Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN KEJANG NEONATUS


DI RUANG BAYI RSUD DR. H. MOCH ANSARI SALEH BANJARMASIN

Tanggal 03 – 08 Februari 2020

Oleh:
Nurhaliza, S.Kep
NIM. 1930913320002

PENDIDIKAN PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN KEJANG NEONATUS
DI RUANG BAYI RSUD DR. H. MOCH ANSARI SALEH BANJARMASIN

Tanggal 03 – 08 Februari 2020

Oleh:
Nurhaliza, S.Kep
NIM. 1930913320002

Banjarmasin, Februari 2020

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Nana Astriana H., S.Kep, Ns., M.Kes Siti Rusmalina, S.Kep, Ns


NIP. 19790317201902209001 NIP. 19751104 200803 2 001
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG NEONATUS

A. Tinjauan Teori
1. Definisi
Kejang merupakan salah satu keadaan yang merupakan suatu tanda
bahaya yang sering terjadi pada neonatus, karena kejang dapat
menyebabkan hipoksia otak yang berbahaya bagi kehidupan bayi sekaligus
dapat menyebabkan terbentuknyan sekuele yang menetap dan berakibat
buruk pada kehidupan bayi di masa depan. Selain itu, kejang dapat
merupakan suatu tanda atau gejala signifikan dari suatu masalah SSP pada
neonates (Ngastiyah, 2005).
Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari
fungsi neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal
adalah bayi dengan kelahiran berumur kurang dari 28 hari (Wong, 2008).
Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari
gangguan saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala
gangguan syaraf dan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai
penyebab kejang tersebut, yang dapat mengakibatkan gejala sisa yang
menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut diketahui harus segera
di obati. Hal yang paling penting dari kejang pada bayi baru lahir adalah
mengenal kejangnya, mendiagnosis penyakit penyebabnya dan
memberikan pertolongan terarah, bukan hanya mencoba menanggulangi
kejang tersebut dengan obat antikonvulsan.
2. Klasifikasi
a. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak
disebut sebagai kejang. Banyak terdapat pada neonatus berupa :
 Deviasi horizontal bola mata
 Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip)
 Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah, mengecap,
dan menguap
 Apnea berulang
 Gerakan tonik tungkai
b. Kejang klonik multifokal (miogratory)
Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke anggota
gerak yang lain secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu
dengan yang lain dapat menyerupai kejang umum.
c. Kejang tonik
Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan
menyerupai dekortikasi.
d. Kejang miokolik
Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada
neonatus.
e. Kejang umum
Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun.
f. Kejang fokal
Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu kaki,
tangan atau muka (gerakan mata yang berputar-putar, menguap, mata
berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi), (Koshim, 2008;
Marmi, 2012).
3. Etiologi
a. Metabolik
1) Hipoglikemia
Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup
bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir
rendah. Hipoglikemia dapat terjadi dengan/tanpa gejala. Gejala
dapat berupa serangan apnea, kejang sianosis, minum lemah,
biasanya terdapat pada bayi berat badan lahir rendah, bayi kembar
yang kecil, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, asfiksia.
2) Hipokalsemia
Hipokalsemia merupakan keadaan kadar kalsium pada plasma
kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang
dari 4 MEq/L. Gejala yang muncul berupa tangis dengan nada
tinggi, tonus berkurang, kejang dan diantara dua serangan bayi
dalam keadaan baik.
3) Hipomagnesemia
Hipomagnesemia yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari
1,2 mEg/l. biasanya terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia,
hipoglikemia dan lain-lain. Gejala kejang yang tidak dapat di atasi
atau hipokalsemia yang tidak dapat sembuh dengan pengobatan
yang adekuat.
4) Hiponatremia dan hipernatremia
Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEg/l,
gejalanya adalah kejang, tremor, sedangkan hipertremia, kadar Na
dalam darah lebih dari 145 mEg/l. Kejang yang biasanya disebabkan
oleh karena trombosis vena atau adanya petekis dalam otak.
5) Defisiensi pirodiksin dan dependensi piridoksisn
Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah kejang
yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti kejang,
kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan memberikan 50
mg pirodiksin.
6) Asfiksia
Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran gas dan
transfer O2 dari ibu ke janin.
b. Perdarahan intracranial
Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau hipoksia,
defisiensi vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat terjadi sub
dural, dub aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral. Biasanya
disertai hipoglikemia, hipokalsemia. Diagnosis yang tepat sukar
ditetapkan, fungsi lumbal dan offalmoskopi mungkin dapat membantu
diagnosis. Terapi : pemberian obat anti kejang dan perbaikan gangguan
metabolism bila ada.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis
d. Genetik/kelainan bawaan
Penyebab lain yang dapat menimbulkan kejang pada neonatus antara
lain:
a. Polisikemia
Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi placenta,
transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar yang lain
dengan kadar hemoktrokit di atas 65%
b. Kejang idiopatik
Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui
penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya
c. Toksin estrogen
Misalnya: hexachlorophene (Sylvia, 1999).
4. Manifestasi Klinis
a. Kejang tersamar
 Hampir tidak terlihat
 Menggambarkan perubahan tingkah laku
b. Bentuk kejang :
 Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai
 Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba
menghisap, mengunyah, menelan menguap
 Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak
mata berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata
 Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh
pada anggota gerak atas dan bawah
 Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea
 Untuk memastikan : pemeriksaan EEG
c. Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus
badan dan tungkai
Adapun tanda gejala kejang berdasarkan pembagiannya antara
lain:
a. Kejang klonik
 Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak
disertai gangguan kesadaran Dapat disebabkan trauma fokal
 BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG,
pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak,
kemungkinan infark serebri
 Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi
cukup bulan dengan BB>2500 gram
 Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak
yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal kejang
klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah kanan
b. Kejang tonik
 Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan
pada bayi dengan komplikasi perinatal berat
 Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas,
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai,
menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi
c. Kejang mioklonik
Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro
d. Gemetar
 Sering membingungkan
 Kadang terdapat pada bayi normal yang dalam keadaan lapar
(hipoglikemia, hipokalsemia, hiperiritabilitas neuromuscular)
 Gerakan tremor cepat
 Tidak disertai gerakan cara melihatabnormal atau gerakan bola mata
 Dapat timbul dengan merangsang bayi, sedangkan kejang tidak
timbul dengan perangsangan
 Gerakan dominan adalah gerakan tremor
 Pergerakan ritmik anggota gerak pada gemetar dihentikan dengan
melakukan fleksi anggota gerak
e. Apnea
 Pada BBLR pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti nafas 3-
6 detik, sering diikuti dengan hiperapnea 10-15 detik
 Berhentinya pernafasan tidak disertai perubahan denyut jantung,
tekanan darah, suhu badan, warna kulit
 Bentuk pernafasan disebut pernafasan periodik disebabkan belum
sempurnanya pusat pernafasan di batang otak
 Serangan apnea tiba-tiba disertai kesadaran menurun pada BBLR
dicurigai adanya perdarahan intracranial
 Perlu pemeriksaan USG
f. Manifestasi kejang pada BBL
 Tremor/gemetar
 Hiperaktif
 Kejang-kejang
 Tiba-tiba menangis melengking
 Tonus otot hilang diserati atau tidak dengan hilangnya kesadaran
 Pergerakan tidak terkendali
 Nistagmus atau mata mengedip ngedip paroksismal (Koshim, 2008).
5. Patofisiologi
Konsep epileptogenesis pada otak imatur sangat kompleks dan cepat
berkembang. Terdapat faktor khusus dalam perkembangan otak yang
membuat otak imatur lebih sensitif dalam menghasilkan kejang. Faktor
tersebut meliputi karakteristik dari neuron, neurotransmitter, sinaps,
reseptor, mielinisasi, glia, dan sirkuit neuron seluler maupun regional.
Fungsi dasar neuron adalah depolarisasi dan hiperpolarisasi
membran yang menghasilkan aliran ion yang melintasi membran melalui
voltage dependent and transmitter-gated channel. Depolarisasi membran
mengawali potensial aksi yang menyebabkan lepasnya neurotransmitter
dari regio presinaps di akson terminal. Transmitter berkaitan dengan
reseptor post-sinap untuk mengawali eksitasi potensial post-sinap atau
inhibisi potensial post-sinaps. Fungsi otak secara normal didasarkan pada
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.
Kejang timbul akibat timbulnya muatan listrik (depolarisasi)
berlebihan pada susunan saraf pusat sehingga terbentul gelombang listrik
yang berlebihan. Neuron dalam sistem saraf pusat mengalami depolarisasi
sebagai hasil dari perpindahan natrium ke arah dalam, sedangkan
repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk mempertahankan
potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
bergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya
kalium (Sylvia, 1999).
Meskipun mekanisme dasar kejang pada neonatus tidak sepenuhnya
dipahami, data terbaru menunjukkan bahwa depolarisasi berlebihan dapat
diakibatkan oleh:
 Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan
pompa natrium dan kalium
 Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat
 Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter dibanding
eksitatorik dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan
 Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium (Wong, 2008).
Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar
glukosa otak yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap
normal atau meningkat disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan
refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi secara adekuat.
Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk
mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan
berakumulasi selama terjadikejang, sehingga PH arteri menurun dengan
cepat. Hal ini menyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran
darah ke otak naik.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat mulai dari sejak lahir
hingga usia dua tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan
sinaps serta kepadatan dendrit pada sumsum tulang belakang terjadi sangat
aktif pada sekitar kehamilan sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada
saat bayi baru lahir, merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi
sinaps fisiologis. Menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara
eksitasi dan inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk
memberi jalan pada pembentukan sinaps yang bergantung pada
aktivitasnya.
Otak manusia memiliki neurotransmitter seperti glutamat, α-amino-
3-hydroxy-5-methyl-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-
aspartate (NMDA). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus
yang memiliki otak homolog dengan otak manusia, didapatkna bahwa
reseptor NMDA meningkat tajam pada dua minggu awal kelahiran untuk
membantu sinaps yang bergantung pada aktivitasnya. Selain itu, pada
periode ini merupakan saat dimana sensitivitas terhadap magnesium berada
di titik terendah. Magnesium merupakan penghalang reseptor endogen
alamiah, sehingga berdampak pada meningkatnya eksitabilitas neuronal.
Literatur lain menjelaskan mengenai mekanisme penting
sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus adalah:
a. Penurunan efektifitas inhibisi neurotransmitter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang
secara perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan fungsi
pengikatan reseptor GABA, pembentukan enzim dan ekspresi dari
reseptor lebih rendah pada masa-masa awal kehidupan. Hal ini
mendukung terjadinya kejang sehubungannya dengan aktivitas sel saraf
pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktivitas eksitabilitas.
b. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal
kehidupan
Regulasi kanal ion mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk serta berkembang perlahan
seperti yang terjadi pada mutasi kanal ion kalium (KCNQ2 dan
KCNQ3) yang berhubungan dengan terjadinya kejang neonatus
familial, menyebabkan proses hiperpolarisasi kalium yang berakibat
terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang secara cepat.
Otak imatur memiliki ekspresi yang relatif lebih rendah terhadap HCN1
isoform yang berfungsi untuk menurunkan eksitabilitas dendritik pada
otak dewasa. Mutasi kanal ion daoat juga berkontribusi dalam
hipereksitabilitas pada otak imatur dan dapat memiliki efek kumulatif.
c. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak
imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal
seperti yang terjadi pada Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang
memicu terjadinya potensi eksitasi pada neuron. Jika dibandingkan
dengan fase kehidupan selanjutnya, CRH dikeluarkan lebih tinggi pada
dua minggu awal kehidupan seperti yang terlihat pada tikus percobaan.
CRH juga meningkat pada keadaan stres seperti halnya saat terjadi
kejang pada otak yang imatur akan memicu kejadian kejang yang
berulang.
6. Pathway
Etiologi: Metabolik, perdarahan intrakranal,
Infeksi bakteri, infeksi, genetik/kelainan bawaan
virus dan parasit
Otak imatur
Reaksi Inflamasi
Efektifitas inhibisi
Proses demam neurotransmitter

Hipertermia Kejang Neonatus Ansietas

Obstruksi sekret pada Terjadi lebih dari 15


jalan pernapasan Kerusakan otot faring menit
 Pemberian obat
anti kejang Perubahan suplai
Spasme otot pernapasan Kekakuan leher
 Menjaga jalan darah ke otak
napas tetap bebas
Peningkatan produksi Aspirasi  Mengobati
mukus penyebab kejang Resiko kerusakan sel
neuron otak
Resiko
Ketidakefektifan aspirasi
bersihan jalan nafas Ketidakefektifan
Penatalaksanaan perfusi jaringan otak
7. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus
digunakan informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan
jasmani dengan baik untuk mencari penyebab yang lebih spesifik
1) Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium
pada darah serta analisa gas darah harus dilakukan.
2) Pemeriksaan darah rutin
Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit,
trombosit, leukosit, hitung jenis leukosit
3) Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas
pada bayi baru lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau
kejang yang tidak responsif terhadap antikonvulsan, harus dicari
penyebab-penyebab metabolik yang mungkin.
 Kadar amonia dalam darah harus diperiksa
 Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya
diperiksa untuk mencari substansi reduksi
b. Pemeriksaan radiologis
1) USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk
mencari adanya perdarahan intraventrikular atau periventrikular.
Perdarahan subarakhnoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan
pemeriksaan ini.
2) CT-scan kranium
Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya
penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan
bukti-bukti adanya infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi
serebral.Melalui catatan sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan
hasil yang penting pada kasus kejang neonatus, terutama bila kejang
terjadi asimetris.
3) MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi
subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium..
c. Pemeriksaan lain
1) EEG(electroencephalography)
EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda
abnormal. EEG interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal.
Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-
2 hari awal terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-
tanda diagnostik yang penting untuk menentukan prognosis di masa
depan bayi. EEG sangat signifikan dalam menentukan prognosis
pada bayi cukup bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG sangat
penting untuk memeastikan adanya kejang di saat manifestasi klinis
yang timbul subtle atau apabila obat-obatan penenang
neuromuscular telah diberikan. Untuk menginterpretasikan hasil
EEG dengan benar, sangatlah penting untuk mengetahui status klinis
bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan.
The International League Against Epilepsy mempertimbangkan
kriteria sebagai berikut :
 Non epileptikus : berdasarkan gejala klinis kejang semata
 Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG.
Secara klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran
EEG masih mengalami kejang.
a) Kejang elektrografik
Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan lokasi onset,
morfologi dan perambatan yang bervariasi. Bayi preterm maupun
aterm, keduanya mempunyai kemampuan menciptakan peristiwa
ictal yang sangat bervariasi, lokasi asal kejang yang paling umum
adalah lobus temporal. Beberapa penelitian telah menghitung
durasi kejang pada neonatus. Umumnya digunakan batasan 5
detik, namun Clancy dan Ledigo menggunakan pembatasan
menurut mereka sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi minimal dan
definisi ini juga diadopsi oleh Sher dkk.
b) Disosiasi elektroklinik
Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis klinis dan gambaran
EEG, hanya sepertiga dari kasus yang dipelajari dengan rekaman
video yang manifestasi klinis dan gelombang listriknya sesuai.
Pada 349 neonatus yang diteliti oleh Mizrahi, ditemukan 415
kejang pada 71 neonatus secara klinis, sedangkan 11 neonatus
lain ditemukan secra elektrografis walaupun secara klinis tidak
kejang. Manifestasi klinis timbul karena adanya gelombang dari
batang otak dan medula spinalis dilepaskan dan kurangnya
inhibisi dari pusat yang lebih tinggi.
8. Penatalaksanaan
a. Prinsip dasar tindakan mengatasi kejang pada bayi baru lahir sebagai
berikut:
1) Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang-kejang
(Misal : diazepam, fenobarbital, fenotin/dilantin)
2) Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan resusitasi
3) Mencari faktor penyebab kejang
4) Mengobati penyebab kejang (mengobati hipoglikemia,
hipokalsemia dan lain-lain)
b. Obat anti kejang (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal,
2002)
1) Diazepam
Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan sampai kejang
hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang beruang, tetapi
tidak dianjurkan untuk digunakan pada dosis pemeliharaan
2) Fenobarbital
Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika kejang
berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila kejang
tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari pertama di
lanjutkan dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB atau oral dalam
2 dosis.
c. Penanganan kejang pada bayi baru lahir
1) Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat pastikan bahwa bayi
tidak kedinginan. Suhu dipertahankan 36,5oC - 37oC
2) Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisap lendir di
seputar mulut, hidung sampai nasofaring
3) Bila bayi apnea dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi
dengan alat bantu balon dan sungkup, diberikan oksigen dengan
kecepatan 2 liter/menit
4) Dilakukan pemasangan infus intravena di pembuluh darah perifer di
tangan, kaki, atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh
ibu berpenyakit diabetes mellitus maka dilakukan pemasangan infus
melalui vena umbilikostis
5) Bila infus sudah terpasang di beri obat anti kejang diazepam 0,5
mg/kg supositoria IM setiap 2 menit sampai kejang teratasi,
kemudian di tambah luminal (fenobarbital 30 mg IM/IV)
6) Nilai kondisi bayi selama 15 menit. Perhatikan kelainan fisik yang
ada
7) Bila kejang sudah teratasi, diberi cairan dextrose 10% dengan
kecepatan 60 ml/kg BB/hari
8) Dilakukan anamnesis mengenai keadaan bayi untuk mencari faktor
penyebab kejang
 Apakah kemungkinan bayi dilahirkan oleh ibu yang berpenyakit
DM
 Apakah kemungkinan bayi premature
 Apakah kemungkinan bayi mengalami asfiksia
 Apakah kemungkinan ibu bayi mengidap/menggunakan
narkotika
9) Bila sudah teratasi di ambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium
untuk mencari faktor penyebab kejang, misalnya :
 Darah tepi
 Elektrolit darah
 Gula darah
 Kimia darah (kalsium, magnesium)
10) Bila kecurigaan kearah pepsis dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal
11) Obat diberikan sesuai dengan hasil penelitian ulang
Apabila kejang masih berulang, diazepam dapat diberikan lagi
sampai 2 kali (Saifudin, 2008).
9. Komplikasi
Kejang neonatal merupakan faktor risiko yang nyata meningkatkan
tingkat morbiditas jangka panjang dan kematian neonatal. Timbulnya
kejang neonatal adalah prediktor terbaik jangka panjang khususnya defisit
fisik dan kemampuan kognitif. Komplikasi dari kejang neonatal dapat
mencakup sebagai berikut:
a. Kejang berulang
b. Retardasi mental
c. Palsi cerebralis
d. Cerebral atrofi
e. Hydrocephalus ex-vacuo
f. Epilepsi
g. Kelenturan
h. Kesulitan makan (Marmi, 2012).
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang.
Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada
keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien
mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yang digunakan?
a. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS.
Biasanya anak sering kejang
c. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan k
eadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.
e. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah
diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam
usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan
terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi
timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat
post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah
dilahirkan.
f. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga
perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi,
adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas
Gejala: kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda: kelemahan otot, somnolen.
2) Sirkulasi
Gejala: palpitasi.
Tanda: Takikardi, membrane mukosa pucat.
3) Eliminasi
Gejala: diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan
haluaran urine.
4) Makanan / cairan
Gejala: anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda: distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi
(infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).
5) Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda: depresi, ansietas, marah.
6) Neurosensori
Gejala: penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang
konsentrasi, pusing, kesemutan.
Tanda: aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
7) Nyeri / kenyamanan
Gejala: nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda: gelisah, distraksi.
8) Pernafasan
Gejala: nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda: dispnea, takipnea, batuk.
9) Keamanan
Gejala: riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan
penglihatan, perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma
minimal.
Tanda: demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa
atau hati.
Observasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a. Selama serangan :
 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang
klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
 Apakah pasien menggigit lidah.
 Apakah mulut berbuih.
 Apakah ada inkontinen urin.
 Apakah bibir atau muka berubah warna.
 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu sisi atau keduanya.
b. Sesudah serangan
 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
 Apakah ada perubahan dalam gerakan.
 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c. Riwayat sebelum serangan
 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.
 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
d. Riwayat Penyakit
 Sejak kapan serangan terjadi.
 Pada usia berapa serangan pertama.
 Frekuensi serangan.
 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
 Apakah makan obat-obat tertentu
 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
2. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
b. Resiko cedera
c. Resiko aspirasi
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Ansietas
f. Hipertermia
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosis Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan

1 Ketidakefektifan bersihan Status Pernafasan: Kepatenan Jalan Nafas NIC : Manajemen Jalan Nafas
jalan nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Bebaskan jalan nafas
3 x 24 jam ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
teratasi dengan kriteria hasil: 3. Auskultasi suara nafas, catat daerah yang terjadi penurunan atau
1. Tidak ada dyspnea tidak adanya ventilasi
2. Tidak ada akumulasi sputum 4. Berikan bronkhodilator, jika perlu
3. Tidak ada suara nafas tambahan 5. Atur pemberian O2, jika perlu
6. Atur intake cairan agar seimbang
7. Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
8. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
Penghisapan Lendir pada Jalan Nafas
1. Cuci tangan
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan setelah tindakan suction
3. Keluarkan sekret dengan dorongan batuk atau suctioning
4. Lakukan suction pada endotrakheal atau nasotrakheal
5. Monitor status oksigenasi pasien sebelum, selama dan setelah
melakukan suction
6. Monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi secret
2 Resiko aspirasi Pencegahan Aspirasi Pencegahan Aspirasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Monitor tingkat kesadaran, refleks batuk, muntah
3x24 jam diharapkan masalah risiko aspirasi klien 2. Monitor jalan nafas dan suara nafas tambahan
tidak terjadi dengan kriteria hasil: 3. Pertahankan kepatenan jalan nafas
1. Jalan nafas klien paten 4. Monitor residu lambung
2. Klien mudah bernafas 5. Berikan perawatan mulut
3. Tidak terdengar suara nafas tambahan Pengaturan Posisi
4. Tidak terjadi aspirasi 1. Tinggikan tempat tidur
2. Miringkan kepala pasien jika ada muntah
3. Dorong latihan ROM aktif dan pasif

3 Ketidakefektifan perfusi Perfusi Jaringan: Serebral Manajemen Pengobatan


jaringan otak Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Kolaborasi pemberian obat sibital
selama 3x24 jam diharapkan perfusi jaringan 2. Informasikan ke orang tua mengenai tujuan dan cara kerja obat yang
serebral membaik dengan kriteria hasil: diberikan
1. Tidak terjadi tanda-tanda peningkatan 3. Monitor efektivitas dari pemberian obat
intrakranial 4. Monitor tanda gejala toksisitas obat
2. Tidak terjadi kejang 5. Monitor efek samping obat
3. Tidak ada muntah 6. Monitor respon terhadap perubahan pengobatan dengan cara yang
4. Tidak ada penurunan kesadaran tepat
Status Neurologi Monitor Neurologi
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan dan reaktivitas pupil
selama 3x24 jam diharapkan status neurologi 2. Monitor tingkat kesadaran dan GCS
kembali normal dengan kriteria hasil: 3. Monitor TTV
1. Kontrol motor sentral tidak terganggu 4. Monitor refleks kornea dan refleks batuk serta muntah
2. Fungsi sensorik dan motorik kranial tidak 5. Monitor tonus otot, pergerakan motoric, kejang dan kesimetrisan
terganggu wajah
3. Fungsi sensorik dan motorik spinal tidak 6. Monitor respon Babinski
terganggu 7. Tingkatkan pemantauan neurologis
4. Ada reaktivitas pupil 8. Beritahu dokter mengenai perubahan kondisi pasien
5. Ukuran pupil normal (2mm) Kontrol Infeksi
1. Bersihkan lingkungan dengan baik (lingkungan dalam dan luar
6. Pola gerakan mata baik
inkubator)
7. Pola bernafas baik
2. Melakukan cuci tangan yang baik dan benar sebelum dan setelah
8. Tekanan nadi (120-160x/m) kontak dengan pasien
9. Laju pernafasan (40-60x/m) 3. Lakukan tindakan pencegahan terjadinya sepsis yang memburuk
10. Tidak ada hipertermia 4. Ajarkan keluarga bagaimana cara menghindari mencegha terjadinya
infeksi pada bayi
Pencegahan Kejang
1. Sediakan tempat tidur yang rendah
2. Monitor pengelolaan obat anti-epileptik
3. Gunakan penghalang tempat tidur yang lunak
4. Jika terjadi kejang miringkan kepala bayi untuk mencegah aspirasi
4 Ansietas Kontrol Kecemasan Diri Pengurangan Kecemasan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2 x 24 jam ansietas teratasi dengan kriteria hasil: 2. Jelaskan semua prosedur
1. Melaporkan berkurangnya kecemasan 3. Temani klien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
2. Menggunakan teknik relaksasi untuk 4. Berikan informasi aktual mengenai diagnosis, tindakan dan prognosis
mengurangi kecemasan 5. Dengarkan dengan penuh perhatian
6. Identifikasi tingkat kecemasan
7. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
8. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan ketakutan dan persepsi
Terapi Relaksasi
1. Gambarkan manfaat relaksasi serta jenis relaksasi yang tersedia (mis,
nafas dalam)
2. Tentukan apakah ada intervensi relaksasi di masa lalu yang sudah
memberikan manfaat
3. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa distraksi
4. Dorong keluarga untuk mengambil posisi yang nyaman
5. Tunjukkan dan praktikkan teknik relaksasi
6. Dorong keluarga untuk mengulang praktik teknik relaksasi
Fasilitasi Kunjungan
1. Beritahu keluarga mengenai peraturan kunjungan pasien
2. Berikan waktu yang optimal bagi keluarga saat mengunjungi pasien
3. Jelaskan rasionalisasi pembatasan kunjungan
4. Jelaskan prosedur yang sedang dilakukan
5. Dukung keluarga untuk menyentuh dan berkomunikasi dengan pasien
6. Sediakan tempat duduk disamping tempat tidur (box bayi)
7. Sediakan nomor telepon yang dapat dihubungi ketika keluarga harus
pulang
8. Informasikan pada keluarga bahwa perawat akan menghubungi
keluarga jika terjadi perubahan pada kondisi pasien
5 Hipertermia Termoregulasi Perawatan Demam
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya.
3x24 jam diharapkan suhu bayi kembali normal 2. Monitor warna kulit dan suhu.
dengan kriteria hasil: 3. Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan kehilangan cairan
1. Suhu tubuh normal yang tak dirasakan.
2. Tidak ada sianosis 4. Dorong konsumsi cairan.
3. Akral hangat 5. Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan aktivitas: jika diperlukan.
6. Tingkatkan sirkulasi udara. pantau komplikasi-komplikasi yang
berhubungan dengan serta tanda dan gejala kondisi penyebab demam
(misalnya; kejang, ketidakseimbangan asam-basa, aritmia jantung,
dan berubahan abnormalitas sel)
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., et.al. (2015). Nursing interventions classification (NIC). United


States of America: Elsevier.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses


: Definitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Kosim, Sholeh.dkk.2008.Buku Ajar Neonatologi.Jakarta:Badan Penerbit IDAI

Lissauer, Tom.dkk.2006.At the Glance Neonatologi.Jakarta:Erlangga

Marmi.2012.Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Moorhead, S., et.al. (2015). Nursing outcomes classification (NOC). United States
of America: Elsevier.

Ngastiyah, 2005,Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta

Saifudin,Abdul Bari.2008.Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal.Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis Proses penyakit. EGC: Jakarta

Wong, D et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. EGC:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai