Anda di halaman 1dari 26

PERUBAHAN ETIKA DAN ESTETIKA KESENIAN ONDEL-ONDEL

PADA MASYARAKAT BETAWI

Disusun untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah


Metode Penelitian Kualitatif

Bernard Realino Danu Kristianto


44115110102

UNIVERSITAS MERCUBUANA
JURUSAN BROADCASTING
2015
JAKARTA
DAFTAR ISI

JUDUL...........................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG.......................................................................3
1.2. FOKUS PENELITIAN.....................................................................5
1.3. PERTANYAAN PENELITIAN.......................................................7
1.4. TUJUAN PENELITIAN..................................................................7
1.5. MANFAAT PENELITIAN...............................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TEORI PEMBANGUNAN...............................................................9
2.2. TEORI KRITIS...............................................................................13
2.3. DEFINISI BUDAYA DALAM KAJIAN BUDAYA......................16
2.4. KONSEP ETIKA, ESTETIKA DAN SENI..................................18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. PARADIGMA PENELITIAN........................................................24
3.2. METODE PENELITIAN...............................................................24
3.3. TEKNIK PENGUMPULAN DATA..............................................25
3.4. TEKNIK ANALISIS DATA...........................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................27

BAB I
2
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di masa sekarang, arus modernisasi mempengaruhi segala aktivitas dan


sektor bidang kehidupan. Terlebih kota metropolitan seperti Jakarta. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi turut mewarnai kehidupan masyarakat kota Jakarta
yang sebagian besar adalah pendatang dari berbagai daerah di seluruh wilayah
Indonesia. Modernisasi dan globalisasi tersebut tentunya juga memiliki dampak bagi
budaya suatu masyarakat, secara khusus masyarakat Betawi.
Suku Betawi sebagai tuan rumah dan akar budaya kota Jakarta kini sudah
semakin tidak jelas keberadaannya. Secara geografis, posisi suku Betawi semakin
terpinggirkan. Meskipun masih terdapat suku Betawi yang tinggal di jantung kota
Jakarta, mereka tidak memiliki peluang untuk dapat mengekspresikan dan
melestarikan budaya mereka secara maksimal, termasuk salah satunya kesenian
ondel-ondel.
Menurut sejarahnya, ondel-ondel sudah ada pada akhir abad ke-5 berdiri
kerajaan Hindu Tarumanegara di tepi kali Citarum. Ada yang menganggap
Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota
kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli
Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di
tepi sungai Candrabagha, yang kemudian diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang
terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah letak istana kerajaan
Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan.
Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu
rakyat Tarumanegara mengenal persawahan menetap.
Pada zaman Tarumanegara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi
membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi
baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah
menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan
tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur,

3
karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu,
adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-
ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak
dengan membunyikan gamelan. Kebudayaan ondel-ondel tersebut kemudian dibawa
dan juga menjadi bagian penting bagi orang-orang Betawi di wilayah tengah kota
Jakarta.
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang
sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus
tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas
penduduk Batavia waktu itu.
Kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu
juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut
diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi
sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup
yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni
Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada
waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan,
yakni golongan orang Betawi.
Hingga beberapa waktu yang lalu penduduk asli Jakarta
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat
tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan
seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan
kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang
yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai
orang Betawi.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan
(1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi,
tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih
22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin
terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus

4
berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi
hadir di bumi Nusantara.

1.2. Fokus Penelitian

Menurut kepercayaan masyarakat Betawi pada zaman dulu fungsi ondel-


ondel itu untuk menolak bala. Dengan cara diarak dijalan-jalan mengelilingi
kampung.Oleh karena itu dalam pembuatannya pun tidak sembarangan. Ada ritual-
ritual tertentu yang harus dilakukan oleh si pengrajin. Diantaranya menyiapkan
sesaji, kemenyan, kembang tujuh rupa dan bubur sumsum. Tujuannya agar
pembuatan ondel-ondel bisa berjalan lancar tanpa dirasuki roh jahat. Itulah mengapa
wajah ondel-ondel terkadang nampak seram dan mistis. Konon, zaman dahulu,
penduduk di sebuah kawasan Betawi terjangkit wabah penyakit. Kala itu, para
penduduk meyakini penyakit tersebut adalah wujud serangan dari roh jahat. Untuk
itu mereka memainkan ondel-ondel atau boneka besar guna mengusir roh jahat
tersebut. Persembahan yang kerap mereka sajikan sebulum memulai pengusiran roh
jahat biasanya berupa bunga tujuh rupa dan tujuh jenis makanan yang di satukan
dalam sebuah bakul. Tujuannya memanggil roh halus untuk menumpas roh jahat.
Namun, kebiasaan itu kian luntur sejalan perkembangan pembangunan. Upacara
tersebut dianggap sudah tak sesuai dengan ajaran Islam, agama yang umumnya
dianut warga Betawi. Kini, ondel-ondel menjadi figur nenek moyang yang menjaga
kampung. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman yang semakin
modern, fungsi ondel-ondel mulai bergeser. Apalagi pada era kepemimpinan Ali
Sadikin sebagai gubernur DKI Jakarta periode tahun 1966-1977an, ondel-ondel
dijadikan sebagai boneka khas Betawi. Sudah tidak ada lagi arak-arakan ondel-ondel
untuk penolak bala. Tapi digunakan sebagai penyemarak suasana pesta rakyat
Betawi. Mulai dari hajatan perkawinan dan khitanan sampai acara peresmian
gedung-gedung pemerintah maupun swasta. Wajah ondel-ondel pun tidak lagi
seseram dan semistis dulu.1
Kini, ondel-ondel semakin mengalami pergeseran makna. Tidak jarang,
ondel-ondel terlihat “mengemis” atau meminta-minta sambil diarak keliling kota.

1
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/ondel-ondel-simbol-budaya-jakarta-yang-kian-
menjadi-usang
5
Makna ondel-ondel tidak lagi sebagai sarana dan media budaya Betawi yang
berhubungan dengan panen hasil bumi, kemeriahan, kebahagiaan. Ondel-ondel
dijadikan media pelakon sebagai sarana mencari uang dengan meminta-minta di
pinggiran jalanan, di depan toko-toko, juga mendatangi siapapun yang sedang berada
di trotoar jalan.
Pemahaman dari si pelakon ondel-ondel mengenai budaya Betawi itu sendiri
menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang, secara khusus saya sebagai peneliti.
Dalam budaya dan tradisi Betawi sendiri tampaknya sudah mengalami perubahan
pola dan etika dalam berkesenian. Masyarakat Betawi tidak lagi mengagungkan
kesenian gambang kromong, ondel-ondel, dan yang lainnya sebagai akar budaya
mereka. Persoalan modernisasi dan migrasi penduduk yang masuk ke Jakarta
mungkin bisa jadi salah satu aspek pengaruh perubahan pola dan etika berkesenian
tersebut. Faktor utama dari modernisasi masyarakat itu sendiri nampaknya membuat
tradisi lama luntur bahkan hilang sama sekali. Masyarakat Betawi era lama sangat
menjunjung tinggi tradisi totemistik seperti halnya suku tradisional di wilayah lain di
Indonesia. Sistem kepercayaan, bahasa, kebendaan yang diwariskan kepada generasi
penerusnya menjadi tanda bahwa suku Betawi sangat menjunjung warisan budaya
leluhurnya, termasuk tradisi boneka ondel-ondel.
Dengan masuknya modernisasi, terdapat sikap dan pemikiran dari
masyarakat yang memiliki kecenderungan mencari hal yang baru daripada
mempertahankan tradisi. Dampak dari pandangan modern tersebut adalah adanya
sikap yang revolusioner karena munculnya keinginan untuk meninggalkan dan
sekaligus mengganti adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
rasionalitas dan menggantinya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkaitan
dengan hal itu, masyarakat Betawi sendiri yang pada mulanya adalah pendatang dan
percampuran budaya dari banyak suku di tanah air, dimana mulai terpinggirkan
keberadaannya, tentunya memiliki perspektif yang unik mengenai modernisasi dan
efek perubahan dari asimilasi budaya, mengingat pendatang di Jakarta selalu
meningkat dari tahun ke tahun.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Dari rumusan di atas, muncul pertanyaan sebagai berikut:

6
1. Apakah terdapat perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada
masyarakat Betawi?
2. Apakah terdapat korelasi antara perubahan masyarakat tradisional ke
masyarakat modern terhadap perubahan etika dan estetika kesenian ondel-
ondel pada masyarakat Betawi?
3. Bagaimana perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada
masyarakat Betawi?
4. Mengapa bisa terjadi perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel
pada masyarakat Betawi?
5. Bagaimana yang seharusnya terjadi sehingga etika dan estetika kesenian
ondel-ondel masyarakat Betawi tidak berubah?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada


masyarakat Betawi.
2. Memahami persoalan masyarakat Betawi dalam melestarikan budayanya
sendiri.
3. Mengkritisi hal-hal apa yang mendorong perubahan etika dan estetika
kesenian ondel-ondel.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah untuk:


1. Masyarakat luas dapat mengetahui bahwa terdapat perubahan etika dan
estetika kesenian ondel-ondel.
2. Masyarakat secara lebih khusus masyarakat Betawi dapat mengambil
tindakan pelestarian kesenian ondel-ondel yang lebih maksimal.
3. Masyarakat luas dapat berefleksi dan berupaya melestarikan kebudayaan
lain yang ada di tanah air.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pembangunan Walr Whitman Rostow

W. W. Rostow merupakan seorang ekonom Amerika Serikat yang menjadi


Bapak Teori Pembangunan dan Pertumbuhan. Teorinya mempengaruhi model
pembangunan dihampir semua Dunia Ketiga. Pikiran Rostow pada dasarnya
dikembangkan dalam konteks perang dingin serta membendung pengaruh sosialisme.
Itulah makanya, pikiran Rostow pertama dituangkan dalam makalah yang secara
jelas sebagai manifesto non-komunis. Dalam tulisan yang berjudul The Stages of
Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Rostow membentangkan
pandangannya tentang modernisasi yang dianggapnya sebagai cara
untuk membendung semangat sosialisme. Teori Rostow tentang pertumbuhan pada
dasarnya merupakan sebuah versi dari teori modernisasi dan pembangunan, yaitu
suatu teori yang meyakini bahwa faktor manusia (bukan struktur dan sistem) menjadi
fokus utama perhatian mereka.
Teori pertumbuhan adalah suatu bentuk teori modernisasi yang
menggunakan metafora pertumbuhan, yakni tumbuh sebagai organisme. Rostow
melihat perubahan sosial, yang disebut sebagai pembangunan, sebagai proses evolusi
perjalanan dari tradisional ke modern. Pikiran teori pertumbuhan ini dijelaskan

8
secara rinci oleh Rostow (1960) yang sangat terkenal yaitu The Five-Stage Scheme.2
Asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah
mengalami “tradisional” dan akhirnya menjadi “modern”. Sikap manusia tradisional
dianggap sebagai masalah. Seperti pandangan Rostow dan pengikutnya, development
akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan
investasi) dengan tekanan dan bantuan luar negeri.
Pandangan Rostow tentang teori perubahan sosial tersebut diuraikan dalam
bukunya yang berjudul The Stage of Economic Growth. Dalam buku tersebut Rostow
menjelaskan bagaimana perubahan sosial dalam lima tahapan pembangunan ekonomi
terjadi. Tahapan pertama adalah masyarakat tradisional, kemudian berkembang
menjadi prakondisi tanggal landas, lantas diikuti masyarakat tanggal landas,
kemudian masyarakat pematangnan pertumbuhan, dan akhirnya mencapai
masyarakat modern yang dicita-citakan, yaitu masyarakat industri yang disebutnya
sebagai masyarakat konsumsi masa tinggi (High Mass Consumption).
Bagaimana masyarakat modern dapat tercapai, Rostow mengajukan
persyaratan utamanya, yaitu tersedianya modal. Modal harus diusahakan melalui
penggalian investasi dengan cara pemindahan sumber dana atau kebijakan pajak.
Selain itu, modal juga dapat diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan atau obligasi
pemerintah untuk tujuan produktif. Selebihnya modal juga dapat dihimpun melalui
devisa dari perdagangan internasional. Saran Rostow yang terakhir, dan nampaknya
sangat penting untuk mendapatkan modal adalah melalui penarikan investasi modal
asing. Di antara tahapan yang penting adalah tahapan tanggal landas. Baginya
tahapan ini merupakan tahapan krusial dan oleh karena itu harus diusahakan
kemampuan melakukan investasi sampai 10% dari pendapatan nasional
untuk bidang yang menguntungkan, seperti industry. Teori Modernisasi Rostow ini
merupakan teori pertumbuhan tahapan linier (linier stage of growth models).
Dimana pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan
budaya tradisional ke masyarakat rasional, industrial, dan berfokus pada ekonomi
pelayanan. Pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh peningkatan secara kuantitas dan

2
Walt W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Cambridge
University Press, 1960.
9
kualitas dari faktor produksi dalam sebuah negara yang meliputi tanah, tenaga kerja,
modal, dan pengusaha.

Lima tahap pembangunan menurut Rostow (1960) adalah:3

1. Masyarakat tradisional
Sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat tradisional adalah
pertanian, dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja
manusia lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan
berikutnya. Masyarakat ini dicirikan oleh struktur hirarkis sehingga
mobilitas sosial dan vertikal rendah.

2. Pra-kondisi tinggal landas


Selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu
memulai sebuah pembangunan yang dinamis. Model perkembangan
ini merupakan hasil revolusi industri. Konsekuensi perubahan ini, yang
mencakup juga pada perkembangan pertanian, yaitu tekanan kerja pada
sektor-sektor primer berlebihan.
Sebuah prasyarat untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi
industri yang berlangsung dalam satu abad terakhir.

3. Tinggal landas
Tahapan ini dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis.
Karakteristik utama dari pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan dari
dalam yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan dorongan dari luar.
Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa industri dapat mendukung
pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi dalam dua atau tiga
3
Walt W. Rostow, The Stages of Economic Growth dalam Economic History Review, New Series, Vol.
12, No.1, 1959, Cambridge: Blackwell Publishing, pp. 1-16.
10
dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung sejak pertengahan
abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.

4. Menuju kedewasaan
Kedewasaan pembangunan ditandai oleh investasi yang terus-menerus
antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri
dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau industri listrik. Ini
merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Pada
umumnya, tahapan ini dimulai sekitar 60 tahun setelah tinggal landas. Di
Eropa, tahapan ini berlangsung sejak tahun 1900.

5. Era konsumsi tinggi


Ini merupakan tahapan terakhir dari lima tahap model pembangunan
Rostow. Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur. Orang-
orang yang hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran dan
keserbaragaman sekaligus. Menurut Rostow, saat ini masyarakat yang
sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat atau Utara.

Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi ini diklasifikan sebagai teori


modernisasi. Walt Whitman Rostow mengembangkan ide tentang perspektif
identifikasi dimensi ekonomi menjadi lima tahap tersebut dengan tujuan
meluncurkan teorinya sebagai sebuah manifesto anti-komunis. Dalam hal prekondisi
untuk meningkatkan ekonomi suatu negara, penekanannya terdapat pada keseluruhan
proses di mana masyarakat berkembang dari suatu tahap ke tahap yang lain. Tahap-
tahap yang berbeda ini ditujukan untuk mengidentifikasi variabel-variabel kritis atau
strategis yang dianggap mengangkat kondisi-kondisi yang cukup dan perlu untuk
perubahan dan transisi menuju tahapan baru yang berkualitas.
Teori ini secara mendasar bersifat unilinear dan universal, serta dianggap
bersifat permanen. Pembangunan, dalam arti proses, diartikan sebagai modernisasi
yakni pergerakan dari masyarakat pertanian berbudaya tradisional ke arah ekonomi
11
yang berfokus pada rasional, industri, dan jasa. Untuk menekankan sifat alami
“pembangunan‟ sebagai sebuah proses, Rostow menggunakan analogi dari sebuah
pesawat terbang yang bergerak sepanjang lintasan terbang hingga pesawat itu dapat
lepas landas dan kemudian melayang di angkasa. Pembangunan, dalam arti tujuan,
dianggap sebagai kondisi suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan
konsumsi yang besar pada sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar non-
pertanian, dan c) sangat berbasis perkotaan. Sebagai bagian teori modernisasi, teori
ini mengkonsepsikan pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan
mengikuti model kesuksesan Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori
tahap-tahap pertumbuhan ekonomi ini merupakan contoh terbaik dari apa yang
diistilahkan sebagai “teori modernisasi‟.4

2.2. Teori kritis

Sekitar pada tahun 1930-an, bersama Max Horkheimer, Theodor W. Adorno


telah mempelopori munculnya sebuah Teori, yang kita kenal dengan sebutan Teori
Kritis. Teori Kritis ini dimaksudkan sebagai pemaknaan kembali ideal-ideal
modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal
itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik
borjuis. Yang membedakan antara Teori Kritis dengan pemikiran filsafat dan
sosiologi tradisional sebelumnya adalah bahwa pendekantan teori ini tidak bersifat
kontemplatif atau spektulatif murni. Adorno juga keberatan terhadap filsafat
sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal
ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan
pemikiran metodologis, menurutnya memiliki kecenderungan untuk sampai pada
kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-
premisnya.
Melalui bukunya, Dialektika Pencerahan, Adorno dan Horkheimer
sebenarnya tidak menolak adanya pencerahan, namun masalahnya adalah bahwa

4
Piotr Sztomka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2008.

12
pencerahan yang sesungguhnya belum berhasil menghilangkan mitos. Bahkan pada
titik tertentu, Pencerahan sendiri malah menjadi mitos. Ilmu pengetahuan harus
bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan
pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran
disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan
justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri.5 Selain bahwa pencerahan mengalami
kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat.
Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami
satu dimensi.6
Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling
keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah
totalitas dan bentuk kongkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis
diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai
pusat. Sebuah Teori menjadi ”kritis” dengan menegaskan ketidakadilan, egoisme,
dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Sebenarnya, di dunia filsafat, Teori Kritis ini bukanlah merupakan sesuatu
yang baru. Apa bila kita tengok lagi ke belakang sebelum Teori ini di suarakan oleh
Horkheimer dan Adorno tersebut, telah menjadi tradisi di dunia filsafat yang ada di
Jerman. Teori Kritis muncul dan mempengaruhi konsep rasionalitas dan tindakan
masyarakat Jerman pasca industri. Teori Kritis ini bermula pada Filsafat Kritis yang
yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Kant berusaha menganalisa syarat-syarat, serta
batas-batas kemampuan rasional dalam dimensi-dimensinya yang murni dan praktis-
etis. Dengan demikian maka kritik ala Kant ini dijalankan menggunakan prinsip-
prinsip rasio yang menurutnya secara transenden dan immanen.7
Pada dasarnya Teori Kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke
berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh
di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh

5
Max Horkheimer & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika
Pencerahan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.
6
Marcuse, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society, London:
Routledge, 1964.
7
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981, hal 146.
13
pemikir di dalam ranah Teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual.
Artinya mayoritas pemikir Teori kritis bersikap negatif dan mencurigai terhadap
semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun.
Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Dengan kata
lain, setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena
selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth Teori kritis tidak
lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural
(terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar
perkembangan kultural suatu masyarakat.8
Secara umum, Teori Kritis yang di pelopori Horkheimer dan Adorno ini
banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di
dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak
untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai
kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat.
Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi
relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah
mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri.
Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi
besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi
dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.9
Dapatlah dikatakan bahwa secara umum pada zaman sekarang ini para filsuf
telah melangkah lebih maju, bahwa masalah sosial yang perlu dikaji bukan sekedar
membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan lebih memahami konsep
keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya bahwa dalam
menilai sesuatu itu telah berlaku keadilan atau tidak, bukanlah sesuatu yang selalu
bersifat universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami
terlebih dahulu sesuai dengan situasi dan kondisi kultur, budaya, dan masih banyak
hal-hal lain yang bersifat lokal. Maka jelas, bahwa jika proses pencerahan dan
pembebasan hendak dilakukan, terlebih dahulu kita harus memahami ketidakadilan

8
Axel Honneth, Cambridge Companion to Critical Theory, Cambridge: Cambridge University Press,
2004, p 338.
9
Ibid., p 337.
14
lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang
yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
2.3. Definisi Konsep Budaya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies)

Kajian disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu mendefinisikan istilah budaya
(culture) yang dimasukkan ke dalam konsep masing-masing disiplin humaniora dan
sosial, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi dan seterusnya.
Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar10. Dan, James Spradley nampaknya hampir sependapat
dengan Koentjaraningrat. Ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan
yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan
untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi
perilaku dalam menghadapi dunia sekitar. Lebih khusus, dalam terminologi disiplin
Kajian Budaya (Cultural Studies) menyajikan bentuk kritis atas definisi budaya yang
mengarah pada "the complex everyday world we all encounter and through which all
move"11.
Budaya secara luas adalah proses kehidupan sehari-hari manusia dalam
skala umum, mulai dari tindakan hingga cara berpikir, sebagaimana konsep budaya
yang dijabarkan oleh Kluckhohn. Pengertian ini didukung juga oleh Clifford Geertz,
kebudayaan didefinisikan serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana
dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya.
Dalam kajian budaya atau Cultural Studies, konsep budaya dapat dipahami seiring
dengan perubahan perilaku dan struktur masyarakat di Eropa pada abad ke-19.
Perubahan ini atas dampak dari pengaruh teknologi yang berkembang pesat.
Istilah budaya sendiri merupakan kajian komprehensif dalam pengertiannya
menganalisa suatu obyek kajian. Contohnya, selain ada antropologi budaya juga
dikaji dalam studi Sosiologi, Sejarah, Etnografi, Kritik Sastra bahkan juga
Sosiobiologi. Fokus studi kajian budaya ini adalah pada aspek relasi budaya dan
kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di
10
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 1990, hal 180.
11
Andrew Edgar and Peter Sedgwick (ed.), Cultural Theory The Key Concepts, Routledge, 1999, p 102.
15
Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai
konsep budaya atau "culture" merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga
bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki
nilai guna. Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan
universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini
terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma.
Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan
makna semua orang dalam menjalani hidup mereka 12. Kebudayaan yang
didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya' sebagai keseluruhan cara hidup.
Sebab ia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama,
institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-
formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga,
bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan
bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan,
tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu.
Dan keenam, cara pengorganisasiannya. Jika dibandingkan dengan pendapat John
Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai secara politis ketimbang estetis. Storey
beranggapan ‘budaya' yang dipakai dalam Culture Studies ini bukanlah konsep
budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek keadiluhungan
estetis (‘seni tinggi') atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan
spritual, melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari13. Dalam hal
ini nampaknya Storey setuju dengan definisi ‘budaya' menurut Raymonds Williams.
Dan, menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung istilah (umbrella
term) yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang menghasilkan
pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya budaya berarti : "Kebiasaan dan
ritual yang mengatur dan menetukan hubungan sosial kita berdasarkan kehidupan
sehari-hari sebagaimana halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan
film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan

12
Chris Barker, Cultural Studies : Teori dan Praktik, Terj. Tim KUNCI Cultural Studies Centre, Bentang,
2005, hal 50.
13
John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, terj. Laily Rahmawati, Jalasutra, 2007, hal 2.
16
kembali atau ditandai-dimaknai-dengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi
tertentu."14

2.4. Konsep Etika, Estetika dan Seni

Dalam setiap kehidupan (interaksi sosial kemasyarakatan) terdapat tata nilai


yang saling berpengaruh, yaitu etika, logika dan estetika. Etika menentukan nilai
baik atau buruk yang dikuasai oleh agama atau kepercayaan (moral), logika
menetapkan nilai benar atau salah yang ditangani oleh ilmu (pengetahuan),
sedangkan estetika berkaitan dengan nilai indah atau jelek yang diberikan oleh seni.
Dalam suatu kebudayaan tatanan tersebut mewujud dalam suatu sistem yang secara
bersamaan menyatu dengan gagasan (ide), tindakan (perilaku) dan hasil karya. Dengan
demikian karya seni merupakan hasil perwujudan ide dan perilaku seniman dengan
ketiga nilai yang melandasinya. Sesuatu yang indah di alam maupun karya seni akan
menimbulkan perasaan yang menjadi pengalaman, ketika itulah seseorang
mengalami penghayatan estetika. Berdasarkan pengertiannya estetika berasal dari
aisthetis (Yunani) yang berarti pencerapan indra. Pencerapan atau persepsi tidak
hanya melibatkan indra, tetapi juga proses psiko fisik seperti asosiasi, pemahaman,
khayal, kehendak, dan emosi.
Pada awalnya estetika adalah bidang filsafat yang berurusan dengan
pemahaman tentang keindahan alam dan seni. “Ilmu estetika adalah suatu ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan.”15 Dalam
perkembangannya hingga kini estetika diartikan sebagai seni yang meliputi
pemilihan dan penyusunan unsur unsur seni serta cara pengungkapannya. Bahasa
logika umumnya digunakan untuk menerangkan kebenaran yang dipengaruhi oleh
pikiran (akal) manusia. Pada realitas pengalaman ini dipakai metode ilmiah yang
dianggap sebagai cara pendekatan terbenar. Di dalamnya dicari sebab-sebab tata cara
rasional, logis, dan objektif terhadap berbagai hal. Dalam pengertian yang lebih luas

14
Tony Bennet, Popular Culture : A Teaching Object, Screen Education (1980) yang dikutip dalam buku
Keith Tester, Media, Budaya dan Moralitas, terj. Muhammad Syukri, Kreasi Wacana dan Juxtapose,
2003, hal 82.
15
A. A. M. Djelantik, Estetika: Sebuah Pengantar, Bandung: 1990, hal 9.
17
lagi, kebenaran berkaitan dengan pertimbangan efisien dan efektif, perhitungan
ekonomis dan pasar, serta kejujuran. Disamping itu hubungan dengan unsur
pelayanan (penampilan), kelayakan, kenyamanan, dan kehandalan. Karena setiap
unsur memiliki karakteristik fisik dan psisis, kekhususan, dan bentuk sifat bawaan,
sehingga dapat diterima oleh akal sehat masyarakat.
Secara umum etika merupakan aturan, ketentuan atau norma tentang apa
yang baik dan buruk. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara
etimologis, etika adalah ajaran tentang baik–buruk, yang diterima umum atau tentang
sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan
moral (mores dalam bahasa latin), akhlak, atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan
masalah nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah–masaah yang
berkaitan dengan predikat nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk. Dalam hal
ini, etika termasuk dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan
dengan baik–buruk perbuatan manusia.
Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada
tiga jenis makna etika sebagai berikut :
1. Etika dalam arti nilai–nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
2. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini
adalah kode etik)
3. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk . Disini
etika sama artinya dengan filsafat moral.
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna
etika yang pertama. Nilai–nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan
manusia. Nilai etik diwujudkan kedalam norma etik, norma moral, norma kesusilaan.
Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena
menyangkut kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah nurani individu dan
bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang
terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan
mencegah kegelisahan diri sendiri.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar tebetuk kebaikan akhlak
pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan
18
jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagaiya. Tidak hanya dilarang oleh norma
kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasaan juga sebagai bertentangan dengan
(norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani
manusia dengan kewajiban–kewajiban saja.
Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat
otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin
manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma
kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaaan diluar dirinya yang memaksakan
sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau penipuan,
maka akan timbullah dalam hati nurani si pelanggar itu rasa penyesalan, rasa malu,
takut, dan merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi
oleh ideologi masyarakat pendukungya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang
amoral, asusila atau tidak etis. Pandangan itu bisa diterima oleh orang dimana saja
atau universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat
penganut kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral. Etika masyarakat
Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku.
Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan juga
mana perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk
berperilaku baik. Manusia yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai
dengan norma–norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai–nilai etik
pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan atau keharusan bahwa budaya yang
diciptakan manusia mengandung nilai–nilai etik yang kurang lebih bersifat universal
atau diterima sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai–nilai etik adalah
budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahakan mampu meningktkan
harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya yang beretika adalah
kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat
kemanusiaan.

19
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan
manusia itu memenuhi nilai–nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah
bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini masyarakat pendukung
kebudayaan. Hal ini dikarenakan berlakunya nilai–nilai etik bersifat universal,
namun amat dipengaruhi oleh ideologi masyarakatnya.
Di samping sebagai kewajiban moral atau kumpulan azas dan nilai-nilai
tentang perilaku dari suatu komunitas termasuk profesi. Pengertian baik atau buruk
tidak sekedar menurut perasaan seseorang, tetapi harus berpijak dari wawasan
religiusitas (keyakinan agama). Meskipun perilaku perbuatan manusia beragam dan
berbeda-beda, tetapi kemanusiaan (tabiat asli manusia) selalu sama, yaitu berpangkal
dari kegiatan akal. Manakala akal telah mampu menyerap nilai-nilai religius, maka
akan mengarahkan seseorang berperilaku sopan, santun, hormat, bijak, ulet dan
kreatif. Dengan demikian melalui tata nilai etika dan logika, seseorang mampu
memelihara kepribadian dan jati dirinya sebagai seorang yang bermoral.
Pada dasarnya bentuk ekspresi seni adalah suatu wadah yang berfungsi
menampung semua muatan ide (gagasan) dan nilai-nilai. Bentuk tersebut sangat
dinamis, berkembang dan terus bergerak, sehingga terbuka untuk semua perubahan.
Namun karena estetika merupakan inti seni dan cerapan indra yang bebas dari
batasan geografis dan ideologi, maka kerangka dasar bentuk estetika tidak seni,
karena adanya perbedaan dalam elemennya. Friedrich Schiller memandang bahwa
keindahan sebagai obyek bagi kita, karena renungan terhadapnya adalah kondisi
yang dapat kita rasakan. Namun keindahan juga merupakan subyek, karena perasaan
adalah kondisi yang memungkinkan kita memperoleh persepsi darinya. Ia juga
berpendapat bahwa seni berhubungan dengan naluri bermain. Naluri bermain itu
adalah mimesis/meniru alam. Dalam bermain terdapat suasana kebebasan tanpa
tujuan praktis, bermain demi permainan itu sendiri, mengarah pada kesenangan
relaksasi. Dalam bermain, manusia bersatu dan menjadi bagian dari alam. Naluri
bermain itu kemudian berubah menjadi estetika ketika manusia mulai memisahkan
dirinya dengan alam dan merenungkan alam itu bagi dirinya.
R. G. Collingwood (1958) mengatakan bahwa seni berhubungan dengan
emosi, apa yang dilakukan seni dengan emosi memiliki kemiripan tertentu dengan
pencetusan, namun tidak mencetuskannya. Seni lebih mengekspresikan emosi
20
daripada mencetuskannya. Karena apabila seni mencetuskan emosi, seni itu
kemudian akan menjadi craft, dan pada akhirnya seni adalah ekspresi emosi.
Collingwood membedakan antara seni murni dengan craft16 (kerajinan
tangan). Keduanya memang bisa menghasilkan kepuasan estetik pada manusia.
Perbedaannya ada pada tujuan masing-masing. Seni murni bertujuan komunikasi
yang merupakan ekspresi, penuangan perasaan agar sampai kepada orang, sedangkan
craft bertujuan untuk penggunaan praktis, bahwa seni dapat digunakan sebagai alat
yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Collingwood membagi lagi wilayah seni
murni menjadi dua bagian, yaitu seni sejati (proper art) dan seni palsu atau seni
hiburan (false art). Seni sejati merupakan karya-karya seni yang hanya
mengekspresikan perasaan spontan si seniman. Dan semua karya-karya seni lain
yang mengekspresikan sesuatu, digolongkan sebagai seni palsu (seperti kesenian
hiburan yang bermaksud menggugat perasaan tertentu, atau kesenian sakral yang
bermaksud spiritual).
Menurut pengertiannya agama adalah suatu sistem tata keimanan atau tata
keyakinan atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia, serta sistem kaidah
yang mengatur hubungan sesama manusia dan dengan alam lainnya sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud. Agama
yang diwahyukan Tuhan benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia
di bumi ketika menemukan keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Bagi seorang yang
beragama akan senantiasa mencari dan mendapatkan yang benar melalui ilmu, yang
baik melalui akhlak, dan yang indah melalui seni. Apabila pengertian seni dikaitkan
dengan ungkapan perasaan, maka antara seni dan agama saling berhubungan, karena
terdapat unsur emosional. Sebagai suatu manifestasi budaya (ide, rasa, karsa, karya)
manusia, seni adalah bagian dan refleksi dan kehidupan manusia. Seni dan agama
masing-masing berdiri sencliri, keduanya dapat saling berhubungan dalam arena
kegiatan manusia. Akibat saling berhubungan tersebut dapat melahirkan seni tertentu
yang dijiwai dan diwarnai agama tersebut. Hasil ekspresi atau karya seni yang
dimaksud adalah hasil kreasi yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan budaya
masyarakat. Untuk mengekspresikan hubungan manusia dengan Tuhannya dalam
16
http://plato.stanford.edu/entries/collingwood-aesthetics/

21
agama terdapat wilayah yang disebut sendi etika. Setiap ajaran agama menghargai
segala kreasi manusia yang lahir dari penghayatan rasa terhadap semua wujud seni,
selama tidak bertentangan dengan norma agama.
Seni adalah perkara rasa dan seni mesti dirasakan baik oleh seniman
maupun kepada penanggapnya meminta ketajaman kepekaan. Pada hakikatnya rasa
kagum dan pengalaman estetis terhadap alam jagat raya ciptaan Tuhan akan mampu
menumbuhkan rasa iman dan pengalaman religius.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian

Penelitian menggunakan paradigma kritis sebagai cara memahami pola


komunikasi dan interaksi anggota masyarakat Betawi dalam kaitan dengan sistem
kepercayaan dan berkesenian.
Paradigma kritis sangat berperan menyadarkan kita, karenanya perlu
perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Karena teori dan penelitian
ilmu komunikasi sangat berpengaruh terhadap praktek perubahan sosial, maka
paradigma ilmu dan penelitian komunikasi merupakan faktor penting dalam

22
menentukan arah perubahan sosial ke depan. Pandangan ilmu komunikasi kritis ini
menempatkan rakyat sebagi subjek utama perubahan sosial dan rakyat haruslah
diletakkan sebagaipusat proses perubahan dan penciptaan serta mengontrol
pengetahuan itu sendiri. Jadi dalam hal ini,paradigma kritis boleh dikatakan memiliki
dimensi aksi dan politis. Karena menurut paradigma ini tidakmungkin memisahkan
antara teori sosial dan aksi politik, hal merupakan konsekuensi asumsi yangketiga
dimilikinya. Di sinilah nantinya peran ilmu komunikasi seharusnya mampu
memungkinkan setiaporang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya masing-
masing dalam perubahan sosialkemasyarakatan baik tingkat lokal maupun global.

3.2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah pendekatan etnografi.


Dengan istilah etnografi, secara sederhana kita dapat mengartikannya sebagai ilmu
tentang etnos/’folk’ kelompok/bangsa/masyarakat/budaya). Etnografi adalah
deskripsi tentang kelompok manusia, berkembang dari penelitian antropologis
mengenai kelompok masyarakat ‘primitif’/’eksotis’.17
Etnografi kritis melibatkan diri terhadap kajian faktor-faktor sosial, seperti
ketidakadilan, ketimpangan, kekuasaan, dan meneliti asumsi-asumsi akal sehat,
seperti gender.18
Namun pada penelitian ini tidak menitikberatkan pada gender, karena
fokusnya pada kesenian ondel-ondel masyarakat Betawi, apa yang akan dianalisa
secara kritis mengenai pihak-pihak yang turut serta berpengaruh dalam perubahan
etika dan estetika kesenian ondel-ondel. Menurut Kinchelue, etnografi kritis
membolehkan metode yang tidak ditempuh oleh etnografi konvensional, hubungan
antara pembebasan dengan sejarah, tetapi tugasnya adalah untuk mempertanyakan
pengondisian sosial dan budaya terhadap aktivitas sosial manusia dan struktur-
struktur sosiopolitik yang dominan.19
17
E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3, Depok:
2007, hal 126.
18
Daymon dan Holloway 2008:205 dalam Nina W. Syam, Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2012, hal 51
19
Nina W. Syam, Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2012,
hal 52.
23
3.3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan proses


gabungan integral dari banyak teknik pengumpulan data yang ada.
1. Kegiatan lapangan: pengumpulan data di lapangan melalui berbagai
metode seperti penggabungan observasi, partisipasi dan wawancara,
dengan peneliti tinggal di lapangan
2. Penelitan etno-historis: pengumpulan data lebih mendasarkan diri pada
studi dokumen (surat, kisah hidup, catatan harian)

3.4. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari dokumen dan melalui wawancara mendalam


diolah atau dianalisa dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh
dalam penelitian kualitatif adalah data-data yang berbentuk kata-kata, kalimat dan
narasi-narasi. Dalam analisis data pada penelitian kualitatif membutuhkan kepekaan
teoritis, karena dalam keseluruhan proses penelitian khususnya saat menganalisis
data, peneliti sesungguhnya sedang melakukan upaya mengembangkan teori atau
berteori. Hal itu bertujuan supaya memungkinkan peneliti keluar dari keterbatasan
pemikiran entah karena keterbatasan kepustakaan atau karena keterbatasan
pengalaman personal yang dimiliki. Selain itu juga merangsang proses induktif,
memungkinkan klarifikasi dan upaya mengungkap fakta di balik asumsi,
menghindarkan peneliti dari kecenderungan terlalu cepat mengambil kesimpulan
bahwa yang dicarinya telah ditemukan, serta memungkinkan dilakukannya eksplorasi
dan klarifikasi terhadap dugaan dan kesimpulan yang dikembangkan.20

20
E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3, Depok:
2007, hal 164-166.
24
DAFTAR PUSTAKA

A. M. Djelantik, A. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: 1990.


Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Terj. Tim KUNCI Cultural
Studies Centre. Bentang: 2005.
Bennet, Tony. Popular Culture: A Teaching Object, Screen Education (1980) yang
dikutip dalam buku Keith Tester. Media, Budaya dan Moralitas. terj.
Muhammad Syukri. Kreasi Wacana dan Juxtapose. 2003.
Edgar, Andrew and Peter Sedgwick (ed.). Cultural Theory The Key Concepts,
Routledge. 1999.
Honneth, Axel. Cambridge Companion to Critical Theory. Cambridge: Cambridge
University Press. 2004.
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. Dialectic of Enlightenment. terj. Ahmad
Sahidah. Dialektika Pencerahan. Yogyakarta: IRCiSoD. 2002.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. 1990.
Marcuse. One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial
Society. London: Routledge. 1964.
Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,
LPSP3, Depok: 2007.
Rostow, Walt W. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto.
Cambridge: University Press. 1960.
______________. The Stages of Economic Growth dalam Economic History
Review, New Series. Vol. 12, No. 1. Cambridge: Blackwell Publishing.
1959.
Sindhunata. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 1981.

25
Storey, John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. terj. Laily Rahmawati,
Jalasutra: 2007.
Syam, Nina W. Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media.
Bandung: 2012.
Sztomka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2008.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/ondel-ondel-simbol-budaya-jakarta-
yang-kian-menjadi-usang
http://plato.stanford.edu/entries/collingwood-aesthetics/

26

Anda mungkin juga menyukai