Oleh:
Nurhaliza, S.Kep
NIM. 1930913320002
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN KEJANG NEONATUS
DI RUANG BAYI RSUD DR. H. MOCH ANSARI SALEH BANJARMASIN
Oleh:
Nurhaliza, S.Kep
NIM. 1930913320002
Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan
A. Tinjauan Teori
1. Definisi
Kejang merupakan salah satu keadaan yang merupakan suatu tanda
bahaya yang sering terjadi pada neonatus, karena kejang dapat
menyebabkan hipoksia otak yang berbahaya bagi kehidupan bayi sekaligus
dapat menyebabkan terbentuknyan sekuele yang menetap dan berakibat
buruk pada kehidupan bayi di masa depan. Selain itu, kejang dapat
merupakan suatu tanda atau gejala signifikan dari suatu masalah SSP pada
neonates (Ngastiyah, 2005).
Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari
fungsi neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal
adalah bayi dengan kelahiran berumur kurang dari 28 hari (Wong, 2008).
Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari
gangguan saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala
gangguan syaraf dan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai
penyebab kejang tersebut, yang dapat mengakibatkan gejala sisa yang
menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut diketahui harus segera
di obati. Hal yang paling penting dari kejang pada bayi baru lahir adalah
mengenal kejangnya, mendiagnosis penyakit penyebabnya dan
memberikan pertolongan terarah, bukan hanya mencoba menanggulangi
kejang tersebut dengan obat antikonvulsan.
2. Klasifikasi
a. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak
disebut sebagai kejang. Banyak terdapat pada neonatus berupa :
Deviasi horizontal bola mata
Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip)
Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah, mengecap,
dan menguap
Apnea berulang
Gerakan tonik tungkai
b. Kejang klonik multifokal (miogratory)
Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke anggota
gerak yang lain secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu
dengan yang lain dapat menyerupai kejang umum.
c. Kejang tonik
Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan
menyerupai dekortikasi.
d. Kejang miokolik
Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada
neonatus.
e. Kejang umum
Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun.
f. Kejang fokal
Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu kaki,
tangan atau muka (gerakan mata yang berputar-putar, menguap, mata
berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi), (Koshim, 2008;
Marmi, 2012).
3. Etiologi
a. Metabolik
1) Hipoglikemia
Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup
bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir
rendah. Hipoglikemia dapat terjadi dengan/tanpa gejala. Gejala
dapat berupa serangan apnea, kejang sianosis, minum lemah,
biasanya terdapat pada bayi berat badan lahir rendah, bayi kembar
yang kecil, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, asfiksia.
2) Hipokalsemia
Hipokalsemia merupakan keadaan kadar kalsium pada plasma
kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang
dari 4 MEq/L. Gejala yang muncul berupa tangis dengan nada
tinggi, tonus berkurang, kejang dan diantara dua serangan bayi
dalam keadaan baik.
3) Hipomagnesemia
Hipomagnesemia yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari
1,2 mEg/l. biasanya terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia,
hipoglikemia dan lain-lain. Gejala kejang yang tidak dapat di atasi
atau hipokalsemia yang tidak dapat sembuh dengan pengobatan
yang adekuat.
4) Hiponatremia dan hipernatremia
Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEg/l,
gejalanya adalah kejang, tremor, sedangkan hipertremia, kadar Na
dalam darah lebih dari 145 mEg/l. Kejang yang biasanya disebabkan
oleh karena trombosis vena atau adanya petekis dalam otak.
5) Defisiensi pirodiksin dan dependensi piridoksisn
Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah kejang
yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti kejang,
kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan memberikan 50
mg pirodiksin.
6) Asfiksia
Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran gas dan
transfer O2 dari ibu ke janin.
b. Perdarahan intracranial
Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau hipoksia,
defisiensi vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat terjadi sub
dural, dub aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral. Biasanya
disertai hipoglikemia, hipokalsemia. Diagnosis yang tepat sukar
ditetapkan, fungsi lumbal dan offalmoskopi mungkin dapat membantu
diagnosis. Terapi : pemberian obat anti kejang dan perbaikan gangguan
metabolism bila ada.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis
d. Genetik/kelainan bawaan
Penyebab lain yang dapat menimbulkan kejang pada neonatus antara
lain:
a. Polisikemia
Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi placenta,
transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar yang lain
dengan kadar hemoktrokit di atas 65%
b. Kejang idiopatik
Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui
penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya
c. Toksin estrogen
Misalnya: hexachlorophene (Sylvia, 1999).
4. Manifestasi Klinis
a. Kejang tersamar
Hampir tidak terlihat
Menggambarkan perubahan tingkah laku
b. Bentuk kejang :
Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai
Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba
menghisap, mengunyah, menelan menguap
Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak
mata berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata
Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh
pada anggota gerak atas dan bawah
Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea
Untuk memastikan : pemeriksaan EEG
c. Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus
badan dan tungkai
Adapun tanda gejala kejang berdasarkan pembagiannya antara
lain:
a. Kejang klonik
Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak
disertai gangguan kesadaran Dapat disebabkan trauma fokal
BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG,
pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak,
kemungkinan infark serebri
Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi
cukup bulan dengan BB>2500 gram
Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak
yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal kejang
klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah kanan
b. Kejang tonik
Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan
pada bayi dengan komplikasi perinatal berat
Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas,
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai,
menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi
c. Kejang mioklonik
Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro
d. Gemetar
Sering membingungkan
Kadang terdapat pada bayi normal yang dalam keadaan lapar
(hipoglikemia, hipokalsemia, hiperiritabilitas neuromuscular)
Gerakan tremor cepat
Tidak disertai gerakan cara melihatabnormal atau gerakan bola mata
Dapat timbul dengan merangsang bayi, sedangkan kejang tidak
timbul dengan perangsangan
Gerakan dominan adalah gerakan tremor
Pergerakan ritmik anggota gerak pada gemetar dihentikan dengan
melakukan fleksi anggota gerak
e. Apnea
Pada BBLR pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti nafas 3-
6 detik, sering diikuti dengan hiperapnea 10-15 detik
Berhentinya pernafasan tidak disertai perubahan denyut jantung,
tekanan darah, suhu badan, warna kulit
Bentuk pernafasan disebut pernafasan periodik disebabkan belum
sempurnanya pusat pernafasan di batang otak
Serangan apnea tiba-tiba disertai kesadaran menurun pada BBLR
dicurigai adanya perdarahan intracranial
Perlu pemeriksaan USG
f. Manifestasi kejang pada BBL
Tremor/gemetar
Hiperaktif
Kejang-kejang
Tiba-tiba menangis melengking
Tonus otot hilang diserati atau tidak dengan hilangnya kesadaran
Pergerakan tidak terkendali
Nistagmus atau mata mengedip ngedip paroksismal (Koshim, 2008).
5. Patofisiologi
Konsep epileptogenesis pada otak imatur sangat kompleks dan cepat
berkembang. Terdapat faktor khusus dalam perkembangan otak yang
membuat otak imatur lebih sensitif dalam menghasilkan kejang. Faktor
tersebut meliputi karakteristik dari neuron, neurotransmitter, sinaps,
reseptor, mielinisasi, glia, dan sirkuit neuron seluler maupun regional.
Fungsi dasar neuron adalah depolarisasi dan hiperpolarisasi
membran yang menghasilkan aliran ion yang melintasi membran melalui
voltage dependent and transmitter-gated channel. Depolarisasi membran
mengawali potensial aksi yang menyebabkan lepasnya neurotransmitter
dari regio presinaps di akson terminal. Transmitter berkaitan dengan
reseptor post-sinap untuk mengawali eksitasi potensial post-sinap atau
inhibisi potensial post-sinaps. Fungsi otak secara normal didasarkan pada
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.
Kejang timbul akibat timbulnya muatan listrik (depolarisasi)
berlebihan pada susunan saraf pusat sehingga terbentul gelombang listrik
yang berlebihan. Neuron dalam sistem saraf pusat mengalami depolarisasi
sebagai hasil dari perpindahan natrium ke arah dalam, sedangkan
repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk mempertahankan
potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
bergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya
kalium (Sylvia, 1999).
Meskipun mekanisme dasar kejang pada neonatus tidak sepenuhnya
dipahami, data terbaru menunjukkan bahwa depolarisasi berlebihan dapat
diakibatkan oleh:
Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan
pompa natrium dan kalium
Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat
Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter dibanding
eksitatorik dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan
Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium (Wong, 2008).
Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar
glukosa otak yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap
normal atau meningkat disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan
refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi secara adekuat.
Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk
mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan
berakumulasi selama terjadikejang, sehingga PH arteri menurun dengan
cepat. Hal ini menyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran
darah ke otak naik.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat mulai dari sejak lahir
hingga usia dua tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan
sinaps serta kepadatan dendrit pada sumsum tulang belakang terjadi sangat
aktif pada sekitar kehamilan sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada
saat bayi baru lahir, merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi
sinaps fisiologis. Menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara
eksitasi dan inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk
memberi jalan pada pembentukan sinaps yang bergantung pada
aktivitasnya.
Otak manusia memiliki neurotransmitter seperti glutamat, α-amino-
3-hydroxy-5-methyl-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-
aspartate (NMDA). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus
yang memiliki otak homolog dengan otak manusia, didapatkna bahwa
reseptor NMDA meningkat tajam pada dua minggu awal kelahiran untuk
membantu sinaps yang bergantung pada aktivitasnya. Selain itu, pada
periode ini merupakan saat dimana sensitivitas terhadap magnesium berada
di titik terendah. Magnesium merupakan penghalang reseptor endogen
alamiah, sehingga berdampak pada meningkatnya eksitabilitas neuronal.
Literatur lain menjelaskan mengenai mekanisme penting
sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus adalah:
a. Penurunan efektifitas inhibisi neurotransmitter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang
secara perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan fungsi
pengikatan reseptor GABA, pembentukan enzim dan ekspresi dari
reseptor lebih rendah pada masa-masa awal kehidupan. Hal ini
mendukung terjadinya kejang sehubungannya dengan aktivitas sel saraf
pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktivitas eksitabilitas.
b. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal
kehidupan
Regulasi kanal ion mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk serta berkembang perlahan
seperti yang terjadi pada mutasi kanal ion kalium (KCNQ2 dan
KCNQ3) yang berhubungan dengan terjadinya kejang neonatus
familial, menyebabkan proses hiperpolarisasi kalium yang berakibat
terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang secara cepat.
Otak imatur memiliki ekspresi yang relatif lebih rendah terhadap HCN1
isoform yang berfungsi untuk menurunkan eksitabilitas dendritik pada
otak dewasa. Mutasi kanal ion daoat juga berkontribusi dalam
hipereksitabilitas pada otak imatur dan dapat memiliki efek kumulatif.
c. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak
imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal
seperti yang terjadi pada Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang
memicu terjadinya potensi eksitasi pada neuron. Jika dibandingkan
dengan fase kehidupan selanjutnya, CRH dikeluarkan lebih tinggi pada
dua minggu awal kehidupan seperti yang terlihat pada tikus percobaan.
CRH juga meningkat pada keadaan stres seperti halnya saat terjadi
kejang pada otak yang imatur akan memicu kejadian kejang yang
berulang.
6. Pathway
Etiologi: Metabolik, perdarahan intrakranal,
Infeksi bakteri, infeksi, genetik/kelainan bawaan
virus dan parasit
Otak imatur
Reaksi Inflamasi
Efektifitas inhibisi
Proses demam neurotransmitter
1 Ketidakefektifan bersihan Status Pernafasan: Kepatenan Jalan Nafas NIC : Manajemen Jalan Nafas
jalan nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Bebaskan jalan nafas
3 x 24 jam ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
teratasi dengan kriteria hasil: 3. Auskultasi suara nafas, catat daerah yang terjadi penurunan atau
1. Tidak ada dyspnea tidak adanya ventilasi
2. Tidak ada akumulasi sputum 4. Berikan bronkhodilator, jika perlu
3. Tidak ada suara nafas tambahan 5. Atur pemberian O2, jika perlu
6. Atur intake cairan agar seimbang
7. Atur posisi untuk mengurangi dyspnea
8. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
Penghisapan Lendir pada Jalan Nafas
1. Cuci tangan
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan setelah tindakan suction
3. Keluarkan sekret dengan dorongan batuk atau suctioning
4. Lakukan suction pada endotrakheal atau nasotrakheal
5. Monitor status oksigenasi pasien sebelum, selama dan setelah
melakukan suction
6. Monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi secret
2 Resiko aspirasi Pencegahan Aspirasi Pencegahan Aspirasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Monitor tingkat kesadaran, refleks batuk, muntah
3x24 jam diharapkan masalah risiko aspirasi klien 2. Monitor jalan nafas dan suara nafas tambahan
tidak terjadi dengan kriteria hasil: 3. Pertahankan kepatenan jalan nafas
1. Jalan nafas klien paten 4. Monitor residu lambung
2. Klien mudah bernafas 5. Berikan perawatan mulut
3. Tidak terdengar suara nafas tambahan Pengaturan Posisi
4. Tidak terjadi aspirasi 1. Tinggikan tempat tidur
2. Miringkan kepala pasien jika ada muntah
3. Dorong latihan ROM aktif dan pasif
Moorhead, S., et.al. (2015). Nursing outcomes classification (NOC). United States
of America: Elsevier.
Wong, D et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. EGC:
Jakarta.