Anda di halaman 1dari 18

PERTEMUAN 14

SAKRAMEN PERKAWINAN

1. Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci


Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan
perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20),
sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan
laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan
perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).

Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak
selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan
monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan
kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan
perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6,
Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh
nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana
Allah pada awalnya (Mat 19:8). Allah menghendaki kesetiaan dalam perkawinan, sebab Ia
membenci perceraian (lih. Mal 2:15,16).

Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut
citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah
ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang
tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah
Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas
antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun
demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti
hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya
tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan
suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah,
manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah
itu.

Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan),
setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa
dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di
salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi
Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah
Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk
digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan
perempuan.

Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan
umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan
Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos
2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.

Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan
mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32).
Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk
menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan
menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya;
dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23),
seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang
Kepala.

Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena
sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan
Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita
menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ‘satu daging’. Pemahaman arti
Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena
dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil
untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan
kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan
banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan
dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah,
yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja
melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan
pengajaran Gereja.

Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why
19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri
persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua
akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan
kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah
itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.

2. Makna Sakramen Perkawinan


Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara
pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja
Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya
terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini
berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan
‘berbuah’.

Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara
mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan
dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan,
rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami
adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan
bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan
memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan
yang tak terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak
terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya
sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari
ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah
hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”

Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk
mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia.
Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di
dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi
manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini
penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan
Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan
dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa yang kekal seperti manusia. Jadi peran serta manusia dalam
penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat
mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.

Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk
memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari
kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan
pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah
menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk
spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan
hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam
pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.

Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita
perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak
terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-
Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk
memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang
dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat
dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-
masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.

Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri,
menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan
sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup
yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.

3. Syarat Perkawinan Katolik yang sah


Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk
menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi
ciri-cirinya.

Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang
pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam
arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[2] Kesepakatan kedua
mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini
tidak ada, maka tidak ada perkawinan. (KGK 1626) Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi
untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari
paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar. (KGK 1628) Jika kebebasan ini tidak ada,
maka perkawinan dikatakan tidak sah.

Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas
atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh
karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi
resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat
dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam
peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu. (KGK 1631)

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka
perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. (KGK 1632)
Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-
masing dan pelaksanaannya.

Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan
suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan
perkawinan (‘annulment‘) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda
agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.

4. Ciri-ciri Perkawinan Katolik


Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik
mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan
monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[3] Sifat terakhir
inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri
yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima,
dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan
perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih
Ilahi. (KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan
dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami
istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah
penetapan kebijaksanaan Allah ini. (KGK 1640)

Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang
juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan,
berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap
kesuburan akan kelahiran keturunan.[4] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri,
melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka
untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling
mengasihi dan mengampuni.

Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia,
menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini
merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia,
dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri
menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di
tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya.
Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?
5. Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja
Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen
awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat
seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.

a. The Shepherd of Hermas (80): Mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan
istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak
boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.”Lalu apakah yang dilakukan
seorang suami, jika istrinya tetap dalam disposisi ini [perzinahan]? Biarlah ia [suaminya]
menceraikan dia, dan biarlah suaminya tetap sendiri. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin
dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6)

b. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan
kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus
mengasihi Gereja-Nya.[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja
ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).

c. St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang
wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan
seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang
berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu
kepada seorang wanita. Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka
yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan
pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15)

d. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan
kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus
mengasihi Gereja-Nya.[6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja
ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).

e. Tertullianus (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi
perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan
tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[7] “Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan
Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan
berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?….” Pasangan itu mempunyai satu
harapan, satu cara hidup, satu Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan.
Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[8]
Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih
hidup, sebab jika demikian ia berzinah.

f. St. Klemens dari Aleksandria (150-216):

Mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan
istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah
pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[9]
(Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan
kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali
kepada pasangan terdahulu).”Maka bahwa Kitab Suci menasihati perkawinan, dan tidak pernah
mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata dalam hukum: ‘Kamu tidak dapat menceraikan
istrimu, kecuali karena alasan zinah.’ Dan dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah
pasangan, di mana pihak yang diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup.
‘Barangsiapa menceraikan istrinya, berbuat zinah,’ …; sebab ‘barangsiapa menceraikan istrinya, ia…
memaksa istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang
menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian mengawininya] yang
mengambil wanita itu, dengan memberikan kepadanya kesempatan untuk berbuat dosa; sebab jika
ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.’ (St. Clement of Alexandria, The
Stromata 2:23)

g. Athenagoras (133-190) dan Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami,


bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya
telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging
dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[10]

Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri
bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat
‘karunia’, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah ‘karunia’, sama seperti kehidupan
selibat adalah karunia.[11]“Seperti seorang wanita adalah pezinah, meskipun nampaknya ia menikah
dengan seorang pria, sementara suaminya yang terdahulu masih hidup, maka pria itu yang
sepertinya telah menikahi wanita yang telah bercerai itu, sesungguhnya tidak menikahinya, tetapi,
menurut pernyataan Penyelamat kita, ia berbuat zinah dengan wanita itu.” (Origen, Commentaries
on Matthew 14:24)

h. Konsili Elvira (300):

“Demikianlah para wanita yang telah meninggalkan suami mereka tanpa sebab sebelumnya, dan
telah menyatukan diri dengan orang lain, tidak dapat menerima Komuni saat wafatnya” (Kanon
8)….”Dengan demikian, seorang wanita yang beriman, yang telah meninggalkan suami yang telah
berbuat zinah, dan menikah dengan orang lain, maka perkawinan wanita yang sedemikian dilarang.
Jika toh ia telah menikah, ia tidak dapat menerima Komuni, kecuali jika suami yang telah
ditinggalkannya telah meninggal dunia.” (Kanon 9).

i. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah
dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami
haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[12]

j. St. Ambrosius dari Milan (387- 389): “Tak seorangpun diizinkan untuk bersetubuh dengan seorang
wanita, selain dengan istrinya sendiri. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini;
supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing. ‘Jika kamu terikat dengan seorang
wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu
masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka
yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan
manusia” (Commentary on Luke 8:5)
k. St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat
kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia
[suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.”
(St. Jerome, Letters 55:3).

l. St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang
dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih
hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu
meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).

m. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen.
Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau
zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan
kemurnian.[13]“Seorang wanita tidak menjadi istri suami berikutnya, jika masih menjadi istri dari
suami yang terdahulu. Ia tidak lagi menjadi istrinya, jika suaminya itu meninggal dunia, dan bukan
jika ia [suaminya] berbuat zinah. Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada
kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang
laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru
karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi
hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah
dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka,
atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan.
Sebab ini dilestarikan dalam kasus Kristus dan Gereja…, sehingga tidak ada perceraian, tidak ada
perpisahan selamanya.” (St. Augustine, (Marriage and Concupiscence 1:10:11)

6. Kesimpulan
Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara
mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-
Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada
manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang
mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya.
Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap
kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu
tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan
kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan
melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri.

7. Sakramen Perkawinan
Sakramen Perkawinan adalah (a) upacara suci yang menandakan (membuktikan) bahwa Allah masih
mencintai dan memelihara umat-Nya (b) dengan cara memberi teman hidup (jodoh), memberi anak-
anak, dan rahmat melimpah kepada keluarga.

Rahmat Sakramen Perkawinan adalah (1) Rahmat Pengudus dan Rahmat Pembantu. Allah hadir
dalam keluarga, menjadi sumber kasih, sumber rejeki dan keselamatan, sumber kekuatan dan
kebaikan. (2) Suami-isteri diikut-sertakan dalam karya Allah (a) karya penciptaan (melahirkan anak),
(b) karya pendidikan anak, dan (c) pengembangan masyarakat.

Dasar perkawinan adalah cinta (=membahagiakan kekasih dengan mengorbankan diri, atau korban
diri demi kebahagiaan kekasih). Kalau tidak tahu arti cinta, jangan kawin. Nanti dikira, cinta itu
membahagiakan diri sendiri dengan mengorbankan kekasih.

Sedangkan pembentuk faktor konstitutif perkawinan adalah Konsensus (kesepakatan, lihat Hukum
Gereja c.1057 § 1). Tanpa konsensus, cinta tidak jadi perkawinan. Dalam upacara perkawinan, Tono
ditanya “Apakah Tono mau mengambil Tini jadi isterimu, mencintainya, menghormatinya, dan setia
kepadanya dalam untung dan malang, sampai kematian memisahkan kamu?”. Tono menjawab “Ya,
saya mau”. Demikian pula sebaliknya Tini. Dengan konsensus tsb. Tono-Tini secara definitif
membentuk perkawinan. Definitif, artinya, “deal”, jadi, tuntas. Konsensus yg sudah diucapkan di
hadapan Allah, tak dapat diubah dan tak bisa ditarik kembali, kecuali (ibaratnya) kalau ada
persetujuan langsung dari Allah sendiri.

2. Empat sifat Perkawinan.

a. Monogami
Perkawinan itu monogami (satu dengan satu), bukan poligami (satu dengan banyak), sebab dasar
perkawinan adalah Cinta Allah 100%. Cinta Allah itu sifatnya utuh, tidak dibagi-bagi. Cinta ilahi
tsb. juga ditanam-Nya di hati manusia. Contoh Poligami : Cinta 25 % utk isteri, 25 % utk ex-pacar,
25% utk teman di kantor, dan 25% utk tugas luar-kota. Tapi dapat juga begini: Cinta 25% utk anak-
isteri, 25% utk orangtua, 25% utk pekerjaan, 25% utk teman bermain dan hobby. Sejak S.
Perkawinan itu keluarga jadi nomor 1. Sedang orangtua jatuh ke nomor 5. Jangan pernah
mengorbankan no.1 demi no.5.

b. Tak Terceraikan
Perkawinan itu tak terceraikan, sebab dasar perkawinan itu Cinta Allah tanpa syarat. Allah
menciptakan manusia agar “Kukasihi”, tanpa syarat “kamu harus mencintai Aku dan taat kepada-Ku.
Kalau tidak, kamu Kulenyapkan lagi”. Tidak. Allah menerima manusia apa adanya, baik ketika positif
(taat) maupun ketika negatif (berkhianat).

c. Tanda Cinta Allah


Peraturan perkawinan “tidak boleh cerai” itu tidak manusiawi dan mustahil, sebab manusia itu
sangat rapuh. Ini tidak benar. (a) Bagi Allah & umat beriman hal itu tidak mustahil (Lk 1:37; Mk 9:23).
(b) Allah kita bukan Pencipta yg gagal tapi sukses. Cerai-kawin bukan budaya masyarakat tapi budaya
selebritis (hanya 0,001% dari penduduk). Di RT-RW-kampung kita sendiri sukar ditemukan pasangan
yang double-double dan cerai-kawin, hampir tak ada, minoritas kecil sekali. Allah telah berhasil
menanam dlm hati manusia, sifat-sifat-Nya kasih-korban-diri-setia-tangguh, sehingga mayoritas
masyarakat itu monogami & tidak cerai

d. Sakramen
Perkawinan itu Sakramen (Tanda cinta Tuhan). (a) Tono adalah “kiriman” dan tanda cinta Tuhan
untuk Tini. Begitu pula Tini. (b) Tono-Tini yang rukun & kompak adalah tanda cinta Tuhan bagi
tetangga. “Seperti kami, kamu pun dicintai Tuhan, kamu bisa rukun, monogami, dan tidak-cerai”.
Tono-Tini menebar rahmat kpd tetangga (c) Sakr. Perkawinan mengerjakan keselamatan dalam tiap
keluarga. “menyatukan”, menguatkan, & memberi Rahmat berlimpah.

Sifat ke-4 Perkawinan adalah punya tujuan. Tanpa tujuan, perkawinan serong kiri-kanan, berhenti di
mana-mana, akhirnya hancur berantakan. Tujuan itu harus diwujudkan. Dia jadi pedoman & ukuran
baik-buruk. Kalau sesuai dgn tujuan, benar & baik. Kalau bertentangan dgn tujuan, salah, buruk, &
merusak perkawinan.

e. Empat tujuan Perkawinan:


(a) Kebahagiaan suami-isteri-anak. Saling menyenangkan hati. Menghidupi.

(b) Perkembangan kepribadian. Tukar-menukar sifat baik. Saling beri teladan, menegur &
menasihati. Makin baik, makin sosial, makin mampu melayani, makin saleh.

(c) Anak juga tujuan perkawinan. Seluruh hidup orangtua (tenaga, pikiran, waktu, uang) dibaktikan
sepenuhnya demi anak, agar menjadi Kekasih Allah, Pribadi indah, & Keluarga Allah. Kalau anak
dilalaikan, jodoh ikut dilalaikan, keluarga rusak.

(d) Sorga (ayah-ibu-anak masuk surga) juga tujuan perkawinan. Maka segala yg mengantar ke
surga (doa bersama, ke gereja, kebajikan, kata-kata halus, pelayanan, derma, dsb) harus dilakukan.
Sedang hal-hal yg menjauhkan keluarga dari surga (gak berdoa, gak ke gereja, kata-kata keji & porno,
teman buruk, majalah & DVD buruk, dsb) harus dijauhkan dari rumah-tangga. Kalau sampah tsb.
masuk rumah, keluarga runyam, terancam pecah.

Peran suami itu nahkoda (orang pertama) dari bahtera perkawinan. Hak jadi nahkoda, hak utk ditaati
& dihormati, ada syaratnya. Suami harus waras dan setia pada tugas. Peran Isteri itu “pembantu yg
sepadan” (Kej 2:18). Pembantu, artinya, orang kedua (wakil), yang terutama membantu Tuhan &
proyek-Nya. Isteri membantu suami dlm rangka membantu Tuhan. Sepadan, artinya, sama Citra
Allah, sama pandai, sama tangguh, dsb.

3. PEMBERESAN PERKAWINAN YANG CACAT HUKUM

Tidak semua perkawinan, sah. Ada juga yang sudah diberkati secara Katolik ternyata me-langgar
salah satu dari 15 impedimentum dirimens (halangan yg membatalkan) sehingga cacat-hukum. Jadi,
tidak sah. Misalnya, “Perkawinan” orang Katolik yang dilaksanakan di luar Gereja Katolik itu tidak
sah. “Perkawinan-perkawinan” semacam itu harus diberes-kan, sebab membahayakan iman suami-
isteri, perkawinan sendiri dan pendidikan anak. Cara untuk membereskannya ada dua: Konvalidasio
Simplex dan Sanasio in Radice.

Konvalidasio Simplex (pengukuhan ulang secara sederhana). “Perkawinan” yang sudah diberkati di
gereja secara katolik tapi ternyata cacat-hukum, dibereskan dengan 4 langkah (1) Pengulangan
Konsensus (=kesepakatan untuk tetap menjadi suami-isteri). Begini. (a) di pastoran suami isteri
ditanyai secara terpisah. Lalu (b) konsensus disahkan secara resmi di hadapan dua saksi. (2) Pastor
memohon 2 Dispensasi dari Uskup. (a) Dispensasi atas Halangan-halangan Perkawinan yang ada.
Kalau halangan bisa didispensasi, maka perkawinan bisa dibereskan. Tapi jika halangannya dirimens
yang tidak bisa didispensasi, maka perkawinan batal (walaupun sudah punya 3 anak). Dan pastor
memohon (b) Dispensasi “Tanpa Tata Cara Perkawinan Katolik”. (3) Setelah Dispensasi dari uskup
turun, pastor memanggil suami-isteri di kamar tamu, untuk membuat upacara “simplex” yang
mengulangi pertanyaan perkawinan. Lalu (4) Pastor mengarsipkan Surat-surat Dispensasi.

Sanasio in Radice (penyembuhan sampai ke akar-akarnya): “Perkawinan” orang Katolik di luar Gereja
Katolik tidak sah. Jadi harus disembuhkan (dibereskan). Dengan 7 langkah. (1) Suami-isteri
menyerahkan Surat Kawin resmi. (2) Pastor mengadakan Penyelidikan Kanonik secara lengkap. (3)
Suami-isteri mengulangi Konsensus. Bisa dengan surat yang membuktikan mereka masih rukun-
rukun. (4) Pastor memohon 3 Dispensasi Uskup. (a) Dispensasi Sanasio in Radice, (b) Dispensasi atas
halangan-halangan yang ada termasuk halangan perkawinan beda-agama (lihat keterangan di atas)
dan (c) Dispensasi ”Tanpa Tata Cara Perkawinan Katolik”. (5) Pihak Katolik mohon ampun atas
dosanya dalam Sakramen Pengampunan Dosa. (6) Setelah Dispensasi dari uskup turun, pastor
mengadakan peresmian perkawinan di gereja yang disaksikan oleh saksi dan keluarga. Kalau
terpaksanya, peresmian itu boleh dilaksanakan tanpa kehadiran pihak non-katolik. Lalu (7) Pastor
mengarsipkan Surat-surat Dispensasi.

Dalam ajaran Katolik, perkawinan merupakan sebuah sakramen, yaitu tanda cinta kasih Tuhan
kepada manusia. Sakramen perkawinan dalam gereja Katolik memiliki arti yaitu perjanjian antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kehidupan bersama. Sakramen ini
berupa upacara pemberkatan bagi pasangan yang sama-sama telah dibabtis, dan akan
disempurnakan dengan persetubuhan. Sejak saat itulah mereka telah menjadi satu daging dan tidak
dapat dipisahkan. Alkitab sendiri yang mengatakan pada Kejadian 2:20. Hubungan antara suami dan
istri juga digambarkan sebagai ikatan cinta kasih yang tak terpisahkan antara Kristus dan orang-
orang yang percaya pada-Nya.

Sehingga seringkali gereja enggan untuk melakukan sakramen perkawinan bagi mereka yang
sebelumnya sudah pernah menikah. Walau demikian, memang di Perjanjian Lama banyak sekali
praktik yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam hal perkawinan, yaitu poligami. Hal tersebut
dikarenakan kelemahan manusia dan bukan bagian dari rencana Allah. Di perjanjian baru Tuhan
Yesus mengatakan, karena ketegaran hati umat Israel, Musa memperbolehkan umat Israel untuk
menceraikan istrinya, namun bukan seperti itu rencana Allah pada mulanya.

4. Sifat Pernikahan Menurut Alkitab


Dalam perkawinan, terdapat empat sifat yang harus dipenuhi, yaitu:

a. monogami,

b. tak terceraikan

c. tanda cinta kasih Allah

d. memiliki tujuan
Perkawinan juga harus dilandasi dengan prinsip kasih tentang Alkitab satu sama lain, mau
membahagiakan, serta mau mengorbankan diri. Hubungan kasih ini merupakan karunia yang ingin
Tuhan berikan kepada manusia. Suami adalah rahmat Tuhan bagi istrinya dan istri adalah rahmat
Tuhan bagi suami. Sejak dulu sampai sekarang, terjadi perubahan pandangan dalam hal tujuan
perkawinan. Sekitar tahun 1950, umat Katolik ditanamkan pengertian bahwa pernikahan memiliki
dua tujuan, yaitu untuk melahirkan anak-anak dan untuk menyatukan suami dan istri. Melahirkan
menjadi tujuan primer dan menyatukan pasangan menjadi tujuan sekunder. Kita bisa melihat Kitab
Hukum Kanonik 1013 tahun 1917, yang mengatakan bahwa tujuan utama dari pernikahan adalah
prokreasi dan pendidikan anak.

Lalu di ayat berikutnya dikatakan bahwa esensi dari pernikahan adalah penyatuan. Inilah yang
mendasari pandangan umat Katolik mengenai tujuan pernikahan pada saat itu. Lalu seiring
perkembangannya, diterbitkan Kitab Hukum Kanonik yang baru pada tahun 1983. Dalam kitab
tersebut terdapat ayat yang mengatur tentang tujuan perkawinan, yaitu pada KHK 1055 yang
berbunyi, “Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan
membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya
terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak,
antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.” Nah, sejak
inilah terjadi perubahan pandangan , membentuk persekutuan antara suami dan istri menjadi tujuan
utama dalam pernikahan.

5. Makna Pernikahan Dalam Sakramen Katolik


Dan baru-baru ini Paus Fransiskus juga mengeluarkan nubuatnya mengenai pernikahan, yaitu bahwa
wanita dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, atau yang lebih mendalam lagi, bahwa aspek
menyatukan pasangan dalam pernikahan lebih besar daripada aspek prokreasi. Karena dilihat juga
dari sisi lain, bahwa tidak semua pasangan mendapat kesuburan dalam pernikahan, yang
mengakibatkan mereka tidak bisa memiliki anak.

6. Dalam Kitab Hukum Kanonik, terdapat lima gagasan mengenai tujuan


perkawinan.
a. Perjanjian Kasih antara Suami dan Isteri

Saat melakukan pemberkatan perkawinan, suami dan istri sama-sama mengucapkan janji
pernikahan, yaitu :

sejak saat itu ia memilih pasangannya menjadi suami atau istri,

Ia berjanji untuk mencintai pasangannya dalam suka dan duka,

Ia berjanji pula untuk menjadi bapak/ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada
mereka. Dalam acara pemberkatan, janji tersebut disaksikan paling tidak oleh imam dan dua orang
saksi.

b. Kesepakatan untuk Senasib Sepenanggungan dalam Semua Aspek Kehidupan


Seperti yang terdapat pada janji pemberkatan, mempelai bersedia untuk bersama-sama ada dalam
suka maupun duka. Mereka harus mau belajar untuk terbuka satu sama lain dan saling memahami.
Keterbukaan ini diperkuat dengan adanya hubungan suami istri dalam kristen yang menggambarkan
salah satu karunia, yaitu cinta timbal balik. Mereka telah menjadi satu daging dan mau menghadapi
tantangan bersama-sama serta saling menopang. Suami dan istri perlu untuk membagi tanggung
jawab dalam rumah tangga sehingga terdapat keteraturan.

c. Kesejahteraan Suami Isteri

Dalam hubungan suami istri, perlu sekali untuk mendukung satu sama lain, entah dalam hal cita-cita,
atau pun dalam kebahagiaan masing-masing. Supaya pernikahan tidak hambar, pasangan sebaiknya
memiliki tujuan besar dan berusaha untuk bersama-sama mencapainya. Karena apabila pernikahan
hanya bertujuan untuk bahagia, mereka akan cenderung cepat bosan satu-sama lain apabila tidak
lagi menemukan sesuatu yang menarik dari pasangan. Maka dari itu, perlu sekali bagi pasangan
untuk maju bersama-sama dan bertumbuh bersama.

d. Kelahiran dan Pendidikan Anak

Salah satu tujuan perkawinan adalah memenuhi perintah Allah Tritunggal yang meminta manusia
untuk beranak cucu serta menaklukkan dan memenuhi bumi. Maka, tidak lain hal tersebut merujuk
pada lahirnya kehidupan baru. Selain melahirkan anak, pasangan juga diharapkan dapat mendidik
anak dengan baik. Baiklah pasangan menanamkan kasih pada anak supaya menjadi dasar pondasi
dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bisa dimulai dari orang tua yang tulus mengasihi anaknya,
sehingga anak dapat merasakan kasih tersebut.

Dengan begitu, dia juga akan menyalurkan kasih kepada sesama. Namun orang tua juga harus
paham bagaimana cara mengasihi dengan benar, tidak hanya memenuhi kebutuhan materi, tetapi
juga meluangkan waktu berkualitas bersama anak dan mendukung aktivitasnya. Selain itu, anak juga
harus diajarkan mengenai kasih dan karakter Kristus dengan cara mulai diajak ke gereja sejak dini,
supaya dia dapat bertumbuh di dalam Kristus dan memiliki standard hidup sesuai standard-Nya.

e. Sarana Penyelamatan Allah

Seperti dikatakan sebelumnya bahwa pernikahan merupakan sakramen, maka pernikahan juga
merupakan salah satu cara Tuhan untuk mewujudkan kasih dan menjadikannya sebagai sarana
penyelamatan. Maka dari itu, penting sekali bagi keluarga baru untuk menjadikan Tuhan sebagai

pondasi dan dasar dalam segala keputusan. Supaya Tuhan senantiasa membimbing dan
memperbaharui keluarga menjadi yang lebih baik.

Itulah ulasan dari adanya tujuan sakramen Katolik dalam perkawinan yang bisa anda ketahui dalam
kehidupannya mencapai kehidipan bersama.

6. Macam-macam Halangan yang menggagalkan perkawinan

1. Kurangnya umur (bdk. kan 1083):


Syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur 16 tahun dan
perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah. Tetapi hukum kodrati
menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan mengadakan penilaian secukupnya dan
“corpus suo tempore habile ad matrimonium”. Hukum sipil sering mempunyai tuntutan
umur lebih tinggi untuk perkawinan dari pada yang dituntut hukum Gereja. Jika salah satu
pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum sipil, Ordinaris wilayah harus diminta
nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum perkawinan itu bisa dilaksanakan secara sah
(bdk kan. 1071, §1, no.3). Izin semacam itu juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah
dalam kasus di mana orang tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak
mengetahui atau secara masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1,
no.6).

2. Impotensi (bdk kan. 1084):

Impotensi itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam perkawinan.
Sebab impotensi itu mencegah suami dan istri mewujudkan kepenuhan persatuan hetero
seksual dari seluruh hidup, badan dan jiwa yang menjadi ciri khas perkawinan. Yang
membuat khas persatuan hidup suami istri adalah penyempurnaan hubungan itu lewat
tindakan mengadakan hubungan seksual dalam cara yang wajar. Impotensi yang
menggagalkan perkawinan, haruslah sudah ada sebelum perkawinan dan bersifat tetap.
Pada waktu perkawinan sudah ada, bersifat tetap maksudnya impotensi itu terus menerus
dan bukan berkala, serta tidak dapat diobati kecuali dengan operasi tidak berbahaya.
Impotensi ada dua jenis: bersifat absolut dan relatif. Impotensi absolut jika laki-laki atau
perempuan sama sekali impotens. Impotensi relatif jika laki-laki atau perempuan tertentu
ini tidak dapat melaksanakan hubungan seksual. Dalam hal absolut orang itu tidak dapat
menikah sama sekali, dalam impotensi relatif pasangan tertentu juga tidak dapat menikah
secara sah.

3. Adanya ikatan perkawinan (bdk. kan 1085):

Ikatan perkawinan terdahulu menjadi halangan yang menggagalkan karena hukum ilahi. Kan
1085, §1: menghilangkan ungkapan “kecuali dalam hal privilegi iman” (Jika dibandingkan
dengan kodeks 1917). Ungkapan ini berarti jika seorang yang dibaptis menggunakan privilegi
iman walau masih terikat oleh ikatan perkawinan terdahulu, dia bisa melaksanakan
perkawinan secara sah dan ketika perkawinan baru itu dilaksanakan ikatan perkawinan lama
diputuskan.

4. Disparitas cultus (bdk. kan 1086):

Perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik
atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan
yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. Perlu dicermati ungkapan “meninggalkan Gereja
secara formal” berarti melakukan suatu tindakan yang jelas menunjukkan etikat untuk tidak
menjadi anggota Gereja lagi. Tindakan itu seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau
agama Kristen, membuat suatu pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi Katolik.
Namun demikian janganlah disamakan tindakan itu dengan orang yang tidak pergi ke Gereja
Katolik lagi tidak berarti meninggalkan Gereja. Ada dua alasan tentang norma ini: pertama
karena tujuan halangan ini adalah untuk menjaga iman katolik, tidak ada alasan mengapa
orang yang sudah meninggalkan Gereja harus diikat dengan halangan itu. Kedua, Gereja
tidak mau membatasi hak orang untuk menikah.

Perkawinan yang melibatkan disparitas cultus (beda agama) ini, sesungguhnya tetap dapat
dianggap sah, asalkan: 1) sebelumnya pasangan memohon dispensasi kepada pihak
Ordinaris wilayah/ keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan. Dengan dispensasi ini,
maka perkawinan pasangan yang satu Katolik dan yang lainnya bukan Katolik dan bukan
Kristen tersebut tetap dapat dikatakan sah dan tak terceraikan; setelah pihak yang Katolik
berjanji untuk tetap setia dalam iman Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik; dan
janji ini harus diketahui oleh pihak yang non- Katolik (lih. kan 1125). 2) Atau, jika pada saat
sebelum menikah pasangan tidak mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke pihak
Ordinaris, maka sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Convalidatio (lih. kann. 1156-
1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di mata Gereja Katolik.

5. Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):

Adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah
menerima tahbisan suci.

6. Kaul kemurnian dalam suatu tarekat religius (bdk. kan. 1088):

Kaul kekal kemurnian secara publik yang dilaksanakan dalam suatu tarekat religius dapat
menggagalkan perkawinan yang mereka lakukan.

7. Penculikan dan penahanan (bdk. kan. 1089):Antara laki-laki dan perempuan yang diculik
atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada
perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta
berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih
perkawinan itu. Bahkan jika perempuan sepakat menikah, perkawinan itu tetap tidak sah,
bukan karena kesepakatannya tetapi karena keadaannya yakni diculik dan tidak dipisahkan
dari si penculik atau ditahan bertentangan dengan kehendaknya.

8. Kejahatan (bdk. kan. 1090):

Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk
menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau
terhadap pasangannya sendiri.

9. Persaudaraan (konsanguinitas (bdk. kan. 1091):


Alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang berhubungan
dalam tingkat ke satu garis lurus bertentangan dengan hukum kodrati. Hukum Gereja
merang perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab melakukan perkawinan
di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu bertentangan dengan kebahagiaan
sosial dan moral suami-isteri itu sendiri dan kesehatan fisik dan mental anak-anak mereka.

10. Hubungan semenda (bdk. kan. 1092):

Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun.
Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari perkawinan sah entah hanya ratum
atau ratum consummatum. Kesemendaan yang timbul dari perkawinan sah antara dia orang
tidak dibaptis akan menjadi halangan pada hukum Gereja bagi pihak yang mempunyai
hubungan kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu. Menurut
hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara suami dengan saudara-
saaudari dari isteri dan antara isteri dengan saudara-saaudara suami. Saudara-saudara
suami tidak mempunyai kesemendaan dengan saudara-saudara isteri dan sebaliknya.
Menurut kodeks baru 1983 hubungan kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah
hanya dalam garis lurus dalam semua tingkat.

11. Halangan kelayakan publik (bdk. kan. 1093):

Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang dilaksanakan
menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak sah karena alasan
tertentu, misalanya cacat dalam tata peneguhan. Halangan ini muncul juga dari konkubinat
yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama
tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan
persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. Konkubinat dikatakan publik
kalau dengan mudah diketahui banyak orang.

12. Adopsi (bdk. kan. 1094):

Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum
yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua. Menurut
norma ini pihak yang mengadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak yang diadopsi, dan
anak yang diadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak-anak yang dilahirkan dari orang
tua yang mengadopsi dia. Alasannya karena adopsi mereka menjadi saudara-saudari se
keturunan

7. BEDAH KASUS
PERKAWINAN BEDA AGAMA

Pertanyaan:
Shalom Pak dan Bu….

protestan”. Sudah lama saya fikirkan, mohon penjelasan ya.

a. Apakah boleh perkahwinan antara katolik dan protestan? Bagaimanakah cara


perkahwinan tersebut?apakah boleh dilangsungkan di gereja katolik atau tidak?

b. Apakah syaratnya untuk melangsungkan perkahwinan di Gereja Katolik?

salam, Monica

Jawaban:

Shalom Monica,

Mengenai Perkawinan Campur ini, kita mengacu kepada Kitab Hukum Kanonik 1983, yaitu
demikian:

KHK 1124 Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam
Gereja Katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan
tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan
gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari
otoritas yang berwenang, dilarang.

KHK 1125 Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan
yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta


memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga,
agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;mengenai janji-janji yang
harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya,
sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;

kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang
tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

KHK 1127

§ 1 Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya
ditepati ketentuan-ketentuan Kanon 1108; …..[di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor
paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang
meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi]

§ 2 Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris
wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan
kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat
perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan;
Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut
diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.

§ 3 Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1,


mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk
menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan
perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan
kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

Maka dengan demikian, kita mengetahui bahwa walaupun sebenarnya perkawinan campur
itu tidak diperbolehkan jika dilakukan tanpa ijin dari pihak otoritas Gereja, ijin dapat
diberikan oleh Ordinaris wilayah kepada pasangan (Katolik dan Kristen non- Katolik) yang
akan menikah asalkan pihak Katolik berjanji berjuang untuk tetap Katolik dan membaptis
dan mendidik anak- anak secara Katolik; dan pihak yang non- Katolik mengetahui akan janji
ini.

Maka untuk menjawab pertanyaan anda, jika perkawinan beda gereja ini tidak dapat
dihindari, maka silakan anda menemui pastor paroki, dan ajukanlah permohonan ijin ke
pihak Ordinaris. Jika ijin sudah diberikan, maka pasangan tersebut dapat menikah secara
sah. Silakan anda mendiskusikannya dengan pastor paroki, untuk mengaturnya, agar
sakramen perkawinan dapat diberikan di gereja Katolik.

Anda mungkin juga menyukai