Anda di halaman 1dari 6

DRYING BEDS FOR SLUDGE DE-WATERING

Introduction

Drying beds merupakan salah satu alat yang digunakan dalam proses pengolahan
sludge dewatering. Metode ini salah satu metode yang mudah digunakan karena
menggunakan proses yang alami yaitu dengan memanfaatkan sinar matahari. Hasil
pengolahan sludge melalui drying beds yang berbentuk lumpur kering memiliki beberapa
manfaat, diantaranya untuk aplikasi lahan pertanian. Saat proses pengeringan, akan dihasilkan
biosolid, dimana biosolid akan bertindak sebagai fertilizer hasil panen. Nitrogen organik dan
fosfor yang ditemukan dalam biosolid, akan dimanfaatkan oleh tanaman beramaan pada saat
tanaman tersebut kehilangan nutrisi secara perlahan-lahan saat proses pertumbuhan. Selain
untuk penerapan pada lahan pertanian, hasil pengeringan lumpur dari drying beds juga dapat
diterapkan sebagai top dressing pada fairway yang ada pada lapangan golf, soil conditioner
pada pembangunan taman, dan soil subtitute. Selain dari segi manfaat, drying bed merupakan
salah satu teknik yang unggul dari segi biaya. Biaya investasi untuk pembuatanya dianggap
paling rendah. Sedangkan untuk biaya operasi dan pmeliharaan hanya biaya tenaga kerja saja
yang harus dipertimbangkan.

Beberapa alasan keunggulan yang telah dijelaskan, maka drying beds for sludge de-
watering penting untuk dilakukan analisis dan dikaji secara lebih mendalam.

Sludge Treatment

Dalam proses pengolahan air limbah terdapat beberapa tahap proses yang harus
dilewati. Salah satu proses yang harus dilewati, yaitu adanya prasedimentasi yang berfungsi
untuk mengendapkan partikel-partikel ataupun kotoran dalam air limbah. Adapula proses
sedimentasi yang dilakukan setelah melalui proses koagulasi dan flokulasi yang bertujuan
untuk mengendapkan partikel yang lebih kecil yang tidak dapat mengendap pada proses
pertama. Dari berbagai macam tahap dalam IPAL selain dihasilkan hasil pengolahan air
limbah atau effluent tentu dihasilkan pula lumpur dari hasil pengendapan yang perlu diolah
lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan. Dari hasil pengolahan IPAL tersebut juga perlu
diperhatikan karakteristik lumpur yang dihasilkan untuk mengetahui metode pengolahan yang
digunakan. Karakteristik lumpur tergantung dari sumber lumpur, dimana diantaranya adalah:

o Lumpur dari grit chamber dan sedmentasi I merupakan padatan/lumpur kasar (kebanyakan
anorganik)
o Lumpur dari sedimentasi II mengandung padatan tersuspensi dan bahan kimia koagulan,
misalnya lumpur alum.
o Lumpur dari filter merupakan lumpur alur yang tidak mengendap di bak sedimentasi.

Tujuan penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan


setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak memiliki dampak
lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan atau pengurangan kadar air
dapat dilakukan melalui beberapa cara. Terdapat banyak alternatif pengolahan lumpur
yang dapat dilakukan, salah satunya yaitu dengan mengeringkan lumpur yang
disebut dengan Dewatering. Metode dewatering yang umum dilakukan
diantaranya adalah vacum filter, filter press, horizotal belt filter, centrifugation,
dan sludge drying bed.

Sludge Dewatering

Proses dewatering memiliki prinsip yang sama dengan thickening, yaitu mengurangi
konsentrasi air dalam lumpur. Yang membedakan adalah konsentrasi akhir dari padatan yang
diperoleh. Pada thickening, sasaran konsentrasi padatan yang diinginkan adalah <15%. Dalam
hal ini sludge masih bisa dipompa selayaknya air limbah. Sementara itu, pada dewatering,
konsentrasi akhir padatan yang diinginkan adalah lebih dari 15% sehingga pemompaan tidak
mungkin dilakukan karena sludge sudah memadat dengan viskositas tinggi. Instrumen yang
dapat digunakan untuk proses dewatering antara lain filter press, belt press, dan
centrifuge. Secara alami, proses dewatering dapat juga dilakukan dengan cara mengeringkan
lumpur (menjemur di bawah sinar matahari) pada suatu drying bed.

Drying Beds

Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering lumpur.
Sludge drying bed adalah metode umum yang digunakan untuk mengairi lumpur melalui
penyaringan dan penguapan. Pipa berlubang yang terletak di dasar drying bed digunakan
untuk mengalirkan air rembesan atau filtrat. Kadar air berkurang sebesar sekitar 35% setelah
pengeringan.

Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara gravitasi dan
penguapan sinar matahari. Lumpur yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung
tanpa proses pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed. Sludge drying
bed berfungsi untuk menampung lumpur pengolahan baik dari proses kimia maupun proses
biologi, serta berfungsi untuk memisahkan lumpur yang bercampur dengan air dengan cara
proses penguapan menggunakan energi matahari.

Gambar 1. Desain drying beds for sludge


dewatering
Deskripsi bak pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-
20 cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring
(filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran atau pipa
pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil (diameter 10-30 mmÆ) setebal 20 cm
dan lapisan pasir kasar (3-5 mmÆ) setebal 20-30 cm. Media penyaring merupakan bahan
yang memiliki pori besar untuk ditembus air. Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media
penyaring yang sering digunakan. Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1
kali sehari dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya tembus
panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur masuk terlalu banyak,
permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan bawah masih basah, sehingga
pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar,
sehingga pengurangan kadar air tidak terjadi. Pengurangan kandungan air dalam lumpur
menggunakan sistem pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui
saringan dan penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan
kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir) tersumbat maka proses
pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air pada bak
pengering lumpur seperti ini bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat
dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari,
hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur kolam
pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari (Anonim,2017).

Gambar 2. Bagian-bagian drying beds

Gambar 3. Sludge dewatering processes using drying


beds
Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya
operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan padatan yang
tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung
cuaca.

Types of sludge drying beds (Wang,2010):

1. Conventional san drying beds


Merupakan metode pengeringan yang paling umum digunakan. Pada sand drying
beds, banyak variasi desain yang mungkin dilakukan, termasuk tata letak pipa
drainase, ketebalan, dan jenis pasir yang digunakan. Sand drying beds ditunjukkan
pada Gambar 4.

Gambar 4. Typical sand drying beds

2. Paved Drying Beds

Untuk jumlah tertentu, paved drying beds membutuhkan lebih banyak tempat
dari pada sand drying beds. Keuntungan utamanya adalah front-end loaders yang ada dapat
dimanfaatkan untuk sludge removal dan mengurangi maintenance. Desain paved drying beds
ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Typical paved drying beds

3. Wedge-wire drying beds

Wedge-wire drying beds memperkenalkan media drainase horizontal yang relatif


terbuka dengan cara menghasilkan filtrat bersih dan hal tersebut menghasilkan laju drinase
yang lebih baik. Beberapa keuntungan dari wedge-wire drying beds adalah drainase yang
cepat dan konstan, perawatan yang mudah dan proses pelepasan lumpur yang lebih mudah
dibandingkan sand drying beds. Wedge-wire beds dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Wedge-wire drying beds


References

Anggraeni,D, Budisulistiorini, S.H, Sutrisno, E. 2010. Perencanaan Reaktor Lumpur IPAL


Domestik Mojongsongo Surakarta. Jurnal Presipitasi Vol. 7 (1). Hal 23-31.

Anonim.2017.http://oldlms.unhas.ac.id/claroline/backends/download.php?url=L1BlbmdvbGF
oYW5fTHVtcHVyLnBkZg%3D%3D&cidReset=true&cidReq=340D123. diakses pada
tanggal 31 Oktober 2017.

Anonim.2017. https://www.slideshare.net/shankarmujoo/sludge-drying-beds. diakses pada


tanggal 31 Oktober 2017.

Prabowo, H.D, Purwanti, I.F. 2015. Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Hotel X di
Surabaya. Jurnal Teknik ITS Vol. 6 (1). Hal 144-148.

Radaidah, A.J, Kamel, K, Zboon,A. 2011. Increase the Efficiency of Conventional Sand
Drying Beds by Using Intensive Solar Energy : A Case Study From Jordan. 2nd
International Conference on Enviromental Science and Technology Vol 6.

Vincent, J, Molle, P, Wisniewski, C, Lienard, A. 2011. Sludge Drying Reed Beds For
Septage Treatment : Towards Design and Operation Recommendations.
International Journal Of Bioresource Technology.

Wang, L.K, Ivanov, V, Tay, J.H, Hung, Y.T. 2010. Enviromental Biotechnology. Humana
Press: India

Anda mungkin juga menyukai