Anda di halaman 1dari 19

ASEAN sebagai Instrumen Adaptasi Singapura terhadap

Globalisasi

Rindi Eka Rachmawati4


Dian Mutmainah

Abstract

This paper addresses the ability of Singapore to adapt to global economic


challenges through regionalism. Using Moravcsik’s liberal intergovernmentalist theory,
it investigates how Singapore consistently exerts its orientation to implement trade
liberalization and economic integration in ASEAN. Focusing on one of three areas of
national preferences, this paper found that Singapore has been dynamically adapted to
external challenges. These capacities in turn influenced its external strategies. Instead
of seeing its neighbours in ASEAN as competitors, Singapore views their comparative
advantages as part of its economic strategies. This gives Singapore a good (and
convincing) position to lead other ASEAN members to deeper and wider economic
integration.

Keywords: regionalism, ASEAN, Singapore, globalization.

Pendahuluan

Globalisasi secara sederhana dapat dipahami sebagai peningkatan


intensitas hubungan politik, ekonomi, dan budaya lintas negara. Iaterjadiberkat
dukungan teknologi komunikasi dan transportasi yang mengalami kemajuan
sangat pesat sehingga memungkinkan aliran manusia maupun barang lintas batas
negara meningkat dalam jumlah maupun jenisnya. Kemajuantersebut pada
gilirannya mendorong adanya penyesuaian-penyesuaian sebagai bentuk adaptasi
terhadap perubahan pola interaksi global. Inilah mengapa globalisasi disebut
sebagai “the driving force” bagi perubahan-perubahan dalam pola interaksi
global (David Held, et.al 1999:8). Hampir tidak ada bagian kehidupan yang
tidak tersentuh oleh arus globalisasi. Dalam pola interaksi yang dinamis tersebut,
negara didorong untuk terus menemukan strategi-strategi baru di tingkat
nasional, regional, maupun global untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Penulis utama adalah alumni Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Penulis kedua adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

55
Berdasarkan kapasitas global, ada dua posisi yang bisa diambil oleh sebuah
negara: menjadi “penggerak globalisasi” atau menjadi pengikut saja.
Regionalisme adalah salah satu bentuk strategi untuk menghadapi
globalisasi. Corrales mendefinisikan regionalisme sebagai “state effort to deep
the integration of particular regional economic spaces.” (Corrales, 2012:8).
Regionalisme merupakan salah satu upaya melindungi negara-negara yang
berada dalam suatu kawasan dari efek negatif globalisasi dan pasar bebas.
Inidilakukan karena negara secara individu dianggap tidak memiliki kapasitas
yang memadai untuk membuat regulasi yang dapat mengurangi dampak dari
pergerakan modal yang tidak terkontrol. Negara-negara dalam suatu kawasan
dapat berkoalisi dengan menyatukan keunggulan komparatif pada area tertentu
sehingga dapat melindungi produksi mereka secara bersama-sama untuk
menghadapi pesaingdari luar kawasan.
Singapura adalah salah satu contoh negara yang mampu memanfaatkan
kerjasama regional dalam ASEAN (Association of South East Asian Nations)
untuk meningkatkan kapasitasnya dalam kompetisi global. Melalui ASEAN,
Singapura berhasil mengamankan, bahkan memperluas pasarnya dalam
persaingan global. Tulisan ini akan berfokus pada wilayah isu yang pertama,
yaitu mengenai bagaimana upaya Singapura melakukan perluasan (akses) pasar
terutama melalui regionalisme ASEAN sebagai respon terhadap perkembangan
ekonomi global. Sebelumnya, akan diuraikan terlebih dahulu strategi ekonomi
Singapura dalam merespon ekonomi global.

Regionalisme menurut Teori Liberal Intergovernmentalist

Teori liberal intergovermentalist (TLI) merupakan perkembangan dari


intergovernmentalism yang berfokus pada kepentingan negara. Asumsinya,
kepentingan negaralah yang mendorong ide-ide integrasi dan kemudian
disepakati melalui perjanjian regional (Fabbrini, 2012:10 ). Asumsi ini kemudian
dikembangkan dalam TLI melalui dua asumsi dasar. Pertama, TLI melihat
negara sebagai aktor tunggal. Sekalipunpada dasarnya negaraterdiri dari
beberapa aktor lain, namun pada akhirnya konstelasi antaraktor tersebut akan
menghasilkan satu kecenderungan sikap nasional sebuah negara. Teori ini juga

56
mengakui peran masyarakat dalam pembentukan preferensi nasional sebuah
negara. Tujuan kebijakan luar negeri suatu negara dipandang sebagai bentuk
respon dari tekanan kelompok kepentingan domestik yang bersatu dalam
institusi politik dan menghasilkan isu untuk membentuk preferensinasional.
Preferensi nasional inilah yang digunakan sebagai acuan dalam negosiasi di
level regional (Moravscik & Schimmelfennig, 2009:3).
Kedua, di level regional liberal intergovermentalist berasumsi bahwa
negara-negara adalah para actor dalam interaksi sebuah kawasan.Namun,
berbeda dengan kaum realis yang memandang pencapaian tujuan nasional
dilakukan melalui koersi negara besar terhadap negara kecil, Andrew Moravscik
memandang negosiasi sebagai mekanisme sukarela untuk melakukan kerjasama.
Negara sebagai aktor utama dipandang memiliki kerangka berpikir yang rasional
sehingga hasil negosiasi merupakan pilihan rasional setiap negara (Moravscik &
Schimmelfennig, 2009: 7). Namun demikian, Moravscik juga mengakui adanya
kecenderungan bahwa preferensi nasional setiap negara yang terlibat dalam
negosiasi di tingkat regional (interstate bargaining) berbeda satu sama lain.
Setiap negara akan melihat keuntungan dan kerugian yang didapat dari hasil
negosiasi sesuai dengan preferensi nasionalnya (Moravscik, n.d:480)
Moravcsik melihat bahwa regionalisme merupakan bentuk realisasi isu
yang diakomodasi oleh seluruh pemerintah negara anggota sebagai bentuk
respon domestik terhadap kebijakan internasional. Dalamkonteksini, liberal
intergovermentalism melihat pentingnya pengaruh aktor-aktor domestik
terhadap hasil keputusan pemerintah (Moravcsik & Nicolaidis, n.d.). Secara
sederhana, dapat diandaikan bahwa kelompok kepentingan mengartikulasikan
berbagai preferensi domestik yang kemudian diaplikasinoleh pemerintah dalam
kebijakan nasional. Lebih lanjut, preferensi dijelaskan oleh Moravscik:

By Preference, I designate not simply a particular set of policy


goals, but a set of underlying national objectives independent of any
particular international negotiation to expand exports, to enhance
security vis-a-vis a particular threat or to realize some ideational
goal. (Moravscik, 1998: 20)

Namun demikian, tidak berarti bahwa preferensi nasional murni dibentuk


oleh tekanan dari masyarakat karena pemimpin negara juga berperan besar

57
dalam membangun koalisi kelompok di tingkat domestik. Kelompok
kepentingan juga tidak selalu memiliki pengaruh secara langsung. Perusahaan
atau pebisnis, misalnya, tidak menunjukkan pengaruh mereka melalui alokasi
suara dalam pemilihan umum, tetapi menjadi sangat berpengaruh dalam
pembuatan keputusan soal investasi dan pergerakan aset dalam negeri
(Moravscik, n.d:480). Hubungan antara kelompok masyarakat dan pemerintah
digambarkan sebagai hubungan antara principal dan agent, dimana kelompok
kepentingan mendelegasikan kekuatan melalui pemerintah sebagai agen
sehingga muncul preferensi tertentu yang kemudian dianggap sebagai
kepentingan nasional. Kelompok kepentingan yang dimaksud disini adalah
kelompok yang paling kuat dan berpengaruh secara politik (Moravscik, n.d:486).
Melalui buku The Choice For Europe, Moravcsik melihat bahwa
preferensi nasional terbentuk melalui dua motivasi kepentingan, yaitu
kepentingan geopolitik dan kepentingan ekonomi (Moravscik, 1998:21).
Kepentingan geopolitik mengacu pada motivasi suatu negara untuk melindungi
kedaulatan nasional atau integritas teritorialnya karena adanya perasaan
terancam oleh pihak (negara) lain baik secara politik maupun ideologi. Isu
keamanan menempati posisi teratas dalam hirarki prioritas kebijakan luar negeri.
Artinya, integrasi ekonomi bukanlah tujuan akhir sebuah negara dalam
regionalisme, melainkan sebagai bentuk manipulasi high politics Negara
terhadap sektor ekonomi untuk menjamin keamanan teritorialnya. Motivasi
keduaadalah kepentingan ekonomi, yang didorong oleh kesaling-tergantungan
secara ekonomi (Moravscik, n.d :484). Motivasi ini berangkat dari asumsi dasar
keamanan nasional liberal bahwa preferensi nasional bertujuan untuk mencapai
keuntungan komersial, yaitu untuk mengatur aliran barang, jasa, faktor produksi
dan ekonomi. Moravcsik sendiri lebih melihat bahwa tekanan domestik berasal
dari motivasi komersial seperti ini. Peningkatan aliran barang maupun jasa ke
sebuah negara akan mendorong eksternalitas kebijakan internasional, yaitu
kebijakan yang dibuat suatu negara untuk menjatuhkan kerugian kepada negara
lain, misalnya melalui proteksi, sehingga harga barang atau jasa dari negara lain
semakin tinggi. Untuk itu, produsen dari negara lain mengharapkan pemerintah
melakukan koordinasi kebijakan dengan pemerintah negara tujuan ekspor untuk

58
menghindari dampak negative kebijakan tersebut. Di pihak negara pengimpor,
kelompok kepentingan akan menekan pemerintah dalam pembentukan preferensi
nasional. Namun, pemerintah bisa jadi memiliki pandangan lain sebagai bentuk
konfigurasi preferensi pemerintah yang berorientasi pada kesinambungan
transaksi sebagai pijakan kepentingan nasional negara. Itulah mengapa hasil
negosiasi akhir tidak selalu menguntungkan semua kelompok kepentingan
domestik (Sion, n.d.). Menggunakan asumsi kesaling-tergantungan ekonomi,
Moravscik membagi konfigurasi preferensi pemerintah dalam tiga wilayah isu
(Moravscik, n.d:484) sebagai berikut.

• Commercial liberalization
Area ini berfokus pada isu komersil untuk mendapat keuntungan dari
liberalisasi melalui perluasan (akses) pasar domestik ke internasional. Dalam hal
ini, kelompok pendorong utama adalah kelompok yang mendukung liberalisasi
seperti produsen atau investor. Isu komersial ini digunakan untuk memposisikan
negaradalam kompetisi domestik maupun internasional gunameningkatkan
keuntungan. Jika kepentingan produsen kuat, pemerintah akan menyesuaikan
diri kepada mereka. Namun, dalam kasus lain, preferensipemerintah bukan
sebagai cerminan dari tekanan kelompok kepentingan, tetapi kepentingan
pemerintah dalam menggunakan hasil kebijakan regional untuk menekan
kelompok penentang liberalisasi. Hasil kebijakan tersebut digunakan sebagai
landasan strategi industri nasional yang dimaksudkan untuk mempromosikan
pertumbuhan ekonomi dan mendorong kelompok domestik untuk ikut dalam
perdagangan bebas.
• Social economics
Area kebijakan ini digunakan untuk mengatasi kegagalan liberalisasi dan
menjamin stabilitas makro ekonomi, misalnya keamanan sosial, standar
keamanan dan proteksi lingkungan. Isu ini cenderung didorong oleh dua
kelompok kepentingan, yaitu produsen dan masyarakat yang melihat bahwa
kesaling-tergantungan ekonomi cenderung membuat keadaan lebih buruk
sehingga diperlukan harmonisasi kebijakan antarnegara. Jika tekanan dari
masyarakat kuat, pemerintah akan mengikutinya. Selain itu, isu ini biasanya

59
digunakan oleh pemerintah yang memiliki kekuatantawar yang lemah untuk
menaikkan posisi tawarnya dalam koordinasi kebijakan di level regional.
• Political, institutional or redistributional policies
Kebijakan di area ini digunakan untuk memfasilitasi kebijakan di dua area
sebelumnya. Ini didasarkan pada argument bahwa koordinasi kebijakan
cenderung tidak pasti sehingga perlu adanya kerjasama politik untuk
menyeimbangkan, misalnya dengan membentuk institusi. Area ini bersifat
simbolik dan ideologis serta cenderung tidak diminati oleh kelompok
kepentingan komersial sehingga pemerintah memiliki peran yang cukup besar.

Strategi Adaptasi Singapura terhadap Perkembangan Ekonomi


Global

Kelemahan utama Singapura sebagai pusat perdagangan dunia adalah


terbatasnya akses modal, rendahnya profesionalisme dalam perdagangan lokal,
mahalnya harga sewa tanah, dan tingginya upah dalam negeri (Rekomendasi
Working Group on Trading, 2002: 5). Untuk mengatasi semuahal tersebut,
Singapura berupaya untuk membuka akses dengan pasar-pasar baru melalui
kebijakan perdagangan bebas (free trade area, FTA). Ini menjadi penting karena
sebagai “small city state with no hinterland,”Singapura harus berupaya
meningkatkan kapasitas pasar domestik dengan memastikan hubungan eksternal
sesuai dengan agenda kebijakan domestiknya (Wong, 2012: 39).
Seperti negara lainnya, Singapura juga memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam menghadapi globalisasi. Secara geografis, Singapura berada diantara
Malaysia dan Indonesia yang dipisahkan oleh laut dengan luas wilayah 697 km2
(687 km2 darat dan 10 km2 laut), menempati urutan ke-192 dari 252 negara
(World Factbook, 2012). Dengan luas tersebut, tentu saja Singapura tidak
memiliki potensi yang cukup tinggi dalam penyedian sumber daya alam. Namun
demikian, Singapura menjadi salah satu negara yang makmur di dunia dengan
Gross Domestic Product (GDP) setara dengan negara-negara di Eropa Barat.
Untuk meningkatkan perekonomian nasionalnya, Singapura memaksimalkan
potensi negara melalui prinsip pembangunan berorientasi ekspor dan ekonomi
pasar bebas (Kim, 2005: 164). Singapura menjalankan itu melalui kebijakan luar
negeri yang berprinsip pada rasionalitas ekonomi, dimana Singapura melakukan

60
hubungan diplomatik dengan negara manapun yang sesuai dengan kepentingan
nasional Singapura, meskipun berbeda sistem, ideologi dan politik (Laporan
Konferensi the ASEAN-China Regional and Sub-regional Cooperation
Workshop, 2009).
Sejak merdeka, Singapura telah meningkatkan GDP secara signifikan,
bergerak dari $500 per kapita yang naik menjadi $10,000 per kapita di tahun
1985 dan terus meningkat menjadi $41,700 di tahun 2007 (Porter, 2008:1).
Keberhasilan ini dikarenakan inovasi dan strategi Singapura dalam
memaksimalkan potensi yang ia miliki. Padahal, di awal perkembangannya,
Singapura merupakan negara dengan Gross National Product (GNP) yang
rendah dan populasi yang tinggi, disertai meningkatnya pengangguran dan
lemahnya infrastruktur (Yuen, 2000:3). Singapura kemudian membentuk
statutory board, yaitu EDB untuk mempromosikan pembangunan ekonomi pada
sektor swasta dan menarik investasi asing ke Singapura (Yuen, 2000:6).
Di tahun 1970-an, pemerintah Singapura meningkatkan keunggulan
komparatif melalui spesialisasi produk manufaktur, misalnya perangkat
komputer, peripheral dan paket software. Industri ini mulai berkembang seiring
dengan meningkatnya permintaan produk manufaktur dan tenaga ahli. Namun,
strategi spesifikasi tersebut diikuti oleh negara Asia Tenggara lainnya seperti
Malaysia dan Thailand. Keadaan ini memicu persaingan antara negara-negara
ASEAN karena mereka sama-sama mengembangkan produk manufaktur dengan
harga buruh yang lebih rendah. Merespon hal tersebut, pemerintah Singapura
membuat kebijakan dengan memberi upah buruhyang tinggi untuk mendorong
industri menuju high technology seperti yang diungkapkan Menteri Perdagangan
Goh Chok Tong:

[T]o induce entrepreneurs and managers of capital to increase


efficiency of production by restructuring, automation and
rationalization … “We also encourage them to upgrade into higher-
technology industries that can generate more value-added products
… with relish of inefficient firms going bankrupt, releasing skilled
workers to successful companies that can make better use of them.”
(Porter, 2008: 12)

61
Singapura menyebut periode tersebut sebagai Second Industrial Revolution yang
ditandai dengan pengembangan institusi teknologi bersama Jepang, Jerman dan
Perancis untuk memenuhi kebutuhan industri world class high-technology
(Yeung, 1999). Melalui strategi ini pula, Singapura tumbuh menjadi city-state
yang cukup diakui dalam penguasaan teknologi.
Masuknya perusahaan multinasional ke negara-negara Asia Tenggara
lainnya pada awalnya dilihat sebagai tantangan bagi Singapura. Untuk itu,
Menteri Perdagangan Singapura Lee Hsien Loongmelihat perlunya restorasi
ekonomi dalam meningkatkan kemampuan Singapura agar lebih kompetitif.
EDB kemudian merumuskan tujuan baru dengan menempatkan Singapura
sebagai Global City: Singapura diproyeksikan menjadi markas besar berbagai
perusahaan multinasional di negara-negara Asia Tenggara (Tan, 2009: 7).
Dengan teknologi yang dimiliki, Singapura diposisikan sebagai pusat total bisnis
manufaktur dengan memberikan fasilitas jasa riset dan pengembangan,
penjualan, pemasaran, maupun peningkatan nilai tambah barang manufaktur.
Singapura juga mulai mengembangkan peluang komoditi baru yang mengarah
pada service-intensive dengan mendorong perusahaan jasa di bidang finansial,
pendidikan, gayahidup, kedokteran dan teknologi. Dari sini, Singapura dituntut
untuk meningkatkan infrastruktur dan tenaga ahli bertaraf internasional (Tan,
2009:8).
Namun, kecilnya pasar Singapura menjadi hambatan dalam pelaksanaan
proyek di atas. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menerapkan strategi
perluasan pasar yang disebut dengan Regionalisation 2000 (Yeung: 1999, 8).
Melalui strategi ini, Singapura berharap dapat mencontoh keberhasilan Belanda
dan Norwegia untuk mengembangkan diri melalui “external wing” yang
mendorong perusahaan lokal baik swasta maupun GLC’s untuk memperluas
operasi mereka di luar negeri, khususnya di Malaysia, Thailand, Indonesia,
Vietnam, China, dan India (Wong, 2012:48). Perusahaan-perusahaan Singapura
diarahkan untuk bersinergi dengan keuntungan komparatif perusahaan-
perusahaan milik negara-negara tetangga. Dengan mengadopsi perspektif ini,
meningkatnya jumlah perusahaan multinasional yang masuk ke negara-negara

62
Asia Tenggara lain tidak lagi dianggap sebagai ancaman, tetapi menjadi peluang
baru bagi Singapura untuk memperluas pasar di daerah tujuan (Tan, 2009:7).
Perluasan pasar Singapura juga didukung oleh strategi yang berorientasi
pada peningkatan kapasitas penguasaan teknologi untuk mendukung industri
berbasis pengetahuan. Strategi Industry-21 (I-21) yang diluncurkan pada tahun
2001merupakan upaya untuk mengembangkan manufaktur dan industri jasa
yang didasari oleh ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy,
KBE) melalui pengembangan teknologi, inovasi, dan peningkatan kapabilitas
untuk membuat kemakmuran dan standar hidup dunia (Tan, 2009:9). Untuk
merealisasikan I-21, EDB membuat lima strategi yaitu: mendiversifikasi kluster
sektor industri utama; membangun kemampuan kelas dunia dan cakupan global;
mempromosikan inovasi; mengembangkan bakat lokal dan menarik bakat asing;
serta menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan berkelas dunia (Tan,
2009: 9-12). Setidaknya terdapat sepuluhsektor yang menjadi prioritas dalam
strategi pengembangan ekonomi Singapura, yaitu elektronik, obat-obatan,
pengetahuan hidup (live sciences), enginering, pendidikan, kesehatan, logistik,
komunikasi, media, danpusat regional perusahaan multinasional.
Singapura melihat bahwa globalisasi dan percepatan teknologi
memberikan kesempatan untuk meningkatkan perekonomian (Summaries The
ERC’s Recommendation Part 2, 2003:32). Globalisasi mendorong setiap negara,
bahkan setiap orang, untuk menggunakan teknologi dalam banyak sektor
kehidupan. Kebutuhan ini dilihat sebagai peluang ekonomi bagi Singapura yang
kemudian berusaha memposisikan diri sebagai Pusat Teknologi Informasi dan
Komunikasi (Infomation and Communication Technology (ICT) Hub) (Siow
et.al, 2003). Strategi ini dianggap rasional karena Singapura telah berkembang
menjadi negara berteknologi tinggi. Ia memungkinkan perluasan keuntungan
Singapura di berbagai aktivitas lain, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan,
jasa dan perdagangan sehingga menjadikan Singapura sebagai pusat aktivitas
dunia (Global Hub)
Di tahun 2001, Perdana Menteri Goh Cok Thong membentuk Economic
Review Committe dengan melibatkan pebisnis, organisiasi buruh maupun
pemerintah untuk membahas dan mengkaji ulang strategi pemerintah dan EDB.

63
Forum ini dapat dilihat sebagai bentuk koalisi domestik pemerintah dalam
melibatkan aktor-aktor non-state untuk mengartikulasikan kepentingan
Singapura. ERC memberikan rekomendasi utamanya pada bulan Februari 2003
sebagai berikut (Summaries The ERC’s Recommendation Part 2, 2003):
Pertama, Globalised economy, Singapura menjadi kunci utama dalam jaringan
global, terhubung dengan semua sistem ekonomi negara. Kedua, Creative and
entrepreneurial, pembangunan bangsa yang bersedia untuk mengambil risiko
dalam membuat bisnis baru dan semangat baru untuk sukses. Ketiga, Diversified
economy, diversifikasi ekonomi yang didukung dengan manufaktur dan jasa,
dimana perusahaan pendukung perusahaan multinasional dan pebisnis pemula
saling berdampingan dengan bisnis yang sudah ada dengan memanfaatkan ide
yang baru dan inovatif. Dari berbagai rekomendasi tersebut dapat dilihat bahwa
Singapura tetap pada komitmen untuk melakukan liberalisasi ekonomi yang
integratif terhadap ekonomi global. Inijuga sesuai dengan status
Singapurasebagai anggota WTO (Summaries The ERC’s Recommendation Part
2, 2003:64).
Singapura menempatkan Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai
pesaingutama dalam melakukan upaya survival terhadap globalisasi (Summaries
The ERC’s Recommendation Part 2, 2003:51). Salah satu peluang yang paling
mungkin dilakukan adalah mengombinasikan GDP negara-negara Asia Timur,
terutama China yang mulai melaju dengan industri berorientasi ekspornya dan
Jepang yang memiliki pertumbuhan ekonomi sangat signifikan (Summaries The
ERC’s Recommendation Part 2, 2003:65). ERC menggaris bawahi pentingnya
Singapura untuk bisa menjalankan peran sebagai global city, yaitu menjadi pusat
talenta, perusahaan, dan inovasi, sekaligus menjadi tempat terbaik untuk hidup
dan tinggal di Asia. Singapura diproyeksikan untuk menjadi tuan rumah bagi
perusahaan multinasional Global dan sebagai pusat pertumbuhan jaringan bisnis
global, khususnya yang menghubungkan China, India dan negara-negara Asia
Tenggara.Bagi Singapura, negara-negara Asia Tenggara adalah lingkaran
terdalam yang harus didekati lebih dulu untuk mendukung strategi ekonomi
globalnya yang lebih luas.

64
Strategi Perluasan Pasar Singapura melalui ASEAN

Secara garis besar, strategi perluasan pasar Singapura di ASEAN dapat


dikelompokkan menjadi dua. Pertama, menempatkan ASEAN sebagai external
wing bagi pasar Singapura. Artinya, pasar negara-negara ASEAN pada saat yang
sama juga merupakan pasar bagi Singapura, karena memberikan aliran
keuntungan bagi Singapura. Kedua, menggunakan ASEAN untuk membentuk
pasar Asia Timur gunamengimbangi volume perdagangan AS dan Uni Eropa
sebagai pesaingutama dalam ekonomi global.
Strategi Regionalisasi 2000 yang dijalankan oleh Singapura telah
menjadi salah satu langkah strategis untuk menjadikan pasar regional ASEAN
sebagai “external wing” bagi investor dalam negeri (Yeung, 1999:12). Singapura
telah lama mengembangkan sayap-sayap perusahaannya di negara-negara
ASEAN sehinga pasar Singapura tidak lagi terbatas pada jumlah penduduk
Singapura, tetapi juga pasar ASEAN yang mencapai lebih dari 660 juta jiwa
(Wong, 2012: 51). Bagi Singapura, ASEAN telah menjadi tempat investasi
terbesar melampaui China, UniEropa, maupun Amerika Serikat.
Di negara-negara ASEAN, Singapura telah menciptakan modal,
teknologi dan manajemen terhadap negara dengan harga tanah dan buruh yang
murah seperti GLC yang mulai membangun Sembawang Corp maupun
Singapore Technologyntuk membangun industrial parks di Indonesia dan
Vietnam (Wong, 2012: 36). Proteksi oleh masing-masing negara di Asia
Tenggara memang mengalangi investor Singapura untuk menggunakan sumber
daya negara-negara Asia Tenggara seoptimal mungkin. Namun, Singapura
berupaya menghapus hambatan tarifataunon-tarif barang dan jasa serta
mempermudah arus investasi dan modal untuk mempermudah mendapatkan
keuntungan melalui ASEAN Economic Community (AEC). Aktualisasi preferensi
Singapura dalam liberalisasi ekonomi diperlihatkan melalui pencapaian
kesepakatan dalam sejumlah mekanisme liberalisasi ekonomi ASEAN. Di
bawah mekanisme Prefential Trading Area (PTA), misalnya, Singapura berhasil
mendorong lima negara ASEAN (Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina dan
Brunei Darussalam) untuk bersepakat menurunkan tarif masing-masing hingga

65
10%. Selain itu, Singapura juga aktif mendorong kesepakatan dalam mekanisme
liberalisasi ekonomi lainnya melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA) untuk
mengatur aliran bebas barang, ASEAN Framework Agreement on Services
(AFAS) untuk mengatur aliran jasa dan tenaga ahli secara bebas, dan ASEAN
Comprehensive Investment Agreement (ACIA) untuk mengatur aliran investasi
dan modal (Lopez, 2012).
Meski terkesan sangat potensial, sebenarnya kesepakatan-kesepakatan
yang terpisah-pisah tersebut akan menyulitkan pembentukan satu pasar tunggal
ASEAN. Untuk itu, pada tahun 2002 Singapura menginisiasi pembentukan AEC
sebagai upaya untuk menempatkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam satu
kerangka kerjasama menuju pasar tunggal ASEAN dengan target pencapaian
waktu yang relatif sama. Pada awalnya, target pencapaian AEC ditetapkan pada
tahun 2020. Namun, ini terlalu lama jika dibandingkan dengan preferensi
Singapura dalam menghadapi persaingan global. Oleh karenaitu, Singapura
akhirnya mendorong negara-negara ASEAN lainnya untuk mempercepat
pembentukan AEC. Hasilnya, dalam KTT ASEAN bulan November 2007
disepakati bahwa target pelaksanaan AEC dimajukan menjadi tahun 2015.
Melalui pasar tunggal ASEAN, Singapura dapat memposisikan diri
sebagai pusat pelayanan dan markas besar perusahaan multinasional untuk Asia
tenggara (Siow et. Al., 2003: 260). Didukung oleh penguasaan high technology,
Singapura akan menjadi pusat regional perdagangan, telekomunikasi, hubungan
informasi, penetrasi keuangan dari dan ke pasar Asia Tenggara, serta shipping
point utama bagi transportasi udara dan air. Tidak heran jika Singapura
mengusulkan pengembangan ekonomi melalui ICT, dimana segala aktivitas
perdagangan ASEAN akan bertumpu pada kekuatan teknologi. Singapura
menjadi aktor kunci dalam proyek ini karena perannya sebagai koordinator e-
ASEAN dalam integrasi ASEAN. Strategi e-ASEAN berupaya untuk
meningkatkan sistem teknologi ASEAN dalam perdagangan yang akan
dijalankan melalui bisnis daring (dalam jaringan): “ASEAN governments commit
themselves to create a seamless favorable legal and regulatory environment in
order to get buyers and sellers to buy in to doing business online.” (ASEAN
leaders adopt e-ASEAN agreement,n.d.)

66
Singapura juga berusaha meyakinkannegara-negara ASEAN bahwa penggunaan
teknologi akan menciptakan iklim perdagangan yang lebih baik. Melalui
Singapore’s Trade Net yang telah maju dalam bidang teknologi, Singapura dapat
menyatukan sistem ekonomi berupa perdagangan, logistik, finansial dan
pemerintahan ASEAN denganberbasis padateknologi:

A neutral and open platform enabling the integration and


collaboration among trade, logistics, financial and government
communities to fulfill import, export or transit processes and
documentation through electronic means, in order to increase
information velocity, visibility and accuracy. (McMaster & Nowak,
n.d.: 9)

Singapura harus memastikan terlebih dulu bahwa administrasi dalam


pelaksanaan mekanisme liberalisasi ekonomi negara ASEAN telah terintegrasi
dalam waktu yang relatif sama. Ini penting karena pelaksanaan e-ASEAN tidak
dapat dijalankan jika setiap negara yang tergabung dalam kesepakatan belum
terintegrasi dalam sebuah mekanisme perdagangan berbasis teknologi canggih
tersebut. Untuk itu, disusun juga sebuah rangkaian mekanisme percepatan AEC
yang meliputi pembuatan Rules of Origin (ROO), standarisasi fasilitas
perdagangan dan sistem bea cukai masing-masing negara, dan beberapa
mekanisme teknis lainnya.
Berkaitan dengan sumber daya manusia, Singapura berhasil mendorong
sebuah kesepakatan tentang liberalisasi tenaga kerja terampil (skilled labour).
Singapura memiliki keterbatasan dalam menyuplai tenaga terampil untuk
mendukung strategi ekonomi yang berbasis pengetahuan (KBE). Untuk
mengatasi hal tersebut, Singapura mendorong pembahasan terkait liberalisasi
tenaga kerja, khususnya tenaga kerja terampil, namun tidak membahas tenaga
kerja tidak terampil (unskilled labour). Beberapa hal yang disepakati dalam
konteks ini adalah kemudahan pemberian visa bagi kalangan profesional
ASEAN dan tenaga terampil untuk melakukan aktifitas perdagangan maupun
investasi (ASEAN Economic Community Blueprint,n.d.) juga kesepakatan
untuk melakukan harmonisasi dan standarisasi pergerakan antar wilayah melalui
kerjasama antar universitas di ASEAN (ASEAN University Network).

67
Hal yang menarik dicermati dalam Cetak Biru AEC adalahbahwa negara-
negara ASEAN menyepakati lalu lintas tenaga kerjaahli bukan unskilled labour.
Secara tidak langsung, liberalisasi tenaga kerja ini menjadikan Singapura
sebagai penentu standar kualitas sumber daya manusia dunia, khususnya di
kawasan ASEAN, dengan mendorong talenta asing untuk menggunakan jasa
teknologi dan pendidikan Singapura. Sejalan dengan strategi Knowledge Based
Economy (KBE) Singapura, hal ini menunjukkan keberhasilan Singapura dalam
mendesakkan kepentingannya untuk menjadi pusat tenaga ahli, pada saat negara-
negara ASEAN lainnya masih menghadapi masalah unskilled labour. Tenaga
buruh tidak terampil menjadi isu sensitif yang sering mengganggu hubungan
bilateral antara Singapura dan negara-negara anggota ASEAN lainnya (Nugroho,
n.d.: 121).
Singapura melihat potensi ASEAN sebagai batu loncatan untuk
mendapatkan pasar-pasar lain di luar ASEAN. Kerjasama Asia Timur dengan
ASEAN dapat diarahkan untuk membentuk perdagangan bebas Asia Timur,
termasuk untuk mencapai persetujuan soal kerjasama moneter dan finansial serta
pembentukan jaringan komunikasi dan transportasi di kawasan (Pidato Perdana
Menteri Malaysia berjudul “Towards an Integrated East Asia Community”). Ini
sesuai dengan strategi Singapura untuk menyatukan pasar Asia Timur guna
menghadapi pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam persaingan global.
Dengan didukung oleh high quality technology dan infrastruktur finansial
yang memadai untuk melakukan fund rising dan ekspansi, Singapura berusaha
menjalankan fungsi sebagai pembuka gerbang investasi bisnis asing bagi dan
untuk Asia Timur. Singapura berusaha menjadi pusat aktifitas finansial,
perdagangan dan jasa bagi kawasan. Ini terlihat pada keberadaan AEC yang
tidak hanya berorientasi untuk memperdalam integrasi ASEAN (ASEAN
Economic Community Blueprint, n.d.), namun juga diarahkan untuk mencapai
pengaturan standar perdagangan, menarik investasi asing, meliberalisasi
perdagangan jasa, danmembuat kesepakatan perdagangan dengan mitra eksternal
ASEAN (Plummer, 2006: 14). Dengan demikian, selain melakukan deepening
integration, Singapura juga mendorong ASEAN untuk melakukan widening
integration.

68
Orientasi perluasan regionalism ini menunjukkan bahwa pendekatan
yang dilakukan harus selaras dengan tercapainya hubungan ekonomi eksternal
ASEAN. Ini dapat terlihat dari rencana pembangunan ASEAN dalam Cetak Biru
AEC yangjuga diarahkan pada perluasan eksternal, seperti pembangunan jalur
kereta api Singapura-Kunming di China (ASEAN Economic Community
Blueprint, n.d. :20). ASEAN sendiri memiliki mekanisme “sentralitas” untuk
melindungi kepentingan negara anggotanya. Artinya, ASEAN tetap
mengedepankan kepentingan internal dalam negosiasi FTA dengan
mitraeksternal seperti dalamASEAN +3 (Lopez, n.d.).
Posisi ASEAN sangat penting dalam upaya integrasi kawasan Asia
Timur. ASEAN dinilai sebagai driving factor untuk menyatukan negara-negara
Asia Timur mengingatpada dasarnya integrasi Asia Timur merupakan sesuatu
yang rumit karenatingginya ketegangan antara China dan Jepang. Keduanegara
inimemiliki sejarah yang kelam satu sama lain sehingga yang satutidak dapat
menerima yang lain sebagai pemimpin Asia Timur. Inisiatif ASEAN untuk
memasukkan China dan Jepang kedalam ASEAN Plus 3 (bersamadengan Korea
Selatan), memungkinkan kedua negara tersebut dalam satu kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan ASEAN. Dalam konteksini, Singapura perlu memastikan terlebih
dahulu integrasi internal ekonomi ASEAN agar dapat menyatukan pasar Asia
Timur dan bersaing secara global. Menganggaptahun 2020 sebagai target
pembentukan AEC terlalu lama, Singapura memiliki preferensi untuk
mendorong akselerasi pembentukan AEC di tahun 2015.
Secara keseluruhan, strategi perluasan pasar Singapura melalui ASEAN
ditujukan untuk mendorong percepatan integrasi ekonomi ASEAN sehingga
kapasitas ekonomi Singapura untuk bersaing di tingkat global dapat meningkat.
ASEAN menjadi penting bagi Singapura karena regionalism ini mendukung
perluasan pasar Singapura melalui investasi dan penentuan standar kelayakan
terkait infrastruktur ekonomi (teknologi, sumber daya manusia, daninstitusi
pendidikan). Pada gilirannya, ini semua meningkatkan daya tawar Singapura di
tingkat regional sehingga mampu mendorong ASEAN ke arah yang kondusif
bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi Singapura.

69
Kesimpulan

Dengan pemahaman yang jelas akan posisinya dalam ekonomi global,


Singapura berhasil melakukan sinkronisasi antara kebutuhan negara dengan
kesempatan eksternal. Terlepas dari berbagai keterbatasannya, baik secara
geografis maupun sumber daya manusia, Singapura mampu mengenali dan
memanfaatkan dengan baik peluang yang tersedia. Penyusunan strategi ekonomi
nasional yang jelas dan berkesinambungan mendukung lahirnya preferensi
nasional yang kuat. Dalam konteks regionalisme, hal inimenjadi modal penting
dalam negosiasi kawasan. Hasilnya, konsistensi Singapura dalam mendorong
liberalisasi perdagangan dan integrasi ekonomi mendapat dukungan dari negara
anggota ASEAN lainnya. Regionalisme ASEAN dimanfaatkan dengan baik
oleh Singapura untuk menjadikan iasebagai penghubung (hub) dalam ekonomi
global. Secara keseluruhan, keberhasilan global Singapura justru berawal dari
keberhasilannya untuk menempatkan ancaman global sebagai peluang.
Singapura melihat negara-negara tetangga ASEAN bukan sebagai ancaman,
tetapi sebagai jaringan peluang ekonomi bagi kemajuan Singapura.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Moravscik , Andrew. 1998.The Choice For Europe : State Purpose and State Power
from Messina to Masctricht didapat melalui
http://books.google.co.id/books?id=eE2lI-
_hvIIC&printsec=frontcover&dq=inauthor:%22Andrew+Moravcsik%22&source
=bl&ots=OVHBRcMA5b&sig=juYcb5I1PmW0S1zO64eCMHE8Fa4&hl=id&sa
=X&ei=zaNrUOeaHsvMrQf3_oDoBQ&ved=0CCwQ6AEwAA#v=onepage&q&
f=false (Taylor & Francis: cornell university press, european edition with london
: Routledge/UCL Press) diakses pada tanggal 03 Oktober 2012 11.16
Moravcsik, Andrew dan Schimmelfennig, Frank. Liberal Intergovermentalism dalam
Antje Wiener & Thomas Diez (eds), European Integration theory. didapat
melalui http://www.princeton.edu/~amoravcs/library/intergovernmentalism.pdf
pada tanggal 18 September 2012 pukul 08.34 (Oxford: Oxford University Press,
2009)
Plummer, G. Michael. The ASEAN Economic Community and the European Experience
(Johns Hopkins University SAIS : Bologna, 2006)

70
Jurnal
Moravscik, Andrew. Journal of Common Market Studies Vol 31, No. 4. Preferences and
Power in the European Community : A Liberal Intergovermental Approach
dalam Simon Bulber dan Andew Scott. didapat melalui
www.princeton.edu/~amoravcs/library/preferences1.pdfdiakses pada tanggal 17
September 2012 pukul 15.46
Moravcsik , Andrew dan Nicolaidis, Kalypso. Jurnal of Common Market Studies Vol
37, No 1 : Explaining The Treaty of Amsterdam : Interest, Influence, Institutions
didapat melalui
http://graduateinstitute.ch/webdav/site/political_science/shared/political_science/
7183/2nd%20week/Nicolaidis_Moravcsik.pdf diakses pada tanggal 17 September
2012 pukul 09.45

Website
Badan Perencanaan Daerah DKI Jakarta 2005-2006. Jakarta KINI didapat melalui
http://www.bappedajakarta.go.id/sekilasjktkini.asp diakses pada tanggal 27
Oktober 2012 pukul 15.31
Fabbrini ,Sergio. 2012 . Intergovernmentalism and its outcomes:The Implications of the
Euro Crisis on the European union. didapat melalui diakses melalui
http://eucenter.berkeley.edu/files/Fabbrini.17Feb2012.pdf (Rome : School of
Government, LUISS Guido Carli) pada tanggal 15 September 2012 pada pukul
20.33 \
Kim , Shee Poon. 2005. Singapore-China Special Economic Relation : In Search of
Bussiness Oppurtunities didapat melalui www.ritsumei.ac.jp/acd/re/k-
rsc/ras/04_publications/ria.../03_9.pdf (Institute of International Relations and
Area Studies, Ritsumeikan Universit) di akses pada tanggal pada tanggal 17
Agustus 2012 pukul 09.43
Laporan Konferensi the ASEAN-china Regional and Sub-regional Cooperation
workshop yang disusun oleh S. Rajaratnam school of international studies (RSIS)
dan didanai oleh China-ASEAN Fund didapat melalui
http://www.rsis.edu.sg/publications/conference_reports/RSIS_ASEAN-
China%20Conference_151209_v2.pdf diakses pada tanggal 20 November 2012
pukul 0.03
Lopez , Gregore Pio. The ASEAN Economic Community – From Vision to Reality
http://www.academia.edu/1080331/ASEAN_Economic_Community
From_vision_to_reality diakses pada tanggal 11 November 2012 pukul 13.10
McMaster, Jim dan Jan Nowak. The Evolution of Electronic Trade Portals and The
Pacific Islands Countries E-Trade Facilitation and Promotion didapat melalui
http://www.ejisdc.org/ojs2/index.php/ejisdc/article/viewFile/273/172 (University
of the South Pacific : Suva, Fiji Islands ) diakses pada tanggal tanggal 5
Desember 2012 pukul 9.23
Ministry of Trade and Industry Singapore. Summaries The ERC’s recommendation Part
1. didapat melalui
http://www.mti.gov.sg/AboutMTI/Documents/app.mti.gov.sg/data/pages/507/doc
/ERC_Comm_MainReport_Part1_v2.pdf diakses pada tanggal 01 November
2012

71
Ministry of Trade and Industri (MTI)-Singapore. Summaries The ERC’s
recommendation Part 2. The Road thus far didapat melalui
http://www.mti.gov.sg/AboutMTI/Documents/app.mti.gov.sg/data/pages/507/doc
/ERC_Comm_MainReport_Part1_v2.pdf diakses pada tanggal 06 November
2012 pukul 19.48 wib
Ministry of Trade and Industri Singapore. About MTI Economic Review Committe.
Didapat melalui
http://www.mti.gov.sg/AboutMTI/Pages/Economic%20Review%20Committee.as
px diakses pada tanggal 03 November2012 pukul 11.45
Nugroho,Ganjar. An Overview of ASEAN State’s RTA Strategy.
http://www.kikou.waseda.ac.jp/wojuss/achievement/publication/pdf/norinchukin/
i2-3.pdf diakses pada tanggal 11 November 2012 pukul 16.31
Pidato Perdana Menteri Malaysia dalam Second East Asia Forum, Kuala Lumpur, 6
December 2004 berjudul "Towards an Integrated East Asia Community" didapat
melalui http://www.asean.org/news/item/towards-an-integrated-east-asia-
community diakses pada tanggal 19 Juli 2012 pukul 9.34
Porter, Michael et.al. 2008.Remaking Singapore : A Work in Progreess Harvard
Bussiness Scholl Case didapat melalui
http://www.spp.nus.edu.sg/aci/docs/research_outputs/Remaking%20Singapore%
205August2008.pdf (Lee Kuan Yew School of Public Diplomacy-National
University of Singapore : Bukit Timah Road) diakses pada tanggal 01 November
2012 pukul 23.31
Rekomendasi dari Sub Komite Jasa – Working Group On Trading Sept 2002.
Developing Singapore into a Global Trade Hub didapat melaui
http://www.mti.gov.sg/ResearchRoom/Documents/app.mti.gov.sg/data/pages/507
/doc/14%20ERC_Services_Trading.pdf diakses pada tanggal 17 November 2012
pukul 16.34
Sekretariat ASEAN.ASEAN leaders adopt e-ASEAN agreement didapat melalui
http://www.asean.org/asean/asean-summit/item/asean-leaders-adopt-e-asean-
agreement diakses pada tanggal 14 Desember 2012 8.17
Sion, Maya. Nice Decision-Making ? Leaders Under the influence of Attitudes and
Institutions:Britain, France and Germany in the Nice IGC didapat melalui
http://www.ef.huji.ac.il/publications/Sion.pdf diakses pada tanggal 16 Oktober
2012 pukul 13.45
Siow, Chia dan Lim Yua, Jamus Jerome. 2003.Singapore : A Regional Hub in ICT
didapat melalui http://www.jamus.name/research/iseaspub2.pdf (Singapore :
Institute of South Asian Studies) diakses pada tanggal 8 September 2012 pukul
9.30
Tan, Augustine H H. 1999.Official Efforts To Attract FDI: Case Of Singapore’s EDB
didapat melalui http://www.fas.nus.edu.sg/ecs/pub/ wp/previous/AHTAN2.pdf
(National University of Singapore) diakses pada tanggal 20 Oktober 2012
The World Factbook Singapore didapat melalui
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sn.html diakses
pada tanggal 20 Oktober 2012 pukul 8.24
Wong, John dkk. A Study On Singapore’s Experience In Regional Cooperation.
Laporan untuk Unit Pusat Kebijakan Pemerintahan Hongkong didapat melalui
http://www.cpu.gov.hk/tc/documents/ne

72
w/press/Singapore%27s%20Experience%20in%20Regional%20Cooperation_Fin
al%20Report.pdf (Singapore : East Asian Institute of the National University of
Singapore) diakses pada tanggal 29 Oktober 2012 pukuk 15.47
Yeung, Henry Wai-chung. 1999 Singapore’s Global Reach An Executive Report di
dapat melalui http://courses.nus.edu.sg/course/geoywc/publication/report.pdf
(Departement of Geography-National University of Singapore : Kent Ridge
Crescent) diakses pada tanggal 31 Oktober 2012 pukul 08.00
Yuen, Belinda. Singapore Local Economic Development: The Case of the Economic
Development Board (EDB) didapat melalui
http://siteresources.worldbank.org/INTLED/Resources/339650-
1194284482831/4356163-121€1318886634/SingaporeProfile.pdf (Singapore :
National University of Singapore)

73

Anda mungkin juga menyukai