pada saat ia dewasa.
(Hines, Golombok, Rust, Johnston, & Golding, 2002) Oleh karena itu, anak-anak perempuan
yang menderita CAH perlu dilakukan sebuah penanganan dan pedampingan ekstra yang perlu
dilakukan oleh orang tua karena anak-anak yang memiliki tingkat maskulinitas yang cukup
tinggi berpotensi untuk memiliki identitas seksual sebagai penyuka sesama jenis. Hal ini
dikarenakan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 dari 3 wanita yang memiliki tingkat
maskulinitas yang cukup tinggi (tomboy) tumbuh menjadi seorang homoseksual (lesbie)
Selain itu, pemicu tingkat androgen yang abnormal juga dapat disebabkan oleh
penggunaan obat-obatan yang digunakan ibu pada saat mengandung atau pada masa pre-natal
manusia. Sebagai contoh penggunaan dietilstilbestrol (DES) pada saat ibu mengandung.
Penggunaan DES menjadi suatu fenomena yang sangat terkenal terutama sejak saat
diperkenalkan pada tahun 1970 an, namun penelitian mengenai DES ini masih terus di follow up
hingga saat ini. Dietilstilbestrol (DES) merupakan suatu hormon estrogen sintesis dan pada tahun
1971 dikenal serta diakui sebagai transplansental karsinogen yang diberikan pada ibu yang
mengandung dengan tujuan untuk menurunkan tingkat potensi keguguran janin serta diteliti
dampaknya pada anak perempuan yang terpapar DES ((Herbst, Ulfelder, & Poskanzer, 1971)
dalam (Larson, et al., 2006)). Dari beberapa hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa
penggunaan DES dapat menyebabkan abnormalitas pada sistem reproduksi dan perilaku seksual
wanita (Palmer, Hatch, & Rao, 2001). Paparan hormon estrogen sintesis DES dapat
seseorang. (Smith & Hines, 2000). Seseorang yang telah terpapar DES selama berada di dalam
kandungan terasosiasi menjadi seorang kidal. Dimana wanita kidal memiliki peluang 91% untuk
menjadi seorang lesbian, sedangkan pria kidal memiliki potensi sebesar 34% untuk menjadi
seorang gay (Zucker, Beaulieu, Bradley, Grimshaw, & Wilcox, 2001). Selain itu, DES dapat
menyebabkan abnormalitas produksi hormon androgen dimana paparan DES dapat memberikan
efek maskulinitas pada wanita ketika wanita tersebut telah mencapai kematangan seksual serta
memberikan pengaruh pada wanita untuk menyukai sesama wanita (Ernstoff, et al., 2002).
Ada hal lain lagi yang dapat memicu seseorang memiliki orientasi seksual homoseksual
yang terkait dengan hormon androgen pada masa pre-natal yakni FBO (Fraternal Birth Order)
atau yang biasa dikenal dengan sebutan urutan kelahiran fraternal. Jadi urutan kelahiran seorang
sangat berdampak pada perilaku dan orientasi seksual terkhusus bagi kaum pria. Seorang laki-
laki dapat menjadi seorang gay karena ia mengalami suatu efek FBO yang berkaitan dengan
jumlah anak laki-laki yang dilahirkan oleh sang ibu. Efek FBO ini tidak berlaku dengan
hubungan antara anak laki-laki dengan kakak tirinya walaupun mereka tinggal dan dibesarkan
pada satu rumah yang sama (Bogaert, 2006). Ditambah lagi, jika seorang laki-laki merupakan
anak bungsu yang memiliki kakak laki-laki, maka makin besar pula kemungkinan ia menjadi
seorang homoseksual. Jadi, FBO ini hanya berlaku dengan aturan bahwa kakak laki-laki sajalah
yang hanya dapat mempengaruhi adik laki-lakinya dan efek FBO ini tidak akan berlaku di antara
persaudaraan biologis yang berbeda jenis kelamin. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian di
Amerika Utara, yakni 1 dari 7 laki-laki homoseksual disebabkan karena mereka mengalami efek
FBO yakni karena mereka memiliki kakak laki-laki (Blanchard, Cantor, Paterson, & Bogaert,
2002). Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena pada saat ibu mengandung
kakak laki-laki yang terjadi adalah penghalang atau pelindung janin memberikan sedikit paparan
protein pada janin, namun pada saat ibu mengandung adik laki-laki, sistem imun tubuh tidak
mengenali protein tersebut, sehingga sistem imun tubuh ibu akan menghambat perkembangan
janin terutama perkembangan jenis kelamin pria secara spesifik. Oleh karena itu, sistem antibodi
ibu dapat mempengaruhi penurunan berat badan bayi bungsu saat dilahirkan serta me-
nonaktifkan hormon pemaskulin (hormon androgen) pada anak laki-laki sehingga dapat
meningkatkan potensi seorang anak laki-laki bungsu menjadi seorang gay (Blanchard, et al.,
2002).
Namun, ternyata terdapat teori lain yang menyanggah bahwa penyebab seseorang
memiliki kecenderungan dalam orientasi seksual berjenis homoseksual bukan hanya berasal dari
faktor internal yakni paparan-paparan hormon pre-natal seperti hormon androgen saja yang
berpengaruh besar, namun juga ada faktor eksternal yakni faktor-faktor lain yang berasal dari
lingkungan dimana individu tersebut tumbuh dan berkembang pada masa post natal (setelah
kelahiran). Faktor-faktor yang menyebabkannya diantara lain adalah post traumatic stress
disorder ( PTSD ). PTSD merupakan suatu bentuk gangguan mental atau kejiwaan yang
disebabkan karena orang tersebut melihat suatu pengalaman kejadian traumatis atau bahkan
terlibat ke dalam suatu kejadian traumatis yang dapat mengancam jiwa dan raga kita ((Vojdani &
Thrasher, 2004), (McKeown-Eyssen, Baines, Cole, Riley, & Tyndale, 2004)) Pada orang-orang
(Bostwick WB, Meyer I, Aranda F,& et al, 2014). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burns
MN, Ryan DT, Garofalo R, Newcomb ME, dan Mustanski B (2015) terhadap sekelompok anak
muda yang memiliki orientasi seksual LGBT dan tergabung ke dalam sebuah kelompok LGBT
tersebut, menunjukkan bahwa sebanyak 30% mengalami tekanan psikologis secara klinis secara
signifikan sepanjang hidupnya. Anak-anak muda yang telah memilih untuk memiliki orientasi
seksual homoseksual, merasakan stress yang lebih besar dibanding anak-anak muda
heteroseksual sejak mereka masih anak-anak, hingga pada masa dewasa awal. Tingkat stress
yang cukup tinggi yang dialami oleh anak-anak homoseksual dapat disebabkan karena beberapa
hal yang dapat menyebabkan trauma pada anak misalnya : adanya pelecehan seksual pada masa
yang penuh dengan tekanan) khusus dalam penentuan identitas seksual dan jenis kelamin
(gender) mereka (Rice E, Barman-Adhikari A, Rhoades H,& et al., 2013). Selain itu, terdapat
bukti lain yang dapat menguatkan pendapat dan penelitian para ahli mengenai hal tersebut.
Sebuah studi telah dilakukan untuk membuktikan bahwa individu dewasa homoseksual,
mengalami masa viktimisasi (pengorbanan atau penderitaan) yang lebih lama dan mengalami
lebih banyak peristiwa yang dapat meningkatkan stress secara terus menerus dan signifikan
Terkait dengan PTSD, dibalik hal tersebut ada faktor-faktor ilmiah yang menyebabkan
bagaimana tingkat stress yang sangat tinggi dan terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan
seseorang mengalami PTSD lalu merubah orientasi seksualnya dari heteroseksual menjadi
homoseksual. Disaat tubuh mengalami stress, tubuh akan bereaksi pada hormon yang terdapat di
dalam darah dan neurotransmitter yang terdapat di dalam sistem saraf pusat (Lisdiana, 2012). Di
saat seseorang mengalami stress, hal tersebut dapat mengindikasi bahwa tubuh menunjukkan
perubahan sebagai bentuk menanggapi suatu stressor. Apabila tubuh dapat menghadapi suatu
stressor dengan baik, maka akan terjadi eustres, sedangkan jika tubuh tidak mampu untuk
menghadapi atau mengatasi suatu stressor maka hal tersebut disebut dengan distress (Setyawan,
2004). Hormon yang erat hubungannya dan bekerja saat seseorang mengalami stress adalah
hormon stress kortisol. Dalam keadaan normal, hormon stress kortisol diproduksi dalam jumlah
yang kecil, namun disaat seseorang mengalami tingkat stress yang tinggi, hormon stress kortisol
akan diproduksi dalam jumlah yang banyak serta diproduksi secara signifikan (Stocker, 2012).
Pada saat tubuh mengalami stress, tubuh akan meningkatkan sekresi ACTH
(adenocorticotrophin hormon) sehingga menyebabkan hormon kortisol meningkat. Pelepasan
hormon stress kortisol dimulai dari sekresi CRF (corticotrophin releasing factor) dari hipotalamus
menuju kelenjar pituitary melalui aliran darah. Kelenjar pituitary akan merangsang pelepasan ACTH
dimana ACTH akan merangsang beberapa hormon dalam tubuh termasuk hormon stress kortisol.
Semakin kuat stressor yang diterima oleh hipotalamus, maka semakin tinggi pula peningkatan hormon
Hormon stress kortisol memiliki dampak terhadap orientasi seksual manusia pula.
Tingkat konsentrasi organisasi hormonal sangat berpengaruh pada hal yang menyangkut
penentuan orientasi seksual manusia. Peningkatan hormon stress kortisol sangat berpengaruh
besar terutama bagi seorang wanita dalam penentuan orientasi seksualnya. Karena berdasarkan
hasil penelitian ditemukan fakta bahwa wanita homoseksual akan memiliki tingkat konsentrasi
hormon stress kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita heteroseksual. Sedangkan
hal tersebut berbanding tebalik dengan organisasi hormonal pada pria yang membawa efek dan
dampak pada kaum pria terkait dengan penentuan homoseksual sebagai orientasi seksualnya.
Pria homoseksual akan memiliki tingkat konsetrasi hormon stress kortisol yang lebih rendah
dibandingkan dengan pria heteroseksual (Savic, I., Garcia-Falgueras, A.,& Swaab, D. F., 2010).
Perbedaan tingkat konsentrasi hormon stress kortisol dapat mempengaruhi perilaku seksual
manusia. Hasil penelitian Thienel, Heinrich, Fischer, Ott, Born, dan Hallschmid (2013)
menjelaskan mengenai perbedaan perilaku dan reaksi pria homoseksual dan pria heteroseksual
yang telah diberikan hormon oksitosin. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa pada saat pria
homoseksual diberi stimulus atau rangsangan berupa sentuhan di wajah, pria homoseksual lebih
sensitif dan bereaksi lebih intens dibandingkan dengan pria heteroseksual. Jadi, stabilitas tingkat
hormon stress kortisol berpengaruh besar bagi perilaku seksual manusia dan berlaku regulasi
homoseksual dari faktor post traumatic stress disorder (PTSD), hingga kini belum dapat
ditemukan dan dipastikan bagaimana perubahan pola viktimisasi yang terus menerus berubah
dari waktu ke waktu. Para peneliti juga belum dapat menemukan bagaimana alur masa
penentuan akan orientasi seksual individu. Selain itu, juga belum ditemukan ambang batas yang
bersifat mutlak yang dapat menjadi tolok ukur seseorang memiliki tingkat konsentrasi hormon
androgen yang tinggi ataupun yang rendah. Oleh karena itu post traumatic stress disorder
(PTSD) diangggap masih belum cukup menjelaskan dan belum cukup menyajikan bukti yang
cukup serta konkret bahwa PTSD menjadi faktor utama dalam menentukan orientasi seksual
homoseksual. Mengingat tidak semua penderita homoseksual menjadi gay atau lesbian karena
mereka memiliki pengalaman traumatis yang pernah mereka alami pada masa lalunya.
Berdasarkan berbagai macam teori dan hasil penelitian serta berbagai macam kasus yang
telah terjadi, secara keseluruhan hal-hal tersebut berusaha menyajikan bukti-bukti penyebab
seseorang memilih orientasi seksual homoseksual, namun sayangnya hinga kini belum dapat
ditarik kesimpulan mengenai penyebab mengapa seseorang dapat memiliki orientasi seksual
berjenis homoseksual. Namun sebagian besar penelitian telah memberikan bukti lebih konkret
dan dilakukan dengan metode-metode ilmiah sehingga menghasilkan informasi yang memiliki
bukti nyata atas suatu teori yang dikemukakan. Penelitian-penelitian dan teori-teori tersebut lebih
menjelaskan dan mengarah pada teori bahwa penyebab terbesar seseorang menjadi homoseksual
adalah karena faktor internal yang mendasari perilaku seksual mereka sehingga mereka dapat
menentukan orientasi seksualnya ketika seseorang telah mencapai kematangan seksual. Selain itu
faktor alamiah (nature) lebih dapat mendominasi serta berperan sangat mendasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan seks manusia. Dalam artian bahwa walaupun faktor eksternal
seperti lingkungan dan pengalaman membawa dampak bagi perilaku seksual manusia, namun
bila seseorang tidak memiliki cukup banyak potensi untuk memiliki orientasi seksual berjenis
homoseksual maka potensi tersebut dapat berkurang atau bahkan menghilang. Oleh karena itu,
faktor eksternal hanya termasuk sebagai jenis faktor-faktor pendukung yang mendorong dan
melengkapai seseorang untuk menjadi pelaku homoseksual. Jadi, terdapat beberapa orang yang
memang telah terlahir sebagai gay dan lesbian dikarenakan paparan hormon yang ia terima
semasa ia berada di dalam kandungan atau sedang berada dalam fase pre-natal dan berdasarkan
berbagai macam penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan telah disajikan bukti-bukti atau
hasil-hasil penelitian terhadap subjek dengan konkret telah membuktikan bahwa homoseksual
tidak dapat lagi dianggap sebagai kutukan atau hal semacamnya. Karena banyak sekali penelitian
ilmiah yang telah dilakukan untuk membuktikan bahwa hal-hal semacam ini, dalam artian hal-
hal yang sebenarnya tabu untuk dibahas pada zaman dahulu dan hanya dianggap sebagai kutukan
dan hal-hal lain yang tidak dapat dijelaskan kini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk
dibahas demi keberlangsungan hidup manusia ke depannya serta untuk mencari solusi dan
penanganan yang tepat perihal homoseksual sehingga dapat mengurangi tindakan-tindakan serta
cara penanganan yang salah, juga dapat melakukan tindakan preventif untuk menekan jumlah
terutama pada masa pre-natal seseorang karena paparan hormon pada masa pre-natal khususnya
hormon androgen sangat berperan penting dalam penentuan jenis kelamin serta perilaku seksual
manusia pada kehidupannya, walaupun hingga kini kesimpulan mengenai penyebab orientasi
Andrea, B., Cherkas, L., Spector, T., & Rahman, Q. (2011). Genetic and Environmental Influences on
Female Sexual Orientation, Childhood Gender Typicality and Adult Gender Identity.
APA. (2008). Answer to your question: for a better understanding of sexual orientation and
homosexuality. 2. Retrieved from www.apa.org/topics/lgbt/orientation.pdf
Blanchard, R., Cantor, J. M., Paterson, A. D., & Bogaert, A. F. (2002). How Many Gay Men Owe Their
Sexual Orientation to Fraternal Birth Order? 63-71.
Blanchard, R., Zucker, K. J., Cavacas, A., Allin, S., Bradley, S. J., & Scachter, D. C. (2002). Fraternal Birth
Order and Birth Weight in Probably Prehomosexual Feminine Boys. 321-327.
Bogaert, A. (2006). Biological versus nonbiological older brothers and men's sexual orientation.
Bostwick WB, Meyer I, Aranda F,& et al. (2014). Mental health and suicidality among racially/ethnically
diverse sexual minority youths., 1129–1136.
Burns MN, Ryan DT, Garofalo R, Newcomb ME,& Mustanski B. (2015). Mental health disorders in young
urban, 56(1):52–58.
Cohen-Bendahan, C., van de Beek, C., & Berenbaum, S. (2005). Prenatal sex hormone effects on child
and adult sex-typed behavior: methods and findings. 29: 353-84.
Dilorio, C. a. (2004). Sexual possibility situations and sexual behaviors among young adolescents : The
moderating role protective factors . 35, 11-20.
Ernstoff, L. T., Perez, K., Hatch, E. E., Troisi, R., Julie, P. R., Hartge, P., . . . Hoover, R. (2002). Psychosexual
Characteristics of Men and Women Exposed Prenatally to Diethylstilbestrol. 158.
Hatzenbuehler ML, Slopen N,& McLaughlin KA. (2014). Stressful life events, sexual orientation, and
cardiometabolic, 1185-1194.
Herbst, A., Ulfelder, H., & Poskanzer, D. (1971). Adenocarcinoma of the vagina. 284:878–881.
Hines, M., Golombok, S., Rust, J., Johnston, K. J., & Golding, J. (2002). Testosterone during Pregnancy
and Gender Role Behavior of Preschool Children: A Longitudinal, Population Study. 1678-1687.
Kaiser, S., & Sachser, N. (2009). Effects of prenatal social stress on offspring development. 18:118-121.
Larson, P. S., Ungarelli, R. A., Morenas, A. d., Cupples, L. A., Rowlings, K., Palmer, J. R., & Rosenberg, C. L.
(2006). In Utero Exposure to Diethylstilbestrol (DES) Does Not Increase Genomic Instability in
Normal or Neoplastic Breast Epithelium. 2122.
Lisdiana. (2012). Regulasi Kortisol pada Kondisi Stres dan Addiction. 19.
McKeown-Eyssen, G., Baines, C., Cole, D., Riley, N., & Tyndale, R. (2004). Case-control study of
genotypes in multiple chemical sensitivity.
Moeloek, & Dangsina. (2005). Doping Edisi Kedua. Jakarta: Media Aesculapius.
Palmer, J., Hatch, E., & Rao, S. (2001). Infertility among women exposed prenatally diethylstilbestrol.
154:316-321.
Retaminingrum, A. N. (2017). Peran Parent Child Relationship pada Orientasi Seksual Gay. 33.
Rice E, Barman-Adhikari A, Rhoades H,& et al. (2013). Homelessness experiences, sexual orientation, and
sexual, 773-778.
Savic, I., Garcia-Falgueras, A.,& Swaab, D. F. (2010). Sexual differentiation of the human brain in relation
to gender identity and sexual orientation, 186, 41–62.
Smith, L., & Hines, M. (2000). Language lateralization and handedness in women prenatally exposed to
diethylstilbestrol (DES). 25:497–512.
Spencer, C. (2004). Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Thienel, M., Heinrichs, M., Fischer, S., Ott, V., Born, J., & Hallschmid, M. (2013). Oxytocin’s impact on
social face processing is stronger in homosexual than heterosexual men. 194-203.
Turkish, J. (2013). The Effects of Prenatal Sex Steroid Hormones on Sexual Differentiation of The Brain.
14:163-7.
Vojdani, A., & Thrasher, J. (2004). Cellular and humoral immune abnormalities in Gulf War veterans.
Wilson, C., & Davies, D. (2007). The control of sexual differentiation of the reproductive system and
brain. 133: 331-59.
Zucker, K. J., Beaulieu, N., Bradley, S. J., Grimshaw, G. M., & Wilcox, A. (2001). Handedness in Boys with
Gender Identity Disorder.